gambar asupan energi dan protein sserta
TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN SERTA MUTU KONSUMSI MAKANAN PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI RSUD KANJURUHAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG
Karya Tulis Ilmiah ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan
Mata Kuliah Karya Tulis Ilmiah II
Oleh :
Sofyan Wahyu Kumara
NIM. 1003000101
KEMENTERIAAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MALANG JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI D III 2013
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah oleh Sofyan Wahyu Kumara (1003000101) dengan judul
“Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Serta Mutu Konsumsi Makanan Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen
Kabupaten Malang” telah diujikan di depan dewan penguji pada tanggal 22 Agustus 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta kemudahan yang diberikan-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah II dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Konsumsi Makanan Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang ” untuk memenuhi tugas mata kuliah Karya Tulis Ilmiah II.
Dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah II ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Direktur RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang telah memberikan izin tempat penelitian
2. Kepala Instalasi Gizi RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang telah membantu dalam penelitian ini
3. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang,
4. I Dewa Nyoman Supariasa, MPS selaku Ketua Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang,
5. Etik Sulistyowati, S.Gz, M.Kes selaku Ketua Penguji
6. Diniyah Kholidah, SST, S.Gz, MPH selaku Pembimbing Utama
7. Endang Widajati, SST,M.Kes selaku Pembimbing Pendamping
8. Tim dosen mata kuliah Karya Tulis Ilmiah Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang,
9. Pasien yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini
10. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan baik berupa material maupun immaterial.
11. Teman-teman serta semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya karya tulis ilmiah ini. Penyusun menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga dapat membantu untuk perbaikan selanjutnya.
Malang, Agustus 2013
Penulis
ABSTRAK
SOFYAN WAHYU KUMARA. 2013. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Serta Mutu Konsumsi Makanan Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang . Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Diploma III Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. Pembimbing I :
Endang Widajati, Pembimbing II : Etik Sulistyowati
Penyakit ginjal kronik merupakan perkembangan gangguan ginjal yang progresif dan lambat. Dalam hal ini, rata-rata pasien tidak dapat pulih atau tidak bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Tindakan pengobatan konservatif ditujukan untuk meredakan atau memperlambat progesifitas kerusakan ginjal. Pengaturan asupan protein, disamping asupan energi, memegang peranan utama dalam penanggulangan gizi atau nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronik karena gejala-gejala sindrom uremik terutama disebabkan menumpuknya sisa katabolisme protein tubuh. Protein dengan nilai biologis yang tinggi diharapkan dapat mengurangi sisa metabolisme yang menyebabkan sindroma uremik pada pasein gagal ginjal kronik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi kasus yaitu menganalisis tingkat konsumsi energi, protein dan mutu konsumsi makanan pada pasien penyakit ginjal kronik. Mutu konsumsi makanan dianalisis dengan menggunakan NPU dan PER. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari kelima responden, seluruhnya memiliki diagnosis CKD dengan komplikasi yang menyertai. Seluruh responden memiliki status gizi kurang berdasarkan pengukuran LILA. Terapi diet yang diberikan rumah sakit berupa diet rendah protein II dengan nilai energi 2086 kkal dan 35 gram protein. Dari kelima responden, dua responden diberikan diet rendah protein dan rendah garam. Tingkat konsumsi energi tiga responden masuk dalam kategori sedang dan dua responden termasuk dalam kategori kurang. Untuk tingkat konsumsi protein, seluruh responden termasuk dalam kategori baik. Dari hasil perhitungan nilai NPU seluruh responden baik. Nilai PER seluruh responden diatas nilai yang dianjurkan yang berarti energi dari protein lebih besar digunakan daripada energi dari sumber karbohidrat. Dari penelitian ini disarankan kepada ahli gizi rumah sakit untuk memberikan motivasi kepada setiap pasien penyakit ginjal kronik untuk meningkatkan konsumsi makanan dan juga diharapkam untuk dapat menyajikan makanan yang lebih menarik agar pasien lebih menyukai makanan rumah sakit.
Kata Kunci : penyakit ginjal kronik, tingkat konsumsi, NPU, PER
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik merupakan perkembangan gangguan ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun (Price, 2012). Setiap pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik biasanya dikarenakan faal ginjalnya rusak. Dalam hal ini, rata-rata pasien tidak dapat pulih atau tidak bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kerusakan pada faal ginjal ini disebabkan oleh berbagai macam hal (Sinaga, 2012)
Menurut Sibuea (2005), banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama menyebabkan destruksi nefron progresif. Penyebab penyakit ginjal kronik berasal dari berbagai penyakit diantranya penyakit metabolik (diabetes mellitus sebesar 34%, hipertensi sebesar 21%, penyakit peradangan (glomerulonefritis sebesar 17%), infeksi sebesar 3,4%, penyakit ginjal polikistik sebesar 3,4% (Price, 2012). Penyakit ginjal kronik, dapat tanggulangi dengan beberapa cara. Penanggulangan pada penyakit ginjal kronik tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu pengobatan konservatif dan pengobatan pengganti (Sinaga, 2012).
Tindakan pengobatan konservatif ditujukan untuk meredakan atau memperlambat progesifitas kerusakan ginjal. Terapi diet hanya bersifat membantu memperlambat progresifitas penyakit ginjal kronik. Pemberian suplemen seperti zat besi, asam folat, kalsium, dan vitamin D mungkin diperlukan (Hartono, 2006). Selain itu, makronutrient yang paling penting untuk diperhatikan adalah karbohidrat dan protein.
