SEKOLAH MENCARI ILMU BUKAN IJAZAH Studi

“SEKOLAH; MENCARI ILMU BUKAN IJAZAH”
(Studi tentang Proses Pembelajaran di Sekolah Alternatif Prodigy Bandung)1
Lanjar Sriyati2
Email: lanjarsridarmo@hotmail.co.id

Abstract
This research aim to describe the learning process Prodigy alternative school. Primarily
related to teacher-pupil interaction, teacher-parent and learning method. The theory used is
modern action theory Charles Horton Cooley stating that the individual is an active and creative
beings. This research is a field with a descriptive qualitative method. Data collection methods are
used, namely, observation, in-depth interview, and documentation. Data analysis method used is
interactive model, where the analysis consists of four components including data collection, data
reduction, data display, and conclusion. The results of this study indicate that teacher-student
interaction that occurred in the last Prodigy humanistic and interactive with the subjective
approach, because the teacher tried to understand the characteristics of their students. The
learning method used is to direct practice, without too much theory. Therefore Prodigy is a
parenting school, parent are always involved in every process of their learning. The hope, parent
can practice what is taught in the school.
Keywords: alternative school, Prodigy, the learning process.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran di sekolah alternatif

Prodigy, terutama yang terkait dengan interaksi guru-murid, guru-orang tua murid dan metode
pembelajaran. Teori yang digunakan adalah teori aksi modern Charles Horton Cooley yang
menyatakan bahwa individu adalah mahluk yang aktif dan kreatif. Penelitian ini merupakan
penelitian lapangan dengan metode deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan
yaitu, observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan
adalah model analisis interaktif, dimana analisis tersebut terdiri atas empat komponen meliputi
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa interaksi guru-murid yang terjadi di Prodigy berlangsung secara humanis
dan interaktif dengan pendekatan subyektif, karena guru berusaha memahami karakteristik anak
didiknya. Metode pembelajaran yang digunakan yaitu dengan langsung praktek, tanpa terlalu
banyak teori. Oleh karena Prodigy adalah parenting school maka orang tua selalu dilibatkan dalam
setiap proses pembelajaran anaknya. Harapannya, orang tua dapat mempraktekkan apa yang
diajarkan sekolah di rumah.
Kata kunci: sekolah alternatif, Prodigy, proses pembelajaran.
Tulisan ini diangkat dari hasil penelitian skripsi dengan judul “SEKOLAH; MENCARI ILMU BUKAN IJAZAH”
(Studi tentang Proses Pembelajaran di Sekolah Alternatif Prodigy Bandung)
2 Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

1


A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini fenomena munculnya sekolah alternatif semakin populer di masyarakat.
Berbagai sekolah alternatif bermunculan, baik itu sebagai pelengkap ataupun pengganti sekolah
formal. Seperti diantaranya, Kandank Jurank Dik Doank, Qaryah Thayibah, Home Schooling Kak
Seto, Sanggar Akar, Argowilis Cilongok, dan lain-lain. Sekolah-sekolah alternatif tersebut memiliki
karakterisitik khusus diataranya lebih bersifat individual, memberikan perhatian lebih besar
kepada peserta didik, orangtua dan/keluarga, dikembangkan berdasarkan minat, bakat, dan
pengalaman peserta didik. Munculnya berbagai sekolah alternatif tersebut merupakan akibat dari
kelemahan-kelemahan yang ada di sekolah formal.
Sekolah formal umumnya belum mampu memberikan suasana yang aman, nyaman,
menyenangkan, dan menggairahkan bagi para peserta didik untuk mengembangkan bakat, minat,
dan potensi pribadinya secara optimal. Metode konvensional yang diterapkan pada sekolah formal
cenderung memperlakukan beragam karakteristik siswa secara seragam. Setiap anak diberi materi
yang sama tanpa mempertimbangkan minat si anak, sedangkan materi yang menjadi minat si anak
justru tidak diberikan secara memadai. Materi yang diberikan pun kurang aplikatif jika diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari si anak hingga ia dewasa. Apa yang telah dipelajari anak di sekolah
pun cepat sekali dilupakan. Materi-materi yang dihafal anak akan mudah hilang setelah ujian
selesai. Akibat metode pembelajaran yang seperti inilah maka dihasilkan lulusan-lulusan yang
kurang mampu untuk mandiri, kurang kreatif serta menjadi beban dalam masyarakat. Misalnya,

susah mencari kerja karena apa yang anak pelajari di sekolah tidak terpakai di dunia kerja. Hal
tersebut senada dengan Y.B. Mangun Wijaya atau lebih dikenal dengan sebutan “Romo Mangun”

(dalam Dodi dan Andi Suwirta, 2011: 176) yang berpendapat bahwa pendidikan dasar yang
dilaksanakan saat ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang akan melanjutkan ke perguruan
tinggi. Pendidikan dalam konteks ini belum dapat membuat anak-anak survive dan independen.
Oleh karenanya tidak heran apabila terjadi pengangguran intelektual, karena para lulusannya lebih
cenderung untuk mencari pekerjaan ketimbang berkreasi membuat lapangan kerja atau
berwirausaha sendiri.
Melihat adanya kelemahan-kelemahan yang ada di sekolah formal maka munculah berbagai
macam sekolah alternatif. Ada yang berbasis semi formal, sekolah alam, atau home schooling.

Beberapa contoh sekolah alternatif, yaitu sekolah alternatif Qoryah Thayibah di Salatiga, home
schooling Kak Seto, Sanggar Akar, sekolah alam, Argowilis di Cilongok Banyumas, dan Kandank
Jurank Dik Doank. Proses pembelajaran di sekolah-sekolah tersebut umumnya lebih santai dan
menyenangkan bagi anak didik. Anak-anak dapat belajar sesuka hatinya, dengan gaya belajar
masing-masing yang unik. Kurikulum disusun sedemikian rupa sehingga anak tidak bosan untuk
belajar.
Salah satu di antara sekolah-sekolah alternatif di Indonesia adalah Prodigy. Sekolah
alternatif ini merupakan salah satu jalur pendidikan nonformal yang membantu keluarga dalam

mendidik anaknya. Ada beberapa hal yang unik dari sekolah alternatif Prodigy ini. Pertama, yaitu
visi-misinya. Visi dari sekolah ini yaitu mendidik anak mandiri dan menjadi entrepreuneur. Misinya
yaitu, di usia 18 tahun diharapkan anak didiknya sudah dapat berwirausaha secara mandiri. Ini
menjadi menarik mengingat Indonesia memerlukan banyak para wirausahawan untuk memajukan
perekonomian negara.
Kedua, yang unik lagi di sekolah alternatif Prodigy ini yaitu tidak diberikannya ijazah
kepada alumninya. Untuk sebuah sekolah nonformal yang berbasiskan konsep parenting school ini
sungguh tidak masuk akal. Mengingat kebanyakan anggota masyarakat, khususnya para orang tua
menginginkan ijazah setelah anak mereka lulus dari bangku sekolah. Ijazah ini nantinya dapat
digunakan untuk mendaftar ke sekolah yang lebih tinggi jenjangnya dan menjadi persyaratan
mutlak bagi pelamar kerja. Dalam hal proses pembelajarannya tentu saja ada perbedaan antara
sekolah yang mengeluarkan evaluasi hasil belajar seperti, ijazah/sertifikat, dan raport dengan
sekolah yang tanpa memberikan evaluasi.
Ketiga, Sekolah Prodigy berbasiskan konsep parenting school. Menurut Jane B. Brooks
(dalam Ishak S. Wonohadidjojo: 2001) parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara
orang tua dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut ini: memberi makan
(nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka
bertumbuh. Biasanya aktivitas-aktivitas parenting ini terjadi di lingkungan keluarga. Namun
parenting ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh orang yang melahirkan anak. Tanggung jawab
parenting ini juga dibebankan kepada pihak-pihak lain dalam masyarakat seperti para guru di

sekolah, guru ngaji, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan bahkan teman-teman
si anak, serta media massa (televisi, surat kabar, dan internet). Meskipun demikian, orang tua tetap
berperan sangat vital dan memiliki tanggung jawab paling besar dalam mengasihi, memperhatikan,
dan menolong anak-anak tumbuh menjadi dewasa. Dalam hal ini Prodigy memberi kesempatan bagi
orang tua untuk mengikuti dan mendampingi anak belajar di sekolah.

Dengan berbagai keunikan sekolah alternatif Prodigy seperti apa yang telah dipaparkan di
atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengetahui dan mengkaji lebih lanjut mengenai proses
pembelajarannya. Peneliti ingin mengetahui seperti apa gambaran proses pembelajaran sebuah
sekolah alternatif yang memiliki visi entrepreneur, lebih mementingkan proses belajar daripada
hasil berupa nilai atau ijazah, dan berbasiskan konsep parenting school. Sebagai sebuah sekolah
alternatif, Prodigy memiliki ciri khas tersendiri dalam hal proses pembelajaran yang berbeda dari
sekolah formal atau sekolah alternatif lain sekalipun. Bahkan sekolah alternatif ini lahir karena
ketidaksempurnaan sekolah formal sendiri dalam proses pembelajaran anak di sekolah.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
“Bagaimanakah proses pembelajaran di sekolah alternatif Prodigy?

Pertanyaan tersebut dapat dirinci menjadi beberapa pertanyaan khusus, antara lain sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah interaksi guru-murid di sekolah alternatif Prodigy?

2. Bagaimanakah metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah alternatif Prodigy?
3. Bagaimanakah interaksi guru-orang tua murid yang berlangsung di sekolah alternatif Prodigy?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran di sekolah alternatif
Prodigy. Terutama yang terkait dengan interaksi guru-murid, guru-orang tua murid dan metode
pembelajaran yang diterapkan di sekolah alternatif Prodigy.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Depdiknas (2011), pendidikan
merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut UU No. 20 tahun 2003
dalam pasal 1 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Anonim, 2012: 2-3), pendidikan
didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Itulah konsep pendidikan
yang dirumuskan oleh pemerintah. Sangat ideal dan utopis.

Menurut A. S Neill3 tidak ada otoritas pada pendidikan yang sesungguhnya. Namun pada
realitanya, guru punya status lebih tinggi daripada murid, sehingga efeknya murid mempunyai

banyak ketakutan-ketakutan seperti: takut salah, takut berargumentasi dan berbeda pendapat
dengan guru, takut bertanya, takut mengeluarkan aspirasinya. Hal ini memberikan dampak yang
buruk bagi perkembangan mental anak didik, karena hubungan antar guru sebagai pendampingnya
dalam belajar bersifat kaku dan tegang. Jika interaksi antar guru dan murid tidak intim, maka tidak
akan ada komunikasi yang dialogis. Akan sering terjadi kesalapahaman-kesalapahaman. Bahkan
karena hal itu bisa-bisa pendidikan interaksional yang ideal pun hanya tinggal mimpi.
Menurut Neill, pendidikan mempunyai satu tujuan utama yakni menjalani hidup itu sendiri.
Menurutnya, tujuan hidup adalah untuk menemukan kebahagiaan, yang berarti berhasil
menemukan apa yang diminati. Seharusnya pendidikan itu sendiri mampu membantu seorang anak
agar siap untuk hidup dan menjalani hidupnya sendiri. Ada empat gagasan pendidikan menurut
Neill. Keempat gagasan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sikap hidup (attitude)
Sesuatu disebut pendidikan bila guru menolong para murid menemukan sebuah sikap
hidup. Menurut pandangan Neill, mendidik berarti berupaya membuat anak didik sadar akan
apa makna hidup, atau menolong mereka menemukan sikap hidupnya masing‐masing. Dalam hal
ini, Neill sebagai seorang guru menyadari, kebanyakan apa yang dia ajarkan kepada mereka
(anak didiknya) akan dilupakan dalam setahun atau bahkan kurang dari setahun, tetapi sebuah
‘sikap hidup’ akan terus bersama dengan diri seseorang sepanjang hayat hidupnya.

b. Swa-disiplin (self-dicipline)


Disiplin dapat dibagi menjadi dua konsep, yakni (1) kedisiplinan, yang ditetapkan oleh
para guru dan staf penegak kedisiplinan sekolah untuk para siswa, dan (2) swa‐disiplin.
Kedisiplinan dipahami sebagai aturan‐aturan bagaimana harus bertingkah laku sebagaimana
ditetapkan dengan keras oleh para guru atau staf sekolah pendisiplin untuk para siswa. Menurut
Wibisono (2010: 34) swa‐disiplin bukan disiplin yang diberikan dan/atau dipaksakan dari luar,
yang biasanya diberikan oleh guru atau orangtua, melainkan disiplin yang muncul dan
berkembang dari dalam dan untuk diri si anak sendiri. Dalam pendidikan di sekolah-sekolah
swa-disiplin sangat penting untuk diperhatikan.

Alexander Sutherland Neill – biasa disebut A. S. Neill – lahir di Forfar, Angus, Skotlandia, pada 17 Oktober
1883, seorang pendidik progresif,dan penggagas serta pendiri Sekolah Summerhil.

3

c. Kebebasan
Konsep kebebasan dalam hal ini ada dua . Pertama, kebebasan tidak bisa lepas dari minat
atau keinginan seseorang. Kedua, karena minat atau keinginan seseorang berimplikasi pada
kebahagiaan apabila terwujud, maka kebebasan juga terkait erat dengan kebahagiaan seseorang.
Pada intinya, kebebasan berarti keadaan di mana orang dapat melakukan apa saja sesuai

keinginan atau minat pribadinya sehingga ia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.

d. Komunitas
Di samping menekankan pentingnya kebebasan dalam pendidikan, individu juga perlu
melihat dan memperhatikan sesama dalam komunitas. Adanya komunitas itu dapat disadari
sejak individu manusia menyadari bahwa orang lain juga memiliki hak‐hak masing-masing yang
tak boleh diganggu. Dalam pemahaman tentang komunitas ini tersirat konsep kebebasan pula.
Dalam arti bahwa orang boleh melakukan apa saja yang ingin ia lakukan asalkan ia tidak
mengganggu kebebasan orang lain.
Sekolah Alternatif
“Alternative schools offer nontraditional education for students whose needs cannot be met in a
regular, special education, or vocational school. While alternative schools are distinct from
regular, special education, and vocational schools in their teaching approach or classroom
environment, they can provide similar services and/or curriculum for students. Alternative
schools include schools or potential dropouts, residential treatment centers for substance
abuse, schools for chronic truants, and schools for students with behavioral problems”.
(http://www.education.com/definition/alternative-schools/, diakses 30 Desember 2012)

Sekolah alternatif merupakan suatu model pendidikan yang menawarkan pendidikan
nontradisional bagi siswa yang kebutuhannya tidak dapat dipenuhi dalam pendidikan

reguler/formal, khusus, atau sekolah kejuruan. Sementara sekolah-sekolah alternatif adalah
berbeda dari pendidikan formal, pendidikan khusus, atau sekolah kejuruan dalam hal pendekatan
pengajaran mereka atau lingkungan, mereka dapat menyediakan layanan yang sama dan/atau
kurikulum bagi siswa. Sekolah alternatif meliputi sekolah anak putus sekolah, pusat perawatan
perumahan untuk penyalahgunaan zat, sekolah untuk truants4 kronis, dan sekolah bagi siswa
dengan masalah perilaku.
Pendidikan alternatif merupakan istilah generik yang meliputi sejumlah besar program
atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional, seperti

4

Anak yang absen dari sekolah tanpa izin/tukang bolos.

yang dilakukan di sekolah formal. Menurut Yusufhadi Miarso, secara umum berbagai bentuk
pendidikan alternatif mempunyai tiga kesamaan yaitu: pendekatannya yang lebih bersifat
individual, memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik, orangtua/keluarga, dan
pendidik, serta yang dikembangkan berdasarkan minat, bakat, dan pengalaman peserta didik.
(http://tikaliyah.files.wordpress.com/2010/03/pendidikan-alternatif.pdf,

diakses


11

November

2012).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah profiler/guru, murid, dan orang tua murid di
sekolah alternatif Prodigy Bandung, sedangkan sasaran pendukungnya yaitu pimpinan dan
pencetus/pendiri sekolah alternatif Prodigy Bandung.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di sekolah alternatif Prodigy tepatnya di Jalan Karinding No.
10 Turangga 40264 Bandung, Buah Batu, Jawa Barat, Indonesia.
Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan sasaran penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
purposive sampling. Jumlah keseluruhan informan penelitian adalah 15 (lima belas) orang, meliputi
5 orang profiler (guru), 8 orang murid, dan 2 orang tua murid.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, wawancara
mendalam, dan dokumentasi.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif dengan model analisis
interaktif, dimana analisis tersebut terdiri dari empat komponen yaitu, pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

D. PEMBAHASAN
Proses Pembelajaran di Sekolah Alternatif Prodigy
Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 (Anonim, 2012: 5) pembelajaran adalah proses
interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber/media belajar pada suatu lingkungan
belajar. Proses pembelajaran ini berlangsung melalui berbagai metode dan media belajar sebagai
cara dan alat untuk menjelaskan, menganalisis, menyimpulkan, mengembangkan, dan menguasai
tema materi pelajaran.
Menurut Sadiman (2009: 5) istilah proses belajar mengajar hendaklah diartikan bahwa
proses belajar dalam diri siswa terjadi baik karena ada yang secara langsung mengajar (guru,
instruktur) ataupun secara tidak langsung. Belajar secara tidak langsung artinya murid secara aktif
berinteraksi dengan media/sumber belajar yang lain. Sementara guru/instruktur adalah salah satu
dari sekian banyak sumber belajar yang memungkinkan murid belajar.
Dalam paradigma pendidikan konvensional, proses belajar-mengajar (pembelajaran)
berlangsung di dalam kelas dengan kehadiran guru di dalam kelas dan pengaturan jadwal yang
kaku, dimana proses belajar mengajar hanya dapat berlaku pada waktu dan tempat yang telah
ditetapkan. Dalam hal ini peran guru sangat dominan, bertanggungjawab terhadap efektivitas
proses belajar dan mengajar. Guru juga menjadi sumber belajar yang dominan.
Sementara di sekolah alternatif Prodigy, proses pembelajaran dapat berlangsung di dalam
kelas maupun di luar ruangan dengan kehadiran guru sebagai fasilitator pembelajaran dan
pengaturan jadwal yang fleksibel, dimana proses belajar mengajar tidak hanya berlaku di tempat
yang telah ditetapkan, melainkan dapat dilakukan dimana saja. Kelasnya pun tidak sama dengan
sekolah-sekolah formal. Ruang kelasnya tidak terdapat kursi, meja, dan papan tulis seperti yang ada
di sekolah formal. Ruang kelasnya berupa sebuah rumah, dengan sekat-sekat ruangan di dalamnya.
Diharapkan dengan bangunan sekolah yang seperti rumah itu dapat membuat murid merasa
nyaman dan betah layaknya di rumah sendiri.
Menurut Paulo Freire sekolah formal atau umum yang ada menerapkan pendidikan gaya
bank. Dalam sistem pendidikan tersebut guru berperan sebagai subjek yang memiliki banyak
pengetahuan untuk diberikan kepada muridnya, sedangkan anak didik hanyalah sebagai objek yang
menerima pengetahuan. Anak didik diajar untuk menerima apapun pengetahuan yang diberikan
gurunya. Murid diibaratkan sebagai sebuah celengan (tempat menyimpan uang koin), uang receh
atau koin adalah pengetahuan, dan sang penabungnya adalah guru. Di sini terlihat jelas bahwa tidak

terjadi komunikasi yang dialogis antara guru dan murid. Hal tersebut menafikan fitrah individu
yang menurut teori aksi modern Cooley bahwa individu merupakan aktor yang memiliki sifat aktif
dan kreatif (Ritzer, 2011: 47).
Sementara menurut A. S Neill (Wibisono 2010: 15) tidak ada otoritas pada pendidikan yang
sesungguhnya. Namun dalam kenyataannya di sekolah formal guru mempunyai status lebih tinggi
daripada murid, sehingga dampaknya murid memiliki banyak ketakutan seperti: takut salah, takut
berargumentasi dan berbeda pendapat dengan guru, takut bertanya, takut mengeluarkan
aspirasinya. Ketakutan-ketakutan inilah yang akan membuat murid menghormati dan menghargai
gurunya secara salah. Ketakutan ini juga akan menjadi jurang pemisah antara murid dan guru yang
diciptakan oleh guru atau orang dewasa, bukan anak-anak. Dalam jurang pemisah ini posisi guru
tentu berada di atas murid. Adanya jurang pemisah semacam inilah yang membuat interaksi antara
guru dan murid menjadi tegang dan kaku. Kondisi semacam itulah yang akan membatasi kebebasan
murid dan jelas hal ini akan membatasi kreativitas peserta didik.
Dalam hal ini Prodigy berusaha menghilangkan ketakutan-ketakutan dengan memberikan
kebebasan kepada murid. Di Prodigy tidak ada kedisiplinan yang ketat dan tidak ada pemaksaan
dalam belajar. Tujuan dari pemberian kebebasan ini adalah agar kreativitas anak didik tidak
terbatasi oleh berbagai pengekangan dan ketakutan-ketakutan. Guru di Prodigy berusaha
memasuki dunia anak agar interaksi yang terjalin akrab dan terbuka layaknya berinteraksi dengan
teman sebaya. Bukan hanya sekedar menjadi guru atau orang tua yang hanya mendidik.
Pendekatan secara subyektif inilah yang harus diterapkan ketika guru berinteraksi dengan anak
didik. Menurut Kartono (1990: 11) pendekatan subyektif mengharuskan guru untuk menilai anak
dengan kriteria anak itu sendiri. Artinya, menilai dan memahami sesuai dengan perasaan dan
pikiran anak, serta sesuai dengan daya persepsi dan motivasi-motivasinya.
Dalam teori the looking glass self, Cooley berpendapat bahwa konsep diri individu secara
signifkan ditentukan apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya (Soeprapto,
2002: 111). Artinya, individu memerlukan respon atau reaksi dari orang lain yang ditafsirkan
secara subjektif dan disimpan sebagai data untuk dirinya. Seperti halnya di Prodigy, profiler
dimaknai oleh para anak didik sebagai seorang pendidik yang memberikan kebebasan, tidak
membatasi kreativitas dengan berbagai ketakutan yang ditanamkan kepada muridnya. Anak didik
memahami bahwa mereka bebas mengutarakan keinginannya kepada profiler. Hal tersebut terlihat

ketika seorang anak didik mengutarakan keinginannya untuk membuat handicraft boneka dari
benang kasur. Beberapa hari kemudian materi pembuatan handicraft tersebut diajarkan di kelas.
Kartono (1990: 12) mengatakan bahwa kesalahan terbesar dan terbanyak yang dilakukan
orang dewasa termasuk guru dalam usaha pendidikan pada umumnya adalah melihat semua gejala
yang tampak pada anak menurut pandangan dan pendirian orang dewasa sendiri. Hal tersebut
biasanya diwarnai dengan perasaan, ide-ide, sikap, stereotipe, dan prasangka tertentu. Akibatnya
terjadi salah paham, salah interpretasi, salah mengerti, dan salah langkah yang dilakukan orang
dewasa (guru) dalam hubungannya dengan anak didik. Jika demikian yang terjadi, bukan guru yang
memasuki dunia anak, akan tetapi sebaliknya.
Apabila di sekolah formal, murid menjadi objek pembelajaran, di Prodigy anak menjadi
subjek perhatian pembelajaran. Kurikulum disesuaikan dengan anak didik/murid, bukan
sebaliknya. Guru yang harus mengerti anak, bukan anak yang harus mengerti dan menyesuaikan
dengan guru dan berbagai materi pelajaran. Dengan guru memahami psikologi murid atau dengan
istilah lain memasuki dunianya, maka interaksi dapat terjalin intim dan akrab. Guru tidak
memposisikan dirinya sebagai orang yang dominan dan superior, akan tetapi mereka berusaha
menjadi kawan/sahabat murid. Bukan sekadar menjadi guru, kakak atau orang tua yang bersifat
mendidik. Seperti yang dikatakan
Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa murid dan guru Prodigy memiliki
interaksi yang akrab. Guru menempatkan diri mereka sebagai teman anak, sehingga tidak jarang
tingkah laku mereka menyesuaikan dengan karakteristik murid ketika berinteraksi. Misalnya,
ketika mereka berinteraksi dengan murid umur 7 tahun, mereka akan bertingkah laku layaknya
anak umur 7 tahun, tetapi guru tidak akan melupakan bahwa dirinya adalah pendidik, sehingga
misalnya bermain dengan murid tidak sekadar main saja, akan tetapi juga diselingi materi
pelajaran.
Begitu pula apabila guru berinteraksi dengan murid berumur 22 tahun. hanya bedanya
pembelajaran untuk murid dilakukan lebih kepada diskusi permasalahan-permasalahan dan
sharing pengalaman. Di Prodigy tidak akan dijumpai kelas sepi dan hanya satu guru yang berbicara
di depan kelas dengan suasana tegang. Justru sebaliknya, di Prodigy gurunya banyak. Murid-murid
belajar di dalam ruangan dengan suasana yang ramai. Suasana kelas tidak tegang dan cenderung
santai.

Metode Pembelajaran di Sekolah Alternatif Prodigy
Menurut Mulyatiningsih (2010: 2) metode pembelajaran merupakan sebuah cara yang
digunakan guru untuk melaksanakan rencana yaitu mencapai tujuan pembelajaran yang sudah
disusun dalam bentuk kegiatan nyata atau praktis. Metode pembelajaran sudah bersifat praktis
untuk diterapkan. Sementara menurut Al-Syaibany (dalam Rosyadi, 2004: 210), metode mengajar
tidak hanya sekadar bermakna sebagai alat untuk menyampaikan ilmu dan pengetahuan kepada
otak murid. Akan tetapi ia juga bermakna sebagai alat untuk menolong pelajar-pelajar memperoleh
keterampilan-keterampilan, kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap, minat, dan nilai-nilai yang
diinginkan. Prof. Ali al-Jumbalaty dan Abu al-Fath Attawanisy mengartikan metode pembelajaran
sebagai cara-cara yang diikuti guru yang menyampaikan maklumat ke otak murid (Rosyadi, 2004:
210).
Sebelum mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan kepada murid maka hal pertama
yang harus dilakukan guru yaitu memasuki dunia anak agar mereka merasa nyaman. Memasuki
dunia anak berarti guru memposisikan diri mereka seperti layaknya anak-anak, bukan sebagai
orang dewasa. Guru harus bisa memahami sikap dan perilaku anak didiknya, tidak memaksakan
kehendak kepadanya. Bahkan guru harus benar-benar memahami bahwa anak itu memang suka
bermain, jadi tidak perlu memaksa anak untuk belajar. Justru guru yang harus bisa menjadi teman
anak agar mereka merasa nyaman. Jika guru sudah berhasil memasuki dunia anak dan
membuatnya nyaman maka langkah selanjutnya adalah mengenalkan dan mengajarkan konsep
tauhid dan calistung, serta mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan membekali mereka
dengan berbagai keterampilan hidup melalui materi-materi pelajaran yang ditawarkan yaitu
handicraft, outing, HI Kids, audio-visual, dan entrepreneur. Dengan berjalannya waktu maka akan
diketahui seorang murid memiliki minat di materi pelajaran apa saja. Jika sudah diketahui minat
anak sebenarnya, maka yang harus dilakukan guru adalah mengarahkan dan memfokuskan minat
tersebut agar menjadi suatu kemampuan yang dapat menghidupi mereka.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan
sekolah. Orang tua tidak boleh menganggap bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab
sekolah. Akan tetapi sebagian besar masyarakat telah menyerahkan pendidikan anak mereka
kepada sekolah. Bahkan tidak jarang orang tua yang melepas tanggung jawab terhadap pendidikan
anaknya. Padahal lingkungan keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua dimana anak
berinteraksi. Artinya, di lembaga inilah anak pertama kali memulai proses pendidikan. Bahkan di
lingkungan keluargalah, sebagian besar waktu anak dihabiskan, sehingga peran orang tua dalam

mendidik anak sangat penting di sini. Oleh karena pentingnya peran orang tua tersebut maka di
sekolah Prodigy orang tua dilibatkan dalam proses pendidikan anak. Tujuan dari pelibatan orang
tua murid ini adalah agar apa yang dipelajari anak di Prodigy, dapat dipraktekkan dan diaplikasikan
di rumah dengan dukungan penuh dari mereka.
Prodigy ditetapkan secara resmi sebagai parenting school sejak bulan Juni 2012 di
Yogyakarta melalui kesepakatan dalam rapat pengurus bulanan. Parenting school merupakan pihak
yang memfasilitasi dan membantu orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Menurut Jane B.
Brooks (dalam Ishak S. Wonohadidjojo: 2001) parenting adalah proses interaksi berkelanjutan
antara orang tua dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut ini: memberi
makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika
mereka tumbuh. Di sekolah alternatif Prodigy, orang tua murid diwajibkan untuk menemani
anaknya dalam proses pembelajaran agar nantinya mereka dapat melanjutkan sesi parenting
selanjutnya di rumah. Senada dengan ide mengenai pentingnya peran orang tua dalam proses
pembelajaran, Raharja (2011: 94) memaparkan dalam bukunya bahwa keterlibatan orang tua di
dalam belajar anak terkait secara positif dengan prestasi belajar anak.
Sebenarnya saat awal berdirinya Prodigy, pada bukan Juli 2007, konsep parenting school
belum ada. Konsep ini muncul karena beberapa permasalahan yang timbul di lapangan, seperti
kesan sebagai tempat penitipan anak dan kurangnya sumber daya manusia. Permasalahan tersebut
dipaparkan oleh Kang Wahid (26 tahun), Profiler dari Divisi Kesehatan, sebagai berikut:
“Kan dulu Prodigy dari pagi sampe sore, kurang lebih delapan jam-an. Orang tua murid kan
enak tuh, anaknya selama 8 jam dipegang profiler. Jadi sisi parenting-nya kayak enggak ada.
Cuman mengikuti aja, belum sampai kayak sekarang. Kan anak gerak terus. Rata-rata orang
tua biasaya ngumpul paling ngumpul, nah di situ ada profiler yang ngedampingin. Gitu,
makanya diputusin 2 (dua) shif. Selebihnya boleh tetap di situ tapi dipegang orang tua.
Alasannya, pertama itu dan yang keduanya ini murid banyak, profiler sedikit”.
Prodigy dengan membawa konsep parenting school tidak tanpa kendala. Artinya,

sebenarnya yang harus belajar di sekolah alternatif Prodigy adalah orang tuanya, bukan anaknya.
Namun karena beberapa kendala, sistem pembelajaran masih terfokus pada murid. Seperti yang
diungkapkan oleh Kang Ayi (25 tahun) sebagai berikut:
“Anak didik harusnya ditemani, karena yang kita didik orang tuanya sebenarnya, karena
beberapa kendala, jadi masih terfokus sama murid”.

Hampir sama dengan Kang Ayi, Kang Agung (20 tahun), Koordinator Bidang Tata Usaha,
juga menjelaskan bahwa orang tua juga dididik di sekolah alternatif Prodigy sebagai berikut:
“Orang tua iya dididik. Makanya kenapa kalau setiap kegiatan kayak tadi itu orang tua
dilibatkan. Nah di situ loh diadakan pembelajaran buat orang tua. Inilah mendidiknya
seperti ini. Makanya maaf-maaf ya sekolahan kami disini kayak begini, kayak kumuh, dan
lain sebagainya. Karena apa sekolah yang baik itu disesuaikan dengan sebisa mungkin
seperti suasana di rumah, sebab kita tuh nyaman di rumah dari pada di rumah orang.
Apa yang dipaparkan Kang Agung di atas mempertegas penjelasan profiler lain bahwa orang
tua juga dididik di Prodigy, makanya orang tua harus dilibatkan dalam proses pembelajaran di
sekolah. Hal tersebut dilakukan agar orang tua dapat mempraktekkan apa yang diajarkan di
sekolah ketika mereka di rumah.
Guru/Profiler satu bulan sekali menanyakan minat terbaru anak didik kepada orang tua.
Secara lebih personal, dari bidang kesiswaan mewawancarai orang tua murid mengenai
perkembangan anak didik di rumah, termasuk di dalamnya minat terbarunya. Hal ini sangat
membantu dalam mengarahkan anak ke bakat alaminya.
Interaksi antara orang tua dan pihak sekolah juga terlihat ketika profiler dari Bidang
Kesehatan menerapi anak didik. Setiap proses pembelajaran berlangsung ada satu sesi dimana si
anak didik yang menderita sakit atau pun tidak mendapatkan terapi kesehatan. Dalam sesi ini
orang tua berinteraksi dengan profiler. Dalam sesi terapi ini biasanya mereka sambil berbincangbincang tentang permasalahan anak, permasalahan orang tua, maupun hanya sekadar saling
melempar lelucon. Berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi penelitian, orang tua tidak segansegan menanyakan segala permasalahannya kepada profiler, bahkan di sela-sela tanya-jawab itu
pun lelucon sering terdengar bersahut-sahutan.

Hubungan yang akrab antara profiler dan orang tua murid, dipaparkan oleh Ibu Evi, orang
tua Qinthara, sebagai berikut.
“Profiler di sini hubungannya dengan orang tua murid itu tidak kaku, mereka fleksibel.
Ketika proses pembelajaran berlangsung atau pun sudah selesai banyak guru mendekati
kami, orang tua murid. Mereka tidak enggan dan segan untuk sekadar ngobrol-ngobrol
dengan saya atau pun orang tua murid lainnya.....”
Berdasarkan pengamatan di lapangan hubungan guru dan orang tua murid berlangsung

secara akrab. Sering terjadi interaksi tatap muka antar keduanya, karena orang tua murid sebagian
besar menemani anaknya belajar di Prodigy. Bahkan tidak jarang keduanya saling bekerja sama
dalam mendidik murid.

E. SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Simpulan
1. Interaksi guru-murid yang terjadi di sekolah alternatif Prodigy berlangsung secara humanis dan
interaktif dengan pendekatan subyektif karena guru berusaha memahami karakteristik anak
didiknya. Anak didik dijadikan subjek, bukan sebagai objek pembelajaran. Guru berusaha
memasuki dunia anak dengan memahami karakter anak didiknya agar anak merasa nyaman
menjalani proses pembelajaran.
2. Metode pembelajaran yang digunakan di Prodigy sangat bervariatif, yaitu meliputi metode
simulasi, eksperimen, demonstrasi, karyawisata (Outing), ceramah/pemberian pemahaman, dan
tanya-jawab/diskusi.
3. Interaksi antara guru dan orang tua murid berlangsung secara interaktif. Hal tersebut terlihat
ketika guru menanyakan mengenai karakter anak dan minat terbarunya, serta saat proses
pembelajaran berlangsung tidak jarang orang tua bertanya mengenai cara mendidik anaknya
atau sekedar berbagi pengalaman dan bersendau gurau.
Implikasi
Berdasarkan pada pembahasan dan kesimpulan di atas, maka implikasi yang dapat
dikemukakan antara lain:
1. Perlu adanya sarana dan prasarana sekolah yang memadai di sekolah alternatif Prodigy agar
proses belajar-mengajar yang berlangsung lebih berkualitas, sehingga Sumber Daya Manusia
(SDM) lulusan Prodigy nantinya dapat bersaing dengan orang-orang yang bukan alumni sekolah
alternatif ini.
2. Perlu adanya penekanan pengaplikasian konsep parenting school di sekolah alternatif Prodigy,
karena proses pembelajarannya masih terfokus kepada anak. Orang tua baru sekedar belajar
melalui bertanya dan pengamatan langsung di lapangan. Mereka belum sepenuhnya dijadikan
subjek belajar. Belum ada kurikulum tersendiri yang mengatur bagaimana proses pembelajaran
bagi orang tua murid. Seharusnya dengan konsep bahwa Prodigy itu parenting school, orang tua
murid yang semestinya menjadi subjek belajar, bukan anaknya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi pendidikan bagi masyarakat
pada umumnya serta bagi perkembangan sekolah formal pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012, Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Edisi Terbaru, Cetakan
Kedua, Penerbit Fokusindo Mandiri, Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kartono, Kartini. 1990, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Kurniawan Mir’aj Dodi dan Andi Suwirta. 2011, “Membangun Peradaban Indonesia Melalui Ikhtiar

Pendidikan yang Bercorak Alternatif dan Kritis”, Jurnal Atikan (Kajian pendidikan), vol. 1 (2),
ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia), Bandung.

Miarso,Yusufhadi.

“Pendidikan

Alternatif:

Sebuah

Agenda

Reformasi”,

http://tikaliyah.files.wordpress.com/2010/03/pendidikan-alternatif.pdf, diakses Minggu, 11
November 2012.
Mulyatiningsih, Endang. 2010, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif Dan Menyenangkan
(PAIKEM), Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan, Depok.
Raharja, Setya. 2011, “Partisipasi Orang Tua Dalam Manajemen Sekolah”, Jurnal Manajemen
Pendidikan, No. 01/Th VII/April/2011.

Ritzer, George. 2011, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Cetaka ke-9, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Rosyadi, Khoiron. 2004, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sadiman, Arief dkk. 2009, Media Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soeprapto, Riyadi. 2002, Interaksionisme Simbolik, Cetakan Pertama, Averroes Press, Malang.
Wibisono, Khrisma. 2010, Summerhill School (Sekolah Alternatif yang Membebaskan Menurut A.S.
Neill), PT Evolitera, Jakarta.
Wonohadidjojo, Ishak S. 2001, “Analisa S.W.O.T. Untuk Parenting Beberapa Parameter Kurikuler
Untuk Pelayanan Keluarga”, Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Edisi 2/1 (April), Malang.

http://www.education.com/definition/alternative-schools/, diakses 30 Desember 2012