Chapter II Karakteristik Sifat Kimia dan Fisik Sub Grup Tanah Ultisol di Wilayah Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Ultisol
Kata Ultisol berasal dari bahasa latin “ultimus” yang berarti terakhir atau
pada kasus-kasus Ultisol, tanah yang mengalami pelapukan terbanyak dan hal
tersebut memperlihatkan pengaruh pencucian paling akhir. Terdapat kejenuhan
aluminium yang tinggi (Foth, 1995). Menurut Soil Survey Staff (2014)
menyebutkan bahwa tanah Ultisol mempunyai horizon argilik atau horizon
kandik, dengan kejenuhan basa (jumlah kation) kurang dari 35 % pada horizon
tanah yang lebih rendah.
Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai
tropika, mempunyai horizon argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat
tebal. Dalam legend of soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian
tanah laterik serta sebagian besar tanah podsolik, terutama tanah podsolik merah
kuning (Munir, 1996).
Ultisol dapat berkembang dari bahan induk, dari yang bersifat masam
hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen
masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya pada tingkat grup
berdasarkan batuan pembentuk tanah yaitu Hapludults mempunyai sebaran
terluas. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basabasa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Dari lima sub ordo dalam kelompok Ultisol, yang termasuk tanah-tanah
pertanian utama adalah Udults yaitu Ultisol yang terbentuk diwilayah basah,
dengan rezim kelembaban tanah udik atau perudik; Humults yaitu Ultisol didaerah
pegunungan dengan iklim lembab sampai agak kering, dengan kandungan humus
tinggi; Ustults yaitu Ultisol yang terdapat diwilayah agak kering sampai kering
yang miskin humus dengan rezim kelembaban tanah ustik; dan Aquults yaitu
Ultisol di tempat yang rendah dan basah, dimana air tanah dekat permukaan tanah,
dalam waktu yang lama dalam setahun (Subagyo, dkk., 2004).
Menurut Adiwiganda, dkk (1996) menyatakan bahwa berdasarkan sistem
klasifikasi USDA, telah ditemukan 15 famili tanah pada areal kelapa sawit di
Indonesia, untuk tanah Ultisol terdapat 6 famili tanah yaitu Typic Hapludults,
Typic Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults,
dan Typic Paleaquults.
Typic Hapludults merupakan sub grup tanah Ultisol yang diperoleh dari
kunci sub ordo yaitu Udults, dengan kunci grup hapludults yang artinya sesuai
pada pilihan terakhir dari jenis grup sebelumnya. Typic Paleudults adalah sub
grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Udults dengan kunci grup
Paleudults yang mempunyai distribusi liat yang persentasenya tidak menurun
sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum didalam kedalaman 150 cm dari
permukaan tanah. Psammentic Paleudults adalah sub grup tanah Ultisol yang
mempunyai sub ordo Udults yang merupakan Paleudults lain yang mempunyai
tekstur pasir halus berlempung atau lebih kasar di seluruh horizon argilik atau
horizon argilik yang mempunyai lamela dalam sebagian atau seluruh 100 cm
bagian atas (Soil Survey Staff, 2014)
Typic Plinthudults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub
ordo Udults dengan grup plinthudults yang berarti Udults yang mempunyai plintit
yang membentuk fase kontinyu atau menyusun lebih dari setengah matriks dari
sub horizon didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Typic Ochraquults
adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults dengan kunci
grup Ochraquults yang mempunyai epipedon okrik. Typic Paleaquults adalah sub
grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults mempunyai distribusi liat
yang persentasenya tidak menurun sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum
didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah.
Tanah Ultisol yang termasuk kedalam grup Plinthudults artinya Ultisol
yang berada didaerah dengan regim kelembaban tanah udic, yang mana pada satu
atau lebih horizon tanahnya pada antara 0-150 cm terdapat plinthite. Plinthite jika
teroksidasi akan membentuk konkresi besi bahkan batu besi (ironstone) yang
dapat menganggu sistem perakaran tanaman.
Faktor-faktor pembentuk tanah yang paling dominan pada pembentukan
Ultisol adalah iklim dengan rata-rata curah hujan dari 2.500 – 3.500 mm per
tahun, terdapat lebih dari tiga bulan kering Af-Am (koppen) serta A, B, dan C.
bahan induk umumnya berupa tuff masam, batu pasir serta bahan-bahan endapan
dari pasir masam. Topografi atau bentuk permukaan tanahnya bervariasi dari
bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian diatas muka laut lebih dari 3 m.
Dan vegetasi utama umumnya berupa hutan tropika basah, padang alang-alang,
melastoma dan paku-pakuan (Munir, 1995).
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Ultisol
Tekstur tanah
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk
tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya
mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir, sedangkan tanah Ultisol dari
batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus
seperti liat dan liat halus. Ultisol mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan
bentuk gumpal bersudut. Komposisi mineral pada bahan induk tanah
mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk
kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur
yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan
andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang
halus (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih
besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas
permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur
hara. Tanah-tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat
mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air
dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam
reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 2003).
Tekstur atau ukuran besar butir, bukan saja berpengaruh terhadap
penetapan klasifikasi tanah, tetapi juga berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Tanah-tanah yang terbentuk dari batuan sedimen masam
dicirikan oleh tekstur yang bervariasi dari pasir hingga liat. Suharta (2007)
mengatakan bahwa batuan sedimen masam di provinsi Kalimantan Barat terdiri
atas batu pasir, batu lanau, dan batu liat. Batu pasir dicirikan oleh kandungan pasir
yang tinggi, batu liat dengan kandungan liat yang tinggi, dan batu lanau dengan
kandungan debu yang tinggi. Fraksi pasir, debu dan liat mempunyai keeratan
hubungan, bahwa dengan meningkatnya kandungan liat dan atau debu, maka akan
diikuti oleh penurunan kandungan pasir dan atau sebaliknya.
Tanah merah dapat mempunyai tekstur liat, dan tergolong pada liat berat
dengan kandungan fraksi liat >60%, hingga lempung berpasir dengan kandungan
fraksi pasir 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari
bahan volkan andesitik dan gamping. Ultisol dari bahan tufa mempunyai
kejenuhan aluminium yang rendah pada lapisan atas (5-8%), tetapi tinggi pada
lapisan bawah (37-78%). Tampaknya kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol
berhubungan erat dengan pH tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Disamping kejenuhan basa ada pula nilai saingan lain yaitu kejenuhan Al
dan H. Nilai ini menunjukkan suatu kondisi dimana kompleks jerapan tanah
dipenuhi oleh Al atau oleh basa-basa dapat ditukar. Bila tanah dipenuhi oleh basabasa terlarut, maka kompleks jerapan tanah akan mampu memberikan unsur hara
yang cukup bagi pertumbuhan tanaman, tetapi sebaliknya bila kompleks jerapan
tanah dipenuhi oleh Al dan H, maka tanah akan bersifat masam dan nilai Fe dan
Mn akan tinggi dan tanaman tidak dapat mampu tumbuh karena keracunan Al dan
Fe serta Mn, sehingga tanaman tumbuh tidak normal dan kerdil. Jadi nilai
kejenuhan Al dan H selalu berlawanan dengan nilai kejenuhan basa. Nilai
kejenuhan asam di Sangatta berkisar antara 2 – 35 persen, dan nilainya selalu
terbalik dengan nilai kejenuhan basa (Sudaryono, 2009).
Kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol menunjukkan nilai sangat tinggi
baik untuk tanah-tanah yang terbentuk dari batuan pasir maupun batuan liat.
Kejenuhan aluminium meningkat sesuai dengan kedalaman tanah. Perbedaan
antara batuan pasir dan batuan liat, terletak pada jumlah aluminium dapat
dipertukarkan (Al-dd) yang lebih tinggi pada tanah dari batuan liat dibandingkan
dengan tanah dari batuan pasir (Suharta dan Prasetyo, 2008).
Salah satu ciri dari tanah-tanah yang terbentuk dari batuan masam adalah
tingginya Aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd). Kandungan Al yang tinggi
dapat bersifat toksik bagi pertumbuhan tanaman. Untuk mengetahui dominasi
kation Al didalam tanah ditunjukkan dengan nilai kejenuhan aluminium
(Suharta, 2007).
Bahan organik didalam tanah
Bahan organik merupakan limbah tumbuhan, hewan, dan manusia. Bahan
organik berperan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung
pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan
tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang
air, meningkatkan pori-pori tanah, dan memperbaiki media perkembangan
mikroba tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah
mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi bahan organik
berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara
mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman (Kasno, 2009).
Bahan organik merupakan bagian penting dalam menciptakan kesuburan
tanah, baik secara fisik maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik adalah
bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Sekitar setengah dari kapasitas
tukar kation berasal dari bahan organik. Bahan organik merupakan sumber hara
tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar
organisme tanah. Dalam memainkan peranannya bahan organik sangat ditentukan
oleh sumber dan susunannya, oleh kelancaran dekomposisinya, serta hasil
dekomposisi itu sendiri (Hakim dkk, 1986).
Rendahnya kandungan bahan organik tanah Ultisol disebabkan oleh
tingginya curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi
kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat.
Pada skala iklim mikro, curah hujan merupakan faktor iklim yang paling berkuasa
yang mempengaruhi jenis tanah di alam tropika. Pengaruh utama curah hujan
pada tanah adalah pelapukan, perlindian dan pengembangan tanah (Utomo, 2008).
Menurut Nita, dkk (2014) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya persen bahan
organik di dalam tanah dipengaruhi oleh sumber bahan organik yang berupa
jaringan tanaman dan biota tanah.
Kandungan bahan organik pada tanah Ultisol diwilayah Sangatta
umumnya rendah (0,67-1,57)% akibat dari pencucian basa berlangsung intensif,
dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah yang mempunyai horizon kandik,
kesuburan alami hanya ditentukan pada bahan organik di lapisan atas, sehingga
kapasitas pertukaran kation hanya tergantung pada kandungan bahan organik dan
fraksi liat (Sudaryono, 2009).
Karbon adalah komponen utama dari bahan organik. Pengukuran Corganik secara tidak langsung dapat menentukan bahan organik melalui
penggunaan faktor koreksi tertentu. Faktor yang selama beberapa tahun ini
digunakan adalah faktor Van Bemmelen yaitu 1,724 dan di dasarkan pada asumsi
bahwa bahan organik mengandung 58% karbon. Beberapa studi menunjukkan
bahwa kadar C-organik dalam bahan organik cukup bervariasi didalam tanah.
Suatu penelitian menemukan bahwa lapisan tanah bawah (subsoil) memilki faktor
yang lebih besar dari permukaan tanah. Permukaan tanah biasanya memiliki
faktor 1,8 hingga 2,0. Lapisan tanah bawah sekitar 2,5 (Mukhlis, 2014).
C-organik tanah merupakan akumulasi dari sisa tanaman maupun hewan
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali, umumnya
pada tanah yang subur kandungan C-organik sebesar 4-5% dari total berat tanah.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa C-organik tanah sangat
mempengaruhi tinggi rendahnya kapasitas tukar kation. Sekitar setengah nilai
KTK tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik dapat meningkatkan
kapasitas tukar kation dua sampai tiga puluh kali lebih besar daripada koloid
mineral yang meliputi 30-90 % dari tenaga jerap suatu tanah mineral. Bahan
organik akan menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan
yang dapat menahan unsur hara dan air sehingga kemampuan tanah untuk
mengikat unsur-unsur hara meningkat (Nugroho dan Istianto, 2009).
Keeratan hubungan antara C-organik dengan sifat kimia tanah lainnya
menunjukkan korelasi positif sangat nyata dengan KTK tanah. Kandungan Corganik juga berkorelasi positif sangat nyata dengan kandungan liat, N, P, dan K
potensial, Mg-tukar, K-tukar serta Al-dd. Sedangkan dengan kejenuhan basa
berkorelasi negatif sangat nyata (Suharta, 2007).
Nitrogen tanah
Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5 %
bobot tanaman dan berfungsi terutama dalam pembentukan protein. Unsur ini
bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan mudah hilang baik lewat
volatilisasi (gas N2) maupun lewat pencucian (NO3-). Di atmosfer unsur N
merupakan unsur dominan karena merupakan 80 % dari gas yang ada, tetapi
bentuk gas ini tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Pemanfaatannya hanya dapat dilakukan lewat bantuan mikrobia pengikatnya
(fiksasi), yang mengubah bentuk N2 menjadi ammonium (NH4+) yang tersedia
bagi tanaman, baik lewat mekanisme simbiotik maupun non simbiotik
(Hanafiah, 2005).
Bersama unsur fosfor (P) dan kalium (K), nitogen (N) merupakan unsur
hara yang mutlak dibutuhkan oleh tanaman. Bahan tanaman kering mengandung
sekitar 2 sampai 4 % N, jauh lebih rendah dari kandungan C yang berkisar 40 %.
Namun hara N merupakan komponen protein (asam amino) dan khlorofil. Bentuk
ion yang diserap oleh tanaman umumnya dalam bentuk NO3- dan NH4+ bagi
tanaman padi sawah. Begitu besarnya peranan N bagi tanaman, maka
penyediaannya sangat diperhatikan sekali oleh para petani. Surnber N utama tanah
adalah dari bahan organik melalui proses mineralisasi NH4+ dan NO3¯ . Selain itu
N dapat juga bersumber dan atmosfir (78 % N) melalui curah hujan (8 -10 % N
tanah), penambatan (fiksasi) oleh mikroorganisme tanah baik secara sembiosis
dengan tanaman maupun hidup bebas. Walaupun sumber ini cukup banyak secara
alami, namun untuk memenuhi kebutuhan tanaman maka diberikan secara sengaja
dalam bentuk pupuk, seperti Urea, ZA, dan sebagainya maupun dalam bentuk
pupuk kandang ataupun pupuk hijau (Mukhlis dan Fauzi, 2003).
