Gambaran Kanker Kolorektal Berdasarkan Kelompok Usia dan Klasifikasi Histopatologi WHO di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2011-Desember 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Usus Besar

  Panjang usus besar adalah 1,5 m dengan diameter sebesar 6,5 cm, yang meluas dari mulai ileus hingga ke anus. Berada dan melekat pada dinding perut posterior oleh mesokolon yang merupakan lapisan rangkap dari peritoneum. Struktural dari usus besar terdiri dari empat bagian, yaitu sekum, kolon, rektum dan kanal anus (Principles of Anatomy and Physiology, 2008). Bagian yang terbuka dari sekum bergabung dengan sebuah saluran panjang yang disebut kolon (saluran makanan), yang terbagi atas kolon bagian ascending, transverse,

  

descending dan sigmoid. Bagian dari kolon ascending dan descending terletak

  retroperitoneal sedangkan bagian transverse dan sigmoid terletak intraperitoneal (Principles of Anatomy and Physiology, 2008). Makanan yang sudah mencapai usus halus secara per bagian akan mencapai kolon. Kolon akan menyerap kembali air, ion-ion termasuk natrium dan klorida serta vitamin dan nutrisi lain dari makanan yang masih dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan yang lainnya akan menjadi produk sisa (feses) (Sherwood, 2010). Gerak peristaltik menyebabkan feses bergerak menuruni sekum dan menuju ke rektum yang berada di anterior sekum dan coccyx, di bagian ini feses akan disimpan sementara sebelum akhirnya akan diekskresikan melalui anus.

  Vaskularisasi utama rektum disuplai oleh cabang superior arteri hemoroidal dari mesentrika inferior, tetapi bagian rektum yang lebih bawah disuplai oleh arteri hemoroidal bagian tengah dari iliaka interna, dan arteri hemoroidal inferior dari arteri pudendal (Kapoor,2013) yang dapat dilihat pada

gambar 2.1. Usus besar memiliki nodus limfa yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan kanker sebelum menyebar ke seluruh tubuh.Gambar 2.1 Anatomi usus besar dan Vaskularisasinya

  (Human Anatomy Lange, 2014) Dinding dari usus besar memiki empat lapisan, yaitu : mukosa, sub mukosa, muskularis dan serosa. Pada gambar 2.2 menunjukkan lapisan mukosa tersusun dari epithelium kolumnar selapis, lamina propria (areolar connective

  

tissue) dan muskularis mukosa (otot polos). Bagian epitelium berfungsi dalam

  absorpsi air serta mengandung sel goblet. Sel absorpsi dan sel goblet terletak pada tubulus kelenjar usus yang panjang dan lurus yang dikenal dengan Lieberkühn

  

cript yang meluas sepanjang mukosa dan ditunjukkan pada gambar 2.3. Usus

  besar tidak memiliki lipatan sirkuler atau vili, tetapi memilki microvili yang berada pada sel absorpsi sehingga kebanyakan proses absorpsi zat terjadi di usus halus. Submukosa mengandung aerolar connective tissue. Bagian muskularis memiliki otot polos longitudinal pada lapisan luar dan otot polos sirkuler pada lapisan dalam. Lapisan longitudinal-nya tebal dan memiliki pita-pita yang dikenal sebagai Teniae coli yang kebanyakan berada di sepanjang usus besar. Bagian serosa usus besar merupakan bagian dari peritoneum visceral. Peritoneum visceral memiliki kantungan kecil yang diisi oleh lemak yang dilekatkan ke teniae coli yang disebut omental appendices (Principles of Anatomy and Physiology, 2008).

Gambar 2.2 Lapisan lumen usus besar

  (Principles of Anatomy and Physiology, 2008)

Gambar 2.3 Histologi usus besar

  (Principles of Anatomy and Physiology, 2008)

2.2 Kanker Kolorektal 2.2.1. Definisi Kanker Kolorektal

  Kanker kolorektal adalah kanker yang dimulai dari bagian kolon atau rektum (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal dapat terjadi terpisah sebagai kanker kolon ataupun kanker rektum, tergantung darimana asal kanker dimulai. Kebanyakan pertumbuhan kanker kolorektal terjadi secara lambat dalam beberapa tahun. Pertumbuhan awal jaringan tumor terjadi dalam bentuk polip non kanker sebelum berkembang menjadi kanker pada lapisan dalam kolon dan rektum (American Cancer Society, 2014).

  Tumor yang terbentuk dapat jinak ataupun ganas. Polip merupakan tumor yang jinak dan non kanker, beberapa polip dapat berubah menjadi kanker tergantung pada jenis dari polip-nya. Adenoma merupakan polip yang dapat menjadi kanker dan beberapa dokter berpendapat bahwa Hyperplastic Polyps and

  

Inflammatory Polyps dapat menjadi prakanker dan berpotensi besar menjadi

  adenoma dan kanker, terutama ketika polip ini tumbuh pada kolon ascending, sehingga ketiga jenis polip ini dikenal sebagai polip pre kanker (American Cancer Society, 2014). Berdasarkan data American Cancer Society sebesar 95% kanker kolon dan atau rektum adalah Adenokarsinoma, yaitu kanker yang berasal dari sel kelenjar yang melapisi bagian dalam usus besar.

  Diagnosis dari adenokarsinoma sesuai dengan adanya keberadaan dari “Paneth cells” yang tersebar, sel neuroendokrin atau fokus kecil dari diferensiasi sel squamous. Tumor yang berpenetrasi melalui mukosa muskularis kedalam submukosa yang dipertimbangkan sebagai keganasan pada kolon dan atau rektum (IARC, 2011).

2.2.2 Epidemiologi

  Secara epidemiologis kejadian kanker kolorektal di dunia mencapai urutan keempat, dimana jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk (IPD, 2009). Pada tahun 2011 diestimasikan bahwa sekitar 141,210 kasus baru dan 49,380 kematian terjadi akibat kanker kolorektal di Amerika Serikat. Sekitar 72% kasus tersebut terjadi pada bagian kolon dan 28% pada rektum (SEER, 2013). Dari data yang dikeluarkan oleh International Agency for research on Cancer pada tahun 2013, berdasarkan GLOBOCAN 2012 terjadi peningkatan sebanyak 14,1 juta kasus baru kanker di dunia dengan 1,4 juta atau 9.7% didiagnosis sebagai kanker kolorektal.

