Pengaruh Bullying Di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis merupakan pembahasan yang penting

  dalam kesehatan mental manusia (Huppert, 2009). Kesejahteraan psikologis merupakan konsep yang terdapat di dalam Positive Psychology dan telah terbukti di dalam dua dekade belakangan ini bahwa keadaan psikologis seseorang yang positif bukan hanya penting bagi kesehatan seseorang, melainkan juga dapat mempengaruhi proses penyembuhan maupun onset dari suatu penyakit atau permasalahan fisik (Vazquez, Hervas, Rahona, & Gomez, 2009).

  Secara tradisional, kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai suatu kondisi yang bebas dari rasa cemas, depresi, dan simtom distres lainnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kesejahteraan psikologis sudah didefinisikan dengan lebih positif, yaitu meliputi kualitas positif yang dimiliki oleh seorang individu sehingga dapat mencapai kesehatan mental yang baik (Keyes & Magyar-Moe, 2003).

  Secara umum, kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan pertumbuhan pribadi (Jarden, 2012). Menurut Huppert (2009), kesejahteraan psikologis merupakan perpaduan antara feeling good dengan keberfungsian yang efektif.

  Kesejahteraan psikologis juga merujuk kepada bagaimana individu mengevaluasi diri mereka sendiri dan juga mengevaluasi kemampuan mereka untuk memenuhi aspek-aspek tertentu di dalam kehidupan mereka, seperti hubungan dengan orang lain, dukungan, maupun pekerjaan (Flouri & Buchanan, 2003; Wilkinson 2004).

  Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai suatu usaha individu untuk menemukan kemampuan atau potensi yang dimilikinya secara keseluruhan. Usaha tersebut bisa menyebabkan individu untuk menyerah pada keadaan sehingga kesejahteraan psikologisnya menjadi lebih rendah atau bisa pula menyebabkan individu tersebut berusaha mengubah hidupnya sehingga kesejahteraan psikologisnya meningkat (Ryff & Keyes, 1995).

  Individu yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi merupakan individu yang merasa puas dengan hidupnya, memiliki kondisi emosional yang positif, mampu membuat keputusan sendiri dan mengatur kehidupannya sendiri, mampu melewati pengalaman-pengalaman buruk dengan baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan hidup yang jelas, serta mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis merupakan inti dari teori positive functioning psychology yang dikemukakan oleh Ryff (Ryff & Keyes, 1995).

  Berdasarkan uraian di atas, maka kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi dimana individu yang dapat berfungsi secara efektif sesuai dengan potensi yang dimilikinya, mau mengevaluasi dirinya sendiri, mampu mengembangkan dirinya sendiri, puas terhadap kehidupannya, merasa bahagia, dan mampu memenuhi aspek-aspek di dalam kehidupannya.

2. Konsep Kesejahteraan

  Dalam perkembangannya, konsep mengenai kesejahteraan terbagi menjadi dua perspektif besar yang saling berlawanan satu dengan lainnya (Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), kesejahteraan merupakan suatu konstruk yang kompleks yang melibatkan pengalaman dan keberfungsian yang optimal. Pada kenyataannya, bahkan semenjak awal permulaan perkembangannya, terdapat banyak sekali perdebatan mengenai definisi keberfungsian optimal yang sebenarnya dan apa saja terdapat di dalam lingkaran “good life”.

  Perspektif yang pertama disebut juga dengan hedonism. Hedonism memandang bahwa kesejahteraan terdiri dari komponen yang berupa kebahagiaan dan kesenangan. Asal muasal perspektif ini dari seorang filsuf asal Yunani yang bernama Aristippus yang mengajarkan bahwa tujuan utama dari hidup manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan yang tidak terhitung (Ryan & Deci, 2011). Setelah masa itu, perspektif hedonism telah diekspresikan ke dalam berbagai macam bentuk. Namun pada umumnya, psikolog yang menganut perspektif hedonism cenderung berfokus pada kebahagiaan subjektif, pengalaman yang mendatangkan kenikmatan dan penilaian terhadap elemen kehidupan yang baik atau buruk. Asesmen yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan

  

hedonism kebanyakan menggunakan subjective well-being (Diener & Lucas,

  1999). Diener & Lucas (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen yang penting di dalam subjective well-being, antara lain kepuasan hidup, adanya mood yang positif, dan tidak adanya mood yang negatif. Ketiga komponen inilah yang mencakup konsep kebahagiaan.

