Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi

(1)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

AJARAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

Oleh

VERDIANTO I. BITTICACA 077005061/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA


(2)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

AJARAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

VERDIANTO I. BITTICACA 077005061/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Judul Tesis : AJARAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Mahasiswa : Verdianto I. Bitticaca Nomor Pokok : 077005061

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ketua

)

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Telah diuji pada

Tanggal 29 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

ABSTRAK

Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Tindak pidana korupsi secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). Kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi yakni penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent), keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the

ingenuity or carelesne of the victim), penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation). Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam penerapannya menjadi permasalah di dalan praktek sistem peradilan tindak pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil. Konsepsi perbuatan melawan hukum materil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materil (materiele wederrechtelijkheid). Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah: Pertama, bagaimana ajaran dan konsep tentang perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana. Kedua, bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum (materiele wederrechtelijkheid). Ketiga, bagaimana pembuktian unsur melawan hukum pada kasus korupsi sebagaimana di putusan oleh Mahkamah Agung RI No. No. 2608 K/Pid/2006.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan peneltian yang bersifat deskriptif analisis. Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan

(library research). Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya

akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil dalam perspektif tindak pidana korupsi, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.


(6)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni:

Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu

perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian,

sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan huku m formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan yakni dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materil dalam negatif dan fungsi positif.

Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum di dalam tindak pidana korupsi khususnya perbuatan melawan hukum materil mulai diperhatikan kembali oleh sistem peradilan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006. Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hukum materil, namun dalam praktek pemberantasan tindak pidana korupsi tidak sedikit pula sistem peradilan ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif maupun konservatif. Adapun dasar pengadilan yang menerapkan perbuatan melawan hukum materil pada tindak pidana korupsi adalah perbuatan korupsi sebagai perbuatan tercela yang disebabkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 dalam perkara tindak pidana korupsi dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan terdakwa dengan cara melakukan penunjukan langsung pengadaan tinta sidik jari yang digunakan pada Pemilu legislatif 2004


(7)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010. ABSTRACT

Corruption can be defined as an action related to public interest for the interest of an individual or certain group of people. Specifically, there are thre phenomena of the criminal act of corruption i.e. bribery, extraction, and nepotism. The criminal act of corruption also belongs to economic crime that can be compared to the anatomy of economic crime such as disguise of purpose or intent, reliance upon the ingenuity or carelessness of the victim, and concealment of the violation. Article 2 (1) of the Law on Corruption Removal requires several characteristics of the elements of criminal act and one of them is an action against the law which in practice it becomes a problem in the implementation of court system for corruption criminal act especially that related to an action against the material law. The concept of action against material law has basically been known in the criminal court system in Indonesia but it is not yet effective and it is paid less attention in the court system in Indonesia. The action against the law as stated in Article 2 (1) of the Law on Corruption Removal is functioned as the basic that the elements of the action against the law are not only an action against formality (formele wederrechteli kheid) as followed by the Indonesian Criminal Code but also an action against material law (materiele wederrechteli kheid). Therefore, the purpose of this study is, first, to look at the principle and the concept of action against the law in the criminal law, second, to find out what responsibility the actor of corruption criminal act has in the case of action against the material law (materiele wederrechtelijkheid), and third, to identify how to prove the element of against the law in the case of corruption as decided by the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.2068 K/Pid/2006.

The data for this analytical descriptive study were obtained through library research including the secondary data related to the object of study. The data obtained were qualitatively analyzed by selecting the articles with the legal norms regulating the application the principle of action against the material law in the perspective of corruption criminal act. Then, the articles were systemized to result in certain classification according to the problems discussed in this study.

In criminal law, an action against the law has 4 (four) meanings such as,first, an action against the law is understood as a general requirement to make an action into a criminal case according to the definition saying that a criminal action is a human behavior that can be defined as an offense, agaist the law and an be condemned; second, the words "against the law" are included in the formula of offense, therefore, the nature of against the law is a written requirement to make an action into a criminal case; third, the nature of an action against the formal law includes that the meaning of all elements in the formula of offense has been met-, fourth, the nature of an action against the material law can be viewed from the action itself whether it is against the law or jeopardizes the public interest to be protected by the makers of the law for the formula of offense, and from the law resource to see whether the action against the law has the meaning of againsts the


(8)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

principle of appropriateness, justice, and the law existing in the society. The next development is that the nature of against the material law can be categorized into the nature against the material law in terms of its negative and positive function.

The application of the principle of the action against the law in corruption criminal act especially the action against the material law began to be paid attention again by the court system after the issuance of the Decision of Constitution Court No. 003/PUU-IV/2006. The Decision of Constitution Court has deleted the dimension of an action against the material law, but, in the implementation of the removal of corruption criminal act after the Decision of Constitution Court , many of the existing court systems still apply the action against the material law through the progressive or conservative interpretation and legal finding (rechtsviding). The base for a court to apply the action against the material law in corruption criminal act is corruption as a condemned action because it is not appropriate in terms of justice and social norms existing in the society. This condition can be seen in the Decision of Supreme Court No.2068 K/Pid/2006 in the case of corruption criminal act throgh the action of enriching himself or other people or corporation done by the prisoner by directly appoint the provision of ink for finger print used in the legislative election in 2004 that can inflict financial or economic loss to the state.


