Tugas Akhir Remedial Sejarah Indonesia K
Tugas Akhir Remedial
Sejarah Indonesia
“Kerajaan Islam di Kalimantan Barat”
X MIPA 3
SMA NEGERI 1 PONTIANAK
KALIMANTAN BARAT
2016-2017
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar………………………………………………………………….......................
....................................
Daftar
Isi……………………………………………………………………................................
....................................
BAB I : Pendahuluan
A. Latar
Belakang……………………………………………………....
…........................................................
B. Rumusan
Masalah……………………………………………………................................
.........................
C. Tujuan
Penelitian………………………………………………………..........................
............................
BAB II : Pembahasan
BAB III : Penutup
A. Simpulan……………………………………………………………………………
……………………………..
B. Saran…………………………………………………………………………………
……………………………..
Daftar
Pustaka………………………………………………………………………………………
……………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dirumuskan pada makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa saja kerajaan Islan yang terdapat di Kalimantan Barat?
2. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Islam di Kalimantan
Barat?
3. Bagaimana perkembangan berbagai kerajaan Islam di
Kalimantan Barat?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan yang telah disebutkan dalam rumusan masalah,
maka penulisan ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui berbagai kerajaan Islam yang terdapat di
Kalimantan Barat.
2. Memahami sejarah berdirinya kerajaan Islam di Kalimantan
Barat.
3. Memahami perkembangan berbagai kerajaan Islam di
Kalimantan Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesultanan Sambas
1. Sejarah
Sumber yang digunakan oleh kaum sejarawan untuk melacak
riwayat Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat adalah dua
kitab sastra bercorak sejarah, yaitu Asal Raja-Raja Sambas dan
Salsilah Kerajaan Sambas. Naskah Asal Raja-Raja Sambas
diperkirakan telah berusia ratusan tahun tetapi belum diketahui
data yang lebih jelas mengenai asal-usul naskah yang ditulis
dengan aksara Arab-Melayu ini, baik siapa penulisnya, judul
aslinya, maupun waktu dan tempat penulisannya .
Kesultanan Sambas memiliki riwayat panjang dan berkaitan
dengan sejarah sejumlah kerajaan lain, seperti Kesultanan
Brunei Darussalam, Johor, Serawak, Sukadana dan Kerajaan
Hindu Ratu Sepudak, bahkan juga dengan Kerajaan Majapahit di
Jawa. Secara garis besar, riwayat Kesultanan Sambas terbagi
atas dua periode, yakni pada masa Hindu dan Islam, selain juga
pada masa kolonial dan pascakemerdekaan Indonesia.
a) Kerajaan Sambas Tua pada Masa Hindu
Kesultanan Sambas sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua.
Kerajaan ini berada di bawah pengaruh Kesultanan Johor.
Pada waktu itu, Kesultanan Johor sedang menapak zaman
keemasannya di mana kerajaan ini memiliki daerah taklukan
yang
luas
dan
mulai
menyaingi
kebesaran
Kerajaan
Majapahit di Jawa (Musa, 2003:1).
Hegemoni Kesultanan Johor terhadap kerajaan-kerajaan lain,
termasuk sebagai penyaing Mahapahit terlihat jelas karena
sebelumnya
Kerajaan
Sambas
Tua
merupakan
wilayah
taklukan Majapahit pada era pemerintahan Raja Hayam
Wuruk (1351-1389 Masehi) dan Mahapatih Gajah Mada. Hal
ini
tercatat
dalam
kitab
Negarakrtagama
karya
Mpu
Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M (Yudithia Ratih,
tt:62).
Ekspedisi Pamalayu Majapahit pada abad ke-14 M sangat
berperan terhadap berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang
diawali oleh pemerintahan yang dipimpin Raden Janur
dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh. Asalmuasal berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari
kedatangan orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan
Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Setelah beberapa
saat berinteraksi dengan warga lokal, mereka mendirikan
pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya .
Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan
karena raja yang memimpin bukan lagi keturunan Majapahit.
Hal itu terjadi karena Raden Janur tidak memiliki keturunan
dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal. Raja Tang
Nunggal,
yang
dikenal
sebagai
sosok
yang
kejam,
menimbulkan kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan
yang membawahi Paloh. Oleh karena itu, sepeninggal Tang
Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh kembali diambil-alih
Majapahit
Pada
pertengahan
abad
ke-15,
pemerintahan
di
Paloh
dipindahkan ke Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan,
berjarak 36 kilometer ke arah barat Kota Sambas sekarang.
Pada tahun 1550 M, pemerintahan di Kota Lama dipimpin
oleh Ratu Sepudak dan kemudian dikenal dengan nama
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua.
Ratu Sepudak didampingi saudaranya bernama Timbung
Paseban
Seiring berkembangnya Islam di nusantara, pada tahun 1570
M, pengaruh Majapahit atas Kerajaan Sambas Tua mulai
melemah. Di sisi lain, Kesultanan Johor di Semenanjung
Malaka justru sedang menapak masa kejayaan, termasuk
berambisi
untuk
menguasai
kerajaan-kerajaan
taklukan
Majapahit di Sumatra dan Kalimantan, hingga pada akhirnya
Johor berhasil menguasai Kerajaan Sambas Tua.
b) Berdirinya Kesultanan Sambas Islam
Pengaruh Islam yang masuk ke Kerajaan Sambas Tua
sebenarnya datang dari Kesultanan Brunei Darussalam yang
dipimpin Sultan Abdul Majid Hasan 1402 – 1408 M). Sultan
ini tidak memiliki anak sehingga ketika beliau wafat pada
tahun 1408 M, tahta kesultanan dilimpahkan kepada adik
iparnya, bernama Ong Sum Pin, seorang muallaf keturunan
Cina. Ong Sum Pin adalah suami dari Putri Ratna Dewi, adik
kandung almarhum Sultan Abdul Majid Hasan. Setelah
dinobatkan menjadi sultan, Ong Sum Pin menyandang gelar
Sultan Ahmad (1408 – 1425 M).
Pasangan Sultan Ahmad dan Putri Ratna Dewi dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Putri Ratna Kesuma yang
kemudian dikawinkan dengan seorang bangsawan Arab yang
baru datang dari Mekah bernama Syarif Ali bin Hasan bin Abi
Anami bin Barkat Pancaran Amir Hasan. Konon, Syarif Ali
masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Pada tahun
1425
M,
Syarif
Ali
ditabalkan
sebagai
Sultan
Brunei
Darussalam dengan gelar Sultan Barkat (1425 – 1432 M)
menggantikan ayah mertuanya, yaitu Sultan Ahmad .
Selanjutnya, para pemimpin Kesultanan Brunei Darussalam
pengganti Sultan Barkat secara berturut-turut antara lain:
Sultan Sulaiman (1432 – 1485 M), Sultan Bolqiah (1485 –
1524 M), Sultan Abdul Kahar (1524 – 1530 M), Sultan Saiful
Rijal (1530 – 1581 M), hingga Sultan Syah Brunei (1581 –
1582 M). Karena Sultan Syah Brunei tidak memiliki anak,
maka kemudian yang dinobatkan sebagai sultan adalah
adiknya bernama Pangeran Muhammad Hasan dengan gelar
Sultan Muhammad Hasan (1582 – 1598 M). Sedangkan adik
bungsu almarhum Sultan Syah Brunei, Pangeran Muhammad,
diangkat sebagai bendahara kerajaan.
Sultan Muhammad Hasan mempunyai tiga orang putra, yaitu
Pangeran Abdul Jalilul Akbar, Pangeran Muhammad Ali, dan
Pangeran Raja Tengah. Menurut Urai Riza Fahmi (2003),
Pangeran Raja Tengah inilah yang kelak menurunkan para
penguasa Kesultanan Sambas Islam (Fahmi [ed.], 2003:3).
Pada abad ke-16 itu, Pangeran Raja Tengah terkenal sebagai
panglima perang yang telah menaklukan banyak negeri di
bawah kuasa Kesultanan Brunei Darussalam. Atas jasa-
jasanya
itu,
Pangeran
Raja
Tengah
dipercaya
untuk
memimpin Serawak. Setelah dinobatkan sebagai Sultan
Serawak
pada
tahun
1599
M, Pangeran
Raja
Tengah
menyandang gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Syah atau sering
juga disebut sebagai Sultan Tengah (Mawardi Rivai, tt:2-4).