  Kanker kolorektal merupakan masalah yang sering mengganggu kesehatan masyarakat Indonesia dan menduduki urutan ketiga kanker tertinggi. Rata – rata jumlah insidensi kanker kolorektal menurut usia per 100.000 populasi Indonesia adalah 19,1 untuk laki-laki dan 15,6 untuk perempuan (Ferlay, J, et.al dalam Abdullah, 2012). Jumlah ini lebih rendah daripada jumlah insidensi di Australia, Selandia Baru dan Eropa bagian Barat, tetapi jumlah kasusnya tinggi di Indonesia oleh karena Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah populasi terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 235 juta populasi, yang tergambar pada tabel 2.1 dan gambar 2.4.

  Penelitian epidemiologi sebelumnya yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 1995, sebagaimana dikutip oleh Murdani Abdullah (2012) menunjukkan bahwa usia pasien kanker kolorektal di Indonesia lebih muda daripada pasien di negara-negara berkembang lainnya. Lebih dari 30% kasus merupakan usia 40 tahun atau lebih muda, sedangkan hanya 2-8 % yang lebih muda dari 50 tahun di negara berkembang lain (Lee, P.Y. ; Parramore, J.B. dalam Abdullah, 2012).

Tabel 2.1 Karakteristik Demografi di Negara- Negara Asia dibandingkan dengan

  Amerika Serikat (United States Census Bureau, International Database, 2008)

Gambar 2.4 Jumlah Insidensi dari Kanker Kolon dan Rektum menurut jenis kelamin di Negara - Negara Asia dibandingkan dengan Amerika

  Serikat (Taiwan Cancer Registry Annual Report, 2005 (Taiwan); GLOBOCAN, 2002 ;

  IARC, 2003)

2.2.3 Etiologi

  Kanker kolorektal terjadi melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Dua sindroma yang secara genetik diturunkan dan yang paling umum berhubungan dengan kanker kolorektal adalah Familial

  

Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer

  (HNPC) (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal berkembang secara sporadik dalam waktu yang cukup lama sebagai akibat dari faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal baik herediter maupun sporadik tidak muncul secara mendadak, melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasikan pada mukosa kolon (dysplasia adenoma). Secara umum terdapat dua faktor resiko yang dapat berpengaruh terhadap angka kejadian kanker kolorektal, yaitu : 1.

   Faktor Resiko yang Tidak dapat Diubah

  a. Usia

  Kecenderungan dari diagnosis kanker kolorektal meningkat setelah usia 40 tahun dan meningkat tajam setelah usia 50 tahun (SEER, 2013 ; World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Lebih dari 90% kasus kanker kolorektal terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan didiagnosis rata-rata pada usia 72 tahun (National Cancer Institute, 2006 ; SEER, 2013), tetapi insidensi kanker kolorektal tampaknya meningkat pada usia muda sekarang ini (Neufeld, D, et.al, 2009). Kenyataannya saat ini di Amerika Serikat, kanker kolorektal merupakan satu dari sepuluh kanker yang umum didiagnosis pada laki- laki dan wanita yang berusia antara 20 – 49 tahun ( Haggar, 2009).

  b. Riwayat Menderita Polip Adenomatous atau Kanker Kolorektal

  Polip neoplastik kolorektum, yaitu adenoma tubular dan vilus, merupakan lesi prekursor dari kanker kolorektal (Haggar, F.A, 2009). Hampir 95% dari kanker kolorektal yang sporadik berkembang dari adenoma - adenoma ini. Jika memiliki riwayat polip adenomatous, maka akan meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal oleh karena itu, bagi pasien yang memiliki riwayat kanker kolorektal dan telah dilakukan pengangkatan total tetap memiliki kecenderungan untuk terjadinya kanker baru di lokasi lain di kolon dan rektum (American Cancer Society, 2014).

  Perkembangan adenoma untuk menjadi keganasan biasanya membutuhkan masa periode latensi yang panjang dengan perkiraan antara 5-10 tahun (Davies, R.J., et.al ; de Jong, A.E., et.al. dalam Haggar, F.A., 2009). Deteksi dan pengangkatan adenoma sebelum bertransformasi menjadi keganasan dapat mengurangi resiko terjadinya kanker kolorektal (Grande, 2008). Pengangkatan total dari polip adenoma atau karsinoma lokal dihubungkan dengan peningkatan perkembangan dari kanker dibagian mana saja dari kolon dan rektum (De Jong, A.E. dalam Haggar, 2009).

c. Riwayat Menderita Inflammatory Bowel Disease (IBD)

  

Inflammatory Bowel Disease (IBD) digunakan untuk menggambarkan dua

  penyakit, yaitu Ulcerative colitis dan Penyakit Crohn. Ulcerative colitis menyebabkan inflamasi pada mukosa kolon dan rektum (Hanggar, F.A., et.al, 2009 ; World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Penyakit Crohn menyebabkan inflamasi dari keseluruhan dinding usus dan dapat melibatkan bagian dari sistem pencernaan lain mulai dari mulut hingga ke anus. Kondisi-kondisi ini meningkatkan resiko keseluruhan individu untuk menderita kanker kolorektal (National Institute of Health, 2006). Seseorang yang memiliki IBD dapat berkembang menjadi dysplasia. Dysplasia merupakan istilah yang digunakkan untuk menggambarkan abnormalitas sel yang melapisi kolon atau rektum (lesi prakanker) (American Cancer Society, 2014). Resiko relatif kanker kolorektal pada pasien IBD memiliki estimasi antara 4 hingga 20 kali. Oleh karena itu, individu yang menderita IBD tanpa batasan usia diharapkan melakukan skrining kanker kolorektal sedini mungkin dan secara regular (American Cancer Society, 2014 ; Haggar, 2009).

  d.

