TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TINDAKAN EUTANASIA Sutarno dan Bambang Ariyanto ABSTRACT : Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku saat ini, konsepsi

  

TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA DALAM

TINDAKAN EUTANASIA

Sutarno dan Bambang Ariyanto

  

ABSTRACT : Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku saat ini, konsepsi

  mengenai hak asasi manusia telah dirinci secara detail. Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dari pasal ini menunjukkan bahwa hak hidup merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi. Sementara itu, dalam dunia medis, ada tindakan eutanasia yang juga bertujuan untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya, baik atas permintaan dari pasien atau intervensi aktif dari dokter. Eutanasia dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai hak untuk mati yang berseberangan dengan hak untuk hidup sebagaimana ada dalam konsitusi. Hal ini memunculkan polemik apakah eutanasia diperbolehkan dalam hukum positif di Indonesia. Lalu apakah eutanasia merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

  Keywords : eutanasia, hak untuk hidup, hak asasi manusia

Correspondence : Dosen Fakultas Hukum, Hang Tuah University Surabaya, Jl. Arif

Rahman Hakim No 150 Surabaya .

  PENDAHULUAN

  Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, bukan negara yang berdasarkan atas kekuasan belaka. Maksud negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa negara dalam tata kehidupan masyarakat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan dengan maksud untuk melindungi dan menyelesaikan perkara yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, karena baik disadari maupun tidak disadari, manusia sebagai anggota masyarakat selalu melakukan perbuatan melanggar hukum dan hubungan hukum.

  Sebagai negara berdasarkan hukum, Indonesia sangat menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi hak asasi manusia. Dalam sila kedua Pancasila, dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui dan menghormati sikap “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

  Dengan demikian secara nyata dan filosofis, Indonesia memiliki cita-cita kuat untuk menegakkan hak asasi manusia sesuai ketentuan hukum baik hak asasi individu maupun kelompok.

  Hak yang paling utama dan paling perlu mendapat perhatian adalah hak hidup. Hak hidup ini merupakan hak yang paling suci dan Ilahiyah, serta tidak dibenarkan secara hukum dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh eksistensinya. Oleh karena itu, segala macam yang melanggar hak hidup seperti membunuh, menganiaya dan melukai orang lain sangat dilarang oleh setiap agama apapun di dunia ini.

  Perkembangan teknologi dan ilmu dalam dunia kedokteran secara tidak langsung membawa implikasi terhadap hak si pasien. Hak untuk hidup sebagai hak yang asasi bukan lagi menjadi pembicaraan yang hangat. Pembicaraan yang menjadi dilema justru permintaan dari si pasien untuk mati. Atau lebih dikenal dengan Eutanasia. Eutanasia menurut pemikir Islam Yusuf Al-Qardawi adalah tindakan ahli medis untuk mengakhiri hidup seseorang dan mempercepat kematiannya melalui injeks kematian, kejutan listrik, senjata tajam dan cara lainnya. Perspektif Hukum, Vol. 12 No. 2 November 2012 : 42-52

  Istilah eutanasia memang masih asing di Indonesia, karena peristiwa tersebut sangat jarang terjadi. Di negara- negara maju, seperti Amerika, Austria, Belanda dan negara Eropa lainnya, masalah eutanasia telah lama dikenal dan bahkan telah ada undang-undang yang melegalisasikannya. Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi para dokter atau pihak lain untuk melakukan

  Sementara itu, dalam dunia medis saat ini perlu tuntutan etika, moral dan hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia kedokteran. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana hak-hak yang dimiliki pasien dan dokter dalam kaitannya dengan eutanasia. Apakah pengaturan mengenai hak-hak tersebut dalam perspektif hak asasi manusia di kasus

  harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.

  Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan

  Makna Asas Legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bila dirumuskan dalam bahasa latin :

  Asas legalitas merupakan asas pertama dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP ini berbunyi : “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.

  tuntutan rambu-rambu etika, moral, dan hukum dalam menyikapi hal tersebut.

  eutanasia. Disinilah sebenarnya perlu

  positif di Indonesia. Hal ini menimbulkan polemik bagi para dokter dan tenaga medis yang setiap harinya berhadapan dengan kasus-kasus menyangkut

  eutanasia sudah diatur dalam hukum

  Bagi golongan yang kontra terhadap praktik eutanasia, dilihat dari perspektif agama menyatakan bahwa hidup dan matinya seseorang itu berada di tangan Allah SWT dan tugas dokter hanya berusaha semaksimal mungkin serta mengerahkan segala kemampuannya untuk dapat memberikan pertolongan kepada si pasien.

  eutanasia . Dokter juga merasa aman

  di praktikkan secara terang- terangan. Mereka sangat menghargai pilihan bagi diri si pasien dan keluarganya untuk memilih dan menentukan jalan kematiannya sendiri. Mereka beranggapan bahwa memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan dan siksaan penyakit, baik fisik maupun materi adalah tindakan irasional dan tidak menghargai hak asasi manusia, di mana seseorang memiliki hak terhadap dirinya sendiri untuk menentukan sikap dan keputusan atas kelanjutan hidupnya. Hal ini patut dihormati dan dihargai.

  eutanasia

  negara-negara maju lainnya, kebijakan

  eutanasia seperti Amerika maupun

  Di negara-negara yang pro terhadap

  eutanasia pasif.

  Dalam praktiknya, eutanasia dilakukan apabila seorang pasien yang menderita penyakit itu belum diketemukan obatnya, serta membuat si pasien menderita karena penyakit yang di deritanya (secara fisik). Sebab lainnya, apabila keluarga si pasien membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan dirinya, sedangkan keadaan keluarganya sudah tidak sanggup membiayai pengobatan si penderita (secara materi), maka si pasien meminta dengan sungguh- sungguh kepada pihak rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya dan keluarga si pasien mengizinkannya. Pihak rumah sakit kemudian melakukan eutanasia (mengakhiri hidup si pasien) baik dilakukan dengan eutanasia aktif maupun

  dalam menjalankan tugasnya karena ada perlindungan hukum atas kebijakannya untuk menghentikan pengobatan terhadap pasien-pasien tertentu yang tingkat keparahan penyakitnya tertentu pula.

PEMBAHASAN 1. Eutanasia antara Dimensi Hukum dan Medis

Sutarno, Bambang , Tinjauan Hak Asasi Manusia…………

  Dari makna tersebut, ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut: (1) jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana; (2) ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.

  Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian : (1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; (2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas); (3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

  Penggunaan kata- kata “perundang- undangan pidana” dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menunjukkan bahwa setiap perbuatan pidana tidak hanya bersumber dari undang-undang pidana dalam arti formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara material merupakan undang-undang dalam pengertian luas, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain peraturan yang memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik yang masuk dalam lingkup Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi (Civil Penal Law dan Administrative Penal Law).

  Dalam hal penghilangan nyawa seseorang, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia atau hukum positif Indonesia masih memberikan dasar hukum itu. Hal ini terlihat adanya pemberlakuan hukuman mati yang diatur dalam beberapa aturan hukum di Indonesia. Dengan pengaturan itu, seseorang yang bertugas menghukum mati tidak akan dipersalahkan atas pelaksanaan tugasnya tersebut. Hakim yang memutus perkaranya, yang menjatuhkan hukuman matipun telah dilindungi oleh peraturan perundang- undangan. Hal ini berbeda dengan persoalan eutanasia . Di Indonesia, seorang dokter atau tenaga medis lain tidak terlindungi oleh peraturan perundang- undangan bila “melaksanakan eutanasia”, sehingga dapat dipersalahkan, bahkan juga eutanasia pasif dan pseudo euthanasia atau euthanasia semu. Berbicara soal keadilan, hal ini dapat dikatakan tidak adil, karena tidak dilindungi tetapi terancam oleh undang- undang yang ada.

  Di Indonesia saat ini, berbicara mengenai penghilangan nyawa seseorang, tidak lepas dari apakah ada hak seseorang untuk memperlakukan nyawanya sendiri. Dipandang dari sisi agama misalnya, bunuh diri merupakan tindakan yang dilarang, tetapi dari segi hukum positif sebetulnya ada penghargaan terhadap yang empunya nyawa.

