BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN, SEKTE SAI BABA DAN KEBERADAANNYA DI MEDAN 2.1 Gambaran Umum di Kota Medan - Analisis Nyanyian Bhajan pada Sekte Sai Baba di Medan

  BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN, SEKTE SAI BABA DAN KEBERADAANNYA DI MEDAN

  2.1 Gambaran Umum di Kota Medan

  Kota Medan didirikan oleh Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi, berasal dari kampung Aji Jahe (terletak di Kabupaten Karo sekarang), pada tahun 1590. Berawal ketika Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi mendirikan sebuah

  kuta

  yang berarti “kampung” dalam bahasa Karo di antara pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli. Ia adalah seorang Guru Mbelin atau “dukun/tabib sakti” yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Oleh karena kemampuannya itu, ramai berdatangan orang untuk berobat kepadanya, dan setelah disembuhkan orang-orang tersebut mulai mendirikan tempat tinggal di sekitar kediaman Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah yang menetap di areal tersebut, maka daerahnya dinamai Kuta Madan (kampung penyembuhan/ kesembuhan). Lama-kelamaan pelafalan Kuta Madan menjadi Kuta Medan dan pada akhirnya kampung tersebut berkembang menjadi Kota Medan sekarang (Ginting, 2002:13).

  Dibukanya perkebunan tembakau pada tahun 1863 oleh saudagar Belanda, Nienhuys, berdampak luas pada perubahan Kota Medan. Daun tembakau, dikenal dengan “tembakau Deli”, yang dihasilkan oleh perkebunan- perkebunan di Sumatera Timur punya kualitas terbaik sebagai pembalut cerutu di pasaran Eropa (Sinar, 2001:35). Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari hasil perkebunan tembakau ini membuat pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1886 memindahkan ibukota Keresidenan Sumatera Timur dari Bengkalis (Riau) ke Kota Medan. Jalur kereta api trayek Medan-Belawan pun dibangun pada tahun 1884. Akibat dari perkembangan ini, Sumatera Timur akhirnya menjadi area perputaran bisnis yang maju pesat sehingga dijuluki sebagai The

  Dollar Land dan Kota Medan dijuluki sebagai Paris of Sumatera (Ginting, 2002:15).

  Kota Medan dibentuk menjadi Gementee (Pemerintahan Kotapraja) pada tanggal 1 April 1909. Besluit pembentukan Gementee dikeluarkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1909 dan ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belana, J.B. van Heutsz. Kemudian terhitung sejak 21 April 1918,

  Gementee Medan (Kotapraja Medan) memiliki Burgemeester atau Walikota

  bernama D. Baron Mackay (Ginting, 2002:15). Sekarang ini, Kota Medan adalah ibukota Propinsi Sumatera Utara dan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan terdiri atas 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Kota Medan terletak pada 3

  30’-3 43’ Lintang Utara dan 98 35’- 98 44’ Bujur Timur dengan luas areal 26.510 ha. Ketinggian Kota Medan berada pada 2,5 m di bagian Utara sampai dengan 37,5 m di bagian Selatan di atas permukaan laut. Bagian Utara sampai 3 km dari pantai terdiri dari rawa-rawa yang mempunyai kedalaman 0,5 m pada waktu pasang surut dan 2,5 m pada waktu pasang naik.

  Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Medan sementara adalah 2.109.339 jiwa, yang terdiri atas 1.040.680 jiwa laki-laki dan 1.068.659 jiwa perempuan. Penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Medan Deli sebesar 167.192 jiwa, diikuti Kecamatan Medan Helvetia dan Kecamatan Medan Denai masing-masing sebesar 144.478 dan 141.842 jiwa. Sementara berdasarkan urutan jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan Medan Maimun sebesar 39.919 jiwa, diikuti Kecamatan Medan Baru dan Medan Polonia masing-masing sebesar 42.189 dan 52.552 jiwa (Biro Pusat Statistik Kota Medan, 2010).

