makalah kuliah terkait dengan kaidah fiq

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

P age |1

ABSTRAK

Qawa’id al-ahkam atau qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah umum yang
di atasnya dibangun sejumlah hukum syari’at. Salah satu kaidah fiqhiyyah adalah
I’malu al-kalam awla min ihmalihi. Kaidah ini oleh sebagian ulama ditambahkan
kedalam kaidah kubra yang semula hanya lima.
Kaidah ini memiliki sejumlah cabang kaidah, penerapan dan pengecualiannya.
Masing-masing cabang memiliki contoh, batasan dan pengecualiannya masingmasing.

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

Pa ge |2

A. PENDAHULUAN

Khazanah keilmuan Islam memiliki dimensi yang beragam dan luas.
Keragaman dan keluasannya itu membuka kesempatan kepada para ulama untuk

mendalami salah satu dimensinya. Itu tanpa harus mengabaikan kelimuan lain
karena adanya hubungan antara masing-masing ilmu.
Al-Qawa’id al-fiqhiyyah adalah salah satu keilmuan Islam yang memiliki
peran yang sangat penting dalam mewarnai kefaqihan seorang ulama. Kaidah
fikih adalah asas yang di atasnya dibangun sejumlah besar hukum Islam. Adalah
gambaran yang jelas bagi ide-ide dan ketetapan-ketetapan fiqih amali pada
umumnya. Adalah hukum yang menyajikan sejumlah hukum lain yang berkaitan
yang tidak kita temukan nashnya dalam al-Quran maupun sunnah.
Qa’idah fiqhiyyah sendiri adalah intisari dari dalil al-Quran dan Sunnah
ada yang secara langsung ada pula yang hasil pengkajian ulama fikih. Namun
begitu tidak mengurangi nilai dari ilmu ini. Urgensinya bisa kita lihat dari apa
yang dikatakan oleh Muhammad Shidqi al-Bourno,1

‫إن دراﺳﺔ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ ﺗﻜﻮن ﻋﻨﺪ اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻣﻠﻜﺔ ﻓﻘﮭﯿﺔ ﻗﻮﯾﺔ ﺗﻨﯿﺮ أﻣﺎﻣﮫ اﻟﻄﺮﯾﻖ‬
‫ﻟﺪراﺳﺔ أﺑﻮاب اﻟﻔﻘﮫ اﻟﻮاﺳﻌﺔ واﻟﻤﺘﻌﺪدة وﻣﻌﺮﻓﺔ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ واﺳﺘﻨﺒﺎط‬
‫اﻟﺤﻠﻮل ﻟﻠﻮﻗﺎﺋﻊ اﻟﻤﺘﺠﺪدة واﻟﻤﺴﺎﺋﻞ اﻟﻤﺘﻜﺮرة‬
Di antara kaidah fiqih yang sangat memengaruhi kefikihan seorang ulama
adalah kaidah, 

‫اﻋﻤﺎل اﻟﻜﻼم أوﻟﻰ ﻣﻦ إھﻤﺎﻟﮫ‬

Meskipun para ulama belum memasukan kaidah ini ke dalam kaidah
kubra dan belum membahasnya secara mendalam hingga kita lihat hanya sedikit
kaidah-kaidah turunannya dalam kitab-kitab klasik. Namun kenyataannya, kaidah
ini memiliki cabang yang sangat banyak.

1

30 .‫ ص‬.1 .‫ ھـ ج‬1416 .1 .‫ ط‬.‫ دﻣﺴﻖ‬.‫ ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬.‫ ﻣﻮﺳﻮﻋﺔ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬.‫ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‬

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

Pa ge |3

Selain itu juga, sebelum masuk pada kaidah-kaidah fiqh lain, sikap para
ulama dalam memperlakukan teks al-Quran maupun hadits harus melewati
kaidah ini terlebih dahulu. Baru kemudian mengambil satu kaidah fikih lain. Maka
wajar jika Syaikh Najib Mahmud Musthafa dalam tesisnya memasukan kaidah ini
ke dalam kaidah kubra yang semula berjumlah lima. Ditambah lagi, semua ulama
sepakat dengan kaidah ini.2
Terlepas dari di mana kedudukan kaidah ini di antara kaidah-kaidah

fiqhiyyah lainnya, kaidah ini merupakan bagian dari khazanah keilmuan Islam
yang terpola dalam akal pikiran para fuqaha.
Makalah ini akan coba membahas lebih lanjut tentang kaidah ini mulai
dari ta’rif, penerapan, cabang-cabang sampai pada kasus-kasus yang dikecualikan
dari kaidah ini. Insya Allah Ta’ala.

B. Definisi dan Penerapan Kaidah
1. Definisi Kaidah

‫إﻋﻤﺎل اﻟﻜﻼم أوﻟﻰ ﻣﻦ إھﻤﺎﻟﮫ‬
“menerima satu pernyataan lebih utama dari pada mengabaikannya.”