  Perspektif kedua disebut dengan pandangan eudaimonic. Perspektif

  

eudaimonic ini mendefinisikan kesejahteraan bukan semata-mata hanya dari

  kebahagiaan (Ryan & Deci, 2001). Perspektif eudaimonic menyatakan bahwa tidak semua hal yang diinginkan akan memberi kesejahteraan pada manusia. Walaupun hasil akhir membawa kesenangan, beberapa hasil tidak akan meningkatkan kesejahteraan dan bahkan tidak baik untuk manusia.

  Waterman (1993) mengemukakan bahwa konsep kesejahteraan

  

eudaimonic berfokus pada bagaimana manusia hidup dalam daimon, atau

true self (diri mereka yang sebenarnya). Beliau menjelaskan bahwa

eudaimonic akan muncul apabila aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh

  seseorang sejalan dengan nilai-nilai yang dimilikinya dan orang tersbut secara penuh terlibat di dalamnya. Dalam kondisi demikian, individu tersebut akan merasa dirinya aktif, hidup dan apa adanya. Waterman (1993) mendefinisikan kondisi tersebut sebagai suatu personal expressiveness (PE).

  Personal expressiveness sangat berhubungan erat dengan aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan pertumbuhan dan perkembangan bagi diri individu.

  Selanjutnya, personal expressiveness juga lebih diasosiasikan dengan tantangan dan usaha, sedangkan hedonism lebih diasosiasikan dengan perasaan santai, jauh dari masalah, dan menjadi individu yang bahagia (Ryan & Deci, 2001).

  Ryff dan Keyes (1995) kemudian membedakan kesejahteraan psikologis dengan kesejahteraan subjektif (subjective psychological well-

  being ). Kesejahteraan psikologis merepresentasikan perspektif

  kesejahteraan eudaimonic, sedangkan kesejahteraan subjektif merepresentasikan perspektif hedonism (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep multidimensional yang terdiri dari enam dimensi yang menggambarkan aktualisasi diri manusia, yaitu otonomi, pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif dengan orang lain (Ryan & Deci, 2001).

3. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis

  Ryff (1989) menjelaskan ada enam dimensi kesejahteraan psikologis yang merupakan inti dari positive functioning psychology, yaitu: a.

  Penerimaan diri (self-acceptance)

  Dimensi penerimaan diri merujuk kepada kemampuan seorang individu untuk menerima dirinya sendiri dengan baik berkaitan dengan masa lalu maupun masa sekarang. Selain itu, penerimaan diri juga memiliki kaitan yang erat dengan sikap positif terhadap individu itu sendiri.

  Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi penerimaan diri akan memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, dapat merasakan adanya hal positif yang bisa didapatkan dari pengalamannya di masa lalu, dan mampu menerima serta memahami kualitas diri yang dimilikinya baik kualitas yang bagus maupun yang buruk.

  Sebaliknya, individu dikatakan memiliki penerimaan diri yang rendah apabila ia tidak dapat menerima kondisinya sendiri apa adanya, kurang puas dengan dirinya, terdapat kekecewaan di dalam dirinya akibat dari masa lalu, dan berharap bahwa ia dapat menjadi orang lain dan bukan dirinya saat ini.

  b.

  Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relations with others) Dimensi hubungan positif dengan orang lain merujuk kepada kemampuan individu untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini cenderung mampu menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, menunjukkan rasa afeksi dan empati terhadap orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, dan memahami bahwa di dalam hubungan interpersonal diperlukan prinsip memberi dan menerima.