Menurut Moore (1997) pemberian energi yang cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena tidak hanya mengurangi kemampuan jaringan, tapi juga pelepasan nitrogen yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Sedangkan menurut Dwijayanthi (2010) asupan energi yang cukup diperlukan untuk mencegah penurunan berat badan dan katabolisme protein. Kegagalan mengkonsumsi cukup energi menyebabkan meningkatnya kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) karena protein tubuh dipecah menjadi energi. Pasien yang tidak memerlukan dialysis harus mengkonsumsi 35 kal/kgBB/hari. Pengaturan asupan protein, disamping Menurut Moore (1997) pemberian energi yang cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena tidak hanya mengurangi kemampuan jaringan, tapi juga pelepasan nitrogen yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Sedangkan menurut Dwijayanthi (2010) asupan energi yang cukup diperlukan untuk mencegah penurunan berat badan dan katabolisme protein. Kegagalan mengkonsumsi cukup energi menyebabkan meningkatnya kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) karena protein tubuh dipecah menjadi energi. Pasien yang tidak memerlukan dialysis harus mengkonsumsi 35 kal/kgBB/hari. Pengaturan asupan protein, disamping
Pasien dengan penyakit ginjal kronik dianjurkan untuk mengkonsumsi protein dengan nilai biologis yang tinggi. Namun tidak banyak pasien yang mengetahui maksud pemberian protein dengan nilai biologis yang tinggi. Protein dengan nilai biologis yang tinggi diharapkan dapat mengurangi sisa metabolisme yang menyebabkan sindroma uremik pada pasein gagal ginjal kronik. Protein dengan nilai biologis yang tinggi merupakan protein dengan komposisi asam amino yang optimal seperti susu, telur, dan sumber protein hewani lain (Sidabutar, 1992). Protein dengan nilai biologis tinggi anjurkan 50% berasal dari asam amino yang mana dapat mencegah dekarbosilasi asam amino, mengalami konversi menjadi asam amino, dan meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen (Sari, 2012)
Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua factor yang menentukan nilai gizi suatu protein yaitu daya cerna atau nilai cernanya dan kandungan asam amino esensialnya. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi suatu protein secara biologis salah satunya adalah NPU (Net Protein Utilization) (Muchtadi, 2010). NPU menunjukkan bagian protein yang dapat dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan protein yang dikonsumsi (Hardinsyah, 1989).
Konsentrasi kreatinin plasma dan BUN juga dapat digunakan sebagai petunjuk GFR (Glomerulus Filtration Rate). Kedua zat ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme protein yang normalnya diekskresikan lewat urine.
Sedangkan BUN terutama dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein dalam tubuh (Prince, 2012). Menurut Sari (2012), hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme nitrogen, pada pasien penyakit ginjal kronis akan terjadi intoleransi protein ketika mengkonsumsi protein terlalu banyak.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Kanjuruhan Kabupaten Malang, penatalaksanaan diet pada pasien penyakit ginjal kronis diberikan diet rendah protein, rendah kalium dan rendah garam. Rumah Sakit Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang menggunakan diet rendah garam I, II, dan III tergantung kondisi pasien penyakit ginjal kronis. Namun, untuk penyakit ginjal kronis paling sering diberikan diet rendah protein II dengan komposis zat gizi energi sebesar 2086 kal, protein sebesar 35 g, lemak sebesar 70 g, dan karbohidrat sebesar 327 g, sedangkan standar diet untuk diet rendah protein adalah energi sebesar 1900 kal, protein sebesar 30 g, lemak sebesar 53,8 g, dan karbohidrat sebesar 328,5 g. Pada Rumah Sakit Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang, jumlah pasien peyakit gagal ginjal berkisar antara 5 – 10 orang dalam satu bulan.
Berdasarakan uraian pada latar belakang maka perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat konsumsi energi, dan protein serta mutu konsumsi makanan yang dikonsumsi oleh pasien penyakit ginjal kronis dengan metode NPU.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi makanan pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum Mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang
2. Tujuan Khusus 2. Tujuan Khusus
b. Menghitung tingkat konsumsi enegi dan protein pasien penyakit ginjal kronis
c. Menghitung mutu konsumsi makanan berdasarkan NPU
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti
Memberikan pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah, serta digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang tingkat konsumsi energi, protein dan mutu konsumsi pada pasien penyakit ginjal kronik.
b. Bagi institusi
Diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan gizi bagi pasien penyakit ginjal kronik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Pengertian
Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus yang ditandai dengan penurunan LFG (laju filtrasi glomerulus). Awal perjalanan penyakit ginjal kronik, keseimbangan cairan, penanganan natrium dan penimbunan produk sisa masih bervariasi dan tergantung bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun hingga 25% normal, manifestasi klinis penyakit ginjal kronis karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertropi dalam proses tersebut. Semakin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Bersamaan dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan penurunan fungsi ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat, dan bersama dengan kelebihan cairan,dapat menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).
