FILSAFAT tentang positivismed alam filsaf

TUGAS
FILSAFAT HUKUM

Nama

: Madhina Nur Muthia

NPM

: 2012200272

Kelas

:B

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
Jl.Ciumbuleuit no.94
BANDUNG

1.


Aliran Hukum Kodrat (Natural Law) Klasik

Aliran hukum kodrat merupakan aliran yang didasarkan atas pemikiran para filsuf
Yunani kuno dengan menggunakan pendekatan kosmologis. Pendekatan kosmologis tersebut
merupakan pendekatan yang tujuanya adalah untuk memahami seluruh alam semesta sebagai
suatu satu kesatuan yang oleh para filsuf disebut sebagai kosmos. Karena kosmos itu berjalan
secara konsisten dan tidak dapat berdiri sendiri, maka kosmos juga harus berjalan dengan
athropos dan logos.
Di tahun 594 SM, salah seorang tokoh pemikir hukum alam yang bernama Solon
membebaskan rakyat miskin dari para tuan tanah dengan cara pemutihan hutang yang
selanjutnya melahirkan sebuah konsep “keadilan social sebagai dasar Negara”. Solon juga
menyusun suatu Undang-Undang Dasar yang menjadi cikal bakal dari demokrasi. Cita-cita
yang hendak dicapai melalui konstitusi yang telah disusun oleh Solon adalah suatu
kebahagiaan dengan konotasi ketertiban dan keadilan bagi seluruh masyarakat berdasarkan
hukum.
Pemikiran baru yang dilakukan oleh Kleisthenes yang mengidamkan demokrasi
setelah terjadinya masa pemerintahan yang tirani. Dia mencoba untuk melakukan demokrasi
secara murni dan konsekuen dengan menyelenggarakan pemilihan umum yang
dilangsungkan setiap tahun. Hal itu merupakan cita-cita dari asas yang menempatkan setiap
orang pada kedudukan yang sama untuk membuat Undang-Undang secara konsekuen.

Dampak dari pemikiran Kleisthenes yang tidak realistis tersebut, malah terjadi kekacauan
karena menimbulkan perdebatan tentang hukum yang seperti yang secara langgeng dapat
memberikan jaminan terhadap ketertiban umum dan keadilan bagi setiap orang.
Selanjutnya kaum Sofis menegahkan masalah teoritis mengenai hukum dan Negara
kepada masyarakat. Kaum sofis ini diwakili oleh Protagoras yang bertumpu pada pemikiran
skepsis dan relativisme. Dia menyatakan bahwa tidak ada suatu kebenaran yang bersifat
absolut, tetapi yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat relative sehingga segalanya harus
dipertanyakan. Tidak ada hal yang secara alamiah adalah baik atau buruk, adil atau tidak adil.
Yang menjadi alat ukur untuk menentukan semuanya adalah manusia. Termasuk dalam hal
mana yang baik atau buruk maupun adil atau tidak adil
Dengan begitu Protagoras mengutarakan bahwa kekuatan bukanlah yang boleh
menjadi suatu tolak ukur, melainkan akal yang memerintah melalui kesamaan bagi setiap
orang di hadapan hukum.
2.

Positivisme Hukum Klasik

Didalam aliran positivisme klasik ini terkandung sebuah mazhab hukum murni
dimana salah satu tokoh penggagas hukum murni ini adalah Hans Kelsen yang merupakan
seorang tokoh yang namanya sudah di kenal dalam dunia hukum. Hans Kelsen

mempermasalahkan kembali perihal pemisahan antara das sollen (yang harus) dan das sein
(yang ada). Hal tersebut merupakan cerita lama yang di munculkan kembali oleh Platon dua
millennium sebelumnya dan dipersoalkan kembali oleh Immanuel Kant. Hans Kelsen setelah
melalui pengasingannya di Amerika Serikat selama perang dunia II telah membangun sebuah
pengaruh yang besar terhadap perkembangan teori hukum setelah berakhirnya perang dunia
tersebut. Politik dari Adolf Hitler yang memang sangat mengkhawatirkan Hans Kelsen yang
merupakan seorang mantan hakim agung dan guru besar untuk hukum tata Negara di wina,
Austria. Kelsen mengetahui secara langsung bagaimana Hitler menjalankan suatu politik
hukum yang memanfaatkan hukum demi politik dan kekuasaan, dan bukannya untuk
menegakkan keadilan. Padahal Sokrates sudah mengajarkan bahwa kekuasaan adalah alat