  Berikut ini ada beberapa fakta mengenai hak untuk mati yang dapat ditemukan dalam hukum positif di Indonesia: 1.

Di Indonesia, bunuh diri tidak dilarang. Ini terbukti dengan tidak ada

  satu pasalpun yang melarang atau bahkan mengancam dengan hukuman terhadap seseorang yang bunuh diri. Alasannya, orang tersebut sudah meninggal dunia. Namun apabila seseorang yang bunuh diri itu gagal, tidak juga ada ancaman pidananya. Dengan demikian sebetulnya seseorang bebas memperlakukan nyawanya sendiri.

  2. Ancaman pidana bagi seseorang yang membunuh orang lain cukup berat, apalagi pembunuhan berencana. Di

  pasal 338 KUHP maksimal pidananya 15 tahun dan pidana mati untuk pasal 340 KUHP.

  3. Pembunuh yang membunuh karena diminta oleh korbannya, hukumannya lebih ringan daripada kalau membunuh tidak karena diminta oleh korbannya. Hal ini terdapat dalam pasal 344 KUHP dengan maksimal pidananya 12 tahun. Perspektif Hukum, Vol. 12 No. 2 November 2012 : 42-52

  4. Dari angka 2 dan angka 3 terbukti bahwa permintaan si pemilik nyawa dihargai. Kalau boleh dinyatakan secara matematis “harganya” setara dengan waktu pemidanaan 3 tahun.

  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka aborsi diperbolehkan tidak hanya aborsi dengan indikasi suatu keadaan yang mengancam nyawa ibu, tetapi sudah meluas ke hasil perkosaan dan bayi yang jika dilahirkan nanti akan menderita cacat berat. Ini berarti menghilangkan nyawa manusi yang dilegalkan, yang dulu hanya pada pelaksanaan hukuman mati, keadaan perang dan dalam keterpaksaan, sekarang bertambah meluas.

  Ada beberapa kondisi di bawah ini yang harus diperhatikan dalam memikirkan sebagian legalitas dari kasus

  seperti pasien yang minta pulang paksa padahal dokternya mengetahui bila diizinkan pulang maka penyakitnya akan semakin parah atau meninggal dunia, maka dokter yang mengizinkan dapat terancam pasal 304 KUHP, tentang membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara. Peristiwa eutanasia pasif jika dianggap sebagai bunuh diri maka dokter yang mengizinkan dapat dikenai Pasal 345 KUHP.

  pseudo eutanasia atau eutanasia semu

  Pada kasus eutanasia pasif atau

  untuk menghilangkan penderitaan manusia tidak diperbolehkan. Tentu, bukan semua macam eutanasia harus dilegalkan, tetapi hanya yang tidak dapat dihindarkan dari kematian pasien dan menyengsarakan. Hal ini pasti dapat dilakukan, hanya tinggal menentukan jenis eutanasia mana yang bisa dilegalkan dan mana yang mutlak tidak bisa.

  eutanasia yang justru sangat penting

  Pergeseran dari illegal menjadi legal dalam kaitan dengan aborsi ini sangat mendasar. Jika konsep ini bisa digeser, lalu pertanyaannya kenapa dalam hal

  Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melegalisasi aborsi untuk korban perkosaan tertentu, juga terhadap janin yang akan lahir dengan cacat berat mengundang sejumlah kontroversi. Beberapa pakar berpendapat dengan legalisasi aborsi ini terdapat pilihan yang dapat diambil oleh si ibu apakah akan meneruskan kehamilannya atau penghentian kehamilannya. Apapun yang dipakai sebagai alasan, tetap saja aborsi ini menghilangkan nyawa seorang calon manusia.

  d.

  5. Terdapat keadaan yang bertentangan antara pasal 55, 57 KUHP tentang perbantuan dengan pasal 345 KUHP tentang membantu seseorang untuk bunuh diri.

  Fatwa dari IDI tersebut dapat dimengerti karena pengobatan tersebut diteruskan hanya akan memperpanjang proses kematian, tidak akan menyembuhkan.

  c.

  Fatwa IDI No 231/PB/4/07/90 menyatakan: meskipun pasien belum mati tetapi tindakan pengobatanatau tindakan paliatifsudah tidak ada gunanya lagi akan bertentangan dengan tujuan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, tindakan-tindakan tersebut dapat dihentikan.

  b.

  Yang diberikan wewenang menyatakan seseorang sudah mati atau belum adalah dokter.

  Melihat kenyataan dari angka 1 sampai dengan angka 6 diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak manusia untuk mati ada kecenderungan dihormati di Indonesia, tetapi di lain pihak: a.

  directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.

  Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 812/Menkes/SK/VII Tahun 2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif dinyatakan bahwa pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi sepanjang informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut bisa dalam bentuk pesan (advanced

Dalam hal aborsi, dengan lahirnya

  Sutarno, Bambang , Tinjauan Hak Asasi Manusia…………. eutanasia atau semacamnya, dalam

  9 Pasien sadar, penyakit terminal, rasa sakit tak tertahankan Pasal 338, 340 KUHP eutanasia aktif langsung/tidak langsung

  4 Saat atau sesaat setelah lahir

  Pasal 341, 342, 343 KUHP Ilegal

  5 Setelah lahir, cacat berat (ancephalus dll)

  Pasal 338, 340 KUHP Ilegal, eutanasia aktif/pasif

  6 Pasien tidak sadar bertahun- tahun Pasal 338, 340 KUHP eutanasia aktif/pasif

  7 Pasien tidak sadar, mati cerebral Pasal 338, 340 KUHP eutanasia aktif/pasif

  8 Pasien mati batang otak - Pseudo euthanasia

  10 Pasien minta pulang paksa (penolakan perawatan medis)

  75 UU Kesehatan

  Pasal 338, 340 KUHP Oleh Leenen: pseudo

  eutanasia

  11 Pasien pulang paksa, telah tanda tangan Pasal 304 KUHP Ilegal? Eutanasia pasif? 304 KUHP

  12 Pengobatan paliatif - Legal, eutanasia pasif?

  13 Bunuh diri - Legal

  14 Membantu bunuh diri

  Pasal 345 KUHP Ilegal

  Legal

  Pasal

  rangka memberikan perlindungan hukum baik kepada pihak pasien maupun tenaga kesehatan: 1.

  palsu; 9. Pasien sadar, penyakit terminal, rasa sakit tak tertahankan dilakukan

  Aborsi sebelum 6 minggu kehamilan dihubungkan dengan UU No 36 Tahun 2009 tentag Kesehatan; 2. Aborsi sebelum 12 minggu kehamilan, dianggap boleh oleh Persatuan Obsetri

  Ginekologi Indonesia atau POGI; 3. Aborsi sudah berumur 12 minggu kehamilan karena janin cacat berat atau mengancam jiwa ibunya; 4. Bayi dibunuh saat atau tidak lama setelah dilahirkan, menyangkut Pasal

  341, 342, dan 343 KUHP; 5. Pembunuhan bayi setelah lahir karena cacat berat, misalnya ancephalus, dapat dianggap sebagai eutanasia pasif atau aktif;

  6. Pasien tidak sadar, mati cerebral dilakukan eutanasia pasif atau aktif;

  7. Pasien tidak sadar bertahun-tahun dilakukan eutanasia pasif atau aktif;

  8. Pasien mati batang otak dihentikan alat penopang hidupnya, dinamakan

  pseudo euthanasia atau eutanasia

  eutanasia aktif langsung atau tidak

  3 Aborsi sesudah umur 6 minggu kehamilan karena janin cacat berat/mengancam jiwa ibunya

  langsung; 10. Pasien pulang paksa, telah tanda tangan dapat dianggap sebagai eutanasia pasif atau dikenai pasal 304 KUHP tentang pembiaran orang dalam kesengsaraan sedang ia wajib memberi kehidupa, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu, karena hukum yang berlaku di atasnya; 11. Pengobatan paliatif; 12.

  Bunuh diri; 13. Membantu bunuh diri.

  

Beberapa kejadian /Kasus Penghilangan Nyawa Orang

NO KEJADIAN HUKUM POSITIF KETERANGAN

  1 Aborsi sebelum 6 minggu kehamilan akibat perkosaan Pasal

  75 UU Kesehatan

  Legal

  2 Aborsi sebelum 12 minggu kehamilan POGI Legal ?

  15 Hukuman mati Misal karena Pasal 340 KUHP legal

  Perspektif Hukum, Vol. 12 No. 2 November 2012 : 42-52

  Dengan pertimbangan hal-hal di atas dan masih banyak yang lain, sebaiknya mulai dipikirkan untuk mengatur eutanasia melalui peraturan perundang-undangan, dengan persyaratan yang ketat tetapi dapat melindungi pasien dan si dokter. Bila sudah ada aturan yang tegas mengenai

  eutanasia , maka eutanasia jenis tertentu

  dapat dinyatakan secara tegas dilarang, sedangkan jenis tertentu yang lain dapat dilakukan. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh bahwa dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa dia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya akan dipandang seperti demikian.

  HAM dan Eutanasia

  Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Pengakuan dan pengukuhan ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi.

  Dalam kaitannya dengan eutanasia, selain persoalan hak hidup, hak atas pemeliharaan kesehatan juga menjadi perhatian. Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas ini diakui umum sebagai hak sosial karena hak ini memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan atau ditawarkan oleh pergaulan hidup. Hak dasar sosial ini mengandung tanggung jawab dan salah satu tanggung jawabnya ialah ikhtiar untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak untuk menentukan nasib sendiri. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan mempunyai jangkauan yang luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang sakit, setidak-tidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan.

  Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights tercantum ketentuan- ketentuan yang menyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan, yang secara tidak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, yakni:

  Pertama , setiap orang berhak atas suatu

  taraf hidup, yang layak bagi kesejahteraan dan kesehatan diri dan keluarganya, termasuk di dalamnya pangan, pakaian, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan. Hak-hak ini mencakup hak atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran, sakit, cacat, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan oleh situasi dan kondisi di luar kehendak yang bersangkutan.

  Kedua,

  ibu dan anak mempunyai hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang sah maupun diluar kawin, menikmati perlindungan sosial yang sama.

  Perlindungan terhadap kesehatan dirumuskan dalam Pasal 12 persetujuan definitif Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai berikut: Pertama, negara-negara yang merupakan pihak dalam persetujuan ini mengakui hak setiap orang atas kesehatan tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin.

  Kedua, langkah-langkah yang diambil

  negara-negara yang merupakan pihak pada persetujuan ini, guna merealisasikan hak ini selengkap mungkin.

  Secara teoritis, relasi dokter-pasien dapat dibagi dalam tiga jenis kontrak, yang dapat berakhir dengan suatu kontrak. Pertamanya, hubungan dokter- penderita. Seseorang menemui dokter karena ia merasakan ada sesuatu yang mengancam kesehatannya. Nalurinya membisikkan bahwa ada gejala-gejala sakit dan penyakit yang sedang menggerogotinya. Orang lain pun dapat melihat bahwa seseorang tertentu

Sutarno, Bambang , Tinjauan Hak Asasi Manusia…………

  dirundung sakit dan penyakit, dan memanggil atau menyuruh memanggil dokter. Dalam hubungan seperti ini dokter adalah dewa penyelamat. Kedua, hubungan dokter-pasien. Seseorang pergi ke dokter berdasarkan gejala- gejala yang sudah diantisipasi. Pasien telah mengetahui, atau setidak-tidaknya mengira telah mengetahui gejala-gejala tersebut dan dokter hanya menegaskan benar tidaknya asumsi tersebut. Ketiga, hubungan dokter-konsumen. Relasi jenis ini pada umumnya ditemui pada pemeriksaan medik-preventif. Misalnya, seseorang pergi ke dokter atas kemauan pihak ketiga, yang mungkin saja negara, majikan dan sebagainya. Dokter memeriksa orang yang disuruh pihak ketiga tersebut dan berikhtiar menemukan penyakit yang belum diketahui, menegakkan diagnosis, dan jika dianggap perlu diikuti oleh terapi. Sekalipun tujuannya adalah pemeriksaan

  consent, yang terkadang dijabarkan dari

  Hasil konferensi ini tidak serta merta menjadi rujukan. Sejumlah negara justru mengambil sikap yang berbeda. Belanda dan Belgia merupakan salah satu negara yang mengakui eutanasia dalam hukum positifnya. Sementara sejumlah negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia pernah mengeluarkan persetujuan eutanasia, namun akhirnya dicabut setelah mendapat protes dari masyarakatnya.

  Peradilan Semu ini diperankan oleh tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran di berbagai belahan negara di dunia. Hasilnya, dari konferensi tersebut, hak untuk mati tetap tidak diakui.

  Dalam konferensi hukum tersebut, dibuatlah semacam Sidang Peradilan

  Peace Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22-23 Agustus 1977.

  Tindakan semacam ini sempat dibahas dalam Konferensi Hukum se- Dunia yang diselenggarakan oleh World

  Sebagai konsep hak menentukan nasib sendiri, eutanasia juga bersinggungan dengan etika, sosial, dan kode etik dalam hukum kedokteran. Pertanyaannya, apakah pantas seorang dokter menentukan status seorang pasien yang berada pada tahap terminally-ill ditolong dengan eutanasia. Apakah tindakan tersebut bukan dalam kategori tindakan pembunuhan, meskipun dengan permintaan dari si pasien.

  kekhawatiran pemberian perlindungan individu terhadap risiko-risiko, maupun melindungi pergaulan hidup terhadap penelitian-penelitan yang paling luas.

  bagi semua tindakan dan bahkan atas semua pelanggaran terhadap suasana kehidupan pribadi seseorang. Asas otonomi hak menentukan nasib sendiri memberikan suatu dasar bebas dan mandiri bagi persyaratan informed

  preventif , namun tidak tertutup

  informed consent mutlak diperlukan

  menentukan nasib sendiri menyebabkan

  “informed consent”. Hak individu

  nasib sendiri dikaitkan dengan

  Kedua , hak untuk menentukan

  konteks HAM dokter dan pasien berkedudukan sederajat dan pasien harus mendapatkan haknya termasuk hak atas informasi. Hak-hak tersebut yakni pasien harus diberlakukan sederajat termasuk untuk mendapatkan informasi dan kebenaran diagnosa atas penyakitnya. Dari informasi riil pasien, dokter makan menyampaikan kepada pasien pendapat dan pandangannya. Ia perlu pula menginformasikan pasien mengenai rencana pengobatan dan perawatan, berapa lama pengobatan dan perawatan itu akan berlangsung dan efek-efek yang perlu diantisipasi, seperti ketidaknyamanan yang akan dialami, sifat dan bentuk komplikasi, dan sebagainya.

  Pertama, Hak Atas Informasi. Dalam

  Adapun rincian hak-hak pasien dalam konteks hak asasi manusia, yaitu:

  kemungkinan diikuti oleh tindakan- tindakan kuratif.

Semu mengenai “hak manusia untuk mati” atau the right to die. Sidang

  Perspektif Hukum, Vol. 12 No. 2 November 2012 : 42-52

  Suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh Brian Pollard di Belanda pada tahun 1991, menemukan sedikitnya 25.000 kali setiap tahun dilakukan pembunuhan secara medis. Angka itu adalah 20% dari seluruh kematian di negeri Belanda. 14.500 dari kematian media di atas merupakan eutanasia yang diandaikan atau dipaksakan. Pada tahun yang sama sebuah dewan Belanda mendapatkan bahwa 27% dari seluruh dokter di Belanda pernah melakukan

  eutanasia tanpa permintaan apapun dari pasien.

  Di Belanda, permohonan untuk melakukan eutanasia sangat panjang. Pemohon harus mendapatkan konseling dengan psikolog dalam periode tertentu. Pasien diberikan cukup waktu untuk berpikir dalam waiting periode. Pemohon juga harus mendapatkan sertifikat dari dua orang dokter yang menyatakan bahwa pasien sudah tidak bisa ditolong. Setelah proses itu dilewati, baru diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan.

  Dari contoh ini, keputusan seseorang untuk melakukan tindakan

  eutanasia bukanlah didasari atas

  pertimbangan dokter semata. Keputusan untuk melakukan eutanasia juga dibingkai dengan persoalan hukum. Yakni dengan keputusan pengadilan. Sehingga para dokter, rumah sakit, atau keluarga pasien di kemudian hari tidak terkena persoalan hukum. Tindakan toleransi ini dapat melindungi dokter yang melakukan eutanasia bila: (a) permintaan pasien harus bersifat sukarela; (b) pasien berada dalam penderitaa yang tidak dapat ditolerir; (c) semua alternatif untuk meringankan penderitaan yang bisa diterima oleh pasien telah dicoba; (d) pasien mempunyai informasi lengkap/cukup; (e) dokter telah berkonsultasi dengan dokter kedua, yang penilaiannya diharapkan independen.

  Perkembangan pemikiran dan dunia kesehatan di Belanda inilah yang agak berbeda dengan negara-negara lain. Di Indonesia, konsep “hak untuk mati” atau

  the right to die justru tidak populer. Hak

  asasi manusia (HAM) merupakan hak yang dimiliki manusia karena semata- mata ia adalah manusia. Sebagai manusia, ia merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Eksistensi HAM tidak hanya untuk melindungi dirinya dan martabat kemanusiannya tetapi juga sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan manusia lainnya Jack Donnely sebagaimana dikutip oleh Rustam Ibrahim menyatakan bahwa fungsi utama HAM adalah untuk memperbaiki hubungan sosial. Dalam konteks inilah, HAM akan senantiasa diimbangi dengan kewajiban asasi manusia.

  Dalam UUD 1945, hak asasi manusia telah banyak dicantumkan dan menjadi pedoman yang sangat penting. Berikut ini beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM dan eutanasia, yaitu: Sutarno, Bambang , Tinjauan Hak Asasi Manusia………….

  No Pasal/Ayat

  1

  28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya

   Pasien sadar: mempunyai hak memperlakukan nyawanya.  Pasien tidak sadar: sulit, selalu pasif

  2

  28 G Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain

   Kalau hidup berusaha di perpanjang terus padahal sudah tanpa harapan, akan terjadi penyiksaan

  3

  28 I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

   Pasien sadar: mempunyai hak memperlakukan nyawanya.  Pasien tidak sadar: akan sulit mengutarakan pendapatnya, harus ada yang mewakili, jadi sifatnya pasif

  Pengambilan keputuan atas permohonan eutanasia perlu dilakukan dengan hati-hati, mengingat kemungkinan ada motif lain dibalik permohonan tersebut. Motif ini tidak menutup kemungkinan bertentangan dengan hukum. Bila keputusan diambil secara gegabah, bisa jadi keputusan tersebut akan menghilangkan nyawa manusia tidak berdosa. Dalam praktiknya, tindakan eutanasia dilakuan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya yang dilakukan dalam hukuman mati. Pemberian suntikan mati ini dilakukan setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan intensif menunjukkan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien.

  Sebagai penghormatan kepada hak asasi manusia yang dilindungi undang- undang, pihak pengadilan sepantasnya memberikan rekomendasi untuk melanjutkan perawatan pasien dengan bantuan negara. Keputusan ini memiliki dasar hukum konstitusi dan undang- undang, yakni bahwa setiap warga negara berhak untuk memiliki hak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Di samping itu, negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara yang tidak berdaya dari ancaman gangguan terhadap hak hidupnya, dalam hal ini dari tindakan eutanasia.

  Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas eutanasia seharusnya dilakukan secara hati-hati. Walaupun sifatnya sukarela, eutanasia tetap terindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau pihak-pihak tertentu yang menginginkannya. Eutanasia kemudian harus dipandang dalam konteks kemanusiaan, tidak hanya pada sisi medis. Hal ini layak dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban akibat keputusan medis yang tergesa-gesa. Alasan bagi kemaslahatan umat manusia lain tidak serta merta menjadi alasan untuk tindakan pembunuhan, karena kehilangan nyawa seseorang akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia lain. Perspektif Hukum, Vol. 12 No. 2 November 2012 : 42-52 KESIMPULAN

  1. Eutanasia dari perspektif

  Bina Aksara, 1988. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal

  Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1998. Koeswadji, Hermin Hardiati, Hukum

  Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), PT Citra Aditya Bakti,

  1998. Komalawati, Veronica, Peranan

  Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, Suatu Tinjauan Yuridis Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

  Mariyanto, Ninik, Malpraktek

  Kedokteran dari segi Hukum Pidana dan Perdata , Jakarta, PT

  Hukum, Suatu Pengantar , Yogyakarta, Liberty, 2007.

  Iskandar, Dalmy Iskandar, Rumah Sakit,

  Musy,Alberto,The Good Faith

  Principle in Contract Law and The Precontactual Duty to Disclosure :Comparative Analysis of New Differences in Legal Culteure , Universita del Poemonte

  Oreientale Facolta di ecomomia,Novara, Desember, 2000. Muhammad, Abdulkadir,

  Hukum Perusahaan Indonesia , Citra

  Aditya Bakti, Bandung, 2006. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

  Indonesia (MKEK), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 2002. Nasution, Bahder Johan, Hukum

  Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter , Rineka Cipta,

  Tenaga Kesehatan, dan Pasien ,

  Eutanasia, PBB UIN dan KAS, Jakarta, 2003.

  pengaturan hukum positif di Indonesia belum diatur secara eksplisit dan khusus, sehingga jika terjadi kasus eutanasia maka hukum yang diberlakukan masih sangat umum atau lex generalis. Sedangkan dari perspektif hak asasi manusia, pengaturan eutanasia telah diatur dalam konstitusi dan undang-undang bahwa setiap warga negara berhak untuk memiliki hak hidup dan mempertahankan kehidupannya.

  Jakarta, 2007. Guwandi, J, Hospital Law (Emergencing

  2. Sebagai bentuk penghormatan

  terhadap hak asasi manusia, baik terhadap pasien, dokter dan tenaga medis, pengambilan keputusan atas permohonan eutanasia perlu dilakukan dengan hati-hati dan bila perlu mendapat persetujuan dari pengadilan.

  As-Syaukani, Lutfi, Politik, HAM, dan

  Isu-isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer , Pustaka Hidayah,

  Bandung, 1998. Crisdiono, M. Achadiat, Dinamika Etika

  dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman , EGC,

  doctrines & Jurisprudence), Balai

  HAM perspektif dan aksi, CESDA LP3ES, Jakarta, 2000. Ismail, Tinjauan Islam Terhadap

  Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

  Hermien Hadiati Koeswadji, Kejahatan

  Terhadap Nyawa, Asas-Asas, Kasus dan Permasalahannya,

  Surabaya: Sinar Wijaya, 1984 Hanafiah, Jusuf M. dan Amri, Amir.

  Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta. 1999.

  Ibrahim, Rustam, Hubungan antara

  HAM dengan Demokras dan Pembangunan , dalam Diseminasi

  Jakarta,2005. Sutarno, Bambang , Tinjauan Hak Asasi Manusia………….

  Putra, Drs. Dalizar, Hak Asasi Manusia

  Menurut Al- Qur’an, PT Al-Husna

  Zikra, Jakarta, 1995. Quito, Emerita S, Fundamental of

  Ethits, Philippines: De La Salle,

  University Press, 1998, hal 147 Ross, Elisabeth Kubler, Question and

  Answer on Death and Dying, terjemahan Maria Andriana S.A.,

  Tanya Jawab tentang Kematian dan Menjelang Ajal , Gramedia

  Pustaka Utama, Jakarta, 1998. Soewono, Hendrojono, Batas

  Pertanggungjawaban Hukum, Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, 2007.

  Supriyadi, Wila Chandra Wila, Hukum , Mandar Maju,

  Kedokteran Bandung, 2001.

  Yunanto, Ari dan Helmi, Hukum Pidana

  Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal , Andi

  Offset, Yogyakarta.

  JURNAL

  Haryadi, Masalah Eutanasia Dalam

  Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia , di www.online-

  journal.unja.ac.id Zainafree, Intan, Eutanasia (Dalam

  Perspektif Etika dan Moralitas), Jurnal KEMAS Volume 4/No.2/Januari-Juni 2009.

  Indar, Fungsi Hukum Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan, Jurnal AKK, Vol 2 No 1, Januari 2013, hal.51-56