Catatan tentang Peraturan Menteri Desa P
PRIORITAS DANA DESA UNTUK KEWENANGAN LOKAL1
Anom Surya Putra2
1. Pendahuluan
Ketidaksempurnaan aturan hukum diawali sejak aturan resmi diterbitkan.
Adagium hukum ini untuk menegaskan produk hukum sebagai teks
terbuka untuk kritik dari berbagai perspektif. Penetapan prioritas
penggunaan Dana Desa oleh Kementerian Desa PDTT merupakan
peraturan kebijakan yang ditujukan untuk mendaratkan UU No. 6/2014
tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). Peraturan Menteri Desa
PDTT No. 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permendesa PDTT No. 5/2015),
menghadirkan horison pemahaman baru dan sekaligus terbuka bagi kritik
untuk penyempurnaan sistem kebijakan Dana Desa kedepan.
Uraian dalam makalah ini dibatasi pada kerangka berpikir sistemik
tentang Asas Rekognisi dan Subsidiaritas yang melandasi prioritas
penggunaan Dana Desa dan pola pemberdayaan yang mengiringinya.
Tema yang kurang disentuh dalam makalah ini adalah perihal
administrasi keuangan desa karena hal seperti itu menjadi urusan
pemerintahan yang bersifat administratif dalam lingkup otoritas
Kemendagri.
Pada masa awal terbitnya Perpres No. 165/2014 tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja, Kementerian Desa PDTT memasuki babak
awal untuk berbenah diri terhitung sejak akhir Oktober 2014. Perdebatan
tentang otoritas penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa
menjadi multi-tafsir sekalipun materi perdebatan yang ada sama-sama
hendak mewujudkan Desa sebagai self-governing community (organisasi
masyarakat yang berpemerintahan, organisasi pemerintahan yang
bermasyarakat). Dalam Perpres 165, Kementerian Desa PDTT
sementara diarahkan Presiden untuk memimpin dan mengkoordinasikan
kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan adat dan
sosial budaya masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan
sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan yang semula
dilaksanakan oleh Kemendagri. Substansi Perpres 165 ini dibayangbayangi oleh organisasi dan tata kerja Ditjen PMD Kemendagri minus
Direktorat Pemerintahan Desa. Tepat pada bulan Januari 2015 Perpres
165 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku seiring terbitnya Perpres No.
1
Makalah dipresentasikan dalam acara diskusi tentang Permendesa PDTT No. 5/2015
Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015, diselenggarakan oleh Lembaga
Manajemen Keuangan dan Ilmu Pemerintahan (MKIP), di Surabaya 6 Mei 2015.
2
Pendapat pribadi. Anggota Tim Regulasi yang bersifat ad hoc pada Kementerian Desa
PDTT. Aktif dalam perkumpulan Jarkom Desa (http://jarkomdesa.com). Konsultan (Legal
Expert) Partnership/KEMITRAAN dalam program bantuan hukum Desa (AIPJ Project) dan
Konsultan penyusunan peraturan daerah tentang upaya kesehatan (AIPHSS).
12/2015 tentang Kementerian Desa PDTT. Substansi Perpres 12/22015
pun menggeser pola otoritas yang semula bias urusan pemerintahan keditjen-an (inward looking) menjadi urusan pemerintahan di bidang
pembangunan desa dan kawasan perdesaan serta pemberdayaan
masyarakat desa --selain urusan pembangunan daerah tertinggal dan
transmigrasi. Masa transisi organisasi Kementerian Desa PDTT
berpuncak pada terbitnya Permendesa PDTT No. 6/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa PDTT. Seribu pasal lebih
dalam “Permendesa SOTK” ini memberikan landasan organisasi
pelaksanaan otoritas pembangunan desa, pembangunan kawasan
perdesaan dan pemberdayaan masyarakat desa kepada 2 (dua) Ditjen
yang menangani urusan pemerintahan di bidang desa yakni: Ditjen
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) dan Ditjen
Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP).
Masa pembentukan Kementerian Desa PDTT mencerminkan takmudahnya bagi otoritas kementerian untuk menyusun dan menerbitkan
suatu peraturan menteri pada akhir tahun 2014. Berbagai asupan kritik,
masukan, rumusan dan pendapat yang beragam muncul terus menerus
agar segera diterbitkannya suatu peraturan menteri guna menjawab
problematika “mendaratnya” UU Desa. Kementerian Desa PDTT memilih
untuk menungggu kepastian hukum melalui terbitnya Perpres No.
12/2015. Faktor kepastian hukum inilah kiranya yang menyebabkan
mengapa Kementerian Desa PDTT tidak terburu-buru untuk menerbitkan
suatu peraturan kebijakan. Suatu aturan hukum tentang desa yang
diterbitkan sebelum Perpres No. 12/2015 mungkin validitasnya terjamin,
akan tetapi keberlakuan kaidahnya menjadi sirna ketika substansinya
bertentangan dengan Perpres No. 12/2015. Dilain pihak, suatu aturan
hukum yang dipaksakan untuk terbit sebelum adanya kejelasan otoritas
kementerian (c.q. Perpres No. 12/2015) akan memicu keberlakuan
empirik suatu aturan hukum yang ditopang oleh praksis politik tanpa
ujung.
Permendesa PDTT tentang Dana Desa terbit bersamaan dengan
peraturan menteri lainnya dan memiliki satu kesatuan konseptual dengan
spirit kehati-hatian dalam mendaratkan Asas Rekognisi dan Subsidiaritas
dalam UU Desa. Para analis kebijakan perlu hijrah paradigmatik dalam
menafsirkan peraturan kebijakan tentang prioritas penggunaan Dana
Desa. Landasan ideologis dalam memahami prioritas penggunaan Dana
Desa adalah Asas Rekognisi dan Asas Subsidiaritas, sebagai asas utama
dalam Pasal 3 UU Desa. Asas Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak
asal usul Desa. Asas Rekognisi disertai dengan redistribusi ekonomi
dalam bentuk Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Dilain pihak, Asas
Subsidiaritas merupakan asas penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan Desa.