  Sebaliknya, individu dengan dimensi hubungan positif yang rendah dengan orang lain cenderung kurang cakap dalam membangun hubungan interpersonal, terisolasi, susah untuk terbuka dan peduli terhadap orang lain, tertutup dan tidak berkeinginan untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain.

  c.

  Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi merujuk kepada kemampuan individu untuk lepas atau bebas dari norma-norma yang mengaturnya dan kemampuan untuk mengatur hidupnya sendiri. Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini cenderung bebas dalam membuat keputusan sendiri tanpa bantuan orang lain, bersifat mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial, menentukan sendiri perilaku yang akan dimunculkan, dan memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dirinya sendiri.

  Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini cenderung mempertimbangkan penilaian dari orang lain ketika memutuskan sesuatu, tidak mandiri, mudah melakukan konformitas, mudah terpengaruh oleh tekanan sosial saat mengambil keputusan.

  d.

  Penguasaan lingkungan (environment mastery) Dimensi penguasaan lingkungan merujuk kepada kemampuan seorang individu untuk menguasai dan mengatur lingkungannya, menciptakan perubahan pada lingkungan, memanfaatkan lingkungan dengan baik dan mengendalikan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang dimilikinya.

  Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini akan mampu untuk mengontrol aktivitas eksternalnya seperti mengatur kehidupan sehari-hari, lingkungannya, dan dapat memilih lingkungan yang dibutuhkannya.

  Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini memiliki kendali yang sedikit di dalam lingkungannya karena ia mengalami kesulitan dalam mengatur kehidupan sehari-harinya, tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, dan tidak bisa mengubah kualitas lingkungannya.

  e.

  Tujuan hidup (purpose of life) Dimensi tujuan hidup merujuk kepada arah dan tujuan hidup seorang individu serta kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut.

  Individu dengan nilai tinggi pada dimensi ini akan memiliki tujuan hidup dan sasaran yang akan dituju secara jelas, mampu mengarahkan perilakunya agar dapat mencapai tujuan hidup, dan memiliki makna hidup pada masa sekarang maupun pada pengalaman masa lalunya.

  Sebaliknya, individu dengan tujuan hidup yang rendah hanya memiliki makna hidup yang sangat sedikit atau bahkan sudah kehilangan makna hidup, tidak mengetahui arah yang akan dituju, serta tidak mampu mengambil esensi dari hidup yang dijalaninya sekarang maupun dari pengalaman masa lalu.

  f.

  Pertumbuhan pribadi (personal growth) Dimensi pertumbuhan pribadi merujuk kepada sejauh mana individu mampu menyadari potensi yang dimilikinya, dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya ke arah yang lebih positif.

  Individu yang tinggi pada dimensi ini akan terbuka pada hal-hal baru, memiliki perasaan bahwa dirinya terus menerus berkembang, dapat merasakan perkembangan yang dialami, dan menjadi individu yang memiliki pengetahuan baru

  Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini merasa dirinya kurang baik dalam berkembang, mengalami stagnasi, kehilangan keinginan untuk mempelajari hal-hal baru yang dapat memperkaya dirinya.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

  Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang, yaitu:

  a.

   Gender Gender juga merupakan faktor yang mempengaruhi

  kesejahteraan psikologis seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa wanita memiliki pertumbuhan pribadi dan hubungan positif dengan orang lain yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria.

  b.

  Usia Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa usia ternyata dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Penelitian tersebut melibatkan tiga kelompok usia (muda, dewasa madya, dan lansia) pada aspek kesejahteraan psikologis yang bersifat multidimensional. Pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup, ditemukan terdapat penurunan skor dari usia muda sampai dengan lansia. Hal ini berarti bahwa individu yang lebih muda memiliki pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada dewasa madya. Sedangkan dewasa madya memiliki nilai yang lebih tinggi daripada lansia pada kedua aspek. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia.

  Namun, penelitian tersebut menemukan adanya peningkatan skor pada dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan pada dua dimensi lain, yaitu penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan diantara subjek dengan usia berbeda tersebut. c.

  Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Penelitian oleh Wilkinson, Walford dan Espnes

  (2000) menemukan bahwa ketidaksetaraan status sosial ekonomi pada suatu negara berkembang dapat dikaitkan dengan ketidaksetaraan kesehatan mental individu di dalamnya; dimana hal ini akan berakibat terhadap kesejahteraan seseorang maupun komunitas. Selanjutnya, status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (Ryff, Magee, Kling, & Wing, 1999; Ryan & Deci, 2001).

  d.

  Pendidikan Pendidikan juga merupakan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pendidikan yang semakin tinggi akan mengakibatkan individu memiliki berbagai macam solusi atas permasalahan yang dimilikinya. Pendidikan akan berpengaruh terhadap dimensi tujuan hidup seseorang (Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999).

  e.

  Budaya Faktor lainnya yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang adalah budaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

  Lu (2008), budaya seseorang mempengaruhi cara individu tersebut memaknai kebahagiaan. Hal ini disebabkan karena budaya memegang peranan penting dalam membentuk cara seseorang berpikir, mengkonseptualisasikan diri dan kebahagiaan, serta cara mengatasi masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan sehari-hari.

  f.

   Locus of Control

  Dalam penelitian VanderZee, Buunk dan Sanderman (1997) ditemukan bahwa locus of control merupakan variabel moderator yang menghubungkan antara dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis.

  Individu dengan locus of control internal selalu berusaha untuk menguasai dan memanipulasi lingkungannya secara aktif, mampu mengendalikan kejadian-kejadian seperti keberhasilan atau kegagalan, serta mampu menghindarkan diri mereka dari situasi yang tidak menguntungkan (Kulshretha & Sen, 2006), demikian sebaliknya untuk individu dengan locus of control eksternal.

  g.

  Kepribadian Kepribadian seseorang juga ternyata mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Huppert (2009) mengemukakan bahwa kepribadian extraversion dan neuroticism memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis. Kepribadian seseorang merupakan prediktor terbesar dalam menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe emosi yang negatif. Sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positif (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999).

  Banyak penelitian lintas budaya yang telah melakukan penelitian sehubungan dengan kesejahteraan psikologis dan

  extraversion-neuroticism dan penelitian dari tiga dekade belakangan ini

  menunjukkan bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh yang besar terhadap kesejahteraan psikologis (Abbott, Ploubidis, Croudace, Kuh, Wadsworth, & Huppert, 2008). Sedangkan, neuroticism memiliki efek terhadap kesejahteraan psikologis yang dimediasi oleh distres psikologis.

  h.

   Marital Status (Status Pernikahan)

  Banyak penelitian telah membuktikan bahwa individu yang telah menikah memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi (Myers, 1999). Bierman, Fazio dan Milkie (2006) meneliti mengenai salah satu dimensi dalam kesejahteraan psikologis, yaitu tujuan hidup. Mereka menemukan bahwa individu yang telah menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada sub-skala ini dibandingkan dengan yang tidak menikah.

  Penelitian lainnya oleh Clarke, Marshall, Ryff dan Roshental (2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun ke atas menunjukkan bahwa senoior yang sudah menikah memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi tujuan hidup, penerimaan diri dan hubungan negatif dengan orang lain. i.

  Relatedness Beberapa teoritis telah mendefinisikan relatedness sebagai kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kesejahteraan manusia

  (Baumeister & Leary, 1995). Hubungan interpersonal dapat dikaitkan dengan relatedness dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hubungan interpersonal yang suportif, hangat, dan penuh kepercayaan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang (Ryan & Deci, 2001).

  Nezlek (2000; Ryan & Deci, 2001) telah melakukan review pada beberapa penelitian dan menemukan bahwa kuantitas dari interaksi dengan orang lain tidak dapat memprediksi kesejahteraan seseorang, melainkan kualitas interaksi dengan orang lain (relatedness) yang dapat memprediksi kesejahteraan. Menurut Johnson dan Johnson (2007), hubungan interpersonal yang negatif antar individu dapat memicu terjadinya bullying pada sekolah maupun tempat kerja. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa faktor relatedness ini merupakan faktor penting munculnya bullying di tempat kerja.