Pada waktu itu, Kesultanan Brunei Darussalam berhubungan
erat dengan Kesultanan Johor, terutama melalui ikatan
perkawinan, termasuk bibi Sultan Tengah sendiri yang
menjadi permaisuri Sultan Abdul Jalil, Sultan Johor yang
bertahta antara tahun 1570 – 1571 M. Pada suatu ketika,
dalam perjalanan pulang dari Johor ke Serawak, kapal yang
ditumpangi
sehingga
rombongan
terdampar
di
Sultan
wilayah
Tengah
dihantam
Kerajaan
badai
Sukadana
di
Kalimantan Barat. Kerajaan Sukadana pada masa itu masih
menganut agama Hindu dengan rajanya yang bernama Raja
Giri Mustika. Kedatangan Sultan Tengah disambut dengan
suka-cita oleh Kerajaan Sukadana yang memang berminat
menjalin hubungan baik dengan Sultan Tengah yang terkenal
pemberani itu.
Atas perantara seorang ahli agama Islam bernama Syeh
Syamsudin yang baru saja kembali dari Mekah, Sultan
Tengah mengislamkan Raja Giri Mustika beserta sebagian
besar rakyat Sukadana. Bahkan, Raja Giri Mustika berkenan
menikahkan Sultan Tengah dengan adiknya yang bernama
Ratu Surya Kesuma. Pernikahan ini dianugerahi tiga orang
putra dan dua orang putri, yaitu masing-masing bernama
Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul Wahab,
Raden Rasymi Putri, dan Raden Ratnawati.
Dari bibinya yang menjadi permaisuri Sultan Johor, Sultan
Tengah sering mendengar tentang Kerajaan Sambas Tua.
Kerajaan Sambas Tua ketika itu memang masih berada di
bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Saat di Sukadana inilah
Sultan Tengah semakin tertarik untuk mengunjungi Kerajaan
Sambas Tua. Maka berangkatlah rombongan Sultan Tengah
ke Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Kota Lama, Benua
Bantanan-Tempapan.
Di Kota Lama, rombongan Sultan Tengah disambut hangat
oleh Ratu Sepudak. Pemimpin Kerajaan Sambas Tua ini
mempunyai
dua
anak
perempuan.
Putri
yang
pertama
bernama Raden Mas Ayu Anom dinikahkan dengan Pangeran
Prabu Kencana yang tidak lain adalah keponakan Ratu
Sepudak sendiri. Sedangkan putri Ratu Sepudak yang kedua
bernama Raden Mas Ayu Bungsu. Sultan Tengah sendiri
kemudian mendirikan permukiman di Kota Bangun, yang
terletak tidak jauh dari Kota Lama, pusat pemerintahan
Kerajaan Sambas Tua. Pembangunan permukiman ini atas
persetujuan Ratu Sepundak.
Akan tetapi, belum seberapa lama Sultan Tengah bermukim
di Sambas, Ratu Sepudak wafat. Sebagai penggantinya, maka
diangkat Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom
Kesuma Yuda. Sementara itu, putri kedua almarhum Ratu
Sepudak, Raden Mas Ayu Bungsu, dinikahkan dengan putra
sulung Sultan Tengah, yakni Raden Sulaiman. Pernikahan
Raden Sulaiman dengan Raden Mas Ayu Bungsu dikaruniai
seorang putra dan dua orang putri yang masing-masing
bernama Raden Bima, Raden Ratna Dewi, dan Raden Ratna.
Tidak lama setelah kelahiran Raden Bima, yaitu pada tahun
1055
Hijriah,
Kesultanan
Sultan
Serawak
Tengah
yang
memutuskan
telah
lama
ia
kembali
ke
tinggalkan.
Sementara itu, Raden Sulaiman tetap tinggal di Kerajaan
Sambas Tua dan diangkat sebagai patih/menteri pertahanan
dan keamanan yang dibantu oleh tiga orang pejabat, yakni
Kiai Dipa Sari, Kiai Dipa Negara, dan Kiai Setia Bakti.
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan antara
Raden Sulaiman dengan Pangeran Mangkurat, keponakan
almarhum Ratu Sepudak. Pangeran Mangkurat merasa Ratu
Anom Kesuma Yuda lebih dekat kepada Raden Sulaiman
daripada dirinya yang notabene adalah orang asli kerajaan.
Perseteruan itu semakin membesar ketika Kiai Setia Bakti,
salah seorang abdi setia Raden Sulaiman, ditemukan tewas
terbunuh
yang
ternyata
pelakunya
adalah
orang-orang
suruhan Pangeran Mangkurat.
Untuk menghindarkan konfik internal, Raden Sulaiman
menyingkir
ke
Kota
Bangun,
tempat
mendirikan
perkampungan ketika
Sultan
pertama
kali
Tengah
tiba
di
Kerajaan Sambas Tua. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar
dari Kota Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang
masih menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sambas Tua,
antara lain petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding yang
kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah ke simpang
Sungai Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir (Fahmi
[ed.], 2003:6). Tiga tahun berselang, Raden Sulaiman pindah
ke simpang Sungai Teberau di Lubuk Madung, dan kemudian
pindah lagi ke muara tiga sungai (Sungai Subah, Sungai
Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara Ulakan .
Di Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafuddin I.
Sementara dua adik laki-laki Raden Sulaiman, yaitu Raden
Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing diangkat
sebagai Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran
Tumenggung Jaya Kesuma (Fahmi [ed.], 2003:6). Dengan
demikian, Kesultanan Sambas resmi berdiri di Muara Ulakan,
berdampingan dengan Kerajaan Sambas Tua di Kota Lama.
Di Muara Ulakan inilah Raden Sulaiman membangun Istana
Alwazikhoebillah.
c) Bersatunya Dua Pemerintahan di Sambas
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara kalangan
sejarawan tentang penentuan waktu yang tepat kapan Raden
Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas Islam, meski dalam
beberapa naskah yang ditemukan menyebut tanggal 10
Dzulhijah tahun 1040 Hijriah sebagai tanggal di mana Raden
Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas Islam yang
pertama.
Sejumlah
sejarawan
saling
bersilang
pendapat
ihwal
penanggalan masehi pendirian Kesultanan Sambas. Machrus
Effendy, misalnya, meyakini tahun 1612 M, sedangkan
Mawardi Rivai menyebutkan tahun 1622 M. Sejarawan
Melayu asal Brunei, Awang Al-Sufri, menyatakan tahun 1631
M (Musa, 2003:35). Tahun yang sama juga diyakini oleh
Yudithia Ratih dalam tulisannya Istana Alwatzikubillah –
Sambas
(Ratih,
tt:65).
Terlepas
dari
perbedaan
itu,
sebenarnya dapat ditarik jalan tengah bahwa berdirinya
Kesultanan Sambas paling tidak terjadi pada dekade-dekade
awal abad ke-17. Mengenai tahun wafatnya Raden Sulaiman,
pendiri Kesultanan Sambas Islam, oleh Pabali H. Musa
disebutkan pada tahun 1669 M.
Sepeninggal
Raden
Sulaiman,
pemerintahan
Kerajaan
Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda hingga
wafat dan digantikan putranya yang bernama Raden Bekut
dengan gelar Panembahan Kota Balai. Selanjutnya, penerus
tahta Kesultanan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun
yang menjadi raja terakhir karena tidak lama setelah
dinobatkan, Raden Mas Dungun menyerahkan wilayahnya
kepada Raden Sulaiman yang bertahta di Kota Bangun
Dengan demikian, jika dirunut
dari riwayat terdahulu,
Kesultanan Sambas masih memiliki garis keturunan dengan
Kerajaan
Hindu
Ratu
Sepudak/Kerajaan
Sambas
Tua,
Sukadana, Serawak, dan Brunei Darussalam. Untuk menjaga
hubungan
keluarga
yang
turun-temurun
itu,
Sultan
Syafuddin I menitahkan putra pertamanya, Raden Bima, agar
mengunjungi Kesultanan Brunei Darussalam yang menjadi
tempat asal Sultan Tengah, ayahanda Sultan Syafuddin I
sekaligus kakek dari Raden Bima.