Secara sintaksis kebahasaan, kaidah tersebut adalah jumlah ismiyyah atau
nominative tense yang terdiri dari tarkib izhafi (frase nomina) ‫ إﻋﻤﺎل اﻟﻜﻼم‬yang
merupakan mubtada atau satu fungsi dalam kalimat yang diterangkan
kedudukannya oleh kata atau frase berikutnya yaitu kata ‫ أوﻟﻰ‬yang merupakan
isim tafdhil dari kata ‫ اﻻول‬yang artinya lebih utama atau lebih didahulukan.
Ada dua variable yang mungkin kita artikan secara terpisah dari kaidah
itu, yaitu I’malu al-kalam dan ihmalu al-kalam. 3
I’malu al-kalam adalah


‫إﻋﻄﺎؤه ﺣﻜﻤﺎ ﻣﻔﯿﺪا ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﺎه اﻟﻠﻐﻮي‬
Adapun ihmalu al-Kalam adalah 
2

314 .‫ ص‬.1996 .4 .‫ ط‬.‫ ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬.‫اﻟﻮﺟﯿﺰ ﻓﻲ إﯾﻀﺎح ﻗﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮫ اﻟﻜﻠﻲ‬.‫ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‬
219 .‫ ص‬.2 .‫ ھـ ج‬1416 .1 .‫ ط‬.‫ دﻣﺴﻖ‬.‫ ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬.‫ ﻣﻮﺳﻮﻋﺔ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬.‫ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‬, lih juga ‫ﻣﺤﻤﺪ‬
315 .‫ ص‬..‫اﻟﻮﺟﯿﺰ ﻓﻲ إﯾﻀﺎح ﻗﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮫ اﻟﻜﻠﻲ‬.‫ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‬

3

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

Pa ge |4

‫ﻋﺪم ﺗﺮﺗﺐ ﺛﻤﺮة ﻋﻤﻠﯿﺔ ﻋﻠﯿﮫ ﺑﺈﻟﻐﺎء ﻣﻘﺘﻀﺎه وﻣﻀﻤﻮﻧﮫ‬
Adapun maksud keseluruhan dari kaidah itu adalah bahwa kita tidak layak
mengabaikan satu pernyataan/perkataan jika itu bisa atau memiliki makna. Itu
karena tidak mungkin seorang yang berakal mengatakan sesuatu tanpa merujuk
pada satu makna, baik itu makna hakiki maupun makna majazi, asalkan cocok4.

Ketika satu perkataan diabaikan padahal memiliki makna baik hakiki atau
yang lainnya maka itu merupakan satu kesia-siaan,5 dan itu hal yang mustahil
ada dalam nash syari’ah. Namun ketika memang tidak ada makna yang mungkin
disimpulkan dari perkataannya itu, maka tentu perkataan itu tidak perlu
dianggap.6
Setiap kata yang berasal dari nash syari’at atau bahkan dalam kehidupan
sehari-hari pun, jika itu merujuk pada salah satu makna yang memungkinkan
maka akan ada konsekuensi hukumnya. Namun jika maknanya itu dibawa
kepada makna yang lain seperti makna kiasan, maka konsekuensi hukum dari
makna hakikinya tidak ada.7
Cukup bagi kita satu penegasan dari al-Allamah al-Kurabisi, beliau
berkata:

‫ﻻ ﯾﺠﻮز إﻟﻐﺎء اﻟﻠﻔﻆ ﻣﻊ إﻣﻜﺎن إﻋﻤﺎﻟﮫ‬
2. Penerapan Kaidah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa kaidah yang dibahas di
sini maksudnya adalah agar kita mengartikan satu perkataan dengan satu makna
yang mungkin, dari pada mengabaikannya. Ini berlaku dalam kasus misalnya ada
seseorang yang berkata “aku wasiatkan atau wakafkan hartaku ini untuk
anakku”, jika kenyataannya dia punya anak, maka yang dimaksud adalah anak

kandungnya, tapi jika kenyataannya dia tidak memiliki anak kandung atau yang
ada itu cucunya maka kita coba menarik arti dari kata anak itu kepada makna

4

63 .‫ ص‬. 1989 .3 .‫ ط‬.‫ دﻣﺸﻖ‬.‫ دار اﻟﺘﺮﻣﺬي‬.‫ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ ﻣﻊ ﺷﺮح اﻟﻤﻮﺟﺰ‬.‫ ﻋﺰت ﻋﺒﯿﺪ اﻟﺪﻋﺎس‬.
315 .2 .‫ ط‬.1989 .‫ دﻣﺸﻖ‬.‫ دار اﻟﻘﻠﻢ‬.‫ ﺷﺮح اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬.‫أﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﺰرﻗﺎ‬
6
Lih. 355 .‫ ص‬.1991 .2 .‫ ط‬.‫ دﻣﺸﻖ‬.‫ دار اﻟﻘﻠﻢ‬.‫ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬.‫ﻋﻠﻰ أﺣﻤﺪ اﻟﻨﺪوي‬
7
315 .‫ ص‬.1996 .4 .‫ ط‬.‫ ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬.‫اﻟﻮﺟﯿﺰ ﻓﻲ إﯾﻀﺎح ﻗﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮫ اﻟﻜﻠﻲ‬.‫ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‬

5

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

Pa ge |5

majazi atau makna selain makna anak kandungnya yaitu anak angkat atau
cucunya. Mengartikan kata anak dalam perkataan tadi dengan arti majazi itu

lebih baik dari pada mengabikannya.8
Contoh lain misalnya, seseorang berkata tentang keledai miliknya dan
istrinya, “salah satunya thaliq” maka jatuh thalak. Lain halnya jika ucapan itu
disampaikan pada dua orang perempuan, istrinya dan perempuan lain. Maka
tidak jatuh thalak.
Demikian juga halnya jika ada orang yang bersumpah “Saya tidak akan
memakan sesuatu dari pohon kurma ini.” Kemudian ketika dia ternyata
memakan buah dari dari pohon kurma itu atau memakan madu yang diambil dari
pohon kurma itu maka dia telah melanggar sumpahnya. Itu karena pada
dasarnya pohon kurma tidak dimakan batang pohonnya tetapi sesuatu yang
dihasilkan olehnya.9
Kasus lain misalnya, ada seseorang yang bersumpah untuk tidak memakan
sesuatu yang dari bejana tertentu, maka maksudnya adalah segela sesuatu yang
dimasak dalam bejana tersebut.
Demikian seterusnya sampai pada satu kesimpulan makna, baik makna
hakiki maupun makna majazi. Namun ketika memang keduanya tidak
memungkinkan maka kita boleh mengabaikan ucapan itu. Misalnya seseorang
berkata kepada istrinya: “ini anak perempuanku.” maka tidak berubah menjadi
mahram baik umurnya lebih tua atau pun lebih muda.
Baik dengan makna hakiki maupun dengan makna majazi, sulit bagi kita

untuk memahami kalimat tersebut. Seolah itu menjadi sebuat teka-teki. Ketika
ini terjadi, maka jika kita mengusahakan mencari makna perkataannya itu sama
saja dengan melakukan kesia-siaan.
Perkataan tersebut tidak mungkin diartikan dengan arti sebenarnya karena
tidak mungkin istrinya itu anaknya jika umurnya lebih tua, dan jika umurnya lebih
muda tentu kepastian yang sudah diketahui oleh kebanyakan bahwa istrinya
memiliki nasabnya sendiri. Sedangkan kita punya satu kaidah

‫إﻗﺮار ﻓﻲ ﺣﻖ ﻧﻔﺴﮫ ﻻ ﯾﻌﺘﺒﺮ إﻗﺮار ﻓﻲ ﺣﻖ ﻏﯿﺮ‬
8
9

315 .‫ ص‬.‫ اﻟﻮﺟﯿﺰ‬.‫اﻟﺒﺮﻧﻮ‬

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

Pa ge |6

Adapun bahwa perkataan itu tidak bisa diartikan dengan arti majazi itu
karena perkataan “Ia anakku” itu diucapkan dengan maksud mentalak (talak

maharrim) sedangkan kata “anakku” tidak bisa dipinjam untuk menunjukan
makna talak yang merupakan salah satu hak dalam pernikahan.10
Sebagai sebuah catatan, Imam as-Subki berkata bahwa kaidah ini
menyamakan antara i’mal dan ihmal jika dikaitkan dengan satu perkataan.
Namun ketika i’mal dipilih dengan mencoba memahami perkataan tersebut dan
nyatanya malah membuatnya merasa bahwa perkataan perkataan tadi lebih
merupakan satu alibi untuk menyamarkan maksud penuturnya maka
mengabaikan perkataan tadi lebih didahulukan.11

C. Kaidah Cabang dan Aplikasinya
Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang merupakan cabang dari kaidah ini adalah
sebagai berikut:
1.

‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻜﻼم اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ‬
Al-Ashlu disini ialah makna yang rajih bagi pendengar, yaitu si pendengar
menarik ucapan si penutur kepada makna hakiki. Adapun hakiki di sini adalah isim
fa’il yang bermakna maf’ul, yaitu sifat bagi sesuatu yang dibuang, yaitu kata alkalimah, maknanya adalah lafazh yang digunakan untuk menunjukan makna
leksikalnya. Seperti kata ‘singa’ yang menunjukan jenis hewan buas.12
Kebalikan dari makna hakiki adalah makna majazi. Yaitu lafazh yang

digunakan dengan makna yang bukan makna leksikalnya karena ada satu alasan
yang menghalangi penggunaan makna leksikalnya. Contohnya, menggunakan kata
cahaya untuk makna ilmu atau untuk makna islam.
Makna kaidah ini menurut terminology ilmu fikih, bahwa menyikapi
perkataan, baik itu nash, atau akad dan sumpah seseorang, atau pun yang lainnya
pada dasarnya

mesti menarik perkataan tadi pada makna hakikinya/makna

leksikalnya sepanjang tidak ada qarinah yang lebih menguatkan makna majazinya.