B. Bullying di Tempat Kerja 1. Definisi Bullying

  Secara harfiah, bullying berasal dari kata dasar “bully” yang di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pengertak atau orang yang mengganggu yang lemah (Rudi, 2010). Bullying merupakan salah satu perilaku negatif yang ditujukan kepada seseorang yang dapat menyebabkan efek yang negatif dan berkepanjangan kepada korban (MA-L, 2001). Selain itu, bullying juga termasuk ke dalam perilaku agresi (Griffin & Gross, 2004; Einarsen & Mattthiesen, 2007).

  Bullying di tempat kerja didefinisikan sebagai segala bentuk

  perilaku yang berulang, sistematis, dan ditujukan pada seorang pekerja maupun sekelompok pekerja dimana perilaku yang ditujukan tersebut dapat mengancam keselamatan dan kesehatan dari korban (Dealing With

  

Workplace Bullying , 2005; Guidelines on The Prevention of Workplace

Harassment , 2012).

  Leymann (1996) menggunakan istilah mobbing atau teror psikologis untuk menjelaskan mengenai bullying. Menurut Leymann,

  

bullying (mobbing) pada lingkungan kerja melibatkan komunikasi yang

  kasar dan tidak etis, yang ditujukan kepada seorang atau sekelompok pekerja yang menyebabkan pekerja tersebut berada pada posisi yang

  

helpless . Bullying terjadi apabila seorang pekerja secara berkepanjangan

  merasa dirinya mendapatkan perlakuan-perlakuan negatif dari rekan kerjanya yang lain, yang mana pada situasi tersebut, ia mengalami kesulitan dalam melindungi dirinya sendiri (Einarsen, Matthiesen, & Raknes, 1994). Selanjutnya, bullying didefinisikan sebagai salah satu bentuk interpersonal

  

influence yang sifatnya koersif atau memaksa; menghasilkan rasa sakit

  yang bagi orang lain secara sengaja atau menyebabkan rekan kerja menjadi tidak nyaman melalui aksi-aksi negatif seperti kontak fisik, cacian verbal, pengeluaran atau pengabaian anggota kelompok, dan lain-lain (Forsyth, 2006).

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

  bullying di tempat kerja merupakan perlakuan negatif yang berulang-ulang

  dirasakan dan diterima oleh seseorang atau sekelompok pekerja yang mana perilaku tersebut bertujuan untuk menyakiti atau menyusahkan korban dan pada saat yang bersamaan, korban tidak dapat melindungi dirinya sehingga dapat mengakibatkan efek negatif pada korban.

2. Komponen bullying

  Ada tiga komponen penting di dalam bullying, yaitu: a. Berulang (repeated), berupa perilaku yang persisten dan terus-menerus yang diberikan kepada korban. Selain itu, bentuk perilaku yang diberikan bisa saja berbeda-beda, namun cenderung berulang dalam melakukannya.

  b.

  Sistematis, berupa perilaku yang telah direncanakan melalui suatu metode atau ide.

  c.

  Mengancam kesehatan dan keamanan, berarti perilaku yang ditujukan kepada korban dapat berakibat pada kesehatan mental, fisik, maupun emosional pada korban di tempat kerja.

  Contoh yang termasuk ke dalam perilaku bullying yaitu menggunakan bahasa yang kasar atau menghina, menakut-nakuti rekan kerja, menghina, mencaci-maki, mengintimidasi, melakukan kekerasan, menyebarkan rumor atau gosip, melontarkan humor yang ditujukan untuk mengejek, ataupun mengucilkan rekan kerja.

3. Jenis-Jenis Bullying

  Berdasarkan jenisnya, bullying dapat dibagi menjadi bullying langsung dan bullying tidak langsung (Bullying At Work: A Guide for

  Employee, 2009).

  a.