(9)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang” AJARAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa., B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M. Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku penguji yang telah memberikan beberapa masukan dan saran guna kesempurnaan penelitian tesis ini.

7. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya.

8. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada Bapak Kapolda Sumatera Utara dan seluruh pejabat Kepolisian Daerah Sumatera Utara serta seluruh keluarga besar Kesatuan Brimob Polda Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi di Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis untuk orang tua dan mertua tercinta, khusus untuk isteri dan anak-anak tercinta yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah


(11)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

mendukung dan memotivasi, penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang ajaran perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi khususnya dalam aspek penerapannya di lembaga peradilan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

Hormat penulis.

VERDIANTO I. BITTICACA


(12)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

RIWAYAT HIDUP

Nama : Verdianto I. Bitticaca

Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 04 Januari 1967 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Polri/ Kasat Brimob

Pendidikan : SD Negeri Tamat Tahun 1981 SMP Negeri 2 Tamat Tahun 1984 SMA Negeri Tamat Tahun 1987

Strata Satu (S1) Universitas Panca Budi Tamat Tahun

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(13)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ……… iii

KATA PENGANTAR ………... v

RIWAYAT HIDUP ……… viii

DAFTAR ISI ……….. ix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 23

C. Tujuan Penelitian ... 23

D. Manfaat Penelitian ... 24

E. Keaslian Penelitian ... 25

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 26

1. Kerangka Teori ... 26

2. Landasan Konsepsional ... 37

G. Metode Penelitian ... 40

1. Spesifikasi Penelitian ... 40

2. Sumber Data ... 42

3. Tenik Pengumpulan Data ... 43


(14)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN

HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA ... 45 A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di Dalam konsepsi

Hukum Pidana ... 45 B. Unsur Perbuatan Melawan Hukum (wederrechtelijke) Dalam

Suatu Tindak Pidana ... 49 C. Perbuatan Melawan Hukum Berhubungan dengan Adanya

Kesalahan (Schuld) Sebagai Syarat Pengenaan Pidana ... 57

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HAL TERJADINYA PERBUATAN MELAWAN HUKUM

( MATERIALE WEDERRECHTELIJKHEID) ... 62 A. Pertanggungjawaban Pelaku Berdasarkan Perumusan

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ... 62 B. Perumusan Pengelompokan Unsur- unsur Terkait Tindak

Pidana Korupsi ... 78 C. Pergeseran Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana

Korupsi Dalam Hal Terjadinya Perbuatan Melawan

Huku m Dari Fungsi Positif Kearah Fungsi Negatif ... 99 BAB IV PEMBUKTIAN UNSUR MELAWAN HUKUM PADA

KASUS KORUPSI SEBAGAIMANA DI PUTUSKAN OLEH

MAHKAMAH AGUNG RI NO. 2608 K/ PID/2006 ... 103 A. Analisis Pidana Ajaran Melawan Hukum Materil Melalui

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/ PUU-IV/2006 ... 103 B. Problematika Hakim Sebagai Subsistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice System) Dalam Menerapkan Ajaran

Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Tindak Pidana Korupsi ... 110 C. Analisis Pemenuhan Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Materil Pada Perkara Korupsi Yang diputus oleh Mahkamah


(15)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

A. Kesimpulan ... 123

B. Saran ... 127


(16)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

ABSTRAK

Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Tindak pidana korupsi secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). Kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi yakni penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent), keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the

ingenuity or carelesne of the victim), penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation). Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam penerapannya menjadi permasalah di dalan praktek sistem peradilan tindak pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil. Konsepsi perbuatan melawan hukum materil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materil (materiele wederrechtelijkheid). Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah: Pertama, bagaimana ajaran dan konsep tentang perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana. Kedua, bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum (materiele wederrechtelijkheid). Ketiga, bagaimana pembuktian unsur melawan hukum pada kasus korupsi sebagaimana di putusan oleh Mahkamah Agung RI No. No. 2608 K/Pid/2006.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan peneltian yang bersifat deskriptif analisis. Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan

(library research). Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya

akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil dalam perspektif tindak pidana korupsi, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.


(17)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni:

Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu

perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian,

sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan huku m formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan yakni dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materil dalam negatif dan fungsi positif.

Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum di dalam tindak pidana korupsi khususnya perbuatan melawan hukum materil mulai diperhatikan kembali oleh sistem peradilan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006. Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hukum materil, namun dalam praktek pemberantasan tindak pidana korupsi tidak sedikit pula sistem peradilan ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif maupun konservatif. Adapun dasar pengadilan yang menerapkan perbuatan melawan hukum materil pada tindak pidana korupsi adalah perbuatan korupsi sebagai perbuatan tercela yang disebabkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 dalam perkara tindak pidana korupsi dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan terdakwa dengan cara melakukan penunjukan langsung pengadaan tinta sidik jari yang digunakan pada Pemilu legislatif 2004


