tanggung jawab pemerintah terhadap penegakan

MAKALAH
HUKUM LINGKUNGAN

“TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH TERHADAP
LINGKUNGAN HIDUP”

Disusun Oleh:

Nama: Melia Dwi Putri. H
Nim: 02011181320093

Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya
2014/2015

Kata pengantar
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesempatan dan semangat menulis makalah ini. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan yang berjudul
“Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Lingkungan Hidup”.
Dalam makalah ini menyajikan pembahasan mengenai peran serta

tanggung jawab pemerintah mengolah lingkungan hidup sebagai hak asasi dan
konstitusional warga negara Indonesia.
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar kita dapat memahami
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah selaku
representasi rakyat.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini akan ditemukan
kekurangan di sana- sininya yang harus diperbaiki, mudah- mudahan dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, Februari 2015

DAFTAR ISI
Kata pengantar
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Bab II Permasalahan
A. Pengertian Lingkungan Hidup

B. Keadaan Lingkungan Hidup
C. Peranan Pemerintah dalam Pengaturan Perundangan
D.Tanggung Jawab dan Kewajiban Penguasa
E.Tanggung Jawab Negara Terhadap Alam dan Lingkungan
F. Analisis Kasus Lumpur Lapindo
Bab III Kesimpulan dan Saran
Bab IV Daftar Pustaka

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan, bunyi pasal 28H Undang- undang dasar Republik Indonesia.
Telah tertuang dalam konstitusi Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional
bagi setiap warga negara Indonesia, sehingga merupakan kewajiban pemerintah
salah satunya untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dedalam
pelaksanaan dan pembangunan berkelanjutan yang dikemudian hari merupakan
penunjang hidup bagi rakyat dan juga makhluk hidup lainnya.

Dewasa ini ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas maupun kualitas yang
tidak merata sedangkan untuk kebutuhan kegiatan pembangunan membutuhkan
sumber daya alam yang semakin meningkat, disisi lain kegiatan pembangunan
juga mengandung resiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
kemudian dari kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung dan
produktivitas lingkungan hidup menurun yang kemudian menjadi beban dan
perhatian sosial.
Oleh karena itu lingkungan hidup indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan
baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, dengan upaya- upaya apa saja yang
dilakukan pemerintah selama ini bahkan untuk di masa yang akan datang karna
tidak dipungkiri bahwa kekhawatiran akan pemanasan global telah menjadi
masalah pelik dunia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas adapun permasalahan dalam makalah ini
sebagai berikut :
-

Apa pengertian lingkungan hidup?


-

Bagaimana keadaan lingkungan hidup saat ini?

-

Dimana pengaturan dalam perundang- undangannya?

-

Bagaimana tanggung jawab pemerintah untuk menangani masalah
lingkungan hidup dalam kasus lumpur lapindo?

Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan sebagai upaya sistematis dan terpadu
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan
penegakan hukum.

B. Keadaan Lingkungan Hidup
Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam
kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu
dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan, salah satu
problematika yang tengah menjadi sorotan dunia yaitu pemanasan global yang
semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah
penurunan kualitas lingkungan hidup.
Di sisi lain disaat pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya menggali berbagai
sumber daya alam yang melimpah di atas bumi Indonesia, dunia internasional
mengecam tindakan tersebut. Hal ini bukannya tanpa alasan karena penggalian
sumber daya alam di Indonesia dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi
perkembangan lingkungan hidup Indonesia. Namun, di satu sisi pihak pemerintah

Indonesia membutuhkan berbagai sumber daya alam untuk menghidupi

negaranya.
Dan saat kita berbicara mengenai problematika lingkungan ada dua masalah
terbesar yaitu masalah pemanfaatan atau pendayagunaan dan perusakan
lingkungan. Masalah pemanfaatan dan perusakan ini dibatasi oleh masalah etika
dan masalah moral. Masalah pemanfaatan setiap manusia pasti memahami cara
memanfaatkan lingkungan. Namun, mereka tidak memperhatikan batasan-batasan
alam, pendayagunaan lingkungan sehingga tanpa sadar ataupun sadar mereka
melakukan perusakan terhadap lingkungan hidup. Masalah kerusakan lingkungan
hidup mengurai lebih lanjut, kita perlu memperjelas lebih dahulu apa pengertian
dari etika dan moral. Etika dapat dipahami sebagai filsafat atau pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika
memberikan peninjauan untuk menentukan sikap pada manusia agar manusia
tidak hidup dengan cara mengekor saja terhadap berbagai pihak yang mau
menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar membantu kita lebih
mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Sedangkan moral
adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, kotbah-kotbah, patokanpatokan,kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.

