Makalah Psikologi Konsumen kelompok KP
Makalah Identity and Consumption
Mata Kuliah Psikologi Konsumen
Disusun oleh:
1. Andhika Ibnu F S
2. Aulia Sekar Rofiana
3. Diah Ayu Setiarini
4. Dian Novitasari
5. Heny Kurniati
Universitas Gunadarma
Depok
2016
1
1. Identitas
Identitas adalah konsep subjektif dari bagaimana seorang individu memandang
diri mereka sendiri (Vignoles, Regalia, Manzi, Golledge, & Scabini, 2006). Identitas kita
bersifat subjektif, cara di mana kita melihat diri kita dipengaruhi oleh pengalaman
individu, dan kelompok-kelompok yang kita inginkan (Sedikides & Brewer, 2001).
Seseorang dapat memiliki lebih dari satu identitas (mis Brewer, 2001; Brewer &
Gardner, 1996; Donahue, Robins, Roberts, & John, 1993). Jumlah identitas individu
tergantung pada berbagai jenis situasi sosial yang sering mereka temukan pada diri
mereka. Umumnya orang memainkan banyak peran yang berbeda dalam hidup, misalnya,
selama siang hari mungkin seseorang perlu untuk menyesuaikan diri dengan peran
sebagai pengacara, sedangkan di pagi dan malam hari, seseorang yang sama tersebut
bertindak sebagai ibu dari tiga anak. Apa semua peran ini memiliki kesamaan, apakah
mereka adalah orang-orang primer atau sekunder. Seseorang dapat menggunakan
berbagai jenis produk untuk mewakili diri mereka (e.g. Goffman, 1959; Solomon, 1983).
Telah ada penelitian yang luas dalam hubungan antara objek dan identitas,
khususnya bagaimana objek memiliki kapasitas untuk membantu dan mengelola identitas
seseorang (mis Aaker, 1999; Csikszentmihalyi & RochbergHalton, 1981; Dittmar, 1992;
Kleine, Kleine, & Kernan, 1993; Tietje & Brunel, 2005). Gagasan bahwa seseorang
menggunakan harta mereka untuk mengekspresikan siapa mereka, bukanlah sebuah
konsep baru. Namun, sejak tahun 1970 ini telah menjadi lazim dan akibatnya penelitian
yang lebih baru telah mengkonfirmasi bahwa harta memainkan peran penting dalam
bagaimana orang melihat diri mereka sendiri dan orang lain (mis Belk, 1988, 2008).
1.1 Bagaimana Identitas Terbentuk?
Pembentukan identitas bersifat kompleks karena dimulai sejak awal kehidupan
dan akan terus berkembang. Umumnya berkembang disekitar usia 2 tahun (de Veer,
Gallup, Theall, van den Bos, & Povinelli, 2003; Povinelli, 1994). Namun pada saat usia
tersebut, konsep masih bersifat dasar. Kemudian konsep diri secara bertahap menjadi
lebih kompleks ketika manusia bertambah usia. Identitas manusia terus dibentuk dan
dipengaruhi oleh orang tua, saudara, teman, sekolah, masyarakat, serta iklan dan
pengaruh budaya lainnya. Begitu seseorang telah mencapai usia dewasa, mereka
cenderung untuk menggabungkan apa yang memotivasi mereka, keyakinan agama,
2
penampilan fisik, usia dan materi harta mereka sendiri untuk menggambarkan diri
mereka (e.g. Dittmar, 1992; Hart & Damon, 1986; Harter, 2003; Montemayor & Eisen,
1977).
Orang sering mengabaikan seseorang yang memiliki lebih dari satu identitas, dan
ini karena manusia memiliki 'kebutuhan dasar untuk menyederhanakan dan menegakkan
ketertiban di dunia' (Hogg & Abrams, 1988, hal. 78). Manusia (sering tidak sadar)
mengirimkan seseorang untuk suatu kelompok (sosial kategorisasi) dan membandingkan
dirinya dengan orang lain (sosial), dan berusaha untuk menegakkan ketertiban di dunia
serta membedakan bagaimana orang-orang yang sama atau berbeda untuk diri mereka
sendiri. Baik kategorisasi dan perbandingan proses juga memungkinkan kita untuk
mencari tahu siapa kita sebagai individu.
1.1.1
Katagorisasi Sosial
Manusia mengkategorikan seseorang yang berada disekitar mereka, dalam
kaitannya dengan diri mereka sendiri. Ketika
melakukan hal tersebut, seseorang
cenderung untuk menonjolkan persepsi mereka tentang orang lain (Hogg & Abrams,
1988). Sehingga lebih mudah untuk menemukan persamaan atau perbedaan antara diri
mereka dan orang lain untuk mengkategorikannya. Persepsi orang lain (persepsi
seseorang) sering dipengaruhi oleh harta benda seseorang (Dittmar, 2004a; Hebl & Raja,
2004), sedangkan klasifikasi benda (persepsi object) dapat dipengaruhi oleh pemasaran
dan periklanan. Dari proses mengkategorikan individu tersebut dapat menyebabkan
orang lain (dan diri sendiri) menjadi depersonalized. Individu dianggap sebagai
prototipe, yang berarti bahwa kita dapat menetapkan dan memperlakukan seseorang
sesuai dengan karakteristik stereotip mereka (atau dalam kasus diri-berperilaku).
Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa merek dan produk memang
bisa digunakan untuk menghasilkan pendapat yang akurat. Misalnya Alpers dan Gerdes
(2006), ketika mereka meminta peserta untuk mencocokkan mobil dengan pemiliknya,
dan mereka mampu memasangkan keduanya dengan benar. Keterampilan tersebut pada
didasarkan pada fakta bahwa orang-orang telah memiliki konsep stereotip yang jelas,
yang berarti bahwa kita dapat menggunakan konsep-konsep tersebut secara akurat untuk
mengkategorikan orang lain.
