Laporan akhir Penelitian Unggulan Pergur

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

Representasi Ruang Urban Kota Jakarta Periode 1970an dalam Komik Karya Zaldy Tahun Pertama dari Rencana Penelitian Dua Tahun

Tahun ke-1 dari rencana dua tahun

Dr. Lilawati Kurnia M.A (Ketua) 0002075805 Manneke Budiman S.S., M.A., Ph.D (Anggota) 0017116504 Irsyad Ridho S.Pd., M.Hum (Anggota) 0031127104

UNIVERSITAS INDONESIA

Desember 2013

Ringkasan

Komik pernah menjadi bacaan popular di kalangan tua dan muda. Dari jaman ke jaman, perkembangan penulisan komik Indonesia tidak selalu konstan. Ada masa-masa ketika komik, oleh para peneliti komik dikatakan mati suri karena produksi komik oleh penulis Indonesia mengalami penurunan tajam. Namun, itu terjadi bukan saja karena jumlah pembacanya berkurang seiring dengan masuknya komik-komik terjemahan dari Amerika maupun Jepang. Perjalanan komik Indonesia tidak lepas dari politik yang berlaku pada masa-masa yang diarunginya. Pada masa Orde Baru, komik bahkan kerap dibredel dan dianggap sebagai bacaan yang berpotensi merusak akhlak generasi muda. Akan tetapi, komik tetap diproduksi dan bahkan berkembang sesuai dengan kecenderungan utama yang ada. Banyak hal sudah ditulis mengenai komik secara umum, akan tetapi penelitian mengenai komik Indonesia dimulai pertama kali oleh peneliti asing Michel Bonef, yang membuat suatu penjabaran konprehensif mengenai bidang ini, dan kemudian disusul oleh disertasi Seno Gumira Ajidarma tentang Panji Tengkorak, yang memperkaya khasanah penelitian komik Indonesia.

Berbagai teori mengenai komik sudah diajukan, antara lain oleh Scott Mc.Cloud, Will Eisner, Neil Cohn, akan tetapi teori-teori ini lebih banyak menekankan pada struktur komik dan cara pembacaan sintaktis. Telaah terhadap substansi komik dan hubungannya dengan kesejarahan atau pun politik kebudayaan pada masanya belum banyak dan belum dilakukan secara memadai. Oleh karena itu, penelitian ini akan menelaah komik karya Zaldy, seorang komikus keturunan etnis Tionghoa. Komik Zaldy dipilih karena, selain Zaldy disebut sebagai salah satu dari lima komikus besar pada era 1960an sampai 1980an, di antara kolektor komik Zaldy dianggap paling detil dalam menyajikan gambar dari panel ke panel baik dari segi latarnya maupun tokoh-tokohnya. Selain itu, kekhasan lain ditemui setelah melalui pembacaan yang ketat, yakni komik Zaldy ternyata memuat berbagai elemen urbanitas di Jakarta pada 1970an. Elemen-elemen yang akan diteliti, misalnya, fesyen dan mode yang terlihat jelas merupakan representasi dari urbanitas Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis gaya hidup yang merepresentasikan Jakarta sebagai kota metropolitan. Jelas bahwa komik menawarkan versi sejarah mikro baik mengenai kota Jakarta maupun daerah-daerah di sekitarnya.

Sekilas, visualisasi kota urban sebagai kota metropolitan dalam komik Zaldy menimbulkan suatu kesan akan adanya kecenderungan kebarat-baratan (tulisan Hikmat Darmawan dalam Karbon Jurnal, April, 2009). Akan tetapi, melalui pembacaan yang lebih rinci didapatkan suatu kesimpulan bahwa imaji “barat“ di dalam komik-komik Zaldy ternyata menyimpan adanya suatu “kegelisahan“ mendalam terkait dengan peralihan dari masa Sukarno, yang berhaluan kekiri-kirian, ke jaman Suharto, yang membuka pintu seluas-luasnya bagi pengaruh dan investasi Barat. Namun, posisi komik Zaldy yang terungkap di dalam 16 judul komik (lihat lampiran 1 judul dengan tinta biru, jumlah komik seluruhnya 31 buku) untuk dianalisis dari akhir 1960an sampai 1970an memperlihatkan adanya suatu upaya apropriasi terhadap perubahan jaman dan ideologi. Dengan demikian, representasi generasi muda yang tinggal di kota, dalam kontras dengan mereka yang berada di desa, terlihat melalui adegan- adegan dan fesyen, sedangkan konteks kesejarahan yang terkait dengan identitas Zaldy sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa pun merupakan elemen yang tak dapat dikesampingkan begitu saja dari upaya pemahaman terhadap representasi urbanitas dalam komik-komiknya.

Kata kunci: komik Zaldy, representasi generasi muda, kota urban Jakarta, sejarah mikro.

Prakata

Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk mengetengahkan telaah komik di luar bingkai konvesional, seperti pada aspek strukturalnya atau pun dari segi genre-nya sebagai bagian dari kesuastraan. Penelitian ini akan mengangkat hal-hal yang tidak secara tersurat terungkapkan melalui gambar-gambar, serta bagaimana visualisasi kota urban Jakarta dikaitkan dengan kesejarahan Jakarta dan politik kebudayaan pada masanya.

Kami sangat berterimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan penelitian ini melalui dana hibah BOTPN yang di kelola oleh DRPM-UI. Komik-komik dari periode 1960an hingga 1970an sudah langka dan hanya dapat ditemukan di kolektor-kolektor pribadi, yang tentu saja tidak akan memberikannya dengan cuma-cuma. Oleh karena itu, dana hibah ini akan sangat menolong kami untuk mendokumentasikan komik Zaldy sekaligus membuat telaah terhadapnya.

Hasil penelitian ini merupakan pijakan awal untuk penelitian-penelitian lanjutan mengenai hubungan komik sebagai seni visual dan narasi dengan konteks kesejarahan dan politik dari masa ke masa dalam konteks urban, yang akan memperkaya pengetahuan tentang peranan komik Indonesia dalam perkembangan sejarahnya.

Daftar Lampiran

Lampiran 1

DAFTAR KOMIK ROMAN KARYA ZALDY ARMENDARIS

Lampiran 2 Daftar Karya Zaldy

Lampiran 3 Sampul

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, era 1970-an adalah era penting merebaknya budaya pop, namun sayangnya era ini masih diabaikan dalam penelitian-penelitian yang telah dilaakukan. Padahal, pengaruhnya penting dalam membangun memori kolektif suatu generasi akan jamannya. Dalam konteks tersebut, fenomena komik Indonesia era 1960an hingga akhir 1970an menjadi penting untuk dikaji pada arena tekstual untuk memahami hubungannya dengan konteks sosio-politik jaman itu. Terlebih lagi hal ini terkait dengan mulai berkembangnya kapitalisme pada masa awal Orde Baru, yang dipicu oleh masuknya investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia.

Pada awal-awal masa Orde Baru inilah impian orang-orang Indonesia akan modernitas terpusat di Jakarta. Kota ini menjadi titik pusat perkembangan kemajuan ekonomi yang menarik minat orang banyak untuk datang dan mengadu nasib di kota ini. Kesempatan untuk mengaktualisasikan seni populer, yang sebelumnya sangat dibatasi pada masa Orde Lama, memberi kesempatan bagi para komikus untuk mengambil posisi untuk menangkap perubahan jaman melalui goresan-goresan dalam komik.

Lebih jauh lagi, untuk menyebarkan komik dan membuat anak-anak muda tertarik pada komik, diterbitkanlah sebuah majalah, yaitu Eres. Majalah Eres, yang terbit sejak September 1969, memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan komik Indonesia. Melalui berbagai artikel dalam majalah tersebut, pembaca dapat mengenal komikus, menemukan cara kerja mereka, dan menyinak ulasan tentang masalah-masalah penceritaan bergambar, serta belajar menghargai komik. Melalui majalah ini, penerbit mengajak kaum muda untuk menyukai komik serta turut terlibat dalam pengembangan komik Indonesia. Terdapat dua genre komik dalam majalah ini, yaitu komik silat dan roman remaja. Majalah ini berhenti diterbitkan pada 1971 karena belum memperoleh status lembaga pers resmi untuk penerbitan majalah dari pemerintah. Satu hal yang disayangkan, mengingat bahwa Eres memiliki tiras cukup tinggi, yaitu sekitar 10.000 eksemplar. Beberapa komikus terbaik di Jakarta secara teratur mengasuh majalah tersebut, antara lain, Jan Mintaraga, Ganes TH, Sim, Hans Jaladara, dan juga Zaldy.

Secara khusus, riset ini akan melihat karya-karya Zaldy yang bergerak di genre komik roman remaja. Ada kurang lebih sekitar 60 judul roman remaja karya Zaldy sejak 1965 hingga awal 1980an yang dapat diketahui dan ditemukan. Untuk penelitian ini, kami memilih komik- komik yang berasal dari 1969 sampai 1970an, yang seluruhnya berjumlah 26 buku atau 15 judul.

1.2 Permasalahan

Masih kurangnya kajian tentang budaya pop Indonesia, terutama mengenai komik, menimbulkan kebutuhan untuk melacak dan mengumpulkan kembali sejumlah komik roman remaja, dalam hal ini karya Zaldy. Hal ini diperlukan untuk memahami perkembangan masyarakat Indonesia dalam konteks sosio-politik terutama pada periode 1960an hingga awal 1980an. Kajian yang sudah ada tentang komik Zaldy belum dilakukan secara komprehensif. Seno Gumira Ajidarma menggunakan sekitar dua puluhan komik, sedangkah Hikmat Darmawan hanya satu buah dalam penelitian mereka. Karena itu, menurut hemat kami, hal-hal penting dari komik yang ditangkap masih baru parsial saja. Sebuah komik Zaldy kira-kira berisi enam puluhan halaman, sehingga mengungkapkan kandungan 60 buah komik memang bukan sesuatu yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. Apa yang ditangkap dari karya Zaldy secara mendasar adalah romantika kehidupan anak muda pada jaman tersebut, namun lebih dari itu ternyata terdapat sebuah ruang yang mengungkapkan semangat jaman serta ideologi di balik kebijakan ruang yang diambil oleh Gubernur Ali Sadikin. Misalnya, kebijakan menjadikan Jakarta sebagai kota Metropolitan, seperti dapat ditemui gambarannya di dalam “Di Ujung Pelangi“, yang memuat gambar latar night club “Blue Ocean“, sebuah night club terkenal pada masa itu. Gaya hidup yang sepintas tampak kebarat-baratan ini tidak mengacu pada Amerika, seperti dalam komik-komik Jan Mintaraga, yang sangat terpengaruh oleh komik Amerika 1 . Hal-hal ini kami baca sebagai awal

masuknya budaya Barat atau kapitalisme yang disebut sebagai modernitas pada era tersebut, dan modernitas inilah yang diinginkan oleh presiden ke-2 RI dengan dibukanya kran-kran masuknya modal asing, terutama yang berasal dari Barat, sehingga tersebar pula segala macam unsur masuknya budaya Barat atau kapitalisme yang disebut sebagai modernitas pada era tersebut, dan modernitas inilah yang diinginkan oleh presiden ke-2 RI dengan dibukanya kran-kran masuknya modal asing, terutama yang berasal dari Barat, sehingga tersebar pula segala macam unsur

Selain itu, ruang urban yang tertangkap melalui berbagai cara dalam karya Zaldy tidak saja menjadi latar melainkan menjadi kesatuan dalam narasi dan seni visual karena panel- panelnya seakan-akan dapat diikuti seperti menonton yang dilengkapi efek suara dan gambar yang menyatu di dalam narasi. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan meperhatikan elemen- elemen fesyen, musik populer dan gaya hidup pada masa komik ini dibuat sebagai suatu indikator adanya upaya apropriasi terhadap perubahan ideologis yang sedang terjadi. Dengan demikian, komik menjadi genre yang dapat membuka ruang-ruang yang mungkin tak tertangkap di dalam sastra maupun film karena komik merekam secara visual dan naratif berbagai proses yang sifatnya lebih subtil dan kompleks di dalam kebudayaan.

1.3 Komik dalam Kajian Budaya

Penelitian mengenai komik tentu mengundang kontroversi karena selama ini komik dimarjinalkan sebagai bacaan anak-anak atau pun bacaan yang tak bermutu. Pandangan yang peyoratif ini sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan kemajuan jaman dan kemajuan dalam ilmu-ilmu humaniora yang membuka sekaligus mendobrak batasan-batasan antara teks yang mainstream atau dianggap utama karena dianggap baik dan patut dibaca, dan kebudayaan popular seperti komik, yang mengalami keterbatasan karena seringkali dipojokkan. Perkembangan dunia komik dimulai di Amerika, terutama periode setelah Perang Dunia ke-2, yaitu ketika komik superhero bermunculan, seperti Superman, yang dibuat oleh dua orang keturunan Yahudi Amerika, Jerry Siegel dan John Shuster, pada 1933 dan diterbitkan oleh DC comics pada 1938. Komik ini menjadi tren yang luar biasa sehingga dianggap sebagai cikal bakal genre komik superhero. Selain itu, komik ini telah dibuat film sejak 1978 sebanyak empat sekuel, dan kemudian ditambah dengan dua film terakhir, Superman Return, dan tahun ini Man of Steel, yang tak luput pula dibuat dalam bentuk film serial teve. Hal ini menunjukkan bahwa komik sebagai genre berkembang ke film dan media lainnya dan mendapatkan publik yang lebih luas jangkauannya.

Di bidang akademis dapat ditelusuri telaah akademis pertama melalui komik karya Art Spiegelman, yang berjudul Maus, diselesaikan pada 1991, yang sangat berbeda karena bukan Di bidang akademis dapat ditelusuri telaah akademis pertama melalui komik karya Art Spiegelman, yang berjudul Maus, diselesaikan pada 1991, yang sangat berbeda karena bukan

Perkembangan ini telah membawa dampak yang luas untuk pembahasan ataupun telaah komik. Pada 1990an, kita mencatat dua orang komikus atau pembuat komik yang berusaha membuat teori komik. Yang pertama adalah Scott McCloud, yang telah memberikan definisi yang cukup luas mengenai komik. Sementara itu, Will Eisner memakai istilah sequential art, seni sekuen, atau pun graphic novel, maupun visual narrative. Terminologi ini telah menjadikan komik terangkat menjadi sebuah karya seni visual maupun naratif yang patut dikaji dan ditelaah dengan saksama untuk menemukan dan membongkar ideologi yang terkandung di dalamnya. Demikian pula apabila kita perhatikan roman grafis atau naratif visual yang kemudian dibuat oleh kedua artis di atas, yang mengambil tema-tema yang lebih jauh jangkauannya daripada sekadar kisah kepahlawanan maupun romansa. Mereka mengeksplorasi sejarah, misalnya stereotipe Yahudi dan sebagainya. Dengan demikian, penelitian akan komik dapat mencakupi wilayah lebih luas dan tidak hanya terpaku pada struktur dan elemen komik ataupun segi kebahasaan komik saja, melainkan juga menelaah apa yang “tidak terkatakan” dalam komik atau ideologi-ideologi yang berkontestasi di dalamnya.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Seperti yang telah diuraikan pada bab Pendahuluan, sudah ada buku-buku yang membahas teori komik. Sejak awal, sudah terdeteksi adanya perbincangan mengenai definisi komik itu sendiri. Apakah komik itu harus selalu mengandung unsur humor, mengingat kata comic dalam bahasa Inggris juga berarti humor. Scott McCloud sudah menepis anggapan sempit ini dengan menawarkan definisinya yang mempunyai cakupan luas, yaitu komik adalah seni sekuensial, dalam bukunya yang berbentuk sebuah buku komik berjudul, Understanding Comic: The Invicible Art (1993). Dalam bukunya, McCloud membahas struktur komik secara luas dan menghubungkannya dengan narasi yang terbangun oleh seni visual. Selain itu, ia juga menghubungkan pembaca komik yang dapat berpartisipasi di dalam proses pembacaan karena segi visual komik membuat pembaca langsung dapat bereaksi. Buku McCloud mengambil beberapa dasar dari buku yang juga sering dianggap sebagai buku acuan untuk teori komik, yaitu buku karya Will Eisner berjudul Comic and Sequential Art (1985) yang merupakan hasil dari kegiatan Eisner mengajar di New York dan lebih menekankan unsur yang jauh lebih mendasar mengenai bagaimana komik itu terbentuk dan menjadi sebuah cerita.

Adalah Eisner yang menggunakan contoh-contoh dari karyanya sendiri dalam mengulas struktur komik. Akan tetapi, McCloud-lah yang memakai komik sebagai alat untuk berteori, sehingga bukunya itu merupakan meta-komik pertama. Ia menggambar dan menggunakan komik untuk menjelaskan teori komik, dan di dalam gambar-gambar itu Mc Cloud tidak hanya berteori tetapi mendekonstruksi juga komik itu sendiri. Dengan menggunakan judul Understanding Comic, McCloud juga menyindir McLuhan dengan bukunya Understanding Media, yang condong pada penilaian negatif terhadap komik. Ia memaparkan sejarah komik sambil berusaha mengungkapkan struktur komik dan definisi komik itu sendiri. Selain itu, ia juga berusaha melontarkan suatu gagasan mengenai gramatika atau tatabahasa komik, yaitu dengan mengatakan bahwa, ketika pembaca memperhatikan bagian-bagian komik, maka ia juga akan mengerti keseluruhan cerita komik. Proses ini disebutnya sebagai closure. Penting diketahui Adalah Eisner yang menggunakan contoh-contoh dari karyanya sendiri dalam mengulas struktur komik. Akan tetapi, McCloud-lah yang memakai komik sebagai alat untuk berteori, sehingga bukunya itu merupakan meta-komik pertama. Ia menggambar dan menggunakan komik untuk menjelaskan teori komik, dan di dalam gambar-gambar itu Mc Cloud tidak hanya berteori tetapi mendekonstruksi juga komik itu sendiri. Dengan menggunakan judul Understanding Comic, McCloud juga menyindir McLuhan dengan bukunya Understanding Media, yang condong pada penilaian negatif terhadap komik. Ia memaparkan sejarah komik sambil berusaha mengungkapkan struktur komik dan definisi komik itu sendiri. Selain itu, ia juga berusaha melontarkan suatu gagasan mengenai gramatika atau tatabahasa komik, yaitu dengan mengatakan bahwa, ketika pembaca memperhatikan bagian-bagian komik, maka ia juga akan mengerti keseluruhan cerita komik. Proses ini disebutnya sebagai closure. Penting diketahui

dengan narasi yang dibentuk oleh pembaca melalui pengalaman dan pengetahuannya. Oleh seorang peneliti komik, Neil Cohn (2008), hal ini disebut sebagai ruang publik karena pembaca dapat bereaksi langsung terhadap panel-panel visual tersebut. McCloud menerbitkan buku keduanya di bidang teori, yaitu Reinventing Comic (2000), yang memasukkan unsur baru ke dalam seni pembuatan komik, yaitu penggunaan komputer dan internet.

Di Indonesia, masih belum terlihat adanya buku-buku mengenai komik yang membahas dengan saksama berbagai elemen yang terkandung di dalamnya. Uraian mengenai komik Indonesia yang sampai saat ini merupakan uraian terlengkap dibuat oleh Michel Boneff, meskipun berakhir hanya sampai awal 1970an. Buku yang diterjemahkan ini berasal dari disertasi Boneff yang didasari oleh risetnya di Indonesia selama lima tahun. Tidak heran bahwa ia lebih menekankan pada kesejarahan atau perjalanan komik Indonesia, yang dijelajahinya mulai dari panel-panel di Candi Borobudur dan wayang sampai pada komik berbagai genre pada awal 1970an. Salah satu sumbangan Boneff adalah pembagian genre komik Indonesia menjadi komik silat, wayang dan roman, yang tersebar dalam berbagai karya setelah kemerdekaan RI. Selain itu, ia juga memperlihatkan tingginya interaksi budaya di dalam komik Indonesia. Misalnya, interaksi dengan budaya Tionghoa seperti tampak dalam komik-komik silat maupun kepahlawanan dan pengaruh budaya India yang mewarnai wayang. Sementara itu, komik Indonesia bergenre superhero hanya disinggung saja, seperti Gundala Putra Petir karya Hasmi, padahal cukup banyak bermunculan komik sejenis ini pada 1970an. Oleh karena itu, Bonneff terkesan juga membuat batasan yang agak sempit dan masih mengikuti mainstream. Padahal, seperti diperlihatkan oleh Seno Gumira Ajidarma, seorang peneliti dan penggemar komik, tokoh Si Put On, yang awalnya merupakan seri kartun di koran, dapat menunjukkan adanya pergeseran budaya dalam lingkungan masyarakat Indonesia-Tionghoa (pengaruh Hindia-Belanda), di samping tentu saja menunjukan bagaimana budaya Tionghoa berinteraksi dengan budaya

2 Panel-panel yang dimaksudkan masih dalam bentuk komik dari Barat dan biasanya terdiri dari dua panel saja, berbeda dari komik ala Jepang, yaitu manga, yang terdiri dari beberapa panel-panel dan menggambarkan dari detik

ke detik perubahan ataupun perkembangan cerita, sehingga apabila komik Barat hanya terdiri atas dua panel, maka adegan yang sama bisa mencapai 6-8 panel dalam manga. Membaca manga seperti membaca dengan cara browsing ke detik perubahan ataupun perkembangan cerita, sehingga apabila komik Barat hanya terdiri atas dua panel, maka adegan yang sama bisa mencapai 6-8 panel dalam manga. Membaca manga seperti membaca dengan cara browsing

Selain itu, Seno Gumira Ajidarma mengadakan penelitian atas komik silat karya Hans Jaladara, salah seorang komikus yang dianggap satu dari lima besar penulis komik dari 1960an sampai 1980an, yang sekarang masih berkarya dalam seni lukis kanvas. Dengan fokus pada Panji Tengkorak, penelitian Seno menjadi disertasi dan sudah terbit dalam bentuk buku pada 2011. Seno juga menerbitkan sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisannya di berbagai majalah Indonesia mengenai kartun Indonesia yang berjudul “Tawa dan Bahaya. Kartun Dalam Politik Humor“. Seno memulai pemaparannya dengan sebuah insiden yang terjadi akibat penerbitan kartun Nabi Muhammad S.A.W di Denmark pada 2005, yang dipicu oleh protes dan diiringi demonstrasi yang berakibat fatal. Kasus hampir serupa ternyata terjadi pula di tanah air ketika kartun berjudul Nasib Si Suar Siar diterbitkan dalam harian Sinar Indonesia Baru edisi Minggu

25 Oktober 2004, di Medan. 3 Kartun yang humoris ini menjadi bumerang baik pada pembuatnya, Selwyn Sitanggang, yang sempat ditahan selama satu bulan maupun pada koran

tersebut. Seno lantas menyebutkan bahwa dua peristiwa yang mirip walau berbeda efeknya (yang di Denmark justru mendunia karena kemudian media massa di luar Denmark justru memuat kartun tersebut sebagai solidaritas dan pembelaan terhadap kebebasan beropini) membuktikan bahwa humor tidak selalu bersifat netral atau pun tidak berbahaya. Apa yang dapat ditarik dari buku Seno mengenai pembahasan humor dalam politik adalah bahwa seni visual dan narasi bukanlah sesuatu yang sifatnya ringan dan tak serius, melainkan di dalam penampilannya yang terlihat sepintas tak serius dan lucu itulah letak pointe atau titik balik kelucuan tersebut.

Tidak banyak buku-buku ataupun esei mengenai komik Indonesia, walaupun khasanah komik Indonesia masih sangat luas dan banyak sekali. Beberapa esei yang sudah kami sebutkan di atas, seperti esei dalam majalah Kalam karya Seno Gumira Ajidarma, „Dunia Komik Zaldy“ maupun oleh Hikmat Darmawan “Kota yang Naif: Sketsa Jakarta 1960-1970-an dalam Komik Roman“, yang dipublikasikan lewat daring, atau tulisan Arswendo Atmowiloto, “Koran Medan, serta Cinta Jakarta,” diharian Kompas yang terbit 20 tahun sebelum terbitnya esei kedua dan pertama.

Bab 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bahwa komik sudah bukan lagi bacaan ringan bersifat hiburan telah banyak dibuktikan dan ditulis oleh peneliti dmancanegara. Sehubungan dengan itu, tujuan penelitian ini dalam jangka pendek adalah melakukan pembacaan terhadap komik sebagai teks yang mengandung makna dan sekaligus membuka ideologi yang mendasarinya. Dengan demikian, komik merupakan suatu medan atau ajang kontestasi ideologi-ideologi di dalam lingkaran budaya di Indonesia. Sementara itu, tujuan jangka panjang yang akan dilakukan adalah menyambung penelitian yang telah dilakukan Michel Bonnef tentang komik Indonesia ke era-era berikutnya, serta membuka khasanah komik-komik yang belum tersentuh atau masih terabaikan dalam riset Bonnef.

Komik Zaldy kami tengarai merupakan wakil dari genre komik roman yang menonjol baik dari segi narasi maupun seni visualnya. Ketelitian Zaldy dalam menggambar komik- komiknya menyebabkan ia terlihat seakan-akan lebih lamban daripada kawan-kawan penulis komik lainnya. Akan tetapi, ternyata bahwa kelambanan ini memberikan hikmah, terutama kepada penelitian kami. Detil-detil yang terlihat pada penggambaran fesyen dapat memberikan informasi tentang kurun waktu ksejarahan komik tersebut, yang dibuat sedemikian detil pada latar komik untuk memberikan penggambaran akan kota Jakarta (latar yang dipakai pada komik Zaldy secara umum, walaupun ada juga kota-kota lainnya). Dengan demikian, tujuan kami adalah memaknai dan memberikan interpretasi kepada komik Zaldy, khususnya dalam kaitan dengan ruang urban Jakarta yang terekam di dalamnya, serta bagaimana ruang urban ini menjadi ajang kontestasi ideologi pada masa itu.

Adapun manfaat penelitian ini adalah membuka khasanah komik yang masih dimarjinalkan dan dianggap bukan lahan penelitian yang serius, padahal lahan komik Indonesia masih sangat luas dan belum tereksplorasi dengan baik. Melalui penelitian ini, yang akan dilakukan dalam dua tahun titik tolak penelitian selanjutnya atas genre komik roman maupun genre lainnya seperti silat, superhero dan humor, akan diperlihatkan bahwa komik Indonesia ternyata mempunyai suatu perkembangan yang luar biasa baik dari segi tema, genre, maupun bentuk komik itu sendiri secara fisik. Lahan penelitian komik lainnya, seperti komik yang pernah diterbitkan oleh badan Lekra pada masa Orde Lama, serta komik-komik yang dianggap vulgar, masih belum secara nyata disentuh oleh para peneliti budaya. Oleh karena itu, manfaat Adapun manfaat penelitian ini adalah membuka khasanah komik yang masih dimarjinalkan dan dianggap bukan lahan penelitian yang serius, padahal lahan komik Indonesia masih sangat luas dan belum tereksplorasi dengan baik. Melalui penelitian ini, yang akan dilakukan dalam dua tahun titik tolak penelitian selanjutnya atas genre komik roman maupun genre lainnya seperti silat, superhero dan humor, akan diperlihatkan bahwa komik Indonesia ternyata mempunyai suatu perkembangan yang luar biasa baik dari segi tema, genre, maupun bentuk komik itu sendiri secara fisik. Lahan penelitian komik lainnya, seperti komik yang pernah diterbitkan oleh badan Lekra pada masa Orde Lama, serta komik-komik yang dianggap vulgar, masih belum secara nyata disentuh oleh para peneliti budaya. Oleh karena itu, manfaat

Bab 4

Metode Penelitian

Riset ini dilakukan dengan menempuh sebuah prosedur yang terdiri dari beberapa langkah. Pertama, dilakukan pengumpulan komik roman karya Zaldy dan juga majalah Eres (terbitan periode 1969 sampai 1970an). Pengumpulan komik dan majalah tersebut dilakukan dengan menghubungi seorang narasumber kunci yang juga seorang kolektor komik dan majalah Eres. Beberapa kolektor komik telah dihubungi, namun sebagaimana kolektor benda-benda antik misalnya, dunia mereka agak tertutup terhadap orang luar apalagi yang bukan kolektor. Namun, kami berhasil menghubungi seorang kolektor yang bernama Handi, ia bersedia memperlihatkan koleksinya dan kami sudah menyewa kumpulan komik Zaldy nya untuk discan.

Handi, kira-kira 40an umurnya, memulai koleksi komik di tahun 2004, awalnya ia mengumpulkan perangko dan kartu pos berperangko dari manca negara, lalu mulai tertarik pada komik karena ia sendiri juga penggemar komik. Ketika masih remaja Handi membaca komik- komik terutama komik silat seperti „Si Buta Dari Gua Hantu“, „Panji Tengkorak“, „Api Di Bukit Menoreh“ dan lain-lainnya. Meskipun demikian, dalam mengoleksi berbagai genre komik, ia juga membacanya dan hampir hapal semua cerita-cerita termasuk komik Zaldy yang dikatakannya sebagai komik yang paling bagus gambar-gambarnya. Handi pernah studi di kota Aachen dan kembali ke Jakarta, koleksinya tersimpan di dalam sebuah rumah yang sudah tua di daerah Pekojaan, Jakarta Barat. Dari Handi kami juga memperoleh berbagai informasi seputar pasaran komik-komik dan juga bagaimana para kolektor memandang berbagai genre komik.

Lalu, dilakukan dokumentasi atas komik-komik dan majalah yang terkumpul tersebut dengan cara difoto dan juga scanning, dengan seizin pemiliknya. Agar tidak merusak koleksi Handi, kami akhirnya diijinkan untuk membeli koleksi komik romannya yang bukan terbitan perdana, sehingga tahap selanjutnya kami dapat dengan leluasa melakukan scan atas komik- komik Zaldy lainnya. Selanjutnya, sesudah penelitian selesai, dokumentasi tersebut akan disimpan di perpustakaan UI agar para peneliti lainnya juga dapat memanfaatkannya sebagai sumber data.

Selain itu, data sekunder berupa informasi dari para narasumber terpilih yang dinilai memiliki pengetahuan serta kompetensi yang cukup tentang komik-komik Zaldy serta konteks sosial historisnya akan dilaksanakan. Selain itu Seno Gumira Ajidarma sebagai peneliti dan Selain itu, data sekunder berupa informasi dari para narasumber terpilih yang dinilai memiliki pengetahuan serta kompetensi yang cukup tentang komik-komik Zaldy serta konteks sosial historisnya akan dilaksanakan. Selain itu Seno Gumira Ajidarma sebagai peneliti dan

Telaah awal dilakukan dengan metode pembacaan dekat (close reading) yang berfokus pada berbagai sarana verbal (bahasa) dan visual, serta strategi retorika (dialog, monolog, silences, dll) dan positioning (gap, juxtaposisi, kontras, kontiguitas, kontinuitas, dll) dalam komik, dan tak ketinggalan sedikit tentang struktur/naratologi komik (yang menyangkut relasi antartokoh, pengembangan dan pencabangan alur dll). Pada tahap ini, diharapkan sudah ditemukan beberapa jawaban bagi sejumlah pertanyaan kunci tentang peran dan dampak sosial komik pada zamannya.

Output yang diharapkan adalah pengetahuan tentang berbagai strategi yang ditempuh komik untuk menyajikan representasi kritis atas urbanisme pada periode awal Orde Baru, khususnya di ibukota Jakarta. Bila diasumsikan bahwa komik-komik Zaldy mengandung kritik sosial atas kehidupan urban, bagaimana komik-komik tersebut dapat lolos dari sensor ketat negara pada waktu itu juga diharapkan dapat terungkap lewat penelitian ini. Di samping itu, penelitian juga diharapkan dapat memberikan pemahaman awal yang cukup memadai tentang resepsi khalayak pembaca yang diasumsikan merupakan warga masyarakat ibukota yang oleh Zaldy direpresentasikan dalam komik-komiknya.

Kami juga sedang menggodok suatu kluster riset Kajian Komik di FIB mengingat selama ini belum terbentuk suatu kluster riste khusus komik, pada umumnya komik hanya dimasukkan ke dalam Budaya Populer. Kami juga berencana untuk memberikan pelatihan mengenai struktur narasi bagi pembuat atau penggambar komik dan akan menerbitkan komik yang bertemakan kebhinekaan budaya Nusantara.

Bab 5 Hasil yang Dicapai

5.1 Komik Remaja?

Komik adalah bacaan yang dianggap sebagai bacaan remaja. Meskipun demikian, istilah remaja pada masa 1970an tidaklah sama dengan konotasinya pada masa kini. Remaja di kala itu merupakan istilah yang dipakai untuk menghindari pemakaian kata pemuda, yang berkonotasi progresif dan revolusioner, serta merupakan konotasi yang terpatri di benak masyarakat Indonesia dari sejak masa revolusi kemerdekaan sampai era Sukarno. Namun, pada masa Suharto ideologi yang ditanamkan adalah ideologi pembangunan, dan semua hal diarahkan ke pembangunan fisik, yang dianggap sebagai wahana bagi bangsa Indonesia untuk memasuki modernitas abad ke-20. Wacana yang diusung oleh Orde Baru ini adalah pembangunan fisik, dan konstruksi hubungan antara pemimpin politik dengan rakyat bagaikan hubungan antara bapak dan anak di dalam sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera, yang terjamin sandang pangan dan papannya.

Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau simbol-simbol yang berlaku di kota-kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta sebagai ibu kota, adalah simbol kultural yang terkandung di dalam barang-barang konsumsi yang baru dan berasal dari luar negeri. Tidak mengherankan pula kalau segala sesuatu yang berasal dari luar negeri dianggap sebagai lebih baik daripada produk dalam negeri, demikian pula dengan bersekolah di luar negeri. Berlomba-lomba keluarga yang menjadi OKB atau Orang Kaya Baru mengirimkan anak-anak mereka untuk melanjutkan kuliah di negara-negara yang dianggap jauh lebih maju baik di bidang teknik maupun bidang lainnya, terutama negara Eropa seperti Jerman, yang tidak menerapkan uang kuliah pada waktu itu. Hal-hal inilah yang dapat ditemui di dalam komik-komik karya Zaldy yang akan dianalisis dan dibahas selanjutnya. Gambaran ini bukan hanya merekam suasana dan wacana yang berlaku pada masa itu, tetapi dapat juga diinterpretasikan secara ideologis melalui pembacaan yang teliti baik dari segi visual maupun narasinya. Dengan demikian, kami memosisikan komik Zaldy sebagai oposisi terhadap label yang dilekatkan pada komik, yaitu roman remaja. Komik Zaldy, yang oleh Arswendo Atmowiloto (2007) disebut sebagai “Komik Cinta Jakarta”, ternyata menyimpan kompleksitas lebih daripada itu.

5.2 Leitmotif dalam Komik Zaldy

Seperti teks-teks lainnya di dalam khasanah sastra, komik Zaldy juga dapat dipilah menurut tema-tema yang diusung didalamnya. Komik ber-genre roman tentu saja membuat atau mendasarkan alur ceritanya pada hubungan antara pria dan wanita dan menyusun atau mengkonstruksi konflik di seputar hubungan ini. Melodrama, salah satu ciri khas yang terbangun dalam cerita, ditengarai lebih merupakan ciri produk budaya popular Asia atau film-film Hongkong, mengingat bahwa pada masa Suharto kebudayaan Tionghoa dipasung dengan diberlakukannya sederetan larangan terhadap praktik kebudayaan Tionghoa, termasuk paksaan bagi para warga etnik Tionghoa untuk mengubah nama Tionghoa mereka dengan nama Indonesia. Meskipun di dalam komik isu ini tidak secara eksplisit dikedepankan, hal ini dapat dilihat sebagai sebuah konteks tempat Zaldy membangun narasi dan menorehkan seni visualnya.

Romansa yang dibangun dalam komik Zaldy sebanyak 35 buah yang telah kami telaah mempunyai motif yang bisa dianggap sebagai motif utama, yaitu cinta segitiga. Namun, cinta segitiga ini pun dibangun di atas konflik antargenerasi yang berbeda. Misalnya, adanya seorang pria atau wanita yang lebih tua daripada tokoh utamanya atau konflik dibangun di atas adanya perbedaan usia antara pria dan wanita, perbedaan ini juga dibarengi dengan adanya perbedaan kapital budaya dan kapital ekonomi. Leitmotif atau motif utama ini dapat ditemui dalam setiap komik roman dan tentu saja dalam karya Zaldy. Oleh karena itu, akhir dari komik Zaldy jarang yang bercorak “happy ending.” Berbeda, misalnya, dari komik Amerika yang sejaman yang menampilkan dua sejoli berkasih mesra dan akhirnya menikah sebagai ending-nya (Wright,2001). Meskipun demikian, akhir yang melodramatis dan dapat membuat pembaca ikut menangis ini dapat memperlihatkan ideologi yang berbeda dari ideologi yang dominan pada waktu itu, yaitu ending ini justru lebih condong pada ending gaya Asia dan bukan gaya Amerika ataupun Eropa, seperti yang ditunjukkan oleh Seno Gumira Ajidarma (2000,100), sebagai antitesis komik roman Jan Mintaraga yang ditengarainya sebagai komik ala Amerika.

Akhir cerita yang melodramatis dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap makna lebih jauh mengenai adanya suatu “kegelisahan” ketika terjadi perubahan ideologi dari jaman Sukarno dengan ideologi kirinya ke jaman Suharto yang kapitalistik. Selain itu, bila dilihat dari alur naratif, terlihat adanya bentuk-bentuk hubungan antara pria dan wanita yang berorientasi Barat, seperti seks bebas, hidup bersama tanpa ikatan nikah, serta poligami, meskipun hal ini sudah ada pada masa Sukarno dan dipraktikkan oleh Sukarno melalui pernikahannya dengan empat orang Akhir cerita yang melodramatis dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap makna lebih jauh mengenai adanya suatu “kegelisahan” ketika terjadi perubahan ideologi dari jaman Sukarno dengan ideologi kirinya ke jaman Suharto yang kapitalistik. Selain itu, bila dilihat dari alur naratif, terlihat adanya bentuk-bentuk hubungan antara pria dan wanita yang berorientasi Barat, seperti seks bebas, hidup bersama tanpa ikatan nikah, serta poligami, meskipun hal ini sudah ada pada masa Sukarno dan dipraktikkan oleh Sukarno melalui pernikahannya dengan empat orang

Perubahan dalam tatanan sosial atau hubungan antara pria dan wanita dapat dilihat sebagai dampak dari perubahan ideologi yang tertuang di dalam naratif dan seni visual komik Zaldy. Perubahan ini dapat dilihat bukan hanya dari naratifnya melainkan juga dari fesyen yang tampak “berani” pada beberapa tokoh wanita, dan mode busana yang jelas berasal dari Barat. Kehebatan gambar Zaldy juga dapat dilihat pada mode pria yang berganti-ganti sesuai dengan jaman, demikian pula dengan hair-do wanita dan pria. Gaya hidup yang glamor dan terlihat mengalir ringan ini hampir tidak menunjukkan dunia kerja, melainkan dunia kaum muda yang ceria dan penuh dengan kesenangan dunia. Semua ini terkandung dan terekam di dalam visualisasi kota, terutama kota Jakarta pada masa itu. Ruang urban Jakarta membingkai sekaligus memberikan konteks kesejarahan pada naratif dan seni visual komik-komik Zaldy.

5.3 Cinta (di) Jakarta: Analisis Limabelas Judul Komik (lihat lampiran 2)

5.3.1 Tipologi Cinta: Ware Liebe atau Wahre Liebe? Cinta yang terbeli atau cinta sejati?

Bertolt Brecht 4 , seorang sastrawan Jerman yang dikenal sebagai sastrawan berhaluan kiri, menggunakan drama sebagai wahana untuk menyoal berbagai permasalahan sosial. Salah satu

karyanya berjudul Der gute Mensch von Sezuan, yang bercerita mengenai dilema yang dihadapi tokoh utama Shen Te, yang berprofesi sebagai pelacur, untuk bertahan hidup. Shen Te berbaik hati menampung tiga tamu tak diundang yang mencari penginapan di tengah malam. Ternyata, tamu-tamu tersebut adalah dewa-dewa yang turun untuk mencari seseorang yang berhati mulia dan baik. Mereka menentukan Shen Te sebagai der gute Mensch atau orang baik, dan lalu memberikan hadiah uang yang banyak kepadanya. Berbekal uang ini, Shen Te yang sedang kasmaran dengan seorang calon pilot Yang Shun, berniat meninggalkan profesinya dan membuka kedai tembakau. Namun, karena kebaikan hatinya, ia terpaksa menolong banyak kerabat yang datang meminta uang dan memberikan hutang kepada mereka yang memintanya. Akibatnya, kedai tembakaunya terancam bangkrut. Demi menjaga stabilitas kedainya sekaligus keberadaannya, Shen Te kemudian menyamar menjadi Shui Ta, seorang pria yang pandai berdagang dan sangat kapitalis, dan di tangan Shui Ta yang mengaku sebagai sepupu Shen Te, kedai tersebut menjadi besar.

Di dalam drama ini, Brecht menyoal mengenai cinta. Judul awal drama ini adalah Ware Liebe, yang berarti cinta sebagai komoditi, tentunya mengacu pada profesi Shen Te sebagai pelacur, tetapi dipertentangkan kemudian dengan wahre Liebe, yang pelafalannya hampir sama namun berarti cinta sejati. Kedua istilah ini merupakan gambaran bagaimana ideologi komunis yang mengidolakan cinta sejati dan pengorbanan biasanya datang dari pihak wanita, terutama untuk kemajuan negara. Sementara itu, di dalam dunia kapitalis, cinta dapat dibeli karena gaya hidup yang konsumtif, sehingga cinta pun menjadi komoditi. Di dalam konstelasi cinta pada komik-komik Zaldy, ditemukan pola-pola konstelasi cinta semacam ini, yaitu kegalauan para tokoh dalam menyikapi adanya perubahan ideologi, dari ideologi yang menabukan hubungan- hubungan cinta bebas ke ideologi yang bersikap liberal di segala bidang, dan semua hubungan antarmanusia didasarkan pada uang dan barang. Cinta seperti ini menyebabkan para tokoh yang Di dalam drama ini, Brecht menyoal mengenai cinta. Judul awal drama ini adalah Ware Liebe, yang berarti cinta sebagai komoditi, tentunya mengacu pada profesi Shen Te sebagai pelacur, tetapi dipertentangkan kemudian dengan wahre Liebe, yang pelafalannya hampir sama namun berarti cinta sejati. Kedua istilah ini merupakan gambaran bagaimana ideologi komunis yang mengidolakan cinta sejati dan pengorbanan biasanya datang dari pihak wanita, terutama untuk kemajuan negara. Sementara itu, di dalam dunia kapitalis, cinta dapat dibeli karena gaya hidup yang konsumtif, sehingga cinta pun menjadi komoditi. Di dalam konstelasi cinta pada komik-komik Zaldy, ditemukan pola-pola konstelasi cinta semacam ini, yaitu kegalauan para tokoh dalam menyikapi adanya perubahan ideologi, dari ideologi yang menabukan hubungan- hubungan cinta bebas ke ideologi yang bersikap liberal di segala bidang, dan semua hubungan antarmanusia didasarkan pada uang dan barang. Cinta seperti ini menyebabkan para tokoh yang

5.3.2 Sinopsis cerita

5.3.2.1 MEGA

Dua Jilid, 1969

Masayu, seorang putri dari keluarga kaya, memiliki dua sahabat pria dari masa kecilnya, yaitu Amran dan Tiar. Di pinggir telaga yang dekat dengan vila keluarganya dan tempat mereka sering bermain-main, Masayu mengenang masa tiga tahun yang lalu ketika mereka baru lulus dari perguruan tinggi dan membicarakan rencana masa depan masing-masing. Pembicaraan itu membawa Masayu pada kesadaran yang selama ini tak pernah dipikirkannya, yaitu bahwa ternyata dia jatuh cinta pada Amran. Amran pun rupanya demikian. Di pinggir telaga itulah mereka saling menyatakan cinta dan berjanji untuk menikah tiga tahun lagi setelah Amran kembali dari merintis usahanya di Kalimantan. Amran, yang berasal dari keluarga kurang mampu, bersikeras untuk membuktikan diri lebih dulu sebagai calon suami yang mandiri secara ekonomi.

Sejak itu, hubungan mereka hanya berlangsung melalui surat. Namun, setelah dua tahun ternyata tidak ada lagi surat dari Amran. Masayu sangat sedih tetapi tidak berdaya. Sementara itu, ketika kemudian bisnis ayahnya mengalami kemunduran yang membuat ayahnya akhirnya meninggal, keluarga Tiarlah yang banyak membantu melunasi utang-piutang ayahnya. Orang tua Tiar, yang sama sekali tidak mengetahui keadaan hubungan Masayu dan Amran, menginginkan Tiar menikahi Masayu untuk mempererat hubungan kekeluargaan mereka yang selama ini memang sudah berjalan baik.

Sebenarnya Tiar sendiri memang sudah lama mencintai Masayu, tetapi dia tahu betul Masayu tidak mungkin menerima cintanya karena sudah mencintai Amran dan setia menunggu kepulangannya dari Kalimantan. Namun, ketika kabar dari Amran tidak kunjung datang hampir selama setahun, Tiar memberanikan diri menyatakan cintanya pada Masayu dan rencananya untuk menikahinya dan demi membahagiakan kedua orang tua mereka juga. Meskipun berat, Masayu akhirnya menerima permintaan Tiar.

Di tengah persiapan pernikahan mereka, Tiar —yang sudah bekerja sebagai pengacara— harus mengurus sebuah kasus pembunuhan lebih dulu. Tanpa disangka, terdakwanya adalah

Amran. Kasus ini sebenarnya sudah diputuskan di Kalimantan, tetapi dia naik banding sehingga kasusnya dibawa ke Jakarta. Pertemuan dengan Amran di penjara telah membuat Masayu sangat terpukul, apalagi pada saat itu Amran memintanya untuk melupakannya dan lebih baik hidup berbahagia dengan Tiar. Amran juga mengirim surat dari penjara kepada Masayu menjelaskan duduk perkara kasusnya. Masayu menjadi tahu bahwa Amran hanya membunuh untuk mempertahankan haknya yang hendak direbut oleh kawan bisnisnya. Uang hasil jerih payahnya untuk persiapan berumah tangga dengan Masayu selama dua tahun itu hendak diambil oleh orang yang dibunuhnya itu.

Meskipun Tiar sudah berusaha menolong Amran di pengadilan, Amran tetap dikenai hukuman penjara. Pernikahan Masayu dan Tiar dilangsungkan dengan kesedihan. Setelah menikah, Masayu akan ikut bersama Tiar ke luar negeri menemaninya melanjutkan studi hukum. Sebelum berangkat, Masayu menyempatkan diri merenung di pinggir telaga tempat dia dan Amran dulu saling menyatakan cinta mereka, cinta yang kini seperti mega yang telah dihembuskan angin.

5.3.2.2 Puing-puing Kenangan

Dua Jilid, 1970

Di usianya yang kedua puluh satu, Dino—seorang anak direktur kaya—berkenalan secara kebetulan dengan seorang perempuan yang mabuk dalam sebuah pesta. Dino penasaran dan iba dengan perempuan itu sehingga dia berkeras untuk mengantarnya pulang. Sejak pertemuan pertama itu, Dino merasa jatuh hati pada perempuan itu.

Pertemuan mereka berikutnya mengantarkan Dino masuk ke rumah perempuan itu. Keintimanpun terjadi meski dia belum tahu nama perempuan itu. Sampai suatu hari Dino tahu bahwa ternyata perempuan itu, Carla namanya, adalah sekretaris pribadi ayahnya sendiri. Carla mulai menghindari Dino, namun Dino makin jatuh hati dan berjanji pada Carla untuk mencintainya setulus hati. Meskipun Carla berusaha menolak dan merasa dirinya tidak sesuai Pertemuan mereka berikutnya mengantarkan Dino masuk ke rumah perempuan itu. Keintimanpun terjadi meski dia belum tahu nama perempuan itu. Sampai suatu hari Dino tahu bahwa ternyata perempuan itu, Carla namanya, adalah sekretaris pribadi ayahnya sendiri. Carla mulai menghindari Dino, namun Dino makin jatuh hati dan berjanji pada Carla untuk mencintainya setulus hati. Meskipun Carla berusaha menolak dan merasa dirinya tidak sesuai

Namun, kebahagiaannya hanya sebentar. Carla kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya tidak sesuai untuk Dino karena dia adalah seorang wanita jalang yang berpindah- pindah dari lelaki kaya yang satu ke lelaki kaya yang lain. Seluruh rahasia hidupnya akhirnya dia buka di hadapan Dino. Diajaknya Dino untuk mampir ke rumah kecil di pinggir kota tempat dia menitipkan anaknya kepada seorang pembantu setianya, Bu Minah, selama ini. Anak itu adalah hasil hubungannya dengan seorang pemuda yang dicintainya yang tega menipunya dengan membawa kabur semua uang simpanannya. Sebelumnya, bahkan Carla juga pernah terpaksa menjadi istri seseorang dari keluarga kaya yang menginginkannya. Itu dia lakukan demi melunasi biaya berobat ayahnya karena kecelakaan kerja di pabrik meskipun akhirnya tidak terselamatkan. Untuk semua itu, dia terpaksa meninggalkan kekasih pertamanya, seorang pekerja pabrik. Namun, ternyata suami kaya itupun akhirnya menceraikannya juga karena sudah punya istri yang baru. Dengan seluruh pengalaman pahit itu, Carla menjadi pembenci laki-laki. Dia pergi ke kota dan memangsa direktur-direktur kaya.

Setelah membuka rahasia hidupnya, Carla berusaha menjauhi Dino dan kembali pada kehidupan lamanya sebagai perempuan simpanan. Ayah Dino juga sudah memecatnya sebagai sekretaris untuk menghindarkannya dari Dino. Sementara itu, Dino diminta ayahnya menjauhi Carla dengan secepatnya pergi ke luar negeri melanjutkan studi. Di tengah perasaan kecewa dan putus asa ditambah dengan perasaan marah karena ternyata ayahnya pun pernah menjadikan Carla sebagai simpanannya, Dino mendapat kabar bahwa Carla masuk rumah sakit karena kecelakaan. Jiwanya tak bisa diselamatkan lagi. Sebelum meninggal, Carla menyatakan bahwa apapun yang telah terjadi cintanya pada Dino tetap tulus. Sepeninggal Carla, Dino meminta ayahnya untuk menerima anak Carla sebagai bagian dari keluarga mereka demi menebus kesalahan mereka selama ini kepada Carla. Dengan hati yang lapang, Dino pergi ke luar negeri melanjutkan studi sebagai pemenuhan janjinya kepada Carla.

5.3.2 .3 TRAGEDI MUSIM BUNGA Satu Jilid, 1970

Hampir setiap minggu Nila mengunjungi pusara sahabatya semasa sekolah. Dia merasa punya kewajiban untuk tetap datang menemani sahabatnya ini dengan menaburkan bunga anyelir dadu, bunga kesayangan sahabatnya semasa hidup. Warna bunga ini memang sesuai dengan nama sahabatnya, yaitu Pinky. Dengan datang ke pusara itu, dia ingin mengenang penderitaan hidup sahabatnya.

Dalam kenangan Nila, Pinky adalah gadis yang supel dalam pergaulan. Dia sering pergi dengan kawan-kawan prianya seusai sekolah atau di hari libur. Meski demikian, hasil pelajarannya tak pernah buruk. Hidupnya seolah-olah terlihat selalu menyenangkan, apalagi dengan tunjangan biaya dari orang tuanya yang memang kaya. Sayang, orang tuanya hanya memberikan uang, bukan perhatian dan kasih sayang. Selama Pinky tinggal di rumah kos bersama Nila di Jakarta, jarang sekali orang tuanya datang mengunjungi. Nila turut prihatin dengan keadaan Pinky yang merasa sebagai anak yang diabaikan oleh ayah dan ibunya yang selalu tidak rukun.

Berbeda dengan Pinky, Nila berasal dari keluarga yang tidak berada. Orang tuanya yang tinggal di kampung pinggiran kota itu hidup sederhana dalam keharmonisan. Karena itu, Nila ingin belajar dengan baik dan tidak ingin membuang waktu dengan pergaulan bersama kawan- kawan pria. Berbeda dengan Pinky yang punya banyak kawan pria dan mungkin juga pacar- pacarnya, Nila hanya punya satu kawan pria, Adnan, yang dianggapnya dekat. Itupun adalah kawannya semasa kecil di kampung. Adnan tidak melanjutkan sekolah, tetapi bekerja sebagai pelayan toko di Jakarta.

Nila sempat kecewa memperkenalkan Adnan pada Pinky. Sejak perkenalan itu, Adnan rupanya lebih sering pergi bersama Pinky. Bahkan, pada suatu saat, Pinky mengakui bahwa dia telah berpacaran dengan Adnan dan bahkan kini sudah mengandung anaknya. Meski kecewa, Nila mencoba untuk tetap memahami dan peduli pada kesulitan yang sekarang dihadapi sahabatnya itu. Meskipun tidak disetujui oleh orang tuanya, Pinky tetap memutuskan untuk menikah dengan Adnan. Dia pun berhenti sekolah dan hidup dalam keadaan yang pas-pasan bersama Adnan. Nila makin prihatin ketika Adnan pun sudah tidak bisa membiayai hidup orang tuanya sendiri lagi di kampung. Nila tahu bahwa kehidupan Adnan dan Pinky semakin miskin, apalagi sekarang dengan memelihara bayi pula.

Sejak itu, Nila dan Pinky sudah tidak pernah bertemu lagi. Sampai suatu saat, tanpa di sangka-sangka, Nila bertemu dengan Pinky di sebuah bioskop sedang digandeng oleh seorang lelaki tua yang kaya. Rupanya sekarang dia sudah bercerai dengan Adnan dan kini bekerja di sebuah bar, berpindah dari pelukan pengunjung yang satu ke pengunjung yang lain. Nila tak sampai hati mengetahui keadaan Pinky dari pengakuannya sendiri. Beberapa tahun kemudian, Nila makin sedih melihat keadaan Pinky ketika secara kebetulan ada urusan di kantor polisi, dia melihat Pinky sedang diturunkan dari mobil polisi bersama para pelacur jalanan. Saat itu, Pinky sudah tidak mengenali Nila lagi dan tingkahnya sudah seperti orang kurang waras. Nila tak mampu menolang Pinky dan ketika akhirnya dia menerima kabar bahwa Pinky bunuh diri, dia makin sedih dan berharap suatu hari dapat merawat anak Pinky bersama Adnan. Kini dia hanya bisa mengenang nasib sahabatnya itu di pusaranya.

5.3.2.4 BERPISAH MENJELANG FAJAR

Dua Jilid, 1970

Irina, seorang anak desa putri penjaga perkebunan teh milik keluarga Pak Burhan, telah jatuh dalam rayuan dan cinta dari Ardyan, putra Pak Burhan sendiri. Cinta Ardyan tulus padanya. Pada suatu malam, mereka membuktikan cinta mereka melalui hubungan intim di villa perkebunan yang sedang kosong.

Tanpa sepengetahuan Ardyan, orang tuanya sudah merencanakan akan mengawinkannya dengan Florinda, putri Pak Fajar yang sudah lama menjadi rekanan bisnis yang dekat bagi keluarga Burhan. Ardyan menolaknya dan mengaku bahwa dia sudah punya calon istri pilihannya sendiri, yaitu Irina. Ibu Ardyan sangat marah. Dia mendatangi orang tua Irina dan menyuruh mereka untuk memutuskan hubungan Irina dengan Ardyan. Tapi, semuanya telah terlambat. Irina mengaku bahwa dia sudah berhubungan intim dengan Ardyan. Ardyan pun mendesak orang tuanya agar mau menerima Irina menjadi istrinya sebagai bukti pertanggungjawaban Ardyan atas Irina. Dengan berat hati, orang tua Ardyan mengabulkan permintaannya. Maka, perkawinan Irina dan Ardyanpun dilangsungkan.