Kebijakan Keamanan Nasional Perancis Ter

Adhe Nuansa Wibisono
Kajian Terorisme FISIP UI
NPM : 1206299023

Kebijakan Keamanan Nasional Terhadap Terorisme :
Perancis
Paper Akhir_Kebijakan Keamanan Nasional Terhadap Terorisme

Latar Belakang
Perancis adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 62
juta jiwa. Secara latar belakang keagamaan agama Katolik adalah agama mayoritas
dengan jumlah penganut sebesar 64 persen atau 40 juta jiwa, Kemudian agama
Islam menjadi minoritas terbesar di Perancis dengan perkiraan jumlah muslim
sebesar 5 juta jiwa atau sekitar 8 – 9 persen dari jumlah penduduk Perancis.
Keberadaan jumlah muslim ini cukup besar jika dibandingkan dengan minoritas
lainnya yaitu penganut Kristen Protestan sekitar 800 ribu jiwa, Yahudi sekitar 600
ribu jiwa, dan Buddha sekitar 150 ribu hingga 500 ribu jiwa.

1

Populasi muslim di


Perancis sebagian besar berasal dari para imigran negara-negara Afrika Utara
seperti Aljazair, Maroko dan Tunisia. Para imigran ini kemudian pindah, menetap dan
mendapatkan kewarganegaraan Perancis. Keberadaan para imigran ini kemudian
memberikan dampak bagi permasalahan tingkat pengangguran dan kemiskinan
yang semakin meningkat, selain itu imigran muslim juga memberikan pengaruh
pada budaya-budaya sekularisme yang telah diterapkan pada ruang publik dan
keagamaan

di

Perancis.

Kebijakan

pelarangan

penggunaan

simbol-simbol


keagamaan termasuk hijab di sekolah-sekolah Perancis kemudian memicu respon
keras dari kalangan imigran muslim.2
Sejak pertengahan tahun 1970-an, Perancis telah menjadi sasaran dari
serangan terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri. Diantara negara-negara
Eropa lainnya, Perancis adalah salah satu negara yang menjadi sasaran bagi
terorisme
1

internasional.

Diantara

tahun

1986-1996

terdapat

23


serangan

“The Steady Integration of France’s Most Recent and Largest Minority”, dalam “Muslim In France”, hal 15

2

BBC News Online, “Muslims in Europe: Country Guide”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4385768.stm , diakses
pada 27 Desember 2012

1

pengeboman melanda Perancis yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal.
Kemudian terdapat juga rencana penyerangan dan pengeboman yang bisa
digagalkan, terhitung tiga serangan dapat digagalkan yaitu rencana penyerangan
Stade de France (1998), rencana penyerangan perayaan Natal di Strasbourg (2000)
dan rencana penyerangan kedutaan besar Amerika Serikat di Paris (2001).3
Perancis

juga


dijadikan

sasara

penyerangan

oleh

jaringan

terorisme

internasional di sekitar wilayah Timur Tengah pada tahun 1980-an oleh kelompok
GIA (Groupe Islamique Armee) di Aljazair, kemudian setelah peristiwa 9/11 di
Amerika Serikat, kelompok-kelompok radikal baru yang berafiliasi kepada Al Qaeda
bermunculan ditandai dengan adanya beberapa insiden seperti penyerangan
terhadap bus milik Angkatan Laut Perancis di Karachi, dan operasi militer terhadap
kapal induk Limbourg di perairan Aden pada tahun 2002. Selain itu juga terjadi
pembunuhan dan penculikan terhadap warganegara Perancis di beberapa negara

Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mauritania, Mali, Aljazair, Afghanistan di
sepanjang tahun 2007, 2008 dan 2009.4
Di Perancis kelompok Islam radikal memiliki akar yang bersifat eksternal yaitu
jaringan ekstremis Aljazair, GIA (Groupe Islamique Armee). GIA kemudian menyebar
ke Perancis dipengaruhi juga oleh diaspora imigran-imigran asal Aljazair yang
kemudian datang dan menetap di Perancis. Terdapat sekitar 1,5 juta orang
keturunan Aljazair, 700 ribu orang keturunan Maroko, dan sekitar 350 ribu orang
keturunan Tunisia yang bermigrasi dan menetap di Perancis, dan sebagian kecil dari
basis populasi ini kemudian terlibat aktif dalam jaringan GIA. Kelompok radikal
kemudian memperkuat jaringannya dengan cara melakukan rekrutmen terhadap
anak-anak

muda

di

kalangan

miskin


pinggiran

perkotaan.