  

Riwayat Keluarga yang Menderita Kanker kolorektal atau Polip

Adenomatous

  Mayoritas penderita kanker kolorektal terjadi pada orang-orang tanpa riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal ataupun penyakit pendukung lainnya. Meskipun demikian, lebih dari 20% penderita kanker kolorektal memiliki anggota keluarga yang pernah menderita penyakit ini (World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Pasien dengan riwayat menderita kanker kolorektal ataupun polip adenomatous dalam satu atau lebih tingkatan keluarga berada pada resiko tinggi. Kanker kolorektal terjadi lebih tinggi pada orang-orang dengan riwayat keluarga, seperti riwayat kanker kolorektal ataupun polip adenomatous pada usia yang lebih muda dari 60 tahun dalam satu tingkatan keluarga, atau riwayat kanker kolorektal ataupun polip adenomatous dalam dua atau lebih tingkatan keluarga tanpa batasan usia (Boardman, 2007). Belum jelas alasan yang dapat menjelaskan hal ini, tetapi lebih kepada faktor genetik, faktor lingkungan dan beberapa kombinasi keduanya (American Cancer Society, 2014 ; Haggar, 2009). Jika seseorang memiliki riwayat keluarga menderita polip adenomatous atau kanker kolorektal, mulailah melakukan skrining sebelum usia 50 tahun.

e. Faktor Genetik

  Sekitar 5 hingga 10% penderita kanker kolorektal memiliki riwayat kerusakan (mutasi) pada gen dalam keluarga. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya kanker pada usia muda yang sekarang ini terjadi cukup sering (American Cancer Society, 2014). Kondisi genetik yang paling umum adalah

  

Familial adenomatous polyposis (FAP) dan Hereditary nonpolyposis colorectal

cancer (HNPCC), yang juga disebut sindroma Lynch. HNPCC dihubungkan

  dengan mutasi gen-gen yang terlibat pada jalur perbaikan DNA, yaitu gen MLH1 dan MSH2 (World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007) . FAP disebabkan oleh mutasi gen penekan tumor yaitu APC (Wilmink, A.B., 1997 dalam Haggar, 2009).

  Jumlah kejadian HNPCC sekitar 2 - 6%. Usia rata-rata penderita HNPCC yang didiagnosis adalah pertengahan 40 tahun. Penderita HNPCC juga memilki polip, tetapi jumlahnya hanya beberapa, tidak seperti FAP yang bisa mencapai ratusan (American Cancer Society, 2014 ; National Institute of Health, 2006). Sedangkan jumlah kejadian FAP kurang dari 1%. Seseorang dengan FAP memiliki karakteristik perkembangan ratusan polip, biasanya pada usia yang relatif muda, dan bertransformasi menjadi malignan pada awal usia 20 tahun. Saat usia 40 tahun, hampir seluruh penderita ini akan berkembang menjadi kanker jika tidak dilakukan pengangkatan kolon (National Institute of Health, 2006 ; World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007).

2. Faktor Resiko yang dapat Diubah

  a. Faktor Resiko Lingkungan

  Kanker kolorektal secara luas dipertimbangkan sebagai penyakit lingkungan, pengertian dari ‘Lingkungan’ secara luas meliputi budaya, sosial, dan faktor gaya hidup. Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang penyebabnya dapat dirubah dan dapat diidentifikasi, sehingga dapat dilakukan pencegahan (Haggar, F.A., 209). Beberapa bukti resiko lingkungan muncul dari penelitian terhadap para imigran dan keturunan mereka. Para imigran yang berasal baik dari negara yang beresiko rendah sampai dengan beresiko tinggi, kejadian kanker kolorektal cenderung meningkat mengikuti populasi kecenderungan di negara tuan rumah (Janout, A, et.al, dalam Haggar, 2009) (Johnson, I.T, Lund, E.K., 2007). Sebagai contoh, keturunan dari Eropa Selatan bermigrasi ke Austaralia dan para imigran Jepang bermigrasi ke Hawaii, resiko kanker kolorektal meningkat dibandingkan dengan populasi negara asal. Selain dari imigrasi, terdapat faktor geografis lain yang mempengaruhi perbedaan insidensi kanker kolorektal, salah satunya adalah penduduk kota. Insidensi penduduk kota meningkat secara konstan. Penduduk baru merupakan prediktor resiko yang baik dibandingkan dengan penduduk asli, dengan jumlah insidensi kanker kolon lebih tinggi daripada kanker rektum dan insidensi laki-laki lebih tinggi daripada wanita (Boyle, 2002).

  b. Diet dan Asupan Makanan

  Diet sangat kuat mempengaruhi faktor resiko kanker kolorektal dan perubahan kebiasaan makan dapat mengurangi lebih dari 70% kejadian kanker kolorektal. Resiko ini meningkat pada konsumsi makanan yang tinggi lemak, terutama lemak hewan, dan daging serta kurang mengonsumsi sayuran dan buah- buahan (Boyle, 2002). Implikasi dari lemak, sebagai faktor etiologi yang mungkin, dihubungkan dengan konsep dari diet Barat yang mendukung perkembangan dari flora bakteri yang mampu mendegradasi asam empedu menjadi senyawa N- nitrosol yang bersifat carsinogenic. Konsumsi daging yang tinggi juga memilki implikasi terhadap perkembangan kanker kolorektal (Nur, F.D., 2003). Hubungan positif konsumsi daging lebih kuat pada kanker kolon daripada kanker rektum (Alexander, D.D., et.al., 2011 ; Larsson, S.C. dan Wolk, A, 2006). Mekanisme konsumsi daging merah terhadap perkembangan kanker kolorektal adalah berdasarkan keberadaan dari zat besi heme di daging merah. Dalam beberapa hal, daging yang dimasak dalam suhu tinggi, menghasilkan gugus amina heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik, kedua gugus ini diyakini memiliki sifat carsinogenic (Santarelli, R.L., 2008 ; Sinha, R, 2002 dalam Haggar, 2009).

