Oleh Aminah Islamiyah 180910100068 Jatin
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Pemikiran Arab pada Semester IV
Oleh:
Aminah Islamiyah
180910100068
Jatinangor
Program Studi Bahasa & Sastra Arab
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Merosotnya akhlak remaja terutama pada remaja wanita saat ini benar-benar menjadi permasalahan
yang sangat miris ditambah dengan minimnya kesadaran masyarakat bahwa krisis akhlak khususnya pada
akhlak para wanita saat ini bukanlah merupakan sebuah masalah penting. Selayaknya identitas seorang wanita
benar-benar di banyak dijadikan sebagai tonggak kesuksesan segala sesuatu seperti dalam hal sebuah keluarga,
ketika seorang suami berhasil dan kokoh maka kita dapat mengapresiasi sosok wanita dibalik seorang suami
tersebut. Dan terdapat pula sebuah kalimat dimana ''bagaimana kita melihat keadaan suatu Negara, maka
lihatlah wanita-wanita yang ada di Negara tersebut''.
Dan mirisnya saat ini, bukanlah suatu hal yang tabu ketika kita melihat remaja-remaja wanita yang
sudah dapat dengan terang-terangan memperlihatkan segala yang dimiliknya yang selayaknya tidak pantas
untuk diperlihatkan dimuka umum. Banyak wanita yang tidak memiliki kesadaran bahwa identitasnya
merupakan suatu hal yang berharga sangat tinggi dan tidak sembarang orang yang dapat melihat mereka. Oleh
karena itu, tema mengenai sosok wanita yaitu Fatimah Az-Zahra Binti Rosululloh ini dapat manjadi contoh bagi
wanita-wanita saat ini dalam mencapai kesempurnaan identitas seorang wanita.
Berkenaan pula dengan pemberian tugas makalah pada mata kuliah Pemikiran Arab Modern, maka
makalah ini disusun dengan sedemikian rupa yang menggambarkan sosok wanita berakhlak mulia, berwawasan
luas serta berkarakter dan juga sebagai ahlul jannah.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini disusun dengan rangkuman-rangkuman pembahasan berupa :
Bagaimana profil singkat mengenai identitas seorang fatimah Az-Zahra binti Rosululloh ?
Apa akhlak-akhlak Fatimah Az-Zahra yang dapat dijadikan teladan bagi para wanita ?
Bagaimana pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh seorang Fatimah Az-Zahra ?
Kisah apa sajakah yang dapat menjadi teladan dan inspirasi bagi para wanita saat ini ?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan murni untuk amal ma'ruf nahyi munkar dan sebagai tadzkirah kepada
2
pembaca khususnya kepada penulis. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan :
Memperkenalkan secara singkat sosok wanita sempurna yaitu Fatimah Az-Zahra binti Rosullulloh
Memaparkan akhlak-akhlak mulia Fatimah Az-Zahra
Mengungkapkan pemikiran-pemikiran Fatimah Az-Zahra
Mengungkapkan kisah-kisah teladan dari sosok Fatimah Az-Zahra
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode resume teks yang bersumber dari buku-buku biografi dan
juga bersumber dari artikel-artikel online. Seluruh sumber data dirangkum dan diedit seperlunya hingga dapat
menghasilkan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BIOGRAFI SINGKAT FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH …
Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad saw. .
Istri tercinta Imam Ali as. .
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.
> Hari Lahir
Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan
dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.
Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari
Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
> Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau
dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri,
kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari istri beliau ‘Aisyah, bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang
sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau
akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Barang siapa yang
membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya maka ia telah
membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi
nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
4
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan
Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan
Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun. Setelah ibunda kinasihnya Khadijah
wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk
menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang
dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan
yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan
menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi
ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
> Pernikahan Fatimah as
Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah
suaminya (menikah), sebelumknya banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara
mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau
mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah
dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu
menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk
meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau
kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar
menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang
menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"
Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya wanita
yang dipinang adalah tanda kerelaannya.”
> Acara Pernikahan
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata,
5
“Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah,
sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah
keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari
setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai
Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik
suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani
Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih
bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah mensucikan mereka dengan
sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa
diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu,
ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu,
dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau
menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi
kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid
Nabi saw.
Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan
mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.
Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah
ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap
peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang
senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan
6
kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugastugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan,
ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as merupakan pohon yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang
tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.
> Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin
kehidupan bersama. Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling
menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali
senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah
selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada
suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul,
adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah
sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as. Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan
suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.
> Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama
“Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga
kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw
dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya
beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan
mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian
7
Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan
menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul
saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan
nama-nama
tersebut.
Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.
> Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi
alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan,
istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang
dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu
kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman,
mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah
dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani
suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di
dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar
cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak
teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
> Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas
dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk
memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan
merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu
dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
8
Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hanyut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun
memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan
mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya
di
saat
dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul
besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut
kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara
khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya
dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus
menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul
saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam
yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum
muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah
kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di
tengah malam secara rahasia.
> Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as
sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan
senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna
Muhammadan(r) Rasulullah.
9
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan
kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan kerinduan
jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7
tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki
usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam
jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anakanaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia.
Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam
sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya
yang telah dirampas oleh Abu Bakar. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan
kemisteriusan kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti
angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari
putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menyusulmu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula
kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya.
Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”
2.2 AKHLAK MULIA FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH …
Riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa Fatimah Zahra AS, hanya sempat mengenyam kehidupan
yang singkat. Beliau wafat pada usia yang sangat belia, 18 tahun. Meski singkat, kehidupan beliau banyak
mengandung pelajaran berharga. Kehidupan putri Rasul ini, laksana permata indah yang memancarkan cahaya.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengajak Anda untuk melihat sekelumit dari kepribadian beliau yang agung,
untuk
dijadikan
pedoman,
khususnya
bagi
kaum
perempuan.
Tak diragukan lagi, sebagian besar problem dan masalah yang dihadapi umat manusia adalah karena
10
kelalaiannya akan hakikat wujud kemanusiaannya, sehingga dia terjebak dalam tipuan dunia. Sebaliknya,
manusia bisa mendekatkan diri kepada Tuhan saat dia mengenal dirinya dan mengetahui tugas yang harus ia
lakukan
dan
pertanggungjawabkan
kepada
Allah,
Sang
Pencipta
alam
kehidupan.
Fatimah Zahra AS, adalah seorang figur yang unggul dalam keutamaan ini. Dalam doanya, beliau sering berucap,
“Ya Allah, kecilkanlah jiwaku di mataku dan tampakkanlah keagungan-Mu kepadaku. Ya Allah, sibukkanlah aku
dengan tugas yang aku pikul saat Engkau menciptakanku, dan jangan Engkau sibukkan aku dengan hal-hal yang
lain.”
Keikhlasan dalam beramal adalah jembatan menuju keselamatan dan keberuntungan. Manusia yang
memiliki jiwa keikhlasan akan terbebas dari seluruh belenggu hawa nafsu dan akan sampai ke tahap
penghambaan murni. Keikhlasan akan memberikan keindahan, kebaikan, dan kejujuran kepada seseorang.
Contoh terbaik dalam hal ini dapat ditemukan pada pribadi agung Fatimah Zahra AS. Seseorang pernah
bertanya kepada Imam Mahdi AS, “Siapakah di antara putri-putri Nabi yang lebih utama dan memiliki
kedudukan yang lebih tinggi?” Beliau menjawab, “Fatimah.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana Anda menyebut
Fatimah sebagai yang lebih utama padahal beliau hanya hidup singkat dan tidak lama bersama Nabi?” Beliau
menjawab, “Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan ini kepada Fatimah karena keikhlasan dan ketulusan
hatinya.”
Sayyidah Fatimah dalam munajatnya sering mengungkapkan kata-kata demikian, “Ya Allah, aku
bersumpah dengan ilmu ghaib yang Engkau miliki dan kemampuan penciptaan-Mu. Berilah aku keikhlasan. Aku
ingin aku tetap tunduk dan menghamba kepada-Mu di kala senang dan susah. Saat kemiskinan mengusikku
atau kekayaan datang kepadaku, aku tetap berharap kepada-Mu. Hanya dari-Mu aku memohon kenikmatan tak
berujung dan kelapangan pandangan yang tak berakhir dengan kegelapan. Ya Allah, hiasilah aku dengan iman
dan
masukkanlah
aku
ke
dalam
golongan
mereka
yang
mendapatkan
petunjuk.”
Kecintaan Fatimah AS kepada Tuhan disebut oleh Rasulullah sebagai buah dari keimanannya yang tulus. Beliau
bersabda, “Keimanan kepada Allah telah merasuk ke kalbu Fatimah sedemikian dalam, sehingga membuatnya
tenggelam
dalam
ibadah
dan
melupakan
segalanya.”
Manusia yang mengenal Tuhannya akan menghiasi perilaku dan tutur katanya dengan miliki keutama
akhlak yang terpuji. Asma’, salah seorang wanita yang dekat dengan Sayyidah Fatimah AS mengatakan, “Aku
tidak pernah melihat seorangpun wanita yang lebih santun dari Fatimah. Fatimah belajar kesantunan dari Dzat
yang Maha benar. Hanya orang yang terdidik dengan tuntunan Ilahi-lah yang bisa memiliki perilaku dan
kesantunan yang suci. Ketika Allah swt melalui firman-Nya memerintahkan umat untuk tidak memanggil Rasul
dengan namanya, Fatimah lantas memanggil ayahnya dengan sebutan Rasulullah. Kepadanya Nabi bersabda,
11
“Fatimah, ayat suci ini tidak mencakup dirimu.” Dalam kehidupan rumah tangganya, putri Nabi ini selalu
menjaga etika dan akhlak. Kehidupan Ali dan Fatimah yang saling menjaga kesantunan ini layak menjadi teladan
bagi
semua.
Kasih sayang dan kelemah-lembutan Fatimah AS diakui oleh semua orang yang hidup sezaman
dengannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum fakir miskin dan mereka yang memiliki hajat, akan datang
ke rumah Fatimah ketika semua jalan yang bisa diharapkan membantu mengatasi persoalan mereka telah
tertutup. Fatimah tidak pernah menolak permintaan mereka, padahal kehidupannya sendiri serba
berkekurangan.
Poin penting lain yang dapat dipelajari dari kehidupan dan kepribadian penghulu wanita sejagat ini
adalah sikap tanggap dan peduli yang ditunjukkan beliau terhadap masalah rumah tangga, pendidikan dan
masalah sosial. Banyak yang berprasangka bahwa keimanan dan penghambaan yang tulus kepada Allah akan
menghalangi orang untuk berkecimpung dalam urusan dunia. Kehidupan Sayyidah Fatimah Zahra AS
mengajarkan kepada semua orang akan hal yang berbeda dengan anggapan itu. Dunia di mata beliau adalah
tempat kehidupan, meski demikian hal itu tidak berarti harus dikesampingkan. Beliau menegaskan bahwa dunia
laksana anak tangga untuk menuju ke puncak kesempurnaan, dengan syarat hati tidak tertawan oleh tipuannya.
Fatimah AS berkata, “Ya Allah, perbaikilah duniaku bergantungnya kehidupanku. Perbaikilah kondisi akhiratku,
karena ke sanalah aku akan kembali. Panjangkanlah umurku selagi aku masih bisa berharap kebaikan dan
berkah
dari
dunia
ini…”
Detik-detik akhir kehidupannya telah tiba. Duka dan derita terasa amat berat untuk dipikul oleh putri
tercinta Nabi ini. Meski demikian, dengan lemah lembut Fatimah bersimpuh di hadapan Sang Maha Pencipta
mengadukan keadaannya. Asma berkata, “Saya menyaksikan saat itu Fatimah AS mengangkat tangannya dan
berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantara kemuliaan Nabi dan kecintaannya kepadaku.
Aku memohon kepada-Mu dengan nama Ali dan kesedihannya atas kepergianku. Aku memohon kepada-Mu
dengan perantara Hasan dan Husein serta derita mereka yang aku rasakan. Aku memohon kepada-Mu atas
nama putri-putriku dan kesedihan mereka. Aku memohon, kasihilah umat ayahku yang berdosa. Ampunilah
dosa-dosa mereka. Masukkanlah mereka ke dalam surga-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengasih
dari
semua
pengasih.”
Sebelum ajal datang menjemputnya, Fatimah Zahra AS menghadap kiblat setelah sebelumnya
berwudhu. Beliau mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kematian bagai kekasih yang aku
nantikan. Ya Allah, curahkanlah rahmat dan inayah-Mu kepadaku. Tempatkanlah ruhku di tengah arwah orangorang yang suci dan jasadku di sisi jasad-jasad mulia. Ya Allah, masukkanlah amalanku ke dalam amalan-amalan
12
yang
Engkau
terima.”
2.3 PEMIKIRAN FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH …
Dalam sebuah khotbah , Fatimah AS menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri
dan masyarakat adalah dengan memegang teguh agama dan patuh kepada perintah Allah. Beliau yang
mengetahui psikologi masyarakatnya menerangkan berbagai kekurangan yang ada di tengah mereka. Dalam
khotbah itu, Fatimah AS membawakan berbagai ayat suci Al-Qur’an dan menjelaskan tafsirannya. Peristiwa
yang terjadi di masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu yang layak dijadikan pelajaran dan bahan peringatan,
diungkapkannya. Dalam khotbah tersebut Fatimah sebagai seorang hamba yang saleh dan arif yang hakiki,
menjelaskan
kecintaannya
kepada
Sang
Maha
Pencipta.
Fatimah Zahra AS, adalah wanita yang mengenal betul kondisi di tengah masyarakat. Beliau sadar akan adanya
makar dan tipu daya musuh-musuh Islam. Hal itulah yang kemudian beliau ungkapkan dalam khotbahnya.