Winarso (2005) menyatakan bahwa kadar N anorganik pada tanah yang
ditambahkan bahan organik lebih besar dibandingkan dengan tanah tanpa
penambahan bahan organik menunjukan adanya proses atau reaksi mineralisasi
atau adanya penambahan N anorganik hasil pelapukan bahan organik. Sebaliknya
apabila tanah yang ditambah bahan organik terjadi penurunan N organik apabila
dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan
terjadinya immobilisasi atau pengambilan N anorganik oleh mikroorganisme
tanah.
Bahan organik adalah merupakan sumber N utama di dalam tanah dan
berperan cukup besar dalam proses perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah.
Kadar N tanah biasanya dikategorikan sebagai indikator untuk menentukan dosis
pemupukan Urea. Fungsi nitrogen dalam tanah adalah untuk memperbaiki
pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N,
berwarna lebih hijau. Gejala kekurangan N, tanaman tumbuh kecil atau kerdil,
pertumbuhan akar terbatas dan daunnya kuning. Namun khusus untuk tanah yang
masih asli, N total tanah lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang sudah
digarap atau terbuka (Sudaryono, 2009).
Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh
jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya.
Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak
pula nitrogen yang mengalami mineralisasi sehingga akumulasi nitrogen di dalam
tanah semakin besar jumlahnya (Yulnafatmawita dkk, 2007).
Kehilangan nitrogen dalam bentuk gas lebih besar daripada kehilangan
yang disebabkan oleh pencucian. Kehilangan lain dapat juga berupa panen, tercuci
bersama air drainase dan terfiksasi oleh mineral. Kehilangan N juga akan
diperbesar lagi bila jumlah pupuk N yang diberikan ke dalam tanah cukup besar
dengan keadaan tanah yang reduksi. Kehilangan N dari urea yang diberikan pada
sawah yang keadaan airnya macak-macak akan lebih besar. Hilangnya N dari
tanah juga disebabkan karena digunakan oleh tanaman, N dalam bentuk NO3mudah dicuci oleh air hujan, banyak hujan sehingga N menjadi rendah dan tanah
yang memiliki tekstur pasir mudah melepaskan air sehingga N menjadi rendah
daripada tanah liat (Hakim dkk, 1986).
Fosfor tanah
Fosfor (P) merupakan unsur hara esensial bagi tanaman. Tidak ada unsur
lain yang dapat menggantikan fungsinya di dalam tanaman, sehingga tanaman
harus mendapatkan unsur hara P secara cukup untuk pertumbuhannya. Fungsi
penting fosfor didalam tanaman yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer
dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel serta proses-proses
yang lainnya (Sudaryono, 2009).
Pada umumnya fosfor di dalam tanah kebanyakan terdapat dalam bentuk
yang tidak tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap hara fosfor dalam bentuk
ion orthofosfat yakni H2PO4-, HPO42-, dan PO43-, dimana jumlah masing-masing
bentuk sangat tergantung pada pH tanah. Pada tanah-tanah yang bereaksi masam
lebih banyak dijumpai bentuk H2PO4- dan pada tanah alkalis adalah bentuk PO43-.
Berdasarkan kelarutannya dan ketersediaannya didalam tanah bentuk fosfor tanah
dapat dibedakan menjadi 1) fosfor yang larut di dalam air, yaitu bentuk yang larut
dan tersedia bagi tanaman, 2) bentuk Al-P, 3) bentuk Fe-P dan 4) bentuk Ca-P
(Damanik, dkk., 2011).
Ketersediaan fosfor yang terbaik adalah dalam kisaran dari 6 sampai 7.
Kalsium fosfat mulai mengendap pada sekitar pH 6,0. Diatas pH 7,0
kecenderungan untuk pembentukan apatit, lagi pula mengurangi kelarutan fosfor
atau ketersediaannya. Peningkatan pH diatas 7 juga menimbulkan OH- yang
cukup untuk bereaksi dengan HPO42- sehingga kurang cepat diambil oleh tanaman
dari H2PO4- (Foth, 1995).
Hara fosfor (P) merupakan masalah utama pada tanah-tanah yang bersifat
masam seperti Ultisol. Menurut hasil penelitian Nugroho dan Istianto (2009)
bahwa kandungan P-total pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm pada setiap
satuan lahan relatif tinggi berkisar 0,07 – 0,12%. Kondisi tersebut berkebalikan
dengan kandungan P-tersedia. Kandungan P-tersedia dalam tanah hanya 8,52 ppm
pada kedalaman 0-20 cm dan 7,11 ppm pada kedalaman 20-40 cm. Rendahnya
jumlah P-tersedia dalam tanah dikarenakan P terikat kuat oleh mineral Al dan Fe
membentuk ikatan Al-P dan Fe-P sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
Rendahnya status hara tanah disebabkan karena tingginya tingkat pencucian hara
yang terjadi sehingga unsur-unsur yang sifatnya basa (seperti Ca dan Mg) hilang
dan menyisakan unsur-unsur yang bersifat masam seperti Al dan Fe.
Kandungan P pada tanah Ultisol sangat rendah, baik tanah yang berasal
dari batuan pasir maupun dari batuan liat. Akan tetapi kandungan K menunjukkan
ada perbedaan yang nyata antara tanah dari batuan pasir di bandingkan dengan
tanah yang berasal dari batuan liat. Tanah dari batuan pasir dicirikan oleh
kandungan K sangat rendah sedangkan tanah dari batuan liat menunjukkan
kandungan K yang tinggi (Suharta dan Prasetyo, 2008).
Menurut penelitian Tambunan (2008) bahwa karakteristik tanah Ultisol di
Kebun Kwala Sawit menurut kedalaman yaitu pH sangat rendah sampai rendah
(4,20-5,50) dengan nilai relatif semakin besar menurut kedalaman, C/N sangat
rendah sampai sedang (0,17-9,42) dengan nilai relatif semakin kecil menurut
kedalaman, P tersedia sedang sampai tinggi (18,25-56,68 ppm) dengan nilai relatif
semakin besar menurut kedalaman, KTK termasuk sedang (12,50-23,60 me/100
g), kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah.
Kekurangan fosfat pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan
fosfat dari bahan induk tanah memang sudah rendah, atau kandungan fosfat
sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena di serap oleh unsur
lain seperti Al dan Fe. Ketersediaan P dalam tanah bagi tanaman di pengaruhi
oleh kemasaman tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Kalium tanah
Kalium diserap tanaman biasanya dalam bentuk K larut atau soluble K
(K+) yang berada dalam reaksi keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan (Ktukar) atau exchangeable K dan K tidak dapat dipertukarkan (K-tdd) atau nonexchangeable K. Bentuk kalium yang pertama biasanya disebut sebagai bentuk K
cepat tersedia karena bisa langsung diserap oleh akar tanaman, bentuk K yang
kedua merupakan K agak lambat tersedia, sedangkan bentuk K yang terakhir
merupakan K lambat dan tidak tersedia. Ketersediaan kalium bagi tanaman
tergantung aspek tanah, tanaman, dan variabel iklim. Aspek tanah antara lain
meliputi: jumlah dan jenis mineral liat, kapasitas tukar kation (KTK), daya sangga
tanah terhadap K, kelembaban, suhu, aerasi dan pH tanah (Nursyamsi dkk, 2007).
Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs
pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam
larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0,5-0,6% dari total K tanah. K
larutan tanah ditambah K-tukar merupakan K yang tersedia dalam tanah.
Ketersediaan K terkait dengan reaksi tanah dan status kejenuhan basa (KB). Pada
pH dan kejenuhan basa yang rendah berarti ketersediaan K juga rendah. Nilai
kritis K adalah 0,10 me/100 g tanah (setara 3,9 mg/100 g) atau sekitar 2-3%
jumlah basa tertukar (Hanafiah, 2005).
Ketersediaan K didalam tanah tergantung kepada proses dan dinamika
kalium dalam tanah terutama proses jerapan dan pelepasan. Bila konsentrasi hara
dalam larutan tanah meningkat (misal karena pupuk) maka hara segera dijerap
oleh tanah menjadi bentuk tidak tersedia (sementara waktu), proses ini disebut
sebagai jerapan (sorption). Sebaliknya bila konsentrasinya dalam larutan tanah
turun (misal karena diserap tanaman atau tercuci) maka hara terjerap segera lepas
(release) ke dalam larutan sehingga bisa diserap oleh tanaman, proses ini disebut
sebagai pelepasan (desorption). Apabila proses pelepasan lebih lambat daripada
proses jerapan maka ketersediaan kalium akan berkurang sehingga pertumbuhan
tanaman terganggu (Nursyamsi dkk, 2007).
Kapasitas tukar kation (KTK)
Kapasitas Tukar Kation (KTK) didefinisikan sebagai jumlah total adsorbsi
kation yang dapat ditukar, yang dinyatakan dalam miligram dalam 100 gram tanah
kering oven. Kapasitas tukar kation total tanah adalah jumlah total daerah tempat
penukaran baik koloid organik maupun koloid mineral. Kapasitas tukar kation
horizon tanah berkisar kurang dari 5 sampai lebih dari 200, tergantung pada
jumlah dan macam liat dan bahan organik (Foth, 1995).
Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan suatu koloid untuk
mengadsorpsi kation dan mempertukarkannya. Besarnya KTK suatu tanah
ditentukan oleh faktor-faktor berikut antara lain 1) tekstur tanah, tanah bertekstur
liat akan memilki nilai KTK lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur pasir.
Hal ini karena liat merupakan koloid tanah, 2) kadar bahan organik, oleh karena
sebagian bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah,
maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar KTK tanah, 3) jenis
mineral liat yang terkandung di tanah, jenis mineral liat sangat menentukan
besarnya KTK tanah (Mukhlis dkk., 2011).
Kapasitas tukar kation menunjukkan kemampuan tanah untuk menyerap
dan mempertukarkan kation-kation oleh muatan negatif, yang pada tanah terutama
berasal dari koloid humus dan mineral liat. Penelitian Tambunan (2008)
menyatakan bahwa kapasitas tukar kation tanah Ultisol pada keenam profil adalah
sedang dengan pola distribusi cenderung meningkat ke horizon bawah. Kapasitas
tukar kation (KTK) pada tanah Ultisol termasuk dalam kategori rendah yaitu
kurang dari 24 me per 100 gram liat (Munir, 1995).
Kapasitas tukar kation tanah sangat beragam pada setiap jenis tanah.
Besarnya kapasitas tukar kation tanah di pengaruhi oleh sifat dan ciri tanh itu
sendiri antara lain (a) reaksi tanah, (b) tekstur tanah atau jumlah liat, (c) jenis
mineral liat, (d) bahan organik, dan (e) pengapuran dan pemupukan
(Hakim dkk, 1986)
Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation kurang
dari 16 cmol/ kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Kapasitas
tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah
masing-masing berkisar antara 2,90-7,50 cmol/kg, 6,11-13,68 cmol/kg, 6,10-6,80
cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong
tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol
dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar
kation yang tinggi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Penelitian Supriyadi (2007) menyatakan bahwa kapasitas tukar kation
(KTK) tanah berkorelasi dengan sifat tanah lainnya seperti liat, pasir, kandungan
bahan organik ataupun C-organik dan pH tanah. Biasanya tanah dengan tekstur
liat, bahan organik tinggi, pH tanah tinggi, tanah mempunyai KTK tinggi, karena
banyaknya muatan negatif tapak jerapan meningkat terutama dari muatan
tergantung pH sedangkan tanah dengan tekstur kasar cenderung rendah KTK nya.
Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pH rendah, hanya muatan
permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat
digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal
ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan
beberapa fraksi liat, H+ dan mungkin hidroksi Al terikat kuat, sehingga sukar
dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik
dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi Al yang
terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH)3. Dengan demikian terciptalah
tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan perubahanperubahan itu KTK pun meningkat (Hakim dkk, 1986).
Kejenuhan basa (KB)
Kejenuhan basa merupakan suatu sifat yang berhubungan dengan KTK.
Terdapat korelasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya
kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Kejenuhan basa ynag rendah berarti
terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap sebagai petunjuk tingkat
kesuburan tanah. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya
≥
80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 80 dan 50%, dan tidak
subur jika kejenuhan basanya ≤ 50%. Suatu tanah dengan kejenuh an basa sebesar
80% akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada
tanah yang sama dengan kejenuhan basa 50% (Tan, 1991). Kejenuhan basa
merupakan perbandingan antara jumlah basa yang dapat dipertukarkan dengan
kapasitas tukar kation tanah yang dinyatakan dalam persen. Basa-basa yang
dipertukarkan antara lain K+, Ca2+, Mg2+, dan Na+ (Mukhlis dkk., 2011).
Kejenuhan basa pada Typic Paleudults dikabupaten langkat di kebun
kwala sawit termasuk sangat rendah sampai rendah (10,70-69,03%), dengan pola
distribusi yang bervariasi menurut kedalaman tanah. Kejenuhan basa yang sangat
rendah ini diperoleh dari kation-kation tukar yang sedang dan kapasitas tukar
kation yang sedang. Kejenuhan basa yang rendah akibat pH yang rendah
(Tambunan, 2008).
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena
batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil
Taxonomy 2014. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation
<
16
cmol/kg
liat,
yaitu
Ultisol
yang
mempunyai
horizon
kandik
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Kejenuhan basa menggambarkan banyaknya unsur hara basa dalam tapak
jerapan tanah. Tingginya kejenuhan basa di tentukan oleh unsur hara basa yang
ada dalam tanah terutama Ca. Rendahnya kejenuhan basa kemungkinan
disebabkan adanya pencucian kation basa oleh air hujan. Dengan adanya
pencucian basa juga akan berpengaruh pada pH tanah yaitu reaksi tanah
cenderung asam (Suryadi, 2007).