Ketentuan dalam PP No. 60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber
dari APBN (selanjutnya disebut PP No. 60/2014 tentang Dana Desa)
mengalami perubahan/revisi terkait dengan otoritas Kemendesa PDTT,
Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri dalam
penyelenggaraan urusan Dana Desa. Kementerian Desa PDTT diberi
kewenangan untuk menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa. Tak
mudah mengguratkannya dalam rumusan pasal suatu peraturan menteri
(legislative drafting; legal drafting) ditengah silang-sengkarut tafsiran atas
kewenangan desa dan otoritas kementerian yang menanganinya.
Kementerian Desa PDTT memulainya dengan menerbitkan Permendesa
PDTT No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (selanjutnya disebut
Permendesa PDTT No. 1/2015), yang merinci daftar kewenangan hak
asal usul dan kewenangan skala lokal desa. Dalam interpretasi sistem
hukum, muatan dalam peraturan tersebut relasional dengan Pasal 2
Permendesa PDTT No. 5/2015, “Dana Desa yang bersumber dari APBN
digunakan untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang diatur dan diurus
oleh Desa.”
2. Masalah
1. Apa saja prioritas penggunaan Dana Desa berdasarkan kriteria
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala desa yang diatur dan diurus oleh Desa?
2. Apa saja contoh penggunaan Dana Desa untuk pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa?
3. Analisis
3.1. Kewenangan Desa dan Substansi Perubahan PP No. 60/2014
tentang Dana Desa
Kewenangan Desa diatur dalam Pasal 19 UU Desa dengan bahasa
hukum yang bersifat kumulatif. Kewenangan Desa dimaksud
meliputi (i) kewenangan berdasarkan hak asal usul, (ii) kewenangan
lokal berskala Desa, (iii) kewenangan yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemda Provinsi atau Pemda Kabupaten/Kota, dan (iv)
kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemda
Provinsi, atau Pemda Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pertama, perumus UU Desa memberikan guidance tentang
kewenangan Desa kategori kewenangan berdasarkan hak asal usul.
Penjelasan Pasal 19 huruf a UU Desa merumuskan kategori
kewenangan berdasarkan hak asal usul sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan
yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai
dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi
masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa,
serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.”
Kementerian Desa PDTT menerbitkan Permendesa No. 1/2015
untuk “menginspirasi” Desa dalam menyusun Daftar Kewenangan
Hak Asal Usul. Daftar kewenangan tersebut masih sangat terbuka
untuk dikritisi, dipilih dan ditambah sesuai dinamika dan prakarsa
Desa setempat.
Gambar
1
Kewenangan
Hak
Asal
Usul,
Paparan
Hasman
Ma’ani,
Kemendesa
PDTT
(2015)
Kedua, perumus UU Desa memberikan guidance tentang
kewenangan Desa kategori kewenangan lokal berskala Desa.
Penjelasan Pasal 19 huruf b UU Desa merumuskan kategori
kewenangan lokal berskala Desa sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh
Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa
masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat
pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan
terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa,
dan jalan Desa.”
Kementerian
Desa
PDTT
juga
mencantumkan
didalam
Permendesa No. 1/2015 untuk “menginspirasi” Desa dalam
menyusun Daftar Kewenangan Lokal Berskala Desa. Daftar
kewenangan tersebut masih sangat terbuka untuk dikritisi, dipilih
dan ditambah sesuai dinamika dan prakarsa Desa setempat.
Gambar
2
Daftar
Kewenangan
Lokal
Berskala
Desa,
Paparan
Hasman
Ma’ani,
Kemendesa
PDTT
(2015)
Ketiga, perumus UU Desa memberikan rumusan norma terbuka
terhadap kewenangan yang ditugaskan dan kewenangan lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Disatu sisi ketentuan ini
membuka kemungkinan inisiatif program/kegiatan dari Pemerintah,
Pemprov dan Pemkab yang mendukung praksis kewenangan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa. Dilain pihak
ketentuan ini memerlukan tindakan kontrol dari publik terkait
substansi program yang justru serba-kontrol, serba-kendali dan
akhirnya mematikan spirit rekognisi dan subsidiaritas atas Desa.
Kementerian Desa PDTT berupaya memberikan kerangka
organisasional melalui Ditjen PPMD yang fokus pada promosi dan
implementasi kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala Desa, sedangkan Ditjen PKP fokus pada inisiatif
pemerintah agar sinkron dengan kewenangan lokal skala Desa
antar-desa (lingkup kawasan perdesaan menurut UU Desa). Inisiatif
program kementerian/lembaga terdahulu seperti Desa Tangguh
(antisipasi bencana), Desa Siaga (promosi kesehatan), Perdesaan
Sehat (kelembagaan untuk desa-desa sehat di daerah tertinggal),
PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM-MP Generasi Sehat-Cerdas dan
lain sebagainya secara normatif harus mengadaptasi kewenangan
hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Asas Rekognisi dan Subsidiaritas membayangi ketentuan dalam
Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Desa yang mengatur
tentang Pendapatan Desa yang bersumber dari alokasi APBN
(Belanja Pusat) dengan mengefektifkan program yang berbasis
Desa secara merata dan berkeadilan. Anggaran tersebut
selanjutnya disebut Dana Desa dan dikukuhkan melalui PP No.
