BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Kelapa Sawit - Pengaruh Tekanan Uap dan Waktu Perebusan Terhadap Kehilangan Minyak pada Air Kondensat dengan Sistem Perebusan Tiga Puncak (Triple Peak) di PTPN IV Dolok Sinumbah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Kelapa Sawit

  Perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah perkebunan yang relatif muda. Pada tahun 1848 Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) mengimpor biji kelapa sawit dari Mauritius atau Reunion, Afrika dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Meskipun dimasukkan dari Afrika, pada umumnya sekarang orang percaya bahwa daerah asal kelapa sawit adalah Amerika Selatan, karena benua ini sangat kaya akan jenis kelapa sawit.

  Mulai pertengahan abad ke-19 kelapa sawit diperkenalkan di banyak tempat di Indonesia, namun tidak menarik minat rakyat. Tanaman ini baru mulai diperkebunkan di Sumatera Utara (dulu disebut Sumatera Timur) pada tahun 1911. Areal kelapa sawit Indonesia meningkat dengan pesat, khususnya sesudah tahun 1970-an. Kalau dulu perkebunan kelapa sawit hanya terbatas di Sumatera, sekarang terdapat perkebunan-perkebunan yang luas di Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.

  Dewasa ini perkebunan kelapa sawit Indonesia terutama terdiri atas tanaman asal biji hasil persilangan Dura dengan Pisifera (D x P) yang disebut Tenera. Mulai tahun 1985 Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Marihat, Pematang Siantar, menghasilkan bibit dari kultur jaringan. Dari pengamatan lapangan sampai tahun 1993 diketahui bahwa tanaman dari kultur jaringan memberikan produksi 29% lebih tinggi ketimbang tanaman asal (Semangun, 2000).

2.2 Kelapa Sawit

2.2.1 Varietas Kelapa Sawit

  Ada beberapa varietas tanaman kelapa sawit yang telah dikenal. Varietas–varietas itu dapat dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah, atau berdasarkan warna kulit buahnya. Selain varietas-varietas tersebut, ternyata dikenal juga beberapa varietas unggul yang mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain mampu menghasilkan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lain.

  1. Pembagian varietas berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, dikenal lima varietas kelapa sawit, yaitu : a. Dura Tempurung cukup tebal antara 2-8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada bagian luar tempurung. Daging buah relatif tipis dengan persentase daging buah terhadap buah bervariasi antar 35 – 50%. Kernel (daging biji) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah. Dari empat pohon induk yang tumbuh di Kebun Raya Bogor, varietas ini kemudian menyebar ke tempat lain, antara lain ke Negara Timur Jauh. Dalam persilangan, varietas dura dipakai sebagai pohon induk betina.

  b. Pisifera Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi, sedangkan daging biji sangat tipis. Jenis pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis yang lain. Varietas ini dikenal sebagai tanaman betina yang steril sebab bunga betina gugur pada fase dini. Oleh sebab itu, dalam persilangan dipakai sebagai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara pisifera dengan dura akan menghasilkan varietas tenera.

  c. Tenera Varietas ini mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua indukanya, yaitu dura dan pisifera. Varietas inilah yang banyak ditanam di perkebunan- perkebunan pada saat ini. Tempurung sudah menipis, ketebalannya berkisar antara 0,5 – 4 mm, dan terdapat lingkaran serabut disekelilingnya. Persentase daging buah terhadap buah tinggi, antara 60 – 96%. Tandan buah yang dihasilkan oleh tenera lebih banyak daripada dura, tetapi ukuran tandannya relatif lebih kecil. d. Macro carya Tempurung sangat tebal, sekitar 5 mm, sedangkan daging buahnya tipis sekali.

  e. Diwikka – wakka Varietas ini mempunyai ciri khas dengan adanya dua lapisan daging buah.

  Diwikka-wakka dapat dibedakan menjadi diwikka-wakkadura, diwikka- wakkapisifera, dan diwikka-wakkatenera. Dua varietas kelapa sawit yang disebutkan terkahir ini jarang dijumpai dan kurang begitu dikenal di Indonesia.