Sebelumnya, Raden Bima terlebih dulu ke Sukadana untuk
mengunjungi neneknya, Ratu Surya Kesuma. Pemimpin
Sukadana
waktu
itu,
Sultan
Zainuddin,
berkenan
menjodohkan Raden Bima dengan adik perempuannya yang
bernama Putri Indra Kusuma. Dari hasil perkawinan itu,
Raden Bima dan Putri Indra Kusuma mempunyai seorang
putra bernama Raden Milian yang dilahirkan pada tanggal 2
Rabbiul Awal 1075 H .
Setelah pulang ke Muara Ulakan untuk menemui ayah dan
ibundanya dengan membawa serta Putri Indra Kusuma dan
Raden Milian yang baru berusia satu setengah tahun, Raden
Bima bersiap menuju ke Brunei Darussalam. Kedatangan
Raden Bima disambut meriah oleh keluarga Kesultanan
Brunei Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Mahyiddin
(1673 – 1690 M). Bahkan, Sultan Mahyiddin berkenan
memberikan
anugerah
gelar
kehormatan
Sultan
Anum
kepada Raden Bima. Selain itu, Raden Bima diberi banyak
sekali benda-benda kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam
yang
masih
dipergunakan
dalam
upacara-upacara
adat
Kesultanan Sambas sampai sekarang .
Sepulang dari Brunei, Raden Bima dinobatkan sebagai Sultan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (16681708 M). Ketika beliau wafat, tahta kesultanan diberikan
kepada putranya yaitu Raden Milian bergelar Sultan Umar
Akamuddin I (1708-1732 M). Pengganti Raden Milian adalah
Raden Bungsu dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin
(1732-1762 M). Setelah itu, berturut-turut yang menjabat
sebagai Sultan Sambas hingga awal abad ke-19 adalah Sultan
Umar Akamuddin II (1762-1786 M), Sultan Achmad Tajuddin
(1786-1793 M), dan Sultan Abubakar Tajuddin I (1793-1815).
2. Kesultanan Sambas di Era Kolonial
Pada tahun 1609 M, Belanda membuka hubungan dagang
dengan Kesultanan Matan di Kalimantan Barat. Dari situ,
Belanda mendengar kabar tentang Kerajaan Sambas Tua di
bawah pimpinan Ratu Sepudak yang kaya akan hasil hutan dan
emas. Namun baru pada tanggal 1 Oktober 1696 M, wakil
Belanda, Samuel Bloemaert, mengadakan perjanjian dagang
dengan Kesultanan Sambas yang telah bercorak Islam (Ratih,
tt:62).
Pada tanggal 24 Juli 1812, Inggris menyerang Sambas. Peristiwa
itu terjadi ketika Sultan Abubakar Tajuddin I sedang melawat ke
Serawak. Namun, serangan Inggris itu berhasil dipatahkan.
Pada tahun 1815, Sultan Abubakar Tajuddin I wafat dan
digantikan Pangeran Anom dengan gelar Sultan Muhammad Ali
Syafudin I (1815-1828) (Ratih, tt:64).
Sejak
akhir
tahun
1823
Belanda
dan
Inggris
membahas
pembagian wilayah atas nusantara dan Malaka. Pada tanggal 17
Maret 1824, Belanda dan Inggris menyepakati perjanjian yang
dikenal sebagai Traktat London. Isi Traktat London pada intinya
adalah penyerahan negeri-negeri di nusantara dari Inggris
kepada Belanda. Sedangkan Inggris berhak atas Malaka beserta
tanah jajahannya dan Singapura (Netscher, 2002:465-466).
Dengan demikian, wilayah Kesultanan Sambas kembali dikuasai
Belanda.
Sultan Muhammad Ali Syafuddin I wafat tahun 1828 dan
digantikan Raden Ishak atau Pangeran Ratu Nata Kusuma. Tapi
karena
Raden
sementara
Ishak
dipegang
belum
oleh
dewasa,
saudara
maka
Sultan
pemerintahan
Muhammad
Ali
Syafudin I, Pangeran Bendahara Sri Maha Sultan dengan gelar
Sultan Usman Kamaluddin (1828-1830) (Ratih, tt:64). Sultan
Usman Kamaluddin wafat tahun 1831 dan kepemimpinan
dialihkan kepada adik Sultan Muhammad Ali Syafudin I yang
lain, Pangeran Tumenggung Jaya Kusuma bergelar Sultan Umar
Akamuddin III (1830-1845). Ketika Sultan Umar Akamuddin III
wafat tanggal 15 Desember 1845, Pangeran Ratu Nata Kusuma
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Abubakar
Tajuddin II.
Dengan
surat
keputusan
Gubernemen
Hindia
Belanda
tertanggal 17 Januari 1848, putra sulung Sultan Abubakar
Tajuddin II, Syafuddin, diangkat sebagai putra mahkota dengan
gelar Pangeran Adipati dan kemudian disekolahkan ke Jawa.
Karena berselisih dengan pemerintah kolonial, Sultan Abubakar
Tajuddin II diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 1855.
Belanda kemudian mengangkat Pangeran Ratu Negara sebagai
pengganti sultan dengan gelar Sultan Umar Kamluddin (18551866) .
Pada tanggal 23 Juli 1861, Pangeran Adipati pulang ke Sambas
setelah menyelesaikan sekolahnya di Jawa. Kemudian, pada
tanggal 16 Agustus 1866 beliau dinobatkan menjadi sultan
dengan gelar Sultan Muhammad Syafuddin II (1866 – 1922).
Pada masa ini, Kesultanan Sambas mengalami masa kejayaan,
salah satu wujudnya adalah dengan pembangunan Masjid Jami
atau Masjid Agung Sambas pada tahun 1877 .
Selain
membangun
Masjid
Jami,
sebagai
upaya
untuk
mengembangkan ajaran Islam, Sultan Muhammad Syafuddin II
juga mendirikan Madrasah Al-Sultaniyah. Sebelumnya, pada
tahun 1872, Sultan telah membentuk Maharaja Imam sebagai
institusi keagamaan tertinggi di istana. Untuk memimpin
institusi
yang
memiliki
otoritas
terbesar
dalam
bidang
kegamaan ini, Sultan menunjuk seorang ulama bernama Haji
Muhammad Arif Nuruddin
Kemajuan intelektual juga diperoleh Kesultanan Sambas pada
era
Sultan
Muhammad
Syafuddin
II
dengan
mendirikan
sekolah-sekolah dan memberi penghargaan kepada siswa-siswa
berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir dan Arab
Saudi (Fahmi [ed.], 2003:37). Salah seorang putra Sambas yang
berhasil menempuh pendidikan di Mesir adalah Muhammad
Basiuni Imran (1885 – 1976) yang kemudian diangkat sebagai
Maharaja Imam Kesultanan Sambas sejak tahun 1913. Berkat
pemikiran
dan
karya-karyanya,
Muhammad
Baisuni
Imran
dianggap sebagai pelopor pandangan reformisme Mesir di
Indonesia.
Sebagai calon penggantinya, Sultan Muhammad Syafuddin II
mengangkat Raden Ahmad, sebagai putra mahkota dengan gelar
Pangeran Adipati Ahmad. Akan tetapi, Raden Ahmad, yang
dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda, meninggal
dunia dalam usia muda karena sakit. Dengan wafatnya Raden
Ahmad, maka putra kedua Sultan Muhammad Syafuddin II yang
bernama Raden Muhammad Mulia Ibrahim ditetapkan sebagai
putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu Nata Wijaya.
Saat Sultan Muhammad Syafuddin II merasa sudah tidak
mampu lagi memimpin pemerintahan, sementara putra mahkota
dirasa belum cukup umur untuk
menggantikannya, maka
dipilihlah putra Sultan Muhammad Syafuddin II dari istri selir,
yang
bernama
Raden
Muhammad
Ariadiningrat,
sebagai
pemimpin Kesultanan Sambas untuk sementara dengan gelar
Sultan Muhammad Ali Syafuddin II (1922 – 1926) .