C. Peranan Pemerintah
Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum

bahwa pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengendalian
pecemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu :
pencegahan,

penanggulangan

dan

pemulihan

lingkungan

hidup

dengan

menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu : Kajian lingkungan hidup
straegis (KLHS), Tata ruang, Baku mutu lingkungan hidup, Kriteria baku mutu
kerusakan lingkungan hidup, Amdal, UKL-UPL, perizinan, instrument ekonomi


lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, Analisis resiko lingkungan hidup, audit
lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan atau
perkembangan ilmu pengetahuan. Mengenai hal – hal tersebut, akan dibahas
pasal- pasal tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
berdasarkan dari Undang – undang No. 32 Tahun 2009.

D. Tanggung Jawab Dan Kewajiban Penguasa
Kekuasaan selalu berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban. Dilihat
dari segi perkembangan demokrasi, dua hal ini merupakan unsur dari kesatuan
pengertian kekuasaan. Dewasa ini hampir tidak ada kekuasaan yang tidak diikuti
oleh tanggung jawab dan kewajiban. Sebab bila tidak, hal demikian mengarah
kepada negara totaliter. Dengan demikian kekuasaan akan diikuti kemudian, baik
dengan kewajiban maupun tanggung jawab, karena keduanya memiliki hubungan
konsekuensi.
Dalam sistem pemerintahan modern, kekuasaan yang tidak diikuti oleh
tanggung jawab penguasanya sudah ditinggalkanberhubung aspek pengendalian
yang datang dari pihak masyarakat (public control) sudah sedemikian besar.
Demikian juga tidak terkecualinya kepada aspek pengelolaaan sumber daya alam

dan lingkungan, negara tidak hanya berperan menguasai dan mendapatkan
manfaat yang sebesar- besarnya, meskipun hal itu kemudian ditujukan untuk
sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (social prosperity).
Diatas telah disebutkan, bahwa dalam sistem pengelolaan lingkungan,
dikenal negara memiliki kekuasaan atas sumber daya alam. Prinsip demikian
berarti bahwa negara melalui pemerintah berwenang mengatur, memngendalikan,
dan mengembangkan segala hal yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan.
Kekuasaan yang mahaluas yang dipunyai negara terhadap bumi, air, udara,
dan segala sesuatu yang terkandung diatasnya sesuai dengan konstitusional, tentu

pula merefleksikan adanya tanggung jawab yang sangat besar pula. Karena itu
kekuasaan yang mahaluas harus pula diikuti dengan pengaturan pengelolaan
lingkungan yang bervisi kepentingan rakyat banyak, pemeliharaan alam dan
lingkungan, pencegahan pencemaran, perlindungan terhadap segala ancaman yang
merusak dan berpotensi merugikan alam dan lingkungan, serta pula bertanggung
jawab atas hal- hal yang merugikan masyarakat dari kerusakan alam dan
lingkungan termasuk bencana alam.
Mendasarkan pada aspek kekuasaan yang berlandaskan dan bersumber
dari instrumen hukum yang kuat dan jelas yakni pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan
diikuti UUPLH 2009 maka pada dasarnya negara pun sebenarnya harus

bertanggung jawab secara yuridis atas semua hal yang menjadi objek
penguasaannya. Sebab sekalipun kekuasaan negara demikian dikaitkan dengan
aspek klausul bahwa kekuasaan bukan berarti memiliki namun aspek menguasai
adalah identik dengan memiliki dan kalau dideskripsikan dengan bahasa lain
maka kekuasaan negara demikian pada aspek yang lebih realistik akan terlihat
menjadi menguasai atau dengan menguasai adalah memiliki batas keduanya
begitu sangat tipis dan hampir tidak dapat dibedakan karena itu menurut pameo
hukum, siapa yang menguasai ia memiliki maka ia pun senantiasa bertanggung
jawab.
Tetapi jika ditinjau dari segi formal juridis, di berbagai produk legislatif
mengenai pengaturan berbagai aspek sumber daya alam dan lingkungan dari
tingkat undang- undang sampai dengan peraturan perundang- undangan yang
lebih rendah, tidak terdapat pengaturan yang khusus memberikan tanggung jawab
kepada negara atau pemerintah. Sepintas lalu bila melihat keadaan demikian
memang tampak tidak begitu adil (fair) dan konsekuen, mengapa hanya
merumuskan masalah kekuasaan dan penguasaan negara saja namun tidak pula
mengaitkannya dengan kewajiban negara mengenai formula juridis atau
kerusakan alam/ lingkungan.