untuk menegakkan hukum, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, didalam bukunya Reine
Rechtslehre ( Ajaran Hukum Murni, 1960) dia berusaha untuk membersihkan hukum dari
anasir-anasir politik dan kekuasaan. Menurut Kant konsep keadilan memang potensial ada
dalam diri setiap orang. Namun, persoalannya adalah bahwa tidak setiap orang mampu
menyadari dan memahami potensi itu.
Karena itu Kelsen berusaha untuk mengembalikan seluruh kompleks hukum kepada
suatu kaidah dasar yang disebutnya Grundnorm. Dan diatas Grundnorm itulah dibangunnya
Stuffenbau, yang merupakan struktur hukum serta peraturan-peraturan untuk melaksanakan
gagasan keadilan yang dikandung oleh Grundnorm itu sendiri. Maka dari itu, Grundnorm

merupakan salah satu konsep sentral dalam ajaran Kelsen. Karena sebagai norma dasar,
validitasnya tidak perlu dan tidak dapat dipertanyakan lebih jauh lagi. Yang menjadi
permasalahanya, walaupun Grundnorm merupakan penentu nilai keadilan yang tertinggi, dia
tidak pernah dapat dinalar sampai tuntas. Dan hal itu bahkan sudah disadari oleh Cicero 20
Abad silam ketika dia mengatakan Summun Ius, Summa Iniura namun, Kelsen menyangkal
tuduhan bahwa dia akan mendirikan positivisme hukum. Lebih tepatnya adalah, dia hendak
mendirikan hukum positif yang bersumber pada hukum yang murni. Hukum positif itu
sendiri sifatnya dinamis. Karena itu teleology dan hermeneutic mempunyai peran bagi
manusia sebagai suatu metode untuk terus-menerus menafsirkan dan merumuskan ulang
hukum alam yang tidak berubah itu. Hukum alam menggambarkan citra penciptaan alam
semesta sebagai konsepsi yang sempurna. Merupakan keterbatasan manusia yang terusmenerus memojokkannya agar dapat menemukan suatu jalan agar dapat menempatkan diri
dalam alam yang sempurna itu. Proses yang terus-menerus itulah yang ternyata hendak
ditanggapi oleh mazhab Dialektis.

3.

Positivisme Hukum Modern / Kontemporer

Aliran Positivisme Modern atau yang lazim disebut sebagai Neopositivis dikenal
sebagai pendukung mazhab realis. Apabila kaum positivis mengacu kepada bidang sosiologi

maka kaum neopositivis berpedoman kepada bidang Antropologi. Dalam pandangan kaum
neopositivis, hukum adalah sebuah refleksi dari kebudayaan sebagai kompleks dari suatu
perilaku manusia. Kebudayaan itu sendiri merupakan jawaban terhadap kenyataan biopsikologis manusia yang berhadapan dengan alam maupun kehidupan bersama. Maka dari itu
hukum merupakan rumusan dari kepentingan manusia.
Mazhab Neopositivis dapat dibagi menjadi tiga aliran,:
1.Aliran yang pertama adalah aliran Teori Analitis, yang asumsi-asumsinya dirintis
oleh seorang tokoh yang bernama John Austin. Dalam pandangan Austin cukup jelas bahwa
hukum harus ditemukan di dalam Undang-Undang yang diterapkan oleh penguasa yang
berdaulat. Ajaran dari Austin ini kemudian dikembangkan secara kritis oleh seorang tokoh
yang bernama H.L.A. Hart, terutama di dalam bukunya yang disebut tadi, yang memberi
makna sosial-empiris terhadap hukum.
2. Aliran Neokantian, seperti yang diwakili oleh pemikiran Hans Kelsen, yang secara
garis besar teorinya sudah pernah dikemukakan lebih dulu. Inti dari ajaran Kelsen itu pada
akhirnya merumuskan hukum sebagai “tatanan normatif yang memaksa perilaku manusia”.
3. Aliran Teori Empiris, yang terurai dalam karya dari sejumlah pemikir, antara lain
J.Raz yang memusatkan diri pada teori sistem, H.Albert yang memahami hukum sebagai
kenyataan sosial, A. de Wild yang mendekati hukum secara empiris semata dan menolak

dialetika, dan Glastra Van Loon yang menganjurkan untuk memberi perhatian kepada
kenyataan bagaimana hukum sebenarnya berfungsi dan berhadpan dengan pengharapan yang

sah dari warga masyarakat.

