Pengaruh Perubahan Identitas terhadap Ar (2)

MAKALAH AKHIR
Mata Kuliah : Teori Hubungan Internasional 2
NPM
: 1206247530
PENGARUH PERUBAHAN IDENTITAS TERHADAP ARAH KEBIJAKAN
LUAR NEGERI DI TURKI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Turki merupakan negara sekuler yang dalam satu dekade terakhir dipimpin oleh
partai berhaluan islam. Arus sekularisasi di Turki telah berlangsung sejak zaman
kekhalifahan akan tetapi mencuat ke permukaan ketika Republik Turki berdiri
menggantikan kekhalifahan Turki Ustmani. Adapun, sekularisasi yang terjadi tidak hanya di
dalam bidang politik, melainkan hampir di semua bidang, di mana negara memainkan peran
aktif dalam mengupayaka hal ini. Pada waktu itu, bagi Turki, sekularisasi merupakan bagian
dari upaya modernisasi yang diterjemahkan sempit sebagai westernisasi.
Seiring berjalanannya waktu, identitas politik di Turki tidak hanya diwarnai oleh
identitas politik sekuler. Sejak tahun 1970an, kelompok politik berhaluan islam mulai
muncul ke permukaan, walaupun masih tidak begitu dihiraukan. Kemudian, baru di tahun
1990an, kelompok politik berhaluan islam ini sampai dipuncak kekuasaan, walaupun tidak

menjadi satu-satunya. Kemudian, baru di tahun 2002, partai politik berhaluan Islam menjadi
yang paling dominan, dan memimpin Turki di tampuk kekuasaan.
Selain itu, di Turki, haluan arah kebijakan luar negerinya berubah secara ekstrem
dari waktu ke waktu. Pernah Turki menjadi negara yang sangat pro-Barat dan sangat
menjaga jarak terhadap Dunia Islam, pernah juga sebaliknya, atau seperti saat ini dengan
arah kebijakan luar negeri yang lebih sangat inklusif. Hal ini dianggap besar kaitannya
dengan identitas dari kelompok-kelompok yang berkuasa atau memimpin Turki. Pasalnya,
kelompok sekuler atau biasa disebut Kemalis memiliki kecenderungan arah kebijakan luar
negeri yang pro-Barat. Kelompok islamis yang muncul di tahun 1990an memiliki
kecenderungan arah kebijakan luar negeri yang pro-Dunia Islam.

1

1.2 Pertanyaan Penelitian
Dengan latar belakang yang seperti itu, dan untuk membuktikan asumsi bahwa
ada keterkaitan antara identitas kelompok dominan dan arah kebijakan luar negeri, pada
makalah ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: bagaimana perubahan
identitas mempengaruhi perubahan arah kebijakan luar negeri di Turki?
1.3 Kerangka Teori
Pendekatan Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan pendekatan yang tertarik untuk membahas faktor
ideasional seperti norm, rules, dan identities, dalam mempengaruhi konsepsi aktor
mengenai dirinya dan bagaimana berhubungan dengan pihak lain.1 Pendekaatan ini
memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, konstruktivisme berasumsi bahwa identitas
dan interest merupakan sesuatu yang dikonstruksi, bukan given, akibat adanya proses
intersubjektivitas antaraktor.2 Lebih lanjut, ada pendapat yang menyatakan bahwa
identitas menentukan interest dan kemudian action.3 Kedua, konstruktivisme berasumsi
bahwa struktur internasional merupakan struktur sosial.4 Dalam struktur sosial, faktor
ideasional, seperti norm, rules, dan language, juga merupakan hal yang penting untuk
dilihat dan memiliki pengaruh untuk menentukan dinamika struktur tersebut.5 Di satu
lain, struktur internasional mempengaruhi identitas dan interest aktor. Sedangkan di sisi
lain, struktur internasional tidak akan ada jika tidak adanya aktor-aktor dengan identitas
dan interest tertentu yang mendinamisasi.6 Ketiga, konstruktivisme berasumsi bahwa
karena struktur internasional merupakan struktur sosial, struktur internasional
merupakan struktur yang dinamis, tidak fixed, dan terus menerus

dikonstruksi.7

Konstruktivisme percaya akan adanya change dalam struktur internasional, juga dalam
diri aktor atau agent dalam struktur itu sendiri.8 Dan keempat, konstruktivisme