Sultan
Muhammad
Syafuddin
II
wafat
pada
tanggal
12
September 1924. Pada tanggal 9 Oktober 1926, menyusul
kemudian Sultan Muhammad Ali Syafuddin II yang meninggal
dunia karena sakit. Dikarenakan putra mahkota masih belum
dewasa,
maka
pemerintahan
Kesultanan
Sambas
untuk
sementara dipegang oleh lembaga bernama Bestuur Commisie
yang terdiri dari sejumlah pejabat tinggi Kesultanan Sambas
dan wakil pemerintah Hindia Belanda
Putra mahkota Pangeran Ratu Nata Wijaya dinobatkan sebagai
Sultan
Sambas
pada
tahun
1931
dengan
gelar
Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Syafuddin (1931-1943). Ketika
pendudukan Belanda di Indonesia berakhir dan digantikan oleh
pemerintahan
Muhammad
pemimpin
militer
Mulia
Jepang
Ibrahim
kesultanan
mengadakan
pertemuan
pada
tahun
Syafuddin
yang
ada
untuk
di
bersatu
1942,
mengajak
Sultan
sejumlah
Kalimantan
melawan
Barat
penjajah
Jepang. Namun, pertemuan yang dilakukan pada tahun 1943 itu
diketahui
oleh
aparat
Jepang
sehingga
para
pemimpin
kesultanan ditangkap dan kemudian dibunuh di mana Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Syafuddin termasuk yang menjadi
korban kekejaman Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945,
Sambas dikuasai kembali oleh Belanda. Karena putra mahkota,
Raden
Muhammad
Taufk
dengan
gelar
Pangeran
Ratu
Muhammad Taufk, masih kecil, Belanda kembali membentuk
Bestuur Commisie. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda
kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949,
Kesultanan Sambas menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Singkawang
(Fahmi [ed.], 2003:42). Pangeran Ratu Muhammad Taufk, putra
mahkota Kesultanan Sambas yang tidak sempat dinobatkan
sebagai sultan, meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1984
3. Silsilah
Menurut
Yudithia
Ratih
dalam tulisannya
berjudul
Istana
Alwatzikubillah – Sambas, silsilah para sultan yang pernah
memimpin Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas adalah
sebagai berikut:
a) Kerajaan Hindu Ratu Sepudak/Kerajaan Sambas Tua:
1) Raden Janur (sekitar tahun 1364 M).
2) Tang Nunggal.
3) Ratu Sepudak (1550 M).
4) Pangeran Prabu Kencana bergelar Ratu Anom Kesuma
Yuda.
5) Raden Bekut bergelar Panembahan Kota Balai.
6) Raden Mas Dungun.
b) Kesultanan (Islam) Sambas:
1) Sultan Muhammad Syafuddin I (1631 – 1668 M).
2) Sultan Muhammad Tajuddin (1668 – 1708 M).
3) Sultan Umar Akamuddin I (1708 – 1732 M).
4) Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732 – 1762 M).
5) Sultan Umar Akamuddin II (1762 – 1786 M).
6) Sultan Achmad Tajuddin (1786 – 1793 M).
7) Sultan Abubakar Tajuddin I (1793 – 1815).
8) Sultan Muhammad Ali Syafuddin I (1815 – 1828).
9) Sultan Usman Kamaluddin (1828 – 1831).
10)
Sultan Umar Akamuddin III (1831 – 1845).
11)
Sultan Abubakar Tajuddin II (1845 – 1855).
12)
Sultan Umar Kamaluddin (1855 – 1866).
13)
Sultan Muhammad Syafudin II (1866 – 1922).
14)
Sultan Muhammad Ali Syafuddin II (1922 – 1926).
15)
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafuddin (1931 –
1943) (Ratih, tt:65).
Sedangkan dari berbagai sumber yang dirangkum situs
ensiklopedi Wikipedia disebutkan, setelah bergabung dengan
Republik Indonesia, masih ada keturunan Sultan Sambas
yang
menjabat
sebagai
Kepala
Rumah
Tangga
Istana
Kesultanan Sambas, yaitu:
16)
Pangeran Ratu Muhammad Taufk (1944 – 1984).
17)
Pangeran Ratu Winata Kusuma (2000 – 2008).
18)
Pangeran Ratu Muhammad Tarhan (2008 – sekarang)
c) Sistem Pemerintahan
Pada masa Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom
Kesuma Yuda, sistem pemerintahan yang dianut adalah
menurut adat-istiadat yang sudah turun-temurun, di mana
raja sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dibantu oleh
beberapa orang yang menempati jabatan sebagai OrangOrang Besar. Jabatan ini di antaranya terdiri dari Pangeran
Mangkurat
yang
bertugas
memegang
perbendaharaan
kerajaan dan mewakili raja apabila raja sedang sakit atau
berhalangan hadir dalam suatu upacara .
Terdapat juga posisi menteri yang bekerja di bawah perintah
raja sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Salah satu
menteri Kerajaan Sambas Tua pada era Ratu Anom Kesuma
Yuda adalah Raden Sulaiman sebagai menteri pertahanan
dan keamanan. Raden Sulaiman inilah yang kelak mendirikan
Kesultanan Sambas Islam. Di samping itu, juga terdapat
pangkat dan gelar-gelar lainnya dalam sistem pemerintahan
Kerajaan
Sambas
Tua,
seperti
sida-sida,
bentara,
dan
hulubalang, yang bertugas sebagai pengawal raja di dalam
lingkungan istana.
Saat pengangkatan Orang-Orang Besar dan pegawai-pegawai
tinggi kerajaan, diadakan sumpah akan selalu patuh dan setia
kepada raja. Perwujudan sumpah itu dilakukan dengan
meminum air dari rendaman keris pusaka kerajaan. Maksud
dari ritual ini adalah jika orang yang disumpah melanggar
ikrarnya setia kepada raja, maka keris itulah nantinya yang
akan menuntut tanggung jawab atas perbuatannya.
Ketika berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Hindia
Belanda, Kesultanan Sambas tidak lagi leluasa mengatur
pemerintahannya
sendiri.
Penunjukan
sultan
dan
putra
mahkota harus dengan izin resmi dari pemerintah kolonial.
Saat terjadi kekosongan pemerintahan, pemerintah kolonial
berhak
membentuk
dewan
pemerintahan
kesultanan
sementara bernama Bestuur Commisie yang terdiri dari
bangsawan
tinggi
Kesultanan
Sambas
dan
wakil
dari
pemerintah kolonial.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia
secara
resmi
pada
tahun
1949,
Kesultanan
Sambas
bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah swapraja. Pada
perkembangannya,
wilayah
yang
menjadi
pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas dijadikan sebagai ibu kota
Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Karena sudah
menjadi bagian dari wilayah negara Indonesia, jabatan sultan
sebagai
pemimpin
Kesultanan
Sambas
ditiadakan
dan
digantikan dengan jabatan yang disebut Kepala Rumah
Tangga Kesultanan Sambas hingga sekarang.
d) Wilayah Kekuasaan
Terdapat sejumlah nama tempat yang penting kaitannya
dengan kekuasaan Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan
Sambas. (1) Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan
Sambas Tua yang terletak di Sekura; (2) Kota Bangun,
merupakan
tempat
pertama
kalinya
Sultan
Tengah
membangun perkampungan di Sambas; (3) Kota Bandir,
daerah di hulu Sungai Subah yang merupakan tempat Raden
Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan Kota
Lama. Selama tiga tahun, Kota Bandir menjadi pusat
pemerintahan transisional dari Kerajaan Sambas Tua ke
Kesultanan Sambas; (4) Lubuk Madung, daerah simpang
Sungai
Teberau
Kesultanan
yang
Sambas;
merupakan
dan
(5)
ibu
Muara
kota
pertama
Ulakan,
pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas yang terakhir.
Selain tempat-tempat yang menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas di atas,
ditemukan juga sejumlah nama tempat yang diperkirakan
menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan
Sambas, meskipun jumlah negeri-negeri taklukan tersebut
tidak
seberapa
banyak
karena
Kerajaan
Sambas
Tua/Kesultanan Sambas juga menjadi negeri jajahan, dari
Kerajaan Majapahit, Kesultanan Johor, hingga pada masa
pendudukan Belanda dan kemudian Jepang. Beberapa negeri
yang diduga menjadi negeri taklukan Kerajaan Sambas
Tua/Kesultanan Sambas itu antara lain Nagur, Bantilan, dan
Segerunding.
Jika ditinjau dari kondisi geografs dan administratif pada
masa sekarang, kekuasaan Kesultanan Sambas meliputi
seluruh wilayah Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas,
Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas yang terletak di bagian pantai barat paling utara di
Kalimantan Barat, hingga kini dijadikan sebagai ibu kota
Kabupaten Sambas.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Sejarah Indonesia
“Kerajaan Islam di Kalimantan Barat”
X MIPA 3
SMA NEGERI 1 PONTIANAK
KALIMANTAN BARAT
2016-2017
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar………………………………………………………………….......................
....................................
Daftar
Isi……………………………………………………………………................................
....................................
BAB I : Pendahuluan
A. Latar
Belakang……………………………………………………....
…........................................................
B. Rumusan
Masalah……………………………………………………................................
.........................
C. Tujuan
Penelitian………………………………………………………..........................
............................
BAB II : Pembahasan
BAB III : Penutup
A. Simpulan……………………………………………………………………………
……………………………..
B. Saran…………………………………………………………………………………
……………………………..
Daftar
Pustaka………………………………………………………………………………………
……………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dirumuskan pada makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa saja kerajaan Islan yang terdapat di Kalimantan Barat?
2. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Islam di Kalimantan
Barat?
3. Bagaimana perkembangan berbagai kerajaan Islam di
Kalimantan Barat?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan yang telah disebutkan dalam rumusan masalah,
maka penulisan ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui berbagai kerajaan Islam yang terdapat di
Kalimantan Barat.
2. Memahami sejarah berdirinya kerajaan Islam di Kalimantan
Barat.
3. Memahami perkembangan berbagai kerajaan Islam di
Kalimantan Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesultanan Sambas
1. Sejarah
Sumber yang digunakan oleh kaum sejarawan untuk melacak
riwayat Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat adalah dua
kitab sastra bercorak sejarah, yaitu Asal Raja-Raja Sambas dan
Salsilah Kerajaan Sambas. Naskah Asal Raja-Raja Sambas
diperkirakan telah berusia ratusan tahun tetapi belum diketahui
data yang lebih jelas mengenai asal-usul naskah yang ditulis
dengan aksara Arab-Melayu ini, baik siapa penulisnya, judul
aslinya, maupun waktu dan tempat penulisannya .
Kesultanan Sambas memiliki riwayat panjang dan berkaitan
dengan sejarah sejumlah kerajaan lain, seperti Kesultanan
Brunei Darussalam, Johor, Serawak, Sukadana dan Kerajaan
Hindu Ratu Sepudak, bahkan juga dengan Kerajaan Majapahit di
Jawa. Secara garis besar, riwayat Kesultanan Sambas terbagi
atas dua periode, yakni pada masa Hindu dan Islam, selain juga
pada masa kolonial dan pascakemerdekaan Indonesia.
a) Kerajaan Sambas Tua pada Masa Hindu
Kesultanan Sambas sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua.
Kerajaan ini berada di bawah pengaruh Kesultanan Johor.
Pada waktu itu, Kesultanan Johor sedang menapak zaman
keemasannya di mana kerajaan ini memiliki daerah taklukan
yang
luas
dan
mulai
menyaingi
kebesaran
Kerajaan
Majapahit di Jawa (Musa, 2003:1).
Hegemoni Kesultanan Johor terhadap kerajaan-kerajaan lain,
termasuk sebagai penyaing Mahapahit terlihat jelas karena
sebelumnya
Kerajaan
Sambas
Tua
merupakan
wilayah
taklukan Majapahit pada era pemerintahan Raja Hayam
Wuruk (1351-1389 Masehi) dan Mahapatih Gajah Mada. Hal
ini
tercatat
dalam
kitab
Negarakrtagama
karya
Mpu
Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M (Yudithia Ratih,
tt:62).
Ekspedisi Pamalayu Majapahit pada abad ke-14 M sangat
berperan terhadap berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang
diawali oleh pemerintahan yang dipimpin Raden Janur
dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh. Asalmuasal berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari
kedatangan orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan
Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Setelah beberapa
saat berinteraksi dengan warga lokal, mereka mendirikan
pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya .
Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan
karena raja yang memimpin bukan lagi keturunan Majapahit.
Hal itu terjadi karena Raden Janur tidak memiliki keturunan
dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal. Raja Tang
Nunggal,
yang
dikenal
sebagai
sosok
yang
kejam,
menimbulkan kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan
yang membawahi Paloh. Oleh karena itu, sepeninggal Tang
Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh kembali diambil-alih
Majapahit
Pada
pertengahan
abad
ke-15,
pemerintahan
di
Paloh
dipindahkan ke Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan,
berjarak 36 kilometer ke arah barat Kota Sambas sekarang.
Pada tahun 1550 M, pemerintahan di Kota Lama dipimpin
oleh Ratu Sepudak dan kemudian dikenal dengan nama
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua.
Ratu Sepudak didampingi saudaranya bernama Timbung
Paseban
Seiring berkembangnya Islam di nusantara, pada tahun 1570
M, pengaruh Majapahit atas Kerajaan Sambas Tua mulai
melemah. Di sisi lain, Kesultanan Johor di Semenanjung
Malaka justru sedang menapak masa kejayaan, termasuk
berambisi
untuk
menguasai
kerajaan-kerajaan
taklukan
Majapahit di Sumatra dan Kalimantan, hingga pada akhirnya
Johor berhasil menguasai Kerajaan Sambas Tua.
b) Berdirinya Kesultanan Sambas Islam
Pengaruh Islam yang masuk ke Kerajaan Sambas Tua
sebenarnya datang dari Kesultanan Brunei Darussalam yang
dipimpin Sultan Abdul Majid Hasan 1402 – 1408 M). Sultan
ini tidak memiliki anak sehingga ketika beliau wafat pada
tahun 1408 M, tahta kesultanan dilimpahkan kepada adik
iparnya, bernama Ong Sum Pin, seorang muallaf keturunan
Cina. Ong Sum Pin adalah suami dari Putri Ratna Dewi, adik
kandung almarhum Sultan Abdul Majid Hasan. Setelah
dinobatkan menjadi sultan, Ong Sum Pin menyandang gelar
Sultan Ahmad (1408 – 1425 M).
Pasangan Sultan Ahmad dan Putri Ratna Dewi dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Putri Ratna Kesuma yang
kemudian dikawinkan dengan seorang bangsawan Arab yang
baru datang dari Mekah bernama Syarif Ali bin Hasan bin Abi
Anami bin Barkat Pancaran Amir Hasan. Konon, Syarif Ali
masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Pada tahun
1425
M,
Syarif
Ali
ditabalkan
sebagai
Sultan
Brunei
Darussalam dengan gelar Sultan Barkat (1425 – 1432 M)
menggantikan ayah mertuanya, yaitu Sultan Ahmad .
Selanjutnya, para pemimpin Kesultanan Brunei Darussalam
pengganti Sultan Barkat secara berturut-turut antara lain:
Sultan Sulaiman (1432 – 1485 M), Sultan Bolqiah (1485 –
1524 M), Sultan Abdul Kahar (1524 – 1530 M), Sultan Saiful
Rijal (1530 – 1581 M), hingga Sultan Syah Brunei (1581 –
1582 M). Karena Sultan Syah Brunei tidak memiliki anak,
maka kemudian yang dinobatkan sebagai sultan adalah
adiknya bernama Pangeran Muhammad Hasan dengan gelar
Sultan Muhammad Hasan (1582 – 1598 M). Sedangkan adik
bungsu almarhum Sultan Syah Brunei, Pangeran Muhammad,
diangkat sebagai bendahara kerajaan.
Sultan Muhammad Hasan mempunyai tiga orang putra, yaitu
Pangeran Abdul Jalilul Akbar, Pangeran Muhammad Ali, dan
Pangeran Raja Tengah. Menurut Urai Riza Fahmi (2003),
Pangeran Raja Tengah inilah yang kelak menurunkan para
penguasa Kesultanan Sambas Islam (Fahmi [ed.], 2003:3).
Pada abad ke-16 itu, Pangeran Raja Tengah terkenal sebagai
panglima perang yang telah menaklukan banyak negeri di
bawah kuasa Kesultanan Brunei Darussalam. Atas jasa-
jasanya
itu,
Pangeran
Raja
Tengah
dipercaya
untuk
memimpin Serawak. Setelah dinobatkan sebagai Sultan
Serawak
pada
tahun
1599
M, Pangeran
Raja
Tengah
menyandang gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Syah atau sering
juga disebut sebagai Sultan Tengah (Mawardi Rivai, tt:2-4).
Pada waktu itu, Kesultanan Brunei Darussalam berhubungan
erat dengan Kesultanan Johor, terutama melalui ikatan
perkawinan, termasuk bibi Sultan Tengah sendiri yang
menjadi permaisuri Sultan Abdul Jalil, Sultan Johor yang
bertahta antara tahun 1570 – 1571 M. Pada suatu ketika,
dalam perjalanan pulang dari Johor ke Serawak, kapal yang
ditumpangi
sehingga
rombongan
terdampar
di
Sultan
wilayah
Tengah
dihantam
Kerajaan
badai
Sukadana
di
Kalimantan Barat. Kerajaan Sukadana pada masa itu masih
menganut agama Hindu dengan rajanya yang bernama Raja
Giri Mustika. Kedatangan Sultan Tengah disambut dengan
suka-cita oleh Kerajaan Sukadana yang memang berminat
menjalin hubungan baik dengan Sultan Tengah yang terkenal
pemberani itu.
Atas perantara seorang ahli agama Islam bernama Syeh
Syamsudin yang baru saja kembali dari Mekah, Sultan
Tengah mengislamkan Raja Giri Mustika beserta sebagian
besar rakyat Sukadana. Bahkan, Raja Giri Mustika berkenan
menikahkan Sultan Tengah dengan adiknya yang bernama
Ratu Surya Kesuma. Pernikahan ini dianugerahi tiga orang
putra dan dua orang putri, yaitu masing-masing bernama
Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul Wahab,
Raden Rasymi Putri, dan Raden Ratnawati.
Dari bibinya yang menjadi permaisuri Sultan Johor, Sultan
Tengah sering mendengar tentang Kerajaan Sambas Tua.
Kerajaan Sambas Tua ketika itu memang masih berada di
bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Saat di Sukadana inilah
Sultan Tengah semakin tertarik untuk mengunjungi Kerajaan
Sambas Tua. Maka berangkatlah rombongan Sultan Tengah
ke Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Kota Lama, Benua
Bantanan-Tempapan.
Di Kota Lama, rombongan Sultan Tengah disambut hangat
oleh Ratu Sepudak. Pemimpin Kerajaan Sambas Tua ini
mempunyai
dua
anak
perempuan.
Putri
yang
pertama
bernama Raden Mas Ayu Anom dinikahkan dengan Pangeran
Prabu Kencana yang tidak lain adalah keponakan Ratu
Sepudak sendiri. Sedangkan putri Ratu Sepudak yang kedua
bernama Raden Mas Ayu Bungsu. Sultan Tengah sendiri
kemudian mendirikan permukiman di Kota Bangun, yang
terletak tidak jauh dari Kota Lama, pusat pemerintahan
Kerajaan Sambas Tua. Pembangunan permukiman ini atas
persetujuan Ratu Sepundak.
Akan tetapi, belum seberapa lama Sultan Tengah bermukim
di Sambas, Ratu Sepudak wafat. Sebagai penggantinya, maka
diangkat Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom
Kesuma Yuda. Sementara itu, putri kedua almarhum Ratu
Sepudak, Raden Mas Ayu Bungsu, dinikahkan dengan putra
sulung Sultan Tengah, yakni Raden Sulaiman. Pernikahan
Raden Sulaiman dengan Raden Mas Ayu Bungsu dikaruniai
seorang putra dan dua orang putri yang masing-masing
bernama Raden Bima, Raden Ratna Dewi, dan Raden Ratna.
Tidak lama setelah kelahiran Raden Bima, yaitu pada tahun
1055
Hijriah,
Kesultanan
Sultan
Serawak
Tengah
yang
memutuskan
telah
lama
ia
kembali
ke
tinggalkan.
Sementara itu, Raden Sulaiman tetap tinggal di Kerajaan
Sambas Tua dan diangkat sebagai patih/menteri pertahanan
dan keamanan yang dibantu oleh tiga orang pejabat, yakni
Kiai Dipa Sari, Kiai Dipa Negara, dan Kiai Setia Bakti.
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan antara
Raden Sulaiman dengan Pangeran Mangkurat, keponakan
almarhum Ratu Sepudak. Pangeran Mangkurat merasa Ratu
Anom Kesuma Yuda lebih dekat kepada Raden Sulaiman
daripada dirinya yang notabene adalah orang asli kerajaan.
Perseteruan itu semakin membesar ketika Kiai Setia Bakti,
salah seorang abdi setia Raden Sulaiman, ditemukan tewas
terbunuh
yang
ternyata
pelakunya
adalah
orang-orang
suruhan Pangeran Mangkurat.
Untuk menghindarkan konfik internal, Raden Sulaiman
menyingkir
ke
Kota
Bangun,
tempat
mendirikan
perkampungan ketika
Sultan
pertama
kali
Tengah
tiba
di
Kerajaan Sambas Tua. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar
dari Kota Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang
masih menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sambas Tua,
antara lain petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding yang
kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah ke simpang
Sungai Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir (Fahmi
[ed.], 2003:6). Tiga tahun berselang, Raden Sulaiman pindah
ke simpang Sungai Teberau di Lubuk Madung, dan kemudian
pindah lagi ke muara tiga sungai (Sungai Subah, Sungai
Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara Ulakan .
Di Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafuddin I.
Sementara dua adik laki-laki Raden Sulaiman, yaitu Raden
Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing diangkat
sebagai Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran
Tumenggung Jaya Kesuma (Fahmi [ed.], 2003:6). Dengan
demikian, Kesultanan Sambas resmi berdiri di Muara Ulakan,
berdampingan dengan Kerajaan Sambas Tua di Kota Lama.
Di Muara Ulakan inilah Raden Sulaiman membangun Istana
Alwazikhoebillah.
c) Bersatunya Dua Pemerintahan di Sambas
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara kalangan
sejarawan tentang penentuan waktu yang tepat kapan Raden
Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas Islam, meski dalam
beberapa naskah yang ditemukan menyebut tanggal 10
Dzulhijah tahun 1040 Hijriah sebagai tanggal di mana Raden
Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas Islam yang
pertama.
Sejumlah
sejarawan
saling
bersilang
pendapat
ihwal
penanggalan masehi pendirian Kesultanan Sambas. Machrus
Effendy, misalnya, meyakini tahun 1612 M, sedangkan
Mawardi Rivai menyebutkan tahun 1622 M. Sejarawan
Melayu asal Brunei, Awang Al-Sufri, menyatakan tahun 1631
M (Musa, 2003:35). Tahun yang sama juga diyakini oleh
Yudithia Ratih dalam tulisannya Istana Alwatzikubillah –
Sambas
(Ratih,
tt:65).
Terlepas
dari
perbedaan
itu,
sebenarnya dapat ditarik jalan tengah bahwa berdirinya
Kesultanan Sambas paling tidak terjadi pada dekade-dekade
awal abad ke-17. Mengenai tahun wafatnya Raden Sulaiman,
pendiri Kesultanan Sambas Islam, oleh Pabali H. Musa
disebutkan pada tahun 1669 M.
Sepeninggal
Raden
Sulaiman,
pemerintahan
Kerajaan
Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda hingga
wafat dan digantikan putranya yang bernama Raden Bekut
dengan gelar Panembahan Kota Balai. Selanjutnya, penerus
tahta Kesultanan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun
yang menjadi raja terakhir karena tidak lama setelah
dinobatkan, Raden Mas Dungun menyerahkan wilayahnya
kepada Raden Sulaiman yang bertahta di Kota Bangun
Dengan demikian, jika dirunut
dari riwayat terdahulu,
Kesultanan Sambas masih memiliki garis keturunan dengan
Kerajaan
Hindu
Ratu
Sepudak/Kerajaan
Sambas
Tua,
Sukadana, Serawak, dan Brunei Darussalam. Untuk menjaga
hubungan
keluarga
yang
turun-temurun
itu,
Sultan
Syafuddin I menitahkan putra pertamanya, Raden Bima, agar
mengunjungi Kesultanan Brunei Darussalam yang menjadi
tempat asal Sultan Tengah, ayahanda Sultan Syafuddin I
sekaligus kakek dari Raden Bima.