  Peta 2.1: Persebaran kelompok Etnik di Kota Medan

  Sumber: Pelly (1994:93)

2.2 Masyarakat India di Kota Medan

  Penyebaran agama Hindu di Sumatera Utara tidak terlepas dari kedatangan bangsa India melalui jalur perdagangan dimana pantai Barat Sumatera menjadi pintu masuknya. Hal ini ditandai dengan ditemukannya prasasti berbahasa Tamil yang bertarikh 1088 M bertanda Raja Chola yang ke-

  9. Oleh karena itu, Sumatera Utara kemungkinan besar menerima pengaruh lebih dominan dibandingkan kawasan lain di Nusantara terutama dari etnis Tamil yang datang dan menetap di kawasan ini. Bukti ini dapat dilihat dari ditemukannya 175 istilah dalam bahasa Karo yang berasal dari bahasa Tamil, di antaranya: Colia, Pandia, Meliala, Depari, Muham, Pelawi, Tukham,

  Brahmana (Mahyuddin, 2014:3). Melalui hubungan perdagangan dapat

  diperkirakan bahwa bangsa India yang datang ke Sumatera Utara juga membawa nilai-nilai kehidupan mereka termasuk ajaran Hindu. Ajaran tersebut kemudian diterima dan dikembangkan oleh masyarakat setempat.

  Seiring perkembangan zaman, keturunan bangsa India tersebut telah bercampur dan menjadi masyarakat setempat. Begitu pula dengan kebudayaan dan ajaran Hindu yang kemudian menjadi salah satu agama yang diakui di Indonesia. Di kota Medan sendiri banyak terdapat masyarakat yang beragama Hindu terutama dari etnis yang berasal dari tanah India antara lain Tamil, Telugu, Punjabi, Benggala, Bombay/Hindustan, dan lain-lain (Mahyuddin, 2014: 28). Masyarakat tersebut hidup berdampingan dengan masyarakat lain yang berbeda baik dari sisi etnis maupun dari sisi keyakinan. Perbedaan dan ragam budaya tersebut semestinya bisa dikelola demi kebaikan dan kekayaan budaya di kota Medan.

  Masuknya masyarakat asal India di kota Medan juga tak terlepas dari sejarah masuknya perkebunan Belanda di abad 19. Di kala itu, banyak pekerja kontrak asal India yang didatangkan untuk bekerja di perkebunan tembakau milik Belanda di Medan. Untuk meningkatkan produktivitasnya, para pengusaha perkebunan antara lain memperluas areal perkebunan dan mendatangkan tenaga kerja. Penduduk pribumi setempat tampaknya tak berminat untuk bekerja sebagai buruh, karena itulah diupayakan mendatangkan buruh dari luar, yaitu etnis Cina dan India/Tamil. Untuk mengatasi hal ini, pihak perkebunan berupaya mendatangkan buruh dari daerah asalnya yaitu langsung dari Cina dan India atau memanfaatkan tenaga buruh dari Jawa melalui program transmigrasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak itulah tenaga-tenaga buruh pada umumnya terdiri dari etnis Cina, Tamil/India, dan suku Jawa (Mahyudin, 2014:4-5). Para pekerja kontrak inilah kemudian beranak-pinak dan membaur menjadi warga kota Medan sekarang ini.

  Kedatangan bangsa India ke Nusantara, Medan khususnya, ini turut juga mempengaruhi keberadaan agama Hindu, Buddha, dan Sikh sampai hari ini. Hal ini dapat dilihat dari kondisi hari ini dimana mayoritas etnis Tamil tersebut banyak yang beragama Hindu dan Sikh. Di dalam agama tersebut terdapat berbagai macam ritual termasuk Bhajan (kidung suci penyebutan nama-nama Tuhan). Selain itu, termasuk juga terdapat bermacam aliran di dalamnya, salah satunya adalah sekte Sai Baba, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa Sathya Sai Baba adalah wujud inkarnasi Tuhan (avatara) di muka bumi.

2.3 Sathya Sai Baba Sathya Sai Baba adalah tokoh sentral yang dianggap sebagai avatara.

  Avatara adalah konsep yang berasal dari India yang berarti sebagai perwujudan

  Tuhan di muka bumi. Menurut kepercayaan Hindu, apabila kehidupan dunia mulai kacau maka Tuhan akan menitiskan diriNya ke bumi dalam wujud manusia dan Sathya Sai Baba adalah perwujudan sekaligus dari Dewa Siwa dan pendampingnya Shakti, “Tuhan dan kekuatan Tuhan, Beliau mempunyai baik abu suci (vibhuti) maupun titik merah (kumkum )” (Kasturi, 2009:17).

