ANALISIS TENTANG KENOSIS MENURUT FILIPI

ANALISIS TENTANG KENOSIS MENURUT FILIPI 2:7;
MENJAWAB TANTANGAN “TEORI KENOSIS”
(Dr. E. Chrisna Wijaya)

PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai Doktrin Kristus atau Kristologi, memang tidak ada habishabisnya diperbincangkan dan diperdebatkan, baik oleh para bidat maupun para apologis
Kristen. Salah satu polemik Kristologi yang terus berkepanjangan adalah mengenai “pembatasan
Kristus,” (Limitation of Christ Theory), yang dimunculkan oleh seorang apologis Kristen yang
bernama Norman L Geisler. Meskipun Geisler yang merumuskan istilah tersebut, namun paham
atau pandangan-pandangan yang menjelaskan tentang pembatasan/limitasi Kristus, muncul dari
para bidat dari masa ke masa. Dalam penjelasannya mengenai teori tersebut, Geisler memberikan
pendapatnya tentang dua hal yang melatarbelakangi munculnya teori tersebut, yaitu: “Dua pilar
yang mendukung argumentasi keterbatasan adalah kemanusiaan Kristus dan teori kenosis.”1
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, penulis berasumsi bahwa inkarnasi Kristus
merupakan “benih” masalah yang melatarbelakangi munculnya teori pembatasan Kristus.
Asumsi dasar yang menjadi pemikiran penulis mengenai hal tersebut adalah: Jika Pribadi Allah
kedua dalam Tritunggal tidak berinkarnasi dalam pribadi Kristus, tentunya tidak akan ada
“manusia Kristus”, dan tidak ada pula ungkapan “Kristus yang ber-kenosis,” sehingga tidak akan
muncul ajaran-ajaran yang sumbang, yang terus mencecar keberadaan-Nya. Tetapi pada
kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa Allah berinkarnasi, seperti beberapa pernyataan yang
dicatat Alkitab: “Firman itu telah menjadi manusia,”2 “setelah genap waktunya, maka Allah

mengutus Anak-Nya lahir dari seorang perempuan,”3 “yang walaupun dalam rupa Allah, . . .
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama

Norman L. Geisler, ”Limitation of Christ,” dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics
(Grand Rapids: Baker Books, 2000), 425.
1

2

3

Yoh. 1:14.
Gal. 4:4.

dengan manusia,”4 dan “karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia
juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka.”5 Berkaitan
dengan pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan di atas, H.P. Liddon menuliskan bahwa:
”Hari Natal, kita semua telah menyetujui, sebagai hari lahir yang terbesar di tahun itu. Itu adalah
hari kelahiran Orang yang terbesar, dari Guru yang terbesar dari orang-orang, dari Penolong
yang terbesar dari ras manusia yang pernah hidup.”6

Dalam Alkitab, dari Kejadian sampai Wahyu, sama sekali tidak ditemukan kata
“inkarnasi.” Meskipun demikian, Alkitab memberikan penjelasan dan pengertian yang berkaitan
dengan kata tersebut. Ryrie mengemukakan mengenai hal ini, bahwa:
Yohanes menulis bahwa Firman telah menjadi daging (Yoh. 1:14 – dalam Alkitab bahasa
Indonesia diterjemahkan “manusia,” sedang dalam bahasa Yunaninya “Sarks” yang arti
harafiahnya adalah “daging” – red). Ia juga menulis tentang kedatangan Yesus sebagai
manusia (1Yoh. 4:2’ 2Yoh. 7). Maksud pernyataan ini ialah bahwa Pribadi kedua
Tritunggal mengambil rupa manusia bagi Dirinya sendiri. Ia tak memiliki kemanusiaan
sampai saat kelahiran, karena Tuhan menjadi manusia.7
Inkarnasi sendiri menurut G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, adalah: “berasal dari kata Latin
“incarnatio“ (“in“ = masuk ke dalam; “carno/carnis“ = daging, Yunaninya “sarx“), artinya ialah
“masuknya Kristus ke dalam daging manusia.“8 Chris Marantika berkata, inkarnasi adalah:
“Pribadi kedua dari Allah Tritunggal mengambil bentuk kemanusiaan. Anak Allah menjelma,
menghampakan diri menjadi daging.”9 Tony Evans, memberikan definisi yang sangat sederhana
tentang inkarnasi, yaitu: “Istilah inkarnasi berasal dari suatu kata Latin yang berarti ‘menjadi
daging.‘ Amat sederhana, Allah menjadi seorang manusia.”10

4
5


Fil. 2:6,7.
Ibr. 2:14.

6

H.P. Liddon, Nineteenth Century Evangelical Theology, peny., Fisher Humphreys (Tennessee:
Broadman Press, 1984), bag., The Incarnation of the Son of God, 187-188.
7

Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, peny., Antoni Stevens, dkk. (Yogyakarta: ANDI, 1991), jil., 1, bag.,
Inkarnasi Kristus, 326.
8

G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Yakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 226.

9

Chris Marantika, Diktat Kuliah: Kristologi, STII, sem., IV, 2005, 38.

10


Tony Evans, Teologi Allah (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1999), 344.

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan inkarnasi adalah Kristus yang adalah
Pribadi kedua Allah Tritunggal menjadi manusia di dunia. Dalam keberadaan sebagai manusia
itulah, Dia menebus dosa umat-Nya.
Pribadi kedua Allah Tritunggal yang berinkarnasi, menyebabkan dari masa ke masa
terus bermunculan perdebatan di sana-sini, baik yang datang dari pihak yang merongrong doktrin
Kristologi yang Alkitabiah, maupun yang berupaya untuk membelanya. Hal itu wajar, mengingat
inkarnasi Kristus merupakan poin yang sangat penting dalam Kekristenan, seperti yang
diungkapkan oleh John F. Walvoord, demikian:
Inkarnasi Tuhan Yesus Kristus adalah bukti utama yang merupakan inti Kekristenan.
Seluruh susunan theologia Kristen bergantung kepada inkarnasi Kristus ini. . . . Karena
barangkali, tidak ada bagian lain dari Kitab Suci yang diselidiki dengan lebih keras, dan
menjadi sasaran lebih banyak perdebatan theologis dari pada keempat kitab Injil.11
Ungkapan yang senada juga diberikan oleh R.C. Sproul, sebagai berikut: “Allah Anak
mengambil natur manusia merupakan doktrin krusial dalam sejarah kekristenan. . . .”12 C.
Matthew Mcmahon, memberikan pandangannya tentang inkarnasi sebagai berikut: “Inkarnasi
Anak Allah adalah salah satu kebenaran yang paling diberkati dalam Alkitab. Itu adalah suatu
doktrin yang penting dari iman Kristen. Tanpa itu kita belum mempunyai iman Kristen.”13

Tujuan dari artikel ini bukan sekedar untuk memunculkan dan menjelaskan adanya
polemik yang berkepanjangan dari isu Kristologi tersebut. Namun lebih kepada upaya untuk
meluruskan kembali pemahaman mengenai salah satu isu di dalam inkarnasi Kristus, yaitu
kenosis, terutama dengan adanya “teori kenosis” yang oleh Geisler diajukan sebagai salah satu
pilar yang mendukung argumentasi dari teori pembatasan Kristus.
Pengertian “Teori Kenosis,” sebagai Pilar dari Teori Limitasi Kristus
Satu-satunya sumber dalam Alkitab, yang menjelaskan pemakaian istilah kenosis
yang dilakukan Kristus, adalah Filipi 2:7. Lembaga Alkitab Indonesia mengartikannya dengan:

11

John F. Walvoord, Yesus Kristus Tuhan Kita, pen., Cahya R. (Surabaya: Yakin, 1969), 86.

12
R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, pen., Rahmiati Tanudjaja (Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997), 111.
13

http://www.apuritansmind.com/ChristianWalk/McMahonMeditationIncarnation.htm, C. Matthew
Mcmahon, A Meditation on the Doctrine of the Person of Christ.


“kosong.” Istilah kenosis merupakan kata Yunani yang berasal dari akar kata kenow (kenoo ),
yang memiliki arti harafiah: “kosong atau hampa.” Pengertian “kosong atau hampa” inilah yang
seringkali disalahartikan sebagai pembatasan (limitasi) atas ketuhanan Kristus.
Secara historis, Teori/teologi kenosis pertama kali diserukan oleh kelompok
liberalisme Jerman pada pertengahan abad ke-19. Hal yang demikian diungkapkan oleh Michael
Bremmer, dengan pernyataan sebagai berikut: “Teologi kenosis, muncul dari liberalisme jerman
pada pertengahan abad ke sembilan belas, mengajarkan bahwa pada penjelmaan Yesus Kristus
melepaskan semua atribut ilahi-Nya.”14 Dalam penjelasannya mengenai hal tersebut, Theodor H.
Gaster juga mengungkapkan demikian: “Dapat dikatakan bahwa pemulaian renungan yang serius
tentang teologi kenosis dalam Kristologi berawal dari Gottfried Thomasius (1802-1875), seorang
teolog lutheran Jerman.”15 Dengan ungkapan yang senada, Teaching Minds, Changing Hearts,
mengungkapkan bahwa:
Sejak abad yang kesembilan belas banyak teolog sudah menawarkan format beberapa dari
suatu teori kenosis, yang mana Anak Allah sepanjang penjelmaan dilepaskan dirinya dari
beberapa atau semua atribut ketuhanan yang bertentangan dengan keberadaannya sebagai
manusia yang sejati.16
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak disangsikan lagi bahwa teori Thomasius, yaitu teori
kenosis telah mengecilkan bahkan meniadakan ke-Tuhan-an Kristus dan menonjolkan atau
memunculkan sisi kemanusiaan Kristus belaka. Hal tersebut dipertegas oleh Matthew J. Slick

sebagai oposisi dari paham di atas, dengan menuliskan pengertian “teori kenosis,” demikian:
Teori kenosis menyatakan bahwa Yesus menyerahkan sebagian dari sifat-sifat keilahianNya ketika Dia menjadi manusia di atas bumi. Sifat-sifat itu adalah maha tahu, maha
hadiri, dan maha kuasa. Kristus dengan sukarela, sehingga Dia dapat berfungsi sebagai
manusia untuk memenuhi pekerjaan penebusan. Pandangan ini untuk pertama kalinya
diperkenalkan di akhir tahun 1800-an di Jerman oleh Gottfried Thomasius (1802-1875),
seorang teolog Lutheran.17

14

http://www.mbrem.com/Jesus_Christ/keno.htm, Michael Bremmer, Kenotic Theology.

15

http://mb-soft.com/believe/txn/kenosis.htm, Theodor H. Gaster, Kenosis, Kenotic Theology.

16

http://www.tmch.net/insights.htm, Teaching Minds, Changing Hearts.

17


http://www.carm.org/heresy/kenosis.htm. Matthew J. Slick, Kenosis.

Dengan demikian, maka sangat jelas bahwa teologi kenosis yang berasal dari Jerman tersebut
memiliki konsep dan pengertian keluar dari koridor Alkitabiah. Penolakan terhadap teori kenosis
juga diberikan oleh Bremmer, yang memberikan apologet sebagai berikut:
Teori yang mengajarkan bahwa pada penjelmaan-Nya Yesus Kristus menyerahkan semua
atribut ilahi-Nya, seringkali disebut dengan Kenosis. Ada satu kenosis yang benar yang
dibicarakan dalam Filipi 2:5-11. Sehingga bagaimanapun juga, kenosis yang dinyatakan
dalam Alkitab berbeda dari teologi kenosis.18
Sebagai teolog yang menolak teori kenosis, Slick menegaskan bahwa: “Teori kenosis adalah
sebuah doktrin yang berbahaya karena jika teori ini benar maka ini berarti bahwa Yesus
bukanlah Allah sejati.”19
Pengertian Kenosis menurut Filipi 2:6-8
Agar tidak terjadi kebingungan dan tumpang tindih pemahaman atas isu “kenosis,”
penulis memberikan suatu eksposisi biblikal mengenai kenosis yang terdapat di dalam Filipi 2:7
dalam teks bahasa aslinya (Yunani), untuk membuktikan bahwa “teori kenosis” dengan segala
pengajaran yang mengingkari keilahian Kristus adalah salah besar.

Latar Belakang

Yang dimaksudkan dengan latar belakang dalam bagian ini adalah hendak
menjelaskan mengenai alasan dan tujuan rasul Paulus mengemukakan gagasan kenosis di dalam
Filipi 2:7. Penjelasan mengenai latar belakang ini, bukanlah penjelasan yang bersifat menyeluruh
dari seluruh Kitab Filipi, namun hanya mengacu pada teks pembahasan “kenosis,” yaitu Filipi
2:1-11.
Alasan Paulus menulis bagian ini, oleh karena adanya kemungkinan terjadinya
perpecahan, seperti yang ditulisnya di bagian awal pasal 2, yang kemungkinan ada di dalam
tubuh jemaat Filipi, terdapat orang-orang yang mencari kepentingan sendiri dan mencari pujian
yang sia-sia (2:1-4). Salah satu bahaya perpecahan yang terjadi adalah yang diutarakan oleh
Paulus dalam Filipi 4:2 tentang Euodia dan Sintikhe.

18

Bremmer, Kenotic Theology.htm.

19

http://www.carm.org/heresy/kenosis.htm, Slick, Kenosis.

Oleh karena itu melalui bagian ini, Paulus memberikan nasihat kepada jemaat di

Filipi untuk tidak mementingkan diri sendiri, rendah hati dan memiliki kerelaan untuk
berkorban satu dengan yang lainnya dengan menjadikan Kristus yang menjadi manusia dan rela
mati di atas kayu salib sebagai teladan yang harus diikuti oleh semua orang yang percaya
kepada-Nya. Hal ini dijelaskan oleh F. Foulkes, demikian:
Cara terbaik bagi Paulus untuk mengajarkan peri kerendahan hati ialah dengan
memalingkan pikiran kawan-kawannya di Filipi kepada teladan Kristus, supaya pikiran
tentang Kristus yang merendahkan diri dan mengorbankan diri itu membentuk sikap
mereka.20
Ryrie juga memberikan penjelasan yang tidak berbeda dengan kutipan di atas, bahwa: “Nats
utama tentang kenosis, Filipi 2:5-11, mulai dengan suatu nasihat untuk merendahkan diri,
menuruti teladan Kristus yang telah meninggalkan kemuliaan untuk menderita di kayu salib.”21
Di samping penjelasan di atas, Henry C. Thiessen juga memberikan penjelasan mengenai
maksud Paulus terhadap pokok inkarnasi (penjelmaan Kristus) yang djelaskannya kepada jemaat
di Filipi, sebagai berikut:
Dalam Filipi 2:6 dijelaskan bahwa perendahan diri Kristus dimulai dalam sikap pikiranNya; Ia menganggap bahwa kesetaraan-Nya dengan Allah bukanlah sesuatu yang harus
dipegang erat-erat atau dipertahankan secara paksa. Menjadi manusia tidaklah merupakan
ancaman bagi diri-Nya. Ini merupakan sikap rendah hati, karena orang yang angkuh
bukan saja ingin mempertahankan segala sesuatu yang mereka miliki, tetapi mereka juga
ingin mendapatkan segala sesuatu yang belum mereka miliki. Dua hal utama tercakup
dalam penjelmaan Kristus: Kristus mengosongkan diri-Nya dan Ia dijadikan sama dengan

manusia.22
Penjelasan dan penggambaran mengenai tindakan Kristus yang berinkarnasi dan mati,
Paulus mengutip nyanyian dari gereja mula-mula. Penjelasan-penjelasan tersebut antara lain
disetujui oleh beberapa tokoh, yang salah satunya ditulis di dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe,
yaitu:
Untuk menunjang permintaannya agar orang tidak mementingkan diri sendiri dan hidup
dengan kerelaan untuk berkorban, Paulus mengutip sebuah kidung gereja mula-mula

F. Foulkes, “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini, pen., Broto Semedi (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2001), 3:621.
20

328.

21

Ryrie, Teologi Dasar, 1:353.

22

Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, peny., Vernon D. Doerksen (Malang: Gandum Mas, 1997),

yang dengan itu melukiskan tindakan merendahkan diri Kristus ketika Ia berinkarnasi dan
mati.23
Dengan pemahaman yang sama, Foulkes juga memberikan pemikirannya mengenai hal tersebut,
sebagai berikut:
Seperti telah kita lihat, rupanya di sini Paulus mengutip nyanyian gubahan sebelumnya
untuk memuji Tuhan yang prawujudiah, berinkarnasi dan dimuliakan. Dan tidak peduli
apakah karya Paulus sendiri atau karya orang lain, nyanyian itu di sini dipakai dengan
tepatnya. Bait pertama bicara tentang kemuliaan dan kebesaran-Nya sebelum inkarnasi.
Yang kedua menceritakan tiga langkah dalam perendahan diri-nya – mengosongkan diri
dari kemuliaan-Nya, . . . Bait ketiga menelusuri makna turunnya Kristus sedalam
mungkin, yaitu bahwa setelah merendahkan diri menjadi manusia, maka Dia menjalani
‘suatu hidup yang mutlak taat’ (bnd Rm 5:19; Ibr 5:8-9; 10:5-14). ‘bahkan sampai pada
kematian (Phillips).24
Pernyataan-pernyataan tersebut di atas, rasanya cukup memberikan kesimpulan mengenai
Kristus yang dengan penuh kerelaan merendahkan diri-Nya dengan menjadi manusia dan taat
sampai mati.
Eksposisi
Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia, versi Lembaga Alkitab Indonesia,
menerjemahkan sebagai berikut:
. . . yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu
sebagai milik yang harus dipertahankan, 7melainkan telah mengosongkan diri-Nya
sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 8Dan
dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib.25
Dalam kalimat-kalimat tersebut di atas, ada beberapa kata atau frase yang perlu diperhatikan dan
dijelaskan. Kata atau frase tersebut di antaranya adalah: “telah mengosongkan,” “mengambil,”
“rupa,” “sama dengan” (ay. 7), “keadaan” (ay. 8) dan frase “dalam rupa Allah” (ay. 6).
Penjelasan kata atau frase-frase tersebut penulis anggap perlu dan penting dikarenakan, frase

Robert H. Mounce, “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe, peny., Charles F. Pfeiffer dan Everett
F. Harrison (Malang: Gandum Mas, 2001), III:777.
23

24

Foulkes, “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini, 3:621.

25

Flp. 2:6-8.

“telah mengosongkan” atau kenosis saja tidak dapat atau tidak cukup memberikan pemahaman
yang benar dan akurat untuk membuktikan bahwa Kristus tak terbatas, seperti yang dimaksudkan
oleh Rasul Paulus dalam teks tersebut.
Dengan pemahaman tersebut di atas, maka perlu diberikan penjelasan dan pemaparan
yang komprehensif, sehingga tidak terjebak dengan pemahaman yang salah dan berakibat
memberikan pembatasan terhadap Kristus baik dari sisi ilahi maupun manusiawi-Nya.
Telah Mengosongkan
Dalam teks bahasa aslinya, bahasa Yunani, frase “telah mengosongkan,” atau yang
dikenal dengan sebutan kenosis, memakai kata evke,nwsen (ekenosen). Kata ini
merupakan bentuk kata kerja aorist (yang dalam konteks ini menegaskan adanya peristiwa atau
tindakan pada masa lampau), aktif indikatif orang ketiga tunggal, dari akar kata kenow (kenoo),
yang berarti “kosong.”26 Dengan adanya kata ganti orang refleksif, e`auto.n (e`auton): “dirinya
sendiri,” merupakan obyek langsung dari kata evke,nwsen (ekenosen), sehingga menjelaskan bahwa
tindakan pengosongan diri Kristus, dilakukan secara aktif oleh diri-Nya sendiri. Kristus yang
telah mengosongkan diri-Nya sendiri atau yang disebut dengan kenosis, bukan berarti Ia telah
kehilangan atau melenyapkan hakikat atau keberadaan ke-Tuhanan-Nya, seperti yang diyakini
oleh Thomasius. Mengenai arti kata “mengosongkan,”
Vine yang memiliki anggapan dan keyakinan yang berbeda dengan Thomasius,
menjelaskan bahwa: “Kristus tidak mengosongkan keilahian-Nya sendiri. Ia tidak melenyapkan
hal yang merupakan hakikat dan kekekalan-Nya.”27 Dengan ungkapan yang tidak berbeda
dengan yang di atas, Robert P. Lightner menuliskan bahwa:
Kehinaan Kristus merupakan tindakan-Nya mengosongkan diri sendiri, mengambil sifat
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (ayat 7). Pernyataan-pernyataan ini
menunjukkan bahwa Kristus telah menjadi seorang manusia, seorang manusia sejati.
Frase “membuat diri-Nya sendiri tidak ada/kosong” , arti sesungguhnya, “dia
mengosongkan diri-Nya sendiri.” “Kosong,” dari bahasa Yunani kenow, menjelaskan
bahwa Dia melepaskan minat-Nya sendiri, tetapi tidak dari ketuhanan-Nya.28

W.E. Vine, “Empty,” dalam Expository Dictionary of New Testament Words (Grand Rapids:
Zondervan Publishing House, 1991), 2: 25.
26

27

Vine, “Empty,” dalam Expository Dictionary of New Testament Words, II:25.

Robert P. Lightner, “Philippians,” dalam The Bible Knowlegde Commentary, peny., John F.
Walvoord dan Roy B. Zuck (Grand Rapids: Zondervan Bible Publishers, 1997), 654.
28

Slick yang juga menentang teori kenosis dari Thomasius, memberikan penjelasan mengenai ayatayat yang mengacu pada pengertian kenosis, demikian:
Filipi 2:5-8 tidak mengajarkan bahwa Yesus menyerahkan beberapa dari sifat keilahianNya sejak mengatakan tidak adanya sifat-sifat tersebut. Malahan hal ini membicarakan
tentang kehinaan-Nya yang dilakukan-Nya, menurut kehendak Bapa, meninggalkan
kemuliaan-Nya di Surga dan merendahkan diri masuk dalam posisi manusiawi.29
Dalam penjelasannya mengenai paham kenosis, Mounce menuliskan bahwa: “Ekenosen bukan
dimaksudkan sebagai kiasan (yaitu, bahwa Dia membuang semua sifat ilahi-Nya), tetapi sebuah
“ungkapan yang jelas tentang penyangkalan diri-Nya yang mutlak.”30 Keyakinan-keyakinan
tersebut semakin dipertegas dengan penjelasan yang senada oleh Marantika, sekalipun sedikit
meralat arti kata kenosis yang di artikan “kosong” oleh Vine, dengan penjelasan sebagai berikut:
“Mengosongkan sebenarnya kurang tepat, KJV: agak tepat karena itu berarti Yesus
menghampakan diri-Nya dari pemanifestasian keilahian-Nya made himself nothing.”31 Dalam
penjelasannya, Marantika memberikan definisi mengenai kenosis, demikian: Yesus Kristus
Tuhan menghampakan diri-Nya dengan jalan: diselubunginya kemuliaan ke-Allahan-Nya,
pembatasan diri-Nya melalui penyaliban sebagai manusia, tidak dimanfaatkannya beberapa sifat
kesempurnaan keilahiaan-Nya waktu di dunia.32 Penjelasan-penjelasan di atas, semakin
ditegaskan dengan pernyataan Jacobus J. Muller yang memahami kenosis dalam Filipi 2:5-8,
demikian:
Dalam mengambil rupa seorang hamba, Kristus mengosongkan diri-Nya. Tidak
disebutkan sama sekali bahwa Ia meninggalkan atau membuang sifat-sifat khas ilahi,
kodrat ilahi atau rupa Allah, tetapi yang dikatakan di sini hanyalah suatu paradoks ilahi:
Ia mengosongkan diri-Nya dengan mengambil sesuatu untuk diri-Nya, yaitu suatu cara
keberadaan yang baru, sifat atau rupa seorang hamba atau budak. Pada saat penjelmaanNya, Ia tetap ’dalam rupa Allah’ dan dengan demikian Ia tetap Tuhan dan Penguasa alam
semesta, namun Ia juga menerima sifat seorang hamba seperti sebagian dari
kemanusiaan-Nya.33

29

http://www.carm.org/heresy/kenosis.htm, Slick, Kenosis.

30

Mounce, “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe, 3:778.

31

Marantika, Diktat Kuliah: Kristologi, 39.

32

Ibid., 38.

Jacobus J. Muller, “The Epistles of Paul to the Philippians and to Philemon,” dalam New
International Commentary on the New Testament (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing, 1974), 82.
33

Dengan demikian, kesimpulan sementara yang diperoleh dari arti kata kenosis,
adalah: Sekalipun Kristus menjadi manusia sejati di dunia, Ia sama sekali tidak kehilangan
keilahian-Nya, tetapi Ia dengan penuh kerelaan membatasi pemanifestasian keilahian-Nya.
Dalam hal ini, penulis belum dapat memberikan satu kesimpulan final. Hal ini dikarenakan,
walaupun pernyataan-pernyataan di atas, sudah memberikan penjelasan yang tegas mengenai
pengertian kenosis, namun menurut anggapan penulis, hal itu belum dapat diambil sebagai
sebuah kesimpulan yang jelas tentang kenosis, sebelum melihat konteks pemakaian kata tersebut
dalam Filipi 2:6-8.
Kata “kenosis,” juga digunakan di beberapa bagian dalam Alkitab, seperti dalam
Roma 4:14; 1 Korintus 1:17; 9:15; 2 Korintus 9:3, kata “kenosis” dipakai dengan arti: “kosong,
sia-sia, atau tiada.” Jika kata “kenosis” dalam Filipi 2:7, dipahami dengan pengertian yang sama
dengan ayat-ayat di atas, maka jelas akan didapatkan pengertian bahwa Kristus melepaskan sifatsifat keilahian-Nya, seperti yang dipahami oleh Thomasius, yang mana hal tersebut jelas
bertentangan dengan pemahaman Alkitab secara komprehensif tentang Kristus, karena perbedaan
konteks dalam teks tersebut.
Oleh karena itu, penulis lebih setuju, jika kenosis dalam Filipi 2:7, diartikan dengan
tindakan pembatasan diri Kristus dari pemanifestasian keilahian-Nya selama hidup di dunia.
“Pembatasan” yang dimaksudkan oleh penulis jelas sangat berbeda dengan konsep “pembatasan”
dari teori limitasi Kristus. Untuk membuktikan penjelasan penulis, perlu melihat lebih dalam lagi
berdasarkan konteks dari kata tersebut dalam Filipi 2:6-8.

Mengambil
Kata “mengambil” memakai bentuk kata labw,n (labon), mengambil bentuk kata
kerja partisip Aorist aktif nominatif maskulin tunggal, dari kata lambanw (lambano), yang
memiliki arti “mengambil atau menerima.” Yang dimaksudkan dengan kata kerja partisip Aorist
adalah: “menyatakan tindakan yang waktu terjadinya mendahului waktu kata kerja finit-nya.
Namun jika kata kerja finitnya aoris, maka tindakan dalam partisip aoris terjadinya bersamaan
waktu dengan yang disebut kata kerja pokok.”34 Dalam hal ini kata kerja pokok dari labw,n
(labon) adalah evke,nwsen (ekenosen) yang adalah bentuk kata kerja aorist, sehingga tindakan

34

VI, 2006, 140.

Petrus Maryono, Diktat Kuliah: Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru, STII, sem.,

“mengambil” rupa seorang hamba, bersamaan waktunya dengan tindakan Kristus
menghampakan diri-Nya.
Jadi terjemahan ayat 7a, avlla. e`auto.n evke,nwsen morfh.n dou,lou labw,n (alla eauton
ekenosen morphen doulou labon), secara harafiah diartikan demikian: “tetapi Dia telah terlebih
dahulu membatasi diri-Nya sendiri selagi Ia mengambil rupa hamba.” Terjemahan tersebut
memberikan indikasi bahwa di dalam keilahian-Nya, Kristus menambahkan kemanusiaan dalam
pribadi-Nya. Mengenai hal ini, Marantika juga mengungkapkan bahwa: “Dalam konteks Filip
2:6-8, Kristus menambahkan bentuk manusia tanpa mengurangi sesuatu.”35 Maksudnya adalah
tanpa mengurangi keilahian-Nya. Dengan demikian, untuk mengambil rupa seorang hamba, Ia
harus menjadi manusia dan kemanusiaan-Nya adalah sempurna.
Rupa
Dalam teks bahasa Yunani, dipakai kata morfh.n (morphen) yang diterjemahkan
dengan kata “rupa.” Kata “rupa” dalam Perjanjian Baru, hanya dikenakan pada Kristus,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Vine, bahwa:
Morphe (morfh) merupakan bentuk atau sifat yang khusus yang merupakan keistimewaan
dari seseorang atau sesuatu, ini digunakan dengan arti teliti di dalam Perjanjian Baru
hanya tentang Kristus, dalam Filipi 2: 6,7 dalam frase “berada dalam rupa allah,” dan
“mengambil rupa seorang hamba.”36
Tafsiran Alkitab Wycliffe memberikan pandangannya mengenai kata morfh.n (morphen), dengan
penjelasan sebagai berikut: “pemakaian kata morphic, rupa di sini menunjukkan kesungguhan
dari kedudukan-Nya sebagai hamba. . . .”37
Dalam Alkitab Bahasa Inggris New internacional Version, kata “rupa” memakai kata
nature dalam kalimat the very nature of a servant. Mengenai hal ini, The Bible Knowledge
Commentary, memberikan penafsiran dengan penjelasan sebagai berikut: “’The very nature of a
servant’ tentunya menunjuk pada kerendahan dan kehinaan-Nya, kerelaan-Nya untuk mematuhi
Bapa, dan melayani yang lain. Ia menjadi seorang manusia, seorang manusia sejati.”38 Pendapat

35

Marantika, Diktat Kuliah: Kristologi, 39.

36

Vine, “Form,” dalam Expository Dictionary of New Testament Words, 2:123.

“Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe, 3:778.

37

38

Lightner, “Filipi,” dalam The Bible Knowlegde Commentary, 654.

yang demikian ditambahkan pula oleh Marantika dengan pernyataan sebagai berikut: “morpheme
adalah bagian terkecil mempunyai arti dan nilai intrinsik. Sifat intinya (esensial).”39 Maksudnya
di sini adalah dengan memakai kata “rupa” hamba, berarti Kristus memiliki sifat hakikat
manusia. Sekali lagi oleh William Hendriksen, “rupa” hamba dalam ayat tersebut dijelaskan
bahwa:
Ayat ini tidak mungkin berarti bahwa “Kristus menukarkan rupa Allah dengan rupa
seorang hamba,” sebagaimana yang begitu sering dikatakan. Kristus mengambil rupa
seorang hamba walaupun Ia tetap mempertahankan rupa Allah! Justru itulah yang
memungkinkan dan menghasilkan keselamatan kita.40
Dengan demikian, melalui kata “rupa” hamba, penekanan yang hendak disampaikan
oleh rasul Paulus kepada jemaat di Filipi adalah: Yesus walaupun Ia adalah Allah sejati, tetapi Ia
tidak segan-segan untuk meninggalkan kemuliaan-Nya dengan mengambil rupa atau bentuk
manusia, seperti yang diutarakan oleh F. Foulkes, bahwa: “Kristus memilih bertindak sebagai
hamba ketimbang sebagai Tuhan atas segala sesuatu, dan, walaupun sungguh-sungguh Allah,
mengenakan pada diri-Nya kemanusiaan kita.”41
Sama dengan
Istilah yang dipakai untuk frase ini, baik dalam Bahasa Yunaninya adalah o`moiw,mati
(homoiomati), maupun dalam Bahasa Inggris likeness, memiliki terjemahan yang sama dengan
terjemahan Bahasa Indonesia, yaitu “serupa, sama dengan atau hal yang dibuat mirip dengan
sesuatu.”42 Maksudnya dengan “sama dengan,” berarti ketika Kristus mengambil rupa atau
bentuk manusia, keberadaan-Nya sebagai manusia sama persis atau tidak ada bedanya dengan
kemanusiaan kita, baik dalam hal sifat maupun tindakan-tindakan-Nya sama seperti manusia
pada umumnya.
Namun demikian, sekalipun sifat kemanusiaan-Nya yang sejati tidak perlu diragukan
lagi, ada hal yang harus dibedakan antara kemanusiaan Kristus dengan manusia lainnya. Dalam

39

Marantika, Diktat Kuliah: Kristologi, 39.

40
William Hendriksen, “Exposition of Philippians,” dalam New Testament Commentary (Grand
Rapids: Baker Book House, 1974), 109.
41

Foulkes, “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini, 3:621.

42

Vine, “Likeness,” dalam Expository Dictionary of New Testament Words, 2:344.

hal ini, Lightner, memberikan penjelasan mengenai likeness, demikian: “’Likeness’ memberikan
kesan serupa tapi tidak sama. Walaupun kemanusiaan-Nya sejati, Dia berbeda dari semua
manusia lain yaitu Dia tidak berdosa (Ibr. 4: 15).”43 Penjelasan yang sama tentang tentang kata
“serupa” juga dijelaskan oleh Ryrie, demikian:
“Serupa” menandakan dua hal: pertama, bahwa Ia sesungguhnya seperti manusia dan
kedua, bahwa Ia berbeda dari manusia. Kemanusiaan-Nya membatasi-Nya pada ujianujian dan keterbatasan-keterbatasn; namun demikian, kata “seperti” kebal terhadap
penyimpulan bahwa Ia identik dengan manusia. Ia berbeda karena Ia tanpa dosa (lih. Rm.
8:3).44

Keadaan (Ayat 8)
Kata “keadaan” dalam Bahasa Yunani, dipakai kata sch,mati (schemati), yang juga
bisa diartikan dengan “wujud.” Dalam Alkitab Bahasa Inggris King James Version, memakai
kata fashion.45 Terjemahan dari kata fashion adalah “pakaian.” Hal ini berarti, menunjuk kepada
hal-hal yang nampak (hal-hal luar) dari kemanusiaan Kristus.
Marantika, mengemukakan pandangannya mengenai kata “keadaan,” sebagai berikut:
“Schemati, ‘keadaan,’ lebih menunjukkan pada bagian luarnya atau refleksi-refleksi yang
dialaminya karena pemilikan bentuk/rupa/sifat hakiki kemanusiaan, misalnya rasa lelah, rasa
haus dan lapar dan lain-lain.”46 Senada dengan pendapat tersebut, Ryrie juga menjelaskan:
“Lebih lanjut, Ia didapatkan dalam wujud (skhema) seorang manusia. Kata ini menunjuk pada
apa yang tampak di luar; yaitu dalam prilaku, dandanan, sopan-santun dan semua yang kelihatan,
Ia seorang manusia.”47
Dalam Rupa Allah (Ayat 6)
Penulis dengan sengaja menempatkan frase ini di dalam penjelasan akhir, oleh karena
frase ini merupakan kata kunci yang akan menyingkap tentang maksud Paulus terhadap

43

Lightner, “Filipi,” dalam The Bible Knowlegde Commentary, 654.

44

Ryrie, Teologi Dasar, 1:354.

45

BibleWorks: Online Bible King James Version with Code, ver., 6. CD-ROM.

46

Marantika, Diktat Kuliah: Kristologi, 39.

47

Ryrie, Teologi Dasar, 1:354.

pemakaian kata “kenosis.” Yang menarik dari frase ini adalah pemakaian kata kerja present
partisip dengan kata u`pa,rcwn (hyparchon), dalam frase morfh/| qeou/ u`pa,rcwn (morphe theou
hyparchon – dalam rupa Allah).
Terjemahan Bahasa Inggris American Standard Version, berbunyi: “existing in the
form of God.”48 Kata existing atau u`pa,rcwn (hyparchon), mengacu pada suatu “keberadaan,”
Kristus dalam rupa Allah. Kata kerja present partisip adalah kata kerja yang menyatakan suatu
tindakan yang terus-menerus ada, dulu ada bahkan sampai kini dan esok pun tetap ada. Ryrie
dalam penjelasannya, menyatakan:
Keberadaan Kristus yang kekal (ayat 6). Hal ini jelas-jelas dinyatakan dengan kata
hyparchon yang bentuknya present participle menunjukkan keberadaan Kristus masih
berlaku terus (khususnya bila dipertentangkan dengan bentuk aoris yang mengikutinya).
Dalam pilihan kata ini (bandingkan dengan kata eimi) terdapat suatu indikasi yang
menyatakan sudah ada (seperti dalam Kis. 7:55), jadi menekankan keberadaan-Nya yang
kekal untuk selama-lamanya. Keberadaan-Nya yang tak terbatas ada dalam morphe
Allah, yaitu rupa hakiki, termasuk seluruh hakikat dan sifat dasar keallahan.49
Dengan demikian, kata u`pa,rcwn (hyparchon), menyatakan keberadaan Kristus di dalam rupa
Allah yang berarti menjelaskan wujud keallahan yang selalu terus-menerus ada dan tidak pernah
tidak ada (kekal).
Kesimpulan
Berdasarkan penguraian dan penjelasan kata demi kata, maka penulis dapat membuat
kesimpulan mengenai konsep kenosis Kristus dalam paradigma Paulus. Kata kenosis yang
dimaksudkan di dalam Filipi 2:7, bukanlah seperti pemahaman Thomasius atau bidat-bidat
lainnya, yang menyatakan bahwa Kristus telah menyerahkan atau merelakan sifat keallahan-Nya.
Jika kenosis, dipahami demikian, berarti Kristus selama masa hidup-Nya di dunia, berhenti
menjadi Allah atau bukan Allah. Keyakinan ini jelas tidak Alkitabiah dan sangat keliru. Oleh
karena itu dalam penjelasan, Walvoord sekali lagi menandaskan keyakinan tersebut, dengan
pernyataan demikian:
Tindakan kenosis . . . dapat . . . dengan tepat diartikan bahwa Kristus tidak melepaskan
satupun sifat ilahi-Nya, tetapi bahwa Ia dengan rela membatasi penggunaan bebas sifat

48

49

BibleWorks: Online Bible American Standard Version.
Ryrie, Teologi Dasar, I:353.

ilahi tersebut sesuai dengan tujuan-Nya untuk hidup di antara manusia dengan segenap
keterbatasan mereka.50
Pemahaman yang Alkitabiah tentang kenosis adalah Kristus memberikan pembatasan
atas pemanifestasian keilahian-Nya dan menambahkan sifat hakiki kemanusiaan-Nya. Mengenai
keyakinan tersebut, William W. Menzies dan Stanley M. Horton juga mengemukakan
pendapatnya bahwa:
Yesus Kristus bukan hanya sepenuhnya Allah, Ia juga sepenuhnya manusia. Ia bukan
sebagian Allah dan sebagian manusia. Dahulu dan sekarang Ia adalah 100% Allah dan
pada waktu yang sama 100% manusia. Yaitu, Ia memiliki seperangkat penuh sifat ilahi
dan seperangkat penuh sifat manusiawi dalam Oknum yang sama dengan cara
sedemikian sehingga mereka tidak saling menganggu.51
Dengan demikian, Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati, tanpa saling mengurangi, atau
melebih-lebihkan. Ia 100% ilahi dan 100% manusia. Kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh
siapapun dan dengan teori apapun.

50
51

John F. Walvoord, Jesus Christ Our Lord (Chicago: Moody Press, 1971), 144.
William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1993), 63.

BIBLIOGRAFI

Chris Marantika, Diktat Kuliah: Kristologi, STII, sem., IV, 2005.
Evans, Tony. Teologi Allah. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1999.
Foulkes, F. “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini. Pen., Broto Semedi. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2001.
Geisler, Norman L. “Limitation of Christ,” dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics.
Grand Rapids: Baker Books, 2000.
Hendriksen, William. “Exposition of Philippians,” dalam New Testament Commentary. Grand
Rapids: Baker Book House, 1974.
Liddon, H.P. “The Incarnation of the Son of God,” dalam Nineteenth Century Evangelical
Theology. Peny., Fisher Humphreys. Tennessee: Broadman Press, 1984.
Lightner, Robert P. “Philippians,” dalam The Bible Knowlegde Commentary. Peny., John F.
Walvoord dan Roy B. Zuck. Grand Rapids: Zondervan Bible Publishers, 1997.
Menzies, William W. dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab. Malang: Gandum Mas, 1993.
Mounce, Robert H. “Filipi,” dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe. Peny., Charles F. Pfeiffer dan
Everett F. Harrison. Malang: Gandum Mas, 2001.
Muller, Jacobus J. “The Epistles of Paul to the Philippians and to Philemon,” dalam New
International Commentary on the New Testament. Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans
Publishing, 1974.
Petrus Maryono. Diktat Kuliah: Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. STII,
sem., VI, 2006.
Ryrie, Charles C. “Inkarnasi Kristus,” dalam Teologi Dasar. Jil., 1. Peny., Antoni Stevens, dkk.
Yogyakarta: ANDI, 1991.
Sproul, R.C. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Pen., Rahmiati Tanudjaja. Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997.
Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika. Peny., Vernon D. Doerksen. Malang: Gandum Mas,
1997.

van Niftrik, G.C. dan B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Vine, W.E. “Empty,” dalam Expository Dictionary of New Testament Words. Grand Rapids:
Zondervan Publishing House, 1991.
Walvoord, John F. Yesus Kristus Tuhan Kita. Pen., Cahya R. Surabaya: Yakin, 1969.
Bremmer, Michael. Kenotic Theology.htm.
http://www.apuritansmind.com/ChristianWalk/McMahonMeditationIncarnation.htm, C.
Matthew Mcmahon, A Meditation on the Doctrine of the Person of Christ.
http://www.mbrem.com/Jesus_Christ/keno.htm, Michael Bremmer, Kenotic Theology.
http://mb-soft.com/believe/txn/kenosis.htm, Theodor H. Gaster, Kenosis, Kenotic Theology.
http://www.tmch.net/insights.htm, Teaching Minds, Changing Hearts.
http://www.carm.org/heresy/kenosis.htm. Matthew J. Slick, Kenosis.
BibleWorks: Online Bible King James Version with Code, ver., 6. CD-ROM.
BibleWorks: Online Bible American Standard Version.