60/2014 tentang Dana Desa. Dana Desa digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat. Ketentuan dalam PP No. 60/2014
tentang Dana Desa belum sinkron dengan Perpres 12/2015 tentang
Kemendesa PDTT. Oleh karenanya, Kementerian Keuangan
melakukan inisiatif untuk melakukan perubahan atas substansi
dalam PP No. 60/2014 tentang Dana Desa. Draft terakhir yang
penulis terima sebelum PP Perubahan itu menjadi PP No. 22/2015
memberikan muatan pengaturan tentang otoritas Menteri Desa
PDTT menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa.
Prioritas penggunaan Dana Desa mengikuti peta jalan (road map)
Dana Desa yang nantinya ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Isi
peta jalan Dana Desa yang sementara disusun oleh Kementerian
Keuangan antara lain memberikan guidance tentang penggunaan
Dana Desa sesuai kewenangan hak asal usul dan kewenangan
lokal berskala Desa. Selain itu, penggunaan Dana Desa bersifat
open menu dengan prioritas untuk mendukung program
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui
pembangunan infrastruktur dasar desa dan tidak dapat digunakan
untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Penulis tidak akan mendalami tema penghasilan tetap tersebut yang
akhir-akhir ini menjadi isu utama di berbagai media, namun
menyoroti substansi utama dalam peta jalan Dana Desa yang
seolah-olah didominasi infrastruktur dasar Desa. Apabila konsisten
dengan spirit UU Desa, maka penggunaan Dana Desa dalam
konteks pembangunan infrastruktur dasar desa menjadi prioritas
sekunder. Prioritas primernya adalah daftar kewenangan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala desa.
Isi substantif Permendesa No. 5/2015 memiliki relevansi yang kuat
dengan spirit peta jalan (road map) Dana Desa dalam hal
kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Daftar kewenangan dimaksud yang lebih lengkap dan tanpa
bermaksud “menggurui/mengontrol” Desa sudah diatur dalam
Permendesa No. 1/2015.
Mengapa muatan pengaturan Permendesa No. 5/2015 memuat
prioritas saja dan bukan positive/negative list? Pendekatan prioritas
diterapkan dalam Permendesa tersebut agar Desa lebih leluasa
dalam menyusun daftar kewenangannya sendiri yang beraspek
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa yang nantinya
didanai oleh Dana Desa.
Prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa
dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan Desa yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar;
b. pembangunan sarana dan prasarana Desa;
c. pengembangan potensi ekonomi lokal; dan
d.
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan.
3.2. Prioritas Penggunaan Dana Desa
Rincian penggunaan Dana Desa untuk kewenangan hak asal usul
dan kewenangan lokal berskala Desa dalam Permendesa PDTT No.
5/2015, bukan hanya untuk aspek pembangunan desa. Prioritas
penggunaan DD juga ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat
desa (vide Bab IV Permendesa PDTT No. 5/2015).
Pembangunan desa dilandasi Asas Rekognisi-Subsidiaritas,
mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, sarana prasana Desa,
potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan. Misalnya, pengelolaan Posyandu (kebutuhan dasar),
kedaulatan energi dan jalan Desa (sarana dan prasarana Desa),
pendirian dan pengembangan BUM Desa (potensi ekonomi lokal),
dan komoditas tambang kalsedonia (pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan).
Penggunaan DD untuk pemberdayaan masyarakat meliputi proses
perencanaan Desa, BUM Desa dan kelompok usaha masyarakat
Desa lainnya, pembentukan KPMD (Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa), paralegal Desa, dan seterusnya.
Sebagai contoh adalah penggunaan Dana Desa dalam pemenuhan
kebutuhan dasar (kesehatan dan pendidikan). Ketentuan ini
diinspirasikan dari beberapa praktek pemberdayaan masyarakat
yang terjadi pada beberapa Desa. Sebagai contoh adalah
pengembangan Poskesdes, Polindes, Posyandu serta PAUD.
Kegiatan berskala lokal desa ini lebih bermakna bagi Desa dalam
rentang waktu yang panjang. Kegiatan yang dapat didanai Dana
Desa tersebut potensi untuk berkembang dalam community centre
dan menyumbangkan kinerja pemberdayaan desa (Desa Driven
Development) yang tinggi.
“Pembentukan
Community
Center
(CC)
di
Desa
Kekeri
di
Lombok
Barat
tidak
dapat
dilepaskan
dari
peran
3
orang
perempuan,
yaitu:
Kustiyah,
Sri
Rahmadani
dan
Johra.
Pada
awalnya
ketiga
perempuan
tersebut
prihatin
akan
kondisi
kesehatan
masyarakat,
terutama
perempuan
dan
keluarga
miskin
yang
mengalami
Gizi
Buruk.
Keresahan
yang
semula
bersifat
pribadi
kemudian
mengkristal
dan
diwujudkan
dalam
bentuk
CC
sebagai
wadah
perempuan,
pusat
layanan
informasi
publik,
pengaduan
dan
pembelajaran
yang
mudah
diakses
warga,
serta
menjadi
alat
kontrol
effektif
bagi
unit-‐unit
pelayanan
publik.
Ada
beberapa
peran
yang
diperankan
oleh
CC
sehingga
terjadi
proses
transformasi
sosial
desa,
antara
lain:
Pertama,
sebagai
sarana
penyampaian
complain
warga
terhadap
pelayanan
publik.
Kedua,
sebagai
wadah
untuk
berbagi
ilmu
dan
keterampilan.
Meskipun
awal
keberadaannya
CC
lahir
untuk
memperbaiki
kualitas
pelayanan
publik,
namun
dalam
perkembangannya
CC
menjadi
arena
bersama
untuk
saling
memperkuat
pengetahuan
tentang
apa
pun,
termasuk
soal
pentingnya
memperkuat
partisipasi
warga
dalam
perencanaan
dan
penganggaran
di
tingkat
desa
hingga
kabupaten,
sehingga
perempuan
memiliki
peran
publik
yang
setara
dengan
laki-‐laki.
