KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP RETRIBUSI PELAYANAN KAPAL DI PELABUHAN PETI KEMAS PELINDO II CABANG PANJANG

  KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP RETRIBUSI PELAYANAN KAPAL DI PELABUHAN PETI KEMAS PELINDO II CABANG PANJANG Oleh DIMAS RILO ANDRIANTO NPM 1212011097 Jurnal Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM pada Jurusan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

  

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP RETRIBUSI

PELAYANAN KAPAL DI PELABUHAN PETI KEMAS

PELINDO II CABANG PANJANG

Dimas Rilo Andrianto, Prof. Dr. Yuswanto, SH., MH., Eka Deviani, SH., MH.

  

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145

Email: dimasrilo@gmail.com

ABSTRAK

  Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah yang memiliki pelabuhan kapal dan mengenakan retribusi pelayanan terhadap kapal-kapal yang berlabuh atau bongkar muat di wilayah pemerintahannya melalui Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan yang bertujuan untuk mengatur pelayanan kepelabuhan, termasuk di dalamnya penarikan retribusi kapal. Permasalahan: Bagaimanakah kewenangan pemerintah daerah dalam pemungutan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti kemas Pelindo II Cabang Panjang dan faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penyelenggaraan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang?Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, data dianalisis secara kualitatif guna memperoleh kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan: Kewenangan pemerintah daerah dalam pemungutan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti kemas Pelindo II Cabang Panjang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan, bahwa kewenangan daerah provinsi di wilayah laut adalah kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya dan pengaturan administratif pengaturan dalam bentuk pemungutan retribusi sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah. Faktor-faktor penghambat dalam penyelenggaraan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang terdiri dari: adanya Pengaturan Kepelabuhan yang Tidak Harmonis dan adanya Tarik Menarik Kepentingan Antar Instansi dalam Pengelolaan Pelabuhanyang multi sektoral. Saran dalam penelitian ini adalah: Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Pelayaran yang diikuti denganperubahan peraturan pelaksana tentangkepelabuhan di bawahnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Dalam menyikapi aturan mengenai pengelolaan pelabuhan, semua pihak hendaknyamemandang kewenangan di wilayah laut sebagai sebagai manajemen pelabuhan yang mencakup keselamatan lalu lintas pelayaran, sistemnavigasi dan persandian, perijinan bagi kapal yang akan berlabuh atauberlayar, administrasi bongkar muat, dan sebagainya. Saran: Kewenangan, Retribusi, Pelayanan Kapal

  

LOCAL GOVERNMENT AUTHORITY TO LEVY SERVICE SHIP CONTAINER

PORT PELINDO II BRANCH OF PANJANG

ABSTRACT

Lampung Province as one of the areas that have the boat harbor and a local tax services

to ships that dock or loading and unloading in the government through the Provincial

Regulation Lampung No. 9 of 2015 on the Implementation of the port which aims to

regulate the services of port, including the withdrawal of levy ship. Problem: How do

local authorities in the levy charged for services Container ship at the Port of Pelindo II

Branch of Panjang and what factors that become an obstacle in the implementation of

service levies Container ship in the port of Pelindo II Branch of Panjang?This study uses

the approach of juridical normative and empirical. Data collection procedures performed

with the literature study and field study, data were analyzed qualitatively to obtain

conclusion.The results showed: The authority of local governments to levy charged for the

service of the vessel at the Port Container port of Pelindo II Branch of Panjang conducted

by Provincial Regulation Lampung No. 9 of 2015 on the Implementation of the port, that

the authority of the provinces in the sea area is the authority to manage marine resources

in their area and setting administrative arrangement in the form of fee collection as a

source of regional revenue. Inhibiting factors in the operation of ships in service levies

Container Port Pelindo II Long Branch consists of: the setting of port are not harmonic

and the Inter-Agency Pull Attractive interest in the management of the Port of

multisectoral.Suggestions in this study are: Need for changes to the Act cruise followed by

change its regulations on the port underneath so that there is no overlap. In addressing

the rules regarding the management of ports, all parties should look to the authority in the

sea area as a management port that includes shipping traffic safety, navigation systems

and coding, permits for the ship to be docked or sailing, administration of loading and

unloading, and so forth. Suggestion: Authority, Levy, Boat Services

I. Pendahuluan

  Pemberlakukan Undang-Undang Nomor

  32 Tahun 2004 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Daerah untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah masing- masing. Tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah sesuai dengan otonomi dalam pelaksanaan pembangunan daerah semakin besar, hal ini disertai dengan kewenangan untuk mengelola berbagai aspek pemerintahan daerah yang luas, dan diharapkan dapat memenuhi berbagai kepentingan yang bermanfaat bagi masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas masalah utama yang banyak dihadapi oleh hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia adalah masalah keuangan. Pemerintah daerah harus mampu melaksanakan pembiayaan bagi daerahnya secara mandiri. Kaitan yang sangat erat dengan masalah ini adalah darimana dan bagaimana pemerintah daerah harus mampu menyediakan dana guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tersebut.

  Kewenangan pemerintah daerah tersebut secara riil dihadapkan pada kendala yaitu belum optimalnya kemampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan pendapatan asli daerah. Padahal daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakannya dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini penting sebagai sebuah kajian, karena salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuandi bidang keuangan. Pemberlakuan otonomi daerah membawa implikasi bahwa penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di sisi lain pembiayaan pembangunan secara bertahap akan menjadi beban pemerintah daerah. Bantuan pusat melalui dana alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)dalam pembiayaan pembangunan hanya akan diberikan untuk menunjang pengeluaran pemerintah, khususnya untuk belanja pegawai dan program-program pembangunan yang hendak dicapai.

  1 Beberapa faktor penyebab kurang

  optimalnya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, adalah pemerintah daerah masih cenderung memiliki ketergantungan pada pemerintah pusat untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Padahal dengan adanya otonomi daerah, ketergantungan daerah kepada pusat tidak lagi dapat diandalkan, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

  2 Penyebab lainnya adalah pemerintahan

  daerah belum mampu melakukan optimalisasi belanja secara efisien dan efektif untuk meningkatkan 1 Philipus M.Hadjon, Hubungan Kewenangan

  Pusat dan Daerah di EraOtonomi .Rajawali Press. Jakarta. 2005. hlm.11. 2 Rayanto Sofian. Pembangunan Daerah di Era Otonomi. Yayasan Obor. Jakarta. 2001. hlm.23. kesejahteraan masyarakat. Selain itu keterbatasan kemampuan perangkat pemerintah daerah dalam perencanaan dan perumusan kebijakan strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat berjalan secara efisien dan efektif.

  sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah PAD yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Perusahaan Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal 157 Undang- Undang Nomor

  32 Tahun 2004 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor

  23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sumber PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan lain- lain pendapatan asli daerah yang sah.

  Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan daerah sesuai kondisi daerah, PAD sebagai kriteria untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat.

  Pada tataran implementasinya, di antara semua komponen PAD, pajak dan dan retribusi daerah merupakan penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya PAD identik dengan pajak 3 Ibid . hlm.23. dan retribusi daerah. Penelitian mengkaji retribusi daerah, di mana retribusi dibagi dalam beberapa bagian yaitu: 1.

  Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang digolongkan sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods dan pelayanan yang memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan layanan tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan pada masyarakat misalnya retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP, dan lain-lain.

Retribusi

  2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan misalnya: retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan, retribusi pelayanan kapal dan lain-lain.

  3. Retribusi Perizinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian izin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerahmisalnya:

  IMB (Izin Mendirikan Bangunan), Izin Pengambilan Hasil Hutan Ikutan, Pengelolaan Hutan, dan lain-lain.

  Pemungutan retribusi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sedangkan aturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Salah satu contoh retribusi daerah di Provinsi Lampung adalah retribusi pelayanan kepelabuhan. Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah yang memiliki pelabuhan kapal dan mengenakan retribusi pelayanan terhadap kapal-kapal yang berlabuh atau bongkar muat di wilayah pemerintahannya melalui Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan yang bertujuan untuk mengatur pelayanan kepelabuhan, termasuk di dalamnya penarikan retribusi kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang. Kendala yang terjadi di lapangan adalah penarikan retribusi kapal belum terlaksana dengan optimal, hal ini diketahui dari tidak tercapainya target retribusi pada Tahun 2015, yaitu dari Rp 15.600.000.000,00- yang ditargetkan, hanya tercapai Rp.11.210.790.000,00 atau hanya mencapai 71,86% dari 100% yang ditargetkan.

III. Pembahasan A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemungutan Retribusi Pelayanan Kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang

  Permasalahan penelitian: 1.

