Kontroversi Pemilukada Tidak Langsung Ma
KONTROVERSI PILKADA TIDAK LANGSUNG1
Oleh: Pan Mohamad Faiz 2
Di penghujung akhir masa jabatannya, DPR bersama Presiden membuat kesepakatan
bersama yang menyentak publik luas. Berdasarkan kewenangannya, Presiden SBY
akhirnya mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota (UU Pilkada) yang mengakibatkan terjadinya perubahan mekanisme
Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD. Syahdan,
kontroversi menyeruak di berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, hingga
masyarakat umum.
Atas desakan dan kritik yang begitu masif terhadap keputusan tersebut, Presiden SBY
akhirnya mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang pada intinya mencabut UU
Pilkada yang baru disahkannya sendiri sekaligus mengembalikan mekanisme Pilkada
menjadi secara langsung.
Akan tetapi, walaupun daya ikat Perpu berlaku seketika itu juga, namun sifat
keberlakuannya hanyalah sementara. Artinya, Perpu masih harus melewati proses
persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya di awal tahun 2014. Dalam sidang nanti,
DPR akan memutuskan apakah Perpu akan diterima dan disahkan menjadi UU atau
ditolak. Dengan demikian, kemungkinan untuk mengubah mekanisme Pilkada menjadi
melalui DPRD lagi sebenarnya masih terbuka luas.
Apabila kita telisik lebih jauh, pandangan Parpol di DPR terkait dengan Pilkada yang
selalu berubah-ubah tidak dapat dilepaskan dari adanya pengkristalan kekuatan partai
politik pasca hasil Pilpres 2014. Dari kacamata pragmatis kepentingan politik,
pengalihan Pilkada langsung menjadi tidak langsung diprediksi dapat membawa
keuntungan tersendiri bagi siapapun Parpol ataupun koalisi parpol yang memegang
suara mayoritas di DPRD.
Masalahnya, Pilkada melalui DPRD akan menghilangkan partisipasi dan hak rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam memilih kepala daerahnya sendiri.
Sekelompok elit partai politik akan mendominasi keterpilihan kepala daerah di DPRD.
Padahal, berbagai hasil Pilkada membuktikan bahwa calon kepala daerah yang
didukung oleh mayoritas partai politik belum tentu dapat terpilih dalam Pilkada
langsung. Dengan demikian, pilihan rakyat sebenarnya tidaklah selalu sejalan dengan
pilihan partai politik di DPRD dalam menentukan kepala daerahnya.
1 Sebagian
tulisan pada artikel ini dimuat dalam Majalah “AKTIVIS” PPI Australia Edisi 1,
Desember 2014.
2 Kandidat
PhD Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Center for Public, International and
Comparative Law di School of Law, University of Queensland. Tulisan ini merupakan
pendapat pribadi.
1
Menakar Pilkada Langsung
Aturan mendasar tentang mekanisme Pilkada terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 yang menyebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Frasa “demokratis”
inilah yang kemudian ditafsirkan oleh MK sebagai opened legal policy di DPR, di mana
Pilkada dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Namun
demikian, pembuat kebijakan politik sejatinya harus mampu dan secara bijak
menerjemahkan kebijakan terbuka tersebut berdasarkan takaran dan prinsip-prinsip
demokrasi yang lebih besar di antara pemilihan langsung atau tidak langsung.
Takaran bobot demokratis semacam ini sebenarnya telah dituangkan di dalam Naskah
Akademis (NA) dari Pemerintah saat mengusulkan RUU Pilkada ke DPR. Dalam NA
tersebut ditegaskan bahwa dalam konteks demokrasi, pemilihan bupati dan walikota
seharusnya dilakukan secara langsung oleh rakyat (direct democracy). Namun ternyata,
NA yang disusun oleh para kelompok akademisi dan peneliti tesebut
dikesampingkan oleh mayoritas anggota DPR.
Adanya keinginan untuk mengembalikan mekanisme Pilkada melalui DPRD setidaknya
disandarkan pada beberapa argumentasi pokok, yaitu penghematan biaya Pilkada,
menghindari terjadinya konflik sosial, mencegah lahirnya kepala daerah yang koruptif,
dan perbandingan negara lain. Akan tetapi, landasan argumentasi tersebut tidaklah
berdiri secara kokoh.
Pertama, besarnya biaya Pilkada langsung sebenarnya dapat dihemat hingga 44%
dengan cara menyelenggarakan Pilkada secara serentak minimal untuk setiap provinsi
(FITRA, 2014). Skema Pilkada serentak ini sebenarnya juga telah dirancang secara
bertahap oleh Pemerintah bekerjasama dengan KPU dan Bawaslu hingga tahun 2020.