3
1.1.2
Perbandingan Sosial
Sumber penting untuk memahami diri sendiri adalah melalui perbandingan
dengan orang-orang lainnya. perbandingan sosial adalah tentang bagaimana seseorang
belajar tentang diri sendiri dengan membandingkan persamaan dan perbedaannya dengan
orang lain (Festinger, 1954; Suls & Wheeler, 2000).
Perbandingan sosial terus menerus dilakukan terhadap orang lain, karena
didorong oleh kebutuhan untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri yang
positif. (harga diri individu terkait dengan perasaan belongingness. Pakaian, perhiasan
dapat membedakan seseorang dari orang lain, dan mereka juga dapat menunjukkan
identitas kelompok.
Teori perbandingan sosial dapat dengan mudah diterapkan pada bagaimana
seseorang membandingkan dirinya dengan budaya konsumen di mana kita hidup. Dari
perspektif konsumen, membeli jenis produk dapat membuat mereka merasa seolah-olah
memiliki kelompok tertentu. Hal ini sering (tetapi tidak selalu) didorong oleh berbagai
jenis pemasaran teknik.
Ketika kita membandingkan diri kita dengan orang-orang yang melakukan
sesuatu dengan kurang baik, kita muncul untuk melakukannya dengan lebih baik (Wills,
1981). Akan ada situasi ketika kita tidak bisa memilih siapa yang akan kita bandingkan,
dan akibatnya kita mungkin berakhir membandingkan diri dengan orang-orang yang
entah bagaimana dipandang agar menjadi lebih kompeten. Hal ini dikenal sebagai
pembanding atas dan dapat memiliki efek yang merugikan pada harga diri kita.
1.2 Arti simbol dari sebuah produk
Terkadang kita mengkategorisasikan dan membandingkan diri kita dengan orang
lain berdasarkan barang yang mereka punya. Jika produk dan service tidak menunjukkan
perbedaan yang jelas, individu tidak bisa mengkategorisasikan barang tersebut.
Konsep tentang arti dari perbedaan setiap produk sudah bukan hal yang baru lagi
tetapi pada tahun 1980, psikolog membuat penelitian yang lebih lanjut dan sekarang
mempunyai bukti bahwa benda mati bisa berkaitan dengan karakteristik manusia.
4
1.2.1
Symbolic interactionism
Merk dan Produk bisa menjadi sebuah simbol dan bisa menjadi jalan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Arti dari produk itu sendiri bisa berasal dari marketing
atau dari lingkungan sosial. Ide untuk melakukan penelitian tentang bagaimana benda
tersebut bisa digunakan untuk mengelola sebagian dari benda itu tersebut disebut
simbolik interaksionisme. Gambaran simbolik interaktionisme adalah insiatif diri, dan
berbuah secara terus menerus oleh interaksi individu. Untuk menjadikan interaksi itu
efektif dengan orang lain, individu menggunakan simbol tersebut harus mempunyai arti
berbagi
Aspek yang lain dari simbolik interaksionisme adalah individu bisa melihat diri
mereka dari sudut pandang orang lain. Biasanya, teori ini menjelaskan bahwa kita
terbentuj oleh kita yang mampu membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain.
Spekulasi ini mengarah kepada pengertian bahwa simbol dari produk dan merk bisa
berfungsi sebagai benda untuk identitas mereka. Contohnya seperti kita menggunakan
mobil jaguar, itu merupakan simbol bahwa kita adalah orang sukses dan mempunyai
kehidupan yang nyaman.
1.2.2
Kapan kita mempelajari tentan arti dari simbol?
Individu belajar dari umur yang muda dengan metode belajar secara tidak
langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung contohnya seperti kita melihat di
media massa, sedangkan secara langsung seperti kita berinteraksi dengan orang lain dan
objek itu sendiri. Salah satu contoh dari pembelajaran secara tidak langsung adalah
seorang remaja sering melihat iklan sebuah handphone secara terus menerus dan
individu yang mempunyai handphone tersebut hanya orang yang akan menjadi populer
dan mereka akan percaya bahwa jika kita mempunyai handphone tersebut kita akan
menjadi populer.
Anak-anak belajar dari bagaimana porang lain merespon objek yang mereka
punya,seperti baju,mainan dan lain-lain. Kepemilikan mereka terhadap suatu benda
mengajarkan tentang nilai dan diinternalisasikan melalui permainan (RochbergHalton,1984). Kita selalu belajar tentang arti nilai dari sebuah produk dan pelayanannya
melalui media dan interaksi sosial. Kita mempelajari arti dari produk konsumen
merupakan proses yang terus berlanjut.
5
1.2.3
Menghidari sebuah produk dengan arti yang undesired
Keutamaan produk dan pelayanan menunjukkan sebuah tanda dan ada satnya
dimana kita setuju dengan barang tersebut namun individu lain melihatnya tidak sesuai
atau tidak tertarik. Konsumen juga memilih apa yang tidak akan mereka beli. Seorang
konsumen menekankan siapa mereka melalui apa yang mereka konsumsi dan tidak di
konsumsi,seperti kita sudah menentukan barang yang “saya” dan barang yang “bukan
saya”. Seseorang juga mencoba untuk menjauh dari apa yang mereka lihat sudah tidak
pada masanya dengan menyingkirkannya yang terdahulu.