(18)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010. ABSTRACT

Corruption can be defined as an action related to public interest for the interest of an individual or certain group of people. Specifically, there are thre phenomena of the criminal act of corruption i.e. bribery, extraction, and nepotism. The criminal act of corruption also belongs to economic crime that can be compared to the anatomy of economic crime such as disguise of purpose or intent, reliance upon the ingenuity or carelessness of the victim, and concealment of the violation. Article 2 (1) of the Law on Corruption Removal requires several characteristics of the elements of criminal act and one of them is an action against the law which in practice it becomes a problem in the implementation of court system for corruption criminal act especially that related to an action against the material law. The concept of action against material law has basically been known in the criminal court system in Indonesia but it is not yet effective and it is paid less attention in the court system in Indonesia. The action against the law as stated in Article 2 (1) of the Law on Corruption Removal is functioned as the basic that the elements of the action against the law are not only an action against formality (formele wederrechteli kheid) as followed by the Indonesian Criminal Code but also an action against material law (materiele wederrechteli kheid). Therefore, the purpose of this study is, first, to look at the principle and the concept of action against the law in the criminal law, second, to find out what responsibility the actor of corruption criminal act has in the case of action against the material law (materiele wederrechtelijkheid), and third, to identify how to prove the element of against the law in the case of corruption as decided by the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.2068 K/Pid/2006.

The data for this analytical descriptive study were obtained through library research including the secondary data related to the object of study. The data obtained were qualitatively analyzed by selecting the articles with the legal norms regulating the application the principle of action against the material law in the perspective of corruption criminal act. Then, the articles were systemized to result in certain classification according to the problems discussed in this study.

In criminal law, an action against the law has 4 (four) meanings such as,first, an action against the law is understood as a general requirement to make an action into a criminal case according to the definition saying that a criminal action is a human behavior that can be defined as an offense, agaist the law and an be condemned; second, the words "against the law" are included in the formula of offense, therefore, the nature of against the law is a written requirement to make an action into a criminal case; third, the nature of an action against the formal law includes that the meaning of all elements in the formula of offense has been met-, fourth, the nature of an action against the material law can be viewed from the action itself whether it is against the law or jeopardizes the public interest to be protected by the makers of the law for the formula of offense, and from the law resource to see whether the action against the law has the meaning of againsts the


(19)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

principle of appropriateness, justice, and the law existing in the society. The next development is that the nature of against the material law can be categorized into the nature against the material law in terms of its negative and positive function.

The application of the principle of the action against the law in corruption criminal act especially the action against the material law began to be paid attention again by the court system after the issuance of the Decision of Constitution Court No. 003/PUU-IV/2006. The Decision of Constitution Court has deleted the dimension of an action against the material law, but, in the implementation of the removal of corruption criminal act after the Decision of Constitution Court , many of the existing court systems still apply the action against the material law through the progressive or conservative interpretation and legal finding (rechtsviding). The base for a court to apply the action against the material law in corruption criminal act is corruption as a condemned action because it is not appropriate in terms of justice and social norms existing in the society. This condition can be seen in the Decision of Supreme Court No.2068 K/Pid/2006 in the case of corruption criminal act throgh the action of enriching himself or other people or corporation done by the prisoner by directly appoint the provision of ink for finger print used in the legislative election in 2004 that can inflict financial or economic loss to the state.


(20)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi (basic economic and economic life of the nation) dan transnasional crime,1 disamping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik, korupsi moral dan korupsi demokrasi. Stephen D, Plats dalam Ethic Secience mengemukakan bahwa korupsi dapat terjadi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang sosial, In economic term, corruption misdirect resources and discourage

investement by the privat sector...corruptions also has significant social cost, corruption creates a culture of privat and crime and deprives the neediest element society on the benefits of government resources. Futhermore the political cost of corruption can be ruinous, corruption destroys the confidence of people in their government and under mines the very legitimacy of political institutional.2

Secara umum pengertian korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu.3

1

Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah Seminar di Unsoed, Purwokerto, 1999 bahwa The Asian Wall Street Journal pada Tahun 1997 saja sudah menuliskan corruption ranking in 1996, based on the level of corruotion in a country. Indonesia masuk

2

Stephen D, Plats, dalam Triaji, Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Seminar di Unsoed, 1999, hal. 3

Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang

3

Bandingkan, Malaysia Emergency (essential power) Ordonance No. 22 of 1970. Section 2 (1), dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 54 beberapa negara memberikan defenisi yang berbeda tentang korupsi.


(21)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).4 Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:5

1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of

purpose or intent).

2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim).

3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).

Keseriusan pemerintah untuk membahas dan menanggulangi tindak pidana korupsi6

Pengertiannya didasarkan atas pertimbangan kebutuhan negara yang bersangkutan. Malaysia: any members of administration or any member parliament or the state legislative assembly or any public officer, who while being such a member of offence commits any corrupt practical shall be guilty of an offence and shall exceeding fourteen year aa to a fine not exceeding twenty thousand ringgit or to both such imprisonment and fine.