Singkatnya, Fatimah AS sebagai seorang yang mengetahui seluk beluk politik dan sadar akan kondisi di
zamannya, menerangkan kepada semua orang bahwa Islam adalah agama terakhir Tuhan dan syariat yang
paling sempurna. Beliau juga menjelaskan bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah dengan mengikuti
jejak Ahlul Bait AS.
2.4 KISAH INSPIRATIF FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH ...
> Kisah Cinta Fatimah Az-Zahra binti Rosululloh
Sungguh beruntung bila diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak cinta dari seorang Ali bin Abi Thalib
RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra RA. Karena keduanya adalah sosok yang memiliki cinta sejati yang mumpuni.
Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Saling menenguhkan keimanan masingmasing kepada Allah SWT. Dan untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti kisah singkat tentang cinta sejati mereka:
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik
darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca,
ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka
gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling
tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka
13
dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar
kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut
di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar
Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d
ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu
Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku” Cinta tak
pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah keberanian atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat
layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Namun, ujian
itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk
lutut.
Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa
14
yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang
bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan
’Umar.”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia
berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani
berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti
dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai
Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar
adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia
pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali pun ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara
Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu
dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang
tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan
lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggutunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin.
Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada
satu set baju besi disana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
15
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia
siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko
atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia
pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan
atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak,
itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab
Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu? ”Entahlah…” “Apa maksudmu?” “Menurut kalian apakah ’”Ahlan wa
Sahlan” berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja
sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkanAhlan
wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju
besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia
membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak
ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum
menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau
begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun
berkata; “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”
Kemudian Nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk
menikahkan Fathimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar
tersebut”
16
Kemudian Rasulullah SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian
berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian
berdua kebajikan yang banyak”
2.5 KARYA-KARYA FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH...
Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits
darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnul Jauzi berkata : “Kami tidak mengetahui seorang pun di antara
puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Uswah Islam dengan sosok wanita teladan.
Beliaulah puteri kesayangan Rasululah, Fatimah Az-zahrah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib.
Beliau memilih hidup sederhana daripada bergelimang harta dunia meskipun beliau termasuk dalam golongan
yang mampu. Beliau melakukan itu semua demi menghindari sifat mendewakan dunia.
Dalam sebuah hadits ada yang meriwayatkan bahwa Fatimah Azzahrah adalah bagian dari Rasulullah SAW, dari
itu siapa saja yang menyakitinya berarti dia telah menyakiti juga Rasulullah SAW.
Begitu juga sebaliknya,bagi siapa saja yang membuatnya gembira, maka ia telah emmbahagiakan Rasululah
SAW. Begitu sangat sayangnya Rasulullah SAW kepada puterinya yang satu ini.
Fatimah Azzahrah dikenal sebagai seorang wanita teladan, fasih dan pintar. Ia banyak sekali meriwayatkan
hadits dari ayahnya kepada putranya Hasan dan Husein. Dan mungkin ini merupakan salah satu alasan kenapa
Rasululah SAW menyayangi Fatimah Azzahrah, karena di kemudian hari Fatimah Azzahrah telah banyak
membantu umat islam dalam hal hadits yang shahih.
Bukan saja hanya menularkan haditsnya kepada anak-anaknya, namun Fatimah Azzahrah ini juga banyak
memberikan hadits dan disampaikan kepada suaminya, Aisyah, Ummu Salamah, Salma Ummu Rafi' dan Anas
bin Malik.
Beliaulah salah satu wanita teladan umat islam karena beliau yang paling dekat dan paling lama bersama Nabi
Muhammad SAW. Di kalangan penganut Syiah, beliau dan Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai ahlul Bait
(pewaris kepemimpinan) Nabi Muhammad SAW.
3.2 SARAN
Pembahasan dalam makalah ini hanya sampai pada tahap resume-resume dari setiap artikel yang telah
penulis jadikan referensi, oleh karena itu demi menghasilkan tullisan yang lebih produktif dan inovatif kembali
diharapkan pembaca dapat tidak hanya sekedar menjadikan makalah ini sebagai bahan referensi intropeksi,
akan tetapi juga dapat menjadi referensi sebagai penelitian berlanjut.