10

Ibid. h. 316
58 .‫ ص‬.‫ھـ‬141 .3 .‫ ط‬.‫ ﻣﻄﺒﻊ اﻟﻤﺪﻧﻲ‬.‫ ﻣﻜﺔ ﻣﻜﺮﻣﺔ‬.‫ إﯾﻀﺎح اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬.‫ﻋﺒﺪ اﷲ اﻟﻠﺤﺠﻲ‬
12
318 .‫ﺑﻮرﻧﻮ‬
11

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik


Pa ge |7

Contohnya, jika si A berkata kepada si B, “Saya hadiahkan barang ini
untukmu.” Lalu si B mengambil barang itu dan pergi. Kemudian tiba-tiba si A
memanggil kembali dan menjelaskan maksudnya, bahwa yang dia maksud adalah
menjual barang namun menggunakan kata menghadiahkan, lantas meminta
bayarannya. Maka alasannya ini tidak dibenarkan. Itu karena arti asal hibbah adalah
memindahkan kepemilikan tanpa ada pengganti berupa harga.
Lain halnya jika si A tadi berkata, “Saya hadiahkan barang ini dengan harga dua
dinar.” kata “hadiah di sana bisa diartikan menjual karena ada bukti perkataan dua
dinar yang merupakan harga pengganti dari barang tersebut.
Contoh lain, jika seseorang mewakafkan hartanya untuk anak-anaknya, maka
baik anak laki-laki maupun anak perempuan, keduanya available. Karena kata anak
itu meliputi anak laki-laki dan perempuan.
Jika seseorang misalnya berkata, “Rumah ini milik Pak Udin”, dan perkataan
tersebut merupakan ikrar kepemilikan, maka ketika suatu saat dia berkata, bahwa
maksudnya adalah ditempati oleh Pak Udin, maka penjelasnnya ini tidak perlu
dihiraukan.

2.

‫إذا ﺗﻌﺬرت اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ ﯾﺼﺎر إﻟﻰ اﻟﻤﺠﺎز‬

ŏ

Al-haqiqah ialah al-ashlu al-rajih al-muqaddam fi al-I’tibar. Adapun majaz
adalah cabang dari haqiqah. Karena majaz itu berada di balik makna hakikah, itu
artinya ketika satu kata memiliki dua kemungkinan makna antara hakiki dan majazi
makna yang diambil adalah makna hakiki.
Contohnya, makna hakiki dari lafazh nikah menurut madzhab Hanafi adalah
al-wath`u atau bercampur, bukan akad. Dalilnya

N M L KJ I H G F E D C B A @ M
٢٢ :‫ اﻟﻨﺴﺎء‬L R Q P O
Atas dasar itu maka menurut hanfiyyah menikahi perempuan yang pernah berzina
dengan ayahnya itu haram. Sedangkan menurut jumhur artinya di sana adalah akad.
Contoh lain, misalnya seseorang berkata tentang hamba sahayanya yang
sudah jelas diketahui nasabnya, “ini anaku. Ibu nya adalah ummu al-walad. maka
maksudnya adalah untuk menegaskan kepemilikan hamba sahaya terbut, bukan

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

Pa ge |8

membatalkan nasabnya. Artinya pernyataan tadi adalah majaz dari kata
“memerdekakan.”
Ada syarat yang membolehkan makna hakiki ditarik ke makna majazi yaitu
adanya qarinah yang menghalangi penggunaan makna hakiki, seperti kemustahilan
pemakaian makna hakiki li ta’adzur, atau ketika jika diartikan dengan makna asalnya
itu bertentangan dengan syari’at atau dengan urf.
Contoh penerapan kaidah ini, misalnya seseorang berkata: “saya wakafkan
harta ini untuk anakku, padahal semua orang tahu bahwa dia tidak memiliki anak,
yang ada adalah cucunya. Maka makna anak di sana ditarik ke makna cucu, sebagai
majaz.
Contoh lain, misalnya seseorang berkata kepada wanita ajnabi, “Jika aku
menikahi mu maka bagimu adalah ini dan itu, menurut madzhab hanafi perkataan
ini harus ditarik kepada majaz. Itu karena kata nakaha arti asalnya adalah al-wath’u
atau jima’. Sedangkan dalam kalimat di sana yang dimaksud dalah akad nikah.
Kalimat tersebut mesti diartikan akad nikah (arti majazi menurut hanafi) karena
kalau diartikan dengan makna hakiki tentu akan bertentangan dengan syari’at, yaitu
haramnya berbuat zina.
Contoh terakhir misalnya, jika seseorang bersemupah, “Saya tidak akan
memakan sesuatu dari tepung ini”, maka tentu bukan tepung dalam arti hakiki,
karena memakan tepung itu tidak dikenal menurut adat. Ada juga memakan sesuatu
yang terbuat dari tepung itu, semisal roti. Maka pernyataan tadi mesti diartikan
dengan arti majazi, yaitu tidak akan memakan sesuatu yang terbuat dari tepung
tersebut.