4

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 12

5

Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 5-6

adalah dilahirkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

6

Keseriusan pemerintah Indonesia untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dengan melahirkan dan memperbaharui undang-undang adalah untuk merespon perkembangan yang Internasional yang membahas strategi pemberantasan dan penanggulangan kejahatan korupsi seperti dalam resolusi Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 8 Tahun 1990 tentang Corruption in Government antara lain merekomendasi agar negara anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi (improved banking and financial regulation to prevent capital flight of fund accuires throught corrupt activities). Hasil kongres perserikatan bangsa-bangsa itu direspon oleh negara anggota dan dimulai oleh apa yang disebut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for economic cooperaties and development (OECD). Organisasi ini terlah berhasil menyamakan visi dan misi para anggotanya dalam memberantas korupsi dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut “The OECD Anti Corruption Treaty”. Organisasi pada langkah berikutnya telah mengadakan konvensi pemberantasan penyuapan pejabat pemerintah asing dalam transaksi perdagangan Internasional atau The Convention on Combating Bribery of Foreign Public Official in Internasional Business


(22)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi. Ditinjau dari sisi materi muatannya membawa perubahan yang cukup substansial, sehingga secara filosofis, sosiologis, dan yuridis diharapkan mampu memberikan daya laku yang kuat, dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.

Karakteristik tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan sistem hukum yang dianut oleh kaedah7

Transaction. Peserta konvensi telah menyatakan persetujuannya untuk menyusun undang-undang khusus sebagai bagian hukum internasional yang disebut Foreign Corrupt Practies Act (FCPA).

7

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal, 67 bahwa di dalam penbicaraan mengenai tata kaedah hukum telah disinggung mengenai tujuan kaedah tersebut, yakni kedamaian hidup antar pribadi. Kedamaian tersebut meliputi dua hal yaitu ketertiban ekstern antar pribadi, ketenangan intern pribadi. Kedua hal tersebut ada hubungannya dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi tunggal yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang bersitegang, yaitu memberikan kepastian dalam hukum (“certainty”: “zekerheid”) dan memberikan kesebandingan dalam hukum (“equity”: “billijkheid”; “evenredigheid”). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, kecuali yang telah disinggung di atas, masih ada dua pasang lagi, yakni:

KUH Pidana, terutama yang menyangkut pertanggungjawaban pelaku kejahatan, dalam tindak pidana korupsi pertanggungjawaban pidana adalah lebih luas daripada tindak pidana umum, yaitu:

a. Adanya kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (tanpa hadirnya terdakwa). Hal ini telihat dalam pasal 38 ayat 1 s/d 3 UUPTPK.

a. Nilai kepentingan rohaniah/keakhlakan (spiritualisme) dan nilai kepentingan

jasmaniah/kebendaan (materialisem).


(23)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

b. Adanya kemungkinan perampasan barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum adanya putusan dari pengadilan yang tidak dapat diubah lagi (pasal 38 ayat 5 UUPTPK). Putusan perampasan barang terhadap terdakwa yang telah meninggal dunia tidak boleh banding (pasal 38 ayat 6 UUPTPK).

c. Perumusan tindak pidana korupsi dalam UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya terutama unsur ketiga pada pasal 2 s/d 13 UUPTPK. Unsur tersebut ialah "yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya, bahwa perbuatan teraebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

UUPTPK pada dasarnya mengacu kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUH Pidana, sehingga kerangka hukum yang dijadikan sebagai dasar penindakan pelaku kejahatan korupsi sebagai tindak pidana8 menggunakan norma hukum KUH Pidana (lex generalis).9

8

Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 84, bahwa tindak pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya beliau menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu:

Ketentuan yang mengatur di dalam UUPTPK hanya

a. melawan hukum; b. merugikan masyarakat; c. dilarang oleh aturan pidana; d. pelakunya diancam dengan pidana.

9

Ibid, hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan


(24)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

beberapa pasal saja hasil rumusan dari pembuat UUPTPK sendiri (lex spesialis), sedangkan yang lain adalah menarik dari perumusan KUH Pidana. Adapun pasal-pasal itu antara lain yaitu Pasal 1, 2, 3, 4, 13, 18, 19, 20. 21, 22, 41, 42 dan 43. Tetapi Pasal 21, 22 dan 24 tidak mengenai korupsi dalam arti materiil dan keuangan, karena ketiga pasal itu mengenai perbuatan yang mempersulit pemeriksaan perkara pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Tindak Pidana dalam arti materiil dan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UUPTPK.

Pasal 2 ayat (1)

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain. Begitu juga halnya undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 selain merumuskan perbuatan apa sajakah yang termasuk tindak pidana korupsi, macam pidananya (hukumannya) juga memuat tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi di muka pengadilan.


(25)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Bunyi pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam penerapannya menjadi permasalah di dalan praktek sistem peradilan tindak pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil. Konsepsi perbuatan melawan hukum materiil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia dengan pertimbangan sebagai berikut:10

10

Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 13 April 2009

Pertama, perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara formil

(wederwettelijk) telah mengalami pergeseran dan yang dianggap sebagai terobosan baru dalam hukum pidana, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat, sehingga terjadi perubahan arti menjadi wederrechtelijk, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana hukum pidana. Kedua, wederrechtelijk mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 1 ayat 1 huruf (a) maupun Penjelasan Umumnya


(26)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

erat kaitannya antara penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiil dengan arrest Cohen-Lindenbaum.11

Ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana khususnya perbuatan melawan hukum materil dibatasi penggunaannya melalui fungsi negatifnya sebagai alasan peniadaan pidana, dengan maksud untuk menghindari pelanggaran asas legalitas sekaligus dapat menghindari penggunaan analogi dalam hukum pidana dimaksudkan adalah perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. Contohnya yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.

