Perang Politik di Media Televisi

Perang Politik di Media Televisi
FAJAR KURNIANTO
Tersiar kabar, Hary Tanoe, bos MNC Group sekaligus Ketua Dewan Pakar Partai
Nasional Demokrat (Nasdem), membeli mayoritas saham Metro TV punya Surya Paloh, tokoh
yang digadang-gadang dari Partai Nasdem untuk menjadi presiden pada Pemilu 2014.
Jika rumor ini benar, pertarungan politik menuju Istana nanti bakal diwarnai juga dengan
“perang media televisi”. Ini karena di seberang, bisnis keluarga Aburizal Bakrie yang tergabung
dalam Viva Group juga sudah menguasai media televisi lainnya.
Corong politik media massa bukan hanya televisi. Ada juga media cetak, radio, dan—
tidak kalah dahsyatnya—internet dengan jejaring sosial di dalamnya, juga media-media online
dalam bentuk portal-portal berita, blog, dan seterusnya.
Ada ungkapan yang menyebutkan: siapa yang menguasai media, dialah yang menjadi
raja/penguasa. Bisa jadi, karena inilah Surya Paloh atau Aburizal Bakrie berusaha menggunakan
sebanyak mungkin media sebagai corong politik, selain tentu saja untuk bisnis. Media hanya
menjadi alat atau kendaraan untuk menapaki karier politik tertinggi: pemimpin nomor satu negeri
ini.
Pertanyaan dasarnya kemudian adalah, dalam konteks media televisi, seberapa efektifkah
media ini memengaruhi para penonton menjatuhkan pilihan?
Jangkauan televisi yang jauh lebih luas hingga pelosok-pelosok kampung dibandingkan
media internet yang belum sejauh itu, memang cukup menjanjikan harapan. Setidaknya,
sosialisasi seorang tokoh bisa lebih mudah.

Semakin sering tokoh ditampilkan di televisi, orang akan semakin mengenalnya. Tentu
saja, tokoh yang tertampilkan di televisi selalu dari sisi positifnya, begitulah pencitraan,
begitulah tokoh politik diiklankan.
Dilihat dari sudut pandang penyampai iklan, M Wayne DeLozier, seorang pakar
komunikasi dan pemasaran Amerika, menyebutkan enam kelebihan televisi.
Pertama, pengiklan dapat menjangkau audiensi yang lebih besar hanya dengan satu pesan
iklan. Kedua, cost per exposure is relatively low (efisiensi biaya). Jutaan orang menonton televisi
secara teratur dan dapat dijangkau televisi yang menyebabkan efisiensi biaya per kepala.

Televisi juga mampu menjangkau khalayak yang tidak terjangkau media cetak. Ketiga, televisi
menggunakan tampilan, suara, gerak dan warna untuk menyampaikan seluruh pesannya. Ini
menyebabkan televisi memiliki dampak yang kuat terhadap khalayaknya. Keempat, at the
moment of exposure, a television advertisement excludes competing advertising messages.
Televisi memiliki pengaruh yang kuat untuk memengaruhi khalayak karena khalayak
sebagai “calon pembeli” lebih mempercayai televisi sebagai media rujukan. Kelima, television
can reach a select market target.
Televisi dapat menjangkau target pasar yang diinginkan. Keenam, televisi dapat
memengaruhi perhatian penonton secara psikologis, membuatnya akan selalu ingin menontonnya
daripada harus berpindah ke program-program lainnya.
Dari sisi tersebut, televisi tampaknya cukup efektif dan ampuh sebagai corong politik

menyosialisasikan seorang tokoh sekaligus “menyerang” tokoh lain.
Aburizal Bakrie, tokoh yang secara resmi sudah didaulat Partai Golkar sebagai kandidat
calon presiden 2014 tentu tidak akan pernah tertampilkan oleh media yang dikuasainya dari sisi
kekurangan.
Tetapi, media lain yang di luar kuasanya akan dengan mudah menyerangnya. Kasus
semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo tidak pernah diberitakan media-media miliknya, tetapi
oleh media-media lawan-lawannya.
Independensi Media
Independensi media memang acapkali gagal berkompromi dengan kepentingan pemilik
media, terutama ketika sang pemilik juga tokoh atau bagian dari sekrup politik. Ini karena media
memang dikuasai untuk menjadi corong politik, sekaligus pembonsai sang tokoh.
Orientasi politik lebih besar dibanding orientasi bisnis menjelang perhelatan politik
nasional. Benarlah kata salah seorang politikus Partai Demokrat, bahwa satu-satunya kelemahan
partai ini adalah tidak punya media televisi, sehingga partai ini dengan begitu mudah dipojokkan
lewat berbagai pemberitaan.
Kasus korupsi, misalnya, yang mendera beberapa kader Partai Demokrat, begitu massif
diberitakan. Padahal, kasus-kasus korupsi juga ada di partai-partai lain. Boleh jadi, pemberitaan-

pemberitaan itu memang bentuk serangan terhadap lawan politik, sekaligus menutupi
kebobrokan partai tertentu yang menguasai media televisi.

Publik digiring untuk beropini bahwa yang korupsi seakan-akan hanya partai ini, tidak
partai itu. Padahal, berbagai survei ilmiah menunjukkan, hampir semua partai politik menjadi
sarang para koruptor atau tempat nyaman melakukan praktik-praktik koruptif.
Dalam “perang media” ini rasanya tidak mudah menemukan media yang netral atau
objektif. Padahal, ini yang sesungguhnya diperlukan masyarakat agar mereka tercerahkan.
Tetapi, apakah memang ada media yang netral? Maksudnya, tidak berafiliasi pada kepentingan
politik tertentu dan hanya berorientasi pada bisnis, atau media-media yang independen
berpegang pada prinsip-prinsip jurnalisme? Tentu masih ada.
Media-media ini memang tidak ditunggangi atau dikendalikan kepentingan politik
tertentu, tetapi memanfaatkan momen-momen politik, karena dianggap sebagai “lahan bisnis”
meraup untung.
Dalam proses pematangan demokrasi dan pendidikan politik publik, netralitas,
independensi, dan objektivisme media tentu saja sangat urgen. Media-media semacam ini selain
dapat membongkar topeng kepalsuan yang tersaji, juga menjadi saluran kritik yang efektif
terhadap praktik-praktik politik kotor yang sarat manipulasi.
Kritik yang tentu saja konstruktif dan bertanggung jawab. Media-media inilah yang
menjadi pilar demokrasi keempat yang mengontrol jalannya proses politik dan pemerintahan
agar tetap berada di jalurnya, yakni demi memperjuangkan kepentingan rakyat.
*Artikel ini dimuat di koran Sinar Harapan, Jumat 7 Desember 2012