2. Etiologi
Penyebab penyakit ginjal kronik tidak selalu sama diberbagai negara dan juga polanya berubah sesuai dengan kondisi tiap negara. Glomerulonefrtis merupakan etiologi yang utama diseluruh dunia, tetapi di Indonesia dan beberapa negara berkembang tidak selalu glomerulonefritis menjadi penyebab terbesar (Sidabutar, 1992). Penyebab yang paling sering ditemukan pada penyakit ginjal kronik dapat dibagi ke dalam delapan kelas sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronis No. Klasifikasi Penyakit
Penyakit
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan Glomerulonephritis
3. Penyakit vaskuler hipersensitif Nefroklerosis benigna Nefroklerosis maligna Stenosis arteria renalis
4. Gangguan jaringan ikat Sistemik lupus eritematosus Poliarteritis nodosa Sclerosis sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik Renal tubular asidosis
6. Penyakit metabolic Diabetes mellitus Gout Hiperparatiroidisme Amyloidosis
7. Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic Nefropati timah
8. Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas (kalkuli, neoplasma, fibrosis retroperitoneal) Traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat striktura uretra, kelainan kongenital kandung kemih dan uretra)
Sumber : Prince, 2012 Baru –baru ini, diabetes dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi ESRD yang paling besar, terhitung secara berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonephritis adalah penyebab ESRD tersering yang ketiga dengan besar 17 %. Infeksi nefritis tubulointerstisial
(pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik (PKD) masing-masing terhitung sebanyak 3,4% dari ESRD (Prince, 2012).
3. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit ginjal kronik bisa didasarkan atas dua penialaian laboratoris yaitu dengan LFG (laju filtrasi glomerulus) dan juga Tes Klirens Kreatinin (TKK). Berdasarkan NKF/KDOQI tahap penyakit ginjal kronik dibagi sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG (laju
filtrasi glomerulus) Derajat 2 Penjelasan GFR (mL/mnt/1,73 m )
1 Kerusakan ginjal atau normal ≥ 90 dengan LGF meningkat
2 Kerusakan ginjal ringan dengan 60-89 LGF menurun
3 Kerusakan ginjal sedang dengan 30-59 LGF menurun
4 Kerusakan ginjal berat dengan LGF 15-29 menurun
5 Gagal ginjal < 15
4. Tanda dan Gejala
Penyakit ginjal kronik memiliki berbagai tanda dan gejala yang diderita oleh pasien. Gejala secara umum disebut sindrom uremik, gejala utamanya adalah gejala gastro intestinal seperti rasa mual, muntah, dan menurunnya nafsu makan (Kowalak, 2011). Selain gejala tersebut terdapat tanda dan gejala lain yaitu diantara yaitu :
- Hypervolemia akibat retensi natrium - Hipokalsemia dan hyperkalemia akibat ketidakseimbangan elektrolit - Azotemia akibat retensi zat sisa nitrogen - Asidosis metabolic akibat kehilangan bikarbonat - Nyeri tulang serta otot dan fraktur yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan hormone paratiroid yang ditimbulkan
- Neuropati perifer akibat penumpukan zat – zat toksik - Mulut yang kering, keadaan mudah lelah, dan mual akibat
hiponatremia - Hipotensi akibat kehilangan natrium
- Perubahan status kesadaran akibat hiponatremia dan penumpukan zat – zat toksik
- Frekuensi jantung yang tidak regular akibat hyperkalemia - Hipertensi akibat kelebihan muatan cairan - Luka – luka pada gusi dan pendarahan akibat koagulopati - Kulit berwarna kuning tembaga akibat perubahan proses metabolic - Kulit yang kering serta bersisik dan rasa gatal yang menghebat akibat
uremic frost - Kram otot dan kedutan (twitching) yang meliputi iritabilitas jantung
akibat hyperkalemia - Pernafasan Kussmaul akibat asidosis metabolic
- Infertilitas, penurunan libido, amenore, dan impotensi akibat gangguan endokrin
- Pendarahan GI, hemoragi, dan keadaan mudah memar akibat trombositopenia dan defek trombosit
- Infeksi yang berhubungan dengan penurunan aktivitas makrofag.
(Kowalak, 2011) Upaya yang harus dilakukan dalam mendiagnosis penyakit ginjal kronik biasanya tidaklah sulit. Langkah yang harus dilakukan pada diagnosis ini adalah anamnesis yang sangat teliti, pemeriksaan diagnosis khusus, serta pemeriksaan fisik, yang digunakan untuk menentukan tahapan dan penyebab dari penyakit ini (Sinaga, 2012). Berikut acuan utama yang dapat digunakan agar dapat mencapai diagnosis :
1. Keluhan umum
a. Kencing : polyuria / olgoria dan nokturia
b. Dermatologik : gatal
c. Saluran cerna : anoreksia, nausea, muntah, cekutan
d. Seksual : impotent dan mengurangi libido d. Seksual : impotent dan mengurangi libido
f. Neuromuskuler : kejang, twitching, rasa tebal, insomnia, kerusakan konsentrasi, dan perubahan kepribadian.
2. Gejala umum
a. Dermatologik : pucat, hiperpigmentasi, patekei, dan skoriasi
b. Kardiovaskuler : hipertensi, kardiomegali, friksi perikard, dan edema
c. Neuromuskular : neropati perifer, mengantuk, dan twitching
d. Lain – lain : bau nafas uremik
3. Pemeriksaan khusus laboratorium
a. Azotemia
b. Asidosis metabolic
c. Anemia
d. Hiperurikemia
e. Hiperkalemia
f. Hiperfosfatemia
g. Proteinuria
h. Radiologic
i. Osteodistrofi j. Ginjal ciut (Sinaga, 2012)
5. Patofisiologis
Penyakit ginjal kronik sering berlangsung progresif melalui empat stadium. Penurunan cadangan ginjal memperlihatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 35 % hingga 50 % laju filtrasi normal. Insufisiensi renal memiliki laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 35% laju filtrasi normal. Gagal ginjal memiliki laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 25% laju filtrasi normal, sementara penyakit ginjal stadium - terminal (end – stage renal disease) memiliki laju filtrasi glomerulus kurang dari 20% laju filtrasi normal (Kowalak, 2011)
Urutan peristiwa dalam patofisiologis penyakit ginjal kronik dapat diuraikan dari segi dugaan nefron yang utuh. Penyakit ginjal kronik terus Urutan peristiwa dalam patofisiologis penyakit ginjal kronik dapat diuraikan dari segi dugaan nefron yang utuh. Penyakit ginjal kronik terus
Selain itu juga terdapat penjelasan terbaru mengenai penyakit ginjal kronik tanpa penyakit ginjal primer yang aktif adalah dugaan hiperfiltrasi. Menurut teori hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan aliran plasma dan GFR serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus (Prince, 2012).
Patogenesis penyakit ginjal kronik sebagian besar berasal dari kombinasi efek toksik yaitu tertahannya produk-produk yang normalnya diekskresikan oleh ginjal, produk normal seperti hormone yang terdapat dalam jumlah lebih banyak, dan berkurangnya produk normal ginjal. Kegagalan ekskresi yang terjadi menyebabkan pergeseran cairan, berupa peningkatan Na intrasel dan air serta penurunan K intrasel. Perubahan ini mungkin ikut berperan menyebabkan perubahan samar pada fungsi beragam enzim, system transport, dan sebagainya (Ganong, 2010)
Urine dapat mengandung protein, sel darah merah dan sel darah putih atau sedimen (endapan) dalam jumlah abnormal. Produk akhir ekskresi yang utama pada dasarnya masih normal dan kehilangan nefron menjadi signifikan. Karena terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kadar kreatinin plasma meninggi secara proposional jika tidak dilakukan peyesuaian untuk mengaturnya. Ketika pengangakutan natrium ke dalam nefron meningkat maka lebih sedikit natrium yang direabsorbsi sehingga terjadi kekurangan natrium dan deplesi volume. Ginjal tidak mampu lagi memekatkan dan mengencerkan urine (Kowalak, 2012).
6. Komplikasi
Sama seperti penyakit menahun lainnya, penyakit penyakit ginjal kronik juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang sering lebih berbahaya, komplikasi yang seringkali ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronik adalah anemia, osteodistrofi ginjal, gagal jantung, dan disfungsi ereksi (impotensi) (Alam, 2007).
1. Gangguan Hematoligik Pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik menunjukkan kelainan mencolok pada jumlah sel darah merah, fungsi sel darah putih, dan parameter-parameter pembekuan darah. Anemia normokrom normositer sering kali ditemukan (Ganong, 2010). Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan pada produksi hormone eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Gangguan tersebut mengakibatkan, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan (Alam, 2007)
2. Osteodistrofi ginjal Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Apabila kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal, pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan (Alam, 2007)
3. Gangguan kardiovaskuler (Gagal jantung) Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada pasien penyakit ginjal kronik dimulai dari anemia yang 3. Gangguan kardiovaskuler (Gagal jantung) Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada pasien penyakit ginjal kronik dimulai dari anemia yang
4. Disfungsi ereksi Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan system endokrin (yang memproduksi hormone testosteron) untuk merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita penyakit ginjal kronik juga mengalami perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama gangguan kemampuan pria pasien penyakit ginjal kronik adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal (Alam, 2007).
B. Terapi Diet Rumah Sakit
1. Kebutuhan Energi
Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, dengan demikian agar manusia tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup ke dalam tubuhnya (Djaelani, 2004). Energi merupakan salah satu dari hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan, suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, dengan demikian agar manusia tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup ke dalam tubuhnya (Djaelani, 2004). Energi merupakan salah satu dari hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan, suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam
Kebanyakan penderita gagal ginjal kronis menunjukkan kekurangan gizi. Hali ini disebabkan oleh berbagai faktor katabolisme dan kurangnya asupan energi. Kebutuhan terhadap energi diusahankan diperoleh dari karbohidrat kurang lebih 60% dan dari asupan lemak sebesar 30% dari total energi (Sidabutar, 1992).
Menurut Almatsier (2006), pada orang dewasa energi yang diberikan yaitu adalah 35-40 kkal/kgBB/hari. Pemberian energi cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena ini tidak saja mengurangi kemampuan jaringan, tetapi juga pelepasan nitrogen yang harus dikeluarkan melalui ginjal (Moore, 1997).
RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang, pasien penyakit ginjal kronik mendapat asupan energi sesuai standar rumah sakit yaitu 2086 kkal. Pemberian energi ini juga memperhitungkan komplikasi penyakit yang diderita.
Kriteria untuk menilai tingkat konsumsi energi berdasarkan Gibson (2005) dengan modifikasi: Baik
: > 80 % Sedang : 51 > 80 % Kurang : ≤ 50 % Adapun cara untuk menilai tingkat konsumsi energi menurut Supariasa (2012) yaitu : Tingkat konsumsi energi :
Konsumsi energi
X 100%
Kebutuhan energi
2. Kebutuhan Protein
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh karena selain sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Selain zat pembangun, fungsi Protein merupakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh karena selain sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Selain zat pembangun, fungsi
Pembatasan konsumsi protein pada pasien gagal ginjal kronis sangat penting sekali. Pembatas protein tidak hanya mengurangi kadar ureum tetapi juga mengurangi asupan kalium, dan fosfat yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal (Prince, 2012).
Menurut Almatsier (2006), syarat diet untuk pasein gagal ginjal kronis yaitu protein rendah sebesar 0,6-0,7 g/kgBB dan sebgaian harus bernilai biologis tinggi. Kebutuhan gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis sangat bergantung pada keadaan dan berat badan perorangan, maka jumlah protein yang diberikan dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari pada standar. Selain itu, mutu protein dapat ditingkatkan dengan memberikan asam amino esensial murni.
Fungsi protein sesungguhnya sebagai zat pembangun tubuh karena protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru yang selalu terjadi didalam tubuh. Kriteria untuk menilai tingkat konsumsi protein berdasarkan Gibson (2005) dengan modifikasi : Baik
: > 80 % Sedang : 51 > 80 % Kurang : ≤ 50 % Adapun cara untuk menilai tingkat konsumsi protein menurut Supariasa (2012) yaitu : Tingkat konsumsi protein :
Konsumsi protein
X 100%
Kebutuhan protein Kebutuhan protein pada pasien penyakit ginjal kronik ditentukan
melalui perhitungan kebutuhan individu yang mengacu pada perhitungan energi dan protein yang digunakan oleh rumah sakit.
Selain kebutuhan protein yang harus disesuaikan dengan kebutuhan individu perlu diperhtikan juga mengenai nilai mutu protein yang diberikan kepada pasien
Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk disintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein yaitu daya cerna atau nilai cerna dan kandungan asam amino esensialnya. Suatu protein dikatakan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam-asam amino esensial yang susunannya lengkap serta komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh serta asam-asam amino tersebut dapat digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 2010).
Menurut Sidabutar (1992) dari 0,56 g/kgBB/hari hendaknya diusahakan sekurang-kurangnya 60% atau 0,35 g/kgBB/hari berupa protein dengan nilai biologis tinggi. Protein dengan nilai biologis tinggi mempunyai kadar asam amino esensial optimal. Karena asam amino esensial tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, maka asam amino esensial ini perlu diberikan dari luar melalui makanan.
Skor asam amino (SAA) merupakan cara teoritis yang umum digunakan untuk menghampiri nilai biologis (biological value) dari protein yang dikonsumsi. SAA menunjukkan bagian (proporsi) asam amino esensial yang dimanfaatkan oleh tubuh dibandingkan dengan yang diserap. Untuk menghitung SAA ini diperlukan data dasar tentang kandungan asam amino esensial dari beragam pangan dan pola kecukupan asam amino esensial seseorang (Hardinsyah, 1989)
Metode Skor asam amino (SAA) didasarkan atas kenyataan bahwa asam amino pembatas (limiting amino acid) dalam sebagian besar bahan pangan adalah lisin, metionin (metionin + sistin) dan kadang-kadang triptofan. Namun dikarenakan komposisi asam amino telur tidak selalu tetap dipengaruhi oleh banyak faktor maka pada saat ini dalam penghitungan skor asam amino suatu protein digunakan protein referensi FAO/WHO (1973) sebagai standar (Tabel 3).
Tabel 3. Pola kebutuhan asam amino berdasarkan estimasi dan pola referensi asam amino yang direkomendasikan oleh FAO / WHO (1973)
Pola kebutuhan asam amino
Asam Referensi
amino FAO/WHO
(23-50 th) esensial
(3-6 bln) (10-12 th)
(mg/g protein)
50 Sumber : Heckler (1977) dalam Muchtadi (2010)
Skor untuk masing-masing asam amino esensial dinyatakan sebagai persentase konsentrasi yang terdapat dalam protein standar, menggunakan rumus seperti dibawah ini :
Jumlah AAE dalam protein sampel Skor asam amino =
X 100 Jumlah AAE dalam protein standar
Menurut Hardinsyah (1989) skor asam amino yang baik adalah skor asam amino yang dapat diserap tubuh secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan contoh bahwa skor asam amino pada bahan makanan yang telah dihitung menunjukkan nilai 80 dengan asam amino pembatas lisin berarti asam amino tersebut telah dapat diserap oleh tubuh sebesar
80 persen Mutu Cerna Teorotis (C) menunjukkan bagian dari protein yang atau asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dibandingkan yang dikonsumsi. Berikut mutu cerna teoritis (C) pada berbagai pangan :
Tabel 4.
Mutu Cerna Berbagai Pangan Tunggal
No.
Jenis Pangan
Mutu Cerna
5 Tepung umbi-umbian
8 Telur dan susu 100
10 Kedelai (kacang-kacangan)
11 Tepung kedelai (tepung kacang-kacangan)
12 Sayuran
88 Sumber : Hardinsyah (1989) NPU teoritis menunjukkan bagian protein yang dapat dimafaatkan tubuh dibandingkan protein yang dikonsumsi. Berikut hubungan skor asam amino dan mutu cerna dalam penentuan NPU Teoritis menurut Hardinsyah (1989) :
13 Buah-buahan
SAA x C
NPU Teoritis =
Nilai NPU Teoritis harus diatas 100
BAB III KERANGKA KONSEP
Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Terapi Diet Karakteristik Pasien Terapi Medis
Tingkat konsumsi energi Tingkat konsumsi protein
Mutu Protein
Kadar Ureum
Keterangan : ---------------- : Tidak diteliti __________ : Diteliti
Karakteristik pasien penyakit ginjal kronik berbeda-beda demikian juga dengan terapi diet dan terapi medis yang berbeda pula sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal yang dialami dan juga komplikasi yang diderita. Dengan perbedaan tersebut akan berpengaruh pada tingkat konsumsi energi dan protein setiap pasien. Protein yang memberikan pengaruh besar pada penyakit ini akan dinilai mutu konsumsi makanan dengan metode NPU. Diharapkan dengan tingkat konsumsi energi, protein baik dan mutu konsumsi makanan baik akan memberikan dampak pada berkurangnya kerusakan ginjal.
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi kasus yaitu menganalisis tingkat konsumsi energi, protein dan mutu konsumsi makanan pada pasien penyakit ginjal kronik.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelas III Ruang Rawat Inap Imam Bonjol RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang
2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 1 bulan yaitu pada bulan Juli 2013
C. Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penyakit ginjal kronik
2. Sampel Sampel yang dipilih adalah pasien yang memenuhi kriteria sebagai berikut
a. Pasien menderita penyakit ginjal kronis tanpa hemodialisis tanpa atau dengan komplikasi
b. Pasien dengan usia dewasa (18-60 tahun)
c. Pasien berjenis kelamin laki-laki atau perempuan
d. Pasien bersedia untuk menjadi responden
e. Pasien mendapat diet rendah protein I, II maupun III
3. Teknik pengambilan sampel Sampel diperoleh berdasarkan metode purposive sampling yaitu hanya mengambil unit sampel yang memenuhi kriteria
4. Besar sampel Responden pada penelitian ini sebanyak 5 orang yang telah memenuhi kriteria.
D. Definisi Operasional variabel
Tabel 5. Definisi Operasional Variabel Variabel
Skala Definisi
Cara ukur Peneliti
Kategori
Ukur Tingkat
Perhitungan Ordinal konsumsi
Perbandingan
Berdasarkan
asupan dengan modifikasi antara energi
kebutuhan
konsumsi energi rata-rata Baik : > 80%
Gibson (2005):
energi selama 3 hari
Sedang : 51 – dibandingkan (WNPG, 2002) 80%
dengan
Kurang : < 51%
kebutuhan energi
Tingkat Perbandingan
Perhitungan Ordinal konsumsi
Berdasarkan
asupan dengan modifikasi antara protein
kebutuhan
konsumsi protein rata-
Gibson (2005):
protein rata selama 3
Baik : > 80%
Sedang : 51 – 80 dibandingkan hari (WNPG,
dengan 2002)
Kurang : < 51 %
kebutuhan protein
Variabel Skala Definisi
Cara ukur Peneliti
Kategori
Ukur Mutu
Perhitungan Ordinal Konsumsi
Bagian yang
Bedasarkan
konsumsi Makanan
asam amino tubuh
dari protein dibandingkan
NPU > 100
yang protein yang
dikonsumsi dikonsumsi
dikalikan (Hardinsyah,
dengan mutu 1989)
cerna bahan makanan yang dikonsumsi
E. Instrumen penelitian
Dalam penelitian ini, alat dan bahan yang digunakan yaitu:
1) Form kesediaan pasien untuk menjadi sampel dalam penelitian
2) Form karakteristik pasien
3) Alat tulis menulis dan alat hitung (kalkulator)
4) Form Comstock
5) Form perhitungan energi dan protein
6) Tabel penentuan SAA konsumsi pangan
7) TKPI (Tabel Komposisi Pangan Indonesia)
8) DKAA (Daftar Komposisi Asam Amino)
9) Komputer (Software Nutrysurvey)
F. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini akan dikumpulkan data – data sebagai berikut :
1. Karakteristik pasien penyakit ginjal kronik 1. Karakteristik pasien penyakit ginjal kronik
b. Data status gizi pasien diperoleh dengan mengukur lingkar lengan atas (LILA) dan tinggi lutut. Selanjutnya dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Hasil Pengukuran (cm)
% LILA =
X 100%
Nilai Medium
2. Data tingkat konsumsi energi dan protein diperoleh dengan cara :
a. Mengamati asupan energi dan protein pasien dengan metode comstock yaitu melihat sisa makanan yang dikonsumsi pasien
b. Menghitung kebutuhan energi dan protein pada setiap pasien penyakit ginjal kronik
Perhitungan kebutuhan energi dan protein pasien ditentukan dengan cara menghitung berat badan pasien berdasarkan berat badan ideal pasien kemudian dikalikan dengan standar energi dan protein yang diberikan rumah sakit.
c. Membandingkan antara asupan energi dan protein rata-rata selama 3 hari dengan kebutuhan energi dan protein dikalikan 100%. Sesuai rumus menurut Supariasa (2012) yaitu : Tingkat konsumsi
Konsumsi energi dan protein
x 100 % energi dan protein
Kebutuhan energi dan protein
3. Data mutu protein diperoleh dengan cara :
a. Menghitung konsumsi protein setiap jenis bahan makanan yang dikonsumsi
b. Menghitung konsumsi asam amino berdasarkan DKAA
c. Menghitung konsumsi asam amino dalam satuan mg asam amino per gram protein
d. Membandingkan masing-masing asam amino dengan asam amino standar
e. Menghitung mutu cerna dibandingkan jumlah protein yang dikonsumsi e. Menghitung mutu cerna dibandingkan jumlah protein yang dikonsumsi
G. Teknik Pengolahan
1. Data hasil perhitungan status gizi berdasarkan LILA yang telah didapatkan dapat dikategorikan sesuai pada tabel berikut : Tabel 6. Kategori % LILA Kategori
%LILA Gizi obesitas
>120 % Gizi overweight
110 - 120 % Gizi normal
90 – 110 % Gizi kurang
60 – 90 % Gizi buruk
2. Data tingkat konsumsi energi dan protein yang telah dihitung dikategorikan dengan standar tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein berdasarkan Gibson (2005) dengan modifikasi : Baik
: > 80 % Sedang : 51 - 80 % Kurang : ≤ 50 %
3. Data mutu konsumsi makanan dihitung dengan metode NPU. Data diolah dengan menggunakan tabel penentuan skor asam amino konsumsi pangan yang terdapat pada lampiran 3 yang selanjutnya dilakukan penghitungan mutu cerna dan NPU. Dari hasil penghitungan didapatkan nilai NPU yang mana menurut Hardinsyah (1989) nilai NPU yang baik harus > 100
4. Data nilai PER (Protein Energy Ratio) diolah dengan cara menghitung PST (Protein Setara Telur) yang selanjutnya dikalikan dengan 4 dibandingkan dengan total konsumsi energi dikalikan 100
H. Teknik Penyajian dan Analisis data
Data karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, status gizi dan diagnosis medis), tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi makanan disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang terletak di Jalan Panji nomor 100 Kepanjen Kabupaten Malang, rumah sakit tipe B ini memiliki jumlah tempat tidur 201. Salah satu pelayanan yang ada di rumah sakit ini yaitu instalasi gizi dimana instalasi gizi RSUD Kanjuruhan memiliki 4 kegiatan utama. Pertama pengadaan makanan (kegiatannya meliputi perencanaan, pemesanan, penerimaan, prsiapan, pengolahan, penyajian, sampai dengan distribusi makanan sampai ruang perawatan), pelayanan gizi ruang rawat inap (yaitu pelaksanaan asuhan nutrisi untuk pasien rawat inap dengan kasus-kasus tertentu), pengembangan dan penelitian gizi terapan (kegiatan ini akan dilaksanakan bila tenaga dan waktu memnungkinkan), dan yang terakhir yaitu konsultasi, penyuluhan dan rujukan gizi diman kegiatan yang memberikan konsultasi gizi khususnya bagi pasien yang berobat jalan.
Salah satu kegiatan pelayanan gizi ruang rawat inap yaitu memberikan terapi diet bagi pasien yang menjalani rawat inap dimana salah satunya memberikan pelayanan terapi diet bagi penyakit ginjal kronik. Terapi diet yang diberikan berupa memberikan makanan yang menunjang kesembuhan penyakit. Di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang memiliki tiga standar diet bagi pasien penyakit ginjal kronik, yang disajikan pada tabel berikut :
Tabel 7. Nilai Energi dan Zat Gizi Diet Rendah Protein No.
Jenis Diet
Energi (kkal) Protein (gr)
1. Diet Rendah Protein I 1729
2. Diet Rendah Protein II 2086
3. Diet Rendah Protein III 2265
Pasien penyakit ginjal kronik diberikan diet sesuai keadaan penyakit yang diderita. Selanjutnya bila terdapat komplikasi yang menyertai penyakit ginjal kronik makan diet yang diberikan disesuaikan dengan komplikasi penyakit Pasien penyakit ginjal kronik diberikan diet sesuai keadaan penyakit yang diderita. Selanjutnya bila terdapat komplikasi yang menyertai penyakit ginjal kronik makan diet yang diberikan disesuaikan dengan komplikasi penyakit
B. Gambaran Umum Pasien
1. Identitas Pasien Penelitian ini dilakukan observasi tentang identitas pasien yang meliputi nama, jenis kelamin, usia, dan diagnosis medis dengan melihat rekam medis masing-masing responden. Pasien yang diteliti merupakan pasien yang berusia dewasa menjalani diet rendah protein, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dengan atau tanpa komplikasi dan bersedia menjadi responden. Berikut data gambaran umum identitas pasien yang disajikan pada tabel 8 sebagai berikut :
Tabel 8. Identitas Pasien Kode
Jenis
No.
Diagnosis Responden Kelamin
Usia (tahun)
55 CKD + Hepatomegali
4. D P
51 CKD + Hepatitis
39 CKD + DC Keterangan : CKD = Chronic Kidney Disease
5. E P
PP = Post Partum HT = Hipertensi DC = Decompesasio Cordis
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa dari lima orang responden terdapat dua orang berjenis kelamin laki-laki dan tiga orang berjenis kelamin perempuan. Usia responden berkisar antara 32 – 58 tahun. Menurut Parsudi dalam Chadijah (2009), pada usia 30 tahun mulai terjadi penurunan kemampuan fungsi ginjal dan pada usia 60 tahun kemampuan ginjal mulai menurun hingga 50% dari kapasitas fungsinya pada usia 30 tahun, yang disebabkan karena proses fisiologis berupa berkurangnya populasi nefron dan tidak adanya kemampuan regenerasi. Selanjutnya menurut NKF/KDOQI (2002), fungsi ginjal seseorang yang Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa dari lima orang responden terdapat dua orang berjenis kelamin laki-laki dan tiga orang berjenis kelamin perempuan. Usia responden berkisar antara 32 – 58 tahun. Menurut Parsudi dalam Chadijah (2009), pada usia 30 tahun mulai terjadi penurunan kemampuan fungsi ginjal dan pada usia 60 tahun kemampuan ginjal mulai menurun hingga 50% dari kapasitas fungsinya pada usia 30 tahun, yang disebabkan karena proses fisiologis berupa berkurangnya populasi nefron dan tidak adanya kemampuan regenerasi. Selanjutnya menurut NKF/KDOQI (2002), fungsi ginjal seseorang yang
Berdasarkan hasil data yang diperoleh, seluruh responden memiliki komplikasi pada penyakit yang diderita. Penyakit ginjal kronik juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang sering lebih berbahaya (Alam, 2007).
2. Status Gizi Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi dapat diperoleh secara langsung atupun tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung yaitu salah satunya dengan antropometri (Supariasa, 2012). Tujuan pengukuran status gizi di rumah sakit adalah untuk menentukan secara akurat status gizi pasien, menentukan tanda-tanda klinis yang berhubungan dengan malnutrisi, dan untuk memonitor perubahan status gizi selama mendapat asuhan gizi di rumah sakit (Supariasa, 2012). Penelitian ini menggunakan penilaian status gizi secara langsung, yaitu menggunakan parameter lingkar lengan atas responden yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai median. Selain lingkar lengan atas, juga menggunakan parameter tinggi lutut yang digunakan untuk mengetahui tinggi badan estimasi responden. Dari hasil tinggi badan estimasi dihitung berat badan ideal responden. Tinggi badan estimasi dan berat badan ideal dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan energi responden. Adapun kriteria status gizi berdasarkan LILA yang digunakan menurut Jelliffe adalah obesitas, overweight, baik, kurang, dan buruk. Data status gizi responden disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Status Gizi Responden TB
Status Gizi Kode
No. estimasi berdasarkan Responden
(cm) LILA
1. A 19 41 47 152,23 Kurang
2. B 29 52 60,2
166,91 Kurang
3. C 27 47 51,2
156,93 Kurang
4. D 20 42 44,5
149,50 Kurang
5. E 23 42 47,1
152,38 Kurang
Berdasarkan tabel diatas, seluruh reponden masuk dalam kategori status gizi kurang. Sedangkan untuk hasil pengukuran tinggi lutut, tinggi badan estimasi responden berkisar antara 152-166 cm. Status gizi yang kurang pada seluruh responden merupakan salah satu akibat dari kurangnya konsumsi makanan. Dalam penelitian Kresnawan (2010), pasien dengan konsumsi makanan yang berkurang beresiko 4,8 sampai dengan 11,61 kali untuk menjadi kurang gizi dibanding dengan pasien dengan konsumsi makanannya baik.
Menurut Sidabutar (1992), masalah-masalah yang timbul pada pasien penyakit ginjal kronik yaitu kesulitan dalam mempertahankan gizi yang adekuat sehingga diperlukan pengawasan dalam konsumsi makanan.
C. Terapi Diet yang Diberikan oleh Rumah Sakit
Terapi diet merupakan preskripsi atau terapi yang memanfaatkan diet yang berbeda dengan diet orang normal untuk mempercepat kesembuhan dan memperbaiki status gizi (Hartono, 2006). Terapi diet yang diberikan dari Rumah Sakit terdiri dari jenis diet, bentuk makanan, jumlah energi dan zat gizi (protein). Setiap pasien mendapat jenis diet yang sesuai dengan penyakit dan komplikasi yang sesuai, jenis diet yang diberikan adalah diet rendah protein dengan rendah garam untuk pasien dengan komplikasi hipertensi dan gangguan jantung. Bentuk makanan yang diberikan oleh rumah sakit berupa makanan biasa dengan nilai kandungan gizi sesuai dengan standar rumah sakit. Berikut terapi diet yang diberikan oleh rumah sakit disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Terapi Diet bagi Penyakit Ginjal Kronis
Kode Bentuk Energi Protein No.
Jenis Diet
Responden Makanan (kkal) (gram)
1. A Rendah Protein II
2. B Rendah Protein II + RG
3. C Rendah Protein II
4. D Rendah Protein II
5. E Rendah Protein II + RG
Biasa
Tabel 10 menunjukkan bahwa jenis diet, bentuk makanan, dan jumlah energi dan protein yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yaitu diet rendah protein. Seluruh responden mendapat diet rendah protein II dengan jumlah energi dan protein yang sama yaitu 2086 kkal dan 35 gram. Seluruh responden mendapat diet dengan bentuk makanan biasa dimana kondisi pasien yang masih stabil. Pemberian diet ini juga memperhatikan komplikasi yang dialami oleh responden. Dimana responden B dan responden E mendapat diet rendah protein II dan diet RG. Diet RG diberikan karena responden A mengalami komplikasi Hipertensi dan responden E mengalami komplikasi gangguan jantung (decompensasio cordis).
Jumlah energi dan protein yang digunakan RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang bagi pasien penyakit ginjal kronis sebesar 35 kkal/kgBB dan 0,75 gram/kgBB. Menurut Almatsier (2010), syarat diet bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu sebesar 35 kkal/kg BB energi dan 0,6 – 0,75 g/kg BB protein.
Secara umum tujuan dari penatalaksanaan gizi bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu menyediakan makanan yang seimbang sesuai dengan keadaan penyakit, kebiasaan makanan serta kemampuan pasien untuk menerimanya, mengupayakan perubahan sikap serta perilaku sehat terhadap makanan bagi pasien dan keluarganya, mencapai keadaan gizi yang optimal untuk mempercepat penyembuhan (Sidabutar, 1992). Secara khusus, penatalaksanaan gizi pada pasien penyakit ginjal kronik bertujuan untuk menurunkan produksi sampah yang harus diekskresikan oleh ginjal dan menghindari ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang tidak didialisis, langkah-langkah pengaturan makanan merupakan tujuan yang umum dipakai untuk menunda dialisis (Moore, 1997).
D. Tingkat Konsumsi Energi
Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada didalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2002). Tingkat konsumsi energi adalah perbandingan antara konsumsi dan kebutuhan Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada didalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2002). Tingkat konsumsi energi adalah perbandingan antara konsumsi dan kebutuhan
Tabel 11. Tingkat Konsumsi Energi
Tingkat Kode No.
Kebutuhan
Rata-rata
Konsumsi Konsumsi Kategori Responden