12

Permasalahannya adalah bagaimana terhadap perbuatan dengan tipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif tercela yang merugikan Masyarakat Negara dalam skala yang sangat besar, tetapi tidak terjangkau peraturan perundang-undangan tertulis (perbuatan melawan hukum formil)? Apakah pelaku dapat berkeliaran secara

11 Ibid 12


(27)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

bebas dengan berlindung dibalik asas legalitas? Dengan disandarkan dari aspek pendekatan sejarah pembentukan undang-undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan legislatif maka sepatutnyalah untuk mempertimbangkan penerapan fungi positif dari perbuatan melawan hukum materiil, dengan kriteria yang tegas dan ketat serta kasuistis, yaitu apabila perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat dan negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materil (materiele wederrechtelijkheid).

Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum di dalam tindak pidana korupsi khususnya perbuatan melawan hukum materil mulai diperhatikan kembali oleh sistem peradilan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006, di dalam putusannya yang menyatakan bahwa:

“Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tidak sesuai dengan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “ Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


(28)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam praktek penerapan ajaran perbuatan melawan hukum ternyata dimensi perbuatan melawan hukum materil baik fungsi positif maupun fungsi negatif dalam tindak pidana korupsi mengalami keadaan

mati suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25

Juli 2006. Tegasnya, putusan Mahkamah Konstitusi telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hukum materil. Apabila dideskripsikan secara global ada beberapa argumentasi sebagai ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan nuansa perbuatan melawan hukum materil sebagai berikut:13

1. Penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama UU Nomor 31 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, hakikatnya penjelasan pasal tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi sebagai

formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele

wederrechtelijkheid. Konsekuensi logis dimensi demikian maka meskipun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil dalam pengertian bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela sehingga telah melanggar kepatutan, kehatihatian dan keharusan dalam masyarakat maka dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan

(rectsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang

berlaku di masyarakat telah cukup menjadi kretaria perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya dikaji dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis penjelasan UU tersebut telah melahirkan norma baru

13

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2007), hal. 78


(29)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

karena digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Selain itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kretaria perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

2. Dikaji dari praktik pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Ketentuan Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh sehingga penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.

3. Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah ada terlebih dahulu. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat UU untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin


(30)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah bestimmheitsgebot.

4. Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materil (materiele wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat pertama UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dikaji dari dimensinya maka perbuatan melawan hukum khusunya perbuatan melawan hukum materil di dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi

mati suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi dikaji dari praktik

peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung RI hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan melawan hukum materil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit pula ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif maupun konservatif.


(31)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Selanjutnya, maksud dari unsur melawan hukum diartikan bahwa tersangka/terdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai suatu benda, dalam hal ini berupa uang. Selanjutnya dalam buku-buku hukum pidana yang dimaksud dengan melawan hukum terdapat perbedaan pendapat antara para pakar misalnya ada yang memakai istilah bertentangan dengan hak orang lain, ada yang memakai istilah tanpa hak, dan lain-lain.14

14

Lihat, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990), hal. 78, di dalam bukunya membagi 2 (dua) sifat melawan hukum yakni:

Yurisprudensi Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis yang meliputi baik melawan hukum yang formal (tertulis) maupun yang materil (tertulis dan tidak tertulis). Dari penjelasan umum UUPTPK dapat dikontruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam hukum perdata yang pengertiannya meliputi sebagai perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau pertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Penjelasan dari UUPTPK Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa yang

a. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil.

Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).

b. Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil.

Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akantetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (iibergesetzlicht).


(32)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

dimaksud dengan "secara melawan hukum" adalah mencakup perbuatan melawan huku m dalam arti formal maupu n dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan; namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Perumusan tentang perbuatan korupsi sebagai perbuatan tercela yang disebabkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial di masyarakat menjadi permasalahan terutama menyangkut tentang penerapan Pasal 2 ayat (1) UUTPK yakni perbuatan melawan hukum materil. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 dalam perkara tindak pidana korupsi dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan terdakwa dengan cara melakukan penunjukan langsung pengadaan tinta sidik jari yang digunakan pada Pemilu legislatif 2004, kerugian keuangan negara sebesar Rp. 1.382.367.515,- (satu milyar tiga ratus delapan puluh dua juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus lima belas rupiah). Terdakwa merupakan sekretaris pengadaan tinta sidik jari yang digunakan dalam Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2004. Pengadaan tinta sidik jari tersebut menggunakan dana yang bersumber dari APBN Tahun 2004. Adapun permasalahan dalam perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung sebagai berikut:15

15

Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 pada intinya menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa. Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi


(33)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

1. Alasan pemohon kasasi bahwa dengan tidak dapat dibuktikan adanya perbuatan pemohon kasasi/terdakwa yang memperkaya orang lain dengan merugikan keuangan negara maka judex facti keliru menerapkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk menghukum pemohon kasasi/terdakwa. 2. Mahkamah Agung berpendapat di dalam pertimbangannya bahwa

dinyatakannya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesi Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat 1 undang-undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya,

pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.09/Pid/TPK/2006/PT.DKI tanggal 9 Agustus 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat tanggal 16 Mei 2006 No.16/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.PST yang dimintakan banding dengan perbaikan amar putusan sekedar pidana tambahan uang pengganti.

2. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana korupsi secara bersama-sama.

3. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4

(empat) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.


(34)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

oleh karena itu berdasarkan doktrin “sens-clair” (Ia doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan:16

a. Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperhatikan doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dengan tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya.

b. Tujuan diperluasnya unsur perbuatan melawan hukum yang tidak lagi dalam pengertian formal namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil adalah untuk mempermudah pembuktian dipersidangan, sehingga suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya,

16

Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 bahwa berdasarkan pengertian “melawan hukum” dalam arti materiil tersebut, Mahkamah Agung berpendapat perbuatan-perbuatan terdakwa sebagai berikut:

1. Merahasiakan nilai total HPS (Harga Perhitungan Sendiri) kepada calon-calon rekanan.

2. Menerima uang saku dari saksi padahal sudah mendapatkan uang perjalanan dinas dari

KPU.

3. Telah mengajukan surat permohonan pembebasan biaya masuk yang harus dibayar oleh

rekakan

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepatuhan masyarakat, oleh karena itu perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positifnya.


(35)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil.

c. Sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No. 275 K/Pid/1983 untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materiil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak dengan memakai tolak ukur asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.

d. Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain undang-undang dan kebiasaan serta traktak yang telah digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Unsur melawan hukum yang diputus oleh Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 dapat dikontruksikan bahwa hakim memutus dengan ketentuan tidak hanya menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat


(36)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

dihukum, melainkan melawan hukum itu adalah untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini dengan "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan atau korporasi" dan dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh Penjelasan Umum UUPTPK menyatakan bahwa:

”Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.

Pengertian tentang perbuatan melawan hukum ini dalam praktek sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-IV/2006 menjadi permasalahan untuk diterapkan, hal ini dapat dilihat pada perkara dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mantan Direktur Bank Mandiri atas nama EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE, dimana terdakwa dituntut oleh penuntut umum telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri.17

“Bahwa perkembangan hukum pidana modern pada dewasa ini tidak lagi terpaku kepada asas legalitas secara absolut sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi asas legalitas tersebut telah bergeser/dinegatifkan berlakunya sejak dianut asas melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) di dalam praktek peradilan pidana, yang ditandai dengan arest water en milk pada tahun 1919. Hal ini membawa

Adapun pledoi terhadap tuntutan penuntut umum sebagai berikut:

17

Lihat, Pledoi / Nota Pembelaan Terhadap Requisitoir / Surat Tuntutan Jaksa Nomor Reg. Perkara: PDS-08/JKT.SL/Ft.1/09/2005.


(37)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

dampak, bahwa praktek peradilan pidana telah meninggalkan asas melawan hukum formil (formiele wederrechtelijkheid) yang berarti asas nullum

delictum tidak absolut lagi berlaku namun tetap wajib memegang teguh asas geen straf zonder schuld.. Berdasarkan hal tersebut, pendapat Jaksa Penuntut

Umum yang menyatakan peran hukum pidana melalui asas materiele

wederrechtelijkheid yang diintroduksikan ke dalam UU No. 31 tahun 1999

merupakan penafsiran yang keliru, karena asas materiele wederrechtelijkheid ini tidak hanya sebatas pengenalan (introduksi) tetapi sesungguhnya telah diadopsi (diakomodir) ke dalam UU No. 31 tahun 1999. Sebagai isyarat, secara faktual penerapan asas melawan hukum materiil (materiele

wederrechtelijkheid), bertujuan agar penegakan hukum tidak membatasi diri

pada kajian-kajian yang formalitis legalistis semata. Oleh karena itu, harus beralih pada kesediaan untuk mengakui bahwa apa yang disebut norma-norma hukum itu sebenarnya harus mencakup pula asas-asas hukum. Dalam pengertian ini, tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan asas

materiele wederrechtelijkheid dalam fungsi positif, menunjukkan tidak

konsisten. Bahwa dengan diakomodirnya asas materiele wederrechtelijkheid ke dalam UU No. 31 tahun 1999, maka substansi normatif yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 tersebut harus menjiwai asas melawan hukum materiil, sehingga meskipun suatu perbuatan tidak dengan tegas dicantumkan dalam undang, perbuatan tersebut tetap dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang tidak tertulis (living law). Begitu juga alasan-alasan untuk pengecualian hukuman terhadap terdakwa harus pula dicari berdasarkan hukum tertulis (positif) maupun hukum tidak tertulis. Sejalan dengan dianutnya asas melawan hukum materiil tersebut, membawa konsekwensi bagi Jaksa Penuntut Umum harus mampu bertindak secara professional untuk membuktikan dakwaannya, sehingga terdakwa dapat dikatakan bersalah atau tidak. Oleh sebab itu, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, harus dapat dibuktikan secara profesional dan proporsional, baik berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999, raison d’etre-nya adalah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, Jaksa Penuntut Umum harus mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum, yang memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahwa secara yuridis, substansi norma hukum yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 adalah merupakan delik materiil, yang ditandai dengan dicantumkannya akibat kongkrit dari perbuatan yang dilarang berupa memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Oleh sebab itu, Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan terjadinya akibat dari