  Diet tinggi sayuran dan buah-buahan dihubungkan dengan penurunan resiko kanker kolorektal, tetapi tidak pada semua studi pengamatan. Hubungan antara konsumsi buah dan sayuran serta insidensi kanker kolon dan rektum telah diteliti dalam dua metode kohort oleh Nurses’ Health Study dengan sampel wanita sebanyak 88,764 dan Health Professionals’ Follow-up Study dengan sampel pria sebanyak 47,325 (Boyle, 2002). Perbedaan asupan serat pada makanan berhubungan dengan perbedaan geografis pada insidensi kanker kolorektal. Sebagai contoh, asupan serat berperan dalam perbedaan jumlah insidensi kanker kolorektal antara Afrika dan negara-negara Barat, dengan dasar bahwa asupan makanan yang tinggi serat dapat mengencerkan kandungan feses, meningkatkan kepadatan feses dan mengurangi waktu transit (World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007).

c. Aktivitas fisik dan Obesitas

  Faktor gaya hidup memiliki hubungan dengan kanker kolorektal. Dua faktor resiko yang dapat diubah dan yang saling berhubungan sebanyak empat per tiga dari kanker kolorektal yaitu, inaktivitas fisik dan kelebihan berat badan. Bukti-bukti menunjukkan penurunan resiko kanker kolorektal dengan peningkatan aktivitas fisik, termasuk efek respon terhadap dosis, frekuensi dan intensitas aktivitas fisik berbanding terbalik dengan resiko (Boyle, 2002). Bukti dari World

  

Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research menunjukkan

  penurunan resiko kanker kolorektal akibat aktivitas fisik yang teratur dan diet yang sehat menunjukkan hasil yang lebih kuat pada kanker kolon daripada kanker rektum. Aktivitas fisik yang sedang meningkatkan kecepatan metabolik dan meningkatkan pengambilan (uptake) maksimal dari oksigen (De Jong, A.E., et.al. dalam Haggar, 2009). Dalam jangka waktu yang panjang, aktivitas fisik yang teratur meningkatkan efisiensi dan kapasitas metabolik tubuh, dan meningkatkan motilitas usus (Boyle, 2002). Aktivitas fisik setara dengan berjalan selama 4 jam per minggu dapat mengurangi resiko kanker kolorektal pada wanita ketika diperbandingkan dengan kelompok yang sedikit bergerak (RR, 0,62 ; 95% CI, 0.40, 0.97), peningkatan aktivitas fisik pria dan wanita serupa pada usia lebih dari 45 tahun (Boyle, 2002).

  Rendahnya aktivitas fisik dalam rutinitas sehari – hari juga dapat berkontribusi dalam peningkatan insidensi obesitas pada pria dan wanita yang juga faktor penting dalam kanker kolorektal. Beberapa hubungan biologis yang berhubungan dengan kelebihan berat badan dan obesitas, meningkatkan sirkulasi estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin serta mempengaruhi resiko kanker, dan dihubungkan dengan kelebihan adipos pada abdomen (Haggar, 2009). Penelitian-penelitian mengungkapkan bahwa individu-individu yang menggunakan / membakar energi lebih efisien dalam penurunan resiko kanker kolorektal (Boyle, 2002).

d. Merokok

  Hubungan antara merokok dan kanker paru telah jelas diketahui, tetapi merokok juga memiliki efek berbahaya pada kolon dan rektum (Boyle, 2002). Bukti menunjukkan bahwa 12% kematian akibat kanker kolorektal disumbangkan oleh merokok. Giovannucci menyimpulkan bahwa 21 dari 22 penelitian menemukan bahwa jangka panjang perokok berat memiliki 23 kali lipat peningkatan resiko adenoma kolorektal. Kandungan carsinogenic yang ditemukkan di dalam rokok meningkatkan pertumbuhan kanker di kolon dan rektum serta mencapai mukosa kolon dan rektum, baik melalui saluran pencernaan atau sistem sirkulasi dan kemudian menyebabkan kerusakan atau perubahan dari gen yang mengekspresikan kanker (National Institute of Health, 2006). Merokok juga berhubungan penting dengan formasi dan kecepatan pertumbuhan dari polip adenoma sebagai prekursor lesi dari kanker kolorektal. Polip yang lebih besar ditemukan di kolon dan rektum yang berkaitan dengan merokok jangka panjang. Bukti juga menunjukkan rata-rata usia muda dari onset kanker kolorektal disepanjang pria dan wanita yang merokok.

e. Konsumsi Alkohol

  Sebagaimana merokok, konsumsi rutin dari alkohol berhubungan dengan peningkatan resiko dari perkembangan kanker kolorektal. Konsumsi alkohol merupakan faktor dari onset kanker kolorektal pada usia muda. Metabolit reaktif di alkohol seperti acetaldehyde dapat menjadi carsinogenic (Po¨schl, G dan Seitz, H.K. dalam Haggar, 2009). Alkohol juga dapat berperan sebagi pelarut, memicu penetrasi dari molekul carsinogenic lainnya kedalam mukosa sel (Po¨schl, G dan Seitz, H.K. dalam Haggar, 2009). Sebagai tambahan, efek alkohol dapat dimediasi melalui produksi prostaglandin, peroksidasi lipid, dan generasi dari radikal bebas. Seseorang yang mengonsumsi alkohol akan terjadi penurunan nutrisi esensial dari makanan yang telah dikonsumsi, sehingga jaringan tubuh mudah mengalami proses karsinogenik (World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007).

2.2.4 Manifestasi Klinis

  Diagnosa dini dari kanker kolorektal dapat mempengaruhi survival rate, gejala awal seperti nyeri perut dapat membingungkan dengan penyakit lain.

1. Gejala- gejala dari kanker kolon

  Gejala-gejala yang umum adalah nyeri abdomen, rektum berdarah, perubahan aktivitas usus dan penurunan berat badan yang tanpa disadari. Kanker kolon dapat muncul dengan diare ataupun konstipasi, perubahan aktivitas usus ini lebih menunju kepada kanker kolon daripada perubahan aktivitas usus yang abnormal secara kronis. Gejala-gejala yang jarang meliputi mual dan muntah, malaise, anorexia dan distensi abdomen (American Cancer Society, 2014).

  Gejala-gejala tergantung pada lokasi kanker, ukuran kanker dan keberadaan dari metastasis. Kanker kolon kiri lebih sering menyebabkan obstruksi usus secara parsial ataupun komplet daripada kolon sebelah kanan oleh karena lumen kolon sebelah kiri lebih sempit dan feses yang berada di sebelah kiri memiliki bentuk yang lebih bagus, karena reabsorpsi air dibagian proksimal kolon. Exopitik kanker yang besar lebih menyebabkan obstruksi dari lumen kolon, obstruksi parsial menyebabkan konstipasi, mual dan distensi abdomen, serta nyeri abdomen. Obstruksi parsial secara paradoksikal menyebabkan diare yang intermiten karena feses yang bergerak pada tempat obstruksi.

  Kanker pada bagian distal terakadang menyebabkan perdarahan rektum yang kasat mata, tetapi kanker pada bagian proksimal jarang menyebabkan gejala- gejala ini oleh karena darah bercampur dengan feses dan didegradasi secara kimiawi saat transit di kolon. Perdarahan pada bagian proksimal kanker terjadi secara tersembunyi dan dapat menyebabkan pasien mengalami anemia defisiensi besi tanpa perdarahan rektum yang kasat mata. Anemia dapat menyebabkan kelemahan, letih, dyspnea, atau palpitasi. Kanker yang lebih lanjut, terutama metastasis, dapat menyebabkan cancer cachexia, dengan karakteristik dari empat gejala berikut yaitu penurunan berat badan yang tidak disadari, anoreksia, kelemahan otot, dan perburukan kesehatan.

2. Gejala-gejala dari kanker rektum

  Kanker rektum memiliki gejala yang hampir sama dengan gejala dari kanker kolon dan penyakit usus lainnya. Perkembangan tumor pada rektum atau kanal anus dapat mengubah konsistensi, bentuk dan frekuensi dari aktivitas usus. Perdarahan pada rektum dengan ditemukan feses berdarah dengan warna merah cerah ataupun dapat terjadi perubahan warna feses menjadi merah gelap ataupun berwarna merah bata. Secara umum gejala-gejala tersebut adalah nyeri pada rektum, nyeri abdomen, frekuensi gas yang sering atau kram perut, perasaan

  , perubahan nafsu makan, penurunan berat badan dan perasaan letih.

  bloating

2.2.5 Patogenesis

  Perjalanan penyakit dari kanker kolorektal terjadi akibat perubahan pada gen kunci pengatur pertumbuhan, yaitu APC, tp53, TGF-

  β Tumor-Suppressor Pathway (gen penekan tumor) , K-ras (proto-onkogen).

  a. APC

  Kanker kolorektal terjadi akibat banyak perubahan genetik, tetapi jalur sinyal tertentu telah secara jelas dipilih sebagai faktor kunci dalam pembetukan tumor. Aktifasi dari jalur sinyal Wnt menjadi awal dari kejadian kanker kolorektal. APC merupakan komponen dari kompleks degradasi protein

  β-catenin

  yaitu proteolisis. Mutasi kanker kolorektal yang paling sering adalah menginaktifasi gen-gen yang mengkode protein APC. Akibat ketidakberadaan fungsi APC, Wnt mensinyal secara tidak wajar. Mutasi dari gen APC menyebabkan poliposis adenomatous familial, hampir 100% karier dari gen ini merupakan resiko dari kanker kolorektal pada usia 40 tahun (Markowitz, S.D., Bertagnolli, M.M., 2009).

  b. Tp53

  Inaktifasi dari jalur p53 akibat mutasi dari TP 53 merupakan kunci genetik kedua dari tahapan kanker kolorektal. Pada kebanyakan tumor-tumor, dua alel Tp53 diinaktifasi, biasanya oleh kombinasi dari mutasi missense yang menginaktifasi aktivitas transkripsi p53 dan delesi kromosom 17p yang mengeliminasi alel kedua Tp53. Inaktifasi dari TP53 sering terjadi dengan transisi dari adenoma besar menjadi karsinoma invasif. Pada kebanyakan kanker kolorektal dengan mismatch dan kerusakan proses perbaikan, aktivitas dari jalur p53 berkurang oleh mutasi pada BAX yang merupakan penginduksi dari apoptosis (Markowitz, S.D., Bertagnolli, M.M., 2009).

  c. TGF- β Tumor-Suppressor Pathway

  Mutasi dari sinyal TGF-

  β merupakan tahap ketiga dari progresi kanker

  kolorektal. Mutasi somatik menginaktifasi TGFBR2 sekitar sepertiga dari kanker kolorektal. Kurang lebih setengah dari semua kanker kolorektal dengan gangguan perbaikan tipe wild, sinyal dari TGF-

  β dihancurkan oleh inaktifasi mutasi missense pada domain TGFBR2 kinase. Mutasi yang menginaktifasi jalur TGF- β

  terjadi dengan transisi dari adenoma ke dysplasia high-grade atau karsinoma (Markowitz, S.D., Bertagnolli, M.M., 2009).

  d.

   K-ras

  Proto-onkogen seperti K-ras, merupakan komponen dari jalur sinyal yang mempromosikan pertumbuhan normal selular dan proliferasi. Mutasi dari proto- onkogen menyebabkan produk gen aktif dengan menghasilkan efek tumorigenik (Lange, 2011). Berikut merupakan jalur-jalur gen pengatur pertumbuhan yang ditunjukkan oleh gambar berikut.

Gambar 2.5 Jalur gen-gen dan faktor pertumbuhan yang mengontrol progresi dari kanker kolorektal

  (Molecular Basis of Colorectal, N Engl J Med, December 17, 2009)

Gambar 2.6 Skema perubahan morfologi dan molecular dalam adenokarsinoma.