  Bagaimanakah kewenangan pemerintah daerah dalam pemungutan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti kemas Pelindo II Cabang Panjang? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penyelenggaraan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang? II.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan empiris. Prosedur pengumpulan dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Prosedur pengolahan data dilakukan melalui tahap pemeriksaan data, klasifikasi data, penyusunan data dan seleksi data. Analisis data dilakukan

  Kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung dalam Pemungutan Retribusi Pelayanan Kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang memiliki dasar hukum yaitu Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan.

  Pasal 4 Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan mengatur sebagai berikut: (1)

  Kewenangan daerah provinsi di wilayah laut adalah kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya

  (2) Kewenangan daerah provinsi di wilayah laut untuk mengelola sumber daya laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.

  Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi b. Pengaturan administratif c. Pengaturan tata ruang d.

  Ikut serta dalam memelihara keamanan di laut e.

Ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan rakyat

Metode Penelitian

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam pemungutan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Daerah adalah kewenangan di bidang administratif. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya denganbatas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomiyang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpangdan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi fasilitas keselamatan pelayaran, dankegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar modatransportasi. Penjelasan di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001, tentangKepelabuhanan, yang dimaksud dengan pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dankegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh,naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi denganfasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagaitempat perpindahan intra dan antar moda transportasi.

  Pelabuhan sebagai suatu daerahperairan yang terlindung dari gelombang dan digunakan sebagai tempatberlabuhnya kapal maupun kendaraan air lainnya yang berfungsi untukmenaikkan atau menurunkan penumpang, barang maupun hewan, reparasi,pengisian bahan bakar dan lain sebagainya yang dilengkapi dengan dermagatempat menambatkan kapal, kran-kran untuk bongkar muat barang, gudangtransito, serta tempat penyimpanan barang dalam waktu yang lebih lama,sementara menunggu penyaluran ke daerah tujuan atau pengapalan selanjutnya. Pelabuhan menjadi pintu gerbang serta bahkan benua maupun antar bangsa yang dapat memajukan daerahbelakangnya atau juga dikenal dengan daerah pengaruh. Daerah belakang inimerupakan daerah yang mempunyai hubungan kepentingan ekonomi, sosialmaupun untuk kepentingan pertahanan yang dikenal dengan pangkalan militerangkatan laut Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa pelabuhan mempunyai dermaga yang dilengkapi dengan fasilitas untukbongkar muat barang, yaitu dermaga yang panjang dan mampu menampung seluruh panjang kapalsekurang-kurangnya 80% dari panjang kapal. Hal ini disebabkan olehproses bongkar muat barang melalui bagian depan maupun belakangkapal dan juga di bagian tengah kapal. Selain itu pelabuhan barang harus memiliki halaman dermaga yang cukup lebar,untuk keperluan bongkar muat barang, yang berfungsi untukmempersiapkan barang yang akan dimuat di kapal, maupun barangyang akan di bongkar dari kapal dengan menggunakan kran. Bentukhalaman dermaga ini beranekaragam tergantung pada jenis muatan yangada, seperti: barang-barang potongan (general cargo), yaitu barang yang dikirimdalam bentuk satuan seperti mobil, truk, mesin, serta barang yangdibungkus dalam peti, karung, drum dan lain sebagainya, muatan lepas (bulk

  cargo ), yaitu barang yang dimuat

  tanpapembungkus, seperti batu bara, biji besi, minyak dan lainsebagainya dan peti kemas (container), yaitu peti yang ulkurannya telahdistandarisasi dan teratur yang berfungsi sebagai pembungkusbarang-barang yang dikirim. transito dibelakang halaman dermaga dan memiliki akses jalan maupun halaman untuk pengambilan/pemasukanbarang dari gudang maupun menuju gudang, serta adanya fasilitasreparasi. Kegiatanbongkar muat berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 33Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, meliputi kegiatan bongkar muat barang dari dan/atau ke kapalmeliputi kegiatan pembongkaran barang dari palka kapal ke dermaga di lambungkapal atau sebaliknya (stevedoring), kegiatan pemindahan barang dari dermagadilambung kapal ke gudang lapangan penumpukan atau sebaliknya dan kegiatan pengambilan barang dari gudang/lapangan menggunakan truk atausebaliknya.

