KORUPSI DAN SOLUSI ANALISIS PERSPEKTIF I (1)

KORUPSI DAN SOLUSI: ANALISIS PERSPEKTIF ISLAM
Zainal Abidin, S.Sy
Dosen Al Islam, Pusbangksitek UIN Jakarta

Abstrak
Sejarah korupsi sudah terjadi begitu lama, baik sebelum Islam ada atau setelah Islam ada
dan diterapkan dalam bentuk Negara Islam yang Rasulullah SAW dirikan. Pada masa
Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin telah mampu menumpas para koruptor dan
mencegah korupsi tumbuh pada masyarakat dan aparatur pemerintahan.
Tetapi pada Abad 21 ini korupsi menjadi penyakit endemik yang mudah menyebar dan
sulit dilawan. Hal ini terjadi karena Individu, keluarga, masyarakat dan aparatur pemerintahan
telah terjangkir penyakit Korupsi baik sadar atau tidak sadar.
Solusi untuk membasmi penyakit korupsi dan mencabut dari akar-akarnya yaitu dengan
mendidik Individu, keluarga, masyakarat, dengan kepribadian Islam dan penegakan syariah
Islam untuk menghukum pelaku dan mencegah korupsi. Begitu juga aparatur pemerintahan
harus bersihkan dengan mensortir SDM yang professional dan Amanah serta tindakantindakan tegas pemerintah kepada pejabat yang melakukan korupsi.
Selain itu Suksesi pergantian kepemimpinan pemerintahan dengan formula pemilu yang
sesuai hukum Islam sehingga menghasilkan pemimpin yang berkompetensi dan amanah tanpa
membuang-buang uang rakyat dengan biaya yang begitu besar.
Kata Kunci : Korupsi, Pemilu, Pemberantasan Korupsi, Majelis umat, Uqubat, Aparat
Pemerintahan,


Pendahuluan
Korupsi menpunyai sejarah yang begitu lama sehingga sering menjadi profesi sampingan
para pejabat di dunia yaitu memberi dan menerima uang suap. Menurut sejarah, bentuk
korupsi seperti penyuapan telah terjadi sejak masa Hammurabi dari Babilonia atau sekitar
tahun 1200 SM, bahkan di India kasus korupsi sudah terjadi sejak seribu tahun sebelum Isa.
Korupsi bak penyakit endemik, mudah menyebar dan sulit dilawan. Korupsi punya
karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem pemerintahan, sistem sosial sampai
sistem kepribadian. Korupsi pun bisa menjatuhkan sebuah peradaban, apa yang terjadi pada
peradaban Islam di Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil. Andalusia (sekarang
Spanyol) hancur di tangan tentara Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah hancur
karena keropos, bukan saja karena gaya hidup bermewah-mewahan hedonis yang merajalela
di kalangan istana, akan tetapi juga karena perilaku korup para penguasanya.
Tibanya era modernisasi di abad 20 dituduh membuat sistem korupsi menjadi lebih
terselubung, arus uang via dunia maya membuat sistem pengawasan terbatas langkahnya.
Korupsi pun semakin mendapat celah lebar di sini, praktek pencucian uang (money laundry)
sampai transaksi narkoba pun semakin sulit dilacak. Bahkan modernisasi menjadi ongkos bagi
proses perubahan dan modernisasi itu sendiri.
Dengan sistem korupsi yang lebih canggih itu, para penegak hukum kelabakan dibuatnya.
Berbagai gerakan perlawanan korupsi pun sontak mendunia, semua negara ikut serta di

dalamnya. Patrick Glynn dan dua orang kawannya dari Forum Ekonomi Dunia
mengistilahkan fenomena ini sebagai globalisasi korupsi. Di tahun 1990-an, tulis Glynn,
gerakan sedunia menentang korupsi telah menjalar seperti api kebakaran di seluruh dataran
politik dunia, pemerintahan berjatuhan, partai yang sudah lama berkuasa telah kehilangan
kekuasaan, dan secara beruntun para petinggi negara dari presiden sampai anggota parlemen
dituntut menjadi tersangka kasus korupsi. Hal ini besar kemungkinannya karena didukung
oleh beberapa orang pemikir yang menjadikan korupsi sebagai hal yang positif meski hanya
dalam hal perdagangan bebas, korupsi adalah “grease in the wheel of commerse” sebagai
pelumas dari roda perdagangan, korupsi berperan untuk mempercepat prosedur dan transaksi
yang bertele-tele.
Praktek korupsi yang begitu marak di belahan dunia, Indonesia pun tak mau tertinggal.
Bahkan ‘prestasi’ korupsi Indonesia selalu muncul di urutan teratas, jauh mengalahkan

negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Padahal, secara kuantitatif,
Indonesia adalah negara berpenganut Islam terbanyak di dunia. Fakta ini menjadi paradoks
sekaligus ironi yang nyata di depan mata.
Korupsi menjadi masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. fenomena yang
terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara
yang bebas dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku koruptif, Penegakan hukum
atas tindak pidana korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan

kepolisian, sektor pelayanan publik yang cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta
yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi demi keuntungan yang sebesar
besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin yang boros juga jadi
penyebab suburnya korupsi.
Pelayanan publik yang merupakan kepanjangan tangan Negara untuk melaksanakan
fungsinya mengayomi kepentingan umum warga yang berdomisili di wilayahnya juga sampai
sekarang masih juga menjadi sorotan karena terlalu rumit, tidak efisien dan penuh dengan
praktik praktik KKN.
Peraturan telah banyak dibuat untuk menjamin terlaksananya praktik pemerintahan yang
baik (good governance) sehingga pelayanan publik bisa menjadi lebih efisien dan dampak
positif bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, kepastian atas kualitas dan kecepatan
pelayanan. Namun tujuan tersebut menjadi tidak terwujud karena masih banyaknya tumpang
tindih antar peraturan tersebut dan SDM yang melaksanakan tidak kompeten dan mereka
melanggengkan praktek praktek KKN dengan alasan utama kesejahteraan yang diperoleh
tidak mampu mencukupi pengeluaran yang harus dipenuhi.
Salah satu sumber timbulnya korupsi juga menjadi hal yang menjadi sorotan utama yaitu
Komponen suksesi kepemimpinan di Indonesia. Sejak tumbangnya masa orde baru, Indonesia
telah mengalami pemilu sebanyak 3 kali. Pemilihan yang dilakukan tidak hanya digunakan
untuk menentukan siapa saja orang orang ‘pilihan’ yang akan bertugas untuk mewakili
kepentingan seluruh rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat tetapi juga digunakan untuk

melakukan pemilihan langsung bagi figur yang akan menjadi Pimpinan Pemerintah Pusat
yaitu Presiden dan Pimpinan Pemerintah daerah yaitu gubernur pada level provinsi dan
bupati/walikota untuk tingkatan kabupaten/kotamadya.
Pemilihan Umum (Pemilu) dengan format tersebut ternyata memakan anggaran yang
sangat besar berdasarkan data Litbang Kompas Pada tahun 2004, biaya pemilu mencapai Rp
55,909 triliun. Lalu, pada tahun 2009, biaya pemilu mencapai Rp 47,941 triliun untuk semua
tingkatan. Di Pemilu Legislatif, para caleg juga harus merogoh kocek dalam, untuk meraih
kursi DPR, DPD dan DPRD. Jika diakumulasikan, menurut Donny, paling tidak mencapai Rp
160 triliun. Begitu pula dalam gelaran pilkada baik Bupati, Walikota maupun Gubernur.
Setidaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggelar pilkada di seluruh Indonesia
mencapai Rp 23,180 triliun. Biaya pelaksanaan Pilkades untuk tahun 2013, rata-rata diatas Rp
50 juta, bahkan ada desa yang menganggarkan pelaksanaan Pilkades dengan dana mencapai
Rp 78 juta. Biaya ini jika bisa dilakukan penghematan tentu bisa digunakan untuk membiayai
pengeluaran yang terkait pelayanan publik.
Namun bukan biaya penyelenggaran yang menjadi sorotan utama, biaya yang digunakan
oleh para calon yang hendak maju dalam pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala
daerah ternyata cukup mencengangkan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Pramono
Anung mengatakan, biaya yang dikeluarkan seorang Caleg untuk menjadi anggota DPR bisa
menghabiskan uang hingga Rp 20 miliar. Jika dirata-rata, pengeluaran untuk kampanye
anggota antara Rp 1,5 miliar sampai Rp 2 miliar. Ia merinci pengeluaran kampanye untuk

pengurus partai atau aktivis Rp 500 juta-Rp 1,2 miliar, anggota TNI/Polri dan birokrat Rp 800
juta-Rp 2 miliar, dan pengusaha Rp 1,2-Rp 6 miliar. Jumlah itu diperkirakan angka itu akan
naik pada Pemilu 2014. Biaya menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPRD Menurut Atang,
besarnya biaya yang dikeluarkan memang relatif. "Setiap caleg tentu berbeda- beda, tapi ratarata minimal bisa mencapai Rp 300 jutaan," kata Atang, yang juga Ketua Badan Anggaran
(Banggar) DPRD. Bahkan beberapa anggota DPRD Kabupaten Sumedang mengaku saat
pemilu 2009 sudah ada yang menghabiskan dana Rp 500 juta dan tak tertutup kemungkinan
untuk pemilu 2014 bisa di atas Rp 500 juta.

Menurut Donny, pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2009 lalu butuh Rp 7 triliun
untuk menggoda hati 70 juta pemilih. Itu data kasar Pemilu 2009. Menurut Didik Supriyanto
diperkirakan, setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mengeluarkan dana Rp 10
miliar, jika satu provinsi terdapat lima pasangan calon, maka akan ketemu angka Rp 1,65
triliun. Jika setiap pasangan calon bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota
mengeluarkan dana Rp 2,5 miliar, untuk 500 kabupaten/kota akan ketemu angka Rp 5,25
triliun. Dengan tingginya biaya yang dikeluarkan tersebut yang terjadi adalah kepala daerah
terpilih akan lebih berfokus untuk bagaimana cara mengembalikan dana yang telah
dikeluarkan tersebut dan tentunya cara cara yang digunakan mengarah pada tindak pidan
korupsi.
Atas keadaan keadaan diatas penulis tertarik untuk mencoba menyusun sebuah tulisan
mengenai pemberantasan korupsi secara komprehensif Perspektif Islam melalu studi

kepustakaan.

Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang arti harfiahnya adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran. Secara umum korupsi didefinisikan sebagai
the abuse of public resources for private gain, penyalahgunaan sumberdaya publik untuk
keuntungan pribadi, korupsi juga diistilahkan sebagai white collar crime atau fraud. Di istilah
media-media berbahasa Arab kata korupsi diistilahkan dengan al-fasad, atau kerusakan, di
dalam salah satu index al-Qur’an kata korupsi pun ditunjukkan kepada ayat-ayat yang
mengandung kata fasad.
Korupsi didefinisikan Penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan untuk memperkaya diri.
Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya.
Belakangan kata korupsi dipadankan dengan hal yang lebih spesifik. Jika dalam konteks
politik, political corruption didefinisikan sebagai penyimpangan jabatan publik Sedangkan
dalam konteks teknisteologis, kata korupsi sendiri dipakai untuk mengistilahkan upaya
merubah teks kitab suci yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.
Sebagai tindakan pengambilan terhadap yang bukan haknya, korupsi diistilahkan alQur’an dengan ungkapan yang berbeda-beda tergantung teknik, jenis maupun motif
pengambilannya. Di antaranya adalah ghulul (penggelapan), risywah (suap), khianat,
mukabarah (eksploitasi), ghasab (menguasai milik orang lain), sariqah (pencurian), dan

ikhtilash (mencopet) dan terakhir aklu suht (memanfaatkan barang haram).
Mengapa korupsi bisa terjadi? secara dasariah korupsi berkaitan dengan faktor
psikokultural. Artinya, ada makna kolektif yang khas mengenai korupsi dalam masyarakat
yang memungkinkan praktik tersebut merebak luas; namun makna kolektif ini juga sekaligus
hadir secara kognitif di dalam benak setiap individu.
Secara filosofis, koruptor merupakan penjelmaan dari docile bodies (tubuh-tubuh yang
patuh), ia digerakkan dengan kode punishment atau reward. Ia menjelma menjadi rangkaian
mesin-mesin rezim yang membuat korupsi tak tampak sebagai kesalahan moral, melainkan
sebagai jatah yang “sewajarnya” diterima.
Secara makro, fenomena korupsi dalam sistem bernegara juga dapat dipotret sebagai
“korupsi akbar”. Moody-Stewart, yang dikutip oleh Rose- Ackerman, menjelaskan bahwa
korupsi akbar terdapat pada tingkat tertinggi pemerintahan serta melibatkan proyek-proyek
dan program pokok pemerintah. Karena rezim korup menjadikan suap, sogok, cari muka,
penjilatan sebagai mode of being .
Dan secara teologis, korupsi adalah permasalahan aqidah, permasalahan iman kepada
Tuhan. Di mana persepsinya untuk taat kepada hukum (perintah atau larangan) maupun
pandangannya terhadap harta dipengaruhi oleh tingkat tauhidnya. Maka, tindakan sekecil apa
pun yang di ambil seseorang, pada dasarnya hal itu cerminan dari tauhidnya.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak,
berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral,

sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan

politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.

Fakta Korupsi
Menurut survei terbaru lembaga pemantau korupsi Transparency International, lebih dari
seperempat orang di seluruh dunia membayar suap ketika berhadapan dengan pelayanan
publik dalam 12 bulan terakhir.
Barometer Korupsi Global 2013 Transparency International didasarkan pada wawancara
dengan 114.270 orang di 107 negara. Lembaga itu menggunakan survei opini publik untuk
memperkirakan prevalensi korupsi di lembaga-lembaga nasional di seluruh dunia.
Lebih dari satu dari empat responden (27%) mengatakan mereka membayar suap selama
12 bulan terakhir ketika mengakses lembaga dan layanan publik yang penting. Dari mereka
yang dilaporkan membayar suap, 40% mengatakan mereka melakukannya "untuk
mempercepat"; 27% mengatakan "itu satu-satunya cara untuk mendapatkan layanan",
sementara 21% mengatakan mereka membayar suap "sebagai hadiah, atau untuk
mengucapkan terima kasih ". Sisanya 12% responden mengatakan itu "untuk mendapatkan
layanan yang lebih murah".

Transparasi survei International adalah salah satu dari beberapa sumber data pada subjek,
meskipun mereka fokus sebagian besar pada persepsi. Sekarang dalam edisi kedelapan, survei
tahun ini adalah yang terbesar dari jenisnya dan mencakup beberapa negara, seperti Libya dan
Tunisia, untuk pertama kalinya Temuan penting lainnya dari survei ini:
1. Partai politik dianggap sebagai institusi yang paling korup, diikuti oleh polisi dan
peradilan. Secara global, lembaga keagamaan dipandang sebagai paling korup. Di Israel,
Jepang, Sudan dan Sudan Selatan, bagaimanapun, badan keagamaan yang dipandang
sangat korup.
2. Hampir dua-pertiga responden mengatakan mereka percaya kontak pribadi dan hubungan
membantu mendapatkan sesuatu dilakukan di sektor publik di negara mereka. Di 10
negara, termasuk Israel, Italia, Malawi, Rusia dan Vanuatu, angka ini lebih dari 80%.
3. Pada tahun 2008, 31% responden mengatakan upaya pemerintah mereka untuk
memerangi korupsi yang efektif.Tahun ini angka itu turun menjadi 22%.
4. Di Inggris, media dan partai politik yang dinilai paling korup dan 5% dari orang yang
disurvei dilaporkan membayar suap.
5. responden lebih kaya dilaporkan membayar suap lebih sering daripada rekan-rekan
mereka yang lebih miskin. Dari mereka dengan penghasilan di atas rata-rata negara
mereka, 31% mengatakan mereka membayar suap tahun lalu, dibandingkan dengan 26%
responden dengan pendapatan di bawah rata-rata.
6. Secara global, 28% pria dilaporkan membayar suap, dibandingkan dengan 25%

perempuan. Di beberapa negara, seperti Nepal dan Pakistan, banyak pria dilaporkan
membayar suap daripada wanita. Di Kolombia, sementara itu, 27% wanita dilaporkan
membayar suap dibandingkan dengan hanya 16% laki-laki.