Kedua, munculnya ketegangan dan kerawanan sosial dalam Pilkada langsung
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana para calon kepala daerah ataupun
elit partai politik bersikap dan memberi tauladan kepada para pendukungnya. Oleh
karena itu, memvonis bahwa rakyat pemilih tidak siap mengikuti Pilkada langsung
merupakan tuduhan yang salah alamat. Para elite partai politik seyogianya menunjuk
hidungnya telebih dahulu untuk memperbaiki sikap atas tindak-tanduknya yang
seringkali memprovokasi masa pendukung ataupun mengintervensi jajaran birokrat.
Ketiga, alasan bahwa Pilkada langsung melahirkan kepala daerah yang koruptif juga
tidak sepenuhnya tepat. Mengutip hasil kajian dan data resmi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), sebanyak 81% korupsi yang melibatkan kepala daerah dan ditangani
KPK merupakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang tidak
dapat dilepaskan dari konsekuensi pelaksanaan sistem desentralisasi. Artinya,
mengembalikan Pilkada melalui DPRD juga tidak menjamin bahwa korupsi kepala
daerah akan berkurang. Sebaliknya, hasil studi menunjukan bahwa mekanisme Pilkada
melalui DPRD akan menyuburkan potensi terjadinya korupsi struktual dan kolusi antara
kepala daerah dengan anggota DPRD (P2EB FEB UGM, 2014). Sebab, nasib
2
keterpilihan kepala daerah akan beralih dari rakyat sebagai pemilih ke dalam
genggaman tangan para anggota DPRD sepenuhnya.
Keempat, membandingkan penerapan Pilkada di luar negeri melalui DPRD, seperti
Australia, Inggris, atau Amerika Serikat, merupakan argumentasi yang dipaksakan. Tidak
bisa simplifikasi perbandingan dilakukan antara Indonesia dengan negara-negara maju
tersebut. Adanya perbedaan sistem kepartaian dengan two-party system, perbedaan
beberapa sistem parlementer, perbedaan konsep dan kewewenangan negara federal,
dan faktor-faktor lainnya, menjadikan perbandingan sistem Pilkada kedua negara ibarat
membandingkan jeruk dengan apel. Apalagi sebagian wilayah di negara-negara tersebut
juga menerapkan Pilkada langsung (directly elected mayor). Inggris misalnya, apabila
terdapat perubahan sistem Pilkada maka harus diawali melalui local referendum dari,
untuk, dan oleh warga lokalnya masing-masing (Local Government Act 2000).
Untuk konteks Australia, setiap warga negaranya bahkan diwajibkan untuk
menggunakan suaranya dalam Pemilu, jika tidak maka akan dikenakan denda. Salah
satu alasannya agar terdapat legitimasi bagi kepala daerah atau anggota DPRD yang
terpilih. Oleh sebab itu, di beberapa negara bagian Australia yang menerapkan Pilkada
langsung seperti Queensland, kandidat kepala daerah tidak harus berasal dari anggota
Parpol, namun juga dapat berasal dari seorang individu sebagai calon independen, atau
bahkan cukup anggota dari komunitas tertentu (Local Government Electoral Act 2011).
Perbaikan bukan Pengembalian
Penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat selama ini telah menempatkan
demokrasi bekerja dan dapat dirasakan hingga ke kalangan akar rumput. Namun
demikian, harus pula diakui bahwa Pilkada langsung belumlah sempurna. Banyak
catatan yang perlu dievaluasi, baik dari sisi pelaksanaan Pemilu, akuntabilitas keuangan
partai politik, hingga pendidikan politik warga pemilih. Akan tetapi, catatan-catatan
tersebut sepatutnya dijadikan dasar untuk memperbaiki sistem yang ada saat ini, bukan
kemudian secara serta-merta mengganti sistem Pilkada kepada sistem lama melalui
DPRD yang telah terbukti melahirkan oligarki partai politik.
Kini, bandul nasib Pilkada kembali berada di tangan DPR. Mereka akan membahas
apakah Perpu akan disetujui atau ditolak. Apabila disetujui maka Pilkada langsung akan
tetap dipertahankan dengan meninggalkan catatan bahwa saat menyetujui UU Pilkada
yang lalu, DPR memang terbukti berpijak pada eksperimen argumentasi yang pendek
dan tidak solid serta erat dengan negosiasi politik.
Sebaliknya, manakala Perpu ditolak dan DPR bersikukuh untuk menerapkan Pilkada
tidak langsung melalui DPRD, maka konsolidasi demokrasi yang telah dipupuk melalui
Pilkada langsung selama ini akan mulai layu secara perlahan. Akibatnya, rakyat akan
kembali diposisikan sekedar sebagai penonton semata, karena tak lagi memiliki hak
untuk memilih kepala daerahnya masing-masing. (*)
3
Oleh: Pan Mohamad Faiz 2
Di penghujung akhir masa jabatannya, DPR bersama Presiden membuat kesepakatan
bersama yang menyentak publik luas. Berdasarkan kewenangannya, Presiden SBY
akhirnya mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota (UU Pilkada) yang mengakibatkan terjadinya perubahan mekanisme
Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD. Syahdan,
kontroversi menyeruak di berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, hingga
masyarakat umum.
Atas desakan dan kritik yang begitu masif terhadap keputusan tersebut, Presiden SBY
akhirnya mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang pada intinya mencabut UU
Pilkada yang baru disahkannya sendiri sekaligus mengembalikan mekanisme Pilkada
menjadi secara langsung.
Akan tetapi, walaupun daya ikat Perpu berlaku seketika itu juga, namun sifat
keberlakuannya hanyalah sementara. Artinya, Perpu masih harus melewati proses
persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya di awal tahun 2014. Dalam sidang nanti,
DPR akan memutuskan apakah Perpu akan diterima dan disahkan menjadi UU atau
ditolak. Dengan demikian, kemungkinan untuk mengubah mekanisme Pilkada menjadi
melalui DPRD lagi sebenarnya masih terbuka luas.
Apabila kita telisik lebih jauh, pandangan Parpol di DPR terkait dengan Pilkada yang
selalu berubah-ubah tidak dapat dilepaskan dari adanya pengkristalan kekuatan partai
politik pasca hasil Pilpres 2014. Dari kacamata pragmatis kepentingan politik,
pengalihan Pilkada langsung menjadi tidak langsung diprediksi dapat membawa
keuntungan tersendiri bagi siapapun Parpol ataupun koalisi parpol yang memegang
suara mayoritas di DPRD.
Masalahnya, Pilkada melalui DPRD akan menghilangkan partisipasi dan hak rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam memilih kepala daerahnya sendiri.
Sekelompok elit partai politik akan mendominasi keterpilihan kepala daerah di DPRD.
Padahal, berbagai hasil Pilkada membuktikan bahwa calon kepala daerah yang
didukung oleh mayoritas partai politik belum tentu dapat terpilih dalam Pilkada
langsung. Dengan demikian, pilihan rakyat sebenarnya tidaklah selalu sejalan dengan
pilihan partai politik di DPRD dalam menentukan kepala daerahnya.
1 Sebagian
tulisan pada artikel ini dimuat dalam Majalah “AKTIVIS” PPI Australia Edisi 1,
Desember 2014.
2 Kandidat
PhD Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Center for Public, International and
Comparative Law di School of Law, University of Queensland. Tulisan ini merupakan
pendapat pribadi.
1
Menakar Pilkada Langsung
Aturan mendasar tentang mekanisme Pilkada terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 yang menyebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Frasa “demokratis”
inilah yang kemudian ditafsirkan oleh MK sebagai opened legal policy di DPR, di mana
Pilkada dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Namun
demikian, pembuat kebijakan politik sejatinya harus mampu dan secara bijak
menerjemahkan kebijakan terbuka tersebut berdasarkan takaran dan prinsip-prinsip
demokrasi yang lebih besar di antara pemilihan langsung atau tidak langsung.
Takaran bobot demokratis semacam ini sebenarnya telah dituangkan di dalam Naskah
Akademis (NA) dari Pemerintah saat mengusulkan RUU Pilkada ke DPR. Dalam NA
tersebut ditegaskan bahwa dalam konteks demokrasi, pemilihan bupati dan walikota
seharusnya dilakukan secara langsung oleh rakyat (direct democracy). Namun ternyata,
NA yang disusun oleh para kelompok akademisi dan peneliti tesebut
dikesampingkan oleh mayoritas anggota DPR.
Adanya keinginan untuk mengembalikan mekanisme Pilkada melalui DPRD setidaknya
disandarkan pada beberapa argumentasi pokok, yaitu penghematan biaya Pilkada,
menghindari terjadinya konflik sosial, mencegah lahirnya kepala daerah yang koruptif,
dan perbandingan negara lain. Akan tetapi, landasan argumentasi tersebut tidaklah
berdiri secara kokoh.
Pertama, besarnya biaya Pilkada langsung sebenarnya dapat dihemat hingga 44%
dengan cara menyelenggarakan Pilkada secara serentak minimal untuk setiap provinsi
(FITRA, 2014). Skema Pilkada serentak ini sebenarnya juga telah dirancang secara
bertahap oleh Pemerintah bekerjasama dengan KPU dan Bawaslu hingga tahun 2020.