Ketiga,
mengontrol
dan
mengadvokasi
kualitas
pelayanan
public,
khususnya
bidang
kesehatan.
CC
Desa
Kekeri
berhasil
membangun
kesepakatan
bersama
dengan
Dinas
Kesehatan
melalui
penandatanganan
MOU
Kesehatan
ditingkat
Kabupaten,
guna
mengontrol
kualitas
layanan
Puskesmas.
Keempat,
CC
telah
memfasilitasi
penyelesaian
masalah-‐masalah
terkait
dengan
TKI.
Di
Desa
Kekeri,
lebih
dari
50%
perempuan
memilih
bekerja
sebagai
TKI,
namun
sayangnya
banyak
dari
mereka
tidak
mengetahui
informasi
seputar
TKI,
sehingga
seringkali
pulang
dengan
membawa
persoalan.
Karena
itu,
CC
mengambil
peran
untuk
melakukan
transformasi
pengetahuan
sehingga
pilihan
untuk
menjadi
TKI
bisa
menjadi
pilihan
yang
rasional
serta
seorang
TKI
sebelum
berangkat
sudah
mengetahui
hak-‐hak
baik
sebagai
tenaga
kerja
maupun
warga
negara
yang
bekerja
di
negara
asing.
CC
di
Desa
Kekeri
juga
melakukan
advokasi
kepada
pemerintah
desa
agar
turut
memberikan
perlindungan
kepada
warganya
sehingga
tidak
terjebak
pada
bentuk-‐bentuk
kecurangan
dalam
pengurusan
administrasi
calon
TKI,
seperti
pemalsuan
umur.
“3
Contoh penggunaan Dana Desa untuk pengembangan institusi
ekonomi kolektif Desa adalah pendirian dan pembentukan BUM
Desa sesuai ketentuan baru dalam UU Desa dan Permendesa No.
4/2015 tentang BUM Desa. Siasat pendirian BUM Desa difokuskan
kepada proses pelibatan (deliberatif) warga kedalam Musyawarah
Desa (Permendesa No. 2/2015 tentang Musyawarah Desa).
Tindakan rekognisi atas “BUMDes” yang sudah eksis untuk menjadi
BUM Desa antara lain dengan mengembangkan berbagai tipe unit
usaha yang eksis untuk didanai Dana Desa, sesuai kesepakatan
dalam Musyawarah Desa.
Dana Desa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan BUM Desa,
seperti pengembangan terhadap BUM Desa “Maju Makmur”, Desa
Minggirsari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. BUM Desa tersebut telah
berkolaborasi dengan pemerintah daerah setempat dan berhasil
menjalankan usaha distribusi pupuk dan nasabah kredit sebanyak
173 orang dengan omset ratusan juta rupiah, serta nasabah
tabungan 61 orang dengan omset mencapai 81 juta rupiah.4
Adapun besaran Dana Desa untuk pengembangan BUM Desa yang
3
Borni Kurniawan, Desa Mandiri, Desa Membangun, Kementerian Desa PDTT, Maret 2015.
Kisah good practices dari Community Centre diatas dikutip oleh Borni Kurniawan dari Buku
Persembahan Perempuan untuk Kemandirian Desa, 2013.
4
Suharyanto dan Hastowiyono, Seri Buku Pintar BUM Desa: Pelembagaan BUM Desa,
Cetakan Pertama (Yogyakarta: FPPD, 2014).
sudah berkembang
Musyawarah Desa.
itu
dapat
disepakati
bersama
dalam
Contoh lainnya adalah penggunaan Dana Desa untuk menguatkan
kapasitas KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) dalam
skup kapasitas paralegal desa. Program pemberdayaan masyarakat
desa sebelumnya telah mewariskan masalah hukum pidana yang
luar biasa dan segera harus dituntaskan di jalur prosedur litigasi.
Dilain pihak tradisi berdesa (hidup bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat di desa) mewariskan kemampuan mediasi dan rasa
malu dalam berbuat pidana-koruptif. KPK juga sudah memberi titik
rawan elit capture dalam penyaluran dan penggunaan Dana Desa.
Gambar
3.
Paparan
KPK
(2015)
Kapasitas paralegal Desa merupakan bagian dari daftar
kewenangan lokal berskala desa sehingga kegiatan KPMD dalam
paralegal desa dapat didanai Dana Desa. Dilain pihak, pendamping
pihak ketiga (LSM, Ornop maupun lembaga donor yang bersumber
non-APBN, non-APBD dan non-APBDesa) dapat menguatkan
kapasitas paralegal desa khususnya dalam kemampuan
penanganan masalah/pengaduan, mediasi dan advokasi kebijakan.
Disinilah kiranya kita memulai tradisi berdesa yang menjawab
pesimisme atas ketidakmampuan Desa dalam mengelola Dana
Desa, sekaligus tetap eling lan waspada terhadap ultimatum KPK
terhadap potensi elit capture yang mengkorupsi Dana Desa.
4. Simpulan dan Rekomendasi
4.1. Simpulan
Penggunaan Dana Desa untuk kewenangan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa merupakan tantangan baru
dalam mendaratkan UU Desa. Sikap pesimis dan sinis terhadap
penggunaan Dana Desa yang berskala minim dibandingkan dana
“mega proyek” pemberdayaan sebelumnya sudah selayaknya
dijawab dengan model pendampingan Desa yang didasarkan spirit
pengakuan (rekognisi-subsidiaritas) terhadap Desa.
4.2.
Rekomendasi
Langkah mendesak dalam beberapa waktu kedepan adalah
menyusun rancangan peraturan bupati dan raperdes tentang daftar
kewenangan lokal berskala desa. Daftar kewenangan lokal ini
untuk memastikan apa saja keragaman di desa-desa dalam
memaknai kewenangannya dan bagaimana desa memanfaatkan
Dana Desa untuk kepentingan implementasi kewenangannya
sendiri.