  Bullying yang sifatnya langsung, seperti mengejek, secara teratur mengerjai atau membuat korban sebagai bahan lelucon, menggunakan kekerasan fisik, menggunakan kata-kata yang kasar dan ofensif, perilaku yang bertujuan untuk mengintimidasi, komentar yang pedas mengenai penampilan seseorang, maupun menyebarkan rumor atau gosip mengenai seseorang.

  b.

  Bullying yang sifatnya tidak langsung dapat berupa penumpukan pekerjaan yang berlebihan pada target, memberikan tugas yang di luar kompetensi individu maupun memberi tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya, memberikan perlakuan yang tidak adil di tempat kerja, serta mengucilkan dengan tidak menghiraukan respon atau pendapat dari individu tertentu.

  Johnson & Johnson (2007) mengemukakan terdapat tiga tipe individual yang terlibat di dalam bullying, yaitu (1) bully, yaitu orang yang terus menerus melakukan tindakan bullying seperti menyakiti secara verbal maupun non-verbal, mengucilkan, melakukan kekerasan kepada orang yang lebih lemah, (2) korban, merupakan target dari perilaku agresi yang dikenakan bullying, dan (3) bystanders, yaitu individu diluar bully dan korban yang menyaksikan terjadinya bullying.

4. Dimensi Bullying

  Bullying di tempat kerja dapat dibagi menjadi dua dimensi

  (Einarsen, 1999; Giorgi , Arenas, & Leon-Perez, 2011), yaitu: a.

  Work-related bullying, yaitu perilaku-perilaku bullying yang bertujuan untuk menyusahkan pekerjaan target, misalnya menyembunyikan informasi dari target yang dapat mempengaruhi kinerja target, memberikan pekerjaan diluar kemampuan target, memberikan pekerjaan di luar tanggung jawab target, dan lain-lain.

  b.

  Personal bullying, yaitu perilaku-perilaku bullying yang semata-mata ditujukan untuk target yang sifatnya personal, seperti menyebarkan rumor atau gosip mengenai target di tempat kerja, mengucilkan target, mencemarkan nama baik, dan lain-lain.

C. Pengaruh antara Bullying di Tempat Kerja dengan Kesejahteraan Psikologis

  Konsep kesejahteraan pada dasarnya merujuk kepada keberfungsian psikologis dan pengalaman yang optimal pada manusia

  (Ryan & Deci, 2001). Upaya dalam mencapai keberfungsian yang positif memiliki prinsip dasar bahwa dengan meningkatkan kekuatan-kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh individu, dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis individu (Moe, 2012).

  Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, antara lain usia dan jenis kelamin. Selanjutnya, penelitian lainnya oleh Ryff, Magee, Kling dan Wing (1999) juga menemukan faktor lainnya yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, seperti status sosial-ekonomi dan tingkat pendidikan. Sedangkan Ryan dan Deci (2001) menemukan bahwa kepribadian, kesehatan fisik, kelekatan (attachment) dan relatedness merupakan faktor penting lainnya yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sood dan Bakhshi (2012), menemukan bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang.

  Di dalam konteks organisasi, kesejahteraan psikologis pekerja sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya (Briner, 2000). Kualitas kehidupan kerja seseorang merupakan hasil dari apa yang dirasakan pekerja terhadap seluruh situasi kerja (Jewell, 1998). Peneliti yang meneliti tentang kesejahteraan psikologis setuju bahwa kehadiran dari perasaan emosi yang positif, penilaian yang juga positif terhadap pekerja dan hubungan pekerja dengan tempat kerja yang baik akan meningkatkan performa dan kualitas hidup dari pekerja (Harter, Schmidt, & Keyes,

  2002). Hal ini berhubungan dengan faktor relatedness yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis.

  Relatedness erat hubungannya dengan hubungan interpersonal dan

  merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk dapat mencapai kesejahteraan (Ryan & Deci, 2001). Baumeister dan Leary (1995) membuktikan bahwa individu-individu cenderung memilih interaksi yang dapat menciptakan hubungan yang positif dan bertahan lama, serta saling peduli.