  Kegiatan pelabuhan peti kemas yaitu perpindahan arus barang angkutandarat ke angkutan laut dengan sistem angkutan

  full container dengan kegiatan peti

  Kemas (PK) diangkut oleh angkutan darat (trailer) sampai ke pelabuhankemudian PK diangkut dengan

  rubber tyred gantry (RTG) diletakkan

  dilapangan penumpukan, Dengan menggunakan RTG, PK tersebut diangkat dan ditata untuk menunggukapal pengangkutnya. Setelah kapal pengangkut datang dan siap di dermaga, PK dari lapanganpenumpukan tadi diangkat dengan RTG diletakkan ke atas head truck (HT)diangkat ke apron dermaga kapal tersebut bersandar dengan menggunakan gantry crane, PK diangkat dari HT dan dimasukkan kekapal. Selanjutnya setelah barang tersebut diangkut ke kapal, kapal meninggalkan dermaga. Menurut penjelasan Ida Sari Yorita, sesuai dengan amanat otonomi daerah terdapat pelimpahan wewenang dari pemerintahanpusat kepada pemerintahan daerah.Pelabuhan pada dasarnya memang merupakan bagian dari sektor pelayaran, danmerupakan sektor yang kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat, namun mengingat lokasi pelabuhan ada di daerah maka pemerintah daerah juga memiliki kewenangan, khususnya yang berkaitan dengan penerimaan retribusi pelayanan kapal, sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa kewenangan berfungsi untuk menjalankan kegiatan dalam organisasi, sebagai hak untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya dan lingkungan yang melingkupinya. Kewenangan organisasi menggariskan bahwa kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang- undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.

  Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Menurut penjelasan Ida Sari Yorita, diketahui bahwa urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

  Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antartingkatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas pemerintah daerah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa kewenangan dalam hal menentukan besaran retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang, mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 69 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif Atas Jasa Penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

  Pembayaran Retribusi dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk sesuai waktu yang ditentukan dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan c.

  3. Mekanisme Pengurangan, Keringan dan Pembebasan Retribusi Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa mekanisme pengurangan, keringan dan pembebasan retribusi adalah: a.

  2. Besaran Pemungutan Retribusi dibagi berdasarkan objeknya

  Setiap pembayaran dicatat dalam Buku Penerimaan.

  e.

  Pembayaran Retribusi tersebut diberikan tanda bukti pembayaran.

  d.

  Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, maka hasil pungutan Retribusi wajib disetor ke Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam.

  b.

  Menurut Pasal 20 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 69 Tahun 2015 diketahui bahwa jenis penerimaan negara bukan pajak jasa kepelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial, salah satunya adalah jasa pelayanan kapal yang terdiri dari: 1)

  Pembayaran Retribusi harus dilakukan secara tunai.

  1. Mekanisme Pemungutan Retribusi Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa mekanisme pemungutan retribusi adalah: a.

  Secara terperinci penarikan retribusi pelayanan kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang adalah sebagai berikut:

  5) Jasa tambat

  4) Jasa penundaan di pelabuhan umum, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelabuhan (otoritas pelabuhan atau kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan)

  3) Jasa pemanduan di pelabuhan umum, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelabuhan (otoritas pelabuhan atau kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan)

  Kontribusi jasa pemanduan dan penundaan yang dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola terminal khusus

  Jasa labuh 2)

  Pemerintah Daerah dapat keringanan dan pembebasan besarnya retribusi.

  b.

  Pemerintah Daerah dapat memberikan keringanan kepada wajib retribusi untuk mengangsur retribusi yang terutang dalam kurun waktu yang ditentukan dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan c.

Tata cara pemberian

  pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi tersebut ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Sektor pelabuhanmeliputi segala sesuatu yang berkait dengan kegiatan penyelenggaraanpelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjangkelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang,keselamatan berlayar, serta tempat pemindahan intra dan/atau antar moda.

  Sesuai dengan otonomi daerah maka pelayaran (termasukpelabuhan) merupakan pemerintahan yang dapat ditafsirkan sebagai urusan pemerintahanyang didesentralisasikan ke daerah. Pemerintah Pusat hanya berwenang dalam urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri,pertahanan, keamanan, justisi, moneter, dan agama. Sedangkan urusan-urusan lainnya,termasuk urusan kepelabuhan menjadi kewenangan dari pemerintah daerah.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenanganberdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada untuk mengelola pelabuhan sesuaidengan kemampuan yang dimiliki daerah. pelabuhantersebut dan sesuai dengan sifat pelabuhan yang multi dimensional dan multi sektoral,Pemerintah Daerah wajib mengikuti dan menyesuaikan operasional di pelabuhan denganberbagai ketentuan nasional dan intenasional yang mengatur tentang kepelabuhan. Selain itu,Pemerintah Daerah wajib melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai sektor yangada, baik pemerintah maupun swasta, yang merupakan stakeholder dari pelabuhan.

  Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa pengelolaan pelabuhan dapat menjadi kewenangan dari berbagai pihak, baik di tingkat pusat maupun daerah, sepanjang pengelolaan pelabuhan tersebutdilakukan dengan itikad baik dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dannegara serta masyarakat secara keseluruhan. Pengelolaan pelabuhanpada dasarnya merupakan manajemen dari aktivitas yang dinamis dan berdimensi multidalam suatu pelabuhan yang mempunyai banyak kepentingan dan berbagi pihak yangberkepentingan (stakeholder) di dalamnya. Oleh karena itu, pengelola pelabuhanberkewajiban mempunyai kemampuan yang professionaldalammengelola pelabuhan. Hal yang perlu dihindari untuk masalah pengelolaan pelabuhan saat ini adalah intipersoalan yang direduksi menjadi konflik kepentingan. Hal ini memerlukan manajemen pemerintahan yang ideal sebagai sebuah prosesyang mengkompromikan antara kepentingan demokratisasi dan pemberdayaandisatu sisi, dengan kepentingan efisiensi disisi lain. Artinya, desentralisasi luaswajib didukung sepanjang mampu menghadirkan sosok pemda yang lebihefektif dalam bekerja dan lebih prima dalam kinerja. Dalam hal kapasitas aparat propinsi maupun pusat, sesungguhnyaadalah sesuatu yang logis. Dalam konteks pengelolaan pelabuhan, tidak menjadisoal siapapun yang memegang peran regulator ataupun operator, asalkan dapatmenghasilkan keuntungan bersama. Pemerintah daerah pelru membentuk badan kerja sama (konsorsium) guna membangun dan mengelolapelabuhan, layak pula dipertimbangkan secara cermat, sehingga hal yang diperlukan adalah adanya hukum yang jelas tentangwewenang pengelolaan pelabuhan, serta berbagai implikasi yang timbul daripengelolaan tersebut. Sebagai contoh, jika pelabuhan dikelola oleh daerah,harus pula dijamin adanya profit

  sharing antara Pusat dengan Daerah

  sertaantara daerah yang menguasai pelabuhan dengan daerah lain yangmenggunakan jasa pelabuhan tersebut.

  Hal ini berkaitan dengan keserasian dan keselarasan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara otonom dengan kebutuhan masyarakat, merupakan landasan bagi terwujudnya pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud pula peningkatan kualitas pelayanan sebagai diungkap di atas. Sejalan dengan diberikannya kewenangan dan tanggung jawab kepada daerah kabupaten dalam mengurus rumah tangganya sendiri, maka akan semakin meningkat interaksi langsung antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah daerah dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan. Pemerintah daerah juga dituntut untuk dapat memiliki kemampuan dalam

  B. Faktor-Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Retribusi Pelayanan Kapal di Pelabuhan Peti Kemas Pelindo II Cabang Panjang 1.

Adanya Pengaturan Kepelabuhan yang Tidak Harmonis

  Menurut penjelasan Ida Sari Yorita dari Dinas Pendapatan Provinsi Lampung, diketahui bahwa pemberlakukan otonomi daerah berdasarkan pada Undang- Undang Pemerintahan Daerah, mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisanpengaturan tentang pengelolaan pelabuhan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada satu pihak, Pemerintah Pusat berpegangkepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 yang menegaskan bahwa urusan kepelabuhanan (yang merupakan bagiandari sektor pelayaran) merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat. Daerahberpendapat bahwa urusan kepelabuhanan merupakan kewenangan pemerintah daerahberdasarkan Undang- Undang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian terjadiketidakharmonisan pengaturan tentang kepelabuhanan di Indonesia. Hal ini sebenarnyaakibat dari ketidaksinkronan pengaturan tentang berbagai sektor pemerintahan yang ada, danjuga sebagai akibat dari berbagai faktor lainnya.