3.

‫إذا ﺗﻌﺬر إﻋﻤﺎل اﻟﻜﻼم ﯾﮭﻤﻞ‬
Makna dari kaidah ini adalah ketika memang satu pernyataan tidak bisa
dipahami dengan benar, baik dengan makna hakiki maupun makna majazi, karena
mungkin terkadang hanya berupa omong kosong atau candaan, maka kita tidak
perlu menganggap ucapan tersebut.
Di antara sebab satu pernyataan boleh diabaikan adalah:
-

Jika memang tidak bisa dipahami dengan benar baik dengan makna hakiki
maupun makna majazi, misalnya jika seseorang berkata kepada istrinya
yang umurnya lebih tua darinya dan nasabnya diketahui, bahwa “ini
adalah anak perempuanku.”

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik
-

Pa ge |9

Jika pernyataannya tidak dikenal dalam syari’at. Misalnya seseorang
berkata kepada salah seorang dari dua istrinya, “engkau saya thalak
dengan thalak empat.” Kemudian si istri berkata, “bagiku cukup talak
tiga.” Lantas dia melanjutkan “Yang satu lagi tambahan buat istriku yang
lain.” Maka pernyataan talak ini tidak available kepada kedua istrinya
tadi. Itu karena talak empat tidak tidak dikenal dalam syari’at dan lebih
merupakan gurauan/kesia-siaan. Ketika itu dianggap hanya sebatas
laghwun maka tentu pernyataan keduanya pun batal.

-

Ketika satu pernyataan bertentangan dengan kenyataan yang tampak.
Misalnya seseorang yang mengaku-ngaku telah memotong tangan si A,
tapi kenyataannya si A masih memiliki kedua tangannya, atau seseorang
yang mengaku telah membunuh si B, tapi nyatanya si B masih hidup.

-

Ketika pernyataan tersebut menyalahi syari’at. Misalnya seseorang
memutus bahwa saudara perempuannya mewarisi dua kali lipat
bagiannya dari warisan yang ditinggalkan oleh ayah mereka.

Pernyataan-pernyataan yang termasuk pada kenyataan-kenyataan di atas
dianggap sebagai satu laghwun dan tidak berimplikasi apa pun. 13

4.

‫ذﻛﺮ ﺑﻌﺾ ﻣﺎ ﻻ ﯾﺘﺠﺰأ ﻛﺬﻛﺮ ﻛﻠﮫ‬
Redaksi kaidah ini pada asalnya adalah,

‫اﻻﺻﻞ أن ﻣﺎ ﻻ ﯾﺘﺠﺰأ ﻓﻮﺟﻮد ﺑﻌﻀﮫ ﻛﻮﺟﻮد ﻛﻠﮫ‬
Imam Az-Zarkasi membuat redaksi lain dari kaidah ini, yaitu:

‫ﻣﺎ ﻻ ﯾﻘﺒﻞ اﻟﺘﺒﻌﯿﺾ ﯾﻜﻮن إﺧﺘﯿﺎر ﺑﻌﻀﮫ ﻛﺎﺧﺘﯿﺎر ﻛﻠﮫ وإﺳﻘﺎط ﺑﻌﻀﮫ‬
‫ﻛﺈﺳﻘﺎط ﻛﻠﮫ‬
Ibnu al-Hudzail al-Hanafi tidak menyepakati kaidah ini. Menurut beliau
ketika memang ada satu pernyataan semacam ini, maka pernyataan tersebut
tidak perlu dianggap.
Makna dari kaidah ini adalah apabila ada memang satu pernyataan itu
lebih baik diambil dari pada diabaikan, maka penyebutan satu bagian dari
13

Ibid. 221

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

P a g e | 10

segala sesuatu yang tidak memiliki bagia-bagian, hukumnya sama dengan
menyebutkan keseluruhannya. Tapi ini bisa dua kemungkinan, apakah
diterima pernyataan tersebut dengan menarik ba’dhu kepada kulli, atau
diabaikan saja pernyataan tersebut seperti kata Ibnu al-Hudzaili. Namun
berangkat dari kaidah dasar, bahwa menghiraukan satu ucapan lebih baik dari
pada mengabaikannya.
Contoh dari kaidah ini, misalnya, jika seseorang berkata kepada istrinya,
“saya talak kamu dengan setengah talak.” Maka itu sama artinya dengan satu
talak penuh. Misal lain, seseorang yang berkata ingin mengurus seperempat
dari diri si B, maka artinya itu mengurus diri si B sepenuhnya.
Contoh lain, seseorang yang mengizinkan hamba sahayannya dalam satu
macam perniagaan, artinya dia mengizinkan untuk keseluruhan transaksinya.
Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “Saya mesti shalat shubuh satu
raka’at”, maka hukumnya mesti mengerjakan dua raka’at.
Contoh lain, jika seorang perempuan yang bersih dari haid diakhir waktu
shalat yang hanya menyisakan waktu yang hanya cukup untuk mandi, dan
ketika ia shalat akan masuk waktu muharramah, maka dia mesti shalat dan
shalatnya sah.
Permasalahan yang dikecualikan dari kaidah ini di antaranya,
-

Setengah dari diriku adalah penanggung bagimu . Maka akad kafalahnya
tidak sah.

-

Jika seseorang memangkas setengah/sebagian dari had pelaku qadzaf
(memfitnah perempuan yang terhormat), maka pernyataan tersebut
tidak berlaku.

-

Jika seseorang berkata kepada istrinya, anti ‘alayya kadhahri ummi maka
ini jelas jatuh hukum zhihar. Namun ketika seseorang hanya berkata, anti
ka ummi (kamu seperti ibu ku), maka itu tidak berlaku zhihar karena
maksud dari pernytaan itu adalah misalnya kesopanannya, kasih
sayangnya, atau yang lainnya.

5.

‫اﻟﻤﻄﻠﻖ ﯾﺠﺮي ﻋﻠﻰ إﻃﻼﻗﮫ ﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﻘﻢ دﻟﯿﻞ اﻟﺘﻘﯿﯿﺪ ﻧﺼﺎ أو دﻻﻟﺔ‬
Ini adalah kaidah cabang yang ke lima dari kaidah induknya. Definisi dari kata
al-muthlaq sendiri adalah

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

P a g e | 11

‫ھﻮ ﻣﺎ دل ﻋﻠﻰ أﻣﺮ ﻣﺠﺮد ﻋﻦ اﻟﻘﯿﻮد اﻟﺘﻲ ﺗﻮﺟﺐ ﻓﯿﮫ ﺑﻌﺾ اﻟﻤﻌﺎﻧﻲ او‬
.‫اﻟﺤﺪود‬
Yaitu kata yang menunjukan pada sesuatu yang tidak memiliki batasanbatasan yang mungkin membantasi maknanya.
Adapun Para ulama ushul mendefinisikan

‫ھﻮ اﻟﻠﻔﻆ اﻟﺸﺎﺋﻊ ﻓﻲ ﺟﻨﺴﮫ ﺑﻼ ﺷﻤﻮل وﻻ ﺗﻌﯿﯿﻦ‬
Lafazh yang umum menurut zatnya, tanpa mencakup seluruhnya dan tanpa
menetapkan satu ketentuan.

Sedangkan al-muqayyad adalah

‫ھﻮ اﻟﺬي ﯾﻜﻮن ﻣﺤﺪدا ﺑﺸﻲء ﻣﻦ ﺗﻠﻚ اﻟﻘﯿﻮد‬
Yaitu lafazh yang dibatasi dengan satu kategori.

Dari dua definisi di atas kita sudah langsung bisa membedakan antara lafazh
yang muthlak dan lafazh yang muqayyad, yaitu terletak pada ada atau
tidaknya pembatas. Jika kita mengatakan “kuda” maka itu termasuk lafazh
Muthlak, artinya bisa kuda mana saja, sedangkan jika kita katakana “kuda
putih” maka termasuk muqayyad, artinya kata putih membatasi makna kuda
yang konsekuensinya kuda hitam, coklat dan yang selain putih tidak masuk
kategori.

Setelah kita mengetahi definisi dan contoh dari lafazh muthlaq dan
muqayyad, kita beralih ke makna dari kaidah ini sendiri, yaitu, lafazh yang
muthlaq diamalkan sesusai dengan kemuthlakannya sampai ada dalil yang
mengikatnya dengan satu kategori baik itu berupa teks/nash maupun dilalah
al-hal.
Contoh dari kaidah ini, misalnya
-

Seseorang yang menyuruh hamba sahayanya membelikan satu ekor
kuda, kemudian si hamba sahaya itu membeli kuda berwarna putih.
Maka ketika yang diinginkan si tuannya itu kuda hitam, yang dipegang
adalah apa yang dibeli oleh si hamba sahaya, bukan keinginan si tuan. Itu

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

P a g e | 12

karena ketika menyuruh si hamba sahayanya, si tuan tersebut tidak
menentukan warna kuda yang harus dibeli.
-

Akad sewa atau pinjam yang muthlaq berimplikasi pada dibolehkannya
segala bentuk pemanfaatan dari barang sewaan atau pinjaman tersebut
selama tidak melampaui batas.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pembatasan itu bisa dengan nash
atau sesuatu yang tersurat/terucapkan, seperti “Jual ini dengan 20 dirham”
maka tidak boleh lebih murah dari pada itu. Namun demikian ada satu kondisi
yang memang secara tidak tersirat sudah menggiring satu lafazh menjadi
muqayyad. Ini yang sebelumnya disebut taqyid bi dilalah baik itu urf atau
kondisi. Misalnya seorang pelajar ilmu agama meminta temannya membelikan
buku tanpa menyebutkan buku apa, namun tentu maknanya bukan sembarang
buku, tapi buku agama. Demikian halnya bahwa menyuruh seseorang
membelikan satu benda dibatasi dengan harga pasarannya, tidak kemahalan.

6.

‫اﻟﻮﺻﻒ ﻓﻲ اﻟﺤﺎﺿﺮ ﻟﻐﻮ و ﻓﻲ اﻟﻐﺎﺋﺐ ﻣﻌﺘﺒﺮ‬
Sebelum kita memahami makna dari kaidah ini, ada baiknya kita

memahami makna dari beberapa kata yang menyusun kaidah tersebut.
Pertama, al-washfu atau sifat, yaitu satu kondisi yang berlaku atau
melekat pada sesuatu yang disifatinya. Kedua al-laghwu atau sia-sia,
maknanya disini adalah batil atau tidak memiliki hukum atau konsekuensi
apa pun. Ketiga, al-Mu’tabar yaitu dianggap atau dihitung.
Adapun makna keseluruhannya adalah menyebutkan sifat sesuatu
yang ada ketika itu dengan adanya isyarat pada sesuatu itu maka
penyebutan sifat itu tidak berlaku. Itu karena isyarat langsung pada
sesuatu itu lebih kuat dari pada penyebutan sifat-sifatnya. Adapun
penyebutan sifat tentang sesuatu yang memeng tidak ada ketika itu mesti
dianggap karena itu bisa menghilangkan kesamaran atau agar lebih
definitive.
Ranah dari kaidah ini adalah dalam masalah pertukaran barang baik
itu jual beli, sewa menyewa, dan nikah yang memang syarat sahnya adalah

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

P a g e | 13

adanya kejelasan, yaitu dengan menyebutkan ciri-cirinya. Ini berlaku
memang jika sesuatu itu tidak ada atau diisyaratkan dengan isyarat yang
tidak jelas.
Jika dalam keadaan sesuatu itu tidak ada, kemudian disifati dengan
sifat yang ternyata ada perbedaan maka akad itu bisa batal.
Contoh dari kaidah ini di antaranya:
-

Jika seseorang berkata “saya jual kuda putih ini.” Sambil menunjuk
pada kuda tersebut yang ternyata kudanya hitam, maka ketika si
pembeli menerima jual belinya sah, ada pun penyebutan warna
kudanya tidak perlu dianggap. Akan tetapi jika kudanya itu tidak
ada ketika transaksi berlangsung maka ketika disebutkan kudanya
itu berwarna putih yang ternyata warnanya hitam, maka si pembeli
boleh memilih.

-

Jika seseorang berkata, “saya jual batu permata ini” kemudian
diketahui ternyata itu adalah pecahan kaca, maka akad jual-belinya
batal meskipun dikuatkan dengan isyarat.

-

Jika seseorang menjual sapi yang bisa diambil susunya, namun
ternyata susu sapi itu kering maka si pembeli bisa memilih antara
meneruskan transaksi atau membatalkannya.

Batasan kaidah:
Kaidah

ini terbatas pada sifat yang dimaksdukan

untuk

menjelaskan suatu benda, bukan sifat yang menjadi syarat
misalnya dalam sumpah atau yang mengarah pada satu sumpah.
Contoh yang pertama, seseorang berkata kepada istrinya, “Jika
kamu masuk rumah dengan berkendaraan, maka kamu akan aku
talak.” Pernyataan ini berlaku saat hadir maupun tidak. Itu karena
mensifati satu syarat sama dengan syarat itu sendiri. Contoh yang
kedua, jika seseorang bersumpah, “Saya tidak akan memakan
kurma matang ini atau anggur ini.” maka jika dia memakannya

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik

P a g e | 14

setelah kurma itu kering atau seteleh anggur itu menjadi kismis,
sumpahnya itu tidak batal.14

7.

‫اﻟﺴﺆال ﻣﻌﺎد ﻓﻲ اﻟﺠﻮاب أو ﻛﺎﻟﻤﻌﺎد ﻓﻲ اﻟﺠﻮاب‬
Makna dari kaidah ini ialah, jika satu pertanyaan yang rinci
dijawab dengan kata-kata semisal ‘ya’, ‘tentu saja’, dan ‘betul sekali’
maka artinya terkandung dalam pernyataan tadi. Itu karena secara
semantic kata-kata tadi bergantung pada rincian yang terkandung
dalam pertanyaannya. Misalnya, si A bertanya keada si B, “apakah
kamu mengambil uang si C.” si B menjawab, “Ya.” Maka artinya si B
mengambil uang si C.
Contoh lain, jika seseorang bertanya, “Apakah kamu yang
membunuh si pulan.” Maka dia menjawab, “iya” maka artinya dia
benar telah membunuh si pulan.