Selain

masalah

kemiskinan masalah diskriminasi dan rasialisme juga berpengaruh terhadap
meningkatnya radikalisme di kalangan muda imigran di Perancis. 5

3

“Overview Of The French Anti-Terrorism Strategy”, dalam “General Overview Of The French Anti-Terrorism
Strategies : NCTB Project”, hal 1
4
France Diplomatie, “Fight Against Terrorism”, http://www.diplomatie.gouv.fr/en/global-issues/defencesecurity/terrorism/ , diakses pada 27 Desember 2012
5
Farhad Khosrokhavar, “Terrorism in Europe and the Middle East”, Centre for Studies in Islamism and Radicalisation
(CIR), (Aaarhus : Aarhus University, 2011), hal 2


2

Perancis

kemudian

melihat

bahwa

ancaman

terorisme

didorong

oleh

maraknya radikalisasi agama. Selain itu, bertumbuhnya ancaman terorisme di

negara-negara tetangga seperti Jerman, membuat Perancis melihat pentingnya
sebuah tindakan pencegahan bagi tumbuhnya terorisme di Perancis, terutama
dengan kenyataan sekularisme dan perlawanan dari komunitas muslim di Perancis.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai strategi pemerintah Perancis dalam
menghadapi

terorisme. Strategi yang akan dibahas lebih kepada bagaimana

kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah Perancis untuk menanggulangi
penyebaran ideologi radikalisme dan aksi terorisme di Perancis?

Kerangka Konsep
Pendekatan Penegakan Hukum, Pendekatan Militer dan Indirect Strategy
Dalam
pendekatan

penanggulangan
yang

digunakan


permasalahan
dalam

terorisme

merumuskan

terdapat

kebijakannya.

beberapa
Pendekatan

penegakan hukum, militer dan indirect strategy adalah tiga pendekatan yang akan
digunakan oleh penulis untuk mengidentifikasi kebijakan terorisme yang ada di
Singapura. Pada dasarnya ketiga pendekatan ini tidak bergerak sendiri-sendiri
namun harus saling berjalan seirama antara satu dengan yang lain. Terdapat
keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing pendekatan ini, sehingga perlunya

perumusan kebijakan yang dapat mengatur semua instrumen yang ada sehingga
dapat menghasilkan kebijakan penanggulangan teror yang komprehensif.
Pendekatan

penegakan

hukum

lebih

mengarah

kepada

keterlibatan

kepolisian dalam penanggulangan terorisme. Menurut Bayley dan Weisburd
membedakan aktivitas kepolisian menjadi high policing dan low policing.6 High
policing mengacu pada tujuan pencegahan aksi pelanggaran hukum dengan
mengunakan taktik intelejen, penyamaran, dan pencegahan aksi. 7 Sedangkan low

policing merupakan tindakan pencegahan aksi pelanggaran hukum dengan

6

“Strategi dan Kebijakan Kontra Terorisme: Penegakan Hukum “, Modul Pengajaran Mata Kuliah Terorisme Di
Indonesia, Program Magister Terorisme Dalam Keamanan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, FISIP
UI 2011, hal 64
7
Ibid

3

menggunakan patroli dan penangkalan (detterence) dengan melakukan sosialisasi
konsekuensi dari pelanggaran hukum.8
Terdapat beberapa komponen utama dalam high policing yang menjadi fokus
dari

kepolisian.

Pertama,

peningkatan

kualitas

intelejen

yang

harus

terus

dikembangkan hingga menyebabkan peningkatan penggagalan aksi/plot terorisme. 9
Kedua, analisa atas resiko sosial politik, dan estimasi korban juga harus menjadi
faktor

kunci

dalam

setiap

pengambilan

keputusan. 10

Ketiga,

peningkatan

pengawasan atas target teror, perlindungan tokoh serta infrastruktur penting, serta
mobilisasi komunitas untuk pencegahan aksi teror untuk meminimalisir korban jiwa
dan penggunaan kekerasan. Keempat, pertolongan saat kejadian dan pengendalian
saat aksi terorisme terjadi.11
Militer adalah instrumen kekerasan milik negara yang diberi otoritas untuk
menggunakan senjata dalam mempertahankan negara dari serangan militer negara
lain, dan juga untuk tugas lain seperti mengatasi bencana dan penanggulangan
terorisme.12 Sedangkan kepolisian pada umumnya didefinisikan sebagai institusi
penegakan hukum yang melindungi masyarakat didalamnya serta menciptakan
ketertiban umum namun juga dipersenjatai dalam rangka penegakan hukum.
Secara teoritis dalam konsep bantuan militer kepada kekuasaan sipil (military
aid to the civil power-MACP), militer dapat berperan dalam kontra-terorisme dengan
cara mendukung kekuatan kepolisian dan otoritas sipil. Tentunya sesuai dengan
karakternya, model militer memandang peperangan dengan kelompok teroris
sebagai perang asimetris, namun tentunya dengan identifikasi musuh, garis depan
(frontline) dan medan pertempuran (battlefield) yang jelas untuk mencapai
kemenangan mutlak. Pada umumnya kemampuan satuan penanggulangan teror
militer lebih tinggi daripada kepolisian, tapi secara hukum kepolisian lebih

