PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA SISWA KELAS II SMA BERBASIS AGAMA DAN SMA REGULER SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA SISWA KELAS II SMA BERBASIS AGAMA DAN SMA REGULER SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CALISTA GIOVANI G0009044

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

commit to user

ii

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 6 Agustus 2012

Calista Giovani NIM G 0009044

commit to user

iv

ABSTRAK

Calista Giovani, G0009044, 2012. Perbedaan Kecerdasan Emosi antara Siswa Kelas

II SMA Berbasis Agama dan SMA Reguler.Skripsi. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu membangun perkembangan emosi dan intelektual. Agama dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan dapat memberi pengaruh baik pada para remaja, misalnya siswa SMA. Siswa SMA berbasis agama memiliki kecerdasan emosi yang lebih baik karena memiliki ajaran agama lebih banyak dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah perbedaan kecerdasan emosi antara siswa kelas II SMA berbasis agama dan SMA reguler.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah siswa kelas II SMA Muhammadiyah 1 Surakarta dan SMA Negeri 7 Surakarta. Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposive random sampling dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.Sampel mengisi (1) formulir biodata dan informed consent sebagai tanda persetujuan, (2) kuesioner skala L-MMPI untuk menilai dan mengetahui kejujuran dalam menjawab pertanyaan yang diberikan, (3) kuesioner Kecerdasan Emosi.Diperoleh 60 sampel dan dianalisis menggunakan (1) Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (2) Uji t- independent melalui program SPSS 17 for Windows.

Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan (1) rerata skor kecerdasan emosi pada siswa kelas II SMA berbasis agama sebesar 119,9 ± 10,957 dan untuk siswa kelas II SMA reguler sebesar 112,6 ± 9,708 (2) hasil uji t-independent menunjukkan t = 2,719 dan p = 0,009.

Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan kecerdasan emosi yang bermakna antara siswa kelas II SMA berbasis agama dengan siswa kelas II SMA reguler.Siswa kelas II SMA berbasis agama lebih baik kecerdasan emosinya dibandingkan siswa kelas II SMA reguler.

Kata kunci: Kecerdasan Emosi, SMA berbasis agama, SMA reguler

commit to user

ABSTRACT

Calista Giovani, G0009044, 2012. The Differences of Emotional Quotient In the 2 nd Grade Students of Faith Based High School and Students of Regular High School. Mini Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University Surakarta.

Background: Emotional Quotientis the ability to recognize feelings, reach and awaken the senses to help the mind to understand the feelings and meanings as well as controlling the depth of feeling that helps to build emotional and intellectual development. Faith can increase emotional quotientand can give good influence for young people, such as high school students. Faith high school students have better emotional quotient because they get more theories about faith and apply the theories in daily life. This research aims to determine whether there is the differences of emotional quotient in the 2nd grade students of faith based high school and students of regular high school.

Methods: This research was an analytical descriptive research using cross sectional approach. The subjects are the 2 nd grade students of SMA Muhammadiyah 1 Surakarta and SMA Negeri 7 Surakarta. Data was collected by using purposive random sampling method within inclusion and exclusion criterias. Subject filled-out the biodata and informed consent as a sign of approval, L-MMPI scale questionnaire to assess and find honesty in answering questions given, questionnaire Emotional Quotient. Sixty samples were obtained and analyzed using data normality test with Kolmogorov Smirnov and t-independent test through SPSS 17 for Windows.

Results: This research shows a significant mean difference of emotional quotient for 2nd grade students of faith based high school is 119,9 ± 10,957 and for 2nd grade students of regular high school is 112,6 ± 9,708. The t value (t) was t = 2,719 with p = 0,009.

Conclusion: This study found a significant difference of emotional quotient between 2nd grade students of religion based high school and regular high school. The 2nd grade students of faith based high school is more than regular high school.

Keywords: Emotional Quotient, Faith Based High School, Regular High School

commit to user

vi

PRAKATA

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang telah diberikan sehingga skripsi dengan judul Perbedaan Kecerdasan Emosi antara Siswa Kelas II SMA Berbasis Agama dan SMA Reguler dapat diselesaikan.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.Hambatan dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Tuhan Yang Maha Esa dan juga Bunda Maria melalui bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi beserta tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Yusvick M. Hadin, dr., Sp. KJ selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dan nasihat.

4. FX Bambang Sukilarso Sakiman, dr., M.Sc., Sp. ParK selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dan nasihat.

5. Istar Yuliadi, dr., M.Si selaku Penguji Utama yang telah memberi bimbingan dan saran.

6. Ruben Dharmawan, dr., Ir, Sp.ParK., Ph.D selaku Penguji Pendamping yang telah memberi bimbingan dan saran.

7. Papa, Mama, adik-adik, serta seluruh keluarga.

8. Teman-teman Kost Indrarini (Tiara, Junita, Sarah, Elsa), Asri, Imaniar, Francine, Priyanka.

9. Teman-teman angkatan 2009, Mbak Sri Enny, SH, MH dan Mas Sunardi.

10. Bapak, Ibu Guru dan juga staf sekolah, serta para responden yang telah bersedia terlibat dalam penelitian ini, baik dari SMA Muhammadiyah 1 maupun SMA Negeri 7 Surakarta.

11. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca.Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta,Agustus 2012

Calista Giovani

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Sampel ............................................................ 40 Tabel 2.Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ................. 40 Tabel 3. Rerata Skor EQ ................................................................................ 41 Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov Smirnov ................ 41 Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas Skor EQ dengan Levene’s Test .................... 42 Tabel 6. Hasil Uji t-independent ..................................................................... 43

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Dinamika Psikofisiologis Kegiatan dalam Agama ........................ 24 Gambar 2. Boxplots Skor EQ ........................................................................... 43

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2.Formulir Biodata dan Lembar Persetujuan Lampiran 3. Kuesioner Penelitian L-MMPI Lampiran 4. Kuesioner Kecerdasan Emosi Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian Lampiran 6. Distribusi Data Lampiran 7.Hasil Uji Normalitas Data Lampiran 8.Hasil Analisis Data Penelitian Lampiran 9. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di SMA Muhammadiyah

1 Surakarta dan SMA Negeri 7 Surakarta

commit to user

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kecerdasan emosi atau Emotional Quotient adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu membangun perkembangan emosi dan intelektual (Catur dan Taganing, 2007). Kecerdasan emosi sendiri termasuk dalam salah satu paradigma pengukuran kecakapan seseorang selain kecerdasan intelektual atau IQ dan kecerdasan-kecerdasan lainnya.

Namun hingga saat ini masih banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki IQ yang tinggi maka orang tersebut memiliki peluang untuk mencapai kesuksesan lebih tinggi daripada orang yang memiliki IQ rendah.Pada kenyataannya masih banyak kasus dimana orang yang memiliki IQ tinggi sulit untuk mencapai kesuksesan bahkan tersingkir. Untuk menuju kesuksesan, yang dibutuhkan tidak hanya kecerdasan intelektual saja tetapi juga kemampuan mengelola emosi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20% (rata-rata 6%) keberhasilan dalam pekerjaan tertentu. EQ, di sisi lain, ternyata 27-45% berperan langsung dalam keberhasilan suatu pekerjaan (Stein, 2002).

commit to user

xiii

EQ dan IQ adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya bekerja secara sinergis dan keberadaannya saling mendukung satu sama lain. Jika seseorang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi ditambah dengan kemampuan mengelola emosi, seseorang akan lebih mampu menguasai keadaan, menciptakan peluang, dan mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Dengan demikian kecerdasan emosi atau EQ sangat penting untuk dipelajari dan direalisasikan dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari.

Selama ini, sistem pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada pentingnya nilai akademik. Arah dan tujuan pendidikan nasional, seperti diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik mulai kurang diperhatikan dan tentu saja ini menjadi hal yang cukup memprihatinkan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia (Marzuki dkk, 2011). Selain itu semakin meningkatnya pelajar yang terlibat dalam tindakan pidana, seperti tawuran, penggunaan narkoba, pencurian, pemerkosaan, pergaulan bebas serta semakin meluasnya gaya hidup yang berorientasi pada semangat hedonistik, materialistik dan individualistik juga menjadi hal yang perlu diperhatikan (Rahman, 2009). Kejadian seperti itu disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan pengamalan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal inilah yang mendasari munculnya sekolah berbasis agama.

commit to user

xiv

Saat ini di Indonesia sudah banyak didirikan sekolah berbasis agama. Pengertian sekolah berbasis agama menurut Imron (2009) yaitu salah satu jenjang pendidikan formal bernaung di bawah institusi religi, yang mengajarkan mata pelajaran umum dan agama, mempraktikkan aktivitas keagamaan dan budaya bernafaskan agama. Dengan kata lain, sekolah berbasis agama sama seperti institusi pendidikan umum lainnya yang mengajarkan mata pelajaran umum akan tetapi mata pelajaran agama lebih dominan diajarkan dan juga siswa dituntut untuk mengaplikasikan ajaran dan nilai-nilai keagamaan dalam aktivitas sehari-hari. Ajaran dan nilai-nilai keagamaan tersebut dapat memberi pengaruh terhadap kecerdasan emosi, dimana semakin komitmen seseorang dalam menjalankan agama yang ditampilkan dalam keyakinan, perasaan, pengetahuan, ritual, dan perilaku sehari-hari, maka orang tersebut akan semakin menunjukkan perilaku-perilaku yang menjadi dimensi dalam kecerdasan emosional (Relawu, 2007).

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA berbasis agama Islam. Siswa SMA dipilih sebagai subjek penelitian karena siswa SMA termasuk dalam kategori remaja, dimana dalam periode ini manusia sedang mengalami berbagai perubahan yang memberikan dampak pada emosinya (Feldman dkk, 2004). Selanjutnya alasan mengapa subjek dalam penelitian ini adalah sekolah berbasis agama Islam yaitu karena hanya siswa beragama Islam yang diterima di sekolah tersebut. Di samping itu, dalam Islam terdapat hal-hal seperti

commit to user

xv

konsistensi (istiqomah), kerendahan hati (tawadhu), berusaha dan berserah diri (tawakal), ketulusan (keikhlasan), totalitas (kaffah), keseimbangan (tawazun), integritas dan penyempurnaan (ihsan) yang dijadikan sebagai tolak ukur kecerdasan emosi seperti integritas, komitmen, konsistensi, keikhlasan, dan totalitas (Agustian, 2003). Berdasarkan pada hal-hal yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin mengetahui perbedaan kecerdasan emosi antara siswa kelas II SMAberbasis agama dan SMA reguler.

B. Perumusan Masalah

Adakah perbedaan kecerdasan emosi antara siswa kelas II SMA berbasis agama dan SMA reguler?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah perbedaan kecerdasan emosi antara siswa kelas II SMA berbasis agama dan SMA reguler.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan data ilmiah bidang kedokteran jiwa tentang ada tidaknya perbedaan kecerdasan emosi antara siswa kelas II SMA berbasis agama dan SMA reguler.

commit to user

xvi

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bahwa agama menjadi salah satu unsur yang berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang.

commit to user

xvii

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kecerdasan Emosi

a. Definisi

Istilah kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ) pertama kali dicetuskan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire. Salovey dan Meyer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan orang lain, serta menggunakan emosi-emosi itu untuk memandu pikiran dan tindakan seseorang (Awangga, 2008). Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh seorang ahli psikologi Israel bernama Bar-On pada tahun 1992, yang mendefinisikan

kecerdasan

emosional

sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2007). Lynn (2002) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu dimensi dalam kecerdasan seseorang yang bertanggung jawab kepada kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

commit to user

xviii

Menurut Mayer dan Caruso (2002), kecerdasan emosi memiliki dua sisi penting dalam perkembangannya. Pada satu sisi kecerdasan emosi melibatkan akal untuk memahami emosi, di sisi lain melibatkan emosi itu sendiri untuk dapat mencapai sistem intelektual dan menyempurnakan pemikiran kreatif serta berbagai gagasan.

Kecerdasan emosional ini sangat penting dimiliki oleh setiap orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Slaski dan Cartwright (2002), bahwa seseorang yang memiliki skor kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan kesadaran diri (self awareness) dan keterampilan interpersonal yang kuat, lebih empatik, mampu beradaptasi dan dapat bertahan menghadapi tekanan, mengalami pengalaman stres yang lebih sedikit dan keadaan kesehatan serta moral yang lebih baik. Menurut Mayer dan Salovey (Adeyemo, 2006) orang yang cerdas emosi digambarkan dengan seseorang yang mampu beradaptasi dengan baik, hangat, jujur, konsisten, dan optimis.

b. Perbedaan IQ dan EQ

Intelektual dan emosi adalah 2 kecerdasan berbeda yang mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks, lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas

commit to user

xix

otak. Sedangkan pusat-pusat emosi berada di bagian otak yang lebih dalam, dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno; kecerdasan emosi dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan dengan kerja pusat-pusat intelektual (Goleman, 2007).

Jika EQ dapat disamakan dengan kecerdasan emosi, maka IQ tidak berarti sama dengan intelegensi. Menurut David Wechsler (Staf IQEQ, 2003), intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional sedangkan IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.IQ sifatnya tetap dan tidak dapat berubah sementara EQ dapat diperbaiki dengan pendidikan, pelatihan dan pengalaman (Stein, 2002).

Jeanne Segal (2001) mengemukakan bahwa tumbuh dewasa secara emosional merupakan proses seumur hidup. Seseorang dapat selalu belajar untuk memahami perasaannya sendiri, menerimanya dan menggunakannya demi keuntungan diri sendiri dan orang lain. Staf IQEQ juga menyebutkan dalam situsnya bahwa IQ (Intelligence

commit to user

xx

Quotient ) tidak dapat berkembang.Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQnya tidak pernah bertumbuh atau berkurang. Tetapi EQ dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak dan penguasaan matematika. IQ mengukur kepandaian seseorang untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian pada aneka tugas dan latihan, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif, terlibat dalam proses berpikir, bekerja dengan angka, berpikiran abstrak dan analitis, serta memecahkan permasalahan dengan menerapkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya (Stein, 2002).

c. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Aspek-aspek Emotional Quotientsama pentingnya dengan nalar dan seringkali lebih penting daripada nalar karena kecerdasan tidak berarti apa-apa bila emosi sedang berkuasa. Kecerdasan emosi bukan didasarkan pada intelejensi, melainkan pada sesuatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau karakter (Budiyanto, 2004). Goleman (2007) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosi yang dapat

commit to user

xxi

menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

1) Mengenali emosi diri

Adalah kemampuan untuk memantau perasaan dari waktuke waktu dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.

2) Mengelola emosi

Adalah kemampuan untuk menguasai perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkapkan dengan tepat.

3) Memotivasi diri

Adalah kemampuan untuk menggerakkan dan menuntun menuju tujuan.

4) Mengenali emosi orang lain (empati)

Empati bukan hanya untuk mengetahui pikirannya saja melainkan juga perasaan orang lain.

5) Membina hubungan dengan orang lain

Membina hubungan adalah kemampuan seseorang untuk membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain.

commit to user

xi

d. Ranah Kecerdasan Emosi

Dua dari ranah intelegensi yang diajukan oleh Gardner, yaitu kemampuan memahami diri sendiri dan memahami orang lain, memiliki kemiripan dengan yang oleh beberapa ahli dikatakan sebagai intelegensi emosional. Orang-orang yang memiliki intelegensi emosional yang tinggi mampu menggunakan emosinya untuk meningkatkan motivasinya, menstimulasi pemikiran yang kreatif, dan mengembangkan empati terhadap orang lain. Orang-orang yang memiliki intelegensi emosional yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi emosi pada dirinya sendiri. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyangkal sedang mengalami depresi saat dirinya ada masalah, sangat mudah tersinggung, dan menjauh dari teman-temannya. Orang tersebut mungkin mengekspresikan emosi dengan cara yang tidak tepat, seperti berperilaku kasar atau bertindak impulsif saat dirinya sedang marah atau cemas. Selain itu orang tersebut akan terus membicarakan masalah-masalah yang dihadapi dan tidak menangkap ekspresi bosan yang ditunjukkan oleh lawan bicaranya (Wade, 2007).

Reuven BarOn dalam buku yang ditulis Stein dan Book (2002) akhirnya menemukan cara untuk merangkum kecerdasan emosional dengan membagi EQ ke dalam lima ranah yang menyeluruh yaitu:

11

commit to user

xxiii

1) Ranah intrapribadi, terkait dengan kemampuan diri mengenal dan mengendalikan diri sendiri. Hal ini meliputi kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa dirinya merasakan seperti itu dan pengaruh perilaku diri sendiri terhadap orang lain; sikap asertif, disebut juga kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan seseorang, membela diri, dan mempertahankan pendapat; kemandirian, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan kaki sendiri; penghargaan diri, yaitu kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan seseorang, dan menyenangi diri sendiri meskipun dirinya memiliki kelemahan; dan aktualisasi diri, yaitu kemampuan mewujudkan potensi yang dimiliki dan merasa senang/puas dengan prestasi yang diraih di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi.

2) Ranah antarpribadi, berkaitan dengan kemampuan diri untuk berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain. Terdiri atas tiga skala yaitu empati didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain, kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain; tanggung jawab sosial, atau kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan

commit to user

xxiv

hubungan saling menguntungkan, dan ditandai oleh saling memberi dan menerima; dan rasa kedekatan emosional.

3) Ranah penyesuaian diri, berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis, dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Ketiga skalanya adalah uji realitas, yaitu kemampuan untuk melihat sesuai dengan kenyataannya, bukan seperti yang diinginkan atau ditakuti; sikap fleksibel disebut juga kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan dengan keadaan yang berubah-ubah; dan pemecahan masalah, yaitu kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari dan menerapkan pemecahan yang jitu dan tepat.

4) Ranah pengendalian stres, terkait dengan kemampuan diri untuk tahan dalam menghadapi stres dan mengendalikan impuls. Kedua skalanya adalah ketahanan menanggung stres, atau kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi, dan secara konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar menghadapi konflik emosi; dan pengendalian impuls, atau kemampuan menahan atau menunda keinginan untuk bertindak.

5) Ranah suasana hati umum juga memiliki dua skala, yaitu optimisme, adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap positif

commit to user

xxv

yang realistis, terutama dalam menghadapi masa-masa sulit; dan kebahagiaan, yaitu kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan setiap kegiatan.

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Stein (2002) berpendapat bahwa EQ seseorang tergantung pada pendidikan, pelatihan, dan pengalaman emosional. Jeanne Segal (2001) juga mengeluarkan pendapat yang sama bahwa kecerdasan emosi dapat didapatkan dari proses belajar. Staf IQEQ (2003) menyebutkan bahwa pertumbuhan kecerdasan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Walgito (2004) membagi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menjadi dua faktor yaitu :

1) Faktor Internal Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis

14

commit to user

xxvi

mencakup di dalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.

2) Faktor Eksternal Faktor eksternal individu yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional adalah sebagai berikut:

a) Stimulus, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi.

b) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Faktor lingkungan sendiri terbagi menjadi: (1) Lingkungan keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi dengan cara contoh-contoh ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa kanak-kanak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari.

commit to user

xxvii

(2) Lingkungan non keluarga

Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang di luar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.

2. Sekolah Berbasis Agama

Di Indonesia banyak sekali terdapat sekolah-sekolah berbasis agama, bukan hanya Islam dengan Madrasahnya melainkan banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha memiliki sekolah-sekolah dimana nilai-nilai keagamaan menjadi dasar dalam proses pembelajaran. Ted Slutz dalam jurnalnya yang berjudul Faith Based Schools mengatakan bahwa sekolah berbasis agama merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh orang tua untuk menyelamatkan anaknya akan tetapi kadang orang tua mempunyai pandangan berlawanan (Rosemary, 2008).

Pengertian sekolah berbasis agama menurut Imron (2009) adalah salah satu jenjang pendidikan formal bernaung di bawah institusi religi, yang mengajarkan mata pelajaran umum dan agama, mempraktikkan aktivitas

commit to user

xxviii

keagamaan dan budaya bernafaskan agama. Dengan kata lain sekolah berbasis agama merupakan salah satu jenjang pendidikan formal yang diakui karena bernaung di bawah sebuah institusi resmi seperti halnya madrasah bernaung dalam institusi pemerintah yaitu di bawah Kementrian Agama Republik Indonesia. Sekolah berbasis agama sama seperti institusi pendidikan umum lainnya yang mengajarkan mata pelajaran umum akan tetapi mata pelajaran agama lebih dominan diajarkan dan juga siswa dituntut untuk selalu mempraktikkan atau mengaplikasikan ajaran agama ke dalam aktivitas atau kegiatan sehari-hari. Sistem penilaian di sekolah berbasis agama bukan hanya dari nilai kognitif yang diambil melalui ujian tertulis akan tetapi sistem sekolah juga menggunakan penilaian afektif atau sikap karena penilaian sikap ini dianggap sebagai hasil perwujudan dari nilai-nilai agama yang telah diajarkan kepada siswa.

Pengartian sekolah berbasis agama bukan hanya sebatas penggunaaan identitas keagamaan melainkan mempunyai arti yang lebih dalam. Menurut Hiemstra dan Brink (2006), sekolah berbasis agama adalah sekolah yang dioperasikan berdasarkan kepentingan sekte atau agama yang dibuka untuk kepentingan kelompok agama tertentu. Dalam pelaksanaannya sekolah berbasis agama ini memasukkan unsur keagamaan dalam proses pembelajaran ataupun dalam materi pembelajaran yang dibahas lebih banyak, lebih dalam, dan lebih terperinci

commit to user

xxix

daripada sekolah umum atau public school. Hal ini sudah termasuk dalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah tersebut. Pengetahuan siswa akan agamanya, tidak hanya sebatas pada teori semata, akan tetapi juga pada pengamalan dan pembiasaan diri melaksanaan ajaran-ajaran agamanya. Sistem kepercayaan yang diperkuat oleh teori-teori mengenai teologi agama, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dengan ritual atau praktik keagamaan di sekolah tersebut.

Praktik langsung atas ajaran agama, biasanya dapat mempengaruhi pola perilaku dan moralitas siswa di sekolah tersebut. Pada sekolah- sekolah Islam misalnya, ritual atas kepercayaan adanya Tuhan diterapkan melalui pelaksanaan shalat zuhur berjamaah. Selain itu, siswa juga dilatih untuk melakukan ritual-ritual lain dari ajaran-ajaran agama, seperti memanjaatkan doa dan mengkaji kitab suci sebelum memulai pelajaran (Zunainingsih, 2010). Contoh lain penerapan ajaran agama di sekolah berbasis agama adalah praktik berzakat pada sekolah-sekolah Islam. Ajaran zakat pada agama Islam dimaksudkan untuk membangun kepedulian pada sesama umat manusia dengan berbagi kebahagiaan dan rezeki kepada orang yang membutuhkan. Dengan praktik dan ritual zakat yang terus-menerus dilakukan melalui sekolah, maka siswa diharapkan memiliki pola perilaku yang sesuai dengan ajaran tersebut. Praktik zakat ini kemudian akan membentuk perilaku individu yang saling peduli,

commit to user

xxx

memberi, dan mengasihi antarsesama. Pembentukan moral ini juga dilakukan dengan cara menerapkan ajaran seperti amal, melakukan bakti sosial, dan lain sebagainya. Melalui sosialisasi semacam ini, maka akan dihasilkan perilaku dan moral individu yang diharapkan oleh masyarakat (struktur) yang ada. Hal-hal atau ritual-ritual semacam ini dilakukan oleh sekolah-sekolah berbasis agama, karena pembinaan kehidupan moral manusia dan penghayatan keagamaan dalan kehidupan seseorang sebenarnya bukan sekedar mempercayai seperangkat akidah dan melaksanakan tata cara upacara keagamaan saja, tetapi merupakan usaha yang terus-menerus untuk menyempurnakan diri pribadi dan hubungan vertikal kepada Tuhan dan horizontal terhadap sesama manusia (Saleh, 2005).

Dengan demikian, pengajaran ajaran-ajaran agama merupakan unsur yang terpenting karena hal ini merupakan dasar didirikannya sekolah berbasis agama ini agar para siswa dapat memahami dan menguasai tentang agama yang dianut bukan hanya sekedar kulit tetapi sampai inti pemahaman dan penguasaan agama tersebut secara menyeluruh agar dapat membimbing siswanya dalam menjalani kehidupan sesuai dengan nilai- nilai agama dengan tujuan akhirnya adalah surga.

commit to user

xxxi

3. Sekolah Reguler

Sekolah reguler adalah sekolah yang menjalankan program pendidikan standar tanpa ada program khusus. Program reguler sendiri menurut Latifah dalam Hawadi (2006), adalah suatu program pendidikan nasional yang penyelenggaraan pendidikannya bersifat massal yaitu berorientasi pada kuantitas/jumlah untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya siswa usia sekolah. Sebagai pendidikan nasional, program reguler dirancang, dilaksanakan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional.

Mudyahardjo (2002) mengungkapkan bahwa program reguler merupakan keseluruhan dari satuan-satuan pendidikan yang direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan yang bertujuan untuk menunjang tercapainya tujuan nasional. Selain itu, di dalam satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, pihak sekolah memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sekolah sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan ideologi bangsa dan negara. Siswa dalam program reguler lebih heterogen maksudnya mempunyai potensi, bakat, IQ yang berbeda-beda pula.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah reguler adalah sekolah yang menjalankan program pendidikan nasional dimana

commit to user

xxxii

penyelenggaraan pendidikannya bersifat massal dan lebih heterogen dalam hal potensi, bakat, serta IQ.

4. Kecerdasan Emosi Siswa SMA Berbasis Agama

Siswa SMA termasuk dalam golongan remaja, dimana pada tahapan perkembangannya, remaja mengalami berbagai perubahan, baik perubahan biologis, kognitif, maupun psikososial. Berbagai perubahan ini, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, memberikan dampak pada emosi remaja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan hormon yang terjadi dapat mempertinggi emosi remaja (Feldman dkk, 2004). Kemampuan untuk dapat berpikir secara abstrak juga dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja. Selain itu, pencarian identitas diri dan peran dalam masyarakat juga menyebabkan tingginya emosi pada remaja (Sarwono, 2006).

Adanya ketidakstabilan emosi yang dialami remaja ini dapat menjadi faktor yang menyebabkan remaja melakukan perilaku-perilaku negatif jika tidak diarahkan dengan tepat. Sarwono (2006) mengatakan bahwa remaja yang terlalu mengikuti emosinya yang tidak stabil memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perilaku-perilaku negatif seperti menyalahgunakan narkotika, melakukan hubungan seks di luar nikah, pelanggaran aturan sekolah, dan sebagainya. Berbagai perilaku negatif ini,

commit to user

xxxiii

menurut Goleman (2007) berkaitan dengan kecerdasan emosional remaja tersebut. Lazzari (2000) juga memaparkan bahwa perilaku negatif berupa kekerasan, penyalahgunaan obat, dan kenakalan yang lain pada remaja berhubungan dengan kurangnya kecerdasan emosional.

Goleman (2007) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan dorongan emosi, mengenali perasaan orang lain dan menjaga hubungan yang baik dengan orang lain. Dalam kecerdasan emosional juga terdapat kemampuan kontrol diri, terus berusaha, dan kemampuan memotivasi diri sendiri. Dari definisinya, Goleman membentuk lima aspek kecerdasan emosional, yaitu aspek kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Agama dapat mempengaruhi emosi seseorang. Menurut Safaria dan Saputra (2009), kegiatan dalam agama seperti shalat, berdoa, atau berdzikir akan membuat individu mengalami keadaan santai (relaksasi), tenang, dan damai. Keadaan ini mempengaruhi bagian otak manusia yang berhubungan dengan proses emosional terutama pada bagian hipotalamus. Pada keadaan meditatif melalui konsentrasi pada pernapasan, pengucapan kalimat dzikir, doa, shalat dan pengucapan kalimat autosugesti lainnya akan menyebabkan stimulasi aktivitas hipotalamus sehingga menghambat pengeluaran hormon Corticotropin-Releasing Factor (CRF), yang mengakibatkan kelenjar anterior pituitari terhambat mengeluarkan

commit to user

xxxiv

Adrenocorticotropin Hormone (ACTH) sehingga menghambat kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon kortisol. Secara umum, sebagai glukokortikoid, kortisol memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap respon peradangan dan sistem kekebalan. Kortisol menghambat produksi prostaglandin saat terjadi radang dengan menghambat enzim sikloksigenase serta menghambat sekresi sitokin IL-1 β hingga mengurangi jumlah kemotaksis leukosit yang dapat terjadi pada area infeksi, termasuk menurunkan tingkat proliferasi mastosit, neutrofil, eosinofil, sel T, sel B, dan fibroblas, sehingga sistem kekebalan akan menurun.

Jadi dengan melakukan kegiatan dalam agama akan menghambat produksi hormon kortisol yang akan meningkatkan sekresi sitokin IL-1 β serta juga jumlah leukosit dan sel-sel lain seperti mastosit, sel T dan sel B, sehingga sistem kekebalan tubuh akan meningkat dan menciptakan keadaan yang tenang, rileks, dan damai (Rice, 1992). Hubungan efek stimulasi kegiatan dalam agama tersebut pada proses fisiologis dan psikologis individu dapat dilihat pada gambar berikut.

commit to user

xxxv

Gambar 1. Dinamika Psikofisiologis Kegiatan dalam Agama

Latihan meditasi - Pengucapan dzikir dan autosugesti

- Konsentrasi pada pernafasan

Menghambat kelenjar adrenal

(ACTH) (CRF)

Menciptakan keadaan psikologi tenang, rileks, dan damai (emosi positif)

Hipotalamus

Interpretasi limbik sistem dari pengaruh keadaan meditatif

Menghambat kelenjar pituitari

Menimbulkan keadaan meditatif (tenang, santai, dan damai)

Sistem kekebalan tubuh meningkat

Kortisol menurun

Produksi prostaglandin meningkat

Sekresi sitokin IL- 1β meningkat

Meningkatnya jumlah kemotaksis leukosit (pada saat infeksi)

Proliferasi mastosit, eosinofil, sel T, sel B, fibroblast meningkat

commit to user

xxxvi

Sebuah penelitian dilakukan oleh Relawu (2007) untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara religiusitas dengan kecerdasan emosional pada remaja beragama Islam. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dengan kecerdasan emosional. Religiusitas memiliki lima dimensi yaitu dimensi perasaan, keyakinan, ritual, pengetahuan, dan pengaruh (Glock dan Stark dalam Robinson dan Shaver, 1980). Kelima dimensi tersebut memberi pengaruh terhadap kecerdasan emosional sebesar 10,8%.

Rahman (2009) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara religiusitas dengan kecerdasan emosional remaja. Agama mengajarkan kesadaran untuk mengelola dan mengatur emosi.Ketika permasalahan terjadi mengelola dan mengatur emosi termasuk dalam salah satu aspek kecerdasan emosi yang harus dikembangkan. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap agama, sebagai salah satu dimensi keagamaan, dapat mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang. Hal ini dapat berarti pendidikan agama yang diberikan di sekolah dapat menjadi salah satu pengetahuan agama yang bisa meningkatkan kecerdasan emosional remaja tersebut.

Sekolah berbasis agama memasukkan unsur keagamaan dalam proses pembelajaran ataupun dalam materi pembelajaran yang dibahas lebih banyak, lebih dalam, dan lebih terperinci daripada sekolah umum atau

commit to user

xxxvii

public school . Hal ini sudah termasuk dalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah tersebut. Pengetahuan siswa akan agamanya, tidak hanya sebatas pada teori semata, akan tetapi juga pada pengamalan dan pembiasaan diri melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Sistem kepercayaan yang diperkuat oleh teori-teori mengenai teologi agama, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dengan ritual atau praktik keagamaan di sekolah tersebut (Hiemstra dan Brink, 2006). Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin luas pengetahuan agama serta semakin komitmen seseorang dalam menjalankan agama yang ditampilkan dalam keyakinan, perasaan, pengetahuan, ritual, dan perilaku sehari-hari, maka orang tersebut akan semakin menunjukkan perilaku-perilaku yang menjadi dimensi dalam kecerdasan emosional.

5. Lie Minnesota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI)

Lie Minnesota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI) merupakan tes kepribadian yang banyak penggunaannya di dunia sejak tahun 1942. Dikembangkan oleh Hathaway (psikolog) dan Mc Kinley (psikiater) dari Universitas Minnesota, Mineapolis, USA sejak tahun 1930-an (Butcher, 2005).

commit to user

xxxviii

Dalam penelitian ini hanya dipergunakan skala L dalam keseluruhan tes MMPI. Skala L dipergunakan untuk mendeteksi ketidakjujuran subyek termasuk kesengajaan subjek dalam menjawab pertanyaan supaya dirinya terlihat baik (Graham, 2005). Dalam skala ini dikemukakan kesalahan- kesalahan kecil yang terdapat pada setiap orang, yang baginya tidak ada alasan untuk menyembunyikannya. Bila pada kekurangan-kekurangan kecil ini orang tidak mau jujur atau tidak mau mengakuinya, maka tampak adanya skor yang tinggi (Hawari, 2009). Tes ini berfungsi sebagai skala validitas untuk mengidentifikasi hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidak jujuran subjek penelitian. Tes berupa kuesioner yang terdiri dari 15 soal dengan jawaban “ya” atau “tidak” dengan nilai batas skala adalah ≥ 10, artinya apabila responden mempunyai nilai 10 maka responden tersebut dinyatakan invalid (Graham, 2005).

6. Kuesioner Kecerdasan Emosi

Pada subjek penelitian dikenakan skala inventori EQ yang telah disusun berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi (EQ) menurut Salovey dan Meyer dalam Goleman (2007), yaitu meliputi kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Skala pengukuran variabel telah diujicobakan sebelumnya, mengingat untuk variabel-variabel non fisik

commit to user

xxxix

sebelum digunakan hendaknya dilakukan uji validasi dan reliabilitas. Skala untuk kuesioner kecerdasan emosi ini telah digunakan Hermasanti (2009) dalam penelitiannya dengan aitem valid sebanyak 38 aitem dari 45 aitem. Hasil validitas aitem adalah bergerak dari 0,195-0,624 dengan hasil reliabilitasnya adalah 0,888. Angket ini terdiri dari dua macam pernyataan, yaitu pernyataan favorable dan unfavorable. Favorable adalah pernyataan yang mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur, sedang pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang tidak mendukung atau tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur.

Jenis Aitem

Untuk pernyataan yang bersifat favorable adalah sangat setuju bernilai

4, setuju bernilai 3, tidak setuju bernilai 2, dan sangat tidak setuju bernilai 1.Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat unfavorable adalah sangat setuju bernilai 1, setuju bernilai 2, tidak setuju bernilai 3, dan sangat tidak setuju bernilai 4. Aitem favorable sebanyak 22 pernyataan, sedang unfavorable sebanyak 16 pernyataan.

commit to user

xl

7. Rutin Melakukan Kegiatan Beragama

Yang dimaksud dengan rutin melakukan kegiatan beragama adalah teratur melakukan kewajiban dalam kegiatan beragamanya sesuai dengan agama yang dianut, misalnya melakukan sholat lima waktu bagi yang beragama Islam, mengikuti sholat Jumat bagi kaum laki-laki beragama Islam, mengucapkan doa sebelum makan (Makfiah, 2006).

commit to user

xli

B. Kerangka Berpikir

diteliti tidak diteliti

Siswa Kelas II

SMA Berbasis Agama SMA Reguler

1. Jam pembelajaran agama lebih banyak

2. Pengetahuan agama relatif lebih banyak

3. Pengamalan nilai-nilai agama relatif lebih banyak

Faktor internal

a. Segi jasmani

1) Faktor fisik

2) Kesehatan individu

b. Segi psikologis Pengalaman, perasaan,

kemampuan berfikir dan motivasi.

Faktor eksternal

a. Stimulus itu sendiri, seperti pembelajaran EQ dan pelatihan EQ.

b. Lingkungan atau situasi, dukungan dan asuhan orang tua, bimbingan orang tua

Faktor-faktor yang mempengaruhi EQ

Emotional Quotient Emotional Quotient < >

1. Jam pembelajaran agama lebih sedikit

2. Pengetahuan agama relatif lebih sedikit

3. Pengamalan nilai-nilai agama relatif lebih sedikit

commit to user

xlii

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara siswa kelas II SMA berbasis agama dan SMA reguler, dimana kecerdasan emosi siswa kelas II SMA berbasis agama lebih baik daripada siswa SMA reguler.

commit to user

xliii

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini yaitu penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional , yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang diobservasi pada saat yang sama (Taufiqurohman, 2008).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 1 Surakarta dan SMA Negeri 7 Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas II SMA Muhammadiyah 1 Surakarta dan SMA Negeri 7 Surakarta dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

a. Bersedia menjadi responden dan telah mengisi formulir biodata serta lembar persetujuan.

b. Siswa tidak menderita penyakit fisik yang berat dan/atau gangguan mental yang berat.

32

commit to user

xliv

c. Siswa yang rutin melakukan kegiatan beragama sehari-hari, misal sholat lima waktu bagi yang beragama Islam.

2. Kriteria Eksklusi

a. Skor L-MMPI lebih dari sama dengan 10.

b. Siswa yang menolak untuk menjadi responden.

c. Responden tidak mengisi lengkap semua kuesioner yang diberikan.

d. Mengikuti kegiatan keagamaan di luar sekolah.

e. Siswa dengan penyakit fisik yang berat dan/atau gangguan mental yang berat.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive random sampling, yang menurut Hadi (2000) adalah pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Adapun menurut patokan umum, setiap penelitian yang datanya akan dianalisis bivariat atau dua variabel membutuhkan sampel minimal 30 subjek penelitian (Murti, 2006). Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti mengambil sampel 30 orang siswa kelas II SMA berbasis agama dan 30 orang siswa kelas II SMA reguler.

commit to user

xlv

E. Rancangan Penelitian

Siswa Kelas II SMA Muhammadiyah 1

Surakarta

Pemilihan kelas sebagai sampel

Subjek Penelitian Kelompok Kontrol

Angket Emotional Quotient

Angket Emotional Quotient

Analisis Statistik

Siswa Kelas II SMA Negeri 7 Surakarta

Formulir Biodata, Lembar Persetujuan dan L-MMPI

Pemilihan kelas sebagai sampel

Formulir Biodata, Lembar Persetujuan dan L-MMPI

Populasi

commit to user

xlvi

F. Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas : Siswa kelas II dengan variasi SMA berbasis agama dan

SMA reguler.

2. Variabel terikat : Kecerdasan emosi

3. Variabel luar :

a. Terkendali

: usia, kesehatan fisik, pelatihan EQ

b. Tidak terkendali: pembelajaran EQ, lingkungan sekitar, asuhan orang

tua, bimbingan orang tua

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Bebas

a. Siswa kelas II SMA berbasis agama adalah siswa kelas II SMA Muhammadiyah 1 Surakarta.

b. Siswa kelas II SMA reguler adalah siswa kelas II SMA Negeri 7 Surakarta. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal.

2. Variabel Terikat Pada penelitian ini kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ) diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 38 pernyataan.

commit to user

xlvii

Nilai EQ diperoleh dari jawaban subjek pada skala EQ. Makin tinggi jumlah skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula kecerdasan emosinya. Begitu juga sebaliknya. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala interval.

H. Instrumen Penelitian

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah:

1. Formulir biodata dan lembar persetujuan Pada bagian ini terdapat petunjuk pengisian kuesioner dan lembar persetujuan untuk mengikuti penelitian.

2. Kuesioner L-MMPI (Lie Minnesota Multiphasic Personality Inventory) Kuesioner ini berfungsi sebagai skala validitas untuk mengidentifikasi hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidakjujuran subjek penelitian, dimana nilai batas skala adalah ≥ 10, artinya apabila responden mempunyai nilai 10 maka responden tersebut dinyatakan invalid (Graham, 2005).

3. Kuesioner tentang kecerdasan emosi Skala untuk kuesioner kecerdasan emosi ini telah digunakan dengan aitem valid sebanyak 38 aitem. Angket ini terdiri dari dua macam pernyataan, yaitu pernyataan favorable dan unfavorable.