  Sathya Sai Baba lahir pada dini hari di tanggal 23 November 1926 di Puttaparti, suatu dukuh yang tenang di India Selatan. Nama semasa kecilnya adalah Satyanarayana dan nama ibunya adalah Ishvaramma sedangkan ayahnya bernama Pedda Venkapa. Sebelum kelahiran Sathya Sai Baba, berlangsung suatu kejadian. Pada waktu itu Puttaparti adalah dukuh kecil dan di tengah dusun itu terdapat sebuah sumur tempat penduduk mengambil air. Suatu hari Ishvaramma (ibu Sathya Sai Baba) sedang menimba air dari sumur tersebut.

  Tiba-tiba ia melihat sinar putih cemerlang yang timbul dari langit bagaikan kilat dan masuk kedalam rahimnya. Ada saksi mata lain bernama Subbamma yang pada waktu itu sedang berjalan keluar dari rumahnya dan melihat cahaya yang memasuki rahim Ishvaramma tersebut (Kasturi, 2009:1-10).

  Satyanarayana (Sai Baba kecil) adalah cucu kesayangan dari kakeknya, Kondama Raju seorang Hindu saleh yang melewati masa hidupnya di dunia selama 110 tahun dan juga seorang ahli seni musik dan drama. Kondama Raju suka mengumpulkan cucu-cucunya di sekeliling dipan dan menceritakan kisah para dewa dan orang-orang suci. Satyanarayana adalah cucu kesayangannya karena selain dapat bernyanyi dengan suara merdu dan menarik, cucunya ini juga tidak suka pada makanan yang tidak vegetarian semenjak kecil (Kasturi, 2009:6).

  Sosok Sathya Sai Baba mempertunjukkan beberapa keajaiban sejak kecil. Hal ini semakin menguatkan pendapat masyarakat di sekitarnya bahwa ia adalah seorang avatara yang menitis di muka bumi. Ketika berusia kira-kira delapan tahun Sathya dinyatakan siap untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah dasar yang lebih tinggi di Bukkapatnam, kira-kira empat kilometer jauhnya dari Puttaparti. Dalam usia semuda itu Sai Baba sudah menjadi guru bagi anak- anak desa. Sesuai dengan julukan Brahmajnani atau ‘orang yang sudah menyadari kenyataan d iri sejati’, suatu gelar yang diperoleh karena sifat tulus dan murni. Menurut Sathya Sai Baba aneka kegembiraan kecil di dunia yang fana ini sesungguhnya rendah nilainya bila dibandingkan dengan kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai melalui doa, pemusatan pikiran kepada Tuhan, penyangkalan diri, dan kepuasaan batin. Di tempatnya bersekolah karena Sathya Sai Baba avatara, ia sering dicari oleh orang-orang yang kehilangan barang berharga karena telah terkenal bahwa dengan intuisinya dapat melihat dan mengetahui letak segala sesuatu.

  Gambar 2.2 Sathya Sai Baba berjalan di antara bhakta

  Sumber: Seiring perjalanan waktu, berita tentang keajaiban Sathya Sai Baba tersebar kemana-mana dan ia pun ramai dikunjungi orang-orang yang ingin mendapat berkah darinya. Ia duduk di atas batu dan di antara pepohonan untuk menyambut kedatangan orang-orang yang membawa bungan dan buah-buahan.

  Mereka secara beramai-ramai melantunkan nyanyian dari bait-bait yang diajarkan oleh Sathya Sai Baba. Puncaknya, Sathya Sai Baba menyatakan bahwa dirinya merupakan avatara pada Oktober 1940 (Pemajun, tanpa tahun:VIII). Arus pengunjung semakin meningkat, tenda para pengunjung didirikan di mana-mana sehingga terasa ada kebutuhan untuk mendirikan sebuah asrama yang memadai. Demikianlah pada tahun 1945 didirikanlah asrama yang pertama oleh para pengikutnya yang dirancang oleh Thirumala Rao asal Bangalore serta beberapa orang lainnya.