4.

Aliran Hukum Kodrat Modern

Para sarjana yang berasal dari mazhab Neokantianisme Baden berusaha untuk
melewati jurang antara bidang “ada” dan “harus” dengan keyakinan bahwa terdapat bidang
yang didalamnya mengandung kedua unsur tersebut. Bidang itu adalah bidang kebudayaan,
dimana didalam menemukan kebenarannya terwujud suatu kehidupan yang konkret melalui
suatu unsur kebudayaan, yang disebut sebagi ilmu pengetahuan.
Gustav Radbruch menerapkan teori ini di dalam hukum. Dia mengatakan bahwa
hukum adalah unsur kebudayaan, maka dari itu seperti unsur kebudayaan yang lain hukum
itu mewujudkan nilai yang konkret di dalam kehdupan manusia. Sehingga kesimpulanya
adalah, hukum hanya dapat berarti sebagai hukum apabila hukum tersebut merupakan suatu
perwujudan dari keadilan.
Radbruch mengutarakan pendapatnya bahwa didalam pengertian hukum terdapat tiga
aspek yang dapat dibedakan. Ketigannya dibutuhkan agar dapat mencapai pada pengertian
hukum yang lebih memadai. Aspek pertama adalah keadilan dalam arti sempit, yang berarti
keadilan ini merupakan kesamaan hak semua orang di depan pengadilan. Selanjutnya aspek

yang kedua adalah tujuan keadilan, yang artinya bahwa hukum harus ditentukan isinya
karena isi dari hukum memang sesuai tujuan yang hendak dicapai. Selanjutnya yang terakhir
adalah kepastian hukum, yang artinya bahwa hukum mempunyai fungsi sebagai suatu
peraturan yang harus ditaati.
Mengenai hukum alam Radbruch mengetengahkan bahwa didalamm hukum itu
terdapat tuntutan dasar, yang selalu harus ditaati. Dan tuntutan yang dimaksud disini ada 3.
1. adalah bahwa setiap individu itu harus diperlakukan menurut keadilan di depan
pengadilan.
2. adalah tentang hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar harus diakui.
3. adalah bahwa harus ada suatu keseimbangan antara peraturan dan hukuman.
Terhadap pernyataan tersebut, ia mengakui bahwa keadilan terhadap manusia secara
individual adalah sebuah batu sendi dalam perwujudan keadilan dalam hukum. Dan
juga pandangan Radbruch ini memfokuskan diri terhadap perlunya perhatian terhadap
hubungan antar keadilan dan kepastian hukum. Yang oleh sebab itu, maka kepastian
hukum harus dijaga demi keamanan di dalam negara

5.

Sociological Jurisprudence


Ada satu aliran yang berangkat dari ilmu sosiologis yakni aliran sosiologi hukum.
Aliran sosiologi hukum didasarkan atas pemikiran tokoh America yang bernama Roscoe
Pound. Aliran sosiologi hukum ini juga dikenal dengan nama “The Sociological
Jurisprudence”.
Aliran dalam ilmu hukum ini berasal dari pemikiran dasar seorang hakim di Amerika
Serikat yang bernama Oliver Wendel Holmes yang mengatakan bahwa “sekalipun hukum itu
memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut imperative-imperatif logika. Tetapi nyawa dari hukum itu
bukan hanya logika, melainkan juga pengalaman.”. pengalaman yang dimaksud disini tak lain
adalah the social, sehingga dapat dimengerti mengapa di dalam sociological jurisprudence
ini, sekalipun memfokuskan kajian pada persoalan kaidah positif, tetapi faktor-faktor
sosiologis yang secara realitsitis harus senantiasa juga ikut diperhatikan di dalam suatu
kajian.
Berangkat dari doktrin sistem hukum common law yang mengajarkan suatu asas
bahwa hakim harus pro aktif dalam menyelesaikan perkara dengan cara menciptakan hukum
apabila diperlukan dan tidak berlaku hanya sebagai corong dari Undang-Undang. Dalam
doktrin yang terdapat di dalam sistem civil law mengajarkan juga bahwa hakim selain bekerja
secara pro aktif dalam membuat keputusan harus pula ikut memperhatikan kenyataankenyataan sosial. Hal itu juga relevan dengan kebutuhan hukum di dalam masyarakat yang
selalu berubah, dan selanjutnya juga akan selalu fungsional di tengah perkembangan
masyarakat.

Berdasarkan dari fungsi hakim yang harus pro aktif, memuncul suatu doktrin yang
terbaru di dalam aliran sociological jurisprudence, yaitu “Law is A Tool of Social
Engineering”. Hal itu menekankan bahawa fungsi dari hukum itu adalah sebagai suatu alat.
Hal tersebut yang juga menjelaskan mengapa kajian hukum di Amerika Serikat tak hanya
dalam program-program akademik,namun juga di dalam praktik-praktik peradilan terbilang
cukup sensitif di dalam persoalan sosiologis. Dalam kajian maupun dalam praktiknya,
peradilan cenderung mempertimbangkan tuntutan dan kenyataan yang terdapat dalam
konteks sosialnya.
Akibatnya adalah bahwa dalam hukum positif baik yang berupa status maupun yang
berupa preseden menjadi lebih dikonsepkan sebagai kaidah yang constituendum daripada
sebagai kaidah yang constitutum. Maka dari itu pada hakekatnya sociological jurisprudence
bukanlah sosiologi hukum karena pada awalnya ilmu hukum itu pada awalnya merupakan
bagian dari filsafat moral yang pada dasarnya hendak berseluk beluk dengan persoalan nilai
kebaikan dan keadilan. Aliran ini juga menginginkan agar pemahaman hukum sebagai suatu
kaidah sosial yang sudah di positifkan harus dilakukan penegasan dan pembatasan. Menurut
aliran ini, hukum itu bukanlah sesuatu yang berproses secara asosial dan akultural sehingga
hukum itu haruslah murni, yang sehingga sekali lagi harus ditegaskan bahwa sociological
jurisprudence itu adalah bagian dari jurisprudence.

6.


Critical Legal Studies

Pada tahun 1920-an, paham formalisme yang sudah lama berkembang di kalangan
profesi hukum di Amerika ini di kritisi. Paham anti formalisme atau yang sering disebut The
Realistic Jurisprudence mengemukakan pandangan mereka yang sudah sekitar 30 tahun
lambat laun kemudian mulai tidak lagi terdengar dan seakan menghilang begitu saja. Lalu
pada saat terjadinya puncak dari perang Vietnam pada tahun 1970 muncul aliran social politik
yang memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang didasarkan pada
ajaran formalism. Para anggota dari aliran social politik tersebut menitikberatkan pada
pemikiran-pemikiran yang dapat memberikan perlawanan yang lebih keras kepada kaum
formalis, yang pada saat itu dinamakan The Establishment. Pada pertengahan tahun 1980-an
aliran pengkritisi ajaran formalis ini mulai dikenal dengan nama The Critical Legal Studies
(CLS).
Milovanovic,berpendapat bahwa didalam perkembangannya ada tiga tahap
perkembangan CLS. Dia mengatakan bahwa tahapan pertama dari CLS ada pada sekitar
awal dasawarsa tahun 1970-an yang dimana pada tahapan pertama ini CLS masih merupakan
suatu kritikan tajam terhadap aliran kaum formalism, Selanjutnya, tahapan kedua
perkembangan CLS yang berkembang pada sekitar akhir dasawarsa tahun 1970-an, aliran
CLS sudah melakukan kritik terhadap kasus-kasus dengan menggunakan berbagai analisis.

Yang selanjutnya menyebabkan CLS mulai memasuki tahapan akhir dari perkembangannya
yang hasilnya adalah CLS menghasilkan suatu konsep, teori, dan metode kajian hukum.
Hal pokok yang menjadi masalah utama di dalam kajian CLS adalah mengenai ajaran
formalisasi hukum yang dianggap tidak mempunyai fungsi bagi masyarakat, tetapi justru
malah berpotensi menjadi sesuatu yang hanya bermanfaat bagi para penguasa untuk
melegimitimasi dominasinya. Dengan focus terhadap kajian tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa politik dan hukum itu tidak ada suatu batasan pemisah yang jelas. Hukum seolah-olah
hanya sebagai alat politik dari para penguasa untuk menjalankan menjalankan kegiatan
politiknya karena hukum identik dengan motif-motif politik.
Sebenarnya para pemikir CLS ini tidaklah bermaksud untuk merubah secara besar
hukum nasional yang dianggap tidak mementingkan rasionalitas-substantif. Namun
sebenarnya hanya bermaksud untuk melakukan suatu konstruksi ulang terhadap cabangcabang hukum yang secara praktis tidak bermanfaat yang selanjutnya dilanjutkan dengan
dikonstruksikan ulang. Dengan tujuan tersebut, maka para tokoh CLS mulai mencoba
menengahkan visi-visi mereka tentang tatanan masyarakat dan tatanan hukum di masa yang
akan datang. Rekonstruksi ulang yang dilakukan didasari atas kebijakan “pembalikan
hierarki” serta upaya untuk menemukan metode baru untuk menafsirkan ulang maksud yang
terkandung didalam suatu norma hukum. Rekonstruksi ulang yang dilakukan juga harus
dapat melihat pihak-pihak yang selama ini terabaikan.
Seorang tokoh yang cukup terkenal dalam menyuarakan suaranya tentang
rekonstruksi yang bernama Roberto Unger, menuliskan kegiatan konstruksi ulangnya dalam
bentuk aliran untuk melakukan gerakan menuju ke suatu yang dinamakan sebagai
Empowered Democracy dan perkembanganya yang disebut Transformative Politics. Unger
menegaskan bahwa pada dasarnya didalam kehidupan bermasyarakat terdapat struktur
hierarkis yang sangat kaku dan tidak peka pada tuntutan publik. Sehingga harus ada suatu
gerakan yang dapat membuat struktur tersebut menjadi lebih responsive, demokratis,peka
pada permasalahan manusia, dan juga dapat dimintakan pertanggungjawaban. Melalui aliran
yang menurutnya disebut sebagai suatu kegiatan transformatif yang berdasarkan atas hak-hak

yang harus diakui itu dapat menggugah dan membangun suatu birokrasi kekuasaan yang
bekerja sesuai dengan fungsinya.
Tetapi Unger sendiri sebenarnya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan
birokrasi kekuasaan yang sudah ada karena bagaimanapun juga di dalam suatu kehidupan
bernegara memang dibutuhkan. Tetapi menurutnya hal yang lebih dibutuhkan lagi adalah
adanya suatu keputusan yang lebih peka. sehingga poses konstruksi ulang juga harus
dimaknai sebagai proses rekontruksi ulang yang positif.

7.

Studi Hukum dan Masyarakat (Law and Society)

Aliran ini sebenarnya masih memiliki keterkitan dengan aliran “Critical Legal
Studies” Roberto Unger yang memfokuskan pada upaya Dekontruksi dan Rekontruksi ini
adalah sebuah aliran pemikiran yang diciptakan oleh mereka yang memfokuskan pada
masalah-masalah perempuan dalam pencaturan hukum, yaitu kelompok yang ingin mencoba
mengembangkan teori-teori kritik yang secara lebih khusus memfokuskan pada pembahasan
masalah perempuan, dengan menggunakan teori dan konsep tersendiri yang selanjutnya lebih
dikenal sebagai “The Feminist Jurisprudence”
Dekontruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di dalam aliran ini berlangsung
berdasarkan kebijakan “pembalikan Hierarki” dan dari upaya penemuan sebuah metode baru
untuk melakukan penafsiran ulang tentang maksud yang terkandung di dalam norma hukum.
Berbicara tentang rekontruksi, nama tokoh Roberto Unger sangatlah dikenal sebagai
penulis yang sangat visioner. Karena di dalam buku-buku yang ditulisnya dan terbit pada
tahun 1986 dan 1987, Unger menuliskan kegiatan konstruksi ulangnya dalam bentuk ajakan
untuk melakukan gerakan menuju apa yang ia sebut sebagai“Empowered Democracy” dan
keterkembangkannya “Transformative Politics”. Berangkat dari suatu asumsi bahwa pada
dasarnya hierarkis kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis
yang amat sangat kaku dan tidak mudah merespon tuntutan publik. Suatu gerakan harus
dimudahkan agar dapat membuat struktur itu berubah menjadi lebih responsive, demokratis,
peka terhadap permasalahan manusia, dan kemudian daripada itu lalu juga bersedia untuk
diminta pertanggung jawaban. Gerakan akan dikembangkan melalui apa yang ia sebut
sebagai sebuah aktivitas transformative, yaitu aktivitas yang secara berencana dilakukan atas
dasar “hak-hak individu yang dilindungi hukum untuk melakukan destabilisasi dari waktu ke
waktu”. Aktivitas tersebutlah yang didasarkan atas hak-hak yang seharusnya boleh diakui
atau juga boleh diduga kuat akan berdampak pada birokrasi kekuasaan, yang kemudian dapat
diharapkan akan segera menyadarkan birokrasi kekuasaan itu untuk segera bekerja sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

8.

