Konsep Dasar Pendidikan Muhammadiyah di
“ Konsep Dasar Pendidikan Muhammadiyah “
Latar Belakang Pemikiran
Lahirnya pemikiran modern di awal abad kedua puluh tidak dapat dilepaskan dari
situasi sosial, politik dan keagamaan yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. Pemikiranpemikiran yang dicetuskan mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan
kemampuan para tokoh dan pemikir membaca dan memahami situasi yang ada. Pemikiran
Muhammadiyah pun kelihatannya lahir dari tuntutan situasi, dan Kiai Haji Ahmad Dahlan
adalah tokoh pertama yang mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan meletakkan
dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah. Dengan demikian mengkaji latar belakang pemikiran
Muhammadiyah akan melibatkan tokoh tersebut, terutama tentang sosok pribadinya dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.
Ia adalah putra ketiga Kiai Haji Abu Bakar, salah seorang khatib di Mesjid Kesultanan
Yogyakarta. Dilahirkan pada tahun 1259 H / 1869 M di daerah Kauman, salah satu di antara
dua daerah lainnya, karangkajen dan Kotagede, yang dikatakan sebagai daerah yang
mempunyai jiwa keislaman yang kuat hingga saat ini.
Pendidikan Dahlan tampaknya mengikuti pola pendidikan tradisional yang diawali
dengan mempelajari Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab fikih,
nahwu, tafsir dan sebagainya di lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di sekitar
Yogyakarta. Pendidikan yang demikian memberikan kepadanya pengetahuan di bidang
agama, sedangkan ilmu pengetahuan lainnya, kecuali ilmu falak, kelihatannya tidak
dimilikinya.
Pada tahun 1890 M ia mengerjakan haji ke Mekkah. Di samping itu ia pun melanjutkan
pelajarannya di kota suci itu selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan. Kunjungan
pertama tahun 1890, sedangkan kunjungannya yang kedua tahun 1903 M. Di kota itu ia
belajar agama antara lain pada Syekh Ahmad Khatib salah seorang ulama penganut Mazhab
Syafi’I dan penentang paham pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Abduh. Tidak jelas
mengapa ia menentang paham tersebut mungkin karena paham “bebas mazhab” yang dibawa
oleh Muhammad Abduh yang sangat bertentangan dengan paham yang dianutnya. Barangkali
Ahmad Dahlan mengetahui tentang paham pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad
Abduh ketika ia berada di kota suci itu, dan setelah kembali ke Indonesia pengetahuan
tersebut diperdalamnya melalui buku-buku dan majalah. Kelihatnnya ia tidak hanya
mengetahui pemikiran Muhammad Abduh, tetapi juga pemikiran Ibn Taimiyah (1263-1328)
dan Ibn al-Qayyim al-Jazu (1292-1350 M.), dan kitab-kitab para pemikir di atas ditemukan di
antara koleksi kitab-kitab yang dimilikinya. Ahmad Dahlan di samping seorang guru juga
aktif
sebagai
pendakwah.
Kehidupannya
sebagai
pedagang
batik
tidak
hanya
dipergunakannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk
berdakwah dan menjalin hubungan dengan para ulama dan pemimpin agama di kota yang
dikunjunginya.
Kegiatannya dalam organisasi telah dimulainya sebelum ia mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Banyak organisasi yang dimasukinya, baik yang bersifat nasional maupun
yang bersifat keagamaan. Pengalaman yang diperolehnya dalam organisasi tersebut
tampaknya
membawanya
berhasil
memimpin
dan
mengembangkan
organisasi
Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta.
Dari aktifitas yang demikian dapat dipahami bahwa Dahlan memiliki pergaulan yang
luas. Ia bergaul tidak hanya dengan para khatib yang seprofesi dengannya di Masjid
Kesultanan Yogya, tetapi juga dengan para pemimpin organisasi, bahkan dengan pastor dan
pendeta Katolik, ia berdiskusi dan bertukar pikiran. Corak pemikiran yang dianutnya, baik
dalam bidang teologi ataupun lainnya, tidak diketahui dengan pasti karena ia tidak
meninggalkan tulisan yang menggambarkan pemikirannya. Ada yang mengatakan ia
menganut paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang mengacu kepada paham salaf.
Langkah awalnya untuk mengadakan pembaharuan adalah ketika ia memperbaiki arah
kiblat di Masjid Kesultanan Yogya. Usaha tersebut mendapat tantangan bukan hanya dari
kiai-kiai tua yang konservatif, tetapi juga dari penguasa, meskipun pada lahirnya Sultan
bersikap netral dalam peristiwa tersebut. tantangan ini barangkali dapat dianggap sebagai
salah satu kegagalan Dahlan dalam merealisir cita-citanya dalam lingkungan istana. Agaknya
itulah sebabnya mengapa ia lebih banyak melakukan kegiatannya di dalm masyarakat dan
dalam dunia pendidikan daripada di dalam keraton yang kaya dengan tradisi dan berbagai
kepercayaan yang sinkretis.
Di luar Keraton ia berusaha memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan
kepada mereka ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantuni fakir
miskin, anak yatim, tolong-menolong, kebersihan dan sebagainya. Kepada murid-muridnya ia
menanamkan sifat tersebut dengan mempraktekannya secara langsung, sehingga murid-murid
dapat melihat dan menghayati nilai-nilai positif yang terkandung dalam agama.
Pada tahun 1912 ia mendirikan organisasi Muhammadiyah yang mungkin menurutnya
dengan itu kekuatan akan lebih dapat diorganisir, di samping sesuai dengan situasi, lahirnya
berbagai organisasi yang bersifat politik dan keagamaan. Usaha Dahlan yang demikian
mendapat sokongan dari bekas murid-muridnya dan dari merekalah ia mendapat dukungan
bagi organisasinya yang baru itu. Alfian mencatat sembilan orang tokoh pendiri
Muhammadiyah, di antaranya adalah Haji Abdoellah Sirat dan Raden Ketib Tjendana Haji
Ahmad.