  2. Pembagian varietas berdasarkan warna kulit buah Ada 3 varietas kelapa sawit yang terkenal berdasarkan perbedaan warna kulitnya. Varietas-varietas tersebut adalah : a. Nigrescens

  Buah berwarna ungu sampai hitam pada waktu muda dan berubah menjadi jingga kehitam-hitaman pada waktu masak. Varietas ini banyak ditanam di perkebunan.

  b. Virescens Pada waktu muda buahnya berwarna hijau dan ketika masak warna buah berubah menjadi jingga kemerahan, tetapi ujungnya tetap kehijauan. Varietas ini jarang dijumpai di lapangan. c. Albescens Pada waktu muda buah berwarna keputih-putihan, sedangkan setelah masak menjadi kekuning-kuningan dan ujungnya berwarna ungu kehitaman.

  Varietas ini juga jarang dijumpai.

2.2.2 Pembentukan Minyak Dalam Buah

  Hasil utama yang dapat diperoleh dari tandan buah sawit ialah minyak sawit yang terdapat pada daging buah (mesokarp) dan minyak inti sawit yang terdapat pada kernel. Kedua jenis minyak ini berbeda dalam hal komposisi asam lemak dan sifat fisika-kimia. Minyak sawit dan minyak inti sawit mulai terbentuk sesudah 100 hari setelah penyerbukan, dan berhenti setelah 180 hari atau setelah dalam buah minyak sudah jenuh. Jika dalam buah tidak terjadi lagi pembentukan minyak, maka yang terjadi ialah pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Pembentukan minyak berakhir jika dari tandan yang bersangkutan telah terdapat buah memberondol normal.

  Minyak yang mula-mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh.

  Untuk melindungi minyak dari oksidasi yang dirangsang oleh sinar matahari maka tanaman tersebut membentuk senyawa kimia pelindung yaitu karotin. Setelah penyerbukan kelihatan buah berwarna hitam kehijau-hijauan dan setelah terjadi pembentukan minyak terjadi perubahan warna buah menjadi ungu kehijau-hijauan. Pada saat-saat pembentukan minyak terjadi yaitu trigliserida dengan asam lemak tidak jenuh, tanaman membentuk karotin dan phitol untuk melindungi dari oksidasi, sedangkan klorofil tidak mampu melakukannya sebagai antioksidan (Naibaho, 1996).

2.2.3 Pematangan Buah

  Dalam proses pematangan buah terjadi pembentukan komponen buah dan setelah terjadi kejenuhan setiap unsur komponen maka mulailah terjadi fase pematangan.

  Pada fase pematangan buah terjadi beberapa hal :

  a. Perubahan karbohidrat menjadi gula, yang ditandai dengan rasa manis pada inti sawit dan daging buah.

  b. Perombakan hemiselulosa menjadi sakarida sederhana, ini dapat dilihat bahwa ikatan antar serat kurang dengan tekstur yang lunak.

  c. Perubahan warna buah dari hitam kehijau-hijauan berubah menjadi hijau kekuning-kuningan kemudian berubah menjadi orange/merah jingga.

  d. Fisik buah berubah yaitu malam yang berkilat berubah menjadi suram.

  Setelah terjadi proses perombakan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol, maka buah mulai lepas dari bulirnya. Proses ini akan lebih cepat terjadi jika terjadi panas terik matahari yang diikuti dengan hujan (Naibaho, 1996).

  2.2.4 Panen

  Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3-4 tahun dan buahnya menjadi masak 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi merah jingga waktu buah telah masak. Pada saat itu, kandungan minyak pada daging buahnya telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dari tangkai tandannya. Hal ini disebut dengan istilah membrondol.

  Panen pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong tandan buah masak, memungut brondolan dan sistem pengangkutannya dari pohon ke tempat pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik. Dalam pelaksanaan pemanenan, perlu diperhatikan beberapa kriteria tertentu sebab tujuan panen kelapa sawit adalah memperoleh produksi yang baik dengan rendemen minyak yang tinggi (Tim Penulis PS, 1997).

  2.2.5 Kriteria Matang Panen

  Adapun kriteria panen yang dipakai adalah 2 brondolan (sudah ada 2 buah lepas dari tandannya atau jatuh ke piringan pohon) untuk tiap kg tandan. Untuk tandan lebih dari 10 kg dipakai 1 brondolan harus sudah ada yang jatuh di tanah. Namun kriteria ini perlu disesuaikan dengan kondisi setempat. Misalnya untuk areal yang rawan pencurian kriteria tersebut dapat diperkecil untuk mengurangi resiko pencurian. Dengan adanya brondolan yang jatuh ketanah maka pemanen tidak perlu melihat keatas. Panen yang baik adalah : a. Tidak ada buah mentah yang dipanen.

  b. Tidak ada buah matang yang tinggal di piringan pokok.

  c. Tidak ada buah yang tertinggal dipasar panen, TPH dan di lapangan.

  d. Tandan dan brondolan harus bersih dan brondolan dimasukkan di karung.

  e. Janjang kosong tidak ada yang terbawa ke pabrik.

  f. Gagang tandan dipotong mepet berbentuk V.

  g. Pelepah cabang dipotong tiga dan diletakkan di gawangan mati dan ditelungkupkan.

  h. Potongan cabang daun (leaf base) mepet ke batang berupa tapak kuda membuat sudut 15-30 derajat arah kedalam (Lubis, 2008).

  Penentuan saat panen sangat mempengaruhi kandungan asam lemak bebas (ALB) minyak sawit yang dihasilkan. Apabila pemanenan buah dilakukan dalam keadaan lewat matang, maka minyak yang dihasilkan mengandung ALB dalam persentase tinggi (lebih dari 5%). Sebaliknya, jika pemanenan dilakukan dalam keadaan buah belum matang, selain kadar ALB-nya rendah, rendemen minyak yang diperoleh juga rendah.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, ada beberapa tingkatan atau fraksi dari TBS yang dipanen. Fraksi-fraksi TBS tersebut sangat mempengaruhi mutu panen, termasuk kualitas minyak sawit yang dihasilkan. Berdasarkan fraksi TBS tersebut, derajat kematangan yang baik adalah jika tandan-tandan yang dipanen berada pada fraksi 1, 2, dan 3.

Tabel 2.1 Beberapa tingkat fraksi TBS

  Fraksi Jumlah Brondolan Tingkat Kematangan

  00 Tidak ada, buah berwarna hitam Sangat mentah 1-12,5% buah luar membrondol Mentah 1 12,5-25% buah luar membrondol Kurang matang

  2 25-50% buah luar membrondol Matang I 3 50-75% buah luar membrondol Matang II 4 75-100% buah luar membrondol Lewat matang I

  5 Buah dalam juga membrondol, Lewat matang II ada buah yang busuk (Fauzi dkk, 2002).

2.3 Minyak Kelapa Sawit

  Minyak yang berasal dari kelapa sawit ada 2 macam yaitu dari daging buah (mesocarp) yang dikeluarkan melalui perebusan dan pemerasan (pressan) dan dikenal sebagai minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) dan minyak yang berasal dari inti sawit dikenal sebagai minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Komposisi minyak inti sawit hampir sama dengan minyak yang berasal dari kelapa (Lubis, 2008).

  Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang hingga saat ini diakui paling produktif dan ekonomis dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, misalnya kedelai, kacang tanah, kelapa, bunga matahari, dan lain-lain.

  Jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak kelapa sawit memiliki keistimewaan tersendiri, yakni rendahnya kandungan kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, vanaspati, lemak, dan lain- lain), tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan nonpangan seperti gliserin, sabun, deterjen, BBM, dan lain-lain (Hadi, 2004).

  Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai dengan bentuk bangun rantai asam lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linoleat, minyak sawit berwarna merah jingga karena kandungan karotenoida (terutama β–karoten), berkonsistensi setengah padat pada suhu kamar (konsistensi dan titik lebur banyak ditentukan oleh kadar ALB-nya), dan dalam keadaan segar dan kadar asam lemak bebas yang rendah, bau dan rasanya cukup enak (Mangoensoekarjo, 2008)

2.3.1 Komposisi Minyak Kelapa Sawit

  Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 % perikarp dan 20 % buah yang dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40 %. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap.

  Rata – rata komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.2. Bahan yang tidak dapat disabunkan jumlahnya sekitar 0,3 persen.

Tabel 2.2 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit

  Asam lemak Minyak kelapa sawit (%) Minyak inti sawit (%)

  • Asam kaprilat

  3 – 4

  • Asam kaproat

  3 – 7

  • Asam laurat

  46 - 52 Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17 Asam palmitat 40 – 46 6,5 – 9 Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 2,5 Asam oleat 39 – 45 13 – 19 Asam linoleat 7 – 11 0,5 – 2 Kandungan karotin dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam minyak dari jenis tenera kurang lebih 500-700 ppm, kandungan tokoferol bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986).

2.3.2 Sifat Fisiko - Kimia Minyak Kelapa Sawit

  Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor, kelarutan, titik cair dan polymorphism, titik didih (boiling point), titik pelunakan, slipping

  point, shot melting point , bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan (turbidity point ), titik asap, titik nyala dan titik api.

  Beberapa sifat fisiko-kimia dari minyak kelapa sawit dapat dilihat dari

tabel 2.3 berikut :Tabel 2.3 Nilai sifat fisiko – kimia minyak sawit dan minyak inti sawit

  Sifat Minyak sawit Minyak inti sawit Bobot jenis pada suhu kamar 0,900 0,900 – 0,913

  o

  Indeks bias D 40 C 1,4565 – 1,4585 1,495 – 1,415 Bilangan iod 48 – 56 14 – 20 Bilangan penyabunan 196 – 205 244 – 254

  Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karotin yang larut dalam minyak.

  Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone.

  Perbandingan sifat antara minyak kelapa sawit sebelum dan sesudah dimurnikan dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Sifat minyak kelapa sawit sebelum dan sesudah dimurnikan

  Sifat Minyak sawit kasar Minyak sawit murni Titik cair : awal 21 – 24 29,4 akhir 26 – 29 40,0

  o

  Bobot jenis 15

  • C 0,859 – 0,870

  o

  Indeks bias D 40 C 36,0 – 37,5 46 – 49 Bilangan penyabunan 224 – 249 196 – 206 Bilangan Iod 14,5 – 19,0 46 – 52

  • Bilangan Reichert Meissl 5,2 – 6,5
  • Bilangan Polenske 9,7 – 10,7
  • Bilangan Krichner 0,8 – 1,2 Bilangan Bartya

  33 - (Ketaren, 1986).

2.3.3 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit

  Minyak sawit memegang peranan penting dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, syarat mutu harus menjadi perhatian utama dalam perdagangannya. Istilah mutu minyak sawit dapat dibedakan menjadi dua arti. Pertama, benar-benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur nilai titik lebur, angka penyabunan dan bilangan iodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. (Fauzi dkk, 2002).

  Standar mutu Special Prime Bleach (SPB), dibandingkan dengan mutu Ordinary dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Standar mutu SPB dan ordinary

  Kandungan SPB Ordinary Asam lemak bebas (%) 1 – 2 3 – 5 Kadar air (%) 0,1 0,1 Kotoran (%) 0,002 0,01 Besi (ppm)

  10

  10 Tembaga (ppm) 0,5 0,5 Bilangan Iod 53 ± 1,5 45 – 56 Karotene (ppm) 500 500 – 700 Tokoferol (ppm) 800 400 – 600 (Ketaren, 1986).

2.4 Perebusan

  Pada prinsipnya proses pengolahan kelapa sawit adalah proses ekstraksi CPO secara mekanis dari tandan buah segar kelapa sawit (TBS) yang diikuti dengan proses pemurnian. Secara keseluruhan proses tersebut terdiri dari beberapa tahap proses yang berjalan secara sinambung dan terkait satu sama lain. Kegagalan pada satu tahap proses akan berpengaruh langsung pada proses berikutnya. Oleh karena itu setiap tahap harus dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan norma-norma yang ada.

  Perebusan atau sterilisasi buah dilakukan dalam sterilizer yang berupa bejana uap bertekanan. Biasanya sterilizer dirancang untuk dapat memuat 6

  2

  sampai 10 lori dengan tekanan uap 3kg/cm . Lori adalah tempat buah direbus, yang dapat menampung buah 2,5 - 3,5 dan 5,0 ton. Lori tempat buah dibuat berlubang dengan diameter 0,5 inch, yang berfungsi untuk mempertinggi penetrasi uap pada buah dan penetesan air kondensat yang terdapat diantara buah. Sterilizer harus dilengkapi dengan katup pengaman (safety valve) untuk menjaga agar tekanan di dalam sterilizer tidak melebihi tekanan kerja maksimum yang diperkenankan (Buana dkk, 2003).

2.4.1 Tujuan Perebusan

  Sebelum proses ekstraksi minyak dilakukan, pertama-tama buah direbus dalam ketel rebusan dengan tujuan : a. Menghentikan aktifitas enzim

  Dalam buah yang dipanen terdapat enzim lipase dan oksidase yang tetap bekerja dalam buah sebelum enzim itu dihentikan dengan pelaksaan tertentu.

  Enzim dapat dihentikan dengan cara fisika dan kimia. Cara fisika yaitu dengan cara pemanasan pada suhu yang dapat mendegradasi protein. Enzim lipase bertindak sebagai katalisator dalam pembentukan trigliserida dan kemudian memecahkannya kembali menjadi asam lemak bebas.

  Enzim oksidase berperan dalam proses pembentukan peroksida yang kemudian dioksidasi lagi dan pecah menjadi gugusan aldehid dan keton. Senyawa yang terakhir bila dioksidasi lagi akan menjadi asam. Jadi ALB yang terdapat dalam minyak sawit merupakan hasil kerja enzim lipase dan oksidase.

  Aktifitas enzim semakin tinggi apabila buah mengalami kememaran (luka). Untuk mengurangi aktifitas enzim sampai di PKS diusahakan agar kememaran buah dalam persentase yang relatif kecil. Enzim pada umumnya tidak o o

  aktif lagi pada suhu 50

  C. Oleh sebab itu perebusan pada suhu 120 C akan menghentikan kegiatan enzim.

  b. Melepaskan buah dari spiklet Minyak dan inti sawit terdapat dalam buah, maka untuk mempermudah proses ekstraksi pengutipan minyak dan inti sawit, buah perlu dilepaskan dari spikletnya. Buah dapat terlepas dari spikletnya melalui cara hidrolisa hemiselulosa dan pektin yang terdapat di pangkal buah. Hidrolisis dapat terjadi dengan proses kimia, kimia fisika, dan reaksi biokimia.

  Hidrolisis dengan reaksi biokimia telah terjadi sebagian di lapangan yaitu pada proses pemasakan buah yang ditandai dengan buah yang membrondol.

  Reaksi hidrolisis hemiselulosa dan pektin dapat terjadi dalam ketel rebusan yang dipercepat oleh pemanasan. Panas uap tersebut dapat meresap kedalam buah karena adanya tekanan. Hidrolisis pektin dalam tangkai tidak seluruhnya menyebabkan pelepasan buah, oleh karena itu masih perlu dilanjutkan dengan proses pemipilan pada thesser.

  c. Menurunkan kadar air Sterilisasi buah dapat menyebabkan penurunan kadar air buah dan inti, yaitu dengan cara penguapan baik pada saat perebusan maupun saat sebelum pemipilan. Penurunan kadar air buah menyebabkan penyusutan buah sehingga terbentuk rongga-rongga kosong pada perikarp yang mempermudah proses pengempaan.

  Interaksi penurunan kadar air dan panas akan menyebabkan minyak sawit antar sel dapat bersatu dan mempunyai viskositas yang rendah sehingga mudah keluar dari dalam sel sewaktu proses pengempaan berlangsung.

  Perikarp yang mendapat perlakuan panas dan tekanan akan menunjukkan sifat serat mudah lepas antara serat yang satu dengan yang lain. Hal ini akan meningkatkan efisiensi digester dan depericarper/polishing drum. Air yang terkandung dalam inti akan menguap melalui mata biji sehingga kernel susut dan proses pemecahan biji akan lebih mudah.

  d. Pemecahan emulsi Minyak didalam perikarp berbentuk emulsi dapat lebih mudah keluar dari sel jika berubah dari fase emulsi menjadi minyak. Perubahan ini terjadi dengan bantuan pemanasan, yang megakibatkan penggabungan fraksi yang memiliki polaritas yang sama dan berdekatan, sehingga minyak dan air masing-masing terpisah. Peristiwa ini akan mempermudah minyak keluar dai perikarp. Penetrasi uap yang sempurna pada perikarp, terutama pada buah yang paling dalam akan mempertinggi efisiensi ekstraksi minyak. Pemecahan emulsi yang telah dimulai dari perebusan akan membantu proses pemisahan minyak dari air dan padatan lainnya pada stasiun klarifikasi.

  e. Melepaskan serat dan biji Perebusan buah yang tidak sempurna dapat menimbulkan kesulitan pelepasan serat dari biji dalam polishing drum, yang menyebabkan pemecahan biji lebih sulit dalam alat pemecah biji. Penetrasi uap yang cukup baik akan membantu proses pemisahan serat perikarp dan biji, yang dipercepat oleh proses hidrolisis. Apabila serat tidak lepas, maka lignin yang terdapat diantara serat akan menahan minyak. Jika biji dipukul dalam alat pemecah biji maka terjadi sifat kenyal yang membuat biji tidak pecah, dan jika pecah maka yang terjadi adalah pecahan besar yang melekat pada inti.

  f. Membantu proses pelepasan inti dari cangkang Perebusan yang sempurna akan menurunkan kadar air biji hingga 15%.

  Kadar air biji yang turun hingga 15% akan menyebabkan inti susut sedangkan tempurung tetap, maka terjadi inti yang lekang dari cangkang. Hal ini akan membantu proses fermentasi didalam Nut Silo, sehingga pemecahan biji dapat berlangsung dengan baik, demikian juga pemisahan inti dan cangkang dalam proses pemisahan kering atau basah dapat menghasilkan inti yang mengandung kotoran lebih kecil (Naibaho, 1996).

2.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Perebusan

  Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perebusan adalah tekanan uap dan lama perebusan, temperatur, pembuangan udara dan air kondensat.

  1. Tekanan uap dan lama perebusan Tekanan uap dan lama perebusan sangat menentukan hasil perebusan dan efisiensi pabrik. Tekanan uap dan lama perebusan berbanding terbalik. Semakin kecil tekanan uap semakin lama perebusan. Sebaliknya, semakin tinggi tekanan uap maka semakin pendek waktu perebusan. Perebusan menggunakan steam

  

2 o

  bertekanan 2,8 - 3,0 kg/cm dan temperatur 135 - 140 C serta siklus merebus selama 90 - 100 menit.

  Selain tekanan uap, lama perebusan buah sangat tergantung pada faktor kematangan buah dan kondisi buah (segar/restan/buah kecil/buah besar). Waktu rebus yang optimal pada umumnya ditentukan oleh lamanya menahan steam pada puncak ke-3 (holding time). Terhadap buah segar dengan klon dan kriteria

  2

  kematangan yang berlaku saat ini pada tekanan uap 2,8 – 3,0 kg/cm , holding time dilakukan selama 45 – 55 menit.

  2 Tekanan uap yang rendah (<2,8 kg/cm ) dan waktu rebus yang tidak cukup

  akan mengakibatkan :

  a. Buah kurang masak, sebagian brondolan tidak lepas dari tandan (kattekopen/unstriped bunch) yang mengakibatkan losis dalam tandan kosong bertambah.

  b. Pelumatan dalam digester tidak sempurna, sebagian daging buah tidak lepas dari biji sehingga mengakibatkan proses pengempaan tidak sempurna dan kerugian minyak pada ampas dan biji bertambah.

  c. Ampas (fibre) basah mengakibatkan pemakaian bahan bakar lebih boros pada proses pembakaran di ketel uap (boiler).

  Sebaliknya, bila perebusan dilakukan terlalu lama maka buah menjadi terlalu masak sehingga kantong minyak di mesocarp dengan sendirinya terlepas ke air kondensat sehingga losis minyak dalam air rebusan (kondensat) dan jenjangan kosong menjadi naik dan merusak mutu minyak/inti.

  2. Temperatur, pembuangan udara dan air kondensat Temperatur di dalam rebusan sangat dipengaruhi oleh tekanan uap, udara dan air kondensat. Semakin rendah tekanan dan semakin banyak udara/air kondensat di dalam rebusan, maka semakin rendah temperatur yang dicapai.

  Udara merupakan penghantar panas yang rendah dan bila terjebak dalam suatu ruang kosong dalam ketel rebusan, maka udara bisa menjadi isolator panas.

  Bila udara dalam ketel rebusan tidak dikeluarkan secara sempurna akan terjadi pencampuran udara dan uap (turbulensi) yang mengakibatkan temperatur turun dan pemindahan panas dari uap kedalam buah tidak sempurna (proses perebusan tidak sempurna). Akibatnya adalah banyak brondolan masih terikut tandan kosong (brondolan tidak lepas pada saat dibanting di thresher).

  Air kondensat berasal dari penguapan tandan buah yang direbus dan hasil proses kondensasi steam di dalam ketel rebusan. Disamping tekanan, air kondensat dan udara didalam ketel rebusan mengakibatkan temperatur perebusan menjadi turun. Temperatur normal di dalam ketel rebusan yang bertekanan 2,8 –

  2 o

  3,0 kg/cm adalah 130 -135

  C. Buah yang terendam air kondensat dipastikan tidak masak. Walaupun buah tidak terendam, tetapi air kondensat masih ada yang tertinggal dalam rebusan dapat menyebabkan perebusan kurang masak karena temperatur tidak tercapai.

2.4.3 Proses Perebusan

  2.4.3.1 Daerasi

  Daerasi atau pembuangan udara dari steriliser dilakukan dengan cara membuka pipa inlet, daeraration valve atau condensate valve. Udara dibuang dengan cara memasukkan uap secara cepat sehingga terjadi pencampuran antara uap dan udara. Karena udara lebih berat maka udara akan turun kebawah dan dibuang melalui daeration valve atau melalui pipa kondensat. Daeration akan berlangsung pada saat pembuangan air kondensat selama sistem perebusan berlangsung.

  2.4.3.2 Pembuangan Air Kondensat Dan Pembuangan Uap Bekas

  Frekuensi pembuangan air kondensat dan pembuangan uap bekas selama proses perebusan tergantung pada siklus perebusan. Puncak pertama dicapai dengan membuka pipa uap (inlet pipe) selama 7 menit (umumnya tekanan dicapai 1,5

  2

  kg/cm ) kemudian pipa uap masuk ditutup dan pipa kondensat, exhause pipe

  2

  dibuka dengan tiba-tiba sehingga tekanan turun sampai 0,5 kg/cm (+ 3 menit), kemudian pipa kondensat ditutup. Puncak kedua dicapai, pipa uap masuk dibuka

  2

  selama 10 menit (tekanan 2 – 2,5 kg/cm ), kemudian pipa uap masuk ditutup dan

  2 pipa kondensat dan exhause pipe dibuka hingga tekanan 1 kg/cm (3 menit).

  2.4.3.3 Pemasakan Buah

  Setelah melalui satu puncak atau dua puncak awal maka pemasakan dapat dilanjutkan dengan membuka pipa uap masuk dan pipa kondensat untuk membuang air kondensat. Masa pemasakan atau sebagai masa penahanan dihitung setelah mencapai puncak tertinggi hingga pembuangan uap terakhir.

  2.4.3.4 Pembuangan Uap Akhir

  Setelah pemasukan uap selesai maka uap yang berada dalam sterilizer dibuang dengan cara mula-mula dibuka kran pipa kondensat kemudian setelah tekanan

  2

  menjadi 2,5 kg/cm maka pipa pembuangan uap yang berada diatas sterilizer dibuka dengan tiba-tiba untuk mempermudah pemipilan buah. Setelah tekanan sama dengan tekanan atmosfir maka pintu rebusan dibuka.

  2.4.3.5 Pengeluaran Lori Dari Rebusan

  Buah yang telah masak dikeluarkan dari dalam sterilizer dengan membuka pintu rebusan secara perlahan-lahan untuk mengurangi kerusakan lori kemudian ditarik dengan tali bersamaan dengan pemasukan buah yang akan direbus (Buana dkk, 2003).

2.4.4 Sistem Perebusan

  Sistem perebusan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan boiler memproduksi uap, dengan sasaran bahwa tujuan perebusan dapat tercapai. Sistem perebusan yang lazim dikenal di PKS adalah single peak, double peak dan triple

  peak . Sistem perebusan triple peak (SPTP) banyak digunakan, selain berfungsi

  sebagai tindakan fisika juga dapat terjadi proses mekanik yaitu adanya goncangan yang disebabkan oleh perubahan tekanan yang cepat.

  Keberhasilan SPTP dipengaruhi oleh tekanan uap yang tersedia, kapasitas ketel rebusan, bahan baku dan lama perebusan. Sebelum penyebaran SPKS tekanan uap pada setiap peak berbeda-beda, akan tetapi dengan tersebarnya SPKS maka dikenal SPTP yang puncaknya satu sama lain sama, kecuali setiap puncak berbeda-beda satu dengan yang lain (Naibaho, 1996).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan terhadap Kehilangan Minyak (Losses) pada Air Kondensat di Stasiun Sterilizer dengan Sistem Tiga Puncak (Triple Peak) di Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV (Persero) Pulu Raja

58 311 56

Pengaruh Tekanan Uap Dan Waktu Terhadap Kehilangan Minyak Pada Air Kondesat Dengan Perebusan Sistem Tiga Puncak ( Tripple Peak ) Di PT.Socfin Indonesia Kebun Aek Loba

4 104 45

Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan Terhadap Kehilangan Minyak Pada Air Kondensat di Stasiun Perebusan Dengan Menggunakan Sistem Tiga Puncak ( Triple Peak ) di PTPN IV Pabatu-Tebing Tinggi

5 144 47

Pengaruh Waktu Dan Temperatur Terhadap Kehilangan Minyak Pada Air Kondensat Dengan Perebusan Sistem Tiga Puncak (Triple Peak)

11 103 65

Analisis Kehilangan Minyak Kelapa Sawit Pada Air Kondensat Unit Perebusan Di PTPN III PKS Rambutan Tebing Tinggi

34 157 51

Pengaruh Tekanan Uap dan Waktu Perebusan Terhadap Kehilangan Minyak dan Kadar NOS ( Non- Oil Solid ) pada Air Kondensat di Stasiun Perebusan dengan Pola Perebusan Sistem Tiga Puncak ( Tripple Peak ) di PTPN III PKS Rambutan Tebing Tinggi

3 59 61

Pengaruh Tekanan Dan Waktu Perebusan Terhadap Kadar Air Dan Kadar Minyak Pada Air Kondensat Di Stasiun Perebusan Dengan Perebusan Sistem Tiga Puncak (Triple Peak) Di PTPN III PKS Sei Mangkei – Perdagangan

17 154 61

Pengaruh Waktu, Temperatur Dan Tekanan Terhadap Kehilangan Minyak Pada Air Kondensat Dengan Perebusan Sistem Tiga Puncak Di Pabrik Kelapa Sawit PTPN III Kebun Rambutan Tebing Tinggi

1 100 58

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit - Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan terhadap Kehilangan Minyak (Losses) pada Air Kondensat di Stasiun Sterilizer dengan Sistem Tiga Puncak (Triple Peak) di Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV (Persero) Pulu Raja

0 1 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan Terhadap Kehilangan Minyak Pada Air Kondensat di Stasiun Perebusan Dengan Menggunakan Sistem Tiga Puncak ( Triple Peak ) di PTPN IV Pabatu-Tebing Tinggi

0 0 28