  Ditunjukkan bahwa kehilangan dari gen penekan tumor (APC) terjadi pada awal kejadian

  th

  (Robbins Basic Pathology, 7 ed)

2.2.6 Stadium Patologi

  Estimasi paling baik dalam prognosis kanker kolorektal yang berhubungan dengan perluasan anatomi penyakit adalah pemeriksaan patologi dari reseksi spesimen. Staging dari kanker kolorektal relatif lurus kedapan. Pada mulanya

  

staging menggunakan klasifikasi Dukes, dimana pasien dikategorikan menjadi

  tiga kategori (stages A, B, C). Kemudian dilakukan modifikasi oleh Astler-Coller mejadi empat kategori ( stage : D). Gunderson & Sosin memodifikasi kembali pada tahun 1978. Yang terbaru adalah sistem TNM oleh American Joint

  

Committee on Cancer (AJCC) yang mengelompokkan menjadi empat stage (stage

I-IV) yang ditunjukkan untuk tabel 2.2 (Fleming, 2012).

Tabel 2.2 Perbandingan klasifikasi berdasarkan TNM dan Dukes

  akses 21 mei 2014)

  T (Tumor) = tumor primer

  TX – tumor primer tidak dapat dinilai T0 – tidak ada tumor primer Tis – karsinoma in situ: intraepitelial atau invasi dari lamina propria T1 – invasi tumor ke submukosa T2 – invasi tumor ke muskularis propria T3 – invasi tumor melalui muskularis propria ke subserosa T4 – invasi langsung tumor ke organ-organ lain atau struktur-struktur dan/atau perforasi peritoneum visceral

  N (Nodus) = Nodus Limfe Regional

  NX – nodus limfa regional tidak dapat dinilai N0 – tidak ada metastasis nous limfa N1 – metastasis pada satu sampai tiga nodus limfa N2 – metastasis pada empat atau lebih nodus limfa

  M (Metastasis) = penyebaran

  MX – metastasis tidak dapat dinilai M0 – tidak ada metastasis M1 – terdapat metastasis

Gambar 2.7 Gambaran klasifikasi TNM pada kanker kolorektal

   diakses 21 mei 2014)

  • Untuk gambaran tipe histologi, secara internasional klasifikasi histopatologi untuk tumor kolorektal menggunakan klasifikasi menurut World Health Organization (WHO) yang ditunjukkan pada gambar 2.8 berikut ini.

   Jenis Histopatologi

Gambar 2.8 Klasifikasi histologi tumor kolon dan rektum menurut WHO (IARC, 2011).

2.2.7 Diagnosis 1. Anamnesis

  Meliputi perubahan pola makan, gejala-gejala non spesifik yang muncul seperti perubahan aktivitas usus, nyeri abdomen, penurunan berat badan yang tanpa disadari, perdarahan pada bagian rektum, perasaan cepat letih. Penggalian riwayat penyakit dan riwayat dalam keluarga serta gaya hidup dari penderita (American Cancer Society, 2014).

2. Pemeriksaan Fisik

  Dokter melakukan palpasi pada abdomen secara hati-hati untuk merasakan masa atau pembesaran organ-organ (hepatolomegali, splenomegali, dll). Dokter juga melakukan pemeriksaan colok dubur (DRE). Saat pemeriksaan, dokter akan memasukkan lubrikan pada jari telunjuk yang telah menggunakan sarung tangan untuk merasakan massa abnormal pada daerah ini. Pemeriksaan rektum akan menunjukkan masa pada pasien dengan kanker rektum, tetapi tidak pada kanker kolon (American Cancer Society, 2014).

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pendukung

  Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan Tumor markers. Pemeriksaan darah lengkap ditujukkan untuk melihat apakah pasien menderita anemia. Pada beberapa penderita kanker kolorektal menderita anemia oleh karena pendarahan jangka panjang yang disebabkan oleh tumor. Pemeriksaan enzim hati ditujukkan untuk menilai fungsi hati, karena kanker kolorektal dapat menyebar ke organ hati. Sedangkan pemeriksaan tumor markers untuk melihat substansi-substansi yang dihasilakannya, seperti carcinoembryonci antigen (CEA) dan CA 19-9, yang dikeleuarkan ke aliran darah. Pemeriksaan darah untuk penanda tumor lebih sering digunakan dibandingkan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk memonitor pasien yang telah didiagnosis untuk kanker kolorektal. Penanda tumor ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan keberhasilan pengobatan (American Cancer Society, 2014).

  Selain itu terdapat pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu Fecal Occult

  Blood Test (FOBT) yang digunakan untuk menemukan darah yang tersembunyi di

  feses. Pemeriksaan ini didasari pada pembuluh darah pada permukaan dari polip kolorektal yang lebih besar atau kanker yang mudah rapuh dan rusak saat feses keluar. Kerusakan pembuluh darah biasanya mengeluarkan sejumlah kecil dari darah ke feses, tetapi jarang yang terlihat pada feses. Namun pemeriksaan ini tidak dapat menunjukkan asal darah baik dari kolon ataupun dari bagian lain sistem pencernaan. Jika hasil positif, pemeriksaan kolonoskopi dibutuhkan untuk menemukan penyebab perdarahan. Selain kanker perdarahan dapat disebabkan oleh ulkus, hemoroid, divertikulosis, ataupun penyakit inflamasi usus (American Cancer Society, 2014).

a. Biopsi

  Biasanya jika suspek kanker kolorektal ditemukan pada pemeriksaan diagnostik, dilakukan biopsi saat kolonoskopi. Pada biopsi, dokter akan menyingkirkan bagian kecil dari jaringan dengan alat khusus yang dilewati melalui scope. Dapat tejadi perdarahan setelah tindakan ini, tetapi berhenti dalam periode waktu yang singkat. Sangat jarang, bagian kolon membutuhkan operasi pengangkatan untuk menegakkan diagnosis (American Cancer Society, 2014).

  b. Sigmoidoskopi Fleksibel

  Pada pemeriksaan ini, dokter akan melihat bagian dari kolon dan rektum dengan sigmoidoskop fleksibel, yang dilengkapi dengan cahaya dan kamer di ujungnya. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, dapat dilihat bagian dalam rektum dan bagian dari kolon untuk mendeteksi abnormalitas dan menentukkan apakah dapat disingkirkan atau tidak. Namun kelemahan dari alat ini, hanya dapat melihat bagian dalam kurang dari setengah panjang kolon (American Cancer Society, 2014).

  c. Kolonoskopi

  Dengan menggunakan pemeriksaan ini dapat melihat panjang keseluruhan kolon dan rektum dibandingkan dengan sigmoidoskopi. Dengan bantuan kamera pada bagian ujung alat dan dihubungkan dengan monitor sehingga dokter dapat melihat bagian dalam kolon. Alat-alat khusus dapat dimasukkan bersamaan dengan kolonoskopi untuk biopsi ataupun pengangkatan hal-hal yang mencurigakan seperti polip, jika dibutuhkan (American Cancer Society, 2014).

  Kolonskopi merupakan prosedur yang aman, tetapi dalam beberapa keadaan kolonoskopi dapat menusuk dinding kolon atau rektum, yang dapt meyebabkan perforasi. Hal ini dapat menjadi komplikasi serius yang berdampak pada infeksi abdomen yang serius dan membutuhkan operasi perbaikan (American Cancer Society, 2014).

  d. Double-contrast Barium Enema Double- contrast barium enema (DCBE) juga disebut dengan air-contrast

barium enema atau barium enema dengan kontras udara. Pada dasarnya alat ini

  merupakan jenis dari pemeriksaan X-ray. Barium sulfat, yang merupakan cairan yang pucat seperti kapur dan udara digunakan untuk menggambarkan bagian terdalam dari kolon dan rektum untuk melihat area abnormal pada x-ray. Jika bagian yang dicurigai terlihat pada pemeriksaan, kolonsokopi dibtuhkan untuk eksplorasi lebih lanjut (American Cancer Society, 2014).

  e. CT Colonografi (Virtual Colonoscopy)

  Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang lebih maju dari tipe

  

computed tomography (CT atau CAT) scan pada kolon dan rektum. CT scan

  merupakan pemeriksaan x-ray yang menghasilkan detail gambaran potong silang dari tubuh. CT scanner mengambil beberapa gambaran yang dari tubuh yang dirotasikan. Pada CT kolonografi, merupakan program computer khusus yang menciptakan gambaran x-ray dua dimensi dan gambaran tiga dimensi “fly-trough” didalam dari kolon dan rektum, yang dapat melihat polip atau kanker. Pemeriksaan ini tidak invasiv sperti kolonoskopi. Dalam pemeriksaan ini pasien diminta untuk mengosongkan isi usus terutama kolon dan rektum agar menghasilkan gambaran yang baik (American Cancer Society, 2014).

  f.

   Endorectal Ultrasound

  Pemeriksaan ini menggunakan transduser khusus yang dimasukkan secara langsung kedalam rektum. Alat ini digunakan untuk melihat seberapa jauh penetrasi kanker melalui dinding rektum dan apakah sudah terjadi penyebaran ke organ atau jaringan terdekat seperti nodus limfa (American Cancer Society, 2014).

  g. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan

  Sama seperti ct scan, MRI menunjukkan detail gambar dari jaringan lunak di tubuh. MRI membantu pasien dengan kanker rektum untuk melihat apakah sudah terjadi penyebaran tumor ke struktur terdekat. Untuk mendukung akurasi dari pemeriksaan, beberapa dokter menggunakan endorectal MRI. Dokter meletakkan probe nya yaitu endorectal coil, didalam rektum. Alat ini berada didalam selama 30 hingga 45 menit selama pemeriksaan dan tidak nyaman. MRI juga melihat area abnormal pada hati yang dapat dikarenakan penyebaran kanker atau melihat otak dan korda spinal (American Cancer Society, 2014).

2.2.8 Penatalaksanaan

  Berdasarkan stage dari kanker, dua atau lebih dari jenis pengobatan dapat dikombinasi pada saat yang sama atau digunakkan secara bergantian. Penatalaksanaan akan disesuaikan dengan keadaan klinis dari pasien. Dalam penentuan keputusan penatalaksanaan pasien bisa mencari pendapat kedua dari tenaga kesehatan yang ahli lainnya. Pengobatan dari kanker dapat berupa terapi local atau sistemik. Terapi lokal berupa operasi dan radiasi, dimana kanker yang berasa didekat kolon atau rektum dihancurkan atau diangkat. Ketika kanker kolorektal telah menyebar ke organ tubuh lain, terapi lokal dapat digunakan sebagai kontrol penyakit pada area spesifik tersebut. Sedangkan terapi sistemik berupa kemoterapi dan terapi biologis. Obat-obat masuk ke aliran darah dan menghancurkan kanker diseluruh tubuh (American Cancer Society, 2014).

1. Operasi a. Operasi Kolon

  Operasi umumnya merupakan pengobatan utama pada awal stage kanker kolon.

  • - Open Colectomy

  Kolektomi yang dikenal juga dengan hemicolectomy, partial colectomy, atau segmental resection adalah pengangkatan bagian kolon, yang juga terdapat disekitar nodus limfa. Operasi open colectomy dilakukan melalui insisi tunggal di abdomen. Satu hari pra operasi, pasien disuruh untuk mengosongkan seluruh isi usus, dengan memberikan laxative dan enema. Sebelum operasi, pasien juga akan diberi anastesi umum (American Cancer Society, 2014).

  Sekitar seperempat hingga sepertiga dari kolon diangkat, tetapi panjang pasti yang akan diangkat tergantung dari ukuran dan lokasi pasti dari kanker. Bagian dari kolon hasil dari operasi akan mengalami penyatuan kembali. Nodus limfe terdekat juga akan diangkat pada saat yang bersamaan (American Cancer Society, 2014).

  • -Laparoscopic – assisted colectomy

  Metode terbaru dalam pengangktan bagian kolon dan nodus limfe terdekat mungkin merupakan pilihan untuk beberapa stage awal dari kanker. Ahli bedah melakukan insisi kecil pada abdomen dan memasukkan instrumen panjang untuk pengangkatan kolon dan nodus limfe. Alat tersebut adalah laparoscope yang memiliki kamera kecil pada ujungnya. Oleh karena insisi yang lebih kecil daripada open colectomy, proses penyembuhan sedikit lebih cepat dan rasa sakit yang sedikit daripada operasi kolon yang standar. Teknik ini membutuhkan ahli bedah yang berpengalaman (American Cancer Society, 2014).

  • -Polipektomi dan Eksisi Lokal

  Beberapa kanker kolon stadium awal (tumor stage 0 dan stage 1 awal) atau polip dapat diangkat dengan operasi melalui colonoscope. Polipektomi dilakukan dengan mengangkat kanker dari polip dengan cara memotong batang (area yang mirip dengan jamur). Eksisi lokal menyingkirkan kanker di permukaan dan sejumlah kecil jaringan disekitar (American Cancer Society, 2014).

b. Operasi Rektum -Reseksi Lokal Transanal

  Reseksi lokal transanal dilakukan dengan alat-alat yang dimasukkan melalui anus, tanpa membuat pembukaan pada kulit abdomen. Operasi ini memotong keseluruhan lapisan rektum dan menyingkirkan kanker disekeliling dari jaringan normal dan menutup lubang pada dinding rektum. Prosedur ini dapat digunakan untuk stage 1 yaitu T1 N0 M0 kanker rektum yang relatif kecil dan tidak terlalu jauh dari anus, dilakukan dengan anastesi lokal (American Cancer Society, 2014).

  • -Transanal endoscopic Microsurgery

  Dilakukan pada awal stage 1 (T1 N0 M0) yang lebih tinggi pada rektum, dibandingkan menggunakan standar reseksi transanal.

  • -Low Anterior Resection

  Beberapa stage 1 kanker rektum dan kebanyakan stage II atau III pada sepertiga atas rektum dapat diangkat dengan low anterior resection. Dengan metode ini, bagian rektum yang mengandung tumor disingkirkan tanpa mengenai anus. Kolon lalu melekat pada bagian rektum yang tersisa sehingga setelah operasi, gerakkan usus akan sama seperti keadaan normal (American Cancer Society, 2014). lebih kepada operasi abdomen. Pasien akan

  Low anterior resection

  diminta mengonsumsi laxative dan enema sebelum operasi untuk membersihkan isi usus (American Cancer Society, 2014).

  • -Proktektomi dengan anastomosis kolon – anal

  Stage I dan kebanyakan stage II dan III dari kanker rektum pada pertengahan dan sepertiga bawah membuthkan pengangkatan seluruh rektum (proktektomi). Kemudian kolon dihubungkan dengan anus ( anastomosis kolon – anal). Rektum harus disingkirkan dengan eksisi mesorektum total (EMT), yang membutuhkan pengangkatan seluruh nodus limfa didekat rektum. Prosedur ini sulit, tetapi teknik modern mungkin untuk dilakukan (American Cancer Society, 2014).

  Tekadang ketika anastomosis kolon – anal selesai, kantungan kecil tebentuk karena penggandaan segmen yang pendek dari belakang kolon ( colonic

  

J-pouch) atau oleh pembesaran segmen (coloplasty). Bagian kecil yang terbentuk

  ini berfungsi sama seperti fungsi rektum sebelum operasi yaitu sebagai penyimpan feses (American Cancer Society, 2014).

  • -Reseksi Abdominoperineal (RAP)

  Operasi ini lebih dilakukan daripada low anteriror resection. dapat dilakukan untk mengobati kanker stage 1 dan stage II dan III pada sepertiga bawah rektum (bagian didekat anus), terutama jika kanker tumbuh didekat otot sphincter ( otot yang mempertahankan anus tertutup dan mencegah kebocoran feses) (American Cancer Society, 2014).

  • -Pelvic Exenteration

  Jika kanker rektum tumbuh didalam organ terdekat. Bukan saja dokter bedah mengangkat rektum tetapi organ terdekatnya juga sperti kandung kemih, prostat, atau uterus, jika terjadi penyebaran ke oragan – organ tersebut. Pasien akan membutuhkan kolostomi setelah pelvic exenterasi. Jika kandung kemih diangkat, pasien membutuhkan urostomi ( pembukaan bagian depan abdomen tempat urin keluar dan ditahan oleh kantungan portable) (American Cancer Society, 2014).

2. Operasi dan Pengobatan lokal untuk metastasis kanker kolorektal

  Terkadang operasi kanker yang telah menyebar dapat membantu hidup lebih panjang, dan dapat menyembuhkan. Pada beberapa kasus, jika tidak memungkinkan pengangkatan tumor dengan operasi, pengobatan non-operasi mungkin dapat digunakan untuk mengahancurkan tumor di hati (American Cancer Society, 2014).

a. Obat – Obatan Kanker kolorektal

  Obat - obat berikut biasanya dikonsumsi secara kombinasi guna efektifitas pengobatan.

  • 5-fluoreuracil (5-FU), diberikan dengan obat leucovorin yang serupa vitamin yang dikenal dengan asam folinik, yang menyebabkan efek obat sebelumnya lebih bagus.

  ®

  • Capecitabine (Xeloda ) , bentuk pill. Sekali berada didalam tubuh, obat ini berubah menjadi 5-FU

  ®

  • Irinotecan (Camptosar )

  ®

  • Oxaliplatin (Eloxatin )

2.2.9 Pencegahan 1. Screening

  Kunci dari pencegahan kanker kolorektal yaitu screening yang regular, dimulai pada usia 50 tahun. The U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan penggunaan fecal occult blood (FOB), sigmoidoskop, atau kolonoskopi pada awal usia 50 tahun dan dilanjutkan hingga usia 75 tahun. Individu dengan resiko tinggi kanker kolorektal harus melakukan screening yang dimulai pada usai lebih muda dan membutuhkan pemeriksaan lebih sering (American Cancer Society, 2014).

2. Modifikasi Diet

  Makanan berserat dapat mengurangi resiko kanker kolon. Mekanisme melibatkan penurunan paparan mukosa terhadap kasinogen intraluminal yang disebabkan oleh stimulasinya transit usus, pengurangan konsentrasi dari karsinogen di feses yang disebabkan oleh peningkatan kepadatan feses, peningkatan konsentrasi asam lemak rantai pendek antikanker dan stabilisasi kadar insulin akibat tertunda-nya penyerapan pati yang mungkin mempromosikan karsinogen kolon (American Cancer Society, 2014).