Prasetyo dkk (2005) menyatakan bahwa kandungan basa-basa dapat tukar
didominasi oleh Ca dan Mg dalam suatu tanah merupakan salah satu ciri dari
tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan. Tanah yang terbentuk dari
batuan pasir maupun batuan liat mempunyai kejenuhan basa yang tergolong
sangat rendah yaitu
Tanah Ultisol
Kata Ultisol berasal dari bahasa latin “ultimus” yang berarti terakhir atau
pada kasus-kasus Ultisol, tanah yang mengalami pelapukan terbanyak dan hal
tersebut memperlihatkan pengaruh pencucian paling akhir. Terdapat kejenuhan
aluminium yang tinggi (Foth, 1995). Menurut Soil Survey Staff (2014)
menyebutkan bahwa tanah Ultisol mempunyai horizon argilik atau horizon
kandik, dengan kejenuhan basa (jumlah kation) kurang dari 35 % pada horizon
tanah yang lebih rendah.
Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai
tropika, mempunyai horizon argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat
tebal. Dalam legend of soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian
tanah laterik serta sebagian besar tanah podsolik, terutama tanah podsolik merah
kuning (Munir, 1996).
Ultisol dapat berkembang dari bahan induk, dari yang bersifat masam
hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen
masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya pada tingkat grup
berdasarkan batuan pembentuk tanah yaitu Hapludults mempunyai sebaran
terluas. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basabasa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Dari lima sub ordo dalam kelompok Ultisol, yang termasuk tanah-tanah
pertanian utama adalah Udults yaitu Ultisol yang terbentuk diwilayah basah,
dengan rezim kelembaban tanah udik atau perudik; Humults yaitu Ultisol didaerah
pegunungan dengan iklim lembab sampai agak kering, dengan kandungan humus
tinggi; Ustults yaitu Ultisol yang terdapat diwilayah agak kering sampai kering
yang miskin humus dengan rezim kelembaban tanah ustik; dan Aquults yaitu
Ultisol di tempat yang rendah dan basah, dimana air tanah dekat permukaan tanah,
dalam waktu yang lama dalam setahun (Subagyo, dkk., 2004).
Menurut Adiwiganda, dkk (1996) menyatakan bahwa berdasarkan sistem
klasifikasi USDA, telah ditemukan 15 famili tanah pada areal kelapa sawit di
Indonesia, untuk tanah Ultisol terdapat 6 famili tanah yaitu Typic Hapludults,
Typic Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults,
dan Typic Paleaquults.
Typic Hapludults merupakan sub grup tanah Ultisol yang diperoleh dari
kunci sub ordo yaitu Udults, dengan kunci grup hapludults yang artinya sesuai
pada pilihan terakhir dari jenis grup sebelumnya. Typic Paleudults adalah sub
grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Udults dengan kunci grup
Paleudults yang mempunyai distribusi liat yang persentasenya tidak menurun
sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum didalam kedalaman 150 cm dari
permukaan tanah. Psammentic Paleudults adalah sub grup tanah Ultisol yang
mempunyai sub ordo Udults yang merupakan Paleudults lain yang mempunyai
tekstur pasir halus berlempung atau lebih kasar di seluruh horizon argilik atau
horizon argilik yang mempunyai lamela dalam sebagian atau seluruh 100 cm
bagian atas (Soil Survey Staff, 2014)
Typic Plinthudults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub
ordo Udults dengan grup plinthudults yang berarti Udults yang mempunyai plintit
yang membentuk fase kontinyu atau menyusun lebih dari setengah matriks dari
sub horizon didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Typic Ochraquults
adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults dengan kunci
grup Ochraquults yang mempunyai epipedon okrik. Typic Paleaquults adalah sub
grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults mempunyai distribusi liat
yang persentasenya tidak menurun sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum
didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah.
Tanah Ultisol yang termasuk kedalam grup Plinthudults artinya Ultisol
yang berada didaerah dengan regim kelembaban tanah udic, yang mana pada satu
atau lebih horizon tanahnya pada antara 0-150 cm terdapat plinthite. Plinthite jika
teroksidasi akan membentuk konkresi besi bahkan batu besi (ironstone) yang
dapat menganggu sistem perakaran tanaman.
Faktor-faktor pembentuk tanah yang paling dominan pada pembentukan
Ultisol adalah iklim dengan rata-rata curah hujan dari 2.500 – 3.500 mm per
tahun, terdapat lebih dari tiga bulan kering Af-Am (koppen) serta A, B, dan C.
bahan induk umumnya berupa tuff masam, batu pasir serta bahan-bahan endapan
dari pasir masam. Topografi atau bentuk permukaan tanahnya bervariasi dari
bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian diatas muka laut lebih dari 3 m.
Dan vegetasi utama umumnya berupa hutan tropika basah, padang alang-alang,
melastoma dan paku-pakuan (Munir, 1995).
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Ultisol
Tekstur tanah
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk
tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya
mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir, sedangkan tanah Ultisol dari
batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus
seperti liat dan liat halus. Ultisol mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan
bentuk gumpal bersudut. Komposisi mineral pada bahan induk tanah
mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk
kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur
yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan
andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang
halus (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih
besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas
permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur
hara. Tanah-tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat
mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air
dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam
reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 2003).
Tekstur atau ukuran besar butir, bukan saja berpengaruh terhadap
penetapan klasifikasi tanah, tetapi juga berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Tanah-tanah yang terbentuk dari batuan sedimen masam
dicirikan oleh tekstur yang bervariasi dari pasir hingga liat. Suharta (2007)
mengatakan bahwa batuan sedimen masam di provinsi Kalimantan Barat terdiri
atas batu pasir, batu lanau, dan batu liat. Batu pasir dicirikan oleh kandungan pasir
yang tinggi, batu liat dengan kandungan liat yang tinggi, dan batu lanau dengan
kandungan debu yang tinggi. Fraksi pasir, debu dan liat mempunyai keeratan
hubungan, bahwa dengan meningkatnya kandungan liat dan atau debu, maka akan
diikuti oleh penurunan kandungan pasir dan atau sebaliknya.
Tanah merah dapat mempunyai tekstur liat, dan tergolong pada liat berat
dengan kandungan fraksi liat >60%, hingga lempung berpasir dengan kandungan
fraksi pasir 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari
bahan volkan andesitik dan gamping. Ultisol dari bahan tufa mempunyai
kejenuhan aluminium yang rendah pada lapisan atas (5-8%), tetapi tinggi pada
lapisan bawah (37-78%). Tampaknya kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol
berhubungan erat dengan pH tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Disamping kejenuhan basa ada pula nilai saingan lain yaitu kejenuhan Al
dan H. Nilai ini menunjukkan suatu kondisi dimana kompleks jerapan tanah
dipenuhi oleh Al atau oleh basa-basa dapat ditukar. Bila tanah dipenuhi oleh basabasa terlarut, maka kompleks jerapan tanah akan mampu memberikan unsur hara
yang cukup bagi pertumbuhan tanaman, tetapi sebaliknya bila kompleks jerapan
tanah dipenuhi oleh Al dan H, maka tanah akan bersifat masam dan nilai Fe dan
Mn akan tinggi dan tanaman tidak dapat mampu tumbuh karena keracunan Al dan
Fe serta Mn, sehingga tanaman tumbuh tidak normal dan kerdil. Jadi nilai
kejenuhan Al dan H selalu berlawanan dengan nilai kejenuhan basa. Nilai
kejenuhan asam di Sangatta berkisar antara 2 – 35 persen, dan nilainya selalu
terbalik dengan nilai kejenuhan basa (Sudaryono, 2009).
Kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol menunjukkan nilai sangat tinggi
baik untuk tanah-tanah yang terbentuk dari batuan pasir maupun batuan liat.
Kejenuhan aluminium meningkat sesuai dengan kedalaman tanah. Perbedaan
antara batuan pasir dan batuan liat, terletak pada jumlah aluminium dapat
dipertukarkan (Al-dd) yang lebih tinggi pada tanah dari batuan liat dibandingkan
dengan tanah dari batuan pasir (Suharta dan Prasetyo, 2008).
Salah satu ciri dari tanah-tanah yang terbentuk dari batuan masam adalah
tingginya Aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd). Kandungan Al yang tinggi
dapat bersifat toksik bagi pertumbuhan tanaman. Untuk mengetahui dominasi
kation Al didalam tanah ditunjukkan dengan nilai kejenuhan aluminium
(Suharta, 2007).
Bahan organik didalam tanah
Bahan organik merupakan limbah tumbuhan, hewan, dan manusia. Bahan
organik berperan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung
pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan
tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang
air, meningkatkan pori-pori tanah, dan memperbaiki media perkembangan
mikroba tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah
mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi bahan organik
berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara
mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman (Kasno, 2009).
Bahan organik merupakan bagian penting dalam menciptakan kesuburan
tanah, baik secara fisik maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik adalah
bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Sekitar setengah dari kapasitas
tukar kation berasal dari bahan organik. Bahan organik merupakan sumber hara
tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar
organisme tanah. Dalam memainkan peranannya bahan organik sangat ditentukan
oleh sumber dan susunannya, oleh kelancaran dekomposisinya, serta hasil
dekomposisi itu sendiri (Hakim dkk, 1986).
Rendahnya kandungan bahan organik tanah Ultisol disebabkan oleh
tingginya curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi
kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat.
Pada skala iklim mikro, curah hujan merupakan faktor iklim yang paling berkuasa
yang mempengaruhi jenis tanah di alam tropika. Pengaruh utama curah hujan
pada tanah adalah pelapukan, perlindian dan pengembangan tanah (Utomo, 2008).
Menurut Nita, dkk (2014) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya persen bahan
organik di dalam tanah dipengaruhi oleh sumber bahan organik yang berupa
jaringan tanaman dan biota tanah.
Kandungan bahan organik pada tanah Ultisol diwilayah Sangatta
umumnya rendah (0,67-1,57)% akibat dari pencucian basa berlangsung intensif,
dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah yang mempunyai horizon kandik,
kesuburan alami hanya ditentukan pada bahan organik di lapisan atas, sehingga
kapasitas pertukaran kation hanya tergantung pada kandungan bahan organik dan
fraksi liat (Sudaryono, 2009).
Karbon adalah komponen utama dari bahan organik. Pengukuran Corganik secara tidak langsung dapat menentukan bahan organik melalui
penggunaan faktor koreksi tertentu. Faktor yang selama beberapa tahun ini
digunakan adalah faktor Van Bemmelen yaitu 1,724 dan di dasarkan pada asumsi
bahwa bahan organik mengandung 58% karbon. Beberapa studi menunjukkan
bahwa kadar C-organik dalam bahan organik cukup bervariasi didalam tanah.
Suatu penelitian menemukan bahwa lapisan tanah bawah (subsoil) memilki faktor
yang lebih besar dari permukaan tanah. Permukaan tanah biasanya memiliki
faktor 1,8 hingga 2,0. Lapisan tanah bawah sekitar 2,5 (Mukhlis, 2014).
C-organik tanah merupakan akumulasi dari sisa tanaman maupun hewan
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali, umumnya
pada tanah yang subur kandungan C-organik sebesar 4-5% dari total berat tanah.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa C-organik tanah sangat
mempengaruhi tinggi rendahnya kapasitas tukar kation. Sekitar setengah nilai
KTK tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik dapat meningkatkan
kapasitas tukar kation dua sampai tiga puluh kali lebih besar daripada koloid
mineral yang meliputi 30-90 % dari tenaga jerap suatu tanah mineral. Bahan
organik akan menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan
yang dapat menahan unsur hara dan air sehingga kemampuan tanah untuk
mengikat unsur-unsur hara meningkat (Nugroho dan Istianto, 2009).
Keeratan hubungan antara C-organik dengan sifat kimia tanah lainnya
menunjukkan korelasi positif sangat nyata dengan KTK tanah. Kandungan Corganik juga berkorelasi positif sangat nyata dengan kandungan liat, N, P, dan K
potensial, Mg-tukar, K-tukar serta Al-dd. Sedangkan dengan kejenuhan basa
berkorelasi negatif sangat nyata (Suharta, 2007).
Nitrogen tanah
Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5 %
bobot tanaman dan berfungsi terutama dalam pembentukan protein. Unsur ini
bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan mudah hilang baik lewat
volatilisasi (gas N2) maupun lewat pencucian (NO3-). Di atmosfer unsur N
merupakan unsur dominan karena merupakan 80 % dari gas yang ada, tetapi
bentuk gas ini tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Pemanfaatannya hanya dapat dilakukan lewat bantuan mikrobia pengikatnya
(fiksasi), yang mengubah bentuk N2 menjadi ammonium (NH4+) yang tersedia
bagi tanaman, baik lewat mekanisme simbiotik maupun non simbiotik
(Hanafiah, 2005).
Bersama unsur fosfor (P) dan kalium (K), nitogen (N) merupakan unsur
hara yang mutlak dibutuhkan oleh tanaman. Bahan tanaman kering mengandung
sekitar 2 sampai 4 % N, jauh lebih rendah dari kandungan C yang berkisar 40 %.
Namun hara N merupakan komponen protein (asam amino) dan khlorofil. Bentuk
ion yang diserap oleh tanaman umumnya dalam bentuk NO3- dan NH4+ bagi
tanaman padi sawah. Begitu besarnya peranan N bagi tanaman, maka
penyediaannya sangat diperhatikan sekali oleh para petani. Surnber N utama tanah
adalah dari bahan organik melalui proses mineralisasi NH4+ dan NO3¯ . Selain itu
N dapat juga bersumber dan atmosfir (78 % N) melalui curah hujan (8 -10 % N
tanah), penambatan (fiksasi) oleh mikroorganisme tanah baik secara sembiosis
dengan tanaman maupun hidup bebas. Walaupun sumber ini cukup banyak secara
alami, namun untuk memenuhi kebutuhan tanaman maka diberikan secara sengaja
dalam bentuk pupuk, seperti Urea, ZA, dan sebagainya maupun dalam bentuk
pupuk kandang ataupun pupuk hijau (Mukhlis dan Fauzi, 2003).