  Pada perkembangannya, telah terjadi sengketa antara pemerintah daerah denganpemerintah pusat tentang pengelolaan pelabuhan yang ada di daerah. Salah satunya adalahdalam bentuk judicial review terhadap Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 2001 TentangKepelabuhan, dan dalam hal ini Mahkamah Agungmemenangkan permohonan Judicial review tersebut. Dengan putusantersebut, Pemerintah Daerah mempunyai legitimasi untuk Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tersebut maka kewenangan PT Pelindo dalam pengelolaan Pelabuhan oleh Pemda pascaputusan MA yang memenangkan uji materiilnya, dapat diuraikan bahwalegitimasi PT Pelindo sebagai operator yang diberi kewenangan oleh Pemerintah Pusat untukmengelola pelabuhan di daerah menjadi hilang, dan berdasarkan putusan MA tersebut, makadaerah mempunyai kewenangan untuk mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya sesuaidengan Undang- Undang Otonomi Daerah. Namun demikian, hal yang menjadi persoalan adalahapakah putusan secara otomatis memberikan kewenangan daerah untuk mengelolapelabuhan.

  Hal ini tentu tidak dapat secara otomatis diterapkan, mengingat untuk hal tersebut membutuhkan masa peralihan, antara lain dengan mengubah dahulu PP No. 69/2001 tersebutuntuk direvisi dan disesuaikan dengan putusan dari MA tersebut. Selain itu, dengan putusanMA tersebut, PT Pelindo tidak lagi mempunyai kewenangan sebagai regulator di pelabuhan.Pasca putusan tersebut, PT Pelindo bertindak sebagai operator, yang menjalankan fungsiusaha dan bisnis di pelabuhan-pelabuhan yang dikelolanya selama ini.

  Pasca dikabulkannya sebagian uji materiil terhadap PP No.69 Tahun 2001,maka kewenangan-kewenangan yan dimiliki oleh daerah harus diserahakan kepadadaerah termasuk kewenangan mengelola kepelabuhan, seperti masalah regulasi.Namun, reaksi ini mendapat counter, terutama dari pihak Dephub dan PT.Pelindo. Mereka menganggap bahwa putusan MA ini tidak memberikan hak bagi Pemda untuk mengambil alih pengelolaan pemda.

  2. Adanya Tarik Menarik Kepentingan Antar Instansi dalam Pengelolaan Pelabuhan

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Shaqina Nuruly selaku Asisten Manajer Pelayanan Kapal, Barang dan Umum, diketahui bahwa faktor penghambat lainnya adalah adanya tarik menarik kepentingan antar instansi dalam pengelolaan pelabuhan, hal ini disebabkan oleh pengelolaan kepelabuhan yang multi sektoral. Hal ini mengingat pelabuhan ini ada kewenangan di bawah Kementerian Perhubungan, ada kewenangandi bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemda, Bea cukai, keimigrasian,BUMN, masalah karantina, serta yang berkaitan dengan hukum internasional.

  Olehkarenanya, banyak benturan yang sering terjadi dalam praktek. Terutama adalahmasalah tarik menarik kepentingan, di antaranya, yang terjadi antara Pemda dan Kementerian Perhubungan, antara Pemda dan Kementerian Kelautan dan Perikanan,antara Pemda dan PT Pelindo, antara Departemen Perhubungan, PT Pelindo danKementerian BUMN dan peran PT Pelindo yang overleaping dengan Kementerian Perhubungan. Pemda merasa ada ketidaksinkronan dan ketidaksinergian antarakewenangan yang diberikan kepada pemda oleh pemerintah pusat dalampengelolaan pelabuhan. Tarik menarikkepentingan antar instansi di antaranya, adanya persepsi yang simpang siurmasalah kewenangan yang dimaksud oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu istilah

  ”kewenangan” menjadi ”urusan”, yang menurutnya menimbulkan masalah lagimengenai pelaksanaannya dalam praktek. Sebab bisa membawa multitafsir daerah. Sehingga, sehingga teknis pelaksanaankewenangan yang seharusnya konkrit. Adanya kekhawatiran pemerintah pusat mengenai sumberdaya manusia yang kurang memadai dari pemda, menurut pandangan Pemdaseharusnya tidak menjadi masalah yang menetap,karena secara bertahap hal itu bisa dikembangkan dengan pelatihan yangdiberikan oleh pihak pemerintah pusat. Hal ini tentunya membutuhkan