Anom Surya Putra2
1. Pendahuluan
Ketidaksempurnaan aturan hukum diawali sejak aturan resmi diterbitkan.
Adagium hukum ini untuk menegaskan produk hukum sebagai teks
terbuka untuk kritik dari berbagai perspektif. Penetapan prioritas
penggunaan Dana Desa oleh Kementerian Desa PDTT merupakan
peraturan kebijakan yang ditujukan untuk mendaratkan UU No. 6/2014
tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). Peraturan Menteri Desa
PDTT No. 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permendesa PDTT No. 5/2015),
menghadirkan horison pemahaman baru dan sekaligus terbuka bagi kritik
untuk penyempurnaan sistem kebijakan Dana Desa kedepan.
Uraian dalam makalah ini dibatasi pada kerangka berpikir sistemik
tentang Asas Rekognisi dan Subsidiaritas yang melandasi prioritas
penggunaan Dana Desa dan pola pemberdayaan yang mengiringinya.
Tema yang kurang disentuh dalam makalah ini adalah perihal
administrasi keuangan desa karena hal seperti itu menjadi urusan
pemerintahan yang bersifat administratif dalam lingkup otoritas
Kemendagri.
Pada masa awal terbitnya Perpres No. 165/2014 tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja, Kementerian Desa PDTT memasuki babak
awal untuk berbenah diri terhitung sejak akhir Oktober 2014. Perdebatan
tentang otoritas penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa
menjadi multi-tafsir sekalipun materi perdebatan yang ada sama-sama
hendak mewujudkan Desa sebagai self-governing community (organisasi
masyarakat yang berpemerintahan, organisasi pemerintahan yang
bermasyarakat). Dalam Perpres 165, Kementerian Desa PDTT
sementara diarahkan Presiden untuk memimpin dan mengkoordinasikan
kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan adat dan
sosial budaya masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan
sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan yang semula
dilaksanakan oleh Kemendagri. Substansi Perpres 165 ini dibayangbayangi oleh organisasi dan tata kerja Ditjen PMD Kemendagri minus
Direktorat Pemerintahan Desa. Tepat pada bulan Januari 2015 Perpres
165 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku seiring terbitnya Perpres No.
1
Makalah dipresentasikan dalam acara diskusi tentang Permendesa PDTT No. 5/2015
Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015, diselenggarakan oleh Lembaga
Manajemen Keuangan dan Ilmu Pemerintahan (MKIP), di Surabaya 6 Mei 2015.
2
Pendapat pribadi. Anggota Tim Regulasi yang bersifat ad hoc pada Kementerian Desa
PDTT. Aktif dalam perkumpulan Jarkom Desa (http://jarkomdesa.com). Konsultan (Legal
Expert) Partnership/KEMITRAAN dalam program bantuan hukum Desa (AIPJ Project) dan
Konsultan penyusunan peraturan daerah tentang upaya kesehatan (AIPHSS).
12/2015 tentang Kementerian Desa PDTT. Substansi Perpres 12/22015
pun menggeser pola otoritas yang semula bias urusan pemerintahan keditjen-an (inward looking) menjadi urusan pemerintahan di bidang
pembangunan desa dan kawasan perdesaan serta pemberdayaan
masyarakat desa --selain urusan pembangunan daerah tertinggal dan
transmigrasi. Masa transisi organisasi Kementerian Desa PDTT
berpuncak pada terbitnya Permendesa PDTT No. 6/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa PDTT. Seribu pasal lebih
dalam “Permendesa SOTK” ini memberikan landasan organisasi
pelaksanaan otoritas pembangunan desa, pembangunan kawasan
perdesaan dan pemberdayaan masyarakat desa kepada 2 (dua) Ditjen
yang menangani urusan pemerintahan di bidang desa yakni: Ditjen
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) dan Ditjen
Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP).
Masa pembentukan Kementerian Desa PDTT mencerminkan takmudahnya bagi otoritas kementerian untuk menyusun dan menerbitkan
suatu peraturan menteri pada akhir tahun 2014. Berbagai asupan kritik,
masukan, rumusan dan pendapat yang beragam muncul terus menerus
agar segera diterbitkannya suatu peraturan menteri guna menjawab
problematika “mendaratnya” UU Desa. Kementerian Desa PDTT memilih
untuk menungggu kepastian hukum melalui terbitnya Perpres No.
12/2015. Faktor kepastian hukum inilah kiranya yang menyebabkan
mengapa Kementerian Desa PDTT tidak terburu-buru untuk menerbitkan
suatu peraturan kebijakan. Suatu aturan hukum tentang desa yang
diterbitkan sebelum Perpres No. 12/2015 mungkin validitasnya terjamin,
akan tetapi keberlakuan kaidahnya menjadi sirna ketika substansinya
bertentangan dengan Perpres No. 12/2015. Dilain pihak, suatu aturan
hukum yang dipaksakan untuk terbit sebelum adanya kejelasan otoritas
kementerian (c.q. Perpres No. 12/2015) akan memicu keberlakuan
empirik suatu aturan hukum yang ditopang oleh praksis politik tanpa
ujung.
Permendesa PDTT tentang Dana Desa terbit bersamaan dengan
peraturan menteri lainnya dan memiliki satu kesatuan konseptual dengan
spirit kehati-hatian dalam mendaratkan Asas Rekognisi dan Subsidiaritas
dalam UU Desa. Para analis kebijakan perlu hijrah paradigmatik dalam
menafsirkan peraturan kebijakan tentang prioritas penggunaan Dana
Desa. Landasan ideologis dalam memahami prioritas penggunaan Dana
Desa adalah Asas Rekognisi dan Asas Subsidiaritas, sebagai asas utama
dalam Pasal 3 UU Desa. Asas Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak
asal usul Desa. Asas Rekognisi disertai dengan redistribusi ekonomi
dalam bentuk Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Dilain pihak, Asas
Subsidiaritas merupakan asas penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan Desa.
Ketentuan dalam PP No. 60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber
dari APBN (selanjutnya disebut PP No. 60/2014 tentang Dana Desa)
mengalami perubahan/revisi terkait dengan otoritas Kemendesa PDTT,
Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri dalam
penyelenggaraan urusan Dana Desa. Kementerian Desa PDTT diberi
kewenangan untuk menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa. Tak
mudah mengguratkannya dalam rumusan pasal suatu peraturan menteri
(legislative drafting; legal drafting) ditengah silang-sengkarut tafsiran atas
kewenangan desa dan otoritas kementerian yang menanganinya.
Kementerian Desa PDTT memulainya dengan menerbitkan Permendesa
PDTT No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (selanjutnya disebut
Permendesa PDTT No. 1/2015), yang merinci daftar kewenangan hak
asal usul dan kewenangan skala lokal desa. Dalam interpretasi sistem
hukum, muatan dalam peraturan tersebut relasional dengan Pasal 2
Permendesa PDTT No. 5/2015, “Dana Desa yang bersumber dari APBN
digunakan untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang diatur dan diurus
oleh Desa.”
2. Masalah
1. Apa saja prioritas penggunaan Dana Desa berdasarkan kriteria
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala desa yang diatur dan diurus oleh Desa?
2. Apa saja contoh penggunaan Dana Desa untuk pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa?
3. Analisis
3.1. Kewenangan Desa dan Substansi Perubahan PP No. 60/2014
tentang Dana Desa
Kewenangan Desa diatur dalam Pasal 19 UU Desa dengan bahasa
hukum yang bersifat kumulatif. Kewenangan Desa dimaksud
meliputi (i) kewenangan berdasarkan hak asal usul, (ii) kewenangan
lokal berskala Desa, (iii) kewenangan yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemda Provinsi atau Pemda Kabupaten/Kota, dan (iv)
kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemda
Provinsi, atau Pemda Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pertama, perumus UU Desa memberikan guidance tentang
kewenangan Desa kategori kewenangan berdasarkan hak asal usul.
Penjelasan Pasal 19 huruf a UU Desa merumuskan kategori
kewenangan berdasarkan hak asal usul sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan
yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai
dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi
masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa,
serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.”
Kementerian Desa PDTT menerbitkan Permendesa No. 1/2015
untuk “menginspirasi” Desa dalam menyusun Daftar Kewenangan
Hak Asal Usul. Daftar kewenangan tersebut masih sangat terbuka
untuk dikritisi, dipilih dan ditambah sesuai dinamika dan prakarsa
Desa setempat.
Gambar
1
Kewenangan
Hak
Asal
Usul,
Paparan
Hasman
Ma’ani,
Kemendesa
PDTT
(2015)
Kedua, perumus UU Desa memberikan guidance tentang
kewenangan Desa kategori kewenangan lokal berskala Desa.
Penjelasan Pasal 19 huruf b UU Desa merumuskan kategori
kewenangan lokal berskala Desa sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh
Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa
masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat
pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan
terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa,
dan jalan Desa.”
Kementerian
Desa
PDTT
juga
mencantumkan
didalam
Permendesa No. 1/2015 untuk “menginspirasi” Desa dalam
menyusun Daftar Kewenangan Lokal Berskala Desa. Daftar
kewenangan tersebut masih sangat terbuka untuk dikritisi, dipilih
dan ditambah sesuai dinamika dan prakarsa Desa setempat.
Gambar
2
Daftar
Kewenangan
Lokal
Berskala
Desa,
Paparan
Hasman
Ma’ani,
Kemendesa
PDTT
(2015)
Ketiga, perumus UU Desa memberikan rumusan norma terbuka
terhadap kewenangan yang ditugaskan dan kewenangan lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Disatu sisi ketentuan ini
membuka kemungkinan inisiatif program/kegiatan dari Pemerintah,
Pemprov dan Pemkab yang mendukung praksis kewenangan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa. Dilain pihak
ketentuan ini memerlukan tindakan kontrol dari publik terkait
substansi program yang justru serba-kontrol, serba-kendali dan
akhirnya mematikan spirit rekognisi dan subsidiaritas atas Desa.
Kementerian Desa PDTT berupaya memberikan kerangka
organisasional melalui Ditjen PPMD yang fokus pada promosi dan
implementasi kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala Desa, sedangkan Ditjen PKP fokus pada inisiatif
pemerintah agar sinkron dengan kewenangan lokal skala Desa
antar-desa (lingkup kawasan perdesaan menurut UU Desa). Inisiatif
program kementerian/lembaga terdahulu seperti Desa Tangguh
(antisipasi bencana), Desa Siaga (promosi kesehatan), Perdesaan
Sehat (kelembagaan untuk desa-desa sehat di daerah tertinggal),
PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM-MP Generasi Sehat-Cerdas dan
lain sebagainya secara normatif harus mengadaptasi kewenangan
hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Asas Rekognisi dan Subsidiaritas membayangi ketentuan dalam
Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Desa yang mengatur
tentang Pendapatan Desa yang bersumber dari alokasi APBN
(Belanja Pusat) dengan mengefektifkan program yang berbasis
Desa secara merata dan berkeadilan. Anggaran tersebut
selanjutnya disebut Dana Desa dan dikukuhkan melalui PP No.
60/2014 tentang Dana Desa. Dana Desa digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat. Ketentuan dalam PP No. 60/2014
tentang Dana Desa belum sinkron dengan Perpres 12/2015 tentang
Kemendesa PDTT. Oleh karenanya, Kementerian Keuangan
melakukan inisiatif untuk melakukan perubahan atas substansi
dalam PP No. 60/2014 tentang Dana Desa. Draft terakhir yang
penulis terima sebelum PP Perubahan itu menjadi PP No. 22/2015
memberikan muatan pengaturan tentang otoritas Menteri Desa
PDTT menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa.