Teori Keadilan Dari John Rawls

Menurut John Rawls teori keadilan adalah teori yang merupakan suatu hasil dari
kejujuran manusia sebagai seorang manusia, suatu pendirian yang tidak dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan sampingan lain. Keadilan yang didasarkan atas kejujuran
(Justice as Fairness) ini diungkapkan oleh Rawls didalam teorinya tentang keadilan. Menurut
Rawls masyarakat yang ada belum diatur dengan baik, masyarakat diharuskan kembali
kepada posisi asli mereka agar dapat menemukan suatu prinsip keadilan yang benar. Posisi
asli ini adalah suatu keadaan dimana seorang manusia sedang berhadapan dengan manusia
yang lainnya. Pada dasarnya posisi ini adalah suatu posisi yang fiktif sehingga tentu saja
tidak mungkin manusia dapat melepaskan diri secara pribadi dalam keadaan kepribadian
yang sebenarnya. Maka dari itu apabila bertolak dari posisi asli ini,orang akan sampai pada
suatu persetujuan asli (original agreement) mengenai prinsip-prinsip keadilan, yang kaitanya
tentang pembagian hasil hidup secara bersama.
Menurut Rawls,terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat sampai
pada posisi aslinya.
1. Pertama adalah segala abstraksi dari sesegala sifat individual seseorang mampu untuk
sampai pada suatu pilihan yang unanaim tentang prinsip-prisnsip keadilan.
2. Yang kedua adalah apabila diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan
semangat keadilan, maka sikap ini sebenarnya bertepatan dengan sikap rasional yang
diharapkan dari seorang yang bijaksana.
3. Yang ketiga adalah apabila diandaikan bahwa setiap orang pertama-tama suka
mengejar kepentingan individualnya dan baru kemudian kepentingan umum.
Rawls berpandangan bahwa kecenderungan dari seseorang untuk mengejar
kepentingaan individualnya tidak menjadi suatu penghalang untuk menentukan prinsipprinsip keadilan. Karena jika seseorang harus dihadapkan pada suatu keadaan yang cukup
serius, yaitu bagaimana masa depannya bersama orang lain paling terjamin. Karena dalam
mempertimbangkan situasi tersebut, seseorang akan mempertimbangkan bahwa mungkin ia
akan termasuk kedalam golongan yang paling lemah di dalam masyarakat. Sehingga demi
kepentingan individual orang-orang yang tinggal di situasi asli akan memilih prinsip-prinsip
keadilan yang tepat, sehingga dapat menimbulkan pilihan yang baik seperti apa yang
diharapkan daalam masyarakat.
Dengan mengambil posisi asli menurut pedoman yang disebutkan, maka akan sampai
pada dua prinsip yang sangat fundamental untuk pembentukan masyarakat yang adil. Yang
pertama adalah prinsip kesamaan, yaitu masing-masing pribadi mempunyai hak akan suatu
sistem total kebebasan-kebebasan dasar yang sebesar mungkin, sejauh sistem kebebasan itu
dapat disesuaikan dengan sistem kebebasan yang sama besar bagi orang lain. Kedua adalah
prinsip ketidaksamaan, yaitu situasi dimana harus diberikan suatu aturan yang sedemikian
rupa sehingga muncul suatu kondisi yang paling menguntungkan golongan masyarakat yang
paling lemah.
Dari dua prinsip fundamental keadilan diatas menghasilkan beberapa hal, yaitu
terdapat toleransi, serta pengakuan hak-hak politik bagi semua orang, dan berlakunya suatu
sistem peraturan hukum sebagai sistem pengendalian.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Arief. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju,2000
2. Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum. Ketertiban yang Adil. Bandung:
Mandar Maju,2011
3. Tebbit, Mark. Philosophy of Law. A Very Short Introduction. 2nd Edition.
London:Routledge,2000
4. Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:Kanisius,1993