Dilihat dari interpretasi yang lebih terpadu, sebenarnya aspek kekuasaan

negara atas semua sumber daya alam dan lingkungan menjadikannya sudah
sedemikian rupa memiliki tanggung jawab, apakah demikian halnya? Masalah ini
masih memerlukan kesempatan untuk mengkaji secara khusus dengan berbagai
aspek yang lebih integral dan komprehensif.

E. Tanggungjawab Negara Terhadap Alam dan Lingkungan
Berkaitan dengan faktor problematis mengenai penguasaan alam oleh
negara, dan kemudian tanggung jawab hukum negara kepada pengaturan
lingkungan, pemeliharaan alam, pencegahan kerusakandan sifat tanggung jawab
terhadap bencana alam, dibawah ini perlu dibahas secara lebih jauh. Siapa atau
pihak mana yang dimintai tanggung jawab jika terjadi kerusakan alam dan
bencana alam, termasuk bukan karena sebab atau berkaitan dengan rangkaian
perbuatan manusia?
Pencemaran lingkungan, yang timbul dari aktifitas manusia, maupun yang
timbul karena proses (aktifitas) alam, memiliki dampak yang sama terhadap
perikehidupan manusia. Yaitu, sama- sama merugikan kepentingan manusia,
dalam wujud mengancam kesehatan, merusak sumber daya lingkungan,
mengurangi jumlah aset- aset ekonomi, dan menurunkan mutu tata ekologis.
Akan tetapi jika dihubungkan dengan proses tanggung jawaqb kedua
macam insiden diatas,. Terjadi perbedaan karakter yang lebih mendasar.
Perbedaan yang dimaksudkan disini ini ialah perbedaan karakter pertanggung
jawaban atas kerugian- kerugian yang timbul sebagai akibat pencemaran
lingkungan hidup, baik yang timbul karena aktifitas manusia maupun karena
proses alam sendiri.
Guna menjelaskan maksud ini, perlu menjuruskannya pada sebuah
pertanyaan berikut ini: bagaimanakah perbedaan bentuk pertanggung jawaban
pencemaran yang terjadi, antara yang timbukl karena perbuatan manusia dengan

perbuatan yang timbul karena “ulah” alam itu sendiri? Berikutnya adalah apakah
kerugian- kerugian yang timbul karena pencemaran yang berasal dqari aktifitas
alam dapat dituntutkan suatu pertanggungjawaban ganti rugi oleh pihak- pihak
korban, dan kepada siapa ia menuntut ganti rugi itu?
Disatu sisi, pencemaran lingkungan yang bersumber dari aktifitas
manusia,. Kini tidak asing lagi kita lihat dan kita rasaskan sehari- hari. Hal
demikian terjadi dengan pencemaran oleh pabrik- pabrik, kecelakaan lingkungan
karena aktifitas perbuatan manusia, seperti runtuhnya bangunan, karena
pemakaian atau pemproduksian zat- zat berbahaya, atau karena pemakaian
instalasi pertambangan, gudang amunisi, kilang minyak dan lain- lain,.
Disisi lain, tidak asing pula kita dengar pencemaran yang akibatnya justru
lebih dahsyat ditimbulkan oleh pencemaran non alamiahseperti diatas, yakni
bencana alam karena memang benar- benar perbuatan alam. Misalnya meletusnya
gunung berapi yang memuntahkanlahar dingin atau panas, kemudian
memusnahkan sawah ladang serta harta benda penduduk bahkan ada yang
meminta korban nyawa manusia seperti gunung galunngungg meletus beberapa
tahun yang lalu. Bencana lainnya seperti banjir dan tsunamiyang terjadi di Aceh
tahun 2004 dan Pantai Selatan Pulau Jawa tahun 2006, telah menghanyutkan
ratusan ribu manusia, memporak porandahkan rumah- rumah penduduk, sawah,
tambak- tambak perikanan, merusak waduk dan irigasi, menghanyuitkan jembatan
hingga mengakibatkan kerugian bernilai puluhan miliar rupiah.
Jika pada sebab akibat yang pertama, pertanggung jawaban hukum dengan
berbagai mekanisme juridisnya sudah jelas, yakni siapa yang melakukan
pencemaran itu dengan sendirinya dikaitkan kepada subyek pertanggung
jawabannnya . sementara pada sebab akibat yang kedua, yakni bencana alam,
apakah dapat dikaitkan dengan suatu subyek pertangungg jawaban tertentu?
Bencana alam seperti meletusnya gunung berapi, tsunami, banjir yang
tidak berkaitan (langsung atau tidak langsung) dengan perbuatan manusia, dan
sebagainya patut dipersoalkan dari dimensi juridisnya berkaitan pula tentunya