Sebelumnya, Raden Bima terlebih dulu ke Sukadana untuk
mengunjungi neneknya, Ratu Surya Kesuma. Pemimpin
Sukadana
waktu
itu,
Sultan
Zainuddin,
berkenan
menjodohkan Raden Bima dengan adik perempuannya yang
bernama Putri Indra Kusuma. Dari hasil perkawinan itu,
Raden Bima dan Putri Indra Kusuma mempunyai seorang
putra bernama Raden Milian yang dilahirkan pada tanggal 2
Rabbiul Awal 1075 H .
Setelah pulang ke Muara Ulakan untuk menemui ayah dan
ibundanya dengan membawa serta Putri Indra Kusuma dan
Raden Milian yang baru berusia satu setengah tahun, Raden
Bima bersiap menuju ke Brunei Darussalam. Kedatangan
Raden Bima disambut meriah oleh keluarga Kesultanan
Brunei Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Mahyiddin
(1673 – 1690 M). Bahkan, Sultan Mahyiddin berkenan
memberikan
anugerah
gelar
kehormatan
Sultan
Anum
kepada Raden Bima. Selain itu, Raden Bima diberi banyak
sekali benda-benda kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam
yang
masih
dipergunakan
dalam
upacara-upacara
adat
Kesultanan Sambas sampai sekarang .
Sepulang dari Brunei, Raden Bima dinobatkan sebagai Sultan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (16681708 M). Ketika beliau wafat, tahta kesultanan diberikan
kepada putranya yaitu Raden Milian bergelar Sultan Umar
Akamuddin I (1708-1732 M). Pengganti Raden Milian adalah
Raden Bungsu dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin
(1732-1762 M). Setelah itu, berturut-turut yang menjabat
sebagai Sultan Sambas hingga awal abad ke-19 adalah Sultan
Umar Akamuddin II (1762-1786 M), Sultan Achmad Tajuddin
(1786-1793 M), dan Sultan Abubakar Tajuddin I (1793-1815).
2. Kesultanan Sambas di Era Kolonial
Pada tahun 1609 M, Belanda membuka hubungan dagang
dengan Kesultanan Matan di Kalimantan Barat. Dari situ,
Belanda mendengar kabar tentang Kerajaan Sambas Tua di
bawah pimpinan Ratu Sepudak yang kaya akan hasil hutan dan
emas. Namun baru pada tanggal 1 Oktober 1696 M, wakil
Belanda, Samuel Bloemaert, mengadakan perjanjian dagang
dengan Kesultanan Sambas yang telah bercorak Islam (Ratih,
tt:62).
Pada tanggal 24 Juli 1812, Inggris menyerang Sambas. Peristiwa
itu terjadi ketika Sultan Abubakar Tajuddin I sedang melawat ke
Serawak. Namun, serangan Inggris itu berhasil dipatahkan.
Pada tahun 1815, Sultan Abubakar Tajuddin I wafat dan
digantikan Pangeran Anom dengan gelar Sultan Muhammad Ali
Syafudin I (1815-1828) (Ratih, tt:64).
Sejak
akhir
tahun
1823
Belanda
dan
Inggris
membahas
pembagian wilayah atas nusantara dan Malaka. Pada tanggal 17
Maret 1824, Belanda dan Inggris menyepakati perjanjian yang
dikenal sebagai Traktat London. Isi Traktat London pada intinya
adalah penyerahan negeri-negeri di nusantara dari Inggris
kepada Belanda. Sedangkan Inggris berhak atas Malaka beserta
tanah jajahannya dan Singapura (Netscher, 2002:465-466).
Dengan demikian, wilayah Kesultanan Sambas kembali dikuasai
Belanda.
Sultan Muhammad Ali Syafuddin I wafat tahun 1828 dan
digantikan Raden Ishak atau Pangeran Ratu Nata Kusuma. Tapi
karena
Raden
sementara
Ishak
dipegang
belum
oleh
dewasa,
saudara
maka
Sultan
pemerintahan
Muhammad
Ali
Syafudin I, Pangeran Bendahara Sri Maha Sultan dengan gelar
Sultan Usman Kamaluddin (1828-1830) (Ratih, tt:64). Sultan
Usman Kamaluddin wafat tahun 1831 dan kepemimpinan
dialihkan kepada adik Sultan Muhammad Ali Syafudin I yang
lain, Pangeran Tumenggung Jaya Kusuma bergelar Sultan Umar
Akamuddin III (1830-1845). Ketika Sultan Umar Akamuddin III
wafat tanggal 15 Desember 1845, Pangeran Ratu Nata Kusuma
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Abubakar
Tajuddin II.
Dengan
surat
keputusan
Gubernemen
Hindia
Belanda
tertanggal 17 Januari 1848, putra sulung Sultan Abubakar
Tajuddin II, Syafuddin, diangkat sebagai putra mahkota dengan
gelar Pangeran Adipati dan kemudian disekolahkan ke Jawa.
Karena berselisih dengan pemerintah kolonial, Sultan Abubakar
Tajuddin II diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 1855.
Belanda kemudian mengangkat Pangeran Ratu Negara sebagai
pengganti sultan dengan gelar Sultan Umar Kamluddin (18551866) .
Pada tanggal 23 Juli 1861, Pangeran Adipati pulang ke Sambas
setelah menyelesaikan sekolahnya di Jawa. Kemudian, pada
tanggal 16 Agustus 1866 beliau dinobatkan menjadi sultan
dengan gelar Sultan Muhammad Syafuddin II (1866 – 1922).
Pada masa ini, Kesultanan Sambas mengalami masa kejayaan,
salah satu wujudnya adalah dengan pembangunan Masjid Jami
atau Masjid Agung Sambas pada tahun 1877 .
Selain
membangun
Masjid
Jami,
sebagai
upaya
untuk
mengembangkan ajaran Islam, Sultan Muhammad Syafuddin II
juga mendirikan Madrasah Al-Sultaniyah. Sebelumnya, pada
tahun 1872, Sultan telah membentuk Maharaja Imam sebagai
institusi keagamaan tertinggi di istana. Untuk memimpin
institusi
yang
memiliki
otoritas
terbesar
dalam
bidang
kegamaan ini, Sultan menunjuk seorang ulama bernama Haji
Muhammad Arif Nuruddin
Kemajuan intelektual juga diperoleh Kesultanan Sambas pada
era
Sultan
Muhammad
Syafuddin
II
dengan
mendirikan
sekolah-sekolah dan memberi penghargaan kepada siswa-siswa
berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir dan Arab
Saudi (Fahmi [ed.], 2003:37). Salah seorang putra Sambas yang
berhasil menempuh pendidikan di Mesir adalah Muhammad
Basiuni Imran (1885 – 1976) yang kemudian diangkat sebagai
Maharaja Imam Kesultanan Sambas sejak tahun 1913. Berkat
pemikiran
dan
karya-karyanya,
Muhammad
Baisuni
Imran
dianggap sebagai pelopor pandangan reformisme Mesir di
Indonesia.
Sebagai calon penggantinya, Sultan Muhammad Syafuddin II
mengangkat Raden Ahmad, sebagai putra mahkota dengan gelar
Pangeran Adipati Ahmad. Akan tetapi, Raden Ahmad, yang
dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda, meninggal
dunia dalam usia muda karena sakit. Dengan wafatnya Raden
Ahmad, maka putra kedua Sultan Muhammad Syafuddin II yang
bernama Raden Muhammad Mulia Ibrahim ditetapkan sebagai
putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu Nata Wijaya.
Saat Sultan Muhammad Syafuddin II merasa sudah tidak
mampu lagi memimpin pemerintahan, sementara putra mahkota
dirasa belum cukup umur untuk
menggantikannya, maka
dipilihlah putra Sultan Muhammad Syafuddin II dari istri selir,
yang
bernama
Raden
Muhammad
Ariadiningrat,
sebagai
pemimpin Kesultanan Sambas untuk sementara dengan gelar
Sultan Muhammad Ali Syafuddin II (1922 – 1926) .