8

Ibid

9

Ibid hal 65

10

Ibid hal 66

11

ibid

12

“Strategi danKebijakan Kontra Terorisme: Pendekatan Militer“, dalam Modul Pengajaran Mata Kuliah Terorisme Di
Indonesia, Program Magister Terorisme Dalam Keamanan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, FISIP
UI 2011., Hal hal 71

4

berwenang.13 Dalam penggunaan pendekatan militer cara-cara yang digunakan
akan cenderung menggunakan hard power karena pada prinsipnya pendekatan
militer akan melihat permasalahan terorisme dalam konteks perang.
Dalam penaggulangan terorisme penggunaan senjata atau hard power saja
tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan akar terorisme yang berakar pada
kondisi depriviasi dan ideologi radikal. Ideologi bahkan sering disebut sebagai
center of gravity atau kekuatan penggerak utama terorisme. Oleh karena itu
strategi pendekatan lunak (soft approach) juga perlu digunakan dalam strategi
penanggulangan terorisme. Dalam pendekatan lunak terdapat beberapa cara yang
dapat digunakan untuk penanganan masalah terorisme diantaranya adalah
deradikalisasi, disenggangement, dan kontra-radikalisasi atau yang sering juga
disebut dengan kontra-ideologi.14

Aksi Terorisme di Perancis
Pada awal tahun 1990-an, kelompok radikal Aljazair, GIA (Groupe Islamique
Armee) mulai mengumpulkan pendanaan dan melakukan rekrutmen sukarelawan
untuk

mengembalikan

pemerintahan

Islamis

yang

dikudeta

oleh

militer.

Pemerintahan junta militer Aljazair meminta dukungan Perancis untuk memotong
aliran dana dan logistik GIA yang berasal dari Perancis, sebaga dampaknya adalah
GIA

melakukan

aksi

pembalasan

kepada

Perancis.

Rangkaian

pengeboman

kemudian dilakukan oleh kelompok ini dalam rentang tahun 1995 – 1996. Serangan
ini membunuh 8 orang dan menyebabkan 150 orang lainnya luka-luka. Kemudian
menjelang penyelenggaraan Piala Dunia 1998, pemerintah Perancis berhasil
menggagalkan rencana pengeboman yang telah direncanakan oleh GIA, sekitar 100
orang anggota GIA ditangkap pasca kejadian tersebut. Sebagai dampaknya pada 11
Juni 1999, GIA mengumumkan jihad dalam wilayah Perancis. 15
Pada 25 Juli 1995, terjadi peledakan di stasiun Saint-Michael, line B dari
jaringan kereta regional Perancis, dalam insiden ini sekitar 8 orang meninggal dunia
13

ibid

14

“Strategi dan Kebijakan Kontraterorisme: Inderect Strategy & Soft Approach “, dalam Modul Pengajaran Mata
Kuliah Terorisme Di Indonesia, Program Magister Terorisme Dalam Keamanan Internasional, Departemen Hubungan
Internasional, FISIP UI 2011., Hal hal 73
15
Kimberley L. Thachuk, Marion E. Bowman, and Courtney Richardson , “Homegrown Terrorism : The Threat Within”,
Center for Technology and National Security Policy National Defense University, (Washington DC : 2008), hal 15

5

dan 80 orang lainnya mengalami luka-luka. Pada 17 Agustus 1995 terjadi
pengeboman di Arc de Triomphe yang menyebabkan sekitar 17 orang terluka. Pada
26 Agustus 1995 ditemukan sebuah rangkaian bom di lintasan kereta api di daerah
Lyon. Pada 3 September 1995 telah terjadi peledakan di alun-alun kota Paris yang
melukai 4 orang. Pada 7 September sebuah bom mobil meledak di lingkungan
sekolah komunitas Yahudi di Lyon yang melukai 14 orang. Kemudian diketahui
pimpinan dari aksi pengeboman ini adalah Khaled Kelkal, yang teridentifikasi
melalui sidik jari, kemudian Kelkal terbunuh dalam operasi penangkapan yang
dilakukan oleh unit kepolisian Perancis EPIGN pada 29 September 1995. Pada 6
Oktober 1995 terjadi peledakan kembali di stasiun Maison Blanche di Paris Metro
yang melukai 13 orang. Pada 17 Oktober 1995 kembali lagi terjadi peledakan yang
berlokasi diantara stasiun Musee d’Orsay, Saint Michael dan Notre Dame dari line C
jaringan kereta regional Perancis yang melukai 29 orang.
Insiden lainnya adalah peristiwa perencanaan pengeboman pada pasar
festival Natal di Strasbourg, Perancis. Insiden ini dilakukan oleh empat orang
keturunan

Aljazair

yang

merencanakan

pengeboman

di

sekitar

pasar

dan

pemukiman padat tidak jauh dari katedral Strasbourg pada malam tahun baru 2000.
Para pelaku akhirnya berhasil ditangkap dan kemudian didakwa di pengadilan
Jerman atas tuduhan rencana pengeboman dan kepemilikan senjata api. Diduga
keempat pelaku ini berasal dari gerakan Mojahedin Afrika Utara yang memiliki
keterkaitan dengan Al Qaeda.16 Insiden lain yang cukup menarik perhatian adalah
terungkapnya aksi perencanaan serangan bom bunuh diri yang dilakukan enam
orang keturunan Aljazair kepada kedutaan besar Amerika Serikat di Paris pada
tahun 2001, seminggu sebelum adanya serangan 9/11 di Amerika Serikat. Djamel
Beghal yang dianggap sebagai pimpinan serangan mendapat hukuman maksimum
selama 10 tahun penjara, kemudian Kamel Daoudi, insinyur dan ahli informatika
yang berperan sebagai operator komunikasi kelompok mendapat hukuman 9 tahun
penjara. Sedangkan empat orang lainnya mendapatkan hukuman penjara antara 1
sampai 6 tahun.17

16

The
Guardian
Online,
“Four
Convicted
of
Strasbourg
Bomb
Plot
”,
http://www.guardian.co.uk/world/2003/mar/10/germany.france , diakses pada 27 Desember 2012
17
The Washington Post Online, “Six Guilty of Targeting U.S. Embassy in Paris”, http://www.washingtonpost.com/wpdyn/articles/A37035-2005Mar15.html , diakses pada 27 Desemebr 2012

6

Aksi

terorisme

paling

baru

yang

terjadi

di

Perancis

adalah

insiden

penembakan Toulouse yang dilakukan oleh pemuda keturunan Aljazair berusia 23
tahun yang diklaim sebagai anggota Al Qadea bernama Mohammed Merah. Insiden
ini kemudian menewaskan tujuh orang pada tiga insiden berbeda. Korban
pertamanya adalah tentara Perancis yang ditembak pada 11 Maret 2012 di
Toulouse. Merah kemudian menargetkan tiga orang tentara Perancis lainnya di luar
barak militer di Montauban pada 15 Maret 2012, menewaskan dua orang
diantaranya dan melukai satu orang lainnya. Terakhir, pada 19 Maret 2012,
Mohammed Merah menyerang sekolah Yahudi “Ozar Hatorah” di wilayah pinggiran
kota Toulouse, pada serangan terakhirnya ini menewaskan tiga orang anak-anak
yang berusia 3, 6 dan 8 tahun, selain itu juga menewaskan rabbi pengajar sekolah
Yahudi tersebut.18

Kebijakan Kontraterorisme di Perancis
Respon Perancis atas aksi terorisme tidaklah direspon dengan pendekatan
militer seperti yang dilakukan seperti ketika menghadapi perang dengan Aljazair
dimana Perancis menerapkan darurat militer dalam skala besar. Respon yang
diberikan Perancis terhadap aksi terorisme adalah melalui tindakan penegakan
hukum. Tata perundangan terhadap aksi terorisme yang merupakan cabang dari
hukum kriminal , kemudian memperkenalkan mekanisme perundangan baru yang
berbeda dengan prosedur kriminal pada umumnya, sebagai contohnya bisa dilihat
dari lamanya penahanan dan komposisi pengadilan. 19
Otoritas Untuk Memberhentikan, Mencari dan Menanyakan Individu di Perbatasan
Aparat penegak hukum diizinkan untuk melakukan pemeriksaan atas
identitas administrasif pada setiap individu dalam area pelabuhan, bandara, stasiun
kereta api dan stasiun bus yang melayani tujuan internasional, untuk memastikan
bahwa setiap orang membawa dokumen yang dibutuhkan. Ketika pemeriksaan
identitas dilakukan di dalam kereta internasional, pemerikasaan itu dapat dilakukan
sampai stasiun kereta api pertama di dalam wilayah Prancis (Pasal 78-2, CPP). 20
18

Raphaelle Camilleri, “Impact Of Counter-Terrorism On Communities: France Background Report”, Institute For
Strategy Dialogue, hal 3
19
Olivier Dutheillet De Lamothe, “French Legislation Against Terrorism : Constitutional Issues”, 2006, hal 2
20

Raphaelle Camilleri, “Impact Of Counter-Terrorism On Communities: France Background Report”, Institute For
Strategy Dialogue, hal 22

7

Otoritas Untuk Menahan Seseorang Dalam Tindak Terorisme
Tidak seperti penjahat biasa, yang dapat ditahan di tahanan polisi sebelum
dikenakan hingga 48 jam (garde à vue), tersangka teroris dapat ditahan di tahanan
polisi tanpa biaya sampai enam hari. Pada contoh pertama, jika penyelidikan
menuntut hal itu, 48 jam dapat diperpanjang dua kali dengan jangka waktu 24 jam
(atau satu kali 48 jam). Untuk mendapatkan ekstensi ini, permintaan tertulis harus
disampaikan

kepada

hakim

investigasi,

dan

bukti

harus

disediakan

untuk

mendukung permintaan. Sebelum dimulainya perpanjangan 24 jam pertama,
tersangka harus menjalani pemeriksaan medis sehingga untuk membuktikan bahwa
dia fit untuk berdiri penahanan lebih lanjut (Pasal 706-88, CPP). Undang-undang
baru memperpanjang periode garde à vue untuk sampai 6 hari ketika ada bahaya
nyata dan terbukti bahwa aksi terorisme akan segera dilakukan. 21
Selain itu, tidak seperti penjahat umum yang diizinkan untuk memiliki akses
ke pengacara dari awal masa penahanan mereka (Pasal 63-4, CPP), dalam kasus
tersangka teroris, akses ke pengacara dapat ditunda untuk jangka waktu hingga 48
jam, jika perlu untuk mengumpulkan atau menyimpan bukti yang memberatkan,
atau untuk menjamin keselamatan publik. Hal ini dapat diperpanjang untuk sampai
dengan 72 jam untuk pelanggaran yang lebih serius (Pasal 706-88, CPP). Setelah
diisi, tersangka dapat ditahan di tahanan pra-pengadilan hingga empat tahun (dua
atau tiga tahun tanpa pengadilan non-teroris kasus, tergantung pada beratnya
pelanggaran) (Pasal 145-2, CPP). Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa telah
mengutuk Perancis untuk periode-periode waktu yang panjang dalam kedua kasus.
Sebagai contoh, Prancis dikutuk pada tanggal 26 Januari 2012 untuk menahan
anggota kelompok Basque ETA teroris, diduga mempersiapkan untuk melakukan
tindakan teroris, dalam penahanan pra-sidang untuk jangka waktu sampai lima
tahun.22
Otoritas Untuk Mendeportasi Individu Dalam Tindak Terorisme

21

Raphaelle Camilleri, “Impact Of Counter-Terrorism On Communities: France Background Report”, Institute For
Strategy Dialogue, hal 23
22
Raphaelle Camilleri, “Impact Of Counter-Terrorism On Communities: France Background Report”, Institute For
Strategy Dialogue, hal 23

8

Hukum Perancis memberikan ukuran tertentu perlindungan terhadap imigran
dan pencari suaka yang menunggu keputusan otoritas imigrasi tentang status
mereka. Namun, menurut dua hukum yang disahkan pada tahun 2003, ketentuan
yang biasa terkandung dalam hukum imigrasi tidak lagi berlaku jika “ada persepsi
bahwa kehadiran seseorang di wilayah Prancis merupakan ancaman serius bagi
ketertiban umum, keselamatan umum, atau keamanan nasional” (dalam kasus
pencari suaka). Demikian pula, sedangkan imigran yang telah hidup dalam wilayah
Prancis

untuk

jangka

waktu

yang

panjang,

atau

dapat

menunjukkan

kewarganegaraan Perancis, tidak bisa diusir, mereka yang diduga “perilaku rentan
membahayakan kepentingan mendasar bangsa, terkait dengan kegiatan teroris,
atau dicurigai melakukan diskriminasi, kebencian atau kekerasan atas dasar asal
etnis atau agama” dapat dideportasi.
Kedua

undang-undang

ini

membuat

pemerintah

ebih

mudah

untuk

mendeportasi orang-orang yang perilakunya dianggap “mengancam ketertiban
umum”. Kebijakan ini diterapkan oleh Presiden Prancis Nicolas Sarkozy setelah
kasus penembakan yang dilakukan oleh Mohammed Merah di Toulouse dan
Montauban, ketika Perancis mengambil langkah-langkah untuk mengusir lima
Islamis radikal. Selain itu, sesuai dengan Pasal 25 dari Kode Sipil (KUH Perdata,
selanjutnya disebut CC), orang yang - baik sebelum memperoleh kewarganegaraan
Perancis, atau dalam 15 tahun memperoleh kewarganegaraan Perancis - yang
didakwa dengan pelanggaran

teroris

atau

pelanggaran

apapun penargetan

'kepentingan fundamental bangsa dapat dilucuti kewarganegaraan mereka (Pasal
25, CC).
Pada Sisi Represif23


Penahanan terduga teroris tanpa proses mereka selama enam hari, bukan
empat hari.



Ini ditujukan untuk pengeboman yang bertujuan membunuh, merupakan
keadaan yang memberatkan terdakwa (penciptaan memberatkan pidana
tertentu)

23

“Overview Of The French Anti-Terrorism Strategy”, dalam “General Overview Of The French Anti-Terrorism
Strategies : NCTB Project”, hal 54

9



Hukuman untuk kasus-kasus teroris : 30 tahun untuk kepala perencana aksi
terorisme, dan 20 tahun jika hanya membantu dalam sebuah jaringan
terorisme.



Menteri Ekonomi akan meluncurkan prosedur cepat untuk membekukan aset,
sampai 6 bulan;



Sentralisasi di Paris yurisdiksi pelaksanaan kalimat



Pasal naturalisasi dan hilangnya kewarganegaraan: warga negara asing akan
harus menunggu selama 2 tahun untuk terlibat prosedur naturalisasi.
Seorang terpidana naturalisasi bisa kehilangan kewarganegaraan Perancis
selama tahun-tahun ke-15 setelah naturalisasi nya (10 tahun sebelumnya).



Bagian anti-terorisme dari kantor Negara Konsulat Paris akan menghitung 8
hakim pada tahun 2006 (seorang hakim investigasi 7 tiba pada bulan
September 2005).

Pada Sisi Preventif24


Pengaturan pemerintah pada umumnya, dan pengaturan individu bepergian
ke negara-negara berisiko (yaitu Irak, Pakistan, Suriah, Iran) pada khususnya.
Pesawat terbang, kereta api dan pengiriman perusahaan harus memberikan
data pribadi (nama, alamat, telepon, tanggal lahir dan profesi) kepada
Negara. Mobil akan secara otomatis mengawasi (fotografi pelat pendaftaran
dan

penumpang)

dan

file

ini

akan

dikaitkan

dengan

mobil

curian.

Pemeriksaan identitas akan lebih meningkat di kereta api antar negara.


Cyber kafe, internet dan penyedia telekomunikasi pada umumnya diperlukan
untuk menjaga selama satu tahun semua sambungan data mereka dan untuk
memberikan informasi terkait kepada pihak berwenang yang berhak,
tuntutan harus dibenarkan dan terpusat oleh kepribadian, di bawah Komisi
Nasional

untuk

Penaggulangan

dan

Keamanan

(Komisi

nationale

des

interceptions de sécurité);


Ekspansi utama dari video surveillance: badan hukum akan diizinkan untuk
film sekitar bangunan mereka, di jalan raya umum, dan berhak peneliti untuk
melihat gambar ini. Dalam keadaan darurat, Pengawas mungkin menyiapkan
video surveillance selama empat bulan, tanpa melalui komisi yang diketuai

24

“Overview Of The French Anti-Terrorism Strategy”, dalam “General Overview Of The French Anti-Terrorism
Strategies : NCTB Project”, hal 55

10

oleh seorang hakim. Pengawas akan dapat memaksakan perusahaan atau
lembaga yang akan diberikan bahan videosurveillance di tempat-tempat
berisiko (lokasi industri atau nuklir, stasiun kereta api).


Anti-teroris penyidik, pelayanan kepolisian, akan mendapatkan akses lebih
mudah untuk berbagai file (pendaftaran, paspor, izin tinggal) dan untuk
informasi yang spesifik seperti kereta, pesawat atau data kapal penumpang
atau terkait dengan jaringan internet.

Pembentukan Unit Anti Teror
Pada

Kementerian

Dalam

Negeri,

sebagian

besar

layanan

khusus

bertanggung jawab untuk tindakan melawan terorisme yang melekat pada
Direktorat Kepolisian Nasional (Direction générale de la polisi nationale - DGPN).
Serta melakuka peran tradisional kontraspionase, Direktorat Wilayah Nasional
Surveillance (Direction de la surveilans du territoire - DST) secara langsung
membantu untuk mencegah dan menghukum kegiatan teroris, menggunakan
kekuatan hukum dan administrasi polisi untuk tujuan itu. Direktorat Pusat Informasi
(Direction centrale des renseignements généraux - DCRG) terus menonton pada
kelompok yang dianggap radikal dan berpotensi melakukan aksi terorisme.
Kepolisian Pusat Direktorat (Arah centrale de la polisi judiciaire - DCPJ) melakukan
investigasi berbagai via Nasional Divisi Anti-Teroris (Divisi nationale antiterroriste DNAT). Dalam bidang kejahatan keuangan, salah satu kantor pusat khusus
mengelolanya.25
Unit Koordinasi Anti-Terorisme (Unité de koordinasi de la Lutte antiterroriste UCLAT) memusatkan informasi yang diberikan oleh berbagai layanan jawab kepada
Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, dan Departemen Ekonomi,
Keuangan dan Industri. Hal ini juga pertukaran informasi secara teratur dengan
otoritas yudisial. RAID polisi (Penelitian, Bantuan, Intervensi dan penasihatan
jangan) unit selalu tersedia untuk membantu DGPN dalam keadaan darurat. Polisi
perbatasan (Polisi aux Frontieres - PAF) kedatangan tersangka monitor dan
keberangkatan. Polisi Paris memiliki spesialisasi unit polisi administratif dan
peradilan. The Gendarmerie Nasional, yang bertanggung jawab kepada Menteri
25

“Committee Of Experts On Terrorism (Codexter) Profiles On Counter-Terrorist Capacity France”, Council Of Europe,
June 2006, hal 4

11

Dalam Negeri, memberikan kontribusi untuk tindakan terhadap terorisme melalui
cakupan luas wilayah domestik nasional dan kemampuannya untuk memobilisasi
layanan peradilan berbagai, yang dikoordinasi oleh Kantor Anti-Teroris di Umum
Direktorat.26
Dalam Departemen Pertahanan, Direktorat Jenderal Keamanan Eksternal
(Direction générale de la sécurité extérieure - DGSE) memainkan peran penting
dengan menyediakan informasi yang dikumpulkan di luar Perancis. Direktorat
Intelijen Militer (Arah du renseignement militaire - DRM) memiliki fasilitas untuk
deteksi (termasuk pengawasan satelit) dan analisis. Berdasarkan kekuatan militer,
terutama dalam hubungannya dengan operasi eksternal, Gendarmerie Nasional
juga memainkan peran penting. Selain itu, Keamanan dan Action Group (GSIGN)
secara permanen siap untuk bergerak melawan teroris. Akhirnya, Direktorat
Pertahanan, Perlindungan dan Keamanan (Arah de la perlindungan et de la sécurité
de la défense - DPSD) melindungi pertahanan-sektor personil dan tempat dalam arti
luas (negara dan industri) melawan terorisme. 27
Beberapa departemen di Kementerian Ekonomi, Keuangan dan Industri juga
terlibat dalam memerangi terorisme. Direktorat Nasional Informasi Kepabeanan dan
Investigasi (Arah nationale du renseignement et des enquêtes douanières - DNRED)
mengumpulkan, menganalisis dan beredar informasi pada pendanaan terorisme.
The TRACFIN (Traitement du renseignement et tindakan contre les sirkuit pemodal
clandestins) unitprocesses data pada sirkuit keuangan melanggar hukum dan
mengambil tindakan terhadap mereka. Ini mengumpulkan data, membandingkan
mereka dengan data dari departemen lain, dan melewati temuannya ke pengadilan.
Unit

FINATER

(didirikan

pada

bulan

Oktober

2001

untuk

merancang

dan

menerapkan pedoman menteri pada tindakan untuk mengekang pendanaan
terorisme) yang terlibat, antara lain, dalam pembekuan aset teroris. 28

26

“Committee Of Experts On Terrorism (Codexter) Profiles On Counter-Terrorist Capacity France”, Council Of Europe,
June 2006, hal 4
27
“Committee Of Experts On Terrorism (Codexter) Profiles On Counter-Terrorist Capacity France”, Council Of Europe,
June 2006, hal 4
28
“Committee Of Experts On Terrorism (Codexter) Profiles On Counter-Terrorist Capacity France”, Council Of Europe,
June 2006, hal 4

12

Spesialisasi departemen informasi dan polisi 29:


Mengembangkan DGSE (Direction générale de la sécurité extérieure atau
eksternal keamanan ditjen) staf counter terorisme departemen dan sumber
daya.



Menciptakan, melalui keputusan tanggal 27 Juni 2008, para DCRI (Arah
Centrale du Renseignement Intérieur atau interior intelijen pusat direktorat)
dengan penggabungan DST (Direction de la Surveillance du Territoire atau
nasional

surveilans

departemen)

dan

DCRG

(Arah

Centrale

des

Renseignements Généraux atau umum intelijen pusat direktorat) yang
memerangi terorisme adalah salah satu dari empat prioritas utama.


Koordinasi antara polisi dan gendarmerie nasional, dengan kedua memiliki
brigade terorisme sendiri counter (BLAT) disediakan oleh unit koordinasi
kontra terorisme (UCLAT).



Pembuatan koordinator intelijen nasional, di bawah tanggung jawab Presiden
Republik.

The Gendarmerie dan polisi Nasional (yang terakhir ini juga memiliki sendiri kontraterorisme skuad, yang BLAT) dikoordinasikan oleh Unit Koordinasi Anti-Terorisme
(UCLAT)30.


departemen pencegahan (DST berfungsi baik sebagai layanan informasi dan
departemen investigasi kriminal) dan hakim bertanggung jawab atas
penindasan memiliki instrumen hukum yang efektif, sehingga memungkinkan
untuk membongkar jaringan sebelum serangan bahkan dilakukan: sindikat
kejahatan dengan maksud untuk melakukan tindak teroris bertindak;



Hukum Januari 2006 memungkinkan Perancis untuk membuat daftar nasional
orang dan entitas yang terlibat dalam aksi terorisme, di samping daftar PBB
dan Eropa yang ada, memungkinkan untuk pembekuan aset keuangan.



Rencana Vigipirate, yang berkembang sesuai dengan penilaian departemen
khusus 'dari ancaman.

29

France Diplomatie, “Fight Against Terrorism”,
security/terrorism/ , diakses pada 27 Desember 2012
30
France Diplomatie, “Fight Against Terrorism”,
security/terrorism/ , diakses pada 27 Desember 2012

13

http://www.diplomatie.gouv.fr/en/global-issues/defencehttp://www.diplomatie.gouv.fr/en/global-issues/defence-

Kesimpulan
Melihat penanganan permasalahan terorisme di Perancis dapat terlihat
bahwa proses pemberantasan terorisme di Perancis bersifat Law Enforcement
dengan didirikannya Unit Koordinasi Anti-Teroris (Unité de koordinasi de la Lutte
antiterroriste - UCLAT) untuk menguatkan kerja sama dan integrasi antar lembaga
dalam upaya menangani ancaman terorisme. UCLAT memiliki tanggung jawab
langsung kepada Presiden. Tindakan penanganan terhadap ancaman terrorisme
yang dilakukan oleh Perancis juga bersifat tersentralisasi di bawah UCLAT.
Secara umum, jelas terlihat bahwa baik itu aktor militer, polisi maupun
intelijen, ketiga aktor saling berperan satu sama lain. Intelijen memberikan
informasi terkait isu-isu dan juga penilaian terhadap situasi yang dihadapi oleh
Perancis terkait terorisme. Tugas intelijen ini berguna untuk memfasilitasi kebijakan
dan tujuan kebijakan yang akan diambil oleh Perancis. Sedangkan dua aktor lain
yaitu polisi dan juga militer, lebih kepada langkah aktif dalam usaha implementasi
kebijakan seperti langkah pencegahan dan perlindungan yang sudah disebut
sebelumnya. Polisi dalam tugasnya banyak bekerja sama dengan militer untuk
melindungi infrastruktur penting yang ada dalam Perancis serta juga melindungi
berbagai pintu masuk dan keluar serta perbatasan dari Perancis. Tempat-tempat
seperti pelabuhan, bandara, terminal dan juga stasiun menjadi tempat diproritaskan
untuk dijaga dan dilindungi dari serangan terorisme. Dengan mekanisme seperti ini,
dapat dikatakan bahwa dalam upaya anti terorisme, Perancis tidak hanya fokus
pada satu aktor saja, namun juga memiliki langkah komprehensif karena masingmasing aktor keamanan memiliki fungsi dan tugas yang jelas dan saling bekerja
sama.

Referensi


Camilleri,

Raphaelle,

“Impact

Of

Counter-Terrorism

On

Communities:

France

Background Report”, Institute For Strategy Dialogue


De Lamothe , Olivier Dutheillet, “French Legislation Against Terrorism : Constitutional
Issues”, 2006



Khosrokhavar, Farhad, “Terrorism in Europe and the Middle East”, Centre for Studies
in Islamism and Radicalisation (CIR), (Aaarhus : Aarhus University, 2011)

14



Thachuk, Kimberley L., Marion E. Bowman, and Courtney Richardson , “Homegrown
Terrorism : The Threat Within”, Center for Technology and National Security Policy
National Defense University, (Washington DC : 2008)



“Committee Of Experts On Terrorism (Codexter) Profiles On Counter-Terrorist
Capacity France”, Council Of Europe, June 2006



“The Steady Integration of France’s Most Recent and Largest Minority”, dalam
“Muslim In France”



“Overview Of The French Anti-Terrorism Strategy”, dalam “General Overview Of The
French Anti-Terrorism Strategies : NCTB Project”,



“Strategi

danKebijakan

Kontra

Terorisme:

Pendekatan

Militer“,

dalam

Modul

Pengajaran Mata Kuliah Terorisme Di Indonesia, Program Magister Terorisme Dalam
Keamanan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI 2011
Situs Online


BBC

News

Online,

“Muslims

in

Europe:

Country

Guide”,

http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4385768.stm , diakses pada 27 Desember 2012


The

Guardian

Online,

“Four

Convicted

of

Strasbourg

http://www.guardian.co.uk/world/2003/mar/10/germany.france

,

Bomb

Plot

”,

diakses

pada

27

Desember 2012


The Washington Post Online, “Six Guilty of Targeting U.S. Embassy in Paris”,
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A37035-2005Mar15.html

,

diakses

pada 27 Desemebr 2012


France Diplomatie, “Fight Against Terrorism”, http://www.diplomatie.gouv.fr/en/globalissues/defence-security/terrorism/ , diakses pada 27 Desember 2012

15