BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Badan Kehormatan dalam Menunjang Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Teori Pengawasan terhadap Penggunaan Kekuasaan
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu kekuasaan dan wewenang
yang dimiliki oleh seorang pejabat atau suatu badan, harus berdasarkan atas undang-undang
atau peraturan perundangan yang berlaku. Segala kekuasaan dan wewenang harus dijalankan
dengan jelas yaitu menurut fungsi dan pembidangannya. Setiap badan dan lembaga negara
dari bawah sampai ke atas, pusat dan daerah haruslah jelas pengaturannya menurut Musanef.
Kejelasan pengaturan tersebut menyangkut1 :
”Sasarannya, tertib susunannya, hubungan kerja antara satu dengan yang laiinya,
koordinasi dan komunikasi ke atas, kesamping, ke bawah dan ketentuan-ketentuan
dan tata cara menyelenggarakannya atau secara singkat ditentukan ”Rule of the
games’nya.”
Pengawasan adalah suatu keharusan yang dilakukan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sama halnya dengan
pengawasan terhadap kekuasaan, BK sebagai lembaga penjaga moral anggota DPRD
memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja para anggota DPRD. BK
bertugas untuk melaksanakan pengawasan dan kontrol terhadap DPRD. Pengawasan dan
kontrol dalam hal ini adalah pengawasandan kontrol internal terhadap DPRD. Anggota
DPRD merupakan para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Tentang etika,

pada dasarnya merupakan tentang etis dan tidaknya suatu tindakan tertentu terkait dengan

1

Musanep, Sistem Pemerintahan di Indonesia, Gunung Agung, Jakarta,1985, hlm. 175

fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab serta kedudukan seseorang sebagai anggota
DPRD. Dalam profesinya sebagai anggota DPRD, maka disini perlu adanya kode etik profesi
untuk memberikan batasan guna menjaga profesionalitas anggota DPRD agar tidak terjadi
penyimpangan.
Kata “pengawasan” berasal dari kata “awas”, berarti antara lain “penjagaan”. Istilah
pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu
unsur dalam kegiatan pengelolaan.2 Istilah pengawasan dalam bahasa inggris disebut
controlling yang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah
controlling lebih luas artinya daripada pengawasan. Sondang P. Siagian memberikan definisi
tentang pengawasan adalah “ Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.” 3
Istilah kekuasaan sendiri hampir dipakai pada seluruh aspek keilmuaan,


seperti

sosial, politik, hukum dan sebagainya, oleh karena itu menjadi wajar jika pandangan
mengenai rumusan kekuasaan mengalami perbedaan antara yang satudengan yang lain,
namun juga tidak dapat dikecualikan bahwa antara berbagai pandangan tersebut ada
kesamaannya, Miriam Budiardjo mengemukakan bahwa kekuasaan adalah: 4
“Kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
lakunya seseorang atau kelompoklain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu “.
Dalam kaitannya dengan hukum, kekuasaan itu sendiri memiliki hubungan yang
sangat erat dengan hukum.5 Karena di satu sisi hukum membutuhkan kekuasaan untuk

2

Anton, M. Moeliono, dkk.,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 68.
Siagian, S.P., filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1990, hlm. 107.
4
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 128.

3


5

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm. 147-148.

menjalankan fungsinya, sedang disisi lain kekuasaan membutuhkan hukum untuk
melegitimasi keberadaannya. Kekuasaan merupakan hak sebagai kepentingan yang diakui
dan dilindungi oleh hukum. Dalam arti lain dianggap sebagai suatu kekuasaan berdasarkan
hukum, dengan hak tersebutseseorang dapat melaksanakan kepentingannya.6 Untuk dapat
melaksanakan kekuasaan yang berdasarkan hukum tersebut, maka DPRD sebagai lembaga
perwakilan daerah dilengkapi dengan tiga fungsi, yaitu; fungsi legislasi, fungsi pengawasan
dan fungsi anggaran. Keberadaan ketiga fungsi tersebut sangat penting untuk mendorong
terciptanya suatu pemerintahan daerah yang baik.
Dalam melakukan pengawasan tersebut, DPRD juga memiliki standar etika yang
merupakan salah satu instrument yang penting dalam penegakan aturan-aturan hukum dan
juga standar perilaku sebagai dasar pengawasan yang dilakukan oleh BK sebagai lembaga
pengawas dan penegak kode etik anggota DPRD. Oleh karena itu DPRD diwajibkan untuk
menyusun kode etik yang berfungsi untuk menjaga martabat dan kehormatan anggotanya
dalam menjalankan tugas dan wewenang. Pada dasarnya harus ada aturan hukum yang
mengatur mengenai pengawasan kekuasaan. Penegakan hukum adalah upaya untuk

memenuhi tujuan hukum, menurut Martokusumo, tujuan pokok hukum adalah menciptalan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan karena dengan
tercapainya ketertiban di masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan dapat
terlindungi. 7
Dalam rangka mewujudkan kekuasaan tersebut agar sesuai dengan apa yang
seharusnya, maka ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu;
a. adanya aturan hukum yang mengatur mengenai kode etik
b. adanya lembaga/aparat yang berwenang dan bertugas melakukan pengawasan
terhadap kode etik.
6
7

Lili Rassjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Rajawali Press, Jakarta, 1988, hlm. 45
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Jogjakarta, 1986, hlm. 57.

Kedua faktor tersebut diatas harus saling mendukung agar pengawasan terhadap
kekuasaan itu dapat berjalan dengan baik. Pengawasan terhadap kekuasaan merupakan suatu
proses yang interaktif. Artinya, tidak hanya aturan hukum mengenai kode etik saja yang
dibutuhkan melainkan juga dibutuhkan keberadaan lembaga pengawas/aparat dalam hal ini
adalah BK yang berfungsi mengawasi dan menegakan kode etik serta mengontrol perilaku

anggota DPRD . Pengawasan dapat dibedakan menjadi:
1. Pengawasan Langsung dan tidak langsung.
Pengawasan yang dilakukan secarapribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan
mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri ”on the spot” ditempat pekerjaan
dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan
dengan inspeksi. 8
2. Pengawasan Preventif dan Represif
Arti harafiah pengawasan ”preventif”adalah pengawasan yang bersifat mencegah.
Mencegah artinya menjaga jangan sampai suatu kegiatan itu terjerumus pada
kesalahan. Pengawasan preventif adalah pengawasan yang bersifat mencegah agar
pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan ” repersif” yaitu pengawasan yang
berupa penengguhan atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan
daerah baik berupa Peraturan daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan DPRD,
maupun keputusan Pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pengawasan represif berupa penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan

8

Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan melekat Dalam Lingkungan Aparatur

Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta (Cetakan II), 1998, hlm. 28

daerah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundangundangan yang lainnya.9
3. Pengawasan ”intern” (eksternal) adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisai itu sendiri. Pengawsan intern lebih dikenal dengan pengawasan
fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah,
yang dilakukan secara fungsional oleh lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan
pengawasan fungsional, yang kedudukannya merupakan bagian dari lembaga yang
diawasi. 10

B.

Fungsi DPRD Sebagai Representasi Rakyat di Daerah
Gagasan pembentukan sistem perwakilan dalam suatu negara itu dilatar belakangi

oleh teori demokrasi. Teori ini menjelaskan bahwa anggota masyarakat harus ikut ambil
bagian atau berpartisipasi dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan.11 Dalam
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD , sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan bahwa DPRD merupakan

lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Dengan demikian DPRD memiliki fungsi utama yaitu:
a. fungsi legislasi, yaitu membentuk peraturan daerah;
fungsi ini dilaksanakan sebagai perwujudan DPRD selaku pemegang
kekuasaan membentuk peraturan daerah.
b. fungsi anggaran, yaitu menetapkan anggaran;

9

Ibid hlm. 313-314
Ibid
11
Arbi Sanit. Perwakilan Politik Indonesia,Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 203.
10

fungsi ini dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang
APBD yang diajukan.
c. fungsi pengawasan, yaitu melakukan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan

(fungsi ini dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan peraturan
daerah dan APBD.
Dalam pelaksanaan mandat rakyat, dewan selayaknya dapat menghasilkan keputusan
politik/ kebijakan publik yang berdampak positif melalui instrument fungsi-fungsi DPRD,
yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Semua pelaksanaan fungsi tersebut
merupakan inti dari politik perwakilan. Implementasi ketiga fungsi itu selanjutnya
dioperasionalkan dalam bentuk hak dan kewajiban anggota dalam lembaga DPRD yang
kesemuannya harus diatur jelas dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. Pelaksanaan hak dan
kewajiban sebagai pengejawantahan dari tri fungsinya itu harus dipertanggungjawabkan pada
diri sendiri, masyarakat, lingkungan dan terutama konstituen yang telah memberikan
kepercayaan penuh padanya untuk memperbaiki sistem pemerintah ke arah yang diinginkan
seluruh elemen bangsa dan Negara.
DPRD adalah merupakan Lembaga legislatif yang para anggotanya terpilih melalui
mekanisme Pemilihan Umum. Sebagai sebuah Institusi, keberadaan sangat penting dan
strategis dalam melaksanakan perannya guna mewujudkan pemerintahan yang baik dan
bersih (good and clean governance) dalam menjalankan fungsinya perlu senantiasa
mengedepankan komitmen moral dan profesionalitas. DPRD sebagai representasi rakyat
menjalankan amanah perwakilan, yang mengharuskan seorang wakil rakyat bersikap dan
bertindak sesuai dengan kehendak rakyat. Dengan demikian maka perilaku dari anggota


DPRD mencerminkan seorang wakil rakyat, sehingga dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang.
Sebagai sebuah lembaga perwakilan tentu saja DPRD harus melaksanakan fungsinya
dengan baik guna mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih yaitu dengan
terselenggaranya good governance yang merupakan prasyaratan utama mewujudkan aspirasi
masyarakat mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut,
diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban pemerintahan yang
tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat
berdaya guna, berhasil guna dan bertanggung jawab.

C.

Kode Etik
Bertens menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan

diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau member petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu
dimata masyarakat.12 Harus diakui bahwa dalam penerapannya dilapangan, etika profesi
memang selalu tidak puas dengan gambaran-gambaran empiris tentang suatu fenomena. Ia
membutuhkan penilaian-penilaian agar dapat diterapkan. Oleh karena itu, ada pula pandangan

yang mengatakan bahwa kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan
berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Dan karena ia telah membuat
penilaian-penilaian, maka etika profesi juga adalah etika normatif.

12

13

Kode etik profesi

Bartens, K, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 72.
Darji Drmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 271.
13

merupakan upaya pencegahan berbuat yang tidak etis bagi aggotanya. Menurut Sumaryono,
kode etik profesi perlu dirumuskan secara tertulis, alasannya yaitu :14
a. sebagai sarana kontrol sosial;
b. sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
c. sebagai pencegahan kesalahpahaman dan konflik.

Oleh karena itulah sebaiknya kode etik profesi terumuskan secara tertulis agar ia
efektif sebagai system norma, nilai dan aturan profesioanal tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi
professional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang
harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Syarat lain agar kode etik efektif menjadi
pedoman tingkah laku profesi maka pelaksanaannya diawasi terus menerus. Karena kode etik
juga mengandung sanksi yang ditegakan oleh dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk
khusus untuk itu. Walaupun dalam praktik rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota
profesi.

15

Dalam kaitannya dengan etika profesi ini terdapat prinsip-prinsip yang harus

ditegakan. Franz Magnis-Suseno terlebih dulu membedakan profesi dalam dua jenis, yaitu
profesi pada umumnya dan profesi luhur. Untuk profesi pada umumnya, paling tidak ada dua
prinsip yang wajib ditegakan, yaitu: (1) prinsip agar menjalankan profesinya secara
bertanggung jawab, dan (2) hormat terhadap hak-hak orang lain. 16
Untuk profesi yang luhur (officium nobile) juga terdapat dua prinsip yang penting,
yaitu: (1) mendahulukan kepentingan orang yang dibantu dan (2) mengabdi pada tuntutan
luhur profesi. Kode etik bagi penegak hukum sangat diperlukan sebagai pembela kebenaran
dan keadilan para pemangku profesi hukum agar bekerja dengan memperhatikan kode

14

Sumaryono, E, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 35
Bartens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm. 282-283.
16
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Cet. Ke-3, Yogyakarta,,
2000, hlm. 68

15

etiknya. Runtuhnya komitmen terhadap kode etik akan identik dengan aroma terjadinya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat kental pada penyelenggaraan keadilan.

17

Harkristuti mengkaitkan kode etik profesi itu dengan kinerja suatu profesi yang mengandung
“social values and responsibilities”, dan karena itu menyamakan dengan akhlak atau moral
(tentang apa yang benar atau tidak, dan apa yang salah atau buruk).

18

Dengan begitu kode

etik profesi diharapkan mampu menjadi dorongan moral profesi untuk selalu cermat dan
benar dalam menjalankan profesinya itu di masyarakat. Sifat dan orientasi kode etik
hendaknya:19
a. Singkat, sederhana, jelas dan konsisten; masuk akal, dapat diterima, praktis
dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap; dan positif dalam
formulasinya.
b. Kode etik ditujukan kepada rekan, profesi, nasabah/ pemakai, Negara dan
masyarakat. Kode etik diciptakan untuk kemanfaatan masyarakat dan bersifat
diatas sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status.
c. Sebuah kode etik menunjukan penerimaan profesi atas tanggung jawab dan
kepercayaan masyarakat yang telah memberikannya.
Orientasi membangun kode etik profesi hukum juga terkait dengan arah kebijakan
pembangunan hukum nasional yang antara lain terciptanya integritas moral dan
profesionalisme aparat penegak hukum sekaligus untuk menumbuhkan kepercayaan
masyarakat dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum. Tingginya
komitmen profesi hukum terhadap kode etik akan membuktikan bahwa kita benar sebagai
Negara hukum, sebaliknya matinya profesi hukum yang ditandai dengan redahnya komitmen
profesi hukum terhadap kode etiknya hanya akan menjauhkan ciri sebagai Negara hukum.
Dengan demikian, orientasi kode etik profesi hukum setidaknya ditujukan untuk: 20
a. dapat menjamin keadilan (“ensuring justice”);

17

Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2010, hlm. 83
Harkristuti Harkrisnowo, http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id.
19
Kuat Puji Prayitno, Op.Cit. hlm. 84
20
Ibid. hlm. 85.

18

b. dapat menumbuhkan kepercayaan dan respek masyarakat (“public trust and
respect”);
Sebaliknya, kegagalan dalam mengemban kode etik profesi akan menyebabkan rusaknya
kepercayaan masyarakat kepada aparat, merusak (mengeksploitasi) sumber daya non fisik,
merusak (“sustainable development”) dan akhirnya akan merusak kualitas kehidupan.
Magnis-Suseno menyatakan, untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut
moralitas yang tinggi dari pelakunya. Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah : (1) berani
berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi, (2) sadar akan
kewajibannya, dan (3) memiliki idealisme yang tinggi.

SIKAP MORAL PENUNJANG ETIKA PROFESI
SIKAP MORAL
PENUNJANG ETIKA
PROFESI

1
BERTINDAK ATAS
DASAR TEKAD

-

2
KESADARAN
BERKEWAJIBAN

Menentukan sikap (sesuai tuntutan - Menunjang tinggi etika profesi :
etika profesi)

* bukan sekedar hobi melainkan

3
IDEALISME

- Mempraktikkan profesi:
* bukan mencari untung

-

Tidak melepas sikap hanya karna

* sadar akan kewajiban

* mengabdi pada sesama

terdesak:
* perasaan kurang senang
* perasaan malu
* Emosi/nafsu sendiri

(Sumber: Franz Magnis Suseno, dkk)

Selanjutnya, Frans Magnis menjelaskan bahwa profesi pada umumnya dan profesi
hukum khususnya adalah kelompok yang mempunyai kekuasaan berdasarkan hukum untuk
bertindak atas nama hukum. Profesi juga memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu,
karena itu ia mempunyai tanggung jawab khusus. Ada sisi negatif ketika monopoli kekuasaan
dan keahlian itu tidak dijalankan secara “amanah”. Penggunaan kekuasaan secara
bertanggung jawab (cermat, adil, manusiawi) maka profesi itu akan menjadi penjamin yang
utama (prime guarantor), akan tetapi penggunaan yang berkhianat maka profesi itu akan
menjadi pengancam utama (prime threatener) bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Berangkat dari pendapat diatas maka penulis berpendapat bahwa, sama halnya denga
profesi lainnya yang membutuhkan kode etik, BK sebagai lembaga yang bertugas mengawasi
serta mengontrol kinerja anggota dewan juga memerlukan kode etik sebagai acuan dalam
bertindak. Sehingga dalam melaksanakan fungsinya, baik fungsi legislasi, fungsi anggaran
maupun fungsi pengawasan ini dapat sesuai dengan tujuannya. Kode Etik bagi anggota
dewan sendiri adalah norma-norma yang wajib dipatuhi oleh setiap pimpinan dan anggota
DPRD selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibiltas DPRD. Kode Etik DPRD bertujuan untuk menjaga citra, martabat, kehormatan
dan kredibilitas Anggota DPRD serta membantu Anggota DPRD dalam melaksanakan tugas,
wewenang dan kewajiban serta tanggung jawabnya kepada pemilih, masyarakat, bangsa dan
Negara. Kode etik tersebut terwujud dalam tata tertib dan Kode Etik DPRD. Kode etik sendiri

diperlukan sebagai batasan tentang apa yang harus/boleh dilakukan dan apa yang tidak harus
/tidak boleh dilakukan oleh seorang anggota dewan.
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan
pengembangan bagi profesi. Ketentuan mengenai kode etik anggota dewan diatur dengan
Peraturan DPRD tentang kode etik. Peraturan DPRD tentang kode etik paling sedikit memuat
ketentuan tentang:
a. pengertian kode etik;
b. tujuan kode etik; dan
c. pengaturan mengenai:












sikap dan perilaku anggota DPRD;
tata kerja anggota DPRD;
tata hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah;
tata hubungan antaranggota DPRD;
tata hubungan antara anggota DPRD dan pihak lain;
penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan;
kewajiban anggota DPRD;
larangan bagi anggota DPRD;
hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD;
sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi; dan
rehabilitasi.

Belakangan ini pelanggaran terhadap kode etik anggota DPRD di berbagai daerah
semakin marak dan sering terjadi. BK sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD yang
bersifat tetap dinilai dapat menjamin tegaknya tata tertib dan kode etik DPRD ternyata
hasilnya tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Pelanggaran terhadap kode etik dan
tata tertib anggota dewan ini pun sering luput dari perhatian BK. Menurut pasal 89 ayat (1)
PP No 16 tahun 2010 DPRD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh
setiap anggota DPRD selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan,
citra,dan kredibilitas DPRD.
C. Kedudukan Aparat Penegak Kode Etik

Sama halnya dengan aparat penegak hukum, hal hal yang dilakukan oleh aparat
penegak kode etik adalah upaya-upaya atau usaha untuk melaksanakan kode etik
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi pelanggaran dan jika
tejadi pelanggaran dilakukan upaya untuk memulihkan kode etik yang dilanggar itu agar
dapat ditegakan kembali. Penegakan kode etik dalam arti sempit adalah memulihkan hak dan
kewajiban yang telah dilanggar, sehingga timbul keseimbangan seperti semula.

21

Dalam hal

ini kedudukan aparat penegak kode etik sangat erat kaitannya dengan kebebasan dan
tanggung jawab. Etika membebani kita dengan kewajiban moral untuk bertanggung jawab,
yang berbeda dengan kewajiban dalam norma hukum, kewajiban moral ini tidak mempunyai
kekuatan mengikat untuk dipaksakan penerapannya. Norma moral bersifat otonom, bukan
heteronom. Sehingga penegakannya tidak dapat dipaksakan melalui daya pemaksa eksternal
(oleh penguasa). Itulah sebabnya selalu ada kebebasan bagi pemilik moralitas itu untuk
berbuat atau tidak berbuat. 22
Kebebasan dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kebebasan yang kita terima dari
orang lain, yang disebut dengan kebebasan sosial. Kedua, kebebasan dalam arti kemampuan
kita untuk menentukan tindakan kita sendiri, yang disebut dengan kebebasan eksistensial.

23

Kebebasan sosial ini selalu dibatasi oleh orang lain. Magnis Suseno mengingatkan agar
dalam membicarakan kebebasan perlu dibedakan kebebasan mana yang sedang dibicarakan,
apakah kebebasan sosial atau eksistensial. Dalam hal membicarakan kebebasan sosial, secara
hakiki kebebasan itu perlu dibatasi oleh berbagai pihak yang berwenang. Kendati demikian,
pembatasan itu perlu dipertanggung jawabkan, baik alas an maupun caranya. Pembatasan ini
juga harus normative. Hanya kalau orang tidak mau menerima pembatasan itu secara baik,

21

Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 120.
Dardji Darmodiharjo, Ibid, hlm. 261.
23
Franz Magnis Suseno, Ibid, hlm. 22-32.
22

maka pembatasan-pembatasan yang telah diberi status hukum, boleh juga dipaksaan secara
fisik. 24
Ditambahkannya bahwa kebebasan eksistensial sebagai kemampuan manusia untuk
menetukan dirinnya, akan berkembang dan menjadi kuat apabila orang itu makin bersedia
untuk bertanggung jawab. Dan sebaliknya, semakin orang menolak untuk bertanggung jawab,
maka semakin sempit dan lemah kepribadiannya. Jadi semakin berkurang juga kebebasannya
untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan (eksistensial) yang bertanggung jawab
menyatakan diri dalam pola moralitas yang otonom. Manusia bermoralitas otonom
melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya bukan karena takut atau merasa tertekan,
melainkan karena ia sendiri sadar. Sehingga menyadari nilai dan makna serta perlunya
kewajiban dan tanggung jawabnya itu. Oleh karena itu, dalam sebuah organisasi penegak
kode etik, diperlukan adanya independensi, serta kebebasan yang bertanggung jawab
sehingga ia dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Kode etik profesi sebaiknya disusun oleh para penyandang profesi yang bersangkutan
dengan dibantu ahli-ahli etika. Dalam penyusunannya, kepentingan masyarakat luaslah yang
harus diprioritaskan, bukan semata-mata kepentingan profesi. Itulah sebabnya pengawasan
pemerintah sangat diperlukan, namun tidak boleh sampai mengancam independensi profesi
tersebut. Dalam pelaksanaan etika profesi ini selanjutnya, selain dari pemerintah, pengawasan
dilakukan oleh badan semacam majelis pertimbangan kehormatan profesi. Dalam hal ini
pengawasan kode etik angggota DPRD dilakukan oleh BK DPRD. Pengaturan mengenai
sikap dan perilaku anggota DPRD itu sendiri memuat ketentuan antara lain: 25
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. mempertahankan keutuhan negara serta menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa;
c. menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia;
d. memiliki integritas tinggi dan jujur;
24

Ibid.
Pasal 90 PP No 16 Tahun 2010

25

e. menegakkan kebenaran dan keadilan;
f. memperjuangkan aspirasi masyarakat tanpa memandangperbedaan suku,
agama, ras, asal usul, golongan, dan jenis kelamin;
g. mengutamakan pelaksanaan tugas dan kewajiban anggota DPRD daripada
kegiatan lain di luar tugas dan kewajiban DPRD; dan
h. menaati ketentuan mengenai kewajiban dan larangan bagi anggota DPRD
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Anggota DPRD sendiri juga sudah memiliki aturan mengenai tata kerja anggota
DPRD yang dimuat dalam sebuah aturan, yang paling tidak harus memuat ketentuan
mengenai: 26
a. menunjukkan profesionalisme sebagai anggota DPRD;
b. melaksanakan tugas dan kewajiban demi kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat;
c. berupaya meningkatkan kualitas dan kinerja;
d. mengikuti seluruh agenda kerja DPRD, kecuali berhalangan atas izin dari
pimpinan fraksi;
e. menghadiri rapat DPRD secara fisik;
f. bersikap sopan dan santun serta senantiasa menjaga ketertiban pada setiap
rapat DPRD;
g. menjaga rahasia termasuk hasil rapat yang disepakati untuk dirahasiakan
sampai dengan dinyatakan terbukauntuk umum;
h. memperoleh izin tertulis dari pejabat yang berwenang untuk perjalanan ke luar
negeri, baik atas beban APBD maupun pihak lain;
i. melaksanakan perjalanan dinas atas izin tertulis dan/atau penugasan dari
pimpinan DPRD, serta berdasarkan ketersediaan anggaran sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
j. tidak menyampaikan hasil dari suatu rapat DPRD yang tidak dihadirinya
kepada pihak lain; dan
k. tidak membawa anggota keluarga dalam perjalanan dinas, kecuali atas alasan
tertentu dan seizin pimpinan DPRD.

Pengawasan internal oleh Badan Kehormatan Profesi biasanya mengalami kendala
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 27
1. kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2. proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3. belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan
pengaduan, memantau proses serta hasilnya (tidak adanya akses);
4. semangat membela korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman
tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi
26

Pasal 91 PP No 16 Tahun 2010.
Hermansyah, “Peran Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Hakim.” http://www.pemantauperadilan.com.

27

yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan
keuntungan dari kondisi yang buruk itu;
5. tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk
menindaklanjuti hasil pengawasan.

Profesi penegakan hukum dan penegakan keadilan didalam masyarakat, dalam kedudukannya
sebagai profesi luhur, menuntut kejelasan dan kekuatan moral yang tinggi. Franz Magnis
Suseno menunjukan bahwa ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para
penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu :
a. berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.
b. sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas
profesionalnya.
c. memiliki idealisme sebagai perwujudan makna “mission statement” masingmasing organisasi profesioanalnya.
Artinya, setiap penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing
dituntut untuk bertindak dengan tekad dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan
tuntutan profesinya. Ia (penegak hukum) harus memiliki kepribadian moral yang kuat. Ia
bukanlah orang yang hanya mengkuti perasaan dan emosinya saja. Ia harus bebas dari rasa
malu, rasa malas, takut bertindak bahkan harus bebas dari perasaan sentiment maupun
kebencian. Oleh karena itu, demi terpuruknya tekad dan semangat profesionalnya, para
penegak atau pemelihara hukum harus memiliki kesadaran akan kewajiban profesionalnya.
Moralitas para penegak hukum harus tampak dalam keyakinan professional bahwa mereka
berkewajiban untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Jadi, kiranya jelas bahwa
tuntutan-tuntutan etika profesi luhur hanya dapat dipenuhi oleh orang yang memiliki
idealisme. Idealisme disini maksudnya adalah penegak hukum dengan sungguh-sungguh dan

tanpa pamrih mau melayani sesame menurut jalur-jalur yang digariskan dalam cita-cita dan
kode etik profesinya.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100