Apakah Anda pikir korupsi telah meningkat di negara Anda?
Merah = meningkat, Kuning = tetap sama, Hijau = menurun

Kemarahan publik terhadap korupsi dirasakan atau ditemukan telah meledak dalam
beberapa tahun terakhir, dengan protes jalanan dan inisiatif warga. Lebih dari setengah dari
mereka yang disurvei oleh Transparency International mengatakan mereka akan bersedia
untuk berbicara dan melaporkan insiden korupsi.
Dalam laporan menyajikan temuan survei, LSM berpendapat korupsi tidak hanya
meningkatkan biaya layanan penting ditanggung oleh individu dan dompet publik, tapi itu
persepsi korupsi meluas mengikis kepercayaan dan keyakinan dalam proses demokrasi dan
hukum.
"Korupsi bisa, dan sering, melanggar hak-hak dasar. Bagi mereka hidup dengan kurang
dari $ 2 per hari ... biaya tambahan suap dapat berarti menjualkan yang seharusnya dibuat
untuk kesehatan dan kelaparan, antara biaya masuk sekolah dan sepatu yang diperlukan untuk
dipakai ke sekolah," laporan itu, menambahkan:" Suap tidak hanya biaya individu membayar
suap - itu juga merusak alokasi yang efisien dan adil dari sumber daya, menghormati orang

untuk penegakan hukum dan integritas keseluruhan masyarakat ".
Di Amerika Serikat, secara rata-rata 1 dalam 14 orang mengatakan bahwa mereka
membayar suap kepada pejabat publik. Dari mereka yang membayar itu, 7 persen mengatakan
mereka menyogok polisi, 11 persen mengatakan mereka menyuap penyidik, dan 15 persen
mengatakan mereka menyuap hakim. Warga Amerika juga mengatakan melihat partai politik
sebagai lembaga publik terkorup, dengan 76 persen responden menyatakan bahwa partai
politik dicemari korupsi.
Di 36 negara, termasuk Indonesia, para responden menyebutkan bahwa kepolisian
merupakan lembaga yang paling korup.
Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menanggapi hasil survei Transparency
Internasional Indonesia (TII) yang menyatakan Polri merupakan salah satu lembaga
pemerintahan terkorup di Indonesia. Menurutnya, penilaian itu lantaran Polri tidak serius
menyelesaikan kasus korupsi di internal. “Artinya tidak ada perbaikan secara serius dari pihak
kepolisian untuk memperbaiki diri bahwa di lembaganya masih banyak korupsi. Itu belum
terbenahi secara benar,” kata Bambang kepada wartawan, Kamis 11 Juli 2013.
Menurut mantan Sespim Polri itu rilis TII seolah memperkuat penelitian siswa angkatan 9
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dalam penelitian PTIK 2004 lalu, pihaknya
mendapat temuan yang menyatakan korupsi di lembaga Polri sudah menjalar dari bawah
hingga petinggi aparat penegak hukum itu.
“Korupsi di kepolisian itu mulai dari bawah sampai ke atas itu merupakan hubungan yang
saling terkait. Kalau ini tidak diperbaiki dan sampai sekarang dikatakan termasuk tertinggi ya
bisa saja terjadi seperti itu,” ungkapnya. Sebelumnya, survei TII menyebutkan dalam skala
korupsi menurut kelembagaan di Asia Tenggara yang paling tinggi melakukan korupsi
menurut responden adalah institusi Kepolisian dengan jumlah 3,9%. Kemudian, partai politik
dengan jumlah 3,6% dan ketiga diisi oleh pejabat publik yang dianggap korup dengan jumlah
3,5%.
Adapun peradilan dengan jumlah 3,4%. Parlemen sendiri dianggap korup oleh 3,3%
responden. Di urutan berikutnya ada bidang bisnis dengan jumlah 3,1%. Bidang kesehatan
dan pendidikan dianggap korup oleh 2,9%. Sedangkan, hasil survei Global Corruption
Barometer (GBC) 2013 oleh TII menempatkan kepolisian sebagai lembaga paling korup di
Indonesia yakni 4,5%. Masih dengan jumlah yang sama disusul oleh parlemen. Di urutan
ketiga terkorup adalah peradilan sebesar 4,4% dan partai politik di 4,3%.
Rilis yang dikeluarkan oleh Lembaga Transparency Internasional Indonesia (TII)
melansir Indonesia berada di empat negara terbawah dalam urutan tingkat korupsi.
Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang dilansirnya Indonesia berada di angka 32. Indeks
persepsi korupsi ini merupakan indikator gabungan yang mengukur tingkat persepsi korupsi
dari negara-negara. "Dibanding survey dua tahun lalu, Indonesia memburuk," ujar Dadang
Trisasongko, Sekertaris Jenderal Transperancy internasional Indonesia. Dalam survey yang
dilakukan TII Indonesia menempati urutan 118 dalam urutan negara terkorup, dan Indonesia
berada di bawah Thailand (urutan 88) dan Filipina (urutan 108). Sedangkan tiga negara
dibawah Indonesia antara lain Vietnam, Laos, Myanmar.

Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang Indonesia, yang kini tak lagi
bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara
kelompok/mafia (“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap
instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan (yudikatif), dan
juga swasta. Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD pernah menyebutkan pusatpusat korupsi di Indonesia terdapat di 4 (empat) sektor lembaga pemerintah, yaitu: pajak, bea
cukai, pertamina, dan pertanahan.
Di lingkungan eksekutif saja, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524
kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada
2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah
jumlah yang sungguh mencengangkan. Seperti dilansir dari situs www.setkab.go.id, di pulau
Sumatera saja ada tujuh gubernur yang tersangkut kasus korupsi, termasuk Gubernur
Bengkulu Agusrin Najamudin. Hanya propinsi Jambi dan Bangka Belitung (Babel) saja yang
gubernurnya tidak tersangkut kasus korupsi.
Sementara berdasarkan tabulasi data penanganan korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tahun 2004-2013 per 30 September 2013 memperlihatkan sedikitnya telah
dilakukan 509 penyelidikan, 334 penyidikan, 203 penuntutan, 228 kasus yang sudah inkracht
atau berketatapn hukum dan 236 eksekusi.

Faktor Penyebab Korupsi
Banyak teori yang membahas mengenai penyebab timbulnya korupsi. Teori GONE yang
dicetuskan oleh Jack Bologne menguraikan bahwa akar penyebab korupsi berasal dari greed
(keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan) dan Exposes (hukuman).
Keserakahan timbul karena adanya sifat tidak pernah puas yang dimiliki oleh manusia.
Dengan penghasilan yang sudah tinggi pun jika dikuasai keserakahan yang dilandasi akan
rasa tidak pernah puas akan kebutuhan yang dipenuhi maka korupsi pun akan dilakukan.
Contoh yang ditemui baru baru ini adalah pada kasus Suap kepada mantan Kepala SKK
Migas yang berinisial RR, sebagai kepala SKK Migas dan komisaris Bank Mandiri gaji yang
diperoleh berkisar 260 juta perbulan tetapi dengan penghasilan tersebut RR diduga mau
menerima suap dari Kernel Oil.
Kesempatan merupakan suatu keadaan yang menjadi faktor penarik tindakan kriminal.
Didalam tindak pidana korupsi, kelemahan peraturan ataupun kekuasaan yang dimiliki
menjadikan seseorang memiliki kesempatan untuk melancarkan aksinya.
Need atau kebutuhan merupakan salah satu penyebab lain dari korupsi. Jika pada
keserakahan didorong oleh rasa tidak pernah puas, maka kebutuhan menyebabkan korupsi
dikarenakan adanya keadaan yang mengharuskan seseorang untuk memberanikan diri
melakukan perbuatan korupsi tersebut.
Ekposes/hukuman menjadi salah satu penyebab korupsi karena jika hukuman yang
diterapkan kepada para koruptor lemah ataupun penegakan hukumnya bisa dilakukan hanky
panky tentunya tidak aka efek jera dalam penindakan korupsi tersebut. Pada tulisan ini akan
dibahas secara khusus mengenai langkah langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki
penegakan hukum tersebut.
Keempat faktor greed, opportunity, need dan expose diatas bisa saling berdiri sendiri atau
bias juga timbul menjadi faktor faktor yang saling mendukung untuk mendorong seseorang
melakukan perbuatan korupsi.
Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar sudah melakukan
analisis mengenai hal ini. Menurut Erika Evida, berdasarkan analisisnya terhadap pendapat
para pakar peneliti korupsi seperti Singh, Merican, Ainan, sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah 3 (tiga) faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan
pemerintahan kolonial. Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tak
halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak mendalam, dan
hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja. Faktor penyebab
korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis.

Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur
korupsi saat ini.
Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam
masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme.
Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu
kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk),
kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al
syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasikapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu
kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut.
Perlu diingat korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di masyarakat manapun
yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut. Ledakan korupsi
bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan
Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap matang dalam menerapkan demokrasi-kapitalis
justru menjadi biang perilaku bobrok ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama
dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis,
penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.
Faktor ideologis ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem demokrasi melalui pilkada
yang nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi. Maraknya korupsi kepala daerah tidak bisa
dilepaskan dari sistem demokrasi ini. Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi?
Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar
bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses
politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon
kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.
Data yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya 173 kepala daerah yang tersangkut
berbagai kasus korupsi, menunjukkan sistem demokrasi-lah yang dapat ditunjuk sebagai
faktor paling utama yang mendorong terjadinya korupsi. Tentu saja tak boleh diabaikan
adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lainnya, yaitu : Pertama, faktor lemahnya
karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor
lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif
masyakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih
terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Kesimpulannya, faktor penyebab korupsi setidaknya ada 4 (empat), yaitu :
1. Faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di
masyarakat, dan juga diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi,
2. Faktor kelemahan karakter individu,
3. Faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya suap,
4. Faktor penegakan hukum yang lemah.

Dampak Korupsi
Korupsi berakibat sangat berbahaya begi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial,
politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa
korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu
melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus. Secara
aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti berikut:
Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat
setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang
kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam
masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. Tidak
akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para
saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial
dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial
dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain.

Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika
korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald
menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Chandra
Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan
diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berfikir tentang dirinya sendiri
semata-mata. Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan
publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun
dan mungkin akan hilang.
Bahaya korupsi terhadap generasi muda.
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah
rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehariharinya, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap
bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budayanya), sehingga perkembangan
pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab. Jika
generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa
depan bangsa tersebut.
Bahaya korupsi terhadap politik.
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan
pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka
masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya
mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka. Praktik korupsi yang meluas
dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics dan lainlain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan,
penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau menyebarkan korupsi lebih
luas lagi di masyarakat.
Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas sosial
politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan
dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak
terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.
Ekonomi
Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi
dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme
dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk
korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut
tidak akan tercapai.
Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga
mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena
para investor akan berfikir dua kali ganda untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari
semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya
keamanan kepada pihak keamaanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak
perlu). Sejak tahun 1997, investor dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain)
cenderung lebih suka menginvestasikan dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment
(FDI) kepada negara yang tingkat korupsinya kecil.
Birokrasi
Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya
administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai
bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak
pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya
orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap. Keadaan ini
dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya
mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.

Hambatan Pemberantasan Korupsi
Di Indonesia sudah dibentuk KPK (berdasarkan UU No 32/2002) yang mempunyai misi
melakukan pemberantasan korupsi. Lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan untuk
mencegah korupsi seperti BPK dan Bawasda juga ada. Berbagai undang-undang juga sudah

dibuat untuk memberantas korupsi, di antaranya UU no 31/1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No
28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme). Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi di
Indonesia masih belum memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. Indonesia sudah berkalikali menjadi juara negara paling korup di Asia.
Apa hambatan utama pemberantasan korupsi di Indonesia? Fakta berbicara, bahwa DPR
sendirilah yang berusaha mengurangi kewenangan KPK melalui upaya DPR menggodok
Revisi UU KPK No 30/2002. Misalnya, kewenangan melakukan penuntutan yang selama ini
dimiliki KPK, hendak dihapuskan oleh DPR (lihat pasal 1 ayat 3, pasal 6 bagian c, pasal 7
bagian a; Draft Revisi UU KPK No 30/2002).
Fakta juga berbicara, bahwa penegak hukum juga menghambat pemberantasan korupsi.
Contoh, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tidak mengumumkan status tersangka Bupati
Karanganyar Rina Iriani kepada publik.
Fakta-fakta ini menunjukkan hambatan utama pemberantasan korupsi justru terletak pada
sistem yang ada saat ini. Mungkin ada yang keberatan terhadap kesimpulan ini, tapi paling
tidak, fakta-fakta tersebut menunjukkan kurang seriusnya sistem yang ada dalam
memberantas korupsi.