Catatan/koreksi:
Terkadang maksud dari satu pertanyaan di sini lebih umum dari apa
yang dipertanyakannya, yaitu meliputi berita dan perintah. Contohnya,
-

Jika seseorang menjual barang orang lain dan kemudian
menyampaikannya pada si pemilik barang, maka ketika berita itu
sampai kepadanya lantas dia menyetujuinya, maka jual-belinya sah.

-

Jika seseorang berkata kepada si pulan, “Aku jual rumahku
kepadamu”. maka jika si pulan berkata, “ya.” Itu artinya si pulan
ridho dengan jual beli tersebut.

-

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “urusanmu bukan
urusanku lagi.”, dia meniatkannya untuk talak, maka kemudian si
istri tadi mentalak dirinya sendiri dengan talak tiga atau dengan
berkata, “aku talak diriku sendiri” tanpa menyebutkan talak, maka
talak tiganya sah. 15

14
15

Ibid. 226
Ibid. 228

Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik
8.

P a g e | 15

‫اﻟﺘﺄﺳﯿﺲ أوﻟﻰ ﻣﻦ اﻟﺘﺄﻛﯿﺪ‬
Makna kaidah secara bahasa adalah, pertama al-asas adalah
dasar/pondasi. Kedua, ta’kid adalah penguat. Adapun menurut istilah,
kaidah ini bermakna, bahwa sesungguhnya satu ucapan jika bisa
ditafsirkan apakah itu bermakna kalimat baru atau sebagai penguat
dari ungkapan sebelumnya, maka yang utama adalah menggiringnya
pada makna ungkapan baru.
Contoh dari kaidah ini antara lain,
-

Jika seseorang berkata keada istrinya, kamu “saya talak, saya talak,
saya talak,” sebanyak tiga kali, maka menurut Abu Hanifah dan
Malik jatuh talak tiga. Sedangkan menurut Imam Ahmad dan asySyafi’i tidak jatuh talak kecuali satu.

-

Jika seseorang bersumpah tidak akan melakukan satu pekerjaan
pada satu majlis, kemudian di majlis lain bersumpah lagi, maka
ketika ia ternyata melanggar sumpahnya itu, dia mesti membayar
dua kafarat sumpah jika sumpah yang kedua diniatkan sebagai
sumpah baru bukan sebagai penguat. Tapi jika sebagai penguat
maka kafaratnya cukup untuk satu sumpah.16

D. Penutup
Demikian paparan tentang kaidah I’malu al-kalam awla min ihmalihi
berikut cabang-cabangnya. Dari sana kita bisa mengambil beberapa
kesimpulan umum.
1. Menggunakan satu perkataan sebagai satu ketetapan itu lebih utama dari
pada mengeyampingkan perkataan itu itu.
2. Jika satu perkataan memang tidak bisa dipahami makna hakikinya, maka
usahakan mengambil makna majazinya. Jika tetap tidak mampu maka
perkataan tersebut tidak usah dihiraukan.
3. Mengulang satu pernyataan, dihukumi menyatakan sesuatu sejumlah
pernyataannya.
16

Ibid. 229

‫‪P a g e | 16‬‬

‫‪Qawa’id al-Ahkam: Fikfik Taufik‬‬

‫‪Daftar Pustaka‬‬

‫ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‪ .‬ﻣﻮﺳﻮﻋﺔ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‪ .‬ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‪ .‬دﻣﺴﻖ‪ .‬ط‪ 1416 .1 .‬ھـ‬
‫ﻣﺤﻤﺪ ﺻﺪﻗﻲ اﻟﺒﻮرﻧﻮ‪.‬اﻟﻮﺟﯿﺰ ﻓﻲ إﯾﻀﺎح ﻗﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮫ اﻟﻜﻠﻲ‪ .‬ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‪ .‬ط‪.1996 .4 .‬‬
‫ﻋﺰت ﻋﺒﯿﺪ اﻟﺪﻋﺎس‪ .‬اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ ﻣﻊ ﺷﺮح اﻟﻤﻮﺟﺰ‪ .‬دار اﻟﺘﺮﻣﺬي‪ .‬دﻣﺸﻖ‪ .‬ط‪1989 .3 .‬‬
‫أﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﺰرﻗﺎ‪ .‬ﺷﺮح اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‪ .‬دار اﻟﻘﻠﻢ‪ .‬دﻣﺸﻖ‪ .1989 .‬ط‪2 .‬‬
‫ﻋﻠﻰ أﺣﻤﺪ اﻟﻨﺪوي‪ .‬اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‪ .‬دار اﻟﻘﻠﻢ‪ .‬دﻣﺸﻖ‪ .‬ط‪1991 .2 .‬‬
‫ﻋﺒﺪ اﷲ اﻟﻠﺤﺠﻲ‪ .‬إﯾﻀﺎح اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‪ .‬ﻣﻜﺔ ﻣﻜﺮﻣﺔ‪ .‬ﻣﻄﺒﻊ اﻟﻤﺪﻧﻲ‪ .‬ط‪141 .3 .‬ھـ‪.‬‬