Prioritas penggunaan Dana Desa mengikuti peta jalan (road map)
Dana Desa yang nantinya ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Isi
peta jalan Dana Desa yang sementara disusun oleh Kementerian
Keuangan antara lain memberikan guidance tentang penggunaan
Dana Desa sesuai kewenangan hak asal usul dan kewenangan
lokal berskala Desa. Selain itu, penggunaan Dana Desa bersifat
open menu dengan prioritas untuk mendukung program
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui
pembangunan infrastruktur dasar desa dan tidak dapat digunakan
untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Penulis tidak akan mendalami tema penghasilan tetap tersebut yang
akhir-akhir ini menjadi isu utama di berbagai media, namun
menyoroti substansi utama dalam peta jalan Dana Desa yang
seolah-olah didominasi infrastruktur dasar Desa. Apabila konsisten
dengan spirit UU Desa, maka penggunaan Dana Desa dalam
konteks pembangunan infrastruktur dasar desa menjadi prioritas
sekunder. Prioritas primernya adalah daftar kewenangan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala desa.
Isi substantif Permendesa No. 5/2015 memiliki relevansi yang kuat
dengan spirit peta jalan (road map) Dana Desa dalam hal
kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Daftar kewenangan dimaksud yang lebih lengkap dan tanpa
bermaksud “menggurui/mengontrol” Desa sudah diatur dalam
Permendesa No. 1/2015.
Mengapa muatan pengaturan Permendesa No. 5/2015 memuat
prioritas saja dan bukan positive/negative list? Pendekatan prioritas
diterapkan dalam Permendesa tersebut agar Desa lebih leluasa
dalam menyusun daftar kewenangannya sendiri yang beraspek
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa yang nantinya
didanai oleh Dana Desa.
Prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa
dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan Desa yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar;
b. pembangunan sarana dan prasarana Desa;
c. pengembangan potensi ekonomi lokal; dan
d.
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan.
3.2. Prioritas Penggunaan Dana Desa
Rincian penggunaan Dana Desa untuk kewenangan hak asal usul
dan kewenangan lokal berskala Desa dalam Permendesa PDTT No.
5/2015, bukan hanya untuk aspek pembangunan desa. Prioritas
penggunaan DD juga ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat
desa (vide Bab IV Permendesa PDTT No. 5/2015).
Pembangunan desa dilandasi Asas Rekognisi-Subsidiaritas,
mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, sarana prasana Desa,
potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan. Misalnya, pengelolaan Posyandu (kebutuhan dasar),
kedaulatan energi dan jalan Desa (sarana dan prasarana Desa),
pendirian dan pengembangan BUM Desa (potensi ekonomi lokal),
dan komoditas tambang kalsedonia (pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan).
Penggunaan DD untuk pemberdayaan masyarakat meliputi proses
perencanaan Desa, BUM Desa dan kelompok usaha masyarakat
Desa lainnya, pembentukan KPMD (Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa), paralegal Desa, dan seterusnya.
Sebagai contoh adalah penggunaan Dana Desa dalam pemenuhan
kebutuhan dasar (kesehatan dan pendidikan). Ketentuan ini
diinspirasikan dari beberapa praktek pemberdayaan masyarakat
yang terjadi pada beberapa Desa. Sebagai contoh adalah
pengembangan Poskesdes, Polindes, Posyandu serta PAUD.
Kegiatan berskala lokal desa ini lebih bermakna bagi Desa dalam
rentang waktu yang panjang. Kegiatan yang dapat didanai Dana
Desa tersebut potensi untuk berkembang dalam community centre
dan menyumbangkan kinerja pemberdayaan desa (Desa Driven
Development) yang tinggi.
“Pembentukan
Community
Center
(CC)
di
Desa
Kekeri
di
Lombok
Barat
tidak
dapat
dilepaskan
dari
peran
3
orang
perempuan,
yaitu:
Kustiyah,
Sri
Rahmadani
dan
Johra.
Pada
awalnya
ketiga
perempuan
tersebut
prihatin
akan
kondisi
kesehatan
masyarakat,
terutama
perempuan
dan
keluarga
miskin
yang
mengalami
Gizi
Buruk.
Keresahan
yang
semula
bersifat
pribadi
kemudian
mengkristal
dan
diwujudkan
dalam
bentuk
CC
sebagai
wadah
perempuan,
pusat
layanan
informasi
publik,
pengaduan
dan
pembelajaran
yang
mudah
diakses
warga,
serta
menjadi
alat
kontrol
effektif
bagi
unit-‐unit
pelayanan
publik.
Ada
beberapa
peran
yang
diperankan
oleh
CC
sehingga
terjadi
proses
transformasi
sosial
desa,
antara
lain:
Pertama,
sebagai
sarana
penyampaian
complain
warga
terhadap
pelayanan
publik.
Kedua,
sebagai
wadah
untuk
berbagi
ilmu
dan
keterampilan.
Meskipun
awal
keberadaannya
CC
lahir
untuk
memperbaiki
kualitas
pelayanan
publik,
namun
dalam
perkembangannya
CC
menjadi
arena
bersama
untuk
saling
memperkuat
pengetahuan
tentang
apa
pun,
termasuk
soal
pentingnya
memperkuat
partisipasi
warga
dalam
perencanaan
dan
penganggaran
di
tingkat
desa
hingga
kabupaten,
sehingga
perempuan
memiliki
peran
publik
yang
setara
dengan
laki-‐laki.
Ketiga,
mengontrol
dan
mengadvokasi
kualitas
pelayanan
public,
khususnya
bidang
kesehatan.