Korupsi dalam Pandangan Syariah Islam
Korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus ditumpas. Dalam khazanah hukum
Islam, hukum yang mengarah pada tindakan korupsi seperti dalam pengertian di atas dapat
dilihat pada unsur berikut ini :
1. Ghulûl
Dalam kamus Mahmud Yunus. Kata Ghulûl berasal dari isim mashdar yaitu ghalla,
yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan yang berarti memasukkan. Imam Syafi’i
mengartikan Ghulul yaitu
berbuat
khianat
dengan
mengambil
sesuatu
dan
menyembunyikannya.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa Ghulul itu dilarang karena melukai hati kaum
muslimin, menimbulkan perselisihan di antara mereka dan menyibukkan mereka mengurus
harta tanpa mempedulikan lagi apa yang menjadi tugas mereka. Oleh karena
itu, ghulul termasuk dosa besar berdasarkan ijma’ ulama. Bahkan, Rasulullah saw
memerintahkan penjatuhan hukuman terhadap orang yang melakukan ghulul yaitu barangnya
dimusnahkan dan ia ditebas agar membuat jera orang lain hingga tidak berani melakukan hal
seperti itu. Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Umar r.a dari Rasulullah bahwa beliau
bersabda “Jika kalian menemukan orang yang melakukan ghulul, maka musnahkanlah
barangnya dan tebaslah ia”.
Diriwayatkan pula dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah
saw, Abu Bakar, dan Umar membakar barang orang yang melakukan ghulul dan menebasnya.
‫نونما نكانن ل ةن نةبسلي أ نظن ي نمغ لنل نونمظن ي نظغل مظل ي نأ ظ ة‬
‫ت نومهظم نلا ي مظ ظل نممونن‬
‫ت ةبنما ن‬
‫غ لنل ي نظونم ال ظةقنيانمةة مث لنم تمنو لنفى مك لمل ن نفظسس نما نكنسنب ظ‬
Al-Maraghi dalam tafsirnya, Tafsir al-Maraghi, menjelaskan bahwa kata ghulûl dalam
ayat itu bermakna ‘al-akhdz al-khafiyyah’, yaitu mengambil sesuatu dengan sembunyisembunyi, semisal mencuri sesuatu. Kemudian makna ini sering digunakan dalam istilah
mencuri harta rampasan perang sebelum didistribusikan.
Rasulullah Saw menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah alKindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk
suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari
itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Kemudian ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Saw, lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Saw bertanya, “Ada apa
gerangan?” Dia menjawab, “Saya mendengar engkau berkata demikian dan demikian,” Beliau
Saw pun bersabda, “Aku katakan sekarang, bahwa barangsiapa di antara kalian yang kami
tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit
ataupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia boleh mengambilnya
(halal). Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.’” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau
bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan
imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah
harta ghulûl (korupsi).” (HR. Abu Daud)
2. Hadiah/Gratifikasi.
Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling
memberi hadiah. Suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk
memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah Islamiah. Nabi Saw bersabda, “Saling
memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR. Imam Malik)
Dari Abu Humaid as-Sa’idi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah swa berkata: Pemberian
hadiah kepada para pejabat adalah korupsi (gulul). [HR.Ahmad]. Menurut Ibn Hajar, hadis
pendek Ahmad ini diriwayatkan melalui Ismail Ibn ’Ayyasy (w. 181/797) dari Yahya Ibn Sa’id
(w. 144/761) dan merupakan ringkasan atau riwayat dengan makna dari hadis panjang diatas.
Hadis ini dengan tegas menyatakan hadiah yang diterima pejabat dari masyarakat yang
dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi dan tidak boleh diterima. Yang dimaksud dengan
hadiah di sini menurut para pensyarah hadis dan ulama fikih adalah pemberian yang diterima
seseorang pejabat atau pegawai (petugas) yang terkait atau patut diduga terkait dengan
jabatannya. An-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Dalam hadis ini Nabi saw menjelaskan
sebab diharamkannya menerima hadiah (pemberian), yaitu keterkaitannya dengan jabatan.
Lain halnya dengan hadiah kepada bukan pejabat (petugas), hadiah semacam itu dianjurkan”
Pemberian hadiah disini adalah hadiah dari rakyat kepada penguasa untuk kepentingan
tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau
wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan
gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Rasulullah
Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda,“Siapa yang kami
perkerjakan suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambilnya selebih
dari itu berarti suatu penipuan/ korupsi ”. (HR. Abu Daud)
Yusuf Qardhawi menceritakan dalam bukunya bahwa pernah Rasulullah saw mengirimkan
seorang utusan untuk mengumpulkan zakat dari kabilah Azdi. Tetapi, stelah utusan tersebut
menghadap Nabi, sebagian barang yang dibawahnya itu ditahan dan ia mengatakan kepada
Nabi, “Ini untukmu dan ini untuk saya sebagai hadiah”.
Mendengar ucapan itu Nabi marah sambil berkata, “Mengapa tidak saja kamu tinggal di
rumah bersama ayah dan ibumu sehingga hadiahmu itu sampai kepadamu kalau kamu orang
yang jujur”.
Kemudian Nabi bersabda,“Mengapa saya memperkerjakan seorang laki-laki di antara
kamu kemudian ia mengatakan: Ini untukmu dan ini hadiah untukmu? Mengapa tidak saja ia
tinggal di rumah ibunya supaya diberi hadiah? Demi zat yang diriku di tanganNya!Salah
seorang di antara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar,
melainkan ia akan menghadap Allah-kelak di hari kiamat-sambil membawa benda tersebut.
Sungguh salah seorang di antar kamu tidak akan nanti di hari kiamat dengan membawa unta
yang melenguh atau sapi yang menguak atau kambing yang mengembik. Kemudian, Nabi
mengangkat dua tangannya sampai putihnya kedua ketiaknya tampak, seraya mengatakan:
Ya Tuhan, sudahkah aya sampaikan ini?”.
Imam Syafi’i, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberikan hadiah
kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh, melalui
atau dari pejabat itu, suatu hak atau suatu yang batil, maka haram atas pejabat bersangkutan
untuk menerima hadiah tersebut. Hal itu karena adalah haram atasnya untuk mempercepat
pengambilan hak (yang belum waktunya) untuk kepentingan orang yang ia menangani
urusannya (dengan menerima imbalan) karena Allah mewajibkan mengurus hak dan imbalan
atas pengambilan suatu yang batil itu lebih haram lagi. Demikian pula (haram atasnya)
apabila ia menerima hadiah itu dengan menghindarkan pemberian hadiah dari suatu yang ia
ingini. Adapun apabila ia dengan menerima hadiah itu bermaksud menghindarkan pemberian
hadiah dari suatu kewajiban yang harus ditunaikannya, maka haram atas pejabat tersebut
menghindarkan pemberian hadiah dari kewajiban yang harus dilakukannya.
3. Risywah