Sebagai salah satu organisasi yang berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang
paling esensi adalah untuk menyebarkan agama Islam baik melalui pendidikan maupun
kegiatan sosial lainnya. Selain itu meluruskan keyakinan yang menyimpang serta
menghapuskan perbuatan yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai bid’ah. Di samping
itu organisasi ini memunculkan praktek-praktek ibadah yang hampir-hampir belum pernah
dikenal sebelumnya oleh masyarakat, seperti Shalat Hari Raya di tanah lapang,
mengkoordinir pembagian zakat dan sebagainya. Kegiatan sosial lainnya kelihatannya
banyak meniru kegiatan zending Kristen, dan berhasil menghambat laju perkembangan
Zending tersebut pada daerah-daerah tertentu. Kegiatan yang demikian sempat mendatangkan
kecemasan pemerintah kolonial, para missionaris khususnya, seperti yang dikemukakan oleh
Dr. Bekker dalam majalah Macedonier pada tahun 1930. Ia mengatakan :
Sesudah dilihat tahun maka ternyata pada golongan zending bahwa Muhammadiyah itu
perkumpulan yang berasas Islam. Dengan meniru caranya zending bekerja maka
Muhammadiyah berniat menyiarkan Islam di Jawa. Zending mendirikan sekolah ditiru juga,
begitu juga rumah miskin dan rumah-rumah sakitnya, tetapi dasar Islam. Sudah barang tentu
ini membikin undurnya zending,karena anak murid mestinya diterima di Zending terpaksa
ditarik oleh Muhammadiyah, terlebih-lebih di Vorslanden, hal ini sangat dirasai oleh
golongan zending.
Dengan kegiatan-kegiatan yang demikianlah tampaknya yang diletakkan oleh Dahlan
dan selanjutnya dikembangkan oleh para penerusnya dengan membentuk majelis-majelis
tertentu dalam lingkungan Muhammadiyah.
Dari usaha dan kegiatan yang dilakukan Dahlan sepanjang hidupnya dapat diketahui,
bahwa ia adalah tokoh yang kaya dengan cita-cita dan kemauan untuk memperbaiki keadaan
masyarakat dan sikap mereka terhadap agama, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran
sosial dan akidah. Ia lebih banyak melakukan kerja nyata untuk mewujudkan cita-citanya dari
pada menulis buah pikirannya dalam buku-buku ataupun dalam bentuk tulisan lainnya. Dari
itulah Solichin Salam menyebutnya sebagai manusia amaliat yang pikiran-pikirannya terbaca
dalam aktifitas yang dilakukannya.
Dari riwayat hidupnya dapat pula diketahui bahwa ia tidak pernah mendapat pendidikan
Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya. Ia bukan
intelektual yang mendapat pendidikan Barat, tetapi seorang kiai yang alim dan berfikir secara
modern dan memandang jauh ke depan. Namun demikian ia dapat menempatkan dirinya di
antara mereka yang tidak sependidikan dengannya, baik dalam organisasi Budi Utomo,
maupun Sarekat Islam. Agaknya yang demikian disebabkan oleh kepribadian dan
pandangannya yang luas yang tidak menggambarkan profil umum dari kiai di masanya.
Barangkali sifat seperti yang ditunjukkannya itulah yang dimaksudkannya dengan “Ulama’
yang progresif” seperti yang diharapkannya tumbuh dari murid-muridnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah telah
diletakkan Dahlan sebelum Ia wafat, meskipun belum cukup keseluruhannya. Tampaknya
lahirnya pemikiran yang demikian dilatar belakangi antara lain oleh dua faktor, yaitu faktor
intern dan ekstern.
a.
Faktor Intern.
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang
tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan Islam. Sikap beragama
umat Islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang
rasional. Syirik, taklid dan bid’ah masih menyelubungi kehidupan umat Islam, terutama
dalam lingkungan keraton, di mana kebudayaan Hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama
yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad kedua puluh itu, tetapi
merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad
sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu tasawuf/tarekat. dan Mazhab fiqih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum
sufi memegang peranan yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau
daerah-daerah hampir seluruh nusantara ini.
Dalam suasana demikian Islam tidak hanya menjinakkan sasarannya, tetapi juga harus
menjinakkan dirinya. Dari penjinakan yang demikian lahirlah Islam dengan warnanya yang
tersendiri, yang oleh Hamka disebut sebagai Islam yang memuja kubur, wali, dan sebagainya.
Corak Islam yang demikianlah kelihatannya yang disebut dengan “kejawen” yang merupakan
sinkretisasi kebudayaan lama dengan ajaran Islam.
Di daerah pedalaman, di mana kebudayaan Hindu telah mapan kejawen mendapat
tempat yang subur. Yogyakarta, tempat lahirnya Muhammadiyah, beralih menjadi daerah
kejawen, sedangkan sebelumnya, seperti kata Geertz, merupakan pusat serta klimaks kultur
Hindu-Jawa. Dari satu sisi domestikasi yang dilakukan para wali mempunyai nilai yang
positif. Islam dapat tersebar jauh menerobos pusat-pusat kebudayaan Hindu di daerah
pedalaman. Tetapi dari sisi lain, seperti kata Alfian, kemurnian Islam semakin jauh, tercemar
oleh tradisi-tradisi lama serta kepercayaan yang telah lebih dulu tertanam. dalam beberapa
rupa upacara yang diadakan di keraton misalnya, campuran Hindu-Islam jelas terlihat.
Perayaan Grebeg, hari kelahiran sultan, kepercayaan pada kekuatan magis yang dimiliki oleh
benda-benda keraton, semuanya menunjukkan sisa-sisa kepercayaan kepada keramat yang
dimiliki oleh orang-orang suci, dukun dan sebagainya, menjadi bagian yang terpisahkan dari
kehidupan umat Islam di awal abad keduapuluh.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah, khurafat dan
taklid yang berkembang pada awal abad keduapuluh mempunyai akar yang jauh pada abadabad sebelumnya. Islam dengan warna-warna yang demikianlah yang ada di Indonesia ketika
Muhammadiyah lahir, dan menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya pemikiranpemikiran Muhammadiyah.
b.
Faktor
Faktor Ekstern.
lain yang
melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah faktor yang
bersifat ekstern yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda. Faktor tersebut
antara lain tampak dalam sisitem pendidikan kolonial serta usaha ke arah Westernisasi dan
kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak
bumiputra, ataupun yang diserahkan kepada misi dan zending kristen dengan bantuan
finansial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad keduapuluh
telah menyebar di beberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai ke tingkat atas, yang
terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Dengan adanya lembaga
pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan di awal abad kedua puluh, yaitu
pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan,
bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya. Pendidikan
kolonial melarang memasukkan pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial. dan dalam
arti ini orang menilai pendidikan kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, di
samping sebagai penyebar kebudayaan Barat. Dengan corak pendidikan yang demikian
pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik,
tetapi juga yang berkebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah satu sisi dari politik Etis
yang disebut juga dengan politik asosiasi, yang pada hakikatnya tidak lain dari usaha
westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan
Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intelektual yang bisanya memuja Barat
dan menyudutkan tradisi nenek moyangnya serta kurang menghargai Islam, agama yang
dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih diperkenalkan dengan ilmu-ilmu dan
kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama, konsumsi
moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang dimaksud oleh Yunus
Salam sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam di awal abad ke 20 itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami betapa kompleksnya masalah yang dihadapi umat
Islam di awal abad keduapuluh itu. Masalah agama, sosial dan politik saling menyatu dan
saling mempengaruhi. Agaknya inilah ciri khas krisis umat Islam di abad itu. Dengan krisis
yang demikian Muhammadiyah melihat perlunya menyelematkan umat Islam, tidak hanya
dengan mengembalikan mereka ke pangkalan, ke ajaran Islam yang murni, tetapi terutama
mengikatkan kembali jiwa agama kepada para pemeluknya yang tampaknya kian lama kian
mencair, di samping menghadang kegiatan politik penjajah belanda
yang semakin
mengancam kekuatan umat Islam. Bagi Muhammadiyah sarana yang paling tepat untuk
menyatukan kekuatan adalah organisasi yaitu melalui Muhammadiyah.dan dalam
perkembangan selanjutnya
melahirkan
rumusan-rumusan serta konsep-konsep dalam
berbagai bidang termasuk di dalamnya pendidikan.
a.
Konsep Pendidikan Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan)
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu
untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali
Imran: 102).
" Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu"
Tujuan Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia
baru yang mampu tampil sebagai "ulama-ulama intelek" atau "intelek ulama", yaitu sorang
Muslim yang memiliki keteguhan iman dan Ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Adapun tujuan pendidikan Muhammadiyah mengacu pada tujuan Muhammadiyah
yaitu: (I) Pada waktu pertama kali berdiri tujuannya adalah Menyebarkan ajaran Kanjeng
Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera didalam residenan Yogyakarta
menunjukan hal Agama Islamkepada anggotanya, (II) Setelah Muhammadiyah berdiri dan
menyebar keluar Yogyakarta menjadi memajukan dan menggembirakan pengajaran dan
memajukan Agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Tujuan pendidikan yang demikian juga tercermin dalam sistem pendidikan
Muhammadiyah, terutama komponen bahan pelajaran, yang merupakan kompromi antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat.
Pada tahun 1977 dirumuskan tujuan pendidikan Muhammadiyah secara umum
berbunyi: “ (I) terwujudnya manusia Muslim yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri
sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara”. Beramal menuju terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya; (ii) Memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan umtuk pembangunan dan masyarakat negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dengan demikian pendidikan perlu menentukan tujuan yang ingin dicapai, sehingga
mudah diarahkan dan dievaluasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dari tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan formal Muhammadiyah adalah:
Menegakan, berarti membuat agar tegak dan tidak tergoyahkan itu dengan memegang teguh,
mempertahankan, membela serta memperjuangkan ajaran Islam.
Menjungjung tinggi berarti membawa di atas segala-galanya, yaitu dengan cara anak didik
supaya mengamalkan mengindahkan serta melaksanakan Ajaran Agama Islam.
Agama Islam yaitu: Agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad
SAW. Segenap isi Ajaran Agama yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam
Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al Qur'an Hadits. Maka
siswa Muhammadiyah bisa memegang teguh Agama Islam sebagai Agama Tauhid yang
dibawa oleh Rasul dan sudah sempurna sehingga dapat terbentuk insan-insan kamil.
b.
Pendidik
Pendidik Secara etimologi berarti orang yang memberikan bimbingan. Pengertian ini
memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang
pendidikan. Kata tersebut seperti “teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.
Sedangkan secara Secara terminologi adalah: Ahmad D Marimba mengemukakan
bahwa "Pendidik adalah sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik"
adapun menurut Muri yusuf yaitu "Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan
tindakan mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan".
Pengertian
tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Pendidik menurut
Muhammadiyah yaitu, Pendidik/guru adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab
atas perkembangan anak didik dan mempunyai tanggungjawab menunaikan amanat Vertikal
(Alloh) dan horizontal (kemanusiaan).