  Selanjutnya, hubungan interpersonal dapat dikaitkan dengan berbagai hal di dalam kehidupan, seperti reaksi terhadap stress, kepuasan hidup, dan kesehatan psikologis (Reis & Collins, 2004). Hubungan positif dengan orang lain juga merupakan salah satu dimensi yang terdapat di dalam kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Ryff dan Singer (2000) mengidentifikasikan dimensi hubungan positif dengan orang lain sebagai dimensi yang paling penting dalam perkembangan manusia. Selanjutnya, Diener dan Seligman (2002) menemukan bahwa individu yang bahagia adalah individu yang dapat mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik dapat menyebabkan peningkatan kepuasan hidup (Park, Peterson,& Seligman, 2005) dan dapat meningkatkan kesejahteraan (Lansford, 2000).

  Akan tetapi, pada kondisi yang kompetitif pada hubungan interpersonal, seperti pada konteks kerja, hubungan yang terbentuk kebanyakan bersifat lebih negatif daripada positif (Johnson & Johnson,

  2007). Di dalam penelitian tersebut juga dikatakan bahwa bullying merupakan indikasi dari hubungan interpersonal yang negatif. Bullying merupakan salah satu perilaku atau perlakuan negatif yang ditujukan kepada seorang maupun sekelompok rekan kerja yang dapat menyebabkan efek yang negatif dan berkepanjangan kepada korban (MA-L, 2001).

  Bullying di tempat kerja dilaporkan dapat meningkatkan simtom-

  simtom fisik maupun psikologis, seperti depresi, burnout, kecemasan, keluhan otot maupun psikosomatis, keinginan untuk tidak hadir pada hari kerja, dan bahkan dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri (Zapf, Knorz & Kulla, 1996; Nield, 1996). Selain itu, penelitian lebih lanjut juga menemukan bahwa korban bullying memiliki tingkat self-esteem, social-

  

competence (Eirnesen & Matthiesen, 2007) dan kepercayaan diri yang

  rendah (Clifford, 2006). Lebih jauh lagi, bukan hanya korban bullying saja yang akan menderita stres, tetapi orang disekitar (observer atau bystander) yang sering menjadi saksi terjadinya bullying juga akan mengalami stres walaupun intensitasnya berbeda (Vartia, 2001).

  Selanjutnya, Leymann (1996) memasukkan efek dari bullying ke dalam empat area, yaitu (1) sosial, meliputi isolasi dari orang-orang di sekitar, (2) sosial-psikologis, meliputi kehilangan kemampuan mengatasi masalah, (3) psikologis, meliputi depresi dan perasaan tidak berdaya, serta (4) psikosomatis, berupa depresi atau kompulsif.

  Penelitian sebelumnya oleh Einarsen, Matthiesen, dan Skogstad (1998) menunjukkan bahwa perawat yang mengalami bullying di tempat kerja cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih rendah daripada perawat yang tidak mengalami bullying. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka peneliti ingin meneliti pengaruh perilaku bullying dengan kesejahteraan psikologis pekerja.

D. Hipotesa Penelitian

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa terdapat pengaruh negatif antara bullying di tempat kerja dengan kesejahteraan psikologis pekerja. Hipotesa di atas mengandung pengertian bahwa perilaku bullying dapat menurunkan kesejahteraan psikologis pekerja.

  Selain itu, terdapat dua hipotesis lainnya yang juga ingin dibuktikan dalam penelitian ini berkaitan dengan bullying di tempat kerja, yaitu: 1.

   Ada pengaruh negatif antara work-related bullying dengan

  kesejahteraan psikologis, yaitu work-related bullying dapat menurunkan kesejahteraan psikologis pekerja.

  2. Ada pengaruh negatif antara personal bullying dengan kesejahteraan psikologis, yaitu personal bullying dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pekerja.