CC
Desa
Kekeri
berhasil
membangun
kesepakatan
bersama
dengan
Dinas
Kesehatan
melalui
penandatanganan
MOU
Kesehatan
ditingkat
Kabupaten,
guna
mengontrol
kualitas
layanan
Puskesmas.
Keempat,
CC
telah
memfasilitasi
penyelesaian
masalah-‐masalah
terkait
dengan
TKI.
Di
Desa
Kekeri,
lebih
dari
50%
perempuan
memilih
bekerja
sebagai
TKI,
namun
sayangnya
banyak
dari
mereka
tidak
mengetahui
informasi
seputar
TKI,
sehingga
seringkali
pulang
dengan
membawa
persoalan.
Karena
itu,
CC
mengambil
peran
untuk
melakukan
transformasi
pengetahuan
sehingga
pilihan
untuk
menjadi
TKI
bisa
menjadi
pilihan
yang
rasional
serta
seorang
TKI
sebelum
berangkat
sudah
mengetahui
hak-‐hak
baik
sebagai
tenaga
kerja
maupun
warga
negara
yang
bekerja
di
negara
asing.
CC
di
Desa
Kekeri
juga
melakukan
advokasi
kepada
pemerintah
desa
agar
turut
memberikan
perlindungan
kepada
warganya
sehingga
tidak
terjebak
pada
bentuk-‐bentuk
kecurangan
dalam
pengurusan
administrasi
calon
TKI,
seperti
pemalsuan
umur.
“3
Contoh penggunaan Dana Desa untuk pengembangan institusi
ekonomi kolektif Desa adalah pendirian dan pembentukan BUM
Desa sesuai ketentuan baru dalam UU Desa dan Permendesa No.
4/2015 tentang BUM Desa. Siasat pendirian BUM Desa difokuskan
kepada proses pelibatan (deliberatif) warga kedalam Musyawarah
Desa (Permendesa No. 2/2015 tentang Musyawarah Desa).
Tindakan rekognisi atas “BUMDes” yang sudah eksis untuk menjadi
BUM Desa antara lain dengan mengembangkan berbagai tipe unit
usaha yang eksis untuk didanai Dana Desa, sesuai kesepakatan
dalam Musyawarah Desa.
Dana Desa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan BUM Desa,
seperti pengembangan terhadap BUM Desa “Maju Makmur”, Desa
Minggirsari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. BUM Desa tersebut telah
berkolaborasi dengan pemerintah daerah setempat dan berhasil
menjalankan usaha distribusi pupuk dan nasabah kredit sebanyak
173 orang dengan omset ratusan juta rupiah, serta nasabah
tabungan 61 orang dengan omset mencapai 81 juta rupiah.4
Adapun besaran Dana Desa untuk pengembangan BUM Desa yang
3
Borni Kurniawan, Desa Mandiri, Desa Membangun, Kementerian Desa PDTT, Maret 2015.
Kisah good practices dari Community Centre diatas dikutip oleh Borni Kurniawan dari Buku
Persembahan Perempuan untuk Kemandirian Desa, 2013.
4
Suharyanto dan Hastowiyono, Seri Buku Pintar BUM Desa: Pelembagaan BUM Desa,
Cetakan Pertama (Yogyakarta: FPPD, 2014).
sudah berkembang
Musyawarah Desa.
itu
dapat
disepakati
bersama
dalam
Contoh lainnya adalah penggunaan Dana Desa untuk menguatkan
kapasitas KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) dalam
skup kapasitas paralegal desa. Program pemberdayaan masyarakat
desa sebelumnya telah mewariskan masalah hukum pidana yang
luar biasa dan segera harus dituntaskan di jalur prosedur litigasi.
Dilain pihak tradisi berdesa (hidup bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat di desa) mewariskan kemampuan mediasi dan rasa
malu dalam berbuat pidana-koruptif. KPK juga sudah memberi titik
rawan elit capture dalam penyaluran dan penggunaan Dana Desa.
Gambar
3.
Paparan
KPK
(2015)
Kapasitas paralegal Desa merupakan bagian dari daftar
kewenangan lokal berskala desa sehingga kegiatan KPMD dalam
paralegal desa dapat didanai Dana Desa. Dilain pihak, pendamping
pihak ketiga (LSM, Ornop maupun lembaga donor yang bersumber
non-APBN, non-APBD dan non-APBDesa) dapat menguatkan
kapasitas paralegal desa khususnya dalam kemampuan
penanganan masalah/pengaduan, mediasi dan advokasi kebijakan.
Disinilah kiranya kita memulai tradisi berdesa yang menjawab
pesimisme atas ketidakmampuan Desa dalam mengelola Dana
Desa, sekaligus tetap eling lan waspada terhadap ultimatum KPK
terhadap potensi elit capture yang mengkorupsi Dana Desa.
4. Simpulan dan Rekomendasi
4.1. Simpulan
Penggunaan Dana Desa untuk kewenangan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa merupakan tantangan baru
dalam mendaratkan UU Desa. Sikap pesimis dan sinis terhadap
penggunaan Dana Desa yang berskala minim dibandingkan dana
“mega proyek” pemberdayaan sebelumnya sudah selayaknya
dijawab dengan model pendampingan Desa yang didasarkan spirit
pengakuan (rekognisi-subsidiaritas) terhadap Desa.
4.2.
Rekomendasi
Langkah mendesak dalam beberapa waktu kedepan adalah
menyusun rancangan peraturan bupati dan raperdes tentang daftar
kewenangan lokal berskala desa. Daftar kewenangan lokal ini
untuk memastikan apa saja keragaman di desa-desa dalam
memaknai kewenangannya dan bagaimana desa memanfaatkan
Dana Desa untuk kepentingan implementasi kewenangannya
sendiri.