(38)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

perbuatan tersebut sebagaimana perintah Undang-undang. Hal tersebut telah diatur secara khusus dalam Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999, yang intinya Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Artinya, beban pembuktian tidak semata-mata berada di tangan terdakwa, tetapi Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan ini mengandung asas lex specialis derogat legi generali dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bahwa berdasarkan ilmu hukum pidana, penerapan asas melawan hukum materiil dalam suatu tindak pidana, mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya terbatas pada hukum tertulis, tetapi juga meliputi hukum tidak tertulis serta asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat (algemene beginselen van recht). Terhadap asas melawan hukum materil, banyak keberatan dikemukakan oleh para sarjana dengan alasan: Pertama, kepastian hukum akan terabaikan (rechtszekerheid); Kedua, terdapat kecenderungan bagi hakim untuk melakukan tindakan sewenang-wenang; Ketiga, kemungkinan akan lebih dominan terjadinya “main hakim sendiri” (eigenrichting). Namun demikian, dalam perkembangan hukum pidana dewasa ini, keberadaan asas melawan hukum materiil perlu dianut khususnya dalam delik-delik kolektif, tetapi penerapannya harus benar-benar didukung oleh profesionalisme dan pengetahuan yang mendalam tentang disiplin ilmu hukum pidana. Apabila Jaksa Penuntut Umum tetap berfikir secara konvensional, maka akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dakwaannya. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan dakwaannya, demi hukum terdakwa harus dibebaskan sesuai dengan asas geen straft zonder schuld, yaitu terdakwa hanya bisa dihukum apabila dapat dibuktikan adanya kesalahan yang sekecil-kecilnya.Bahwa dalam kaitannya dengan tindak pidana yang didakwakan kepada saya, Jaksa Penuntut Umum terkesan ragu-ragu dalam mencari alasan apakah saya bersalah atau tidak. Hal ini dibuktikan dari tidak konsistennya Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan analisa yuridis yang menjadi dasar Tuntutan kepada saya.Bahwa Jaksa Penuntut Umum menguraikan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU no. 31 tahun 1999 adalah delik formil sedangkan dalam melakukan pembuktian adanya unsur Melawan Hukum pada diri saya, menggunakan argumentasi pembuktian melalui adanya Perbuatan Melawan Hukum Materiil dalam fungsi positif. Menurut teori dan asas-asas hukum pidana yang diterima secara universal, argumentasi yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut diatas, adalah sangat keliru, karena asas melawan hukum materiil adalah berkualitas abstrak yang tidak mungkin dikaitkan dengan fungsi positif. Seharusnya jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan asas Melawan Hukum Materiil harus memahami keberadaan hukum yang tidak tertulis atau norma-norma serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktek perbankan yang dapat menentukan apakah saya bersalah atau tidak. Ternyata Jaksa Penuntut Umum melakukan penerapan asas melawan hukum materiil dengan fungsi positif


(39)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

yang sebenarnya merupakan khasanah delik formil. Dengan demikian, sangat jelas adanya nuansa keragu-raguan (dubious) dari Jaksa Penuntut Umum.

Pemberlakuan ajaran perbuatan melawan hukum khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus dugaan korupsi terhadap Mantan Direktur Bank Mandiri atas nama EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE tidak dapat dipisahkan dari sistem pembuktian untuk meminta pertanggungjawaban pelaku korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mencantumkan mengenai sistem pembuktian yaitu pembuktian terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian). Pembuktian terbalik ini yaitu pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa, terdakwa sudah dianggap terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi kecuali ia mampu membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berkenaan dengan sistem Pembalikan Beban Pembuktian tersebut, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang degan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Ini diatur dalam pasal 37 A, 38 A, dan 38 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjamin adanya keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumpation of innonce) dan asas bersalah dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang. Dalam rangka upaya mendukung penerapan sistem pembuktian terbalik dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah ditetapkan perluasan mengenai


(40)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Khusus dalam Tindak Pidana Korupsi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 180 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Asas tindak pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku dalam hukum pidana selama ini menghambat penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi yang melakukan tindak pidana khususnya menyangkut tentang pembuktian pelaku, oleh karenanya pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi harus melakukan pendekatan dengan menerapkan asas diduga melakukan tindak pidana (praduga bersalah) yang selanjutnya hasil tindak pidana tersebut ditelusuri keberadaannya, apabila transaksi yang dilakukan di luar kewajaran dan diidentifikasi sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan maka pelaku kejahatan tersebut dalam diidentifikasi sebagai pelaku jenis kejahatan kerah putih (white collar crime)18

18

Clarke dalam Edi Setiadi, Op.cit, hal. 25, mempergunakan istilah Business Crime, ke dalam istilah ini termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan dan terjadi di dalam kegiatan perdagangan, keuangan, perbankan dan kegiatan perpajakan. Clarke telah memperluar pengertian business crime yaitu suatu kegiatan yang (selalu) memiliki konotasi legitimate business dan tidak identik dengan


(41)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

yang sulit untuk dideteksi, penyebabnya adalah perangkat hukum perundang-undang khususnya hukum pidana materil masih mengalami kelemahan karena adanya prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan (shuld) dan melawan hukum

(wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana,19 berbeda dengan tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi,20

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh kealpaan;

sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat yakni:

2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf.

kegiatan suatu sindikat krimal. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang termasuk business crime di satu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat kriminal yang juga bergerak di dalam kegiatan perdagangan. Clarke telah mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dari suatu business crime, yaitu pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang bersifat eksploitasi, dan kedua, suatu akibat khas ialah sifat kontestabiliti dari kegiatannya dalam arti kegiatan yang dipandang ilegal menurut undang-undang masih dapat diperdebatkan oleh para pelakunya.