Dalam mendidik tidak sembarang orang bisa menjadi seorang pendidik dan untuk
menjadi seorang pendidik ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut Muhammadiyah secara
umum syarat menjadi seorang pendidik yaitu harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan
dalam ilmu jiwa, harus memiliki akhlak teladan dalam kelasnya bahkan dalam kehidupan
sehari-harinya. Dari beberapa syarat terebut harus dilandasi oleh sikap mental terutama
akhlak teladan yaitu, siap menjalankan perintah Allah SWT, jiwa pengabdian, ikhlas beramal,
serta keyakinan dan kelurusan/kebenaran Agama Islam.
Dengan demikian untuk menjadi seorang pendidik menurut Muhammadiyah perlu
memiliki persyaratan-persyaratan khusus, diantaranya:
Harus seorang Muslim artinya beragama Islam yang beriman dan bertaqwa.
Anggota / guru simpatikan Muhammadiyah atau aisyiah.
Mempunyai keteladanan yang mulia baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari.
Ikhlas.
Bertanggung jawab.
Mempunyai kemampuan istimewa dalam mendidik baik dalam menguasai materi pelajaran
maupun dalam program pelajaran seperti metode, pengelolaan kelas, mengerti dan faham
administrasi sekolah maupun dalam memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil
penelitian.
c.
Peserta Didik
Peserta didik atau disebut juga Mutarabbi, hakikatnya adalah orang yang memerlukan
bimbingan. Secara kodrati, seorang anak memerlukan Pendidikan dan bimbingan dari orang
dewasa, paling tidak, karena ada dua aspek, yaitu aspek pedagogis dan sosiologis.
Menurut Muhammadiyah peserta didik merupakan bahan mentah atau objek dalam
proses transformasi pendidikan. Ia mempunyai keragaman yang berbeda dan sebagai
makhluk Allah di muka bumi ini sebagai khalifah yang perlu dididik dan dibina serta
dikembangkan agar bisa mengelolanya dan kembali kepada Khaliknya.
Dengan demikian maka anak didik merupakan suatu objek yang akan menerima
transformasi pendidikan, dan sebagai objek yang akan menerima transformasi harus
mempunyai syarat sebagai pelajar yang baik yaitu;
Mempunyai akhlak yang baik dan mulia.
Mempunyai sikap yang sopan dan santun baik kepada sesama maupun kepada yang lebih tua dan
muda.
Harus bisa meneruskan perjuangan.
Harus dapat dipercaya dan cinta damai.
Dan bersedia mentaati peraturan yang ada di Muhammadiyah.
d.
Kurikulum
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No 20 Tahun
2003 pasal 1 ayat 19 kurikulum adalah sebagai berikut:
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu” (Arifin, 2003:36).
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam suatu sistem
Pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan dan
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengjaran pada semua jenis dan tingkat
Pendidikan (Ramayulis 2006:149).
Kurikulum yang digunakan di Muhammadiyah merupakan kurikulum gabungan antara
kurikulum pelajaran pesantren dengan kurikulum modern dengan mempelajari ilmu-ilmu
dalam bidang umum. Adapun materi yang disajikan di Pendidikan Muhammadiyah harus
menyentuh berbagai aspek yaitu:
Aqidah akhlak
Hablumminallah.
Hablumminannas.
Bahasa dan Tarikh
Dengan demikian maka materi yang disampaikan pada pendidikan Muhammadiyah
adalah Pendidikan Agama yang mencakup mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, piqh, tarikh,
bahasa, al-quran dan kemuhammadiyahan. Selain pendidikan Agama di Muhammadiyah juga
terdapat pendidikan umum yang meliputi IPA, IPS Ilmu teknik, olah raga, matematika dll.
Bahan pelajaran di atas diberikan secara berencana. Artinya bahan pelajaran tertentu
diberikan di kelas tertentu dengan waktu atau lama belajar di setiap kelas yang telah
ditetapkan. Di sekolah/pendidikan Muhammadiyah juga telah diterapkan sistem ulangan,
absensi Murid dan kenaikan kelas, dan kecakapan murid dinilai melalui ulangan yang
diberikan.
e.
Metode
Metode mengajar adalah cara atau tekhnik untuk mencapai tujuan pelajaran, Metode
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh pendidik dalam
membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.
Kalau dalam sistem pendidikan Islam tradisional dikenal metode sorogan dan weton,
maka di lembaga pendidikan klasikal seperti yang dipraktekkan oleh Muhammadiyah,
metode pengajaran yang demikian tidak diterapkan lagi. Di muhammadiyah murid tidak lagi
hanya menerima dengan kritis dan dengan perbandingan, terutama bagi kitab fikih yang
mengajarkan pendapat Mujtahid tertentu.
Adapun Metode yang digunakan di Muhammadiyah yaitu Metode ceramah, diskusi,
tanya jawab, pemberian tugas, metode kerja kelompok, demonstrasi, latihan, sosiodrama,
metode karya wisata/belajar di alam.
f.