18
DAFTAR PUSTAKA
- http://honestyhani.blogspot.com/2011/05/mengenal-pribadi-mulia-fatimah-az-zahra.html
-http://oediku.wordpress.com/2011/04/28/kisah-cinta-sejati-ali-bin-abi-thalib-ra-dan-
fatimah-az-zahra-ra/
- [Disadur dari: kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4]
- http://uswahislam.blogspot.com/2011/11/fatimah-az-zahra-wanita-teladan-umat.html
19
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Pemikiran Arab pada Semester IV
Oleh:
Aminah Islamiyah
180910100068
Jatinangor
Program Studi Bahasa & Sastra Arab
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Merosotnya akhlak remaja terutama pada remaja wanita saat ini benar-benar menjadi permasalahan
yang sangat miris ditambah dengan minimnya kesadaran masyarakat bahwa krisis akhlak khususnya pada
akhlak para wanita saat ini bukanlah merupakan sebuah masalah penting. Selayaknya identitas seorang wanita
benar-benar di banyak dijadikan sebagai tonggak kesuksesan segala sesuatu seperti dalam hal sebuah keluarga,
ketika seorang suami berhasil dan kokoh maka kita dapat mengapresiasi sosok wanita dibalik seorang suami
tersebut. Dan terdapat pula sebuah kalimat dimana ''bagaimana kita melihat keadaan suatu Negara, maka
lihatlah wanita-wanita yang ada di Negara tersebut''.
Dan mirisnya saat ini, bukanlah suatu hal yang tabu ketika kita melihat remaja-remaja wanita yang
sudah dapat dengan terang-terangan memperlihatkan segala yang dimiliknya yang selayaknya tidak pantas
untuk diperlihatkan dimuka umum. Banyak wanita yang tidak memiliki kesadaran bahwa identitasnya
merupakan suatu hal yang berharga sangat tinggi dan tidak sembarang orang yang dapat melihat mereka. Oleh
karena itu, tema mengenai sosok wanita yaitu Fatimah Az-Zahra Binti Rosululloh ini dapat manjadi contoh bagi
wanita-wanita saat ini dalam mencapai kesempurnaan identitas seorang wanita.
Berkenaan pula dengan pemberian tugas makalah pada mata kuliah Pemikiran Arab Modern, maka
makalah ini disusun dengan sedemikian rupa yang menggambarkan sosok wanita berakhlak mulia, berwawasan
luas serta berkarakter dan juga sebagai ahlul jannah.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini disusun dengan rangkuman-rangkuman pembahasan berupa :
Bagaimana profil singkat mengenai identitas seorang fatimah Az-Zahra binti Rosululloh ?
Apa akhlak-akhlak Fatimah Az-Zahra yang dapat dijadikan teladan bagi para wanita ?
Bagaimana pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh seorang Fatimah Az-Zahra ?
Kisah apa sajakah yang dapat menjadi teladan dan inspirasi bagi para wanita saat ini ?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan murni untuk amal ma'ruf nahyi munkar dan sebagai tadzkirah kepada
2
pembaca khususnya kepada penulis. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan :
Memperkenalkan secara singkat sosok wanita sempurna yaitu Fatimah Az-Zahra binti Rosullulloh
Memaparkan akhlak-akhlak mulia Fatimah Az-Zahra
Mengungkapkan pemikiran-pemikiran Fatimah Az-Zahra
Mengungkapkan kisah-kisah teladan dari sosok Fatimah Az-Zahra
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode resume teks yang bersumber dari buku-buku biografi dan
juga bersumber dari artikel-artikel online. Seluruh sumber data dirangkum dan diedit seperlunya hingga dapat
menghasilkan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BIOGRAFI SINGKAT FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH …
Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad saw. .
Istri tercinta Imam Ali as. .
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.
> Hari Lahir
Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan
dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.
Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari
Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
> Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau
dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri,
kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari istri beliau ‘Aisyah, bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang
sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau
akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Barang siapa yang
membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya maka ia telah
membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi
nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
4
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan
Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan
Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun. Setelah ibunda kinasihnya Khadijah
wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk
menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang
dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan
yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan
menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi
ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
> Pernikahan Fatimah as
Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah
suaminya (menikah), sebelumknya banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara
mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau
mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah
dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu
menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk
meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau
kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar
menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang
menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"
Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya wanita
yang dipinang adalah tanda kerelaannya.”
> Acara Pernikahan
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata,
5
“Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah,
sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah
keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari
setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai
Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik
suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani
Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih
bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah mensucikan mereka dengan
sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa
diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu,
ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu,
dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau
menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi
kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid
Nabi saw.
Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan
mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.
Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah
ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap
peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang
senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan
6
kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugastugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan,
ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as merupakan pohon yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang
tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.
> Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin
kehidupan bersama. Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling
menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali
senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah
selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada
suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul,
adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah
sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as. Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan
suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.
> Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama
“Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga
kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw
dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya
beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan
mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian
7
Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan
menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul
saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan
nama-nama
tersebut.
Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.
> Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi
alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan,
istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang
dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu
kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman,
mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah
dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani
suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di
dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar
cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak
teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
> Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas
dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk
memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan
merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu
dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
8
Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hanyut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun
memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan
mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya
di
saat
dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul
besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut
kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara
khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya
dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus
menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul
saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam
yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum
muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah
kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di
tengah malam secara rahasia.
> Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as
sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan
senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna
Muhammadan(r) Rasulullah.
9
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan
kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan kerinduan
jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7
tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki
usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam
jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anakanaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia.
Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam
sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya
yang telah dirampas oleh Abu Bakar. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan
kemisteriusan kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti
angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari
putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menyusulmu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula
kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya.
Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”
2.2 AKHLAK MULIA FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH …
Riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa Fatimah Zahra AS, hanya sempat mengenyam kehidupan
yang singkat. Beliau wafat pada usia yang sangat belia, 18 tahun. Meski singkat, kehidupan beliau banyak
mengandung pelajaran berharga. Kehidupan putri Rasul ini, laksana permata indah yang memancarkan cahaya.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengajak Anda untuk melihat sekelumit dari kepribadian beliau yang agung,
untuk
dijadikan
pedoman,
khususnya
bagi
kaum
perempuan.
Tak diragukan lagi, sebagian besar problem dan masalah yang dihadapi umat manusia adalah karena
10
kelalaiannya akan hakikat wujud kemanusiaannya, sehingga dia terjebak dalam tipuan dunia. Sebaliknya,
manusia bisa mendekatkan diri kepada Tuhan saat dia mengenal dirinya dan mengetahui tugas yang harus ia
lakukan
dan
pertanggungjawabkan
kepada
Allah,
Sang
Pencipta
alam
kehidupan.
Fatimah Zahra AS, adalah seorang figur yang unggul dalam keutamaan ini. Dalam doanya, beliau sering berucap,
“Ya Allah, kecilkanlah jiwaku di mataku dan tampakkanlah keagungan-Mu kepadaku. Ya Allah, sibukkanlah aku
dengan tugas yang aku pikul saat Engkau menciptakanku, dan jangan Engkau sibukkan aku dengan hal-hal yang
lain.”
Keikhlasan dalam beramal adalah jembatan menuju keselamatan dan keberuntungan. Manusia yang
memiliki jiwa keikhlasan akan terbebas dari seluruh belenggu hawa nafsu dan akan sampai ke tahap
penghambaan murni. Keikhlasan akan memberikan keindahan, kebaikan, dan kejujuran kepada seseorang.
Contoh terbaik dalam hal ini dapat ditemukan pada pribadi agung Fatimah Zahra AS. Seseorang pernah
bertanya kepada Imam Mahdi AS, “Siapakah di antara putri-putri Nabi yang lebih utama dan memiliki
kedudukan yang lebih tinggi?” Beliau menjawab, “Fatimah.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana Anda menyebut
Fatimah sebagai yang lebih utama padahal beliau hanya hidup singkat dan tidak lama bersama Nabi?” Beliau
menjawab, “Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan ini kepada Fatimah karena keikhlasan dan ketulusan
hatinya.”
Sayyidah Fatimah dalam munajatnya sering mengungkapkan kata-kata demikian, “Ya Allah, aku
bersumpah dengan ilmu ghaib yang Engkau miliki dan kemampuan penciptaan-Mu. Berilah aku keikhlasan. Aku
ingin aku tetap tunduk dan menghamba kepada-Mu di kala senang dan susah. Saat kemiskinan mengusikku
atau kekayaan datang kepadaku, aku tetap berharap kepada-Mu. Hanya dari-Mu aku memohon kenikmatan tak
berujung dan kelapangan pandangan yang tak berakhir dengan kegelapan. Ya Allah, hiasilah aku dengan iman
dan
masukkanlah
aku
ke
dalam
golongan
mereka
yang
mendapatkan
petunjuk.”
Kecintaan Fatimah AS kepada Tuhan disebut oleh Rasulullah sebagai buah dari keimanannya yang tulus. Beliau
bersabda, “Keimanan kepada Allah telah merasuk ke kalbu Fatimah sedemikian dalam, sehingga membuatnya
tenggelam
dalam
ibadah
dan
melupakan
segalanya.”
Manusia yang mengenal Tuhannya akan menghiasi perilaku dan tutur katanya dengan miliki keutama
akhlak yang terpuji. Asma’, salah seorang wanita yang dekat dengan Sayyidah Fatimah AS mengatakan, “Aku
tidak pernah melihat seorangpun wanita yang lebih santun dari Fatimah. Fatimah belajar kesantunan dari Dzat
yang Maha benar. Hanya orang yang terdidik dengan tuntunan Ilahi-lah yang bisa memiliki perilaku dan
kesantunan yang suci. Ketika Allah swt melalui firman-Nya memerintahkan umat untuk tidak memanggil Rasul
dengan namanya, Fatimah lantas memanggil ayahnya dengan sebutan Rasulullah. Kepadanya Nabi bersabda,
11
“Fatimah, ayat suci ini tidak mencakup dirimu.” Dalam kehidupan rumah tangganya, putri Nabi ini selalu
menjaga etika dan akhlak. Kehidupan Ali dan Fatimah yang saling menjaga kesantunan ini layak menjadi teladan
bagi
semua.
Kasih sayang dan kelemah-lembutan Fatimah AS diakui oleh semua orang yang hidup sezaman
dengannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum fakir miskin dan mereka yang memiliki hajat, akan datang
ke rumah Fatimah ketika semua jalan yang bisa diharapkan membantu mengatasi persoalan mereka telah
tertutup. Fatimah tidak pernah menolak permintaan mereka, padahal kehidupannya sendiri serba
berkekurangan.
Poin penting lain yang dapat dipelajari dari kehidupan dan kepribadian penghulu wanita sejagat ini
adalah sikap tanggap dan peduli yang ditunjukkan beliau terhadap masalah rumah tangga, pendidikan dan
masalah sosial. Banyak yang berprasangka bahwa keimanan dan penghambaan yang tulus kepada Allah akan
menghalangi orang untuk berkecimpung dalam urusan dunia. Kehidupan Sayyidah Fatimah Zahra AS
mengajarkan kepada semua orang akan hal yang berbeda dengan anggapan itu. Dunia di mata beliau adalah
tempat kehidupan, meski demikian hal itu tidak berarti harus dikesampingkan. Beliau menegaskan bahwa dunia
laksana anak tangga untuk menuju ke puncak kesempurnaan, dengan syarat hati tidak tertawan oleh tipuannya.
Fatimah AS berkata, “Ya Allah, perbaikilah duniaku bergantungnya kehidupanku. Perbaikilah kondisi akhiratku,
karena ke sanalah aku akan kembali. Panjangkanlah umurku selagi aku masih bisa berharap kebaikan dan
berkah
dari
dunia
ini…”
Detik-detik akhir kehidupannya telah tiba. Duka dan derita terasa amat berat untuk dipikul oleh putri
tercinta Nabi ini. Meski demikian, dengan lemah lembut Fatimah bersimpuh di hadapan Sang Maha Pencipta
mengadukan keadaannya. Asma berkata, “Saya menyaksikan saat itu Fatimah AS mengangkat tangannya dan
berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantara kemuliaan Nabi dan kecintaannya kepadaku.
Aku memohon kepada-Mu dengan nama Ali dan kesedihannya atas kepergianku. Aku memohon kepada-Mu
dengan perantara Hasan dan Husein serta derita mereka yang aku rasakan. Aku memohon kepada-Mu atas
nama putri-putriku dan kesedihan mereka. Aku memohon, kasihilah umat ayahku yang berdosa. Ampunilah
dosa-dosa mereka. Masukkanlah mereka ke dalam surga-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengasih
dari
semua
pengasih.”
Sebelum ajal datang menjemputnya, Fatimah Zahra AS menghadap kiblat setelah sebelumnya
berwudhu. Beliau mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kematian bagai kekasih yang aku
nantikan. Ya Allah, curahkanlah rahmat dan inayah-Mu kepadaku. Tempatkanlah ruhku di tengah arwah orangorang yang suci dan jasadku di sisi jasad-jasad mulia. Ya Allah, masukkanlah amalanku ke dalam amalan-amalan
12
yang
Engkau
terima.”
2.3 PEMIKIRAN FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH …
Dalam sebuah khotbah , Fatimah AS menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri
dan masyarakat adalah dengan memegang teguh agama dan patuh kepada perintah Allah. Beliau yang
mengetahui psikologi masyarakatnya menerangkan berbagai kekurangan yang ada di tengah mereka. Dalam
khotbah itu, Fatimah AS membawakan berbagai ayat suci Al-Qur’an dan menjelaskan tafsirannya. Peristiwa
yang terjadi di masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu yang layak dijadikan pelajaran dan bahan peringatan,
diungkapkannya. Dalam khotbah tersebut Fatimah sebagai seorang hamba yang saleh dan arif yang hakiki,
menjelaskan
kecintaannya
kepada
Sang
Maha
Pencipta.
Fatimah Zahra AS, adalah wanita yang mengenal betul kondisi di tengah masyarakat. Beliau sadar akan adanya
makar dan tipu daya musuh-musuh Islam. Hal itulah yang kemudian beliau ungkapkan dalam khotbahnya.
Singkatnya, Fatimah AS sebagai seorang yang mengetahui seluk beluk politik dan sadar akan kondisi di
zamannya, menerangkan kepada semua orang bahwa Islam adalah agama terakhir Tuhan dan syariat yang
paling sempurna. Beliau juga menjelaskan bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah dengan mengikuti
jejak Ahlul Bait AS.
2.4 KISAH INSPIRATIF FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH ...
> Kisah Cinta Fatimah Az-Zahra binti Rosululloh
Sungguh beruntung bila diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak cinta dari seorang Ali bin Abi Thalib
RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra RA. Karena keduanya adalah sosok yang memiliki cinta sejati yang mumpuni.
Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Saling menenguhkan keimanan masingmasing kepada Allah SWT. Dan untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti kisah singkat tentang cinta sejati mereka:
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik
darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca,
ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka
gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling
tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka
13
dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar
kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut
di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar
Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d
ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu
Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku” Cinta tak
pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah keberanian atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat
layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Namun, ujian
itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk
lutut.
Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa
14
yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang
bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan
’Umar.”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia
berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani
berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti
dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai
Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar
adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia
pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali pun ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara
Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu
dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang
tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan
lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggutunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin.
Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada
satu set baju besi disana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
15
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia
siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko
atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia
pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan
atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak,
itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab
Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu? ”Entahlah…” “Apa maksudmu?” “Menurut kalian apakah ’”Ahlan wa
Sahlan” berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja
sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkanAhlan
wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju
besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia
membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak
ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum
menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau
begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun
berkata; “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”
Kemudian Nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk
menikahkan Fathimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar
tersebut”
16
Kemudian Rasulullah SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian
berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian
berdua kebajikan yang banyak”
2.5 KARYA-KARYA FATIMAH AZ-ZAHRA BINTI ROSULULLOH...
Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits
darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnul Jauzi berkata : “Kami tidak mengetahui seorang pun di antara
puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Uswah Islam dengan sosok wanita teladan.
Beliaulah puteri kesayangan Rasululah, Fatimah Az-zahrah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib.
Beliau memilih hidup sederhana daripada bergelimang harta dunia meskipun beliau termasuk dalam golongan
yang mampu. Beliau melakukan itu semua demi menghindari sifat mendewakan dunia.
Dalam sebuah hadits ada yang meriwayatkan bahwa Fatimah Azzahrah adalah bagian dari Rasulullah SAW, dari
itu siapa saja yang menyakitinya berarti dia telah menyakiti juga Rasulullah SAW.
Begitu juga sebaliknya,bagi siapa saja yang membuatnya gembira, maka ia telah emmbahagiakan Rasululah
SAW. Begitu sangat sayangnya Rasulullah SAW kepada puterinya yang satu ini.
Fatimah Azzahrah dikenal sebagai seorang wanita teladan, fasih dan pintar. Ia banyak sekali meriwayatkan
hadits dari ayahnya kepada putranya Hasan dan Husein. Dan mungkin ini merupakan salah satu alasan kenapa
Rasululah SAW menyayangi Fatimah Azzahrah, karena di kemudian hari Fatimah Azzahrah telah banyak
membantu umat islam dalam hal hadits yang shahih.
Bukan saja hanya menularkan haditsnya kepada anak-anaknya, namun Fatimah Azzahrah ini juga banyak
memberikan hadits dan disampaikan kepada suaminya, Aisyah, Ummu Salamah, Salma Ummu Rafi' dan Anas
bin Malik.
Beliaulah salah satu wanita teladan umat islam karena beliau yang paling dekat dan paling lama bersama Nabi
Muhammad SAW. Di kalangan penganut Syiah, beliau dan Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai ahlul Bait
(pewaris kepemimpinan) Nabi Muhammad SAW.
3.2 SARAN
Pembahasan dalam makalah ini hanya sampai pada tahap resume-resume dari setiap artikel yang telah
penulis jadikan referensi, oleh karena itu demi menghasilkan tullisan yang lebih produktif dan inovatif kembali
diharapkan pembaca dapat tidak hanya sekedar menjadikan makalah ini sebagai bahan referensi intropeksi,
akan tetapi juga dapat menjadi referensi sebagai penelitian berlanjut.
18
DAFTAR PUSTAKA
- http://honestyhani.blogspot.com/2011/05/mengenal-pribadi-mulia-fatimah-az-zahra.html
-http://oediku.wordpress.com/2011/04/28/kisah-cinta-sejati-ali-bin-abi-thalib-ra-dan-
fatimah-az-zahra-ra/
- [Disadur dari: kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4]
- http://uswahislam.blogspot.com/2011/11/fatimah-az-zahra-wanita-teladan-umat.html
19