1.2.4
Menggunakan simbol sebagai identitas kelompok
Identitas merupakan hal yang penting dalam menjadi bagian dari sebuah
kelompok untuk meningkatkan harga diri mereka, ini disebut dengan teori identitas
sosial. Ini dilakukan dengan cara menggunakan sebuah merk atau produk untuk
membedakan dirinya dari orang lain dengan memperlihatkan bahwa mereka berada
dalam kelompok tersebut(Jenskins, 1996). Prose identifikasi internal ini harus diketahui
oleh anggota kelompok lain yang bukan bagian dari anggota kelompok mereka yang
berfungsi untuk memperjelas indentitas kelompoknya, dan artinya produk tersebut harus
jelas artinya. Simbol yang digunakan bisa menjadi fungsi atau perlengkapan dari
identitas sosial.
1.3 Mengidentifikasi Produk
1.3.1
Identifikasi Produk dan minority influence
Konsumen mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan brand yang lebih
mereka pilih dibandingkan dengan kategori product yang disarankan oleh orang lain.
Salah satu studi yang membandingkan Macintosh dan pengguna komputer bahwa brand
Macintosh diketahui lebih banyak disukai untuk menjadi bagian konsep diri konsumen
dan bagaimana komputer Apple mempunyai hubungan yang lebih erat dengan
konsumen. Koneksi diri terhadap sebuah produk terlihat dari fakta bahwa pengguna
Macintosh sedikit dan membuat orang menjadi bagian komunitas yang kecil. Karena
sedikitnya pengguna Macintosh dibandingkan pengguna komputer ini bisa menimbulkan
“ikatan sosial yang kuat dan kesetiaan yang dalam”.
6
Namun ini juga ada kemungkinan pada seseorang untuk menentukan Macintosh
atau Komputer menjadi bagian dari mereka atau tidak, seperti kita menggunakan
Komputer di kantor yang sudah disediakan oleh kantor untuk kita bekerja bisa saja tidak
ada ikatan dengan komputer tersebut.
1.3.2
Individu mengidentifikasi sebuah produk
Sebuah penelitian mengatakan bahwa individu suka mengidentifikasi berbagai
macam produk, jika tidak setiap saat, beberapa situasi tertentu dalam hidup. Ada
individu yang membuat pilihan dengan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain.
Salah satu kategorinya adalah sifat narsis. Sifat narsis ingin dilihat orang secara
spesial dan superior dan seringkali membeli barang yang mahal. Membeli sesuatu
barang membuat mereka merasa terbantu untuk merasa baik tentang dirinya, dengan
orang lain akan iri dan mengaggumi dirinya.
2. Self-fulfilling prophecy
Sangat jelas bahwa pada saat ini orang banyak yang menunjukan siapa diri
mereka. hal yang menjadi kurang jelas adalah apakah ketika ada orang lain berasumsi
tentang diri mereka hal tersebut akan mengubah jati diri mereka. Orang - orang
menetapkan tingkat sosial sesorang berdasarkan apa yang mereka kenakan, jenis layanan
yang mereka gunakan dan harta yang mereka miliki. hal tersebut berdampak pada cara
pandang orang lain memperlakukan mereka dan bersikap terhadap mereka, dan karena
mereka diperlakukan dengan cara seperti itulah mereka akan bersikap sebagaimana orang
lain pikirkan.
Studi paling terkenal dari self-fulfilling prophecy dilakukan oleh Rosenthal dan
Jacobson pada tahun 1968. Mereka meminta anak-anak sekolah untuk menyelesaikan tes
IQ dan mengatakan kepada guru mereka yang hasilnya akan menunjukkan perkembangan
intelektual yang cepat. setelah test dilaksanakan terdapat 20 nama anak yang dianggap "
early bloomers".early bloomers adalah orang yang mencapai potensi di kehidupannya
dalam waktu yang lebih cepat daripada yang diperlukan teman-temannya. Tidak lama
kemudian guru menafsirkan bahwa anak yang masuk dalam katagori "non-bloomers"
7
adalah anak anak yang kurang penasaran dan tidak tertarik dibandingkan dengan
"bloomers" dan nilai siswa yang konsisten juga ikut mempengaruhi opini dari guru.
Namun, hal yang tidak diketahui oleh para guru adalah bahwa nama murid yang
dikategorikan sebagai "bloomers" adalah nama yang sudah terpilih secara acak oleh para
peneliti, jadi tidak ada perbedaan dalam hal IQ antara anak yang dikategorikan
"bloomers" atau non-bloomers" . hal yang menarik adalah ketika penelitian ini dilakukan
setahun kemudian, ditemukan bahwa anak yang dikategorikan "bloomers"memiliki cukup
skor IQ yang tinggi dan anak yang dikategorikan "Non-Bloomers".
Studi ini jelas menunjukkan bahwa asumsi tentang seseorang mempengaruhi
bagaimana kita berinteraksi dengan mereka dan setelah beberapa waktu individu juga
akan mengubah perilaku mereka sesuai dengan harapan. Teori Rosental dan Jacobson
menyatakan tiga tahapan terjadinya self fullfilling prophecy yaitu :
1. individu harus mempunyai harapan atau ekspektasi seperti apa orang lain tersebut
bertingkah laku .
2. Individu yang memegang harapan (x) harus dipengaruhi oleh keyakinan mereka
dalam cara mereka bertindak atas orang lain tersebut (y)
3. Orang
lain tersebut (y) telah kemudian merespon dengan berperilaku sesuai
dengan harapan individu tersebut (x).