Lingkungan
Lingkungan pendidikan di Muhammadiyah adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
kita baik berupa benda, peristiwa maupun kondisi masyarakat, terutama yang dapat
memberikan pengaruh kuat kepada anak didik yaitu proses pendidikan berlangsung dan
dimana lingkungan anak didik bergaul sehari-hari. Lingkungan yang ada di pendidikan
muhammadiyah yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, keagamaan dan lingkungan
juga besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak didik karena perkembangan jiwa anak
didik itu banyak dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang ada dan lingkungan juga bisa
berpengaruh positif dan negatif terhadap anak didik tergantung bagaimana orang tua dan guru
mengawasi dan membimbingnya.
http://astriyaniwinda.blogspot.com/2013/01/konsep-dasar-pendidikan-muhammadiyah.html
Latar Belakang Pemikiran
Lahirnya pemikiran modern di awal abad kedua puluh tidak dapat dilepaskan dari
situasi sosial, politik dan keagamaan yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. Pemikiranpemikiran yang dicetuskan mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan
kemampuan para tokoh dan pemikir membaca dan memahami situasi yang ada. Pemikiran
Muhammadiyah pun kelihatannya lahir dari tuntutan situasi, dan Kiai Haji Ahmad Dahlan
adalah tokoh pertama yang mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan meletakkan
dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah. Dengan demikian mengkaji latar belakang pemikiran
Muhammadiyah akan melibatkan tokoh tersebut, terutama tentang sosok pribadinya dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.
Ia adalah putra ketiga Kiai Haji Abu Bakar, salah seorang khatib di Mesjid Kesultanan
Yogyakarta. Dilahirkan pada tahun 1259 H / 1869 M di daerah Kauman, salah satu di antara
dua daerah lainnya, karangkajen dan Kotagede, yang dikatakan sebagai daerah yang
mempunyai jiwa keislaman yang kuat hingga saat ini.
Pendidikan Dahlan tampaknya mengikuti pola pendidikan tradisional yang diawali
dengan mempelajari Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab fikih,
nahwu, tafsir dan sebagainya di lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di sekitar
Yogyakarta. Pendidikan yang demikian memberikan kepadanya pengetahuan di bidang
agama, sedangkan ilmu pengetahuan lainnya, kecuali ilmu falak, kelihatannya tidak
dimilikinya.
Pada tahun 1890 M ia mengerjakan haji ke Mekkah. Di samping itu ia pun melanjutkan
pelajarannya di kota suci itu selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan. Kunjungan
pertama tahun 1890, sedangkan kunjungannya yang kedua tahun 1903 M. Di kota itu ia
belajar agama antara lain pada Syekh Ahmad Khatib salah seorang ulama penganut Mazhab
Syafi’I dan penentang paham pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Abduh. Tidak jelas
mengapa ia menentang paham tersebut mungkin karena paham “bebas mazhab” yang dibawa
oleh Muhammad Abduh yang sangat bertentangan dengan paham yang dianutnya. Barangkali
Ahmad Dahlan mengetahui tentang paham pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad
Abduh ketika ia berada di kota suci itu, dan setelah kembali ke Indonesia pengetahuan
tersebut diperdalamnya melalui buku-buku dan majalah. Kelihatnnya ia tidak hanya
mengetahui pemikiran Muhammad Abduh, tetapi juga pemikiran Ibn Taimiyah (1263-1328)
dan Ibn al-Qayyim al-Jazu (1292-1350 M.), dan kitab-kitab para pemikir di atas ditemukan di
antara koleksi kitab-kitab yang dimilikinya. Ahmad Dahlan di samping seorang guru juga
aktif
sebagai
pendakwah.
Kehidupannya
sebagai
pedagang
batik
tidak
hanya
dipergunakannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk
berdakwah dan menjalin hubungan dengan para ulama dan pemimpin agama di kota yang
dikunjunginya.
Kegiatannya dalam organisasi telah dimulainya sebelum ia mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Banyak organisasi yang dimasukinya, baik yang bersifat nasional maupun
yang bersifat keagamaan. Pengalaman yang diperolehnya dalam organisasi tersebut
tampaknya
membawanya
berhasil
memimpin
dan
mengembangkan
organisasi
Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta.
Dari aktifitas yang demikian dapat dipahami bahwa Dahlan memiliki pergaulan yang
luas. Ia bergaul tidak hanya dengan para khatib yang seprofesi dengannya di Masjid
Kesultanan Yogya, tetapi juga dengan para pemimpin organisasi, bahkan dengan pastor dan
pendeta Katolik, ia berdiskusi dan bertukar pikiran. Corak pemikiran yang dianutnya, baik
dalam bidang teologi ataupun lainnya, tidak diketahui dengan pasti karena ia tidak
meninggalkan tulisan yang menggambarkan pemikirannya. Ada yang mengatakan ia
menganut paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang mengacu kepada paham salaf.
Langkah awalnya untuk mengadakan pembaharuan adalah ketika ia memperbaiki arah
kiblat di Masjid Kesultanan Yogya. Usaha tersebut mendapat tantangan bukan hanya dari
kiai-kiai tua yang konservatif, tetapi juga dari penguasa, meskipun pada lahirnya Sultan
bersikap netral dalam peristiwa tersebut. tantangan ini barangkali dapat dianggap sebagai
salah satu kegagalan Dahlan dalam merealisir cita-citanya dalam lingkungan istana. Agaknya
itulah sebabnya mengapa ia lebih banyak melakukan kegiatannya di dalm masyarakat dan
dalam dunia pendidikan daripada di dalam keraton yang kaya dengan tradisi dan berbagai
kepercayaan yang sinkretis.
Di luar Keraton ia berusaha memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan
kepada mereka ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantuni fakir
miskin, anak yatim, tolong-menolong, kebersihan dan sebagainya. Kepada murid-muridnya ia
menanamkan sifat tersebut dengan mempraktekannya secara langsung, sehingga murid-murid
dapat melihat dan menghayati nilai-nilai positif yang terkandung dalam agama.
Pada tahun 1912 ia mendirikan organisasi Muhammadiyah yang mungkin menurutnya
dengan itu kekuatan akan lebih dapat diorganisir, di samping sesuai dengan situasi, lahirnya
berbagai organisasi yang bersifat politik dan keagamaan. Usaha Dahlan yang demikian
mendapat sokongan dari bekas murid-muridnya dan dari merekalah ia mendapat dukungan
bagi organisasinya yang baru itu. Alfian mencatat sembilan orang tokoh pendiri
Muhammadiyah, di antaranya adalah Haji Abdoellah Sirat dan Raden Ketib Tjendana Haji
Ahmad.
Sebagai salah satu organisasi yang berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang
paling esensi adalah untuk menyebarkan agama Islam baik melalui pendidikan maupun
kegiatan sosial lainnya. Selain itu meluruskan keyakinan yang menyimpang serta
menghapuskan perbuatan yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai bid’ah. Di samping
itu organisasi ini memunculkan praktek-praktek ibadah yang hampir-hampir belum pernah
dikenal sebelumnya oleh masyarakat, seperti Shalat Hari Raya di tanah lapang,
mengkoordinir pembagian zakat dan sebagainya. Kegiatan sosial lainnya kelihatannya
banyak meniru kegiatan zending Kristen, dan berhasil menghambat laju perkembangan
Zending tersebut pada daerah-daerah tertentu. Kegiatan yang demikian sempat mendatangkan
kecemasan pemerintah kolonial, para missionaris khususnya, seperti yang dikemukakan oleh
Dr. Bekker dalam majalah Macedonier pada tahun 1930. Ia mengatakan :
Sesudah dilihat tahun maka ternyata pada golongan zending bahwa Muhammadiyah itu
perkumpulan yang berasas Islam. Dengan meniru caranya zending bekerja maka
Muhammadiyah berniat menyiarkan Islam di Jawa. Zending mendirikan sekolah ditiru juga,
begitu juga rumah miskin dan rumah-rumah sakitnya, tetapi dasar Islam. Sudah barang tentu
ini membikin undurnya zending,karena anak murid mestinya diterima di Zending terpaksa
ditarik oleh Muhammadiyah, terlebih-lebih di Vorslanden, hal ini sangat dirasai oleh
golongan zending.
Dengan kegiatan-kegiatan yang demikianlah tampaknya yang diletakkan oleh Dahlan
dan selanjutnya dikembangkan oleh para penerusnya dengan membentuk majelis-majelis
tertentu dalam lingkungan Muhammadiyah.
Dari usaha dan kegiatan yang dilakukan Dahlan sepanjang hidupnya dapat diketahui,
bahwa ia adalah tokoh yang kaya dengan cita-cita dan kemauan untuk memperbaiki keadaan
masyarakat dan sikap mereka terhadap agama, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran
sosial dan akidah. Ia lebih banyak melakukan kerja nyata untuk mewujudkan cita-citanya dari
pada menulis buah pikirannya dalam buku-buku ataupun dalam bentuk tulisan lainnya. Dari
itulah Solichin Salam menyebutnya sebagai manusia amaliat yang pikiran-pikirannya terbaca
dalam aktifitas yang dilakukannya.
Dari riwayat hidupnya dapat pula diketahui bahwa ia tidak pernah mendapat pendidikan
Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya. Ia bukan
intelektual yang mendapat pendidikan Barat, tetapi seorang kiai yang alim dan berfikir secara
modern dan memandang jauh ke depan. Namun demikian ia dapat menempatkan dirinya di
antara mereka yang tidak sependidikan dengannya, baik dalam organisasi Budi Utomo,
maupun Sarekat Islam. Agaknya yang demikian disebabkan oleh kepribadian dan
pandangannya yang luas yang tidak menggambarkan profil umum dari kiai di masanya.
Barangkali sifat seperti yang ditunjukkannya itulah yang dimaksudkannya dengan “Ulama’
yang progresif” seperti yang diharapkannya tumbuh dari murid-muridnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah telah
diletakkan Dahlan sebelum Ia wafat, meskipun belum cukup keseluruhannya. Tampaknya
lahirnya pemikiran yang demikian dilatar belakangi antara lain oleh dua faktor, yaitu faktor
intern dan ekstern.
a.
Faktor Intern.
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang
tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan Islam. Sikap beragama
umat Islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang
rasional. Syirik, taklid dan bid’ah masih menyelubungi kehidupan umat Islam, terutama
dalam lingkungan keraton, di mana kebudayaan Hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama
yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad kedua puluh itu, tetapi
merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad
sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu tasawuf/tarekat. dan Mazhab fiqih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum
sufi memegang peranan yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau
daerah-daerah hampir seluruh nusantara ini.
Dalam suasana demikian Islam tidak hanya menjinakkan sasarannya, tetapi juga harus
menjinakkan dirinya. Dari penjinakan yang demikian lahirlah Islam dengan warnanya yang
tersendiri, yang oleh Hamka disebut sebagai Islam yang memuja kubur, wali, dan sebagainya.
Corak Islam yang demikianlah kelihatannya yang disebut dengan “kejawen” yang merupakan
sinkretisasi kebudayaan lama dengan ajaran Islam.
Di daerah pedalaman, di mana kebudayaan Hindu telah mapan kejawen mendapat
tempat yang subur. Yogyakarta, tempat lahirnya Muhammadiyah, beralih menjadi daerah
kejawen, sedangkan sebelumnya, seperti kata Geertz, merupakan pusat serta klimaks kultur
Hindu-Jawa. Dari satu sisi domestikasi yang dilakukan para wali mempunyai nilai yang
positif. Islam dapat tersebar jauh menerobos pusat-pusat kebudayaan Hindu di daerah
pedalaman. Tetapi dari sisi lain, seperti kata Alfian, kemurnian Islam semakin jauh, tercemar
oleh tradisi-tradisi lama serta kepercayaan yang telah lebih dulu tertanam. dalam beberapa
rupa upacara yang diadakan di keraton misalnya, campuran Hindu-Islam jelas terlihat.
Perayaan Grebeg, hari kelahiran sultan, kepercayaan pada kekuatan magis yang dimiliki oleh
benda-benda keraton, semuanya menunjukkan sisa-sisa kepercayaan kepada keramat yang
dimiliki oleh orang-orang suci, dukun dan sebagainya, menjadi bagian yang terpisahkan dari
kehidupan umat Islam di awal abad keduapuluh.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah, khurafat dan
taklid yang berkembang pada awal abad keduapuluh mempunyai akar yang jauh pada abadabad sebelumnya. Islam dengan warna-warna yang demikianlah yang ada di Indonesia ketika
Muhammadiyah lahir, dan menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya pemikiranpemikiran Muhammadiyah.
b.
Faktor
Faktor Ekstern.
lain yang
melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah faktor yang
bersifat ekstern yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda. Faktor tersebut
antara lain tampak dalam sisitem pendidikan kolonial serta usaha ke arah Westernisasi dan
kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak
bumiputra, ataupun yang diserahkan kepada misi dan zending kristen dengan bantuan
finansial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad keduapuluh
telah menyebar di beberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai ke tingkat atas, yang
terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Dengan adanya lembaga
pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan di awal abad kedua puluh, yaitu
pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan,
bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya. Pendidikan
kolonial melarang memasukkan pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial. dan dalam
arti ini orang menilai pendidikan kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, di
samping sebagai penyebar kebudayaan Barat. Dengan corak pendidikan yang demikian
pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik,
tetapi juga yang berkebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah satu sisi dari politik Etis
yang disebut juga dengan politik asosiasi, yang pada hakikatnya tidak lain dari usaha
westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan
Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intelektual yang bisanya memuja Barat
dan menyudutkan tradisi nenek moyangnya serta kurang menghargai Islam, agama yang
dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih diperkenalkan dengan ilmu-ilmu dan
kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama, konsumsi
moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang dimaksud oleh Yunus
Salam sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam di awal abad ke 20 itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami betapa kompleksnya masalah yang dihadapi umat
Islam di awal abad keduapuluh itu. Masalah agama, sosial dan politik saling menyatu dan
saling mempengaruhi. Agaknya inilah ciri khas krisis umat Islam di abad itu. Dengan krisis
yang demikian Muhammadiyah melihat perlunya menyelematkan umat Islam, tidak hanya
dengan mengembalikan mereka ke pangkalan, ke ajaran Islam yang murni, tetapi terutama
mengikatkan kembali jiwa agama kepada para pemeluknya yang tampaknya kian lama kian
mencair, di samping menghadang kegiatan politik penjajah belanda
yang semakin
mengancam kekuatan umat Islam. Bagi Muhammadiyah sarana yang paling tepat untuk
menyatukan kekuatan adalah organisasi yaitu melalui Muhammadiyah.dan dalam
perkembangan selanjutnya
melahirkan
rumusan-rumusan serta konsep-konsep dalam
berbagai bidang termasuk di dalamnya pendidikan.
a.
Konsep Pendidikan Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan)
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu
untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali
Imran: 102).
" Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu"
Tujuan Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia
baru yang mampu tampil sebagai "ulama-ulama intelek" atau "intelek ulama", yaitu sorang
Muslim yang memiliki keteguhan iman dan Ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Adapun tujuan pendidikan Muhammadiyah mengacu pada tujuan Muhammadiyah
yaitu: (I) Pada waktu pertama kali berdiri tujuannya adalah Menyebarkan ajaran Kanjeng
Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera didalam residenan Yogyakarta
menunjukan hal Agama Islamkepada anggotanya, (II) Setelah Muhammadiyah berdiri dan
menyebar keluar Yogyakarta menjadi memajukan dan menggembirakan pengajaran dan
memajukan Agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Tujuan pendidikan yang demikian juga tercermin dalam sistem pendidikan
Muhammadiyah, terutama komponen bahan pelajaran, yang merupakan kompromi antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat.
Pada tahun 1977 dirumuskan tujuan pendidikan Muhammadiyah secara umum
berbunyi: “ (I) terwujudnya manusia Muslim yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri
sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara”. Beramal menuju terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya; (ii) Memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan umtuk pembangunan dan masyarakat negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dengan demikian pendidikan perlu menentukan tujuan yang ingin dicapai, sehingga
mudah diarahkan dan dievaluasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dari tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan formal Muhammadiyah adalah:
Menegakan, berarti membuat agar tegak dan tidak tergoyahkan itu dengan memegang teguh,
mempertahankan, membela serta memperjuangkan ajaran Islam.
Menjungjung tinggi berarti membawa di atas segala-galanya, yaitu dengan cara anak didik
supaya mengamalkan mengindahkan serta melaksanakan Ajaran Agama Islam.
Agama Islam yaitu: Agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad
SAW. Segenap isi Ajaran Agama yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam
Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al Qur'an Hadits. Maka
siswa Muhammadiyah bisa memegang teguh Agama Islam sebagai Agama Tauhid yang
dibawa oleh Rasul dan sudah sempurna sehingga dapat terbentuk insan-insan kamil.
b.
Pendidik
Pendidik Secara etimologi berarti orang yang memberikan bimbingan. Pengertian ini
memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang
pendidikan. Kata tersebut seperti “teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.
Sedangkan secara Secara terminologi adalah: Ahmad D Marimba mengemukakan
bahwa "Pendidik adalah sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik"
adapun menurut Muri yusuf yaitu "Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan
tindakan mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan".
Pengertian
tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Pendidik menurut
Muhammadiyah yaitu, Pendidik/guru adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab
atas perkembangan anak didik dan mempunyai tanggungjawab menunaikan amanat Vertikal
(Alloh) dan horizontal (kemanusiaan).
Dalam mendidik tidak sembarang orang bisa menjadi seorang pendidik dan untuk
menjadi seorang pendidik ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut Muhammadiyah secara
umum syarat menjadi seorang pendidik yaitu harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan
dalam ilmu jiwa, harus memiliki akhlak teladan dalam kelasnya bahkan dalam kehidupan
sehari-harinya. Dari beberapa syarat terebut harus dilandasi oleh sikap mental terutama
akhlak teladan yaitu, siap menjalankan perintah Allah SWT, jiwa pengabdian, ikhlas beramal,
serta keyakinan dan kelurusan/kebenaran Agama Islam.
Dengan demikian untuk menjadi seorang pendidik menurut Muhammadiyah perlu
memiliki persyaratan-persyaratan khusus, diantaranya:
Harus seorang Muslim artinya beragama Islam yang beriman dan bertaqwa.
Anggota / guru simpatikan Muhammadiyah atau aisyiah.
Mempunyai keteladanan yang mulia baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari.
Ikhlas.
Bertanggung jawab.
Mempunyai kemampuan istimewa dalam mendidik baik dalam menguasai materi pelajaran
maupun dalam program pelajaran seperti metode, pengelolaan kelas, mengerti dan faham
administrasi sekolah maupun dalam memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil
penelitian.
c.
Peserta Didik
Peserta didik atau disebut juga Mutarabbi, hakikatnya adalah orang yang memerlukan
bimbingan. Secara kodrati, seorang anak memerlukan Pendidikan dan bimbingan dari orang
dewasa, paling tidak, karena ada dua aspek, yaitu aspek pedagogis dan sosiologis.
Menurut Muhammadiyah peserta didik merupakan bahan mentah atau objek dalam
proses transformasi pendidikan. Ia mempunyai keragaman yang berbeda dan sebagai
makhluk Allah di muka bumi ini sebagai khalifah yang perlu dididik dan dibina serta
dikembangkan agar bisa mengelolanya dan kembali kepada Khaliknya.
Dengan demikian maka anak didik merupakan suatu objek yang akan menerima
transformasi pendidikan, dan sebagai objek yang akan menerima transformasi harus
mempunyai syarat sebagai pelajar yang baik yaitu;
Mempunyai akhlak yang baik dan mulia.
Mempunyai sikap yang sopan dan santun baik kepada sesama maupun kepada yang lebih tua dan
muda.
Harus bisa meneruskan perjuangan.
Harus dapat dipercaya dan cinta damai.
Dan bersedia mentaati peraturan yang ada di Muhammadiyah.
d.
Kurikulum
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No 20 Tahun
2003 pasal 1 ayat 19 kurikulum adalah sebagai berikut:
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu” (Arifin, 2003:36).
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam suatu sistem
Pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan dan
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengjaran pada semua jenis dan tingkat
Pendidikan (Ramayulis 2006:149).
Kurikulum yang digunakan di Muhammadiyah merupakan kurikulum gabungan antara
kurikulum pelajaran pesantren dengan kurikulum modern dengan mempelajari ilmu-ilmu
dalam bidang umum. Adapun materi yang disajikan di Pendidikan Muhammadiyah harus
menyentuh berbagai aspek yaitu:
Aqidah akhlak
Hablumminallah.
Hablumminannas.
Bahasa dan Tarikh
Dengan demikian maka materi yang disampaikan pada pendidikan Muhammadiyah
adalah Pendidikan Agama yang mencakup mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, piqh, tarikh,
bahasa, al-quran dan kemuhammadiyahan. Selain pendidikan Agama di Muhammadiyah juga
terdapat pendidikan umum yang meliputi IPA, IPS Ilmu teknik, olah raga, matematika dll.
Bahan pelajaran di atas diberikan secara berencana. Artinya bahan pelajaran tertentu
diberikan di kelas tertentu dengan waktu atau lama belajar di setiap kelas yang telah
ditetapkan. Di sekolah/pendidikan Muhammadiyah juga telah diterapkan sistem ulangan,
absensi Murid dan kenaikan kelas, dan kecakapan murid dinilai melalui ulangan yang
diberikan.
e.
Metode
Metode mengajar adalah cara atau tekhnik untuk mencapai tujuan pelajaran, Metode
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh pendidik dalam
membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.
Kalau dalam sistem pendidikan Islam tradisional dikenal metode sorogan dan weton,
maka di lembaga pendidikan klasikal seperti yang dipraktekkan oleh Muhammadiyah,
metode pengajaran yang demikian tidak diterapkan lagi. Di muhammadiyah murid tidak lagi
hanya menerima dengan kritis dan dengan perbandingan, terutama bagi kitab fikih yang
mengajarkan pendapat Mujtahid tertentu.
Adapun Metode yang digunakan di Muhammadiyah yaitu Metode ceramah, diskusi,
tanya jawab, pemberian tugas, metode kerja kelompok, demonstrasi, latihan, sosiodrama,
metode karya wisata/belajar di alam.
f.
Lingkungan
Lingkungan pendidikan di Muhammadiyah adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
kita baik berupa benda, peristiwa maupun kondisi masyarakat, terutama yang dapat
memberikan pengaruh kuat kepada anak didik yaitu proses pendidikan berlangsung dan
dimana lingkungan anak didik bergaul sehari-hari. Lingkungan yang ada di pendidikan
muhammadiyah yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, keagamaan dan lingkungan
juga besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak didik karena perkembangan jiwa anak
didik itu banyak dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang ada dan lingkungan juga bisa
berpengaruh positif dan negatif terhadap anak didik tergantung bagaimana orang tua dan guru
mengawasi dan membimbingnya.
http://astriyaniwinda.blogspot.com/2013/01/konsep-dasar-pendidikan-muhammadiyah.html