dengan aspek kekuasaan negara kepada alam, sumber- sumber daya alam dan
lingkungan.
Permasalaha yang hendak dikemukakan disini adalah, pertama, bagaimana
mengaitkan bencana alam yang terjadi dengan suatu subyek pertanggung jawaban.
Kedua, apakah dimungkinkan pihak korban bencana alam demikian menuntut
suatu tanggung jawab.
Apakah kedua karakter pencemaran atau pengrusakan alam yang
disebutkan diatas dapat dituntut pertanggung jawaban, karena telah menimbulkan
kerugian- kerugian pada korban?
Pertanggung jawaban hukum demikian, dapat dihubungkan kepada
pengertian pencemaran lingkungan yang ditetapkan oleh undang- undang.
Pengertian pencemaran lingkungan, perlu kiranya kita lihat dulu dalam UUPLH
NO `32 tahun 2009, karena UUPLH memasukkan selain manusia, juga alam
sebagai pelaku atau sumber perbuatan pencemaran. Definisi pencemaran
lingkungan menurut UUPLH adalah masukannya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan atau
berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam,
sehingga kualitas lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukkannya.
Pengertian pencemaran lingkungan yang diberikan oleh UUPLH, hampir
sama dengan pengertian yang ditetapkan lembaga- lembaga hukum, baik yang
berbentuk konvensi internasional, rekomendasi, maupun prinsip yang diberikan
pada perbincangan- perbincangan yang bersifat internasional.
Namun, hal yang membedakan pengertian pencemaran diatas menyangkut
subyek pencemar atau penyebab timbulnya pencemaran. UUPLH menganut
adanya subyek pencemaran, yaitu selain manusia (termasuk badan hukum), juga
alam. Sedangkan dalam pengertian menyebutkan bahwa subyek pencemar atau
penyebab terjadinya pencemaran hanya dikaitkan dengan aktifitas manusia. Jadi,
menurut kedua pengertian ini masalah pencemaran yang diakibatkan dan

bersumber dari aktifitas alam(man actifity), tidak bisa dianggap sebagai suatu
pengertian pencemaran lingkungan bahwa konsekuensi yang terpenting adalah
dalam kaitannnya dengan pertanggungjawaban secara hukum (liability).
Menurut hemat kita terlepas dari pencatuman perbuatan alam seperti itu,
pemerintah dalam konsekuensinya sebagai pemegang kekuasaan atas alam dan
lingkungan, sudah dengan sendirinya memiliki tanggung jawab hukum
berdasarkan aspek legal consequence dari aspek penguasaan alam dan lingkungan.
Kalu proses alam dikaitkan dengan pencemaran, sebagai bagian dari aktifitas lain
diluar perbuatan manusia, maka membuka peluang membahas masalah, yaitu
siapakah yang bertanggung jawab andaikata timbul pencemaran- pencemaran
lingkungan yang bersumber dari aktifitas alam atau bencana alam? Sampai sejauh
mana pertanggungjwaban kepada pihak yang dibebankan tanggung jawab, dan
siapa yang menjadi subyek pertanggung jawaban demikian? Apakah mula
pertanggung jawaban jenis demikian masuk kategori pertanggung jawaban
hukum, ataukah dapat dinilai dari dimensi lain diluar penilaian hukum seperti
pertanggungjawaban moral atau politis, atau bahkan tidak bernilai
pertanggungjawaban sama sekali?
UUPLH tidak menjelaskan lebih lanjut tentang masalah demikian. Hanya
dalam penjelasan pasal 1 butir 7, menyatakan pencemaran lingkungan hidup oleh
proses alam dimasukkan dalam merumuskan mengingat akibatnya perlu di
tanggulangi. Penanggulangan ini merupakan kewajiban pemerintah, artinya
pemerintah yang bertanggung jawab apabila terjadi pencemaran lingkungan
sebagai akibat dari aktifitas alam.

F. Analisis Kasus Lumpur Lapindo
Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27
Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan

permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta
mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur
panas berada di Kecamatan Porong, di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar
12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan
Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan. Lokasi semburan
hanya berjarak 150-500 meter dari sumur BanjarPanji-1, yang merupakan sumur
eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh
karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan
aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut.
Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan
asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan
pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi tersebut merupakan
kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri
utama di Jawa Timur.
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok
Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat
Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran
terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya
kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari
semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun
korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya,
tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti. Yang sangat jelas
terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas sebagai pemegang hak eksploitasi dan
eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah
melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undang undang tersebut. Namun tentunya
dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab
menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan
kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo
sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman.

Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan
korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46. Meskipun tidak digariskan secara
jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di
Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggung jawaban pidana dalam
kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1.

Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1

dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan.
2.

Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang

melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam
melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat
3.

UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang

Perikanan
4.

Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada

pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan
kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999
tentang Tindak Pidana Korupsi.
Kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan
keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah
perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan
penambangan gas, menurut pengertian kejahatan korporasi adalah merupakan
perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya kesalahan
manusia atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah
merupakan perbuatan tindak pidana.
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak
dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga
mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan pipa selubung yang tidak
dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari
sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum
pelaksanan pengeboran.

Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.
Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat
dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup,
hukum Pidana dan hukum Perdata.
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang
memberi perintah maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini,
korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU
No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hingga saat ini tindakan
nyata dari Lapindo sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok
Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita
warga sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan lumpur
dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan
sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan
sistematis.
definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalam Pasal 1 angka
14 memuat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya tindakan, tindakan yang dilakukan adalah pengeboran migas oleh PT.
Lapindo Brantas dalam rangka mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas di
Blok Brantas tersebut.
2. Menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik dan atau
hayati lingkungan, semburan dan luberan lumpur yang masih terjadi saat ini
memuat kandungan bahan-bahan berbahaya dan beracun yang mengakibatkan
perubahan langsung terhadap perubahan fisik lingkungan hidup di Kec. Porong
dan sekitarnya yang belum ada kepastian sampai berapa lama lagi luberan lumpur
ini akan berlanjut.
3. Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan yang berkelanjutan, melihat fakta luberan dan semburan lumpur
yang semakin hari semakin meningkat sudah jelas tidak akan terjadi
pembangunan di Kec. Porong Sidoarjo dan sekitarnya tersebut, daerah ini akan
terisolasi dan tidak ada yang dapat memperkirakan akan sampai berapa lama.
Hingga saat ini pertanggungjawaban atas kejadian luapan lumpur lapindo pun

belum jelas, ganti rugi yang diberikan oleh pihak Lapindo Brantas terhadap
masyarakat ternyata tidak memberikan suatu keadaan yang cukup, masih banyak
masyarakat yang mengeluhkan tentang ganti rugi yang tidak sepadan dengan apa
yang masyarakat miliki sebelumnya. Hal ini mengakibatkan banyaknya warga
yang terlantar dan tidak mempunyai suatu penghasilan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan.
Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk menindak
lanjuti permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan. Seharusnya
pemerintah bertindak tegas agar dampak lingkungan dari lumpur lapindo tidak
meluas.

BAB III
Kesimpulan dan saran
Kesimpulan
Lingkungan hidup di Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik yang
didasarkan pada asas tanggung jawab negara yang artinya negara menjamin
pemanfaatan sumber daya alam yang akan memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini dan
masa yang akan datang, negara juga menjamin hak warga negara atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
hidup. Perlindungan dan pengelolaaan lingkungan hidupmenuntut
dikembangkannnya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus yang harus
dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dalam hal ini pemerintah telah
memberi kuasanya kepada menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan
dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kepada
pemerintah daerah dengan menerapkan sistem yang dibuat sedemikian oleh
pemerintah sebagai langkah preventif dalam mencegah pencemaran dan
kerusakaan lingkungan hidup.
Saran
Pembenahan dan konsistensi pemerintah dalam menjalankan dan menerapkan
suatu sistem dianggap perlu dalam mengupayakan lingkungan hidup yang layak
untuk generasi ke depan, kemudian yang dibebankan oleh pemerintah yaitu
lembaga- lembaga yang mempunyai beban kerja mestinya melakukan koordinasi
pelaksanaan kebijakan, serta dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio
menetapkan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan untuk kepentingan
konservasi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya kelak dibutuhkan juga
pendanaan baik dari APBN dan APBD.

BAB IV
Daftar Pustaka
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2006. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta:Gadjah
Mada University.
Silalahi, Daud. 1996. Hukum Lingkungan. Bandung:Alumni.
Erwin, Muhammad. 2008. Hukum Lingkungan. Bandung:PT Refika Aditama.
Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta:Pancuran Alam.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun
2009, No. 144. Sekretariat Negara. Jakarta.