berasumsi bahwa tidak ada realitas yang benar-benar dapat dilihat secara objektif,
karena setiap individu memiliki interpretasi tersendiri terhadap realita, dan yang terjadi
1 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory 4th ed. (New York: Pearson, 2010):
hlm. 276
2 Viotti dan Kauppi, 277
3 Christian Reus-Smit, “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et. al. (eds.), Theories of International
Relations 3rd Edition, (New York: Palgrave Macmillan, 2005): hlm. 197
4 Viotti dan Kauppi, 277
5 K. M. Fierke, “Constructivism” dalam Dunne et. al. (eds.), International Relations Theories. (Oxford:
Oxford University Press, 2010): hlm. 179
6 Christian Reus-Smit, 197
7 Viotti dan Kauppi, 277
8 K. M. Fierke, 179

2

adalah intersubjektivitas atau shared understanding antara dua atau lebih aktor yang
saling berinteraksi.9
Identitas, interets, dan action
Dari penjabaran di bagian sebelumnya, kita memahami bahwa identitas akan

mempengaruhi interest dan action suatu negara. Di bagian ini, hal tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut. Adapun penulis menggunakan konsepsi yang disusun oleh
Kuniko Ashizawa yang menggunakan Value Action Framework (VAF) yang berdasar
kepada Foreign Policy Analysis (FPA) dalam menjelaskan mengenai hubungan antara
identitas, interest, dan action. VAF yang berdasar kepada FPA ini akan menjelaskan
proses bagaimana identitas membentuk interest dan action.
Menurut Ashizawa ada tiga tahapan yang perlu dilalui oleh identitas untuk dapat
membentuk interest dan action.10 Pertama, tahapan di mana identitas memunculkan
beberapa values tertentu. Hal ini biasanya dioprasionalisasikan oleh kelompokkelompok elit politik yang berperan untuk menentukan kebijakan. Kedua, dari beberapa
values yang ada akan muncul kemudian value yang dominan, sifatnya bisa universal
atau Partikular, yang akan membentuk preferensi. Adapun, value yang dominan adalah
value yang mengakomodasi beberapa value yang sebelumnya ada atau value yang
dianggap lebih baik dari yang lain atau value yang dipaksakan oleh kelompok yang
dominan. Ketiga, dibuatnya kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan preferensi
yang ada.
Secara visual, hal ini dapat dijabarkan melalui bagan sebagai berikut:
.... (1)11

Identity


Value

Identity

Value

Identity

Value

Value Proccesing

Dominant
Value/s

Ket:
“Identity – Value Nexus is not a causal relationship, but rather as constitutive one”
9 Viotti dan Kauppi, 277
10 Kuniko Ashizawa, “When Identity Matters: State Identity, Regional Institution-Building, and Japanese
Foreig Policy”, International Studies Review, Vol. 10, No, 3 (2008): hlm. 578/571-598

11 Diadopsi dari Kuniko Ashizawa, 580

3

.... (2)12

Preference

Dominant Value/s

; Causal

Action

: Teleological

BAB II
PEMBAHASAN
Dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Kuniko Ashizawa, pada
bagian ini akan coba dijelaskan mengenai hubungan antara perubahan identitas dan

perubahan arah kebijakan luar negeri. Adapun untuk menjelaskan hal tersebut, di bagian
ini akan terdiri dari tiga bahasa, yaitu perubahan identitas, perubahan arah kebijakan,
dan analisa keduanya menggunakan teori yang digunakan.
2.1 Perubahan Identitas: Dari Sekularis menjadi Islamis-Revisionis
Di bagian ini akan dijelaskan mengenai identitas politik Turki. Menurut Ersin
Kalaycioglu, masyarakat Turki, dalam hal ini, terbagi ke dalam dua kelompok besar,
yaitu, sekularis dan islamis-revisionis.13 Islamis-revisionis yang dimaksud di sini ialah
mereka yang berpendapat bahwa politik islam dapat dijalankan di dalam sistem sekuler.
Menurut Sandhiyudha, hal ini dapat ditunjukan dengan kemunculan beberapa partai
berhaluan islam yang mencoba mewarnai perpolitikan Turki dengan nilai-nilai islam
yang tidak diekspresikan secara eksplisit.14
Adapun, identitas politik sekuler di Turki secara eksplisit muncul ketika
Republik Turki didirikan, walaupun demikian, pengaruhnya sudah ada sejak masa
Kekhalifaan Turki Ustmani.15 Identitas politik sekuler dimunculkan oleh Kemal Attaturk
yang mempercayai bahwa modernisasi sama dengan westernisasi yang salah satu value12 Diadopsi dari Kuniko Ahizawa, 579
13 Arya Sandhiyudha, Inspirasi Turki untuk Indonesia: Renovasi Negeri Madani, (Bekasi:Duta Media
Tama, 2013): hlm. 38
14 Arya Sandhiyudha, 39
15 Yucel Bozdaglioglu, Turkish Foreign Policy and Turkish Identity, (New York: Routledge, 2003): hlm. 36