Adanya Pengaturan Kepelabuhan yang Tidak Harmonis, yaitu

  politicalwill dari pemerintah pusat itu

  sendiri. Ketidaksingkronan pola pikir dansudut pandang mengenai aturan main kewenangan pengelolaan pelabuhan olehpemda inilah yang akhirnya memunculkan beberapa gugatan judicial

  review terhadap peraturan tetang

  pelabuhanserta petentangan-pertentangan argumentativebaik secara terbuka di media massa, maupun dalam kajian- kajian akademis.

  pelayanan kapal di Pelabuhan Peti kemas Pelindo II Cabang Panjang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan, bahwa kewenangan daerah provinsi di wilayah laut adalah kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya dan pengaturan administratif dalam bentuk pemungutan retribusi sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.

  2. Faktor-faktor penghambat dalam penyelenggaraan retribusi pelayanan Pelindo II Cabang Panjang terdiri dari: a.

  pemberlakukan otonomi daerah berdasarkan pada Undang- Undang Pemerintahan Daerah, mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisanpengaturan tentang pengelolaan pelabuhan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

  b.

  Tarik Menarik Kepentingan Antar Instansi dalam Pengelolaan Pelabuhan, yaitu pengelolaan kepelabuhan yang multi sektoral, yaitu antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemda, Bea Cukai, keimigrasian,BUMN, masalah karantina, serta yang berkaitan dengan hukum internasional.

Adanya

  B. Saran 1.

Perlu adanya perubahan terhadap

  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang diikuti denganperubahan peraturan pelaksana tentangkepelabuhan di bawahnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengelolaan kepelabuhan dan lebih memberikan kepastian hukum pada pihak-pihak terkait.

Kewenangan pemerintah daerah dalam pemungutan retribusi

  2. Dalam menyikapi aturan mengenai pengelolaan pelabuhan, semua pihak hendaknyamemandang kewenangan di wilayah laut sebagai sebagai manajemen pelabuhan yang mencakup keselamatan lalu lintas pelayaran, sistemnavigasi dan persandian, perijinan bagi kapal yang akan berlabuh atauberlayar, administrasi bongkar muat, dan sebagainya.

  Daftar Pustaka

  Rineka Cipta. Jakarta Widiati, Ninik. 2007. Revitalisasi

  Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia , Kanisius, Yogyakarta.

  Soekanto,Soerjono. 1983. Pengantar

  Penelitian Hukum

  , Rineka Cipta, Jakarta. Sofian, Rayanto. 2001. Pembangunan Daerah di Era Otonomi.

  Yayasan Obor. Jakarta. Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana . Alumni.Bandung.

  Tambunan,RJ. 2007.

  Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Daerah .

  Keuangan Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah . Penerbit Andi.

  Pemerintahan Daerah di Indonesia Konsep, Azas dan Aktualisasinya , Genta Publishing,

  Yogyakarta. Undang-Undang Dasar 1945 Hasil

  Amandemen Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

  jo. Undang-Undang Nomor 23

  Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

  Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan Peraturan Daerah Provinsi Lampung

  Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kepelabuhan

  Yogyakarta Setiardja,A. Gunawan. 1990. Dialektika

  Indonesia, Yogyakarta Munir,Sirojul. 2013. Hukum

  Admosudirjo, Prajudi.2001. Teori

  Citra Aditya Bakti, Jakarta. H.R.,Ridwan. 2003. Hukum Administrasi

  Kewenangan . PT. Rineka Cipta Jakarta.

  Asshiddiqie,Jimly. 2006, Perihal

  Undang-Undang , Rajawali Pers,

  Jakarta, Djamali, R. Abdoel. 2001. Pengantar

  Hukum Indonesia

  . Bandung. PT Raja Grafindo Persada Jakarta. Gaffar,Affan. 2006. Paradigma Baru

  Otonomi Daerah dan Implikasinya,

  Negara, Cet.II, UII Press, Yogyakarta.

  Kekuasaan, Universitas Islam

  Himawan, Muammar. 2004. Pokok-

  Pokok Organisasi Modern . Bina Ilmu. Jakarta.

  Jefferson,Rumajar. 2006. Otonomi

  Daerah: Sketsa. Gagasan dan Pengalaman, Media Pustaka,

  Manado. Kaho,Josef Riwu. 2001. Prospek

  Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, PT Raja

  Grafindo, Jakarta. Kantaprawira,Rusadi. 1998. Hukum dan

  Peraturan Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Target Triwulanan Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi