Jejak Karakter Bangsa dalam Budaya Visua

Jejak Karakter Bangsa dalam Budaya Visual Indonesia
Hariyanto
Jurusan Seni dan Desain FS UM
hariyantosiswowihardjo@yahoo.co.id
Budaya visual Indonesia sudah dihasilkan oleh para pelaku budaya
Sejak zaman pra-sejarah. Benda-benda artefak budaya peninggalan
masa lampau hingga benda-benda canggih yang dihasilkan pada
zaman sekarang ini merupakan produk dari masyarakatnya. Artefak
budaya visual juga dapa dilihat sebagai representasi, identitas, dan
karakter bangsa. Budaya visual hasil peradaban bangsa Indonesia
dapat dijadikan penanda kemajuan bangsa kita. Artefak-artefak yang
ditinggalkan akan bermanfaat bagi bangsa Indonesia terutama anak
muda untuk belajar tentang kemajuan bangsa . Budaya visual
Indonesia yang dihasilkan sejak era pra-sejarah, era Hindu-Budha,
era Islam, era kolonial, era Soekarno, era Soeharto, dan era reformasi.
Jejak-jejak karakter bangsa Indonesia terekam dan tersirat dalam
artefak-artefak budaya visual Indonesia itu. Kita dapat belajar tentang
karakter bangsa melalui budaya visual yang diwariskan oleh masa
lampau maupun yang dihasilkan masa kini.
Kata kunci: karakter bangsa, budaya visual


Bangsa Indonesia yang sudah merdeka 72 tahun masih belum menunjukkan jatidiri
dan karakter yang jelas sebagai sebuah bangsa yang besar. Potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang besar belum dimanfaatkan secara maksimal. Alam Indonesia yang
terdiri dari pulau-pulau, gunung-gunung, dan pantai-pantai dengan iklim tropis telah
membentuk watak dan karakter bangsa sebagai petani/peladang/peternak dan pelaut/nelayan.
Kejayaan di masa lampau sebagai bangsa agraris dan maritim belum menginspirasi bangsa
Indonesia untuk menekuni profesi atau menggali perekonomian yang bersumber dari laut
atau pertanian.
Melalui perjalanan sejarah budaya bangsa masa lampau kita bisa melihat karakter
bangsa Indonesia dari waktu ke waktu. Budaya visual bisa menjadi alat bantu untuk
memahami karakter bangsa Indonesia. Tingkat kemajuan peradaban bangsa dapat dilihat dari
karya seni dan budaya yang ditinggalkan oleh suatu zaman. Kebudayaan Indonesia
dipengaruhi oleh kebudayaan besar dari luar seperti India, Cina, Arab, dan Eropa. Budaya
Hindu-Budha sangat kuat memberi pengaruh pada budaya Jawa dan Bali. Kedatangan Islam
telah memberi pengaruh kuat terhadap budaya Indonesia. Budaya modern dibawa oleh
belanda dan Inggris melalui kolonisasi. Perubahan kebudayaan yang telah terjadi dalam
sejarah Indonesia bisa dilihat dari budaya visual yang ditinggalkan.

Makalah ini membahas tentang budaya dan masyarakat Indonesia, budaya dan
karakter bangsa, kekayaan budaya agraris, kekayaan budaya maritim, kolonisasi

melemahkan karakter bangsa dan mentalitas poskolonial.
Budaya Visual
Budaya visual adalah aspek budaya yang diekspresikan dalam citra visual. Berbagai
bidang studi yang terkait dengan budaya visual adalah kajian budaya, sejarah seni rupa, teori
kritis, filsafat, kajian media, dan antropologi (Wikipedia). Cakupan budaya visual lebih luas
dibanding bidang seni rupa yang lebih memfokuskan pada aspek bentuk, estetika, dan makna
dari objek atau karya seni rupa. Budaya visual tidak membatasi objek kajiannya hanya pada
seni atau budaya tinggi saja, tetapi mencakup benda-benda hasil kerajinan rakyat hingga
barang-barang industri yang dihasilkan oleh mesin.
Jika kita membahas tentang budaya visual Indonesia maka materi bahasan yang bisa
dimaksukkan amatlah luas dan beragam. Pembicaraan tentang budaya visual Indonesia ini
hanya akan membatasi diri pada produk budaya yang dihasilkan oleh para pelaku budaya
visual sejak masa pramodern hingga posmodern yang berkaitan dengan karakter bangsa.
Berdasarkan pandangan sosiologi dan antropologi, produk budaya merupakan produk
masyarakat dan zamannya. Benda-benda budaya merupakan cerminan masyarakatnya,
sehingga kita dapat menemukan karakter bangsa dari benda atau produk budaya yang
dihasilkan
Seni, desain, dan kriya sebagai produk budaya visual dihasilkan oleh pelaku budaya
visual dengan maksud, tujuan, dan fungsi yang berbeda sesuai dengan zamannya masingmasing. Seni rupa, kriya, dan arsitektur tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling mendukung
sebagai sebuah keutuhan yang menunjukkan citarasa dan kekuasaan dari pemiliknya. Pada

masa lampau raja dan kaum bangsawan menjadi patron bagi berkembangnya seni rupa dan
kriya. Para seniman dan empu kriya bekerja untuk raja dan keluarga.
Sejarah bangsa Indonesia telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lampau dan
sudah mengalami banyak perubahan seiring dengan pengaruh bangsa-bangsa besar yang
datang ke Indonesia. Bangsa Indonesia telah mengalami kontak dengan budaya India, China,
Arab, Persia, hingga Eropa. Setiap bangsa yang datang membawa budaya berbeda-beda dan
meninggalkan pengaruh terhadap budaya Indonenesia.
Budaya dan Masyarakat
Timbul dan berkembangnya seni budaya tidak lepas dari, ciri khas, dan fenomena
dalam kehidupan masyarakat di mana suatu produk seni dihasilkan. Kehadiran produk seni
dan desain juga dipengaruhi oleh kondisi alam lingkungannya (Gustami, 2007:233).

Lingkungan alam Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan laut yang luas dan banyak
gunung berapi serta iklim tropis telah membentuk karakter penghuninya. Sejak ribuan tahun
yang lalu alam Indonesia yang terdiri dari tanah dan air serta seisinya telah mengelompokkan
para penghuninya ke dalam suku-suku. Selain mengelompok berdasarkan suku-suku,
penghuni kepulauan Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia ini juga mengelompok
berdasarkan lingkungan geografis. Masyarakat yang tinggal di pedalaman atau pegunungan
lebih berorientasi ke tanah, sedangkan masyarakat yang tinggal di dekat laut atau pesisir
pantai lebbih berorientasi ke air.

Gustami (2007:233) menjelaskan bahwa kehidupan di pedalaman yang bertumpu
pada tanah pertanian tampak lebih tertutup, normatif, dan baku. Peradaban pesisir pantai yang
bertumpu pada kehidupan dan perdagangan laut tampak lebih terbuka, bebas, dan dinamis.
Ciri-ciri kehidupan dan perilaku sosial tersebut terpancar melalui bentuk perwujudan karya
seni mereka. Selain lingkungan alam telah membentuk perilaku sosial yang terpancar dari
perwujudan karya seni dan desain yang dihasilkan, maka dengan hadirnya pendatang dari
Cina, India, Arab, dan Eropa juga menjadi faktor yang mempengaruhi pola pikir masyarakat
Indonesia. Sistem kasta dan sistem feodal telah mendorong stratifikasi sosial masyarakat
sehingga kemudian melahirkan budaya agung dalam tradisi besar dan budaya alit dalam
tradisi kecil.
Kita meyakini bahwa budaya visual (seni dan desain) merupakan cermin budaya
bangsa, sekaligus sebagai rekaman pola pikir dan perilaku masyarakatnya. Untuk memahami
konsep seni dan desain yang telah dihasilkan dalam sejarah budaya bangsa Indonesia, maka
perlu dilacak melalui kompleksitas nilai, kondisi alam, dan sosial-budayanya. Dalam sejarah
budaya Nusantara telah dikenal adanya kebudayaan keraton dan kebudayaan desa.
Kebudayaan keraton berpusat dan bersumber pada kegiatan di ibukota kerajaan yang disebut
negara atau nagari. Kebudayaan keraton (budaya ageng) memiliki ciri-ciri bersifat halus
dengan selera dan gaya yang rumit (penuh ornamen), dan kaya keindahan. Kebudayaan desa
(budaya alit) biasanya lebih sederhana, tidak rumit, dan pengerjaannya kasar.
Kebudayaan berfungsi sebagai sumber nilai dan sumber belajar karena setiap

kebudayaan memiliki kandungan nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat pendukungnya.
Kita menyadari bahwa tidak semua kebudayaan memiliki kandungan nilai yang positif bagi
generasi sekarang. Nilai-nilai positif yang terkandung dalam kebudayaan bangsa Indonesia
bisa digali kembali untuk direaktualisasi dan direvitalisasi sehingga dapat bermanfaat untuk
peningkatan kualitas hidup bangsa Indonesia saat ini atau yang akan datang.
Budaya dan Karakter Bangsa

Karakter sebuah bangsa bisa dilihat dari sikap, perilaku, dan produk budaya yang
dihasilkan pada zamannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istilah 'karakter' berarti
'sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain;
tabiat; watak'. Konsep karakter dipahami dalam dua pengertian, yang pertama sebagai
sekumpulan kondisi rohaniah pada diri seseorang yang sudah terberi (given), ini merupakan
pandangan deterministik. Pengertian kedua dipahami sebagai tingkat kekuatan atau
ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given. Ia
merupakan proses yang dikehendaki oleh seseorang untuk menyempurnakan kemanusiaannya
(Lickona,1991: 51).
Proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang
khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang disebut faktor bawaan (nature) dan
lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Faktor
bawaan bisa dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk

mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada
jangkauan masyarakat dan ndividu. Jadi usaha pengembangan atau pendidikan karakter
seseorang dapat dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan
melalui rekayasa faktor lingkungan (Dirjen Dikti, 2010).
Seni rupa dan desain sebagai wujud dari budaya visual dapat menjadi penanda zaman
atau sejarah suatu bangsa. Sejarah budaya Nusantara telah mencatat bahwa budaya bangsa
Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak ribuan tahun yang lalu. Sejak era sejarah
bisa kita lihat perubahan-perubahan penting telah terjadi akibat dari pergantian era yang
ditandai dengan perubahan dinasti dan kontak dengan budaya luar. Sejarah kebudayaan
Nusantara banyak ditulis oleh para sejarawan dengan periodisasi berdasarkan penulis Barat
yang hingga kini belum berubah. Kebudayaan Nusantara yang beragam bisa dikelompokkan
dalam dua sudut pandang yaitu ruang dan bisa waktu. Berdasarkan waktu kita lihat sejarah
budaya Nusantara dimulai dari masa Hindu-Budha sejak dari : Kutei, Tarumanegara,
Mataram Kuno, Sriwijaya, Kediri, Singosari, dan Majapahit. Periode berikutnya adalah masa
Islam yang dimulai dari Demak, Pajang, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Pada masa
Islam terjadi kolonisasi oleh VOC kemudian Belanda.
Agama yang dianut oleh para raja yang berkuasa menjadi ideologi kerajaan dan
diikuti oleh para pejabat kerajaan, kaum bangsawan dan rakyatnya. Monumen, candi, istana,
makam, prasasti, karya sastra, seni tari, musik, gaya busana, senjata, bahasa, dan sebagainya
menjadi petunjuk bagi generasi sekarang untuk melihat kejayaan masa lampau bangsa


Indonesia. Para sejarawan asing terkesan “Jawa sentris” dalam menyajikan tulisan sejarah
mereka. Pada kenyataannya memang pusat-pusat kebudayaan Hindu-Budha dan Islam
sebagian besar terdapat di Jawa.
Kajian terhadap budaya Nusantara dilihat dari sudut pandang ruang biasanya
menggunakan pembagian ruang ekologis atau geografis yaitu budaya pedalaman yang
agraris, dan budaya pesisir pantai yang maritim. Dalam sejarah budaya Nusantara kita
mengenal dua kerajaan besar yang kuat berciri maritim yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Pada
masa Islam kita kenal kerajaan Samodra dan Pasai, Demak, serta kerajaan lain seperti Bugis,
Makassar.
Sejarah budaya Nusantara mengalami perubahan terus-menerus mengikuti perubahan
kekuasaan politik. Pusat-pusat kebudayaan yang identik dengan pusat politik selama
perjalanan sejarah bangsa masih berada di pusat-pusat kerajaan Jawa. Pusat-pusat budaya
Jawa seperti Mataram, Kediri, Singosari, Majapahit, Surakarta, dan Yogyakarta. Kebesaran
Majapahit dengan wilayahnya yang luas hingga ke luar negeri telah memunculkan konsep
Bhinneka Tunggal Ika yang dilestarikan sebagai motto resmi oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pembentukan budaya nasional masih terus berproses yang dikembangkan dari
puncak-puncak budaya daerah atau budaya suku. Pemimpin bangsa yang diberi amanah
untuk memimpin dan mengembangkan budaya nasional seringkali menyalahgunakan untuk

kepentingan diri dan kelompoknya. Proses pemmbentukan budaya nasional pada masa lalu
masih didominasi oleh budaya Jawa, sehingga seringkali disebut “Jawanisasi” budaya
nasional. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto lebih berorientasi agraris. Hasil-hasil
pembangunan yang berupa artefak budaya bisa dilihat untuk mengidentifikasi orientasi
budaya Soeharto.
Pada masyarakat agraris, kesenian merupakan bagian dari kehidupan mereka. Hal ini
terjadi karena bagi mereka kesenian bukan hanya sekedar tontonan, tetapi juga merupakan
bagian penting untuk penguat suatu upacara religius. Upacara-upacara semacam itu hingga
saat ini masih tetap terus hidup dalam memperingati siklus pertanian, silkus kehidupan
seseorang, memperinggati peristiwa penting hidup seseorang, syukuran, usaha tolak bala, dll.
Lombard (2005: 174-175) menyatakan bahwa budaya Nusantara terbentuk karena
pertentangan antara dunia agraris dan dunia jaringan perniagaan. Pertarrungan antara dua
kekuatan tersebut merupakan salah satu kunci sejarah Jawa dan Indonesia. Sebenarnya
hingga sekarang pertentangan itu masih ada antara ideologi agraris dan ideologi maritim, hal
ini bisa dilihat dari orientasi pembangunan yang telah dilakukan di masa lampau.

Pemerintahan Joko Widodo mulai menyadari potensi maritim Indonesia baik dari aspek
ekonomi maupun pertahanan, sehingga konsep pembangunan pemerintah saat ini lebih
condong ke maritim. Pemerintah menambah satu menteri koordinator yang menangani
kemaritiman.

Kekayaan budaya agraris warisan Nusantara
Budaya agraris identik dengan budaya petani atau budaya pedalaman yang
berorientasi ke hubungan harmoni antara petani, tanah, dan para dewa (sekarang Tuhan yang
Mahaesa). Para raja yang berkuasa pada masa Hindu-Budha dinobatkan sebagai dewa-raja,
penguasa gunung yang memposisikan gunung sebagai tempat pemujaan. Pemujaan terhadap
gunung masih dilakukan hingga saat ini melalui berbagai tindakan budaya maupun budaya
material yang dihasilkan.

Gambar 1 : a. Gunung Merapi dan b. Punden berundak (sumber:http://3.bp.blogspot.com)

Gambar 2 : a. Gunungan Sekaten (http://kotajogja.com),
b. Gunungan Wayang kulit (https://i.pinimg.com)

Masyarakat agraris memiliki tradisi memuja Dewi Sri dalam berbagai bentuk
kegiatan seperti bersih desa, menyuguhkan sesaji, menyelenggarakan pertunjukkan tari
Tayub, memajang patung Loro Blonyo, dan sebagainya. Tiap tahapan dalam siklus pertanian
seperti mulai menanam padi hingga panen biasanya dilakukan upacara tradisi dalam bentuk
sesaji, doa bersama, dan persembahan kesenian.

Gambar 3: a. Patung Dewi Sri (https://upload.wikimedia.org)

b. Sepasang patung Loro Blonyo (https://www.nasionalisme.co)

Budaya masyarakat agraris dibedakan dalam dua kategori yaitu budaya ageng atau
budaya keraton, tradisi besar dengan budaya alit atau budaya desa, tradisi kecil. Budaya
keraton memiliki ciri yang halus, anggun, dan baku sehingga menjadi rujukan bagi budaya
desa. Adakalanya budaya desa yang memiliki keunikan atau keunggulan diadopsi dan
diangkat menjadi budaya keraton. Hubungan antara masyarakat desa dengan raja dan pejabat
kerajaan menjadi hubungan patron-klien.
Keraton, masjid, rumah bangsawan, rumah bupati, dan sebagainya dibangun dengan
arsitektur Jawa yang masih mewarisi sistem mandala dan atap limas atau atap tumpang. Di
dalam rumah Jawa yang ideal terdapat seperangkat alat musik gamelan. Pada peringatan hari
besar dan siklus hidup, para bangsawan atau petinggi desa menyelenggarakan upacara dengan
menggelar pertunjukan wayang kulit purwa atau wayang orang.
Busana utama masyarakat agraris adalah batik dengan motif geometrik dan warna
yang tidak cerah atau monokrom. Untuk masyarakat bawah biasa menggunakan bahan kain
lurik tenun dengan motif garis. Stratifikasi sosial sudah terdapat sejak lama di Nusantara yang
bisa kita lihat dari berbagai tanda atau atribut yang dikenakan masing-masing kelompok.
Pada tahun 1769 Susuhunan Solo mengeluarkan keputusan yang berisi larangan motif batik
“jilampran” untuk dipakai semua orang kecuali raja dan putra-putrinya. Sultan Yogyakarta
pada tahun 1785 merancang pola batik parang rusak untuk keperluan pribadi dan melakukan

pembatasan atas pola : sawat, parang rusak cumengkirang, dan udan liris (Van Der Hoop,
dalam Dharsono, 2006: 68).

Gambar 4: a. Batik motif parangrusak (eza batik tuban - WordPress.com)
b. Batik motif megamendung (okky491s5d - WordPress.com)

Gambar 5 : Pertunjukan wayang kulit purwa
(Sumber : Good News from Indonesia)

Budaya agraris Jawa yang paling menonjol adalah wayang kulit purwa yang hingga
kini masih hidup dan digemari banyak orang. Sumber ceritera wayang kulit purwa berasal
dari India yaitu Ramayana dan Mahabarata. Berdasarkan ikonografi, wayang kulit purwa
menandai secara lahiriah peranan fungsional, status hirarkis, dan temperamen, kadangkadang keadaan suasana hati ksatria (Holt, 2000:194). Tipologi wayang telah memberikan
pengaruh kuat pada sikap-sikap sehari-hari orang Jawa. Tingkah laku ideal di dunia wayang
berhubungan dengan etiket yang distilasi tinggi dari istana-istana Jawa yang meresap pada
masyarakat Jawa sebelum masa revolusi, dan masih bertahan pada generasi tua (Holt, 2000 :
201-202).

Gambar 6 : Pertunjukan wayang kulit purwa
(Sumber : Good News from Indonesia)

Gambar 7 : a. Arjuna gaya Yogyakarta (Sumber : Blvckshadow – blogger)
b. Punakawan (3.bp.blogspot.com)

Wayang kulit purwa terutama gaya Surakarta lebih populer dibanding wayang jenis
lain seperti wayang gedog, wayang krucil, wayang topeng, wayang beber dan wayang lain
yang bersumber dari cerita Panji. Cerita atau roman Panji yang merupakan cerita asli hasil
kreasi penulis dari Jawa Timur pada zaman Kediri. Cerita Panji mencapai puncaknya pada
zaman Majapahit, hal ini dibuktikan dengan tersebarnya relief-relief candi zaman Majapahit
yang menampilkan tokoh Panji. Penyebaran cerita Panji hingga ke Malaysia dan Thailand
diperkiraakan bersamaan dengan ekspansi Majapahit untuk menyatukan Nusantara. Cerita
Panji yang terwujud dalam wayang Topeng berkembang di daerah Jawa Timur dan Jawa
Tengah, serta Jawa Barat. Wayang topeng Jawa Timur berciri kerakyatan seperti wayang
topeng Malangan. Wayang topeng Jawa Tengah lebih halus karena ada pengaruh dari tari
klasik gaya keraton (Kieven, 2014).

Gambar 8 : a. Relief Ramayana, Rama dan Sita (sumber : Wikipedia)
b. Relief Arjunawiwaha di Candi Jago

Cerita Panji sangat populer karena kemampuannya dalam mengusung nilai-nilai
universal. Ajaran asketisme yang termuat dalam Cerita Panji dapat dipakai sebagai acuan
untuk membentuk karakter bangsa, sehingga terbentuk manusia yang mengedepankan nilainilai altruisme, yakni pembentukan sifat, sikap, dan perilaku yang lebih mengutamakan
kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri (Nurcahyo, 2016). Turunan dari
cerita Panji selain wayang topeng adalah relief candi di Jawa Timur, yang menggambarkan

percintaan antara Panji dengan Galuh, relief Sri Tanjung, Panji dengan Kertolo, dan
sebagainya.

Gambar 9 : a. Panji bertapa digoda Suprabha dan Tillotama (sumber, Wikipedia)
b. Raden Panji menikah dengan Dewi Sri dan Unon (sumber, Wacana Nusantara)
Para peneliti mempercayai bahwa cerita Panji memiliki banyak ajaran moral sehingga
dapat dijadikan meia bagi pendidikan moral atau pendidikan karakter. Sunarto (2015)
menjelaskan bahwa nilai-nilai moral individu yang ditemukan pada cerita rakyat Panji
semirang meliputi : pemberani, menghormati dan menghargai, bekerja keras, dan hati hati
dalam bertindak. Nilai moral sosial yang ditemukan pada cerita rakyat Panji semirang yaitu
(1) suka memberi nasihat dan (2) peduli orang lain. Nilai moral religius yang ditemukan
pada cerita rakyat Panji Semirang meliputi (1) percaya kekuasaan Tuhan dan (2) berserah diri
pada Tuhan.
Kekayaan Budaya Maritim Nusantara
Bangsa Indonesia memiliki potensi kelautan yang sangat kaya karena memiliki
jumlah pulau yang banyak dan lautan yang luas. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal
di pedalaman, sedangkan yang tinggal di pesisir lebih sedikit. Masyarakat pesisir memiliki
kemampuan membuat kapal dan mengarungi lautan untuk mencari ikan dan berdagang ke
luar pulau hingga ke luar negeri. Kota-kota pelabuhan dan kota-kota dagang banyak tumbuh
di daerah pesisir di pulau-pulau besar Nusantara. Pelabuhan perlintasan kapal atau entrepot
adalah pelabuhan, kota, dan atau pos dagang dimana pernak-pernik diimpor, diperbelanjakan
atau diperdagangkan, biasanya untuk diekspor lagi. Kota-kota komersial tersebut merebak
karena pertumbuhan perdagangan jangka panjang (Wikipedia).
Entrepot-entrepot ini kemudian menjadi pusat perlintasan orang-orang yang berasal
dari berbagai pulau bahkan dari luar negeri. Kota-kota pelabuhan kemudian menjadi tempat
pertemuan berbagai budaya sehingga memberi ruang terjadinya dialog-dialog budaya.
Persilangan budaya, asimilasi, akulturasi banyak terjadi di kota-kota pelabuhan sehingga

melahirkan budaya campuran. Hibridisasi budaya terjadi dengan cara negosiasi yang tidak
saling merugikan.

Gambar 10 : a. Armada Kapal Pati Unus menyerang Malaka (https://www.arrahmah.co.id)
b. Kapal Pinisi karya pelaut Bugis (Kompasiana.com)

Dalam struktur budaya Jawa biasanya posisi Keraton Yogyakarta dan Surakarta atau
Negariagung dianggap sebagai pusat sedangkan daerah pesisiran berada di pinggiran yang
jauh dari pusat. Negariagung memiliki ciri budaya yang halus dan baku serta menjadi rujukan
bagi mancanegari atau daerah di luar negariagung dan daerah pesisiran. Masyarakat
negariagung memandang kebudayaan di luarnya, terutama pesisir sebagai kebudayaan yang
kurang halus atau kasar. Daerah Pesisir adalah suatu daerah di sepanjang daerah pantai utara
pulau Jawa. Daerah sepanjang pantai utara (pesisiran) pulau Jawa ini dibagi ke dalam dua
kategori yaitu Pesisiran Barat dan Pesisiran Timur.

Gambar 11: a. Petik Laut di Pamekasan (Pemerintah Kabupaten Pamekasan)
b. Penari Sintren Pemalang dan Pekalongan (cintapekalongan.com)

Masyarakat Pesisiran menunjukkan beberapa ciri yaitu sikapnya yang cenderung
lugas, spontan, bahasa yang digunakan cenderung menggunakan bahasa rendah atau bahasa
Jawa ngoko. Kesenian mereka relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya
cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Kekayaan yang ada dalam laut
(Jawa), hanya sebagian kecil saja dari penduduk masyarakat Pesisir yang berusaha
mengaisnya, itupun dalam usaha-usaha kecil seperti kaum nelayan tradisional. Kondisi ini
dalam perspektif kebudayaan dapat dijelaskan bahwa konsep laut dan melaut bagi umumnya

masyarakat Jawa Pesisir belum mendarahdaging, tidak sebagaimana konsep sawah dan
pertanian.
Potensi laut yang luas serta bentangan daerah pantai yang panjang serta kota-kota
dagang di pesisir belum bisa menjadikan bangsa Indonesia memiliki karakter maritim seperti
pelaut yang tangguh, pedagang yang ulet, pembuat kapal yang terampil, pengelola wisata
laut yang kreatif dan sebagainya. Bangsa Indonesia sepertinya belum bangga memiliki
karakter sebagai bangsa maritim.
Kolonisasi yang melemahkan karakter bangsa
Kolonisasi terhadap Nusantara yang berlangsung lebih dari tiga abad telah
membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kurang percaya diri, kurang
memiliki etos kerja yang tinggi, bermental pengabdi, tidak memiliki jiwa enterprenerial,
bermental feodal, bermental korup, nepotisme dan sebagainya. Selama tiga abad bangsa
Indonesia dipersepsikan secara negatif oleh orang Belanda atau orang Eropa lainnya. Belanda
melakukan politik segregasi yang menempatkan orang Belanda dan eropa pada lapisan
tertinggi, kemudian orang timur asing (Tionghoa, Arab, India) pada lapisan kedua, dan orang
pribumi di lapisan terbawah.
Konstruksi orang pribumi bisa dilihat pada berbagai representasi verbal maupun
visual seperti karya sastra (roman, novel), ilustrasi, lukisan, iklan, fotografi, dan sebagainya.
Orang pribumi diposisikan inferior, lemah, kerdil, gelap, tidak berbudaya, dan sebagainya.
Setidaknya terdapat dua buku yang membahas tentang persepsi orang Barat terhadap orang
Timur, yaitu Orientalisme karya Edward Said (1978), dan Mitos Pribumi Malas karya S.H.
Alatas (1988) . Dalam kedua buku itu penulis memaparkan bagaimana orang Barat yang
mengkoloni orang Asia dan Afrika memandang bangsa jajahan yang berasal dari Timur
dengan sebelah mata. Orang Timur dikonstruksi secara steriotip dengan ciri-ciri atau penanda
yang negatif. Intinya orang Timur khususnya orang Arab dan orang Melayu digambarkan
sebagai orang malas, kasar, tidak berbudaya, bodoh, dan sebagainya.

Gambar 12: a. Iklan tembakau Van Nelle(Wacana Nusantara),
b. Iklan tembakau shag (pinterest.com)

Konstruksi orang Barat terhadap orang Timur berlangsung cukup lama dan muncul
dalam berbagai media baik secara tertulis maupun secara visual. Karya sastra, desain, lukisan,
poster, fotografi, dan sebagainya yang dihasilkan pada masa kolonial dan ditulis atau
diproduksi oleh orang Barat kebanyakan berisi tentang pandangan mereka terhadap orang
Timur atau koloni mereka. Konstruksi negatif tentang orang Melayu dan orang pribumi
Nusantara pada umumnya yang berlangsung dalam waktu lama menjadi sesuatu yang biasa
akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Perlakuan tidak adil ini menjadikan bangsa Indonesia
memiliki karakter yang kurang baik sebagai akibat dari tekanan politik dan psikologis
berkepanjangan selama masa kolonial.
Mentalitas paskakolonial
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945 sudah beberapa
era pemerintahan berlangsung. Masa pemerintahan Presiden Soekarno dikenal dengan era
Demokrasi Terpimpin kemudian dikenal dengan era Orde Lama kemudian digantikan oleh
pemerintahan Soeharto yang kemudian disebut sebagai era Orde Baru, dan setelah Orde Baru
berakhir disebut era reformasi. Pada masa Orde Lama Soekarno menjalankan politik yang
dinamis karena pada saat itu sedang berlangsung perang dingin antara blok Barat dan blok
Timur. Era Soekarno ditandai dengan dominasi politik sehingga sering disebut era “Politik
Sebagai Panglima”. Masa Orde Lama digelorakan semangat nasionalisme sekaligus juga
muncul eksperimen demokrasi liberal. Soekarno banyak membangun monumen-monumen,
dan gedung-gedung untuk menunjukkan harga diri bangsa. Nasionalisme diwujudkan dalam
berbagai produk budaya dan membatasi masuknya budaya Barat.

Gambar 13: Monas dan patung-patung di Jakarta karya Edi Soenarso

Masa Orde Baru ditandai dengan kebijakan pembangunan dan stabilitas ekonomi dan
politik. Pemerintah Soeharto fokus ke pembangunan infrastruktur didukung oleh stabilitas
politik, dengan melibatkan TNI melalui konsep Dwifungsi ABRI. Di bidang kesenian dan
pendidikan dilakukan depolitisasi. Seniman bebas berkreasi tetapi karya-karya mereka

dikontrol dengan ketat. Konsep pembangunan dituangkan dalam Repelita. Bangsa Indonesia
menghendaki kebahagiaan hidup yang didasarkan atas keselarasarn, keserasian dan
keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi dalam hubungan manusia dengan
masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa
lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan
lahiriyah dan kebahagiaan rohaniyah.

Gambar 14: a. Monumen Jogja Kembali di Yogyakarta
b. Museum Purna Bhakti Pertiwi TMII Jakarta

Orde Baru yang memerintah selama 32 tahun pada akhirnya tidak mampu membentuk
karakter manusia Indonesia yang seutuhnya, justru banyak yang melakukan KKN (korupsi.
Kolusi, nepotisme) sehingga terjadi krisis moneter yang menyebabkan bangsa Indonesia
mengalami penurunan daya beli. Keasejahteraan ekonomi tidak merata karena kekayaan
hanya dinikmati oleh sejumlah kecil rakyat Indonesia. Karakter mandiri, kreatif, toleran,
kerja keras belum tercapai. Karakter kerja keras dalam bidang ekonomi sehingga melahirkan
wirausahawan kreatif masih dalam proses pembentukan. Sudah lama bangsa Indonesia
dihinggapi mentalitas pemalas, kurang inisiatif, kurang kreatif masih menjadi ciri karakter
sebagian bangsa Indonesia.

Gambar 15: a. Monumen Panca Sila Sakti di Lobang Buaya
b. Monumen Soeharto di Yogyakarta

Bangsa Indonesia lebih senang menjadi konsumen daripada produsen produk
konsumsi baik produk-produk treknologi maupun produk budaya. Minat anak muda untuk
menjadi pengusaha masih kecil dibanding profesi lain. Bagaimana usaha kita untuk
mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Orang miskin identik dengan
orang malas. Dalam bidang seni dan desain para seniman dan desainer Indonesia lebih senang
dan bangga meniru gaya seni dan desain dari luar daripada mengembangkan seni dan desain
dari sumber asli budaya sendiri.
Kesimpulan
Bangsa Indonesia sudah sejak zaman Hindu-Budha sudah menyadari perlunya
pembentukan karakter yang positif dan baik. Wayang kulit purwa telah menjadi media
pembentukan karakter bangsa melalui pertunjukan. Cerita Panji yang menjadi sumber bagi
kebudayaan lain seperti wayang topeng, wayang beber, wayang gedhog, wayang krucil, dan
sebagainya juga telah menjadi media bagi pembentukan karakter bangsa. Pada masa
kemerdekaan berbagai media baik tradisional maupun modern telah dimanfaatkan sebagai
media pembentukan karakter. Hingga kemerdekaan berusia 72 tahun bangsa kita masih
belum menunjukkan memiliki karakter yang ideal.

Daftar Pustaka
Alatas, Husein, Mitos Pribumi Malas Citra orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam
Kapitalisme Kolonial, Jakarta : LP3ES.
Dharsono, 2007. Budaya Nusantara. Kajian Konsep Mandala dan Konsep Tri-loka terhadap
Hayat pada batik Klasik. Surakarta : Rekayasa Sains.
Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan
Nasional, 2010. Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010.
Gustami, S.P., 2007. Butir-Butir Mutiara Estetika Timur : Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya
Indonesia, Yogyakarta : Pratista.
Holt, Claire, 2000. Melacak Jejak Kesenian Indonesia, Bandung: MSPI.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kieven, Lydia, 2014. “Simbolisme Cerita Panji dalam Relief-Relief di Candi Zaman
Majapahit dan Nilainya Pada Masa Kini” , Malang : Pusat Panji.
Lickona, Thomas, 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books
Lombard, Dennis, 2005. Nusa Jawa Silang Budaya, buku 3, Jakarta: Gramedia.

Nurcahyo, Henri, 2016. “Revitalisasi Kesenian Berbasis Cerita Panji”, The Jakarta Post, 0709-2017
Said, Edward, 2013. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur
sebagai Subjek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sunarto, 2015 “Memahami Nilai Moral Dalam Cerita Rakyat Panji Semirang” Jurnal NOSI
Volume 2, Nomor 9, Februari 2015
Wikipedia.com