  Dari bulan ke bulan jumlah Bhakta (para pengikut) yang berkunjung terus meningkat. Asrama yang ada tidak muat lagi menampung para pengunjung yang datang. Para Bhakta pun merasa bahwa kamar Sai Baba terlalu sempit, rendah, dan selama initerpaksa tinggal justru di tengah hiruk pikuk, debu, serta kekacauan. Terutama pada perayaan hari suci tertentu, lokasi asrama penuh sesak dan dipadati para Bhakta dari berbagai penjuru. Oleh karena itu, sejumlah Bhakta memohon kepada Sathya Sai Baba menyetujui pendirian bangunan luas sebagai asrama baru. Akhirnya, di ulang tahunnya yang ke dua puluh lima, tepatnya pada tanggal 23 November 1950, diresmikanlah pembukaan lokasi dan gedung asrama yang baru yang oleh Sathya Sai Baba diberi nama Prashanti Nilayam berarti “tempat kedamaian tertinggi” terletak di Puttaparti, India bagian Selatan.

  Gambar 2.3

  Prashanti Nilayam di Puttaparti tampak dari luar

  Sumber: Gambar 2.4

  Aula bagian dalam Prashanti Nilayam Sumber: archive.indianexpress.com/picture-gallery/in-memorium-sri- sathya-sai-baba

  Apabila Sathya Sai Baba berada di Prashanti Nilayam, sepanjang waktu ia sibuk memberi berkat kepada para Bhakta, yaitu memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan darshan atau ‘melihat’, sparshan atau

  ‘menyentuh kaki’, dan sambhashan atau ‘bercakap-cakap’. Sathya Sai Baba juga makan dari makanan yang dimasak oleh para Bhakta. Sathya Sai Baba tidur di atas pembaringan yang dibentangkan di mimbar sebelah barat daya ruang doa di Prashanti Nilayamam. Pada saat Bhajan (kidung suci) dilakukan, Sathya Sai Baba hadir dan memberikan darshan

  (karunia dapat ‘melihat’ Sathya Sai Baba) dan jua mengizinkan para Bhakta untuk menyentuh kaki (sparshan).

  Secara garis besar, Sathya Sai Baba mengajarkan bahwa dalam menjalani kehidupan mesti berlandaskan pada lima aspek atau dikenal dengan istilah Panca Pilar, yaitu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang, dan tanpa kekerasan. Setiap orang yang mengikuti ajaran Panca Pilar ini mesti hidup sebagai pribadi yang bijaksana dan penuh kasih sayang kepada sesama, dimana wacananya selalu menyampaikan kebenaran, tindakannya selalu mencerminkan kebajikan, perasaannya selalu dipenuhi kedamaian dan pandangannya selalu meyiratkan sikap tanpa kekerasan (SSGI, 2010: 49).

  Gambar 2.5

  Panca Pilar Sathya Sai Baba

  Sumber: Sathya Sai Baba juga mengajarkan kepada para pengikutnya untuk selalu berada di dalam kesadaran Tuhan. Menurut Sai Baba, hanya seseorang yang selalu berada dalam kesadaran Tuhan yang dapat mencapai kebebasan. Kesadaran Tuhan ini dapat dicapai dengan mengulang-ulang menyebut nama Tuhan sebelum melakukan tugas dan kewajiban dan bila sudah selesai, tutuplah dengan kata syukur dan terima kasih kepada Tuhan (SSGI, 2010: 6).

  Untuk mengingat kesadaran Tuhan di dalam diri para Bhakta atau pengikutnya, Sathya Sai Baba juga menjadikan Bhajan (kidung suci) sebagai pondasi dasar perjalanan spiritual untuk membersihkan batin (Pemajun, tanpa tahun: VIII).

2.4 Sekte Sai Baba (Sai Bhakta) di Kota Medan

  Sekitar tahun 500 S.M. Muncul beberapa kecenderungan yang kemudian dikenal sebagai sekte Bhakti yang menekankan pengertian “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa (Wasim, 1988: 75). Bhakta adalah orang-orang yang melakukan Bhakti, maka Sai Bhakta adalah orang-orang yang memuja, melakukan pelayanan dan kebaktian serta percaya, taat dan berserah diri kepada Sathya Sai Baba yang dipuja sebagai avatara (inkarnasi Tuhan di muka bumi).

  Para Sai Bhakta yang mempelajari dan mempraktikkan ajaran Sathya Sai Baba mengorganisir diri mereka di dalam sebuah wadah organisasi bernama Sai Study Group. Disebut Sai Study Group karena organisasi ini didirikan oleh Sathya Sai Baba sebagai wahana untuk mempelajari dan mengembangkan spiritualitas diri sebagaimana wacana Sathya Sai Baba dalam

  Pathway to God (SSGI, 2010: 108):

  Organisasi Sai adalah forum untuk mempelajari dan mengembangkan nilai-nilai spiritualitas diri yang dipraktikkan melalui aktivitas pelayanan sosial. Tempat mengembangkan dan menyebarkan cinta kasih melalui aktivitas pelayanan pada sesama (love in action ). Wahana untuk menumbuhkembangkan kesatuan (unity), kemurnian (purity) dan ketuhanan (divinity) pada diri sendiri. Wahana untuk melakukan transformasi kasih pada diri setiap orang, lingkungan, keluarga, dan masyarakat.

  Secara internasional, lembaga tertinggi Sai Study Group adalah

  Prashanti Council Prashanti Council yang bertempat di Puttaparti, India. Di

  bawahnya, terdapat India Organisation (khusus wilayah India) dan Overseas

  

Organisation (di luar India) dimana Sai Study Group Indonesia (SSGI)

  termasuk di zona 4 (empat) regional Indonesia, Brunai, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. SSGI sendiri terbagi ke 9 (sembilan) kordinator wilayah, yaitu wilayah I (satu) mencakup Sumatera bagian utara (Medan, Aceh, Riau, Sumatera Barat); wilayah II (dua) mencakup Sumatera bagian (Lampung, Bengkulu, Jambi); wilayah III (tiga) mencakup Jawa bagian barat (Jawa Barat, Banten dan DKI); wilayah IV (empat) mencakup Jawa bagian tengah (Semarang, Yogyakarta); wilayah V (lima) mencakup Jawa Timur; wiayah VI (enam) mencakup Kalimantan; wilayah VII (tujuh) mencakup Bali, NTB, NTT; wilayah VIII (delapan) mencakup Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara; dan wilayah IX (sembilan) mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara (SSGI, 2010: 112).

  Dalam perkembangan Sai Study Group di Indonesia, terdapat kilas balik balik perjalanan Sai di Indonesia (SSGI, 2010: 12-14). Saat digelar Musyawarah Nasional ke-V (lima)Sai Study Group Indonesia di Denpasar tanggal 30-31 Januari 2010 yang lalu disampaikan kilas balik perjalanan organisasi Sai di Indonesia dengan tujuan agar peserta Munas dapat melihat kembali arah perjalanannya. Musyawarah Nasional adalah ajang pertemuan tertinggi pengurus Sai Indonesia. Saat itulah arah, tujuan, aturan serta kebijakan strategis organisasi Sai Indonesia ke depan akan dirumuskan untuk selanjutnya dituangkan ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) serta Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) Sai Study Group Indonesia (SSGI). Perjalanan organisasi Sai di Indonesia sudah melewati empat tahapan yaitu tahap pembangunan dasar, pembangunan pilar, penggalian identitas dan transformasi Sai.

  Pada masa ‘Pembangunan dasar’, ditandai dengan banyaknya tantangan yang harus dijawab berkaitan dengan keberadaan organisasi Sai di tanah air Indonesia. Hadir di tengah suasana politik yang serba terkontrol, tentu menuntut terbangunnya landasan organisasi yang secara terbuka dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan. Karenanya, sesepuh Sai saat itu memandang penting untuk sesegera mungkin merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi (saat itu masih bernama Yayasan Sathya Sai Baba Indonesia) sebagai dasar pijakan. Salah satu yang dicetuskan di dalam AD&ART tersebut adalah nama Sai Study Group. Nama ini memiliki arti strategis tersendiri dalam memposisikan organisasi Sai sebagai suatu wadah untuk mengkaji dan mempelajari nilai-nilai kebenaran, kebajikan, kasih sayang, kedamaian dan tanpa kekerasan yang pada hakikatnya sudah ada dalam diri setiap orang serta menjadi intisari dari semua ajaran agama di dunia.

  Tahap berikutnya adalah ‘pembangunan pilar’. Tahap ini diregulasi dalam 3 munas. Munas I (pertama) ditandai dengan terbentuknya nama Sai Study Group Indonesia (SSGI), digelar di Surabaya (16-18 Maret 1998). Dilanjutkan dengan penyelengaraan munas II (dua) di Jakarta (15-16 Maret 2003), mengangkat tema “Menuju Peningkatan Kinerja Organisasi Sathya Sai y ang lebih Dinamis, Efisien dan Efektif”. Munas III (tiga) diselenggarakan di

  Jogyakarta (4-

5 Februari 2006) dengan mengambil tema “Revitalisasi

  Organisasi untuk Meningkatkan Pelayanan”. Ketiga munas tersebut kemudian disebut sebagai tahap pembangunan pilar organisasi. Tahap ini didasari oleh semangat untuk menyempurnakan kembali dasar pijakan organisasi Sai di Indonesia agar relevan dengan tuntunan jaman yang selalu mengalami perkembangan. Sebagai perwujudannya dilahirkanlah AD & ART yang telah disesuaikan dan disempurnakan dilengkapi dengan Garis-Garis Besar haluan Organisasi (GBHO) SSGI sebagai dasar kebijakan.

  Berikutnya adalah tahap ‘pembangunan identitas Sai’, yang diregulasi melalui Munas IV (empat) di Bedugul Bali (22-24 Februari 2008) dengan mengamb il tema: “Menyelaraskan Langkah, Mempertegas Identitas”. Tema ini dihadirkan agar semua komponen di organisasi Sai memiliki satu kesamaan pandang dalam melangkah dan menentukan sikap. Identitas dimaksud meliputi

  

(jati diri, visi, misi, budaya, personalitas, keunikan dan posisi Sai) . Identitas

  Sai inilah diposisikan sebagai dasar sekaligus tujuan daripada organisasi Sai

  Study Group Indonesia. Sampai pada akhirnya Munas V (lima) kembali digelar

  di Denpasar untuk melanjutkan semangat musyawarah nasional sebelumnya ke tahapan ‘Transformasi Sai’ dengan tema “Transformasi Sai: Dalam Kesatuan Pandang dan Tindakan”. Untuk saat ini, ketua Sai Study Group Indonesia (SSGI) dijabat oleh Bapak Mohan Leo, Bapak Krishnaputra sebagai penasehat, Bapak Anuarga Duarsa sebagai kordinator nasional bidang spiritual, Bapak I Nyoman Sumantra kordinator nasional bidang pendidikan, dan Bapak Usli

  Sarli sebagai kordinator wilayah I (satu) yang mencakup Sumatera bagian utara (Medan, Aceh, Riau, Sumatera Barat).

  Di kota Medan sendiri terdapat orang-orang yang menjadi Sai Bhakta. Meskipun pada umumnya mayoritas masyarakat Hindu Tamil, namun, tak sedikit pula berasal dari masyarakat Tionghoa, pelaku ajaran spiritual, warga negara asing yang berkebetulan ada di Medan serta orang-orang dari berbagai latar belakang pula. Sai Bhakta di kota Medan dirintis oleh beberapa orang, yaitu Ram S Galani, Poah, Mohan Leo, dan Jumbiner Shem pada tahun 1983. Mereka memulai aktifitas Bhajan di jalan Jenggala nomor 71, yang sekarang menjadi tempat kursus belajar bernama Pinky Education Centre. Kegiatan

  Bhajan berjalan terus selama enam tahun pada tahun 1983-1989. Kian hari

  orang-orang yang mengikuti Bhajan di tempat ini semakin ramai sehingga tempatnya mulai terasa sempit. Oleh karena itu, Bapak Ram, Bapak Mohan Leo, Bapak Poa dan Bapak Ganapathi selanjutnya membuka tempat diskusi ajaran Sai Baba dan Bhajan di Prashanti Griya Sai Centre (lantai dua Vihara Borobudur) di jalan Imam Bonjol nomor 21 pada tanggal 23 November 1989. Sembilan tahun berikutnya, 27 September 1998, dibuka lagi sebuah tempat diskusi ajaran Sai Baba di Jalan Lobak nomor 18 Medan yang bernama

  

Kumara Shanti Sai Centre dan disusul dengan pendirian Sai Ganesha Sai

  1 Centre di Jalan Sunggal pada tanggal 1 September 2000.

  Meskipun Sai Bhakta di kota Medan dirintis semenjak tahun 1983, tetapi tahun 1989 dapat dianggap sebagai momentum berdirinya Sai Bhakta di

  2

  kota Medan. Menurutnya, hal ini dikarenakan pada tahun tersebut orang-orang 1 Wawancara dengan Bapak Ram S Galani pada tanggal 28 Januari 2015. 2 Wawancara dengan Bapak Mohan Leo pada tanggal 21 April 2015. yang mengikuti dan berkumpul berdiskusi, serta melakukan praktik Bhajan sebagaimana diajarkan Sathya Sai Baba mulai ramai dan secara rutin melaksanakannya. Meskipun di tahun tersebut, organisasi formal Sai Study Group belum ada, namun menurutnya hal itu tidak menjadi permasalahan.

  Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa tahun 1989 adalah waktu pendirian Sai Bhakta di kota Medan.

  Berikut ini adalah daftar nama pengurus Sai Centre periode 2014-2016 di Prashanti Griya Sai Centre yang terletak di lantai dua vihara Borobudur jalan Imam Bonjol nomor 21:

  Nama Jabatan Niland Ketua Hendra Jaya Wakil ketua Selly Sekretaris Liliana Bendahara Parveen Divisi Bhajan Alex Divisi Sounds Athiam Divisi Seva Husin Aliu Soffyan Ahung Divisi Mahila Elly Yahya Wijani Divisi Youth Putra Sanjaya Nila Divisi Youth Putri Jenti Divisi Pendidikan Guik Hwa Divisi Transportasi William Sanjaya Divisi Multimedia, Dokumentasi, William Veren Ngo dan Filling

  Divisi Dokumentasi Divisi Perpustakaan

  (Bagian dalam) (Tampak dari luar) Gambar 2.5

  Prashanti Griya Sai Centre di Jalan Imam Bonjol nomor 21

  Berikut ini adalah struktur kepengurusan Sai Ganesha Sai Centre periode 2013-2015 yang terletak di Jalan Pinang Baris nomor 5E: Nama Jabatan

  Jaya Shankar Raja Ratenam Dewi Halim Selvia S Beby Mirna Pinky Sarika Subatra Shanti N

  Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Divisi Pendidikan Divisi Mahilavibhag Arathi Divisi Mading Priya Roshan Divisi Dokumentasi Jai Kisen Divisi Seva Nova Aswini Putu Divisi Bhajan Sarika Melvina Sandiya Komang Rai Divisi Youth Putra Rahul Anita Divisi Youth Putri Sitara

  (Saat Bhajan) (Saat lengang) Gambar 2.2

  Sai Ganesha Sai Centre di Jalan Pinang Baris nomor 5E

  Berikut ini adalah struktur kepengurusan Kumara Shanti Sai Centre periode 2013-2015 yang terletak di Jalan Lobak nomor 18:

  Nama Jabatan Zulkarnen Ketua Shindu Sekretaris Selwi Bendahara Jai Kisen Divisi Bhajan Sanjai

  (Bagian dalam) (Tampak dari luar)

Gambar 2.3 di Jalan Lobak nomor 18

  32Kumara Shanti Sai Centre

Dokumen yang terkait

1. Biro Umum Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara menyediakan perabot dengan kuantitas sesuai dengan kebutuhan pegawai. 2. Biro Umum Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara menyediakan perabot dengan kualitas baik sehingga memberikan kenyamanan bagi pe

0 0 14

BAB II PROFIL INSTANSI 2.1 Sejarah Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara 2.1.1 Sejarah Berdirinya Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara - Efektivitas Penggunaan Fasilitas pada Biro Umum Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 1 29

Efektivitas Penggunaan Fasilitas pada Biro Umum Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nugget - Pemeriksaan Bakteri Salmonella Pada Makanan Padat (Nugget Ayam)

1 4 15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KELURAHAN JATI MAKMUR KECAMATAN BINJAI UTARA KOTA BINJAI 2.1 Identifikasi Masyarakat Jawa - Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Ma

0 0 18

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 - Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai

0 2 16

Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai

0 0 14

BAB II SEJARAH DAN ASAL-USUL SI RAJA LONTUNG - Analisis Tekstual dan Musikal Ende Tarombo Si Raja Lontung yang Disajikan oleh Marsius Sitohang dan Trio Lasidos: Studi Komparatif Musikal

1 1 56

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Tekstual dan Musikal Ende Tarombo Si Raja Lontung yang Disajikan oleh Marsius Sitohang dan Trio Lasidos: Studi Komparatif Musikal

0 10 21

Analisis Tekstual dan Musikal Ende Tarombo Si Raja Lontung yang Disajikan oleh Marsius Sitohang dan Trio Lasidos: Studi Komparatif Musikal

0 1 21