Kedua, munculnya ketegangan dan kerawanan sosial dalam Pilkada langsung
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana para calon kepala daerah ataupun
elit partai politik bersikap dan memberi tauladan kepada para pendukungnya. Oleh
karena itu, memvonis bahwa rakyat pemilih tidak siap mengikuti Pilkada langsung
merupakan tuduhan yang salah alamat. Para elite partai politik seyogianya menunjuk
hidungnya telebih dahulu untuk memperbaiki sikap atas tindak-tanduknya yang
seringkali memprovokasi masa pendukung ataupun mengintervensi jajaran birokrat.
Ketiga, alasan bahwa Pilkada langsung melahirkan kepala daerah yang koruptif juga
tidak sepenuhnya tepat. Mengutip hasil kajian dan data resmi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), sebanyak 81% korupsi yang melibatkan kepala daerah dan ditangani
KPK merupakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang tidak
dapat dilepaskan dari konsekuensi pelaksanaan sistem desentralisasi. Artinya,
mengembalikan Pilkada melalui DPRD juga tidak menjamin bahwa korupsi kepala
daerah akan berkurang. Sebaliknya, hasil studi menunjukan bahwa mekanisme Pilkada
melalui DPRD akan menyuburkan potensi terjadinya korupsi struktual dan kolusi antara
kepala daerah dengan anggota DPRD (P2EB FEB UGM, 2014). Sebab, nasib
2
keterpilihan kepala daerah akan beralih dari rakyat sebagai pemilih ke dalam
genggaman tangan para anggota DPRD sepenuhnya.
Keempat, membandingkan penerapan Pilkada di luar negeri melalui DPRD, seperti
Australia, Inggris, atau Amerika Serikat, merupakan argumentasi yang dipaksakan. Tidak
bisa simplifikasi perbandingan dilakukan antara Indonesia dengan negara-negara maju
tersebut. Adanya perbedaan sistem kepartaian dengan two-party system, perbedaan
beberapa sistem parlementer, perbedaan konsep dan kewewenangan negara federal,
dan faktor-faktor lainnya, menjadikan perbandingan sistem Pilkada kedua negara ibarat
membandingkan jeruk dengan apel. Apalagi sebagian wilayah di negara-negara tersebut
juga menerapkan Pilkada langsung (directly elected mayor). Inggris misalnya, apabila
terdapat perubahan sistem Pilkada maka harus diawali melalui local referendum dari,
untuk, dan oleh warga lokalnya masing-masing (Local Government Act 2000).
Untuk konteks Australia, setiap warga negaranya bahkan diwajibkan untuk
menggunakan suaranya dalam Pemilu, jika tidak maka akan dikenakan denda. Salah
satu alasannya agar terdapat legitimasi bagi kepala daerah atau anggota DPRD yang
terpilih. Oleh sebab itu, di beberapa negara bagian Australia yang menerapkan Pilkada
langsung seperti Queensland, kandidat kepala daerah tidak harus berasal dari anggota
Parpol, namun juga dapat berasal dari seorang individu sebagai calon independen, atau
bahkan cukup anggota dari komunitas tertentu (Local Government Electoral Act 2011).
Perbaikan bukan Pengembalian
Penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat selama ini telah menempatkan
demokrasi bekerja dan dapat dirasakan hingga ke kalangan akar rumput. Namun
demikian, harus pula diakui bahwa Pilkada langsung belumlah sempurna. Banyak
catatan yang perlu dievaluasi, baik dari sisi pelaksanaan Pemilu, akuntabilitas keuangan
partai politik, hingga pendidikan politik warga pemilih. Akan tetapi, catatan-catatan
tersebut sepatutnya dijadikan dasar untuk memperbaiki sistem yang ada saat ini, bukan
kemudian secara serta-merta mengganti sistem Pilkada kepada sistem lama melalui
DPRD yang telah terbukti melahirkan oligarki partai politik.
Kini, bandul nasib Pilkada kembali berada di tangan DPR. Mereka akan membahas
apakah Perpu akan disetujui atau ditolak. Apabila disetujui maka Pilkada langsung akan
tetap dipertahankan dengan meninggalkan catatan bahwa saat menyetujui UU Pilkada
yang lalu, DPR memang terbukti berpijak pada eksperimen argumentasi yang pendek
dan tidak solid serta erat dengan negosiasi politik.
Sebaliknya, manakala Perpu ditolak dan DPR bersikukuh untuk menerapkan Pilkada
tidak langsung melalui DPRD, maka konsolidasi demokrasi yang telah dipupuk melalui
Pilkada langsung selama ini akan mulai layu secara perlahan. Akibatnya, rakyat akan
kembali diposisikan sekedar sebagai penonton semata, karena tak lagi memiliki hak
untuk memilih kepala daerahnya masing-masing. (*)
3