Sangat mudah melihat bagaimana barang yang baik dan juga service yang cocok
didalam 3 langkah tersebut dan bagaimana hal tersebut dapat membantu individu untuk
memperkuat atau mengubah identitas mereka. Penggunaaan harta adalah untuk
membangun identitas yang akan terjadi secara konsisten. Jika konsumen menyadari
bagaimana self fullfilling prophecy bekerja, lalu mereka dapat berfikir tentang merek dan
produk yang lebih mungkin untuk menjamin respon yang tepat dari orang lain.
3. Aspek Negatif Dari Konsumsi Pada Diri
Sejauh ini hanya menyebutkan konsekuensi negatif dari konsumsi pada diri
dalam hal perbandingan atas sosial. Meskipun dalam banyak kasus konsumsi hanyalah
sebuah bagian dari membangun dan melestarikan identitas, ada contoh ketika itu bisa
merugikan diri kita. Harta yang hanya digunakan sebagai perpanjangan diri (Belk, 1988)
tetapi mereka juga dapat digunakan oleh individu untuk mengimbangi apa yang dianggap
kurang dalam konsep diri mereka (Wicklund & Gollwitzer, 1982). Akibatnya, budaya
8
konsumen sering dipersalahkan karena masalah fisik dan psikologis yang terkait dengan
identitas. Banyak studi telah menemukan bahwa baik wanita dan pria tidak percaya
bahwa bentuk tubuh mereka saat ini adalah menarik, meskipun pria cenderung berpikir
bahwa tubuh mereka tidak terlalu jauh dari apa yang mereka anggap sebagai bentuk ideal
(e.g Fallon & Rozin, 1985; Stunkard, Sorensen, & Schulsinger, 1980).
Namun, penelitian telah berulang kali menemukan bahwa menarik secara fisik
yang dianggap oleh sebagian besar individu menjadi persoalan sosial lebih diinginkan
daripada mereka yang dianggap sebagai tidak menarik (e.g Dion, Berscheid, & Walster,
1972; Langlois, 1986), sesuatu yang mungkin telah diperkuat oleh masyarakat konsumen
dan lebih lanjut dari konsumsi produk dan prosedur kosmetik.
Faktanya adalah bahwa tidak pernah sebelumnya industri kosmetik menjual
produk kecantikan lebih (untuk laki-laki dan perempuan), dan bedah kosmetik dengan
harga yang tinggi, yang berarti bahwa itu adalah penting untuk tujuan bagaimana ini
mempengaruhi identitas masyarakat dan kesejahteraan psikologis.
3.1 Citra tubuh
Karena pernyataan konstan pada pesan media yang mengatakan kepada konsumen
bahwa penampilan fisik penting, telah menyarankan bahwa citra tubuh harus dianggap
sebagai bagian dari identitas kita karena itu adalah bagian dari representasi diri individu
(Mis Halliwell & Dittmar, 2006). Tekanan untuk menjadi “sosok yang sempurna” mulai
pada usia sangat muda dan kemudian sering tidak sengaja diterapkan melalui produk
yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain seperti boneka Barbie. Banyak gadisgadis muda yang bermain dengan boneka Barbie yang ditemukan bahwa mereka
menganggap boneka Barbie sebagai panutan (e.g Dittmar, Halliwell, & Ive, 2006). Hal
ini memberikan anak-anak gambaran miring dari apa yang ideal dari perempuan harus
seperti Barbie. Hal ini sangat disayangkan karena remaja harus tumbuh dewasa dengan
nyaman menjadi diri mereka sendiri (Erikson, 1968) dalam rangka mencapai identitas
mereka dengan merasa nyaman. Ketika mereka gagal untuk menjadi nyaman dengan
penampilan fisik mereka, mereka akan terus untuk membeli produk dan jasa kecantikan
dengan harapan bahwa itu akan membuat mereka merasa lebih baik. Hal ini dapat secara
alami juga berlaku juga untuk orang dewasa maupun remaja.
9
3.2 Self-discrepancy theory
Salah satu teori yang memberikan penjelasan mengapa orang menjadi bahagia
dengan penampilan fisik mereka adalah self-discrepancy theory (Higgins, 1987). Teori
ini menjelaskan bahwa setiap orang memiliki tiga jenis self-schema :
1. Actual self - cara orang berada dalam waktu tertentu
2. Ideal self – cita-cita menjadi diri sendiri
3. Ought self – cara berpikir seharusnya
“Ideal self” membantu kita untuk berusaha menjadi apa yang dipikirkan adalah
sempurna, sementara “ought self” mencegah kita melakukan hal-hal yang tidak
seharusnya. Jika ada perbedaan, itu dapat memotivasi seseorang untuk mencoba dan
mengurangi itu. Namun, jika mereka gagal untuk melakukannya, perbedaan antara aktual
dan “ideal self” dapat menghasilkan perasaan ketidakpuasan dan kekecewaan sementara
perbedaan antara “actual” dan “ought self” dapat menyebabkan gelisah emosi seperti
kecemasan atau ketakutan.
4. Bagaimana media membantu meningkatkan identitas orang dan harga diri
Individu sering membandingkan dirinya dengan orang yang ada dalam media,
membandingkan mereka dengan orang yang rata-rata,gemuk,dan berisi. Gambar dari
seseorang yang “size normal” tidak bisa meningkatkan harga diri seseorang. Menggunaka
gambar yang nyata membuat seseorang lebih baik tentang dirinya. Seseorang lebih
senang dibandingkan dengan orang yang sama dengan dirinya dibandingkan yang tidak
sama. Ada kemungkinan orang akan menghiraukan kecantikan dari model tersebut
apabila mereka menunjukkan iklan dengan tubuh yang sangat ideal. Harga diri juga bisa
diangkat dengan menampilkan individu yang kurang menarik daripada diri kita.
10
11
Mata Kuliah Psikologi Konsumen
Disusun oleh:
1. Andhika Ibnu F S
2. Aulia Sekar Rofiana
3. Diah Ayu Setiarini
4. Dian Novitasari
5. Heny Kurniati
Universitas Gunadarma
Depok
2016
1
1. Identitas
Identitas adalah konsep subjektif dari bagaimana seorang individu memandang
diri mereka sendiri (Vignoles, Regalia, Manzi, Golledge, & Scabini, 2006). Identitas kita
bersifat subjektif, cara di mana kita melihat diri kita dipengaruhi oleh pengalaman
individu, dan kelompok-kelompok yang kita inginkan (Sedikides & Brewer, 2001).
Seseorang dapat memiliki lebih dari satu identitas (mis Brewer, 2001; Brewer &
Gardner, 1996; Donahue, Robins, Roberts, & John, 1993). Jumlah identitas individu
tergantung pada berbagai jenis situasi sosial yang sering mereka temukan pada diri
mereka. Umumnya orang memainkan banyak peran yang berbeda dalam hidup, misalnya,
selama siang hari mungkin seseorang perlu untuk menyesuaikan diri dengan peran
sebagai pengacara, sedangkan di pagi dan malam hari, seseorang yang sama tersebut
bertindak sebagai ibu dari tiga anak. Apa semua peran ini memiliki kesamaan, apakah
mereka adalah orang-orang primer atau sekunder. Seseorang dapat menggunakan
berbagai jenis produk untuk mewakili diri mereka (e.g. Goffman, 1959; Solomon, 1983).
Telah ada penelitian yang luas dalam hubungan antara objek dan identitas,
khususnya bagaimana objek memiliki kapasitas untuk membantu dan mengelola identitas
seseorang (mis Aaker, 1999; Csikszentmihalyi & RochbergHalton, 1981; Dittmar, 1992;
Kleine, Kleine, & Kernan, 1993; Tietje & Brunel, 2005). Gagasan bahwa seseorang
menggunakan harta mereka untuk mengekspresikan siapa mereka, bukanlah sebuah
konsep baru. Namun, sejak tahun 1970 ini telah menjadi lazim dan akibatnya penelitian
yang lebih baru telah mengkonfirmasi bahwa harta memainkan peran penting dalam
bagaimana orang melihat diri mereka sendiri dan orang lain (mis Belk, 1988, 2008).
1.1 Bagaimana Identitas Terbentuk?
Pembentukan identitas bersifat kompleks karena dimulai sejak awal kehidupan
dan akan terus berkembang. Umumnya berkembang disekitar usia 2 tahun (de Veer,
Gallup, Theall, van den Bos, & Povinelli, 2003; Povinelli, 1994). Namun pada saat usia
tersebut, konsep masih bersifat dasar. Kemudian konsep diri secara bertahap menjadi
lebih kompleks ketika manusia bertambah usia. Identitas manusia terus dibentuk dan
dipengaruhi oleh orang tua, saudara, teman, sekolah, masyarakat, serta iklan dan
pengaruh budaya lainnya. Begitu seseorang telah mencapai usia dewasa, mereka
cenderung untuk menggabungkan apa yang memotivasi mereka, keyakinan agama,
2
penampilan fisik, usia dan materi harta mereka sendiri untuk menggambarkan diri
mereka (e.g. Dittmar, 1992; Hart & Damon, 1986; Harter, 2003; Montemayor & Eisen,
1977).
Orang sering mengabaikan seseorang yang memiliki lebih dari satu identitas, dan
ini karena manusia memiliki 'kebutuhan dasar untuk menyederhanakan dan menegakkan
ketertiban di dunia' (Hogg & Abrams, 1988, hal. 78). Manusia (sering tidak sadar)
mengirimkan seseorang untuk suatu kelompok (sosial kategorisasi) dan membandingkan
dirinya dengan orang lain (sosial), dan berusaha untuk menegakkan ketertiban di dunia
serta membedakan bagaimana orang-orang yang sama atau berbeda untuk diri mereka
sendiri. Baik kategorisasi dan perbandingan proses juga memungkinkan kita untuk
mencari tahu siapa kita sebagai individu.
1.1.1
Katagorisasi Sosial
Manusia mengkategorikan seseorang yang berada disekitar mereka, dalam
kaitannya dengan diri mereka sendiri. Ketika
melakukan hal tersebut, seseorang
cenderung untuk menonjolkan persepsi mereka tentang orang lain (Hogg & Abrams,
1988). Sehingga lebih mudah untuk menemukan persamaan atau perbedaan antara diri
mereka dan orang lain untuk mengkategorikannya. Persepsi orang lain (persepsi
seseorang) sering dipengaruhi oleh harta benda seseorang (Dittmar, 2004a; Hebl & Raja,
2004), sedangkan klasifikasi benda (persepsi object) dapat dipengaruhi oleh pemasaran
dan periklanan. Dari proses mengkategorikan individu tersebut dapat menyebabkan
orang lain (dan diri sendiri) menjadi depersonalized. Individu dianggap sebagai
prototipe, yang berarti bahwa kita dapat menetapkan dan memperlakukan seseorang
sesuai dengan karakteristik stereotip mereka (atau dalam kasus diri-berperilaku).
Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa merek dan produk memang
bisa digunakan untuk menghasilkan pendapat yang akurat. Misalnya Alpers dan Gerdes
(2006), ketika mereka meminta peserta untuk mencocokkan mobil dengan pemiliknya,
dan mereka mampu memasangkan keduanya dengan benar. Keterampilan tersebut pada
didasarkan pada fakta bahwa orang-orang telah memiliki konsep stereotip yang jelas,
yang berarti bahwa kita dapat menggunakan konsep-konsep tersebut secara akurat untuk
mengkategorikan orang lain.
3
1.1.2
Perbandingan Sosial
Sumber penting untuk memahami diri sendiri adalah melalui perbandingan
dengan orang-orang lainnya. perbandingan sosial adalah tentang bagaimana seseorang
belajar tentang diri sendiri dengan membandingkan persamaan dan perbedaannya dengan
orang lain (Festinger, 1954; Suls & Wheeler, 2000).
Perbandingan sosial terus menerus dilakukan terhadap orang lain, karena
didorong oleh kebutuhan untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri yang
positif. (harga diri individu terkait dengan perasaan belongingness. Pakaian, perhiasan
dapat membedakan seseorang dari orang lain, dan mereka juga dapat menunjukkan
identitas kelompok.
Teori perbandingan sosial dapat dengan mudah diterapkan pada bagaimana
seseorang membandingkan dirinya dengan budaya konsumen di mana kita hidup. Dari
perspektif konsumen, membeli jenis produk dapat membuat mereka merasa seolah-olah
memiliki kelompok tertentu. Hal ini sering (tetapi tidak selalu) didorong oleh berbagai
jenis pemasaran teknik.
Ketika kita membandingkan diri kita dengan orang-orang yang melakukan
sesuatu dengan kurang baik, kita muncul untuk melakukannya dengan lebih baik (Wills,
1981). Akan ada situasi ketika kita tidak bisa memilih siapa yang akan kita bandingkan,
dan akibatnya kita mungkin berakhir membandingkan diri dengan orang-orang yang
entah bagaimana dipandang agar menjadi lebih kompeten. Hal ini dikenal sebagai
pembanding atas dan dapat memiliki efek yang merugikan pada harga diri kita.
1.2 Arti simbol dari sebuah produk
Terkadang kita mengkategorisasikan dan membandingkan diri kita dengan orang
lain berdasarkan barang yang mereka punya. Jika produk dan service tidak menunjukkan
perbedaan yang jelas, individu tidak bisa mengkategorisasikan barang tersebut.
Konsep tentang arti dari perbedaan setiap produk sudah bukan hal yang baru lagi
tetapi pada tahun 1980, psikolog membuat penelitian yang lebih lanjut dan sekarang
mempunyai bukti bahwa benda mati bisa berkaitan dengan karakteristik manusia.
4
1.2.1
Symbolic interactionism
Merk dan Produk bisa menjadi sebuah simbol dan bisa menjadi jalan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Arti dari produk itu sendiri bisa berasal dari marketing
atau dari lingkungan sosial. Ide untuk melakukan penelitian tentang bagaimana benda
tersebut bisa digunakan untuk mengelola sebagian dari benda itu tersebut disebut
simbolik interaksionisme. Gambaran simbolik interaktionisme adalah insiatif diri, dan
berbuah secara terus menerus oleh interaksi individu. Untuk menjadikan interaksi itu
efektif dengan orang lain, individu menggunakan simbol tersebut harus mempunyai arti
berbagi
Aspek yang lain dari simbolik interaksionisme adalah individu bisa melihat diri
mereka dari sudut pandang orang lain. Biasanya, teori ini menjelaskan bahwa kita
terbentuj oleh kita yang mampu membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain.
Spekulasi ini mengarah kepada pengertian bahwa simbol dari produk dan merk bisa
berfungsi sebagai benda untuk identitas mereka. Contohnya seperti kita menggunakan
mobil jaguar, itu merupakan simbol bahwa kita adalah orang sukses dan mempunyai
kehidupan yang nyaman.
1.2.2
Kapan kita mempelajari tentan arti dari simbol?
Individu belajar dari umur yang muda dengan metode belajar secara tidak
langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung contohnya seperti kita melihat di
media massa, sedangkan secara langsung seperti kita berinteraksi dengan orang lain dan
objek itu sendiri. Salah satu contoh dari pembelajaran secara tidak langsung adalah
seorang remaja sering melihat iklan sebuah handphone secara terus menerus dan
individu yang mempunyai handphone tersebut hanya orang yang akan menjadi populer
dan mereka akan percaya bahwa jika kita mempunyai handphone tersebut kita akan
menjadi populer.
Anak-anak belajar dari bagaimana porang lain merespon objek yang mereka
punya,seperti baju,mainan dan lain-lain. Kepemilikan mereka terhadap suatu benda
mengajarkan tentang nilai dan diinternalisasikan melalui permainan (RochbergHalton,1984). Kita selalu belajar tentang arti nilai dari sebuah produk dan pelayanannya
melalui media dan interaksi sosial. Kita mempelajari arti dari produk konsumen
merupakan proses yang terus berlanjut.
5
1.2.3
Menghidari sebuah produk dengan arti yang undesired
Keutamaan produk dan pelayanan menunjukkan sebuah tanda dan ada satnya
dimana kita setuju dengan barang tersebut namun individu lain melihatnya tidak sesuai
atau tidak tertarik. Konsumen juga memilih apa yang tidak akan mereka beli. Seorang
konsumen menekankan siapa mereka melalui apa yang mereka konsumsi dan tidak di
konsumsi,seperti kita sudah menentukan barang yang “saya” dan barang yang “bukan
saya”. Seseorang juga mencoba untuk menjauh dari apa yang mereka lihat sudah tidak
pada masanya dengan menyingkirkannya yang terdahulu.
1.2.4
Menggunakan simbol sebagai identitas kelompok
Identitas merupakan hal yang penting dalam menjadi bagian dari sebuah
kelompok untuk meningkatkan harga diri mereka, ini disebut dengan teori identitas
sosial. Ini dilakukan dengan cara menggunakan sebuah merk atau produk untuk
membedakan dirinya dari orang lain dengan memperlihatkan bahwa mereka berada
dalam kelompok tersebut(Jenskins, 1996). Prose identifikasi internal ini harus diketahui
oleh anggota kelompok lain yang bukan bagian dari anggota kelompok mereka yang
berfungsi untuk memperjelas indentitas kelompoknya, dan artinya produk tersebut harus
jelas artinya. Simbol yang digunakan bisa menjadi fungsi atau perlengkapan dari
identitas sosial.
1.3 Mengidentifikasi Produk
1.3.1
Identifikasi Produk dan minority influence
Konsumen mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan brand yang lebih
mereka pilih dibandingkan dengan kategori product yang disarankan oleh orang lain.
Salah satu studi yang membandingkan Macintosh dan pengguna komputer bahwa brand
Macintosh diketahui lebih banyak disukai untuk menjadi bagian konsep diri konsumen
dan bagaimana komputer Apple mempunyai hubungan yang lebih erat dengan
konsumen. Koneksi diri terhadap sebuah produk terlihat dari fakta bahwa pengguna
Macintosh sedikit dan membuat orang menjadi bagian komunitas yang kecil. Karena
sedikitnya pengguna Macintosh dibandingkan pengguna komputer ini bisa menimbulkan
“ikatan sosial yang kuat dan kesetiaan yang dalam”.
6
Namun ini juga ada kemungkinan pada seseorang untuk menentukan Macintosh
atau Komputer menjadi bagian dari mereka atau tidak, seperti kita menggunakan
Komputer di kantor yang sudah disediakan oleh kantor untuk kita bekerja bisa saja tidak
ada ikatan dengan komputer tersebut.
1.3.2
Individu mengidentifikasi sebuah produk
Sebuah penelitian mengatakan bahwa individu suka mengidentifikasi berbagai
macam produk, jika tidak setiap saat, beberapa situasi tertentu dalam hidup. Ada
individu yang membuat pilihan dengan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain.
Salah satu kategorinya adalah sifat narsis. Sifat narsis ingin dilihat orang secara
spesial dan superior dan seringkali membeli barang yang mahal. Membeli sesuatu
barang membuat mereka merasa terbantu untuk merasa baik tentang dirinya, dengan
orang lain akan iri dan mengaggumi dirinya.
2. Self-fulfilling prophecy
Sangat jelas bahwa pada saat ini orang banyak yang menunjukan siapa diri
mereka. hal yang menjadi kurang jelas adalah apakah ketika ada orang lain berasumsi
tentang diri mereka hal tersebut akan mengubah jati diri mereka. Orang - orang
menetapkan tingkat sosial sesorang berdasarkan apa yang mereka kenakan, jenis layanan
yang mereka gunakan dan harta yang mereka miliki. hal tersebut berdampak pada cara
pandang orang lain memperlakukan mereka dan bersikap terhadap mereka, dan karena
mereka diperlakukan dengan cara seperti itulah mereka akan bersikap sebagaimana orang
lain pikirkan.
Studi paling terkenal dari self-fulfilling prophecy dilakukan oleh Rosenthal dan
Jacobson pada tahun 1968. Mereka meminta anak-anak sekolah untuk menyelesaikan tes
IQ dan mengatakan kepada guru mereka yang hasilnya akan menunjukkan perkembangan
intelektual yang cepat. setelah test dilaksanakan terdapat 20 nama anak yang dianggap "
early bloomers".early bloomers adalah orang yang mencapai potensi di kehidupannya
dalam waktu yang lebih cepat daripada yang diperlukan teman-temannya. Tidak lama
kemudian guru menafsirkan bahwa anak yang masuk dalam katagori "non-bloomers"
7
adalah anak anak yang kurang penasaran dan tidak tertarik dibandingkan dengan
"bloomers" dan nilai siswa yang konsisten juga ikut mempengaruhi opini dari guru.
Namun, hal yang tidak diketahui oleh para guru adalah bahwa nama murid yang
dikategorikan sebagai "bloomers" adalah nama yang sudah terpilih secara acak oleh para
peneliti, jadi tidak ada perbedaan dalam hal IQ antara anak yang dikategorikan
"bloomers" atau non-bloomers" . hal yang menarik adalah ketika penelitian ini dilakukan
setahun kemudian, ditemukan bahwa anak yang dikategorikan "bloomers"memiliki cukup
skor IQ yang tinggi dan anak yang dikategorikan "Non-Bloomers".
Studi ini jelas menunjukkan bahwa asumsi tentang seseorang mempengaruhi
bagaimana kita berinteraksi dengan mereka dan setelah beberapa waktu individu juga
akan mengubah perilaku mereka sesuai dengan harapan. Teori Rosental dan Jacobson
menyatakan tiga tahapan terjadinya self fullfilling prophecy yaitu :
1. individu harus mempunyai harapan atau ekspektasi seperti apa orang lain tersebut
bertingkah laku .
2. Individu yang memegang harapan (x) harus dipengaruhi oleh keyakinan mereka
dalam cara mereka bertindak atas orang lain tersebut (y)
3. Orang
lain tersebut (y) telah kemudian merespon dengan berperilaku sesuai
dengan harapan individu tersebut (x).
Sangat mudah melihat bagaimana barang yang baik dan juga service yang cocok
didalam 3 langkah tersebut dan bagaimana hal tersebut dapat membantu individu untuk
memperkuat atau mengubah identitas mereka. Penggunaaan harta adalah untuk
membangun identitas yang akan terjadi secara konsisten. Jika konsumen menyadari
bagaimana self fullfilling prophecy bekerja, lalu mereka dapat berfikir tentang merek dan
produk yang lebih mungkin untuk menjamin respon yang tepat dari orang lain.
3. Aspek Negatif Dari Konsumsi Pada Diri
Sejauh ini hanya menyebutkan konsekuensi negatif dari konsumsi pada diri
dalam hal perbandingan atas sosial. Meskipun dalam banyak kasus konsumsi hanyalah
sebuah bagian dari membangun dan melestarikan identitas, ada contoh ketika itu bisa
merugikan diri kita. Harta yang hanya digunakan sebagai perpanjangan diri (Belk, 1988)
tetapi mereka juga dapat digunakan oleh individu untuk mengimbangi apa yang dianggap
kurang dalam konsep diri mereka (Wicklund & Gollwitzer, 1982). Akibatnya, budaya
8
konsumen sering dipersalahkan karena masalah fisik dan psikologis yang terkait dengan
identitas. Banyak studi telah menemukan bahwa baik wanita dan pria tidak percaya
bahwa bentuk tubuh mereka saat ini adalah menarik, meskipun pria cenderung berpikir
bahwa tubuh mereka tidak terlalu jauh dari apa yang mereka anggap sebagai bentuk ideal
(e.g Fallon & Rozin, 1985; Stunkard, Sorensen, & Schulsinger, 1980).
Namun, penelitian telah berulang kali menemukan bahwa menarik secara fisik
yang dianggap oleh sebagian besar individu menjadi persoalan sosial lebih diinginkan
daripada mereka yang dianggap sebagai tidak menarik (e.g Dion, Berscheid, & Walster,
1972; Langlois, 1986), sesuatu yang mungkin telah diperkuat oleh masyarakat konsumen
dan lebih lanjut dari konsumsi produk dan prosedur kosmetik.
Faktanya adalah bahwa tidak pernah sebelumnya industri kosmetik menjual
produk kecantikan lebih (untuk laki-laki dan perempuan), dan bedah kosmetik dengan
harga yang tinggi, yang berarti bahwa itu adalah penting untuk tujuan bagaimana ini
mempengaruhi identitas masyarakat dan kesejahteraan psikologis.
3.1 Citra tubuh
Karena pernyataan konstan pada pesan media yang mengatakan kepada konsumen
bahwa penampilan fisik penting, telah menyarankan bahwa citra tubuh harus dianggap
sebagai bagian dari identitas kita karena itu adalah bagian dari representasi diri individu
(Mis Halliwell & Dittmar, 2006). Tekanan untuk menjadi “sosok yang sempurna” mulai
pada usia sangat muda dan kemudian sering tidak sengaja diterapkan melalui produk
yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain seperti boneka Barbie. Banyak gadisgadis muda yang bermain dengan boneka Barbie yang ditemukan bahwa mereka
menganggap boneka Barbie sebagai panutan (e.g Dittmar, Halliwell, & Ive, 2006). Hal
ini memberikan anak-anak gambaran miring dari apa yang ideal dari perempuan harus
seperti Barbie. Hal ini sangat disayangkan karena remaja harus tumbuh dewasa dengan
nyaman menjadi diri mereka sendiri (Erikson, 1968) dalam rangka mencapai identitas
mereka dengan merasa nyaman. Ketika mereka gagal untuk menjadi nyaman dengan
penampilan fisik mereka, mereka akan terus untuk membeli produk dan jasa kecantikan
dengan harapan bahwa itu akan membuat mereka merasa lebih baik. Hal ini dapat secara
alami juga berlaku juga untuk orang dewasa maupun remaja.
9
3.2 Self-discrepancy theory
Salah satu teori yang memberikan penjelasan mengapa orang menjadi bahagia
dengan penampilan fisik mereka adalah self-discrepancy theory (Higgins, 1987). Teori
ini menjelaskan bahwa setiap orang memiliki tiga jenis self-schema :
1. Actual self - cara orang berada dalam waktu tertentu
2. Ideal self – cita-cita menjadi diri sendiri
3. Ought self – cara berpikir seharusnya
“Ideal self” membantu kita untuk berusaha menjadi apa yang dipikirkan adalah
sempurna, sementara “ought self” mencegah kita melakukan hal-hal yang tidak
seharusnya. Jika ada perbedaan, itu dapat memotivasi seseorang untuk mencoba dan
mengurangi itu. Namun, jika mereka gagal untuk melakukannya, perbedaan antara aktual
dan “ideal self” dapat menghasilkan perasaan ketidakpuasan dan kekecewaan sementara
perbedaan antara “actual” dan “ought self” dapat menyebabkan gelisah emosi seperti
kecemasan atau ketakutan.
4. Bagaimana media membantu meningkatkan identitas orang dan harga diri
Individu sering membandingkan dirinya dengan orang yang ada dalam media,
membandingkan mereka dengan orang yang rata-rata,gemuk,dan berisi. Gambar dari
seseorang yang “size normal” tidak bisa meningkatkan harga diri seseorang. Menggunaka
gambar yang nyata membuat seseorang lebih baik tentang dirinya. Seseorang lebih
senang dibandingkan dengan orang yang sama dengan dirinya dibandingkan yang tidak
sama. Ada kemungkinan orang akan menghiraukan kecantikan dari model tersebut
apabila mereka menunjukkan iklan dengan tubuh yang sangat ideal. Harga diri juga bisa
diangkat dengan menampilkan individu yang kurang menarik daripada diri kita.
10
11