Sultan
Muhammad
Syafuddin
II
wafat
pada
tanggal
12
September 1924. Pada tanggal 9 Oktober 1926, menyusul
kemudian Sultan Muhammad Ali Syafuddin II yang meninggal
dunia karena sakit. Dikarenakan putra mahkota masih belum
dewasa,
maka
pemerintahan
Kesultanan
Sambas
untuk
sementara dipegang oleh lembaga bernama Bestuur Commisie
yang terdiri dari sejumlah pejabat tinggi Kesultanan Sambas
dan wakil pemerintah Hindia Belanda
Putra mahkota Pangeran Ratu Nata Wijaya dinobatkan sebagai
Sultan
Sambas
pada
tahun
1931
dengan
gelar
Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Syafuddin (1931-1943). Ketika
pendudukan Belanda di Indonesia berakhir dan digantikan oleh
pemerintahan
Muhammad
pemimpin
militer
Mulia
Jepang
Ibrahim
kesultanan
mengadakan
pertemuan
pada
tahun
Syafuddin
yang
ada
untuk
di
bersatu
1942,
mengajak
Sultan
sejumlah
Kalimantan
melawan
Barat
penjajah
Jepang. Namun, pertemuan yang dilakukan pada tahun 1943 itu
diketahui
oleh
aparat
Jepang
sehingga
para
pemimpin
kesultanan ditangkap dan kemudian dibunuh di mana Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Syafuddin termasuk yang menjadi
korban kekejaman Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945,
Sambas dikuasai kembali oleh Belanda. Karena putra mahkota,
Raden
Muhammad
Taufk
dengan
gelar
Pangeran
Ratu
Muhammad Taufk, masih kecil, Belanda kembali membentuk
Bestuur Commisie. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda
kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949,
Kesultanan Sambas menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Singkawang
(Fahmi [ed.], 2003:42). Pangeran Ratu Muhammad Taufk, putra
mahkota Kesultanan Sambas yang tidak sempat dinobatkan
sebagai sultan, meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1984
3. Silsilah
Menurut
Yudithia
Ratih
dalam tulisannya
berjudul
Istana
Alwatzikubillah – Sambas, silsilah para sultan yang pernah
memimpin Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas adalah
sebagai berikut:
a) Kerajaan Hindu Ratu Sepudak/Kerajaan Sambas Tua:
1) Raden Janur (sekitar tahun 1364 M).
2) Tang Nunggal.
3) Ratu Sepudak (1550 M).
4) Pangeran Prabu Kencana bergelar Ratu Anom Kesuma
Yuda.
5) Raden Bekut bergelar Panembahan Kota Balai.
6) Raden Mas Dungun.
b) Kesultanan (Islam) Sambas:
1) Sultan Muhammad Syafuddin I (1631 – 1668 M).
2) Sultan Muhammad Tajuddin (1668 – 1708 M).
3) Sultan Umar Akamuddin I (1708 – 1732 M).
4) Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732 – 1762 M).
5) Sultan Umar Akamuddin II (1762 – 1786 M).
6) Sultan Achmad Tajuddin (1786 – 1793 M).
7) Sultan Abubakar Tajuddin I (1793 – 1815).
8) Sultan Muhammad Ali Syafuddin I (1815 – 1828).
9) Sultan Usman Kamaluddin (1828 – 1831).
10)
Sultan Umar Akamuddin III (1831 – 1845).
11)
Sultan Abubakar Tajuddin II (1845 – 1855).
12)
Sultan Umar Kamaluddin (1855 – 1866).
13)
Sultan Muhammad Syafudin II (1866 – 1922).
14)
Sultan Muhammad Ali Syafuddin II (1922 – 1926).
15)
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafuddin (1931 –
1943) (Ratih, tt:65).
Sedangkan dari berbagai sumber yang dirangkum situs
ensiklopedi Wikipedia disebutkan, setelah bergabung dengan
Republik Indonesia, masih ada keturunan Sultan Sambas
yang
menjabat
sebagai
Kepala
Rumah
Tangga
Istana
Kesultanan Sambas, yaitu:
16)
Pangeran Ratu Muhammad Taufk (1944 – 1984).
17)
Pangeran Ratu Winata Kusuma (2000 – 2008).
18)
Pangeran Ratu Muhammad Tarhan (2008 – sekarang)
c) Sistem Pemerintahan
Pada masa Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom
Kesuma Yuda, sistem pemerintahan yang dianut adalah
menurut adat-istiadat yang sudah turun-temurun, di mana
raja sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dibantu oleh
beberapa orang yang menempati jabatan sebagai OrangOrang Besar. Jabatan ini di antaranya terdiri dari Pangeran
Mangkurat
yang
bertugas
memegang
perbendaharaan
kerajaan dan mewakili raja apabila raja sedang sakit atau
berhalangan hadir dalam suatu upacara .
Terdapat juga posisi menteri yang bekerja di bawah perintah
raja sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Salah satu
menteri Kerajaan Sambas Tua pada era Ratu Anom Kesuma
Yuda adalah Raden Sulaiman sebagai menteri pertahanan
dan keamanan. Raden Sulaiman inilah yang kelak mendirikan
Kesultanan Sambas Islam. Di samping itu, juga terdapat
pangkat dan gelar-gelar lainnya dalam sistem pemerintahan
Kerajaan
Sambas
Tua,
seperti
sida-sida,
bentara,
dan
hulubalang, yang bertugas sebagai pengawal raja di dalam
lingkungan istana.
Saat pengangkatan Orang-Orang Besar dan pegawai-pegawai
tinggi kerajaan, diadakan sumpah akan selalu patuh dan setia
kepada raja. Perwujudan sumpah itu dilakukan dengan
meminum air dari rendaman keris pusaka kerajaan. Maksud
dari ritual ini adalah jika orang yang disumpah melanggar
ikrarnya setia kepada raja, maka keris itulah nantinya yang
akan menuntut tanggung jawab atas perbuatannya.
Ketika berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Hindia
Belanda, Kesultanan Sambas tidak lagi leluasa mengatur
pemerintahannya
sendiri.
Penunjukan
sultan
dan
putra
mahkota harus dengan izin resmi dari pemerintah kolonial.
Saat terjadi kekosongan pemerintahan, pemerintah kolonial
berhak
membentuk
dewan
pemerintahan
kesultanan
sementara bernama Bestuur Commisie yang terdiri dari
bangsawan
tinggi
Kesultanan
Sambas
dan
wakil
dari
pemerintah kolonial.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia
secara
resmi
pada
tahun
1949,
Kesultanan
Sambas
bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah swapraja. Pada
perkembangannya,
wilayah
yang
menjadi
pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas dijadikan sebagai ibu kota
Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Karena sudah
menjadi bagian dari wilayah negara Indonesia, jabatan sultan
sebagai
pemimpin
Kesultanan
Sambas
ditiadakan
dan
digantikan dengan jabatan yang disebut Kepala Rumah
Tangga Kesultanan Sambas hingga sekarang.
d) Wilayah Kekuasaan
Terdapat sejumlah nama tempat yang penting kaitannya
dengan kekuasaan Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan
Sambas. (1) Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan
Sambas Tua yang terletak di Sekura; (2) Kota Bangun,
merupakan
tempat
pertama
kalinya
Sultan
Tengah
membangun perkampungan di Sambas; (3) Kota Bandir,
daerah di hulu Sungai Subah yang merupakan tempat Raden
Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan Kota
Lama. Selama tiga tahun, Kota Bandir menjadi pusat
pemerintahan transisional dari Kerajaan Sambas Tua ke
Kesultanan Sambas; (4) Lubuk Madung, daerah simpang
Sungai
Teberau
Kesultanan
yang
Sambas;
merupakan
dan
(5)
ibu
Muara
kota
pertama
Ulakan,
pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas yang terakhir.
Selain tempat-tempat yang menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas di atas,
ditemukan juga sejumlah nama tempat yang diperkirakan
menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan
Sambas, meskipun jumlah negeri-negeri taklukan tersebut
tidak
seberapa
banyak
karena
Kerajaan
Sambas
Tua/Kesultanan Sambas juga menjadi negeri jajahan, dari
Kerajaan Majapahit, Kesultanan Johor, hingga pada masa
pendudukan Belanda dan kemudian Jepang. Beberapa negeri
yang diduga menjadi negeri taklukan Kerajaan Sambas
Tua/Kesultanan Sambas itu antara lain Nagur, Bantilan, dan
Segerunding.
Jika ditinjau dari kondisi geografs dan administratif pada
masa sekarang, kekuasaan Kesultanan Sambas meliputi
seluruh wilayah Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas,
Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas yang terletak di bagian pantai barat paling utara di
Kalimantan Barat, hingga kini dijadikan sebagai ibu kota
Kabupaten Sambas.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA