BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Problem Based Learning Berbantuan Video untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD N 5 Sindurejo Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan Semester II Tahu

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Teori yang dikaji dalam penelitian ini diantaranya yaitu model Problem
Based Learning, media video, pembelajaran IPA dan hasil belajar dimana tiaptiap teori akan dikaji secara lebih terperinci didalam pembahasan berikut ini.
2.1

Model Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu reformasi kurikulum

yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan keterampilan baik pada aspek
kognitif, afektif maupun psikomotrotik. Problem Based Learning (PBL) pertama
kali dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Case Western Reserve pada
akhir tahun 1950-an, selanjutnya Problem Based Learning (PBL) dikembangkan
oleh Prof. Howard Barrows dalam pembelajaran ilmu medis di Fakultas
Kedokteran McMaster University Canada pada tahun 1968 (Taufiq, 2009:12).
Problem Based Learning (PBL) ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi
siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan
diterapkan dengan menggunakan model pemecahan masalah.
Ada beberapa definisi dan interpretasi Problem Based Learning (PBL)
yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan, diantaranya yaitu menurut
Dutch 1995 (Taufiq, 2009:21), “Problem Based Learning (PBL) adalah model

pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”
bekerjasama dalam kelompok untuk mencari solusi dari masalah yang nyata”.
Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan
analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. Problem Based Learning (PBL)
mempersiapkan siswa untuk dapat berpikir kritis, analitis, dan untuk mencari
serta menggunakan sumber belajar yang sesuai. Menurut

Boud dan Felleti

(Ngalimun 2014:89) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan
pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar (siswa atau
mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured atau open
ended melalui stimulus dalam belajar. Arends (Trianto, 2012:92) mengatakan
bahwa

PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa

8

9


mengajarkan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiri dan ketrampilan berfikir
tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri.
Menurut Tan (Rusman, 2013:229) “Problem Based Learning (PBL)
merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam Problem Based Learning
(PBL) kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja
kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan,
mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara
berkesinambungan”.

Margetson

(Rusman,

2013:230)

mengatakan

bahwa


“Problem Based Learning (PBL) membantu meningkatkan perkembangan
keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif,
kritis, dan belajar aktif. PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah,
komunikasi, kerja kelompok dan ketrampilan interpersonal dengan baik”.
Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL)
dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan
pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah nyata untuk memulai
pembelajaran dan merupakan salah satu strategi pembelajaran inovatif yang dapat
memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa sehingga siswa dapat belajar untuk
berpikir kritis serta analitis dalam mencari solusi pemecahannya secara
berkelompok. Problem Based Learning (PBL) dirancang dengan menampilkan
masalah-masalah yang menuntut siswa untuk mengeksplor pengetahuannya agar
dapat memperoleh pengetahuan yang baru dari hasil penemuannya sendiri
sehingga siswa menjadi terbiasa dan mahir dalam memecahkan suatu masalah
yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Tan (Rusman, 2013:232) berpendapat bahwa Problem Based Learning
memiliki kharakteristik sebagai berikut: a) permasalahan menjadi starting point
dalam belajar, b) permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di
dunia nyata yang tidak terstuktur, c) permasalahan membutuhkan perspektif ganda

(multiple perspective), d) permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki
oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi
kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, e) sangat mengutamakan belajar

10

mandiri (self-direct learning), f) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam,
g) pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif yaitu pembelajar bekerja
dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan
melakukan presentasi.
Arends 1997 (Trianto, 2011:93) berpendapat bahwa Problem Based
Learning (PBL) memiliki karakteristik meliputi:
a) pengajuan pertanyaan atau masalah. Problem Based Learning dimulai
dengan pengajuan masalah, bukan mengorganisasikan materi di sekitar
prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu. Masalah yang
diajukan berhubungan dengan situasi kehidupan nyata pembelajar untuk
menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai
macam solusi terhadap masalah tersebut,
b) fokus pada interdisiplin ilmu. Meskipun pembelajaran berbasis masalah
berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, dan ilmu-ilmu

sosial), masalah yang dipilih harus benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya siswa dapat meninjau masalah itu dari banyak mata
pelajaran,
c) penyelidikan autentik. Problem Based Learning mengharuskan siswa
melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata
terhadap masalah nyata.
d) menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis
masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk karya siswa tersebut
dapat berupa laporan, model fisik, dan video. Karya nyata tersebut
kemudian didemosntrasikan kepada siswa yang lain.
e) Kerja sama. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerja sama satu sama lain, secara berpasangan atau secara
berkelompok.
Menurut Ngalimun (2014: 89-90) PBL memiliki karakteristi-karaktristik
sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa
masalah

yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3)


mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4)
memberikan tanggung jawab yang benar kepada pembelajar dalam membentuk
dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan
kelompok kecil, (6) menuntut pembelajar untuk mendemonstrasikan apa yang
telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja
Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses Problem Based
Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa tiga unsur yang esensial dalam proses

11

Problem Based Learning (PBL) yaitu adanya suatu permasalahan, pembelajaran
berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil.
Problem Based Learning (PBL) tidak dirancang untuk membantu guru
memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Menurut Arends
(Trianto, 2011:94-96) PBL memiliki tujuan untuk membantu siswa dalam
beberapa hal berikut ini: (1) mengembangkan kemampuan berpikir dan
keterampilan pemecahan masalah, (2) pemodelan peranan orang dewasa, artinya
pembelajaran berdasarkan masalah dapat mendorong terjadinya pengamatan dan
dialog antara siswa dengan narasumber sehingga secara bertahap siswa dapat

memahami peran orang yang diamati atau narasumber (ilmuwan, guru, dokter,
dan sebagainya), (3) pembelajar yang otonom dan mandiri.
Agar Problem Based Learning dapat berjalan dengan baik, maka dalam
pelaksanaan kegiatan model Problem Based Learning diperlukan upaya
perencanaan yang benar-benar matang. Menurut Sugiyanto (2010:156-159) dalam
merancang Problem Based Learning harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu:
a. Memutuskan sasaran dan tujuan
Problem Based Learning dirancang untuk membantu mencapai tujuantujuan seperti meningkatkan keterampilan intelektual dan investigasi,
memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa untuk menjadi
pembelajar yang mandiri.
b. Merancang situasi bermasalah yang tepat
Sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima kriteria
penting, yaitu: (1) situasi yang autentik. Hal ini berarti masalah yang
dipakai harus dikaitkan dengan pengalaman nyata siswa, (2) masalah
tersebut semestinya menciptakan misteri atau teka-teki, (3) masalah
tersebut seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektual, (4) masalah haruslah memiliki cakupan yang
luas sehingga memberikan kesempatan bagi guru untuk memenuhi
tujuan instruksionalnya, (5) masalah yang baik harus mendapatkan
manfaat dari usaha kelompok.

c. Mengorganisasikan sumber daya dan merancang logistik

12

PBL mendorong siswa untuk bekerja dengan bahan dan alat. Sebagian
beralokasi diruang kelas, sebagian lainnya di perpustakaan atau
laboratorium komputer dan sebagian diluar sekolah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat
dilakukan dengan tahap-tahap tertentu. Adapun beberapa tahapan pembelajaran
Problem Based Learning menurut beberapa ahli pendidikan, diantaranya yaitu
menurut Solso (Wena, 2011:56) tahapan Problem Based Learning (PBL) adalah :
(1) identifikasi permasalahan, (2) representasi atau penyajian permasalahan, (3)
perencanaan pemecahan masalah, (4) menerapkan atau mengimplementasikan
perencanaan pemecahan masalah, (5) menilai perencanaan pemecahan masalah,
(6) menilai hasil pemecahan masalah. Menurut Hosnan (2014: 301) penerapan
model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima langkah utama yang
dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situsai masalah dan diakhiri
dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Adapun tahapanya sebagai
berikut: (1)orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasi siswa untuk belajar,
(3) membimbing penyelidikan individual dan kelompok, (4) mengembangkan dan

menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan
masalah.
Proses

Problem Based Learning (PBL) juga dideskripsikan oleh

Sugiyanto (2010:159) sebagai berikut: (1) orientasi permasalahan kepada siswa,
(2) mengorganisasikan siswa untuk mandiri, (3) membantu investigasi mandiri
dan

kelompok,

(4)

mengembangkan

dan

mempresentasikan


hasil,

(5)

menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Dari beberapa uraian
mengenai tahap-tahap pembelajaran Problem Based Learning (PBL), maka dapat
disimpulkan bahwa tahap-tahap pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
dan perilaku yang dibutuhkan oleh guru, yaitu:

13

Tabel 1
Tahap Pelaksanaan Problem Based Learning
No
1.

2.

Fase
Orientasi

permasalahan kepada
siswa
Mengorganisasikan
siswa untuk mandiri

3.

Membantu investigasi
mandiri dan kelompok

4.

Mengembangkan dan
mempresentasikan
hasil

5.

Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah

Perilaku Guru
Guru membahas tentang tujuan pembelajaran,
menyampaikan masalah, dan memotivasi siswa
untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Guru membentuk kelompok (@kelompok terdiri
dari 4-6 anggota), membantu mengidentifikasi
masalah dan mengorganisasi tugas siswa terkait
dengan permasalahannya
Guru memotivasi tiap kelompok untuk
mengumpulkan data, menyusun hipotesis,
melakukan
penyelidikan,
menyimpulkan
pemecahan masalah dan uji hasil dari pemecahan
masalah.
Guru membantu merencanakan dan menyiapkan
hasil investigasi yang telah dilakukan seperti
laporan, rekaman, video atau sebuah model (alat
peraga).
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan

Berdasarkan penjelasan Trianto (2011: 96-97) model Problem Based
Learning (PBL) memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan model Problem
Based Learning (PBL) sebagai model pembelajaran adalah: (1) realistic dengan
kehidupan siswa, (2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa, (3) memupuk sifat
inquiri siswa, (4) retensi konsep jadi kuat, dan (5) memupuk kemampuan problem
solving. Sedangkan kelemahan model Problem Based Learning (PBL) antara lain:
(1) persiapan pembelajaran (alat, masalah, konsep) yang kompleks, dan (2)
konsumsi waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan. Menurut Smith
(Amir, 2010: 27) terdapat beberapa manfaat yang akan diperoleh pembelajar
apabila menerapkan Problem Based Learning diantaranya yaitu: (1) menjadi lebih
ingat dan meningkat pemahamannya terhadap materi ajar yang sedang dipelajari,
(2) meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan, (3) mendorong untuk
berfikir kritis dan kreatif, (4) membangun kerja tim, kepemimpinan, dan

14

keterampilan sosial, (5) membangun kecakapan belajar (life-long learning skills),
(6) memotivasi pembelajar
Menurut Sanjaya (2011:220-221) model Problem Based Learning (PBL)
memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan model Problem Based Learning
(PBL) sebagai model pembelajaran adalah: 1) teknik yang cukup bagus untuk
lebih memahami isi pelajaran, 2) dapat menantang kemapuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa, 3)
meningkatkan aktifitas siswa, 4) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer
pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, 5) dapat
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang
mereka miliki dalam dunia nyata, dan 6) dapat mengembangkan kemampuan
siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemapuan mereka untuk
menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Sedangkan kelemahan model Problem
Based Learning (PBL) antara lain: 1) siswa tidak memiliki minat atau tidak
mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan,
maka mereka akan enggan untuk mencoba, 2) keberhasilan pembelajaran
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, dan 3) tanpa pemahaman mereka
berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan
belajar apa yang mereka ingin pelajari.

2.2

Media Video

2.2.1

Pengertian Media
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari ”medium”

yang secara harfiah berarti ”perantara” atau ”pengantar” yaitu perantara atau
pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Education Association (Suparni
dan Ibrahim, 2012:111) mendefinisikan “media sebagai benda yang dapat
dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca, dibicarakan beserta instrumen yang
dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi
efektifitas progam pembelajaran”.
Menurut Sudono (2008:44) “agar tujuan pembelajaran tercapai dan
tercapainya proses belajar mengajar yang tidak memembosankan, guru dapat

15

menggunakan media secara tepat”. Digunakanya media dalam pembelajaran yaitu
agar dapat menjembatani antara konsep konsep materi yang abstrak menjadi
konkrit, sehingga anak dapat memahami materi yang disajikan guru. Untuk itu,
maka penggunaan media dalam proses pembelajaran diperlukan demi terciptanya
tujuan pembelajaran secara optimal.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Bab VII Standar Sarana dan Prasarana, pasal 42 menegaskan bahwa
1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,
bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan
2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang
kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha,
ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit
produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat olahraga, tempat
beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/ tempat lain yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan
berkelanjutan.
Media pendidikan memegang peranan penting dalam pembelajaran.
Penggunaan media pembelajaran yang tepat akan lebih mudah dalam memahami
materi pelajaran yang disampaikan. Sebagai salah satu komponen pembelajaran,
media tidak bisa luput dari pembahasan sistem pembelajaran secara menyeluruh.
Pemanfaatan media seharusnya merupakan bagian yang harus mendapatkan
perhatian guru dalam setiap kegiatan pembelajaran. Namun kenyataannya bagian
inilah yang masih sering terabaikan dengan berbagai alasan. Alasan yang sering
muncul antara lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar, sulit
mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini
sebenarnya tidak terjadi jika setiap guru telah membekali diri dengan pengetahuan
dan keterampilan dalam hal media pembelajaran.
Menurut Suparni & Ibrahim (2012:112) jenis Media pembelajaran
meliputi 3 bentuk :
1.

2.

Media visual
Media visual dapat dikelompokkan menjadi media media visual yang
materinya tidak diproyeksikan seperti foto, garis, model, realita,dan
media visual yang diproyeksikan yaitu OHP,LCD,dll
Media audio

16

3.

Media audio dibagi menjadi media yang menggunakan alat perekam
dan audio yang menggunakan pemancaran gelombang radio.
Media audio visual
Media audio visual terdiri dari paduan foto dan suara, paduan slide dan
suara, film suara.
Media pada hakekatnya merupakan salah satu komponen sistem

pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan bagian integral
dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh. Akhir dari
pemilihan

media

adalah

penggunaaan

media

tersebut

dalam

kegiatan

pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berinteraksi dengan media
yang kita pilih. Apabila kita telah menentukan alternatif media yang akan kita
gunakan dalam pembelajaran, jika sudah tersedia maka kita tinggal meminjam
atau membelinya saja. Itupun jika media yang ada memang sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah kita rencanakan, dan terjangkau harganya. Jika media
yang kita butuhkan temyata belum tersedia, mau tak mau kita harus membuat
sendiri program media sesuai keperluan tersebut.
Jadi, pemilihan media itu perlu kita lakukan agar kita dapat menentukan
media yang terbaik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sasaran didik.
Untuk itu, pemilihan jenis media harus dilakukan dengan prosedur yang benar,
karena begitu banyak jenis media dengan berbagai kelebihan dan kelemahan
masing-masing.
Menurut Santyasa dalam Fenti (2012:12) media memiliki beberapa fungsi
diantaranya :
a. Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada
masa lampau. Dengan perantaraan gambar, potret, slide, film,
video, atau media yang lain, siswa dapat memperoleh gambaran
yang nyata tentang benda/ peristiwa sejarah.
b. Mengamati benda atau peristiwa yang sukar dikunjungi baik
karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang. Misalnya, video
tentang kehidupan harimau di hutan, keadaan dan kesibukan di
pusat reaktor nuklir, dan sebagainya.
c. Memperoleh gambaran yang jelas tentang benda/hal-hal yang
sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak
memungkinkan, baik karena terlalu besar atau terlalu kecil.
Misalnya dengan perantaraan paket siswa dapat memperoleh
gambaran yang jelas tentang bendungan dan kompleks

17

pembangkit listrik, dengan slide dan film siswa memperoleh
gambaran tentang bakteri, amuba, dan sebagainya.
d. Mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara
langsung. Misalnya, rekaman suara denyut jantung dan
sebagainya.
e. Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati
secara langsung karena sukar ditangkap. Dengan bantuan gambar,
potret, slide, film atau video siswa dapat mengamati berbagai
macam serangga, burung hantu, kalelawar, dan sebagainya.
f. Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya
untuk didekati. Dengan slide, film, atau video siswa dapat
mengamati pelangi, gunung meletus, pertempuran, dan
sebagainya.
2.2.2

Pengertian Video
Video merupakan salah satu jenis media audio visual. Media audio visual

adalah media yang mengandalkan indera pendengaran dan indera penglihatan.
Media ini dapat menambah minat siswa dalam belajar karena siswa dapat
menyimak materi sekaligus melihat gambar. Sadiman dkk (2008:74) “video
adalah media audio-visual yang menampilkan gerak, media yang menyajikan
pesan yang berisi fakta (kejadian/peristiwa penting, berita) maupun fiktif (seperti
misalnya cerita), bisa bersifat informatif edukatif maupun instruksional”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “video merupakan rekaman
gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan lewat pesawat televisi,
atau dengan kata lain video merupakan tayangan gambar bergerak yang disertai
dengan suara”. Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidivisum yang
artinya melihat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat.
Menurut Nugent (Smalldino, 20112:404), banyak guru menggunakan
video untuk memperkenalkan sebuah topik, menyajikan isi materi, menyediakan
perbaikan (termasuk evaluasi), dan meningkatkan pengayaan. Penggunaan video
bisa digunakan di seluruh lingkungan pengajaran di kelas, baik dalam kelompok
kecil, klasikal, maupun siswa orang-perorangan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa video merupakan salah
satu jenis media audio-visual yang dapat menggambarkan suatu objek yang
bergerak bersama-sama dengan suara alamiah atau suara yang sesuai.
Kemampuan video melukiskan gambar hidup dan suara memberikan daya tarik

18

tersendiri. Video dapat menyajikan informasi, memaparkan proses, menjelaskan
konsep-konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan, menyingkat atau
memperpanjang waktu, dan mempengaruhi sikap.
2.2.3 Media Video dalam Pembelajaran
Ronal Anderson, (Riyana, 2007) mengemukakan tentang beberapa tujuan
dari pembelajaran menggunakan media video yaitu mencakup tujuan kognitif,
afektif, dan psikomotor. Ketiga tujuan ini dijelaskan sebagai berikut :
a.

b.

c.

Tujuan Kognitif
1) Dapat mengembangkan kemampuan kognitif yang
menyangkut kemampuan mengenal kembali dan kemampuan
memberikan rangsangan berupa gerak dan sensasi.
2) Dapat mempertunjukkan serangkaian gambar diam tanpa
suara sebagaimana media foto dan film bingkai meskipun
kurang ekonomis.
3) Video dapat digunakan untuk menunjukkan contoh cara
bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan, khususnya
menyangkut interaksi manusiawi.
Tujuan Afektif
Dengan menggunakan efek dan tekhnik, video dapat menjadi
media yang sangat baik dalam mempengaruhi sikap dan emosi.
Tujuan Psikomotorik
1) Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan
contoh keterampilan yang menyangkut gerak. Dengan alat ini
diperjelas baik dengan cara memperlambat ataupun
mempercepat gerakan yang ditampilkan.
2) Melalui video siswa langsung mendapat umpan balik secara
visual terhadap kemampuan mereka sehingga mampu
mencoba keterampilan yang menyangkut gerakan tadi.

Melihat beberapa tujuan yang dipaparkan di atas, sangatlah jelas peran
video dalam pembelajaran. Video juga bisa dimanfaatkan untuk hampir semua
topik, model-model pembelajaran, dan setiap ranah: kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Pada ranah kognitif, siswa dapat mengobservasi rekreasi dramatis
dari kejadian sejarah masa lalu dan rekaman aktual dari peristiwa terkini, karena
unsur warna, suara dan gerak di sini mampu membuat karakter berasa lebih hidup.
Selain itu dengan melihat video, setelah atau sebelum membaca materi, dapat
memperkuat pemahaman siswa terhadap materi ajar. Pada ranah afektif, video
dapat memperkuat siswa dalam merasakan unsur emosi dan penyikapan dari

19

pembelajaran yang efektif. Pada ranah psikomotorik, video memiliki keunggulan
dalam memperlihatkan bagaimana sesuatu bekerja, video pembelajaran yang
merekam kegiatan motorik atau gerak dapat memberikan kesempatan pada siswa
untuk mengamati dan mengevaluasi kembali kegiatan tersebut. Sebagai bahan ajar
non cetak, video kaya akan informasi untuk diinformasikan dalam proses
pembelajaran karena pembelajaran dapat sampai ke peserta didik secara langsung.
Selain itu, video menambah dimensi baru dalam pembelajaran, peserta didik tidak
hanya melihat gambar dari bahan ajar cetak dan suara dari program audio, tetapi
di dalam video, peserta didik bisa memperoleh keduanya, yaitu gambar bergerak
beserta suara yang menyertainya.
Manfaat media video menurut Andi Prastowo (2012 :302), antara lain : a)
memberikan

pengalaman

yang

tak

terduga

kepada

peserta

didik,

b)

memperlihatkan secara nyata sesuatu yang pada awalnya tidak mungkin bisa
dilihat, c) menganalisis perubahan dalam periode waktu tertentu, d) memberikan
pengalaman kepada peserta didik untuk merasakan suatu keadaan tertentu, dan e)
menampilkan presentasi studi kasus tentang kehidupan sebenarnya yang dapat
memicu diskusi peserta didik.
Berdasarkan penjelasan di atas, keberadaan media video sangat tidak
disangsikan lagi di dalam kelas. Dengan video siswa dapat menyaksikan suatu
peristiwa yang tidak bisa disaksikan secara langsung, berbahaya, maupun
peristiwa lampau yang tidak bisa dibawa langsung ke dalam kelas. Siswa dapat
memutar kembali video tersebut sesuai kebutuhan dan keperluan mereka.
Pembelajaran dengan media video menumbuhkan minat serta memotivasi siswa
untuk selalu memperhatikan pelajaran.

2.3

Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang penting untuk

dipelajari. Hal ini dikarenakan IPA merupakan ilmu yang membahas tentang fakta
serta gejala alam. Sejalan dengan pentingnya IPA sebagai ilmu yang mempelajari
fakta dan gejala alam, IPA juga berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya berupa penguasaan kumpulan

20

pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan (KTSP Standar Isi 2006).
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar diharapkan dapat memberi berbagai
pengalaman pada siswa dengan cara melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang
relevan. Sehingga pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat menjadi
wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah (KTSP Standar Isi 2006).
Ilmu pengetahuan Alam diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat
diidentifikasikan. Sehingga dengan adanya pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
di SD, siswa dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap
ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup.
Oleh karena itu pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan
pengembangan ketrampilan proses dan sikap ilmiah (KTSP Standar Isi 2006).
2.3.1

Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD
Pembelajaran IPA di sekolah selalu mengacu pada kurikulum IPA yang

berlaku di Indonesia sejak tahun 2006 yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan). Kurikulum ini diberlakukan agar tujuan pembelajaran IPA dapat
tercapai. Di dalam kurikulum IPA yang telah berlaku di Indonesia, tujuan
pembelajaran IPA telah diatur dalam Permendiknas RI nomor 22 Tahun 2006
yang meliputi : 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2)
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat,

dan

dapat

diterapkan

dalam

kehidupan

sehari-hari.

3)

Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat. 4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam

21

sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. 5) Meningkatkan
kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan
lingkungan alam. 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7) Memperoleh bekal
pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan
pendidikan ke SMP/MTS.
2.3.2

Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, perlu ada materi yang

dibahas. Materi itu dibatasi oleh ruang lingkupnya yang tertera dalam
Permendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 yang meliputi aspek- aspek sebagai
berikut: 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu

manusia, hewan,

tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda/materi,
sifat-sifat dan kegunaannya meliputi benda cair, padat dan gas. 3) Energi dan
perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat
sederhana. 4) Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan bendabenda langit lainnya. 5) Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang
merupakan penerapan konsep sains dan saling keterkaitannya dengan lingkungan,
teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya teknologi sederhana
termasuk merancang dan membuat.
2.3.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA
Ruang lingkup yang dipelajari dalam IPA dalam rangka untuk mencapai
Standar untuk mengetahui tercapainya tujuan pembelajaran dapat ditetapkan
melalui SK dan KD. BNSP telah melakukan penyusunan Standar Isi yang
kemudian

dituangkan

dalam

Peraturan

Menteri

Pendidikan

Nasional

(Permendiknas) nomor 22 tahun 2006 yang mencakup komponen:
1. Standar Kompetensi (SK), merupakan ukuran kemampuan
minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta
didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan.
2. Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta
didik yang cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan
SK peserta didik.

22

Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk
membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang
difasilitasi oleh guru. Sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa SDN 5
Sindurejo, maka akan dilakukan penelitian dengan menggunakan model Problem
Based Learning pada mata pelajaran IPA tentang Sumber Daya Alam (SDA).
Adapun perincian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang digunakan
sebagai materi dalam pelaksanaan proposal penelitian kelas 4 semester II sebagai
berikut ini (KTSP 2006).
Tabel 2
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Kelas 4 Semester II
Standar Kompetensi
11. Memahami
hubungan antara
sumber daya
alam dengan
lingkungan,
teknologi, dan
masyarakat.

Kompetensi Dasar
11.1. Menjelaskan hubungan antara sumber
daya alam dengan lingkungan.
11.2. Menjelaskan hubungan antara sumber
daya alam dengan teknologi yang
digunakan
11.3. Menjelaskan dampak pengambilan
bahan alam terhadap pelestarian
lingkungan.
(Permendiknas No.22 Tahun 2006)
2.4

Hasil Belajar

2.4.1 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan
siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu,
berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran dapat dilihat melalui hasil
belajar setelah dilakukan evaluasi. Pengertian hasil belajar itu sendiri menurut
Nana Sudjana (2010:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa
menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan
kemampuan yang menurut Horwart Kinggsley dalam buku Nana Sudjana
(2010:22) dibedakan menjadi tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1)
Keterampilan dan kebiasaan, (2) Pengetahuan dan pengarahan, (3) Sikap dan citacita.

23

Sementara menurut Lindgren (Agus Suprijono, 2011:7) hasil pembelajaran
meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Gagne (Agus Suprijono, 2011:5-6) bahwa hasil belajar itu
berupa informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan
motorik, dan sikap. Sedangkan Susanto (2013:5) hasil belajar adalah kemampuan
siswa yang diperoleh setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar sendiri
merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu
bentuk perubahan perubahan perilaku yang relatif menetap.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:17) hasil belajar merupakan “hal
yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru”. Dari sisi
siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar.Tingkat perkembangan mental tersebut
terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari
sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran..
Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi
tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan
guru. Pendapat lain tentang hasil belajar dikemukaakan oleh Briggs (Taruh, 2003:
17) yang menyatakan bahwa hasil belajar adalah keseluruhan kecakapan dan hasil
yang dicapai melalui proses belajar mengajar di sekolah yang dinyatakan dengan
angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar. Hal ini senada dengan
Rasyid (2008:9) yang berpendapat bahwa jika ditinjau dari segi proses
pengukuranya, kemampuan seseorang dapat dinyatakan dengan angka.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah meningkatnya kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang diperoleh siswa dan terbentuknya konsep baru setelah siswa menerima
perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dengan pengalaman belajarnya
siswa

dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang diperoleh untuk dapat

digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
2.4.2

Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2011:39) Hasil belajar yang dicapai oleh siswa

dipengaruhi oleh dua faktor yakni dari faktor dari dalam siswa itu sendiri dan

24

faktor yang datang dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor yang datang dari
dalam diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya besar pengaruhnya
terhadap hasil belajar yang dicapai.
Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
digolongkan menjadi 2 yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern
adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar dan faktor ekstern
adalah faktor yang ada di luar individu. Dalam faktor intern terdapat faktor
jasmaniah yang meliputi kesehatan, cacat tubuh, kemudian faktor psikologis yang
meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan dan
yang terakhir adalah faktor kelelahan. Selain faktor intern juga terdapat faktor
eksternal diantaranya adalah faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Faktor
sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar
pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.
Menurut Baharudin dan Wahyuni (2010:19) faktor yang mempengaruhi
hasil belajar dibedakan atas dua kategori yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi faktor fisiologis yang terdiri dari keadaan tonus jasmani,
dan keadaan fungsi jasmani, serta faktor psikologis seperti motivasi, minat, sikap
dan bakat. Sedangkan faktor eksternal dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor
lingkungan sosial berupa lingkungan sekolah, masyarakat, keluargga, dan faktor
lingkungan non sosial berupa lingkungan alamiah dan faktor instrumental atau
perangkat belajar. Bloom (Sudjana, 2011:40) menyatakan bahwa ada 3 variabel
utama dalam teori belajar disekolah, yakni karakteristik individu,

kualitas

pengajaran dan hasil belajar. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan
siswa dan kualaitas pengajaran
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa
ada hubungan antara kemapuan individu dan faktor lingkungan dengan hasil
belajar siswa. Hasil belajar merupakan dampak yang telah diperoleh dari belajar
atau berinteraksi dengan lingkungan dampak tersebut dapat berupa perubahan
tingkah laku yang pastinya adalah kearah positif. Jadi dapat disimpulkan hasil
belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi pada individu yang

25

berinteraksi dengan lingkungan (belajar) dan tingkah laku yang dimaksud
merupakan perubahan ke arah positif.
2.4.3

Jenis-Jenis Hasil Belajar
Menurut Bloom (Sudjana, 2005) membagi hasil belajar dalam tiga ranah

yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam hubungannya dengan satuan
pelajaran, ranah kognitif memegang tempat utama terutama dalam tujuan
pengajaran di SD didukung ranah afektif yang menunjukan sikap siswa saat
mengikuti kegiatan pembelajaran. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar
intelektual yang terdiri dari 6 aspek, yaitu: (a) Pengetahuan (knowledge), dalam
jenjang ini siswa dituntut untuk dapat mengenali atau mengetahui adanya suatu
konsep, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya. (b)
Pemahaman (comprehension), kemampuan ini menuntut siswa untuk memahami
atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan
dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus menghubungkannya dengan hal-hal
lain. (c) Penerapan (application), jenjang kognitif yang menuntut kesanggupan
menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip,
serta teori-teori dalam situasi yang baru dan konkrit. (d) Analisis (analysis),
tingkat kemampuan yang menuntut siswa untuk dapat menguraikan suatu situasi
atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentuknya. (e)
Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan
sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor dan hasil yang
diperoleh dapat berupa tulisan, rencana atau mekanisme. (f) Evaluasi (evaluation),
jenjang yang menuntut siswa untuk dapat menilai suatu situasi, keadaan,
pernyataan, atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Menurut Mawardi (2010:5) ranah afektif diartikan sebagai internalisasi
sikap yang menunjuk kearah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu
menjadi sadar tentang nilai yang diterima dan kemudian mengambil sikap
sehingga kemudian menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan
menetukan tingkah lakunya. Jenjang kemampuan dalam ranah afektif yaitu : (a)
Menerima (receiving), maksudnya siswa diharapkan peka terhadap eksistensi
fenomena atau rangsangan tertentu. Kepekaan ini diawali dengan penyadaran

26

kemampuan untuk menerima dan memperhatikan. (b) Menjawab (responding),
maksudnya adalah siswa diharapkan tidak hanya peka pada suatu fenomena, tetapi
juga bereaksi terhadap salah satu cara. Penekanannya pada kemauan siswa untuk
menjawab secara sukarela, membaca tanpa ditugaskan. (c) Menilai (valuing),
siswa diharapkan dapat menilai suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu
dengan cukup konsisten. (d) Organisasi (organisation), tingkat ini berhubungan
dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan masalah, membentuk
suatu sistem nilai.
Salah satu ranah afektif adalah sikap keaktifan. Menurut Sudjana
(2004:61) sikap keaktifan siswa dapat dilihat dari (a) turut serta dalam
melaksanakan tugas belajarnya, (b) terlibat dalam pemecahan masalah, (c)
bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang
dihadapinya, (d) berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah, (e) melaksanakan diskusi kelompok sesuai petunjuk guru, (f)
menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh, dan (g) melatih diri
dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.
Bertanya adalah cara untuk mengungkapkan rasa keingintahuan akan
jawaban yang tidak atau belum diketahui. Pertanyaan itu sendiri menurut Brown
(Nurajijah, 2012) menyatakan, berdasarkan jenjang kognitif taksonomi Bloom
pertanyaan dibagi menjadi dua jenis yaitu pertanyaan kognitif tingkat rendah dan
pertanyaan kognitif tingkat tinggi. Keberanian bertanya siswa diukur dari
frekuensi atau banyaknya siswa yang bertanya pada setiap siklus.
Sebuah diskusi yang baik harus memperhatikan beberapa hal. Dipojojo
(1984:67) mengemukakan beberapa ketentuan diskusi yang baik, yakni: (1) sikap
tiap anggota, dalam sebuah diskusi setiap anggota bebas mengemukakan pendapat
namun juga harus menghargai pendapat anggota lain; (2) diskusi harus dilakukan
dengan persiapan yang matang; dan (3) persyaratan kelompok yang diikat oleh
adanya keinginan dan tujuan bersama. Diskusi kelompok akan berhasil dengan
baik apabila tiap peserta diskusi; (a) dapat menerima tujuan diskusi; (b) setiap
peserta mengetahui betul permasalahan yang dibahas dalam diskusi; (c) diskusi
menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat para peserta diskusi; (d) setiap

27

peserta saling bertanggung jawab dan saling menghormati; (e) pemimpin diskusi
hendaknya orang yang berwibawa dan dihormati peserta diskusi.
Untuk mengevaluasi kemampuan diskusi siswa diperlukan format
penilaian diskusi. Berikut ini aspek penilaian diskusi menurut Arsyad (2005: 8787) yang terdiri dari aspek kebahasaan dan nonkebahasaan yang telah
dimodifikasi. Adapun aspek yang dinilai dalam diskusi meliputi: a) keberanian/
semangat, b) kelancaran penggunaan bahasa, c) kejelasan ucapan, d) penguasaan
masalah, dan e) aspek pendapat.
2.4.4 Cara Mengukur Hasil Belajar
Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut
atau karakterisitik yang didasarkan pada aturan atau formulasi yang jelas menurut
Zaenul (Jihad dan Haris, 2013:54). Menurut Arikunto dan Jabar (2009:8)
menyatakan

pengertian

pengukuran

(measurement)

sebagai

kegiatan

membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya
menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan
dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data
yang dihasilkan adalah data kuantitatif. Untuk menetapkan angka dalam
pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia
pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa
seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap, dan angket.
Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil
belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Menurut Sudjana
(2011:113) agar guru mengetahui dan terampil dalam mengadakan penilaian
maka asesmen pembelajaran dapat diukur melalui 2 tehnik yaitu melalui tes dan
nontes. Tes adalah prosedur pengukuran yang sengaja dirancang secara sistematis
untuk mengukur indikator tertentu dengan pemberian angka yang jelas dan
spesifik sehingga hasilnya relatif ajeg. Tes berdasarkan cara penyusunan kriteria
dibedakan menjadi 2, yaitu: 1) Tes ada yang distandarisasi, artinya tes tersebut
telah mengalami proses validasi dan reabilitasi untuk suatu tujuan tertentu dan
sekelompok siswa tertentu. Sebagai contoh, penyusunan THB (Tes Hasil Belajar)
merupakan usaha penyusunan tes yang sudah distandarisasi; 2) tes buatan guru

28

sendiri, tes ini belum distandarisasi, sebab dibuat oleh guru untuk tujuan tertentu
dan untuk siswa tertentu pula. Meskipun demikian, tes buatan guru harus
mempertimbangkan faktor validitas dan faktor reliabiltasnya. Tes ini terdiri dari
tiga bentuk yakni a) tes lisan. b) tes tertulis dan c) tes tindakan. Jenis tes tertulis
adalah jenis tes yang paling sering digunakan. Tes tertulis adalah tes yang soalnya
harus dijawab peserta didik dengan memberikan jawaban tertulis. Salah satu jenis
tes tertulis adalah tes objektif pilihan ganda.
Teknik yang kedua yaitu non tes, yang digunakan untuk menilai aspek
tingkah laku, seperti menilai aspek sikap keberanian bertanya siswa ketika
kegiatan pembelajaran berlangsung dan sikap siswa ketika melakukan diskusi.
Ada berbagai macam alat evaluasi jenis non-tes salah satunya ialah observasi.
Obeservasi yakni pengamatan kepada tingkah laku pada suatu situasi tertentu.
Observasi bisa dalam situasi yang sebenarnya atau observasi langsung dan bisa
pula dalam situasi buatan atau observasi tidak langsung.
Ketercapaian tujuan pembelajaran dalam penelitian ini akan diketahui
melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes dan observasi.
Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas instrumen butir-butir
soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan menggunakan tes, tetapi apabila
pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau mengobservasi dapat
menggunakan instrumen lembar pengamatan atau skala sikap yang berisi butirbutir pernyataan yang setiap peenyataan memiliki nilai dari ujung yang negatif
sampai kepada ujung yang positif, sehingga penilai tinggal membubuhi tanda
centang (√) pada skala tersebut. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk
mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki
peserta didik haruslah valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur.
Hasil dari pengukuran pencapaian Kompetensi Dasar dipergunakan
sebagai dasar peskoran atau evaluasi (penilaian). Menurut Depdiknas (Jihad dan
Haris, 2013:54) penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk
memperoleh informasi secara objektif, berkelanjutan dan menyeluruh tentang

29

proses dan hasil belajar yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan
perlakuan selanjutnya. Hal ini berarti penilaian tidak hanya untuk mencapai target
sesaat atau aspek saja, melainkan menyeluruh dan mencakup aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Dengan demikian, inti dari penilaian adalah proses memberikan atau
menentukkan terhadap hasil belajar yang berupa tes dan non tes berdasarkan suatu
kriteria atau satuan ukuran tertentu.

2.5

Hasil Penelitian Relevan
Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini

adalah “Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Metode Problem Based Learning
(PBL) Materi Gaya pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Begalon 1 No 240 Surakarta
Tahun Pelajaran 2011/2012” oleh Annisa Septiana Mulyasari pada tahun 2011.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh
kesimpulan bahwa penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD N Begalon 1 Surakarta Tahun
Pelajaran 2011/2012. Hal ini terbukti dari pada kondisi awal sebelum
dilaksanakan tindakan nilai rata-rata siswa 28,89%, siklus I nilai rata-rata kelas
67,33% dengan persentase ketuntasan sebesar 53,33%, kemudian pada siklus II
nilai rata-rata kelas meningkat lagi menjadi 73,33% dengan persentase ketuntasan
sebesar 82,22%.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Tomi Iswandi pada tahun 2013
yang berjudul “Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) Untuk
Meningkatkan Aktivitas Pembelajaran dan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran
IPA Kelas VB Sekolah Dasar Negeri 03 Kota Bengkulu”. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh kesimpulan bahwa
penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan
kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di
kelas 5 SDN 03 Kota Bengkulu. Hal ini terbukti dengan diperoleh nilai rata-rata
observasi aktivitas guru siklus I 29,25 dengan kriteria “cukup” dan meningkat
pada siklus II menjadi 37,75 dengan kriteria baik. Analisis data observasi aktivitas

30

siswa pada siklus I diperoleh nilai rata-rata sebesar 29,5 dengan kriteria cukup dan
meningkat menjadi 2,53 pada siklus II. Hasil analisis data penilaian psikomotorik
pada siklus I rata-rata 2,36 dan meningkat menjadi 2,61 pada siklus II. Hasil
analisis ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus I sebesar 58,8% dengan
nilai rata-rata 67,07 dan meningkat pada siklus II menjadi 85,29 dengan nilai ratarata sebesar 78,82.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penggunaan model
Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara berkala
karena dengan menggunakan model Problem Based Learning siswa tampak lebih
aktif dan termotivasi dalam mengikuti pembelajaran karena konsep-konsep yang
disampaikan realistik dengan kehidupan siswa. Hal ini menunjukkan adanya
perubahan pada hasil belajar siswa dan tingkat ketuntasan belajar siswa.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Septiana Mulyasari dan
Tomi Iswandi dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama
menggunakan model Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar
IPA. Perbedaannya terletak pada pengukuran tingkat keberhasilan penelitian yang
dilakukan, pemanfaatan media dalam proses pembelajaran, dan hasil belajar yang
ditingkatkan. Penelitian yang dilakuka oleh Annisa Septiana Mulyasari dan Tomi
Iswandi cara pengukuran tingkat keberhasilannya menggunakan perbandingan
perolehan skor rata-rata antar siklus, sedangkan dalam penelitian ini pengukuran
tingkat keberhasilannya menggunakan perbandingan persentase ketuntasan hasil
belajar antar siklus. Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya belum
memanfaatkan media dalam proses pembelajaran sedangkan dalam penelitian ini
sudah memanfaatkan media berupa video. Jika dalam penelitian Annisa Septiana
Mulyasari hasil belajar yang ditingkatkan hanya aspek kognitif, maka dalam
penelitian ini hasil belajar yang ditingkatkan adalah aspek kognitif dan afektif,
sedangkan peningkatan hasil belajar yang dilakukan oleh Tomi Iswandi adalah
aspek kognitif dan psikomotorik.

31

2.6

Kerangka Pikir
Pembelajaran yang berlangsug selama ini masih menggunakan satu

sumber buku sebagai pegangan materi, penggunaan media masih kurang, siswa
kurang mampu menyampaikan pendatnya, siswa tidak terbiasa berpikir kritis serta
siswa masih kesulitan berinteraksi dengan siswa lain. Padahal dalam karakteristik
IPA itu sendiri, pembelajaran IPA seharusnya tidak hanya berupa penguasaan
pengetahuan seperti fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu
proses penemuan dengan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan yang
dilakukan oleh siswa sendiri. Kondisi ini berimbas pada hasil belajar siswa yang
memperoleh hasil belajar dengan skor di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal
yaitu 70.
Suatu pembelajaran akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi atau
melibatkan diri secara langsung dalam proses pembelajaran. Sehingga s

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13