4

nya adalah sekularisme.16 Selain dalam ranah politik, identitas ini juga dipaksakan untuk
diekspresikan di ranah sosial-budaya, sedangkan identitas keagamaan hanya dapat
diekspresikan di ranah privat dan sengaja dieksklusikan.17 Terkait dengan hal tersebut,
Ahmet T. Kuru menyatakan bahwa sekulerisme yang dianut Turki adalah sekulersime
Asertif.18
Identitas politik islam-revisionis muncul ke permukaan ketika Rafah Party terjun
ke politik, memenangkan pemilu, dan memimpin pemerintahan di tahun 1995.
Kepemimpinanya kemudian diteruskan oleh Fazilet Party dan disempurnakan oleh AK
Party yang memenangkan pemilu pada tahun 2002 dan memimpin pemerintahan sejak
tahun 2003 hingga saat ini.19 Walaupun demikian, islamis-revisionis sebenarnya telah
muncul sejak 1970an yang ditandai dengan munculnya Milli Selamet Partisi dan Milli
Nizam Partisi yang pada waktu itu masih belum diperhitungkan.20
Adapun, menurut Sandhiyudha, kebangkitan identitas politik islam-revisionis di
Turki tidak dapat dilepaskan dari pandangan Fethullah Gulen, seorang ulama paling
berpengaruh di Turki, yang memandang bahwa Islam merupakan aturan sistematis yang
terkait dengan individu, sosial, politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya. 21
Berpolitik pula menjadi seolah keharusan, karena menurut Gullen, banyak
permasalahan dan tantangan yang dihadapi seorang muslim di dunia saat ini berkaitan

dengan politik. Walaupun demikian, menurutnya, visi memaksakan Islam menjadi
identitas totaliter seperti memaksakan peraturan atau larangan pada segmen masyarakat
tertentu, sepenuhnya menentang semangat islam.22
Dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa kemunculan identitas politik sekuler
dan islam-revisionis memiliki segmentasi waktu yang berbeda. Identitas politik sekuler
menguat sejak masa pemerintahan Mustafa Kemal, yaitu pada awal berdirinya republik.
Sedangkan, identitas islam-revisionis mewarnai perpolitikan Turki ketika Refah Party
memenangkan pemilu dan memimpin pemerintahan di tahun 1995 dan menguat ketika
AK Party memenangkan pemilu dan memimpin Turki sejak 2003. Lebih lanjut, menurut
16 Yucel Bozdaglioglu. 35
17 Yucel Bozdaglioglu. 47
18 Arya Sandhiyudha, 96
19 Galip Dalay dan Dov Friedman, “The AK Party and The Evolution of Turkish Political Islam’s Foreign
Policy”, Insight Turkey, Vol. 15, No. 2, (2013): hlm. 124/123-120
20 Ali Carkoglu, “The Rise of New Generation Por-Islamist in Turkey”, 127/123-156
21 Arya Sandhiyudha, 113
22 Arya Sandhiyudha, 114

5


Ersin Kalaycioglu, dalam perjalanan politik turki terdapat beberapa fase yang satu sama
lain mempengaruhi identitas politik turki. Fase pertama, fase keruntuhan Turki Ustmani
hingga kemerdekaan Republik Turki. Fase kedua, fase berdirinya Republik Turki dan
revolusi budaya. Fase ketiga, fase demokrasi versi Ataturk (Mustafa Kemal Pasha). Fase
keempat, fase era kedua republik (1961-1990). Terakhir, fase kelima, fase perubahan era
pemerintahan baru, saat warna relijius menonjol dan mengalahkan warna kemalis di
akar rumput.23
2.2 Dinamika Perubahan Kebijakan Luar Negeri Turki
Seiring dengan perjalanan waktu, telah terjadi perubahan arah kebijakan luar
negeri Turki, yang utamanya mengenai orientasi kedekatan dan keberpihakan. Di suatu
saat, Turki pernah begitu dekat dengan Barat, pernah begitu dekat dengan Negara Arab,
dan berusaha dekat dengan keduanya, juga memainkan peran di kancah global.
Di masa kepemimpinan sekularis, dengan identitas politik sekuler, Turki
memiliki kedekatan dengan Barat dan seolah menjaga jarak dengan Timur Tengah. Hal
ini dipengaruhi oleh pandangan Ataturk bahwa modernisasi berarti westernisasi.
Pandangan ini kemudian menguatkan keinginan Turki untuk diidentifikasikan sebagai
Barat, yang salah satu upayanya adalah dengan menjalin kedekatan dengan Barat. 24
Adapun, dalam hal Turki memiliki kecenderungan menjaga jarak dengan dunia Islam
dan Timur Tengah, halini terjadi karena Turki menganggap bahwa Islam, sebagai agama
dan ideologi, merupakan ancaman bagi modernisasi Turki.25

Ketika Rafah Party memimpin Turki mulai tahun 1996, menurut Dalay dan
Friedman, Turki memandang bahwa dunia Barat dan dunia Islam merupakan dunia yang
saling bertentangan.26 Lanjutnya, bagi Turki di masa itu, sistem internasional didominasi
dan hanya melayani kepentingan dunia Barat. Oleh sebab itu, kebijakan luar negeri
Turki seolah memiliki tujuan untuk menjadikan dunia Islam struktur tandingan dan
independen terhadap dunia Barat. Hal ini ditunjukan dengan upaya Turki untuk
menjalin kedekatan dengan negara-negara Arab, menginisiasi adanya sebuah islamic
common market hingga mata uang yang sama, dan membentuk Developing-8, kelompok
tandingan dari G-8. Adapun menurut Dalay dan Friedman, inisiasi-inisiasi ini didasari
23 Arya Sandhiyudha, 37
24 Yucel Bozdaglioglu, 58
25 Yucel Bozdaglioglu, 54
26 Galip Dalay dan Dov Friedman, 124

6

oleh semangat historis bahwa Turki pernah menjadi pemimpin dunia Islam di masa
lampau.27
Ketika AK Party memimpin Turki mulai tahun 2003, Turki menunjukan
kebijakan yang cukup inklusif. Pada waktu itu, Turki memandang bahwa penting untuk
bergabung dengan Eropa, bahkan, Perdana Mentri Erdogan dan Presiden Gul bersamasama berusaha keras untuk dapat mengakselerasi proses keanggotaan di EU.28 Di sisi
lain, Turki juga mencoba menerapkan kebijakan yang mereka sebut sebagai “zeroproblem policy with neighbors” dengan menyelesaikan permasalah dengan negara di
sekitarnya, seperti dengan Yunani, Cyprus, dan negara-negara di Timur Tengah. 29 Selain
itu, Turki juga seolah berusaha menjadi pemain global yang lebih aktif, Turki
melebarkan sayap kerja sama ekonominya, menjadi mediator atau fasilitator dalam
penyelesaian beberapa konflik dan menggapai posisi penting dalam beberapa organisasi
tingkat regional maupun global.30
Adapun, hubungan Turki dengan Timur Tengah dapat dinilai terus membaik. Hal
ini menurut Kilic Bugra Kanat, ditunjukan oleh tiga hal.31 Pertama, Turki memainkan
peran yang lebih aktif di institusi regional atau multilateral lain yang berhubungan
dengan Timur Tengah, seperti OKI dan Liga Arab. Kedua, Turki berusaha maksimal
melakukan penyelesaian sengketa dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara di
Timur Tengah, seperti Suriah. Ketiga, Turki menjalin hubungan kerja sama ekonomi dan
politik dengan beberapa negara Timur Tengah yang lain, seperti Yordania, Arab Saudi,
dan Qatar.

2.3 Analisa: Identitas dan Kebijakan Luar Negeri Turki

27 Galip Dalay dan Dov Friedman, 125
28 Kilic Bugra Kanat, “AK Party’s Foreign Policy: Is Turkey Turning Away from the West”, Insight Turkey,
Vol. 12, No. 1 (2010): hlm. 207/205-225
29 Kilic Bugra Kanat, 206
30 Galip Dalay dan Dov Friedman, 130
31 Kilic Bugra Kanat, 211

7

Di bagian pertama pembahasan telah dijelaskan mengenai perubahan identitas
politik Turki dari waktu ke waktu. Di bagian berikutnya telah dijelaskan bahwa arah
kebijakan luar negeri Turki juga berubah dari waktu ke waktu. Dan di bagian ini akan
dijelaskan mengenai keterkaitan antara bagian pertama dan kedua, antara perubahan
identitas dan perubahan arah kebijakan luar negeri turki. Di mana, untuk menguji hal
tersebut, akan digunakan teori yang telah dikemukakan sebelumnya di dalam kerangka
teori.
Menurut Teori, identitas dan value, yang memiliki hubungan yang constitutive,
akan mempengaruhi prefensi aktor, dan preferensi aktor akan mempengaruhi action.
Dalam hal ini, aktornya adalah Turki, identitas dan value-nya adalah apa yang
dimunculkan oleh kelompok dominan yang menguasai panggung perpolitikan, dan
preferensi atau action-nya adalah kecenderungan arah atau kebijakan luar negeri itu
sendiri. Sehingga, dinamika perebutan kekuasaan akan berarti dinamika perubahan
identitas, yang nantinya akan berimplikasi pada perubahan arah kebijakan luar negeri.
Pertama akan dibahas mengenai bagaimana identitas itu muncul dengan value
tertentu, sehingga memunculkan preferensi politik tertentu. Menurut teori yang
digunakan dalam makalah ini, identitas dan value muncul dipengaruhi oleh kelompok
elit yang bertanggung jawab mengambil kebijakan, juga setelah melewati kontestasi
tertentu. Value yang muncul adalah value yang dominan, yang lahir dari kelompok
identitas yang dominan atau karena diadopsi dari beberapa value yang dianggap baik.
Di Turki, identitas dan value itu muncul diperjuangkan oleh sekelompok orang yang
tergabung dalam kelompok seperti partai politik yang berebut kekuasaan dengan
kontestasi tertentu. Di Turki ada banyak kelompok identitas, seperti Sekularis, Islamis,
dan Etnis Kurdi, masing-masing memiliki partai yang memperjuangkan identitas dan
value-nya masing-masing melalui kontestasi tertentu seperti pemilu. Dahulu, di Turki
ada kecenderungan value dominan adalah value yang berasal dari kelompok yang
dominan, dibuktikan dengan adanya perubahan arah kebijakan yang mencolok ketika
terjadi perubahan kepemimpinan dengan perbedaan identitas yang mencolok. Namun
belakangan, value dominan nampaknya value yang merupakan akumulasi dari beberapa
value lain yang dinilai baik. Pasalnya, arah kebijakan luar negeri, yang dapat dikatakan
sebagai preferensi atau action, cenderung lebih inklusif dan akomodatif.

8

Kedua, dalam makalah dijelaskan bahwa identitas politik Turki mengalami
perubahan dari sekuler ke islam-revisionis. Di mana, hal ini diiringi dengan adanya
perubahan arah kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, keduanya memiliki keterkaitan,
yaitu, ketika identitas politik yang ditonjolkan oleh kelompok dominan adalah sekuler,
kebijakan luar negeri Turki cenderung pro-Barat. Oleh sebab sekulerisme di Turki
merupakan salah satu nilai yang diambil dari Barat, sebagai upaya Turki melakukan
modernisasi yang berarti westernisasi pada waktu itu. Sedangkan, di sisi lain, ketika
identitas yang ditonjolkan oleh kelompok dominan adalah islam-revisionis, kebijakan
luar negeri Turki cenderung pro-Dunia Islam. Para pendukung identitas ini beranggapan
bahwa kedekatan dengan Barat membawa kegagalan dan bahwa struktur islam harus
menyaingi struktur Barat yang dianggap mendominasi. Hal lain yang mendorong ini
terjadi adalah catatan historis bahwa Turki merupakan pemimpin dunia Islam di masa
kekhalifahan Turki Ustmani.
Walaupun demikian, identitas islam-revisionis nyatanya tak selalu menampilkan
image yang hanya pro Dunia Islam, karena di Turki, dalam satu dekade terakhir, arah
kebijakan luar negeri Turki cenderung inklusif. Turki saat ini dinilai dapat memainkan
peran baik di tingkat regional, di antara Barat dan Dunia Islam, maupun secara global.
Hal ini ditunjukan dengan posisinya di institusi regional maupun global, perannya
sebagai mediator dan fasilitator dalam beberapa konflik, dan upayanya untuk menjalin
kerja sama ekonomi yang intensif dengan negara-negara di Afrika dan Amerika Latin.
Arah kebijakan luar negeri yang cenderung inklusif dan dapat dikatakan akomodatif
menurut analisa yang pertama adalah karena value dominan yang mempengaruhi
preferensi dan action adalah value yang sifatnya merupakan adopsi atau akumulasi dari
value-value lain yang baik.

9

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setiap identitas memiliki value tersendiri, identitas dan value ini berkontestasi
dengan identitas dan value yang lain, sehingga menghasilkan value yang dominan.
Dalam hal ini, value yang dominan adalah value yang dipilih di antara value yang lain
atau merupakan akumulasi value yang dinilai baik. Value dominan ini akan menentukan
preferensi yang nantinya akan mempengaruhi action. Menggunakan alur berpikir
tersebut, makalah ini melihat proses perubahan identitas dan kontestasi value di Turki
yang kemudian mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Turki. Ada beberapa identitas
di Turki, tetapi yang dominan dan muncul ke permukaan adalah sekuler dan islamrevisionis. Identitas sekuler muncul di awal berdirinya Republik Turki hingga kemudian
mulai pudar dan tergantikan oleh islam-revisionis di pertengahan tahun 1990an. Kedua
identitas ini memunculkan preferensi dan action dalam kebijakan luar negeri yang
ekstrem, sekularis cenderung pro-Barat, sedangkan islam-revisionis cenderung proDunia Islam. Akan tetapi, muncul kemudian kekuatan baru, yaitu AK Party, yang secara
identitas merupakan kekuatan islam-revisionis akan tetapi secara value berbeda dengan
islam-rivisionis sebelumnya. Kita dapat mengatakan bahwa value yang dominan
merupakan akumulasi value yang baik: inklusif dan akomodatif. Hal ini tergambar dari
preferensi dan action-nya dalam kebijakan luar negeri, yang tidak anti-Barat, pro-Dunia
Islam, dan berusaha untuk berpartisipasi aktif di kancah global. Pada intinya, dengan
menggunakan kerangka teori yang disusun, dengan penuh kekurangan, makalah ini
mampu melihat bagaimana pengaruh perubahan identitas terhadap perubahan kebijakan
luar negeri.

10

Daftar Pustaka
Ali Carkoglu, “The Rise of New Generation Por-Islamist in Turkey”, Insight Turkey,
Vol. 13, No. 5, (2012): halaman123-156
Ashizawa, Kuniko. “When Identity Matters: State Identity, Regional InstitutionBuilding, and Japanese Foreig Policy”, International Studies Review, Vol. 10, No,
3 (2008). halaman 571-598
Bozdaglioglu, Yucel. (2003). Turkish Foreign Policy and Turkish Identity. New York:
Routledge
Fierke, K. M. (2010). “Constructivism” dalam Dunne et. al. (eds.), International
Relations Theories. Oxford: Oxford University Press
Galip Dalay dan Dov Friedman, “The AK Party and The Evolution of Turkish Political
Islam’s Foreign Policy”, Insight Turkey, Vol. 15, No. 2, (2013): halaman 123-120
Kilic Bugra Kanat, “AK Party’s Foreign Policy: Is Turkey Turning Away from the
West”, Insight Turkey, Vol. 12, No. 1 (2010): halaman 205-225
Reus-Smit, Christian. (2005). “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et. al. (eds.),
Theories of International Relations 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan
Sandhiyudha, Arya. (2013). Renovasi Negeri Madani: Inspirasi Turki untuk Indonesia.
Bekasi: Duta Media Tama
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. (2010). International Relations Theory 4th ed.
NewYork: Pearson

11