Winarso (2005) menyatakan bahwa kadar N anorganik pada tanah yang
ditambahkan bahan organik lebih besar dibandingkan dengan tanah tanpa
penambahan bahan organik menunjukan adanya proses atau reaksi mineralisasi
atau adanya penambahan N anorganik hasil pelapukan bahan organik. Sebaliknya
apabila tanah yang ditambah bahan organik terjadi penurunan N organik apabila
dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan
terjadinya immobilisasi atau pengambilan N anorganik oleh mikroorganisme
tanah.
Bahan organik adalah merupakan sumber N utama di dalam tanah dan
berperan cukup besar dalam proses perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah.
Kadar N tanah biasanya dikategorikan sebagai indikator untuk menentukan dosis
pemupukan Urea. Fungsi nitrogen dalam tanah adalah untuk memperbaiki
pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N,
berwarna lebih hijau. Gejala kekurangan N, tanaman tumbuh kecil atau kerdil,
pertumbuhan akar terbatas dan daunnya kuning. Namun khusus untuk tanah yang
masih asli, N total tanah lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang sudah
digarap atau terbuka (Sudaryono, 2009).
Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh
jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya.
Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak
pula nitrogen yang mengalami mineralisasi sehingga akumulasi nitrogen di dalam
tanah semakin besar jumlahnya (Yulnafatmawita dkk, 2007).
Kehilangan nitrogen dalam bentuk gas lebih besar daripada kehilangan
yang disebabkan oleh pencucian. Kehilangan lain dapat juga berupa panen, tercuci
bersama air drainase dan terfiksasi oleh mineral. Kehilangan N juga akan
diperbesar lagi bila jumlah pupuk N yang diberikan ke dalam tanah cukup besar
dengan keadaan tanah yang reduksi. Kehilangan N dari urea yang diberikan pada
sawah yang keadaan airnya macak-macak akan lebih besar. Hilangnya N dari
tanah juga disebabkan karena digunakan oleh tanaman, N dalam bentuk NO3mudah dicuci oleh air hujan, banyak hujan sehingga N menjadi rendah dan tanah
yang memiliki tekstur pasir mudah melepaskan air sehingga N menjadi rendah
daripada tanah liat (Hakim dkk, 1986).
Fosfor tanah
Fosfor (P) merupakan unsur hara esensial bagi tanaman. Tidak ada unsur
lain yang dapat menggantikan fungsinya di dalam tanaman, sehingga tanaman
harus mendapatkan unsur hara P secara cukup untuk pertumbuhannya. Fungsi
penting fosfor didalam tanaman yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer
dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel serta proses-proses
yang lainnya (Sudaryono, 2009).
Pada umumnya fosfor di dalam tanah kebanyakan terdapat dalam bentuk
yang tidak tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap hara fosfor dalam bentuk
ion orthofosfat yakni H2PO4-, HPO42-, dan PO43-, dimana jumlah masing-masing
bentuk sangat tergantung pada pH tanah. Pada tanah-tanah yang bereaksi masam
lebih banyak dijumpai bentuk H2PO4- dan pada tanah alkalis adalah bentuk PO43-.
Berdasarkan kelarutannya dan ketersediaannya didalam tanah bentuk fosfor tanah
dapat dibedakan menjadi 1) fosfor yang larut di dalam air, yaitu bentuk yang larut
dan tersedia bagi tanaman, 2) bentuk Al-P, 3) bentuk Fe-P dan 4) bentuk Ca-P
(Damanik, dkk., 2011).
Ketersediaan fosfor yang terbaik adalah dalam kisaran dari 6 sampai 7.
Kalsium fosfat mulai mengendap pada sekitar pH 6,0. Diatas pH 7,0
kecenderungan untuk pembentukan apatit, lagi pula mengurangi kelarutan fosfor
atau ketersediaannya. Peningkatan pH diatas 7 juga menimbulkan OH- yang
cukup untuk bereaksi dengan HPO42- sehingga kurang cepat diambil oleh tanaman
dari H2PO4- (Foth, 1995).
Hara fosfor (P) merupakan masalah utama pada tanah-tanah yang bersifat
masam seperti Ultisol. Menurut hasil penelitian Nugroho dan Istianto (2009)
bahwa kandungan P-total pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm pada setiap
satuan lahan relatif tinggi berkisar 0,07 – 0,12%. Kondisi tersebut berkebalikan
dengan kandungan P-tersedia. Kandungan P-tersedia dalam tanah hanya 8,52 ppm
pada kedalaman 0-20 cm dan 7,11 ppm pada kedalaman 20-40 cm. Rendahnya
jumlah P-tersedia dalam tanah dikarenakan P terikat kuat oleh mineral Al dan Fe
membentuk ikatan Al-P dan Fe-P sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
Rendahnya status hara tanah disebabkan karena tingginya tingkat pencucian hara
yang terjadi sehingga unsur-unsur yang sifatnya basa (seperti Ca dan Mg) hilang
dan menyisakan unsur-unsur yang bersifat masam seperti Al dan Fe.
Kandungan P pada tanah Ultisol sangat rendah, baik tanah yang berasal
dari batuan pasir maupun dari batuan liat. Akan tetapi kandungan K menunjukkan
ada perbedaan yang nyata antara tanah dari batuan pasir di bandingkan dengan
tanah yang berasal dari batuan liat. Tanah dari batuan pasir dicirikan oleh
kandungan K sangat rendah sedangkan tanah dari batuan liat menunjukkan
kandungan K yang tinggi (Suharta dan Prasetyo, 2008).
Menurut penelitian Tambunan (2008) bahwa karakteristik tanah Ultisol di
Kebun Kwala Sawit menurut kedalaman yaitu pH sangat rendah sampai rendah
(4,20-5,50) dengan nilai relatif semakin besar menurut kedalaman, C/N sangat
rendah sampai sedang (0,17-9,42) dengan nilai relatif semakin kecil menurut
kedalaman, P tersedia sedang sampai tinggi (18,25-56,68 ppm) dengan nilai relatif
semakin besar menurut kedalaman, KTK termasuk sedang (12,50-23,60 me/100
g), kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah.
Kekurangan fosfat pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan
fosfat dari bahan induk tanah memang sudah rendah, atau kandungan fosfat
sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena di serap oleh unsur
lain seperti Al dan Fe. Ketersediaan P dalam tanah bagi tanaman di pengaruhi
oleh kemasaman tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Kalium tanah
Kalium diserap tanaman biasanya dalam bentuk K larut atau soluble K
(K+) yang berada dalam reaksi keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan (Ktukar) atau exchangeable K dan K tidak dapat dipertukarkan (K-tdd) atau nonexchangeable K. Bentuk kalium yang pertama biasanya disebut sebagai bentuk K
cepat tersedia karena bisa langsung diserap oleh akar tanaman, bentuk K yang
kedua merupakan K agak lambat tersedia, sedangkan bentuk K yang terakhir
merupakan K lambat dan tidak tersedia. Ketersediaan kalium bagi tanaman
tergantung aspek tanah, tanaman, dan variabel iklim. Aspek tanah antara lain
meliputi: jumlah dan jenis mineral liat, kapasitas tukar kation (KTK), daya sangga
tanah terhadap K, kelembaban, suhu, aerasi dan pH tanah (Nursyamsi dkk, 2007).
Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs
pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam
larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0,5-0,6% dari total K tanah. K
larutan tanah ditambah K-tukar merupakan K yang tersedia dalam tanah.
Ketersediaan K terkait dengan reaksi tanah dan status kejenuhan basa (KB). Pada
pH dan kejenuhan basa yang rendah berarti ketersediaan K juga rendah. Nilai
kritis K adalah 0,10 me/100 g tanah (setara 3,9 mg/100 g) atau sekitar 2-3%
jumlah basa tertukar (Hanafiah, 2005).
Ketersediaan K didalam tanah tergantung kepada proses dan dinamika
kalium dalam tanah terutama proses jerapan dan pelepasan. Bila konsentrasi hara
dalam larutan tanah meningkat (misal karena pupuk) maka hara segera dijerap
oleh tanah menjadi bentuk tidak tersedia (sementara waktu), proses ini disebut
sebagai jerapan (sorption). Sebaliknya bila konsentrasinya dalam larutan tanah
turun (misal karena diserap tanaman atau tercuci) maka hara terjerap segera lepas
(release) ke dalam larutan sehingga bisa diserap oleh tanaman, proses ini disebut
sebagai pelepasan (desorption). Apabila proses pelepasan lebih lambat daripada
proses jerapan maka ketersediaan kalium akan berkurang sehingga pertumbuhan
tanaman terganggu (Nursyamsi dkk, 2007).
Kapasitas tukar kation (KTK)
Kapasitas Tukar Kation (KTK) didefinisikan sebagai jumlah total adsorbsi
kation yang dapat ditukar, yang dinyatakan dalam miligram dalam 100 gram tanah
kering oven. Kapasitas tukar kation total tanah adalah jumlah total daerah tempat
penukaran baik koloid organik maupun koloid mineral. Kapasitas tukar kation
horizon tanah berkisar kurang dari 5 sampai lebih dari 200, tergantung pada
jumlah dan macam liat dan bahan organik (Foth, 1995).
Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan suatu koloid untuk
mengadsorpsi kation dan mempertukarkannya. Besarnya KTK suatu tanah
ditentukan oleh faktor-faktor berikut antara lain 1) tekstur tanah, tanah bertekstur
liat akan memilki nilai KTK lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur pasir.
Hal ini karena liat merupakan koloid tanah, 2) kadar bahan organik, oleh karena
sebagian bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah,
maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar KTK tanah, 3) jenis
mineral liat yang terkandung di tanah, jenis mineral liat sangat menentukan
besarnya KTK tanah (Mukhlis dkk., 2011).
Kapasitas tukar kation menunjukkan kemampuan tanah untuk menyerap
dan mempertukarkan kation-kation oleh muatan negatif, yang pada tanah terutama
berasal dari koloid humus dan mineral liat. Penelitian Tambunan (2008)
menyatakan bahwa kapasitas tukar kation tanah Ultisol pada keenam profil adalah
sedang dengan pola distribusi cenderung meningkat ke horizon bawah. Kapasitas
tukar kation (KTK) pada tanah Ultisol termasuk dalam kategori rendah yaitu
kurang dari 24 me per 100 gram liat (Munir, 1995).
Kapasitas tukar kation tanah sangat beragam pada setiap jenis tanah.
Besarnya kapasitas tukar kation tanah di pengaruhi oleh sifat dan ciri tanh itu
sendiri antara lain (a) reaksi tanah, (b) tekstur tanah atau jumlah liat, (c) jenis
mineral liat, (d) bahan organik, dan (e) pengapuran dan pemupukan
(Hakim dkk, 1986)
Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation kurang
dari 16 cmol/ kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Kapasitas
tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah
masing-masing berkisar antara 2,90-7,50 cmol/kg, 6,11-13,68 cmol/kg, 6,10-6,80
cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong
tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol
dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar
kation yang tinggi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Penelitian Supriyadi (2007) menyatakan bahwa kapasitas tukar kation
(KTK) tanah berkorelasi dengan sifat tanah lainnya seperti liat, pasir, kandungan
bahan organik ataupun C-organik dan pH tanah. Biasanya tanah dengan tekstur
liat, bahan organik tinggi, pH tanah tinggi, tanah mempunyai KTK tinggi, karena
banyaknya muatan negatif tapak jerapan meningkat terutama dari muatan
tergantung pH sedangkan tanah dengan tekstur kasar cenderung rendah KTK nya.
Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pH rendah, hanya muatan
permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat
digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal
ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan
beberapa fraksi liat, H+ dan mungkin hidroksi Al terikat kuat, sehingga sukar
dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik
dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi Al yang
terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH)3. Dengan demikian terciptalah
tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan perubahanperubahan itu KTK pun meningkat (Hakim dkk, 1986).
Kejenuhan basa (KB)
Kejenuhan basa merupakan suatu sifat yang berhubungan dengan KTK.
Terdapat korelasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya
kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Kejenuhan basa ynag rendah berarti
terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap sebagai petunjuk tingkat
kesuburan tanah. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya
≥
80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 80 dan 50%, dan tidak
subur jika kejenuhan basanya ≤ 50%. Suatu tanah dengan kejenuh an basa sebesar
80% akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada
tanah yang sama dengan kejenuhan basa 50% (Tan, 1991). Kejenuhan basa
merupakan perbandingan antara jumlah basa yang dapat dipertukarkan dengan
kapasitas tukar kation tanah yang dinyatakan dalam persen. Basa-basa yang
dipertukarkan antara lain K+, Ca2+, Mg2+, dan Na+ (Mukhlis dkk., 2011).
Kejenuhan basa pada Typic Paleudults dikabupaten langkat di kebun
kwala sawit termasuk sangat rendah sampai rendah (10,70-69,03%), dengan pola
distribusi yang bervariasi menurut kedalaman tanah. Kejenuhan basa yang sangat
rendah ini diperoleh dari kation-kation tukar yang sedang dan kapasitas tukar
kation yang sedang. Kejenuhan basa yang rendah akibat pH yang rendah
(Tambunan, 2008).
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena
batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil
Taxonomy 2014. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation
<
16
cmol/kg
liat,
yaitu
Ultisol
yang
mempunyai
horizon
kandik
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Kejenuhan basa menggambarkan banyaknya unsur hara basa dalam tapak
jerapan tanah. Tingginya kejenuhan basa di tentukan oleh unsur hara basa yang
ada dalam tanah terutama Ca. Rendahnya kejenuhan basa kemungkinan
disebabkan adanya pencucian kation basa oleh air hujan. Dengan adanya
pencucian basa juga akan berpengaruh pada pH tanah yaitu reaksi tanah
cenderung asam (Suryadi, 2007).
Prasetyo dkk (2005) menyatakan bahwa kandungan basa-basa dapat tukar
didominasi oleh Ca dan Mg dalam suatu tanah merupakan salah satu ciri dari
tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan. Tanah yang terbentuk dari
batuan pasir maupun batuan liat mempunyai kejenuhan basa yang tergolong
sangat rendah yaitu