Istilah lain yang juga merupakan salah satu bentuk korupsi adalah risywah, yang berasal
dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah wa risywah wa rusywah yang berarti memberi
suap atau sogok kepadanya.
Dari Sauban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melaknat pelaku, penerima,
dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya [HR.
Ahmad].
Dalam hadis ini penyuapan merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat dikategorikan
korupsi. Pelakunya tidak hanya yang menyuap, tetapi juga meliputi penerima suap dan
perantara antara penyuap dan penerima suap. Penerima suap di sini adalah pejabat atau
petugas yang menyelenggarakan pelayanan publik.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Halal dan Haram mendeskripsikan uang suap yaitu uang
yang diberikan kepada penguasa atau pegawai supaya penguasa dan pegawai tersebut
menjatuhkan hukum yang menguntungkan penyuap atau hukum yang merugikan lawannya
atau supaya didahulukan urusannya atau ditunda karena ada suatu kepentingan dan
seterusnya. Beliau dengan tegas mengatakan penguasa, pejabat dan para pembantunya
diharamkan menerima uang suap. Dan kepada pihak ketiga diperingatkan jangan sampai mau
menjadi perantara antara pihak penerima dan pemberi. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt
berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 188:
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Pernyataan asy-Syafi’i ini memuat beberapa bentuk hadiah haram yang mungkin diterima
pejabat (pegawai) dari pemberian hadiah, yaitu:
1. Hadiah dari pemberi dengan maksud si pemberi mendapat haknya lebih cepat dari
waktunya yang semestinya;
2. Hadiah dari pemberi dengan maksud si pemberi memperoleh sesuatu yang bukan
haknya, seperti hakim menerima suap dari tergugat atau terdakwa agar kasusnya
dimenangkan atau dibebaskan dari tuntutan hukuman, pada hal bukti-bukti sebenarnya
menunjukkan sebaliknya;
3. Hadiah dari pemberi dengan maksud pejabat bersangkutan membebaskannya dari
seluruh atau sebagian kewajiban yang seharusnya ia tunaikan, seperti hadiah yang
diterima petugas pajak dari wajib pajak agar kewajiban pajaknya diperkecil;
4. Hadiah yang dikategorikan sebagai korupsi ekstrotif (pemerasan), yaitu bentuk korupsi
dimana pihak pemberi dipaksa melakukan penyuapan guna memcegah kerugian yang
akan mengancam diri, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya.
Keempat bentuk pemberian hadiah yang disebutkan asy-Syafi’i ini disebut sesungguhnya
risywah (boleh juga dibaca rusywah atau rasywah). Para ulama juga memasukkan pemberian
seseorang kepada petugas atau pejabat untuk mendapatkan haknya sendiri yang terhalang atau
untuk menolak suatu yang batil sebagai pemberian yang tidak sah, dan pemberian semacam
ini, menurut sementara ulama, dinamakan as-suht.
4. Suht
Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti
memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang
haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan
merusak atau menghilangkan keberkahan.
Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah risywah (suap menyuap) dalam
perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di
Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar
memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata,
“Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalah suht (yang haram) dan kami
tidak akan memakannya.”
‫ب أ ن ل نكاملونن ةلل لمسظح ة‬
‫عن ظمهظم نفل نظن ي نمض لمرونك نشيظئئا نوإةظن‬
‫عونن ل ةل ظك نةذ ة‬
‫نس لنما م‬
‫حك مظم نبيظن نمهظم أ نظو أ ن ظ‬
‫عن ظمهظم نوإةظن تمظعةرظض ن‬
‫عةرظض ن‬
‫ت نفإةظن نجامءونك نفا ظ‬
‫ن‬
‫ب ال ظممقظةسةطينن‬
‫حك نظم ن‬
‫حك مظم نبيظن نمهظم ةبال ظةقظسةط إة ل نن الل لنه ي مةح لم‬
‫ت نفا ظ‬
‫ن‬

Term al-suht dalam ayat tersebut secara leksikal berasal dari kata sahata yang memiliki
makna memperoleh harta yang haram. Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah harta haram. Ibn Khuzaimandad,
seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan alsuht adalah bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di
sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak
mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya. Jika kembali
dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks
kekinian. Di mana praktek suap menyuap orang yang memiliki kekuasaan merupakan bagian
dari bentuk praktek korupsi yang telah menjamur di masyarakat. Banyak yang belum
menyadari bahwa suap (al-suht), baik yang menerima maupun yang memberi, termasuk
dalam tindakan korupsi.
5. Khâna
Khâna berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadha, khâlafa (melanggar dan
merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat
adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya.
Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak
orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya
dalam masalah mu’amalah. Khianat juga digunakan kepada orang yang mengingkari amanat
politik, ekonomi, bisnis (mu’amalah), sosial dan pergaulan.
Khianat adalah tidak menepati amanah. Oleh karena itu, Allah Swt sangat membenci dan
melarang berkhianat. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah
dan sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak berdasarkan
pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt
tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa atau
kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu pertama, orang yang memiliki
kelebihan air di perjalanan tetapi ia menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk
mendapatkannya. Kedua, orang yang memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya
karena kepentingan duniawi. Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu
dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual
dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah
bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian (untuk
mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi membelinya, padahal
si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.” (HR. Bukhari)
6. Sariqah
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin
Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini (QS. Al-Maidah [5]: 38) turun berkenaan dengan seorang
wanita yang mencuri, maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi
saw. “Wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami”. Maka wanita itu berkata “Kami
akan
menebus
curiannya.” Nabi
bersabda,
“Potonglah
tangannya!” Kaumnya
berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun
bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu
bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?” Jawab Nabi saw,, “Engkau kini
telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah
QS. Al-Maidah [5]: 38 tersebut.
Kata saraqa sendiri secara etimologi bermakan “akhdzu ma li al-ghairi
khufyatan”(mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi). Sedangkan secara
terminologis kata ‘mencuri’ (al-sarq) terlebih dahulu dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pencurian besar dan kecil. Pencurian besar merupakan arti lain dari term hirabah
sebagaimana penulis jelaskan pada term sebelumnya. Sedangkan definisi tentang pencurian
kecil, beberapa ulama memiliki makna yang bervariasi, yaitu (a) mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang cukup terpelihara menurut kebiasaannya, (b)

mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan jalan menganiaya, (c)
mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang bukan diamanatkan
padanya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq adalah
mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa