BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan topik paling populer dan paling sering

  di soroti dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia, karena dampak dari perbuatan korupsi tesebut menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia, oleh karena itu penanganan masalah korupsi harus lebih di optimalkan lagi demi menekan tingkat korupsi di Indonesia.

  Seiring berkembangnya zaman, modus operandi yang digunakan para koruptor untuk merampok uang rakyat juga terus berkembang, sehingga untuk mengatasi masalah tersebut hukum yang ada di Indonesia juga harus terus berusaha menemukan formulasi terbaiknya guna dapat menjerat para koruptor tersebut agar para koruptor tidak lagi bisa berkelit dengan menggunakan kelemahan yang ada di dalam sistem hukum negara ini, dan juga agar tidak ada lagi orang yang dihukum meskipun sebenarnya orang tersebut tidak layak untuk dihukum dikarenakan ketidakjelasan yang terdapat di dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia, sebab seperti yang kita ketahui ada sebuah ungkapan di dalam dunia peradilan bahwa ”lebih baik membebaskan 1000 orang yang salah

  dari pada menghukum satu orang yg tidak bersalah.”

  Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus, maka untuk penanganannya dilkukan oleh pengadilan khusus, sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009

  

  tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka 8: ” Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”

  Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.

  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations

   Convention Against Corruption (UNCAC), 2003) mendiskripsikan masalah

  korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan implikasi karakteristik dan substansi gabungan dua system hukum yaitu “Civil

  

Law” dan “Common Law”, sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif

  yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita menyebutkan implikasi yuridis tersebut, bahwa: 1 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

  dikutip dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi

Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Melawan Kejahatan Korporasi , Paper,

Jakarta, 2006, hal. 1

  

nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit

enrichment) dimana ketentuan Pasal 20 (United Nations Convention Against

Coruuption (UNCAC) 2003 menentukan, bahwa: ...each State Party shall

consider adopting... to establish as a criminal offence, when committed

intentionally, illicit enrichment, that is, a significan increase in the assets of a

public official that he or she cannot reasonably explain in relatlon to his or her

   lawful income".

  Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres PBB ke-8 mengenai "Prevention of Crime and Treatment of Offenders" yang mengesahkan resolusi "Corruption in Goverment" di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:

  1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official): a.

  Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah ("can destroy the potential effectiveeness of all types of

  govermental programmes") b.

  Dapat menghambat pembangunan ("hinder development").

  c.

  Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat ("victimize individuals and groups").

  2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, 3 Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang

Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia , Paper, Jakarta, 2006, hal.

  

9-10 dan vide pula: Romli Atmasasmita, Desain Pemberantasan Korupsi, Paper, Jakarta, 2006,

hal. 2

   kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.

  Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multi dimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis,

  

  budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum pidana, melainkan dapat dilihat dari dimensi lain, misalnya perspektif legal policy (law making

  

policy dan law enforcement policy), Hak Asasi Manusia (HAM) maupun Hukum

  Administrasi Negara. Selintas, khusus dari perspektif Hukum Administrasi Negara ada korelasi erat antara tindak pidana korupsi dengan produk legislasi

   yang bersifat Administrative Penal Law.

  Selain dimensi tersebut dalam tindak pidana korupsi esensi krusial dalam perkembangan teoritis dan praktik yang menimbulkan polemik dan problematika berkepanjangan adalah anasir "perbuatan melawan hukum" baik dalam artian 4 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

  

Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 69 dan vide pula: Barda

Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal.148 4 6 Romli Atmasasmita, Loc.Cit., hal. 1 Dalam konteks Hukum Pidana maka istilah Administrative Penal Law adalah semua

produk legislasi berupa perundang-undangan (dalam lingkup) Administrasi Negara yang memiliki

sanksi pidana.Tidak semua Administrative Penal Law merupakan tindak pidana korupsi, dan untuk

menentukannya sebagai tindak pidana korupsi harus mengacu kepada ketentuan Pasal 14 UU

Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan ”Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-

Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang

tersebut sebagai tindak pidan korupsi, berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.

  

Ketentuan Pasal tersebut di atas memegang teguh asas Lex Specialis Systematic Derogat Lex Generali karena melalui penafsiran secara a contrario Pasal 14 menentukan, selain Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ditegaskan bahwa pelanggaran atas ketentuan pidana dalam

undang-undang lain merupakan tindak pidana korupsi maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan.

(Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Penerbit

CV Mandar Maju, Bandung, 2004, hal. 45 dan vide: Indriyanto Seno Adjie, ”Kendala

Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi & Pencucian Uang”, Paper, Jakarta,

2007, hal. 5 serta: Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hal. 40) formal dan materil. Khusus terhadap perbuatan melawan hukum materil baik dalam fungsi positif dan fungsi negatif menjadi problematika tersendiri apabila dikaji dari perspektif praktik peradilan khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Pada praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung RI belakangan ini ada yang tidak menerapkan perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit pula yang tetap menerapkan dan menganut dimensi perbuatan melawan hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

  Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum pidana dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het

  

recht) , atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan

  ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het

  

recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana,

  khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele

  

wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materil (materiele

wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui

  

arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. Pada dasarnya, pergeseran

  perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata.

  Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa 7 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Program Pascasarjana Universitas

  Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 13

  perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi

kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh

tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari

perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.

  Permasalahan mengenai perbedaan pandangan atau penafisiran perbuatan melawan hukum ini sangat penting untuk dituntaskan agar terdapat suatu pengertian yang seragam mengenai hal tersebut demi mencegah terjadinya ketidak pastian hukum di Indonesia yang bisa menyebabkan ketidakadilan dengan menghukum seseorang yang sebenarnya tidak layak dihukum dan membebaskan orang yang seharusnya dihukum. Hal inilah yang ingin dikaji dan dibahas lebih lanjut oleh penulis, dan karena hal tersebutlah maka penulis mengangkat judul skripsi mengenai“Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif dan

  Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”

B. Perumusan Masalah 1.

  Bagaimana kajian hukum perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana.

2. Bagaimana perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi positif maupun berfungsi negatif dalam tindak pidana korupsi.

  3. Bagaimana pandangan dan alasan hakim Mahkamah Agung dalam pengambilan putusan pada beberapa kasus yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum materil dalam tindak pidana korupsi.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Suatu penulisan skripsi perlu memiliki suatu tujuan di dalam penulisan skripsi tersebut, sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan yang ada. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

  1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengkajian hukum terhadap pengertian perbuatan melawan hukum materil yang diterapkan dalam fungsi positif maupun dalam fungsi yang negatif khususnya dalam tindak pidana korupsi.

  2. Untuk memahami alasan-alasan atau pandangan hakim Mahkamah Agung dalam pengambilan putusannya yang berkaitan dengan penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positif dan fungsi negatif khususnya dalam tindak pidana korupsi.

  Selain itu bobot dari suatu penulisan ditentukan dari manfaaatnya. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan agar terwujud manfaat dan kegunaan yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1.

  Manfaat Teoritis a.

  Untuk menambah pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana korupsi.

  b.

  Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana.

2. Manfaat Praktis a.

  Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait dalam menangani masalah tindak pidana korupsi.

  b.

  Memberikan Informasi agar dapat dilakukan penanganan apabila muncul persoalan yang sama nantinya.

  D. Keaslian Penulisan

  Bahwa skripsi dengan judul “Perbuatan Melawan Hukum Materil

  

Berfungsi Positif dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”

  telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Maka apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.

  E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Perbuatan Pidana

  Pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana

  

  tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang 8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 54 dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu antara kajadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

  Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari ”perbuatan” tapi “tindak “ tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak- gerik atau sikap jasmani seseorang. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu

   dipakai pula kata perbuatan.

  Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda 9 Ibid., hal.

  55

  “strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia.

  Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.

  Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak

   pidana.

  Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Adami Chazawi, menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum

   ada keseragaman pendapat.

  Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: 1.

  Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah ini.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R.

  Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum 10 lainnya.

  Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 58 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 67

  3. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.

4. Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.

  5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

  6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal 3).

  7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam beberapa tulisan

   beliau.

  Unsur - Unsur Perbuatan Pidana yang Disepakati Oleh Para Sarjana Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

  

  ditimbulkan karenanya. Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri.

  Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. Wederrechtelijk (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan

   dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).

  Duet Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaargesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar 12 13 Ibid., hal. 68 14 Moeljatno, Op.Cit., hal. 64 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hal.

  173

  (dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld

   (terjadi karena kesalahan).

  Sementara itu, trio Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.

  Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup

  

  rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. Sehingga perbuatan pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.

  Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan diatas. Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang

  

  Dari kesemua rumusan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali Lamintang.

  Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.

  15 Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 38 16 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yogyakarta, 1995, hal.

  27 17 Moelyatno, Op.Cit., hal. 69

  1. Handeling (perbuatan manusia) Mekipun Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana.

  Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-

unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu

   tindakan manusia

  Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu)

  

  namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat). Juga

   dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum.

  Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat dipidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP

  

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,

diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

   pidana denda paling banyak sembilan ratus rupi

  18 19 Lamintang, Op.Cit., hal. 183 20 Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 39 21 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op.Cit., hal. 28 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  Terlihat dari Pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een

  doen (melakukan sesuatu).

  Seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan

  

  pembunuhan dari Pasal 338 KUHP. ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een nalaten atau niet doen.

  Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat dipidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 298 KUHPdt. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidana.

  Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merampas nyawa anak itu. Dengan demikian lingkungan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat dipidana

   hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.

  2. Wederrechtjek (melanggar hukum) Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-

  

  beda yang masing-masing dinamakan sama. Maka haruslah dijelaskan ke- empat-nya.

  22 23 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 61 24 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op.Cit., hal. 33 Ibid., hal. 39 a.

  Sifat melawan hukum formal Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang- undang telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka rumusannya adalah

  1. Mengambil barang orang lain

  2. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum

  b. Sifat melawan hukum materil Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak

   dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan hukum”.

  Seperti dipidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.

  c. Sifat melawan hukum umum Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.

  d. Sifat melawan hukum khusus Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan maksud

  

untuk dimiliki secara melawan hukum..” . Meskipun pada rumusan perbuatan

25 Ibid., hal. 23

  pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernyataan tersebut. Dicontohkan dengan

  Pasal 338 KUHP

  

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

  Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin dari si pemilik atau tidak.

  Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu

  

  menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. Hal ini digambarkan pada Pasal 164 ayat 1 KUHP

  

(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan

tertutup yang dipakai orang lain dengan me-lawan hukum atau berada di situ

dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak

pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

  Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan

26 Moelyatno, Op.Cit., hal. 68

  

yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera” . Maka ia melanggar

atau melawan hukum yang objektif.

  Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau pelanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan hukum.

  Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana diatas. Masih ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana, berikut pembahasan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut.

  Unsur-unsur perbuatan pidana yang tidak disepakati oleh para sarjana

  1. Schuld (kesalahan) Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undangan bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan

  

  untuk memperingan hukuman. Asas “setiap orang dianggap tahu isi undang- undang” menekankan pentingnya mengetahui hukum. Sehingga seseorang tidak dengan mudah mengelak dari pelanggaran hukum dengan alasan tidak paham hukum.

  Dengan berdasarkan asas tersebut, maka seorang dinilai berbuat kesalahan ketika melanggar hukum. Sedangkan secara mendasar dalam kesalahan ada dua pembagian, yaitu Pertama, opzet (kesengajaan) dan kedua, Culpa (kurang berhati-

   hati atau kelalaian).

  27 28 Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 50 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 65

  Cansil-Christine membagi kesalahan kedalam empat kategori. Pertama,

Doluis (kesengajaan) yang sama artinya dengan opzet. Kedua, Culpa (alpa, lalai).

  Ketiga, dolus generalis (kesengajaan tak tentu). Keempat, Aberratio Ictus (salah kena). Berikut paparannya satu persatu secara singkat.

  a. Dolus Seperti dikemukakan diatas, dolus memiliki arti yang sama dengan opzet yaitu kesengajaan. Perlu diketahui bahwa kitab undang-undang hukum pidana

   tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan kesengajaan.

  Dalam hal ini pasangan cansil merumuskan bahwa kesengajaan merupakan suatu niat atau i’tikad diwarnai sifat melawan hukum, kemudian

   dimanifestasikan dalam sikap tindak.

  Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan itu tiga macam. Pertama, kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua, kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan keinsyafan suatu akibat pasti akan terjadi. Ketiga, kesengajaan disertai dengan keinsyafan akan

   adanya kemungkinan.

  b. Culpa

   Culpa atau ketidaksengajaan ialah berarti kesalahan pada umumnya.

  Maka seorang hakim tidak bisa mengukur ketidaksengajaan atau kelalaian berdasar pada dirinya sendiri, melainkan melihat bagaimana hal umumnya pada masyarakat. 29 30 Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 51 31 Ibid., hal. 52 32 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 66 Cansil dan Cristhine Cansil, Op.Cit., hal. 54

  Ketidaksengajaan dibedakan antara ketidaksengajaan yang disadari dan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari bermakna menimbulkan delik atau perbuatan pidana secara sadar dan telah berusaha untuk menghalangi, akan tetapi terjadi juga. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari bermakna orang melakukan suatu delik tanpa membayangkan akibat yang terjadi atau tidak mengetahuinya.

  c. Dolus generalis Hal yang mebedakan antara dolus generalis dan dolus atau opzet ialah dari tujuannya. Bila dolus dan opzet memiliki satu tujuan yang pasti, maka dolus generalis tak memiliki tujuan yang pasti.

  Digambarkan dengan seseorang yang meracuni pusat air minum dengan maksud agar semua orang yang meminum air tersebut akan terbunuh. Tidak melihat siapa yang terbunuh.

  d. Aberratio Ictus Seperti makna katanya, salah kena berarti akibat tidak sesuai dengan tujuan. Contoh sederhana seseorang yang akan menembak burung meleset dan mengenai manusia.

  2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

   Van hamel membagi hal ihwal ini menjadi dua. Pertama, mengenai diri

  orang yang melakukan perbuatan. Dicontohkan dengan pasal 413 KUHP mengenai kejahatan jabatan.

  

“Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja

mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta

33 Moelyatno, Op.Cit., hal. 64

  

oleh penguasa sipil yang berwenang menurut undang-undang, diancam dengan

pidana penjara lama empat tahun.”

  Dalam kejahatan ini haruslah ada unsur jabatan, sehingga tanpa adanya unsur ini maka tidak mungkin terjadi kejahatan tersebut.

  Kedua, mengenai di luar diri si pelaku. Seperti pasal 160 KUHP terkait penghasutan.

  

“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya

melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum

atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan

yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana

penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah.”

  Kejahatan tersebut memiliki unsur di muka umum. Maka tanpa adanya unsur ini kejahatan tersebut tak bisa dikatakan terjadi.

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

  Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan

  

  dengan “keuangan negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram). Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah “korupsi” yang berasal dari kata

  

corrupteia yang dalam bahasa Latin berarti bribery atau seduction maka yang

diartikan dengan corrupto dalam bahasa Latin ialah corrupter atau seducer.

  

Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang

34 Leden, Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 149

  tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara seduction berarti sesuatu

   yang menarik agar seseorang menyeleweng.

  Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan

  

  pengertian korupsi sebagai berikut: a.

  Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).

  b.

  Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya).

  c.

  Koruptor (orang yang korupsi).

  Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud

  curruptie adalah korupsi yaitu perbuatan curang berupa tindak pidana yang

  

  merugikan keuangan negara. Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih makmur dan jujur.

  Mengenai Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Husein Alatas dalam

  

  bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut : a.

  Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup 35 Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya

  Bakti, Bandung, 2006, hal. 9 36 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modren, Pustaka Amani Ardianto Elvinaro, Jakarta, 2004, hal.135 37 R. Subekti, Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT.Pradinya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 275 38 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1986, hal.36

  sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud).

  b.

  Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.

  c.

  Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

  Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

  d.

  Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

  e.

  Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

  f.

  Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

  g.

  Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

  Menurut Baharuddin Lopa, dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, korupsi menurut sifatnya,

  

  terbagi dalam 2 bentuk, yakni : a.

  Korupsi yang bersifat motif terselubung, yakni korupsi yang sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. 39 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 10 b.

  Korupsi yang bermotif ganda, yakni seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermoif lain, yakni untuk motif politik.

  Mengenai Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan

  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; b.

  Perbuatan melawan hukum; c. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian; d.

  Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

F. Metode Penelitian

  Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

2. Data dan Sumber data

  Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah :

  1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

  2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

  Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi; 3)

  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

  b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.

  c.

  Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

  Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan

  Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.

A. Sistematika Penulisan

  Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  BAB I Pendahuluan Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang,

  perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  

BAB II Kajian Hukum Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam

Hukum Pidana Bab ini menguraikan perkembangan penafsiran perbuatan melawan

  hukum dari waktu ke waktu, jenis-jenis perbuatan melawan hukum, dan perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana.

  

BAB III Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif

Maupun Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidan Korupsi Bab ini menjelaskan mengenai perbuatan melawan hukum materil

  yang diterapkan dalam tindak pidana korupsi baik penerapan melawan hukum materil yang berfungsi positif maupun penerapan perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi negatif.

  

BAB IV Pandangan Dan Alasan Hakim Mahkamah Agung Dalam

Pengambilan Putusan Pada Beberapa Kasus Yang Berkaitan Dengan Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi Bab ini mengemukakan apa yang menjadi pertimbangan,

  pandangan dan alasan hakim di mahkamah agung dalam beberapa pengambilan putusan terhadap kasus-kasus yang diputuskan dengan menggunakan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi positif maupun dalam fungsi negatif dalam kasus tindak pidana korupsi.

BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini

  berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penulisan dan saran dari penulis dari permasalahan tersebut.

Dokumen yang terkait

Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

8 114 109

Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi

7 99 153

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Judi Menurut Hukum Positif (Kuhp) Dan Qanun Nomor 13 Tahun 2003

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Syarat Pemberian Remisi kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi (Koruptor)

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya

0 0 17

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 14