BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Ekonomi - Analisis Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2006-2010 (Studi Kasus : Pantai Barat, Pantai Timur, Dataran Tinggi dan Pantai Selatan)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

  Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi.

  Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung mengambarkan tingkat perekonomian yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan dimasa yang akan datang.

  Pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat dinikmati masyarakat sampai lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. tahun tergambar melalui penyajian PDRB atas dasar harga konsumen secara berkala, yaitu pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif menunjukkan adanya penurunan. Selain itu pertumbuhan ekonomi umumnya juga disertai dengan terjadinya pergeseran pekerjaan dari kegiatan yang relative rendah produktivitasnya ke kegiatan yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain pertumbuhan ekonomi secara potensial cenderung meningkatkan produktivitas pekerja, dan meningkatkan skala usaha.

  Kuznets (1966) mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai “kenaikan jangka panjang dalam kemampuan negara untuk menyediakan semakin banyak barang kepada penduduknya, kemampuan ini bertambah sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang di perlukan”.

  Dalam pertumbuhan ekonomi ada beberapa kompenen penting yang perlu dianalisis yaitu:

  1. Akumulasi modal Akumulasi modal meliputi semua investasi baru pada tanah, peralatan listrik dan sumber daya manusia. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan masyarakat diinvestasikan dengan tujuan memperbesar output. Pabrik baru, mesin peralatan, dan material meningkatkan stock modal secara fisik suatu negara dan memungkinkan tercapainya peningkatan output.

  Investasi produktif ini juga dilengkapi dengan infrastruktur social ekonomi yaitu: Jalan, listrik, air, sanitasi, komunikasi dan sebagainya guna menunjang

  2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja.

  Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja dianggap sebagai faktor positif dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan meningkatkan luasnya pasar domestik.

  3. Kemajuan teknologi Dalam pengertian yang paling sederhana, kemajuan teknologi terjadi karena ditemukannya cara baru atau perbaikan cara penyelesaian tugas tradisional.

  Kemajuan tekhnologi yang netral terjadi apabila penggunaan teknologi berhasil mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama. Kemajuan teknologi hemat pekerja terjadi apabila dengan menggunakan jumlah input pekerja dan modal akan dicapai input yang lebih tinggi sedangkan kemajuan teknologi hemat modal akan menghasilkan produksi padat karya yang lebih efisien.

2.2 Pertumbuhan Ekonomi Regional

  Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat intern dan sebagian lainnya bersifat ekstern dan sosio politik. Faktor faktor yang berasal dari daerah itu sendiri meliputi distribusi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal, sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Teori pertumbuhan ekonomi regional menitikberatkan pada keuntungan lokasi, aglomerasi migrasi, dan arus lalu lintas modal antar wilayah.

  Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal,

2.2.1 Model Export – Base

  Pada teori ini mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi. Dimana pertumbuhan ekonomi suatu region akan ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi dan dapat digunakan oleh daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap region hal ini tergantung pada keadaan geografi daerah setempat.

  Pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan oleh eksploitasi kemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah yang bersangkutan yang juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari daerah-daerah lain. Pendapatan diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja, keuntungan keuntungan eksternal, dan pertumbuhan regional lebih lanjut.

  Ini berarti untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunnya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan staregi pembangunan ditingkat nasional.

2.2.2 Model Neo Klasik Kelompok ini mendasarkan analisanya pada peralatan fungsi produksi.

  Unsur unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal dan tenaga kerja. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

  Suatu kesimpulan menarik dari model neo klasik adalah bahwa terdapat kemakmuran daerah (regional disparity) pada negara yang bersangkutan. Pada saat proses pembangunan baru dimulai (negara-negara sedang berkembang), tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu lama (negara yang telah berkembang), maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence) hal ini disebabkan pada negara yang sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pembangunan belum dapat terjadi. Masih belum lancarnya fasilitas pembangunan dan komunikasi serta kuatnya tradisi yang menghalangi mobilitas penduduk biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah. Sedangkan pada negara-negara yang telah maju proses penyesuaian tersebut dapat terjadi dengan lancar karena telah sempurnanya fasilitas-fasilitas perhubungan dan komunikasi.

  2.2.3 Model Cummulative Causation

  Teori ini berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar (market mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk program program pembagunan regional, terutama untuk daerah-daerah yang relative terbelakang.

  2.2.4 Model Core Periphery

  Teori ini menekankan analisanya pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan perkotaan (Core) dan desa (Periphery) menurut teori ini, gerak langkah pembangunan daerah perkotaan akan lebih banyak pedesaan tersebut juga sangat ditentukan oleh arah pembangunan perkotaan dengan demikian aspek interaksi antar daerah (spatial interaction) sangat ditonjolkan.

2.3 Pembangunan Ekonomi Regional

  Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

  Hirschman(1958) mengemukakan konsep pengembangan wilayah menyatakan bahwa dalam suatu wilayah atau daerah yang cukup luas hanya terdapat beberapa titik-titik pertumbuhan (growth center), dimana industri berada pada suatu kelompok daerah tertentu sehingga menyebabkan timbulnya daerah pusat dan daerah belakang (hinterland). Untuk mengurangi ketimpangan ini perlu memperbanyak titik-titik pertumbuhan baru.

  Pertumbuhan perekonomian daerah sangat ditentukan oleh beberapa faktor internal: Kekuatan daya dukung ekonomi didalam daerah dan faktor eksternal : kekuatan dari luar yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Jadi dengan demikian perbedaan laju pertumbuhan antar wilayah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan.

  North dalam Jhinghan (1990) mengemukakan bahwa pertumbuhan wilayah sangat tergantung pada keberhasilan dari suatu kegiatan yang dilakukan terhadap suatu wilayah yang merupakan hasil pengembangan ekspor baru. Salah satu teori Inti dari teori basis ekspor adalah bahwa pertumbuhan wilayah bergantung pada permintaan yang datang dari luar wilayah tersebut (exogenous demand), dengan demikian