19

Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, 1987/1988), hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

20

Lihat, Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, (Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994), hal. 7 bahwa apabila kita menggunakan pendekatan teknis maka kejahatan ekonomi lebih menampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Dalam hal ini batasan yang dapat dikemukakan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum tanpa menggunakan kekerasan bersifat melawan hukum yang hakekatnya mengandung unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan.


(1)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), Bandung: Alumni, 1987

Adjie, Oemar Seno, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985

Alatas, Syed Husein, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data

Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1983

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosilogis), Jakarta: Toko Gunung Agung Tbk., 2002

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996

---, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998

---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002

Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis (Bisnis Crime ), Bogor: Kencana, 2003

---, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000 ---, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi

PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi,

Jakarta: Paper, 2006

---, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang

Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia,

Jakarta: Paper, 2006


(2)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002

Darmodihardjo, Dardji, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996

Haris, Donald, Remedies in Contract and Tort Law , London: Weidenfeld and Nicolson, 1998

Hock, Lie Oen, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Diucapkan Pada Waktu Pengresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Dari Universitas Indonesia Di Jakarta Pada Tanggal 19 September 1959, Bandung: PT Penerbitan Universitas, Cetakan keempat, 1965

Kamello, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia, Suatu Kajian Terhadap

Pelaksanaan Jaminan Fidusia Dalam Putusan Pengadilan di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: Program Pascasarjana, Universitas Sumatera

Utara, 2002

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003

Lamitang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, Bandung, 1990

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan

Masalahnya), Bandung: Alumni, 2007

Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994

---, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan


(3)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Alumni, 1982

Rawls, John, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001

Remmelink, Jan, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2003

Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum

Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002

Salam, Faisal, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, 2004 Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua

Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Centra, 1968

Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004

Setiyono H, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986

---, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004

---, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983 Suryadarmawan. L, Himpunan Keputusan-Keputusan Dari Mahkamah Agung,


(4)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

B.Makalah, Jurnal, Internet

Arief, Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan

Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah Seminar di Unsoed,

Purwokerto, 1999

---, Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan Perkembangan

Delik-Delik Khusus Dalam Masyarakat Modern, Kertas Kerja Pada Seminar

Perkembangan Delik-Delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, BPHN dan FH Universitas Airlangga, Tanggal 25-27 Pebruari 1980, Bandung: Bina Cipta, 1982

Adji, Indriyanto Seno, Korupsi Dan Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan”, 2002 Atmasasmita, Romli, Proses Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad

XXI : Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Pidato

Pengukuhan Guru Besar Madya, FH UNPAD, Bandung 25 September 1990.

Lie Oen Hok, Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, Pada tanggal 19 September 1959

Juwana, Hikmahanto, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia: Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu, 14 Agustus 2004.

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1980

---, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rhineka Cipta, 2002

Mulyadi, Lilik, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil”

Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

---, Pergeseran Perspektif Dan Praktik Dari Mahkamah Agung

Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia

Peradilan, Tahun Ke XXI No. 246, Mei, 2006, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta


(5)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.

Muladi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penegakan Hukum dalam Mewujudkan Integrated

Criminal Justice System, Makalah dalam diskusi hukum ICJS, Yogyakarta,

25 – 26 Juli 1990

Nasution, Bismar, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan

Eonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004

---, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003

---, Reformasi Pendidikan Hukum, Untuk Menghasilkan SDM Penegak

Hukum Yang Kompeten dan Profesional, Komisi Yudisial dan Reformasi

Peradilan,

Saleh, Roeslan, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987

S, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana

Indonesia, Prisma, No. 7 Juli 1995

Schaffimeister D, Fraud Bestrijding Zonder Grondslag, Leiden, 1990

Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983

Triaji, Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai

Upaya Preventif terjadinya KKN, Seminar di Unsoed, 1999

Perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana, tanggal 25 Mei 2009

C.Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


(6)

Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010. KUH Pidana

KUHAP

Putusan Mahkamah Agung No. 2608 K/Pid/2006 Putusan MARI No. 30 /K/Kr/1969

Putusan MARI NO. 72 K/Kr/1970 Putusan MARI No. 43 K/Kr/1973 Putusan MARI No. 97 K/Kr/1973 Putusan MARI No. 81 K/Kr /1973

Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.09/Pid/TPK/2006/PT.DKI

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.16/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.PST

Pledoi / Nota Pembelaan Terhadap Requisitoir / Surat Tuntutan Jaksa Nomor Reg. Perkara: PDS-08/JKT.SL/Ft.1/09/2005.


Dokumen yang terkait

Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

8 114 109

Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006

0 64 93

Penerapan Batas-Batas Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Suatu Perikatan

11 108 97

ANALISIS YURIDIS UNSUR MELAWAN HUKUM DAN MENYALAHGUNAKAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 16

PENERAPAN AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM PERUNDANG-UNDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA.

0 0 1

PERGESERAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (studi tentang Ajaran sifat Melawan Hukum Materil dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

0 4 9

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 29

Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dan Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 9

BAB II KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Sejarah dan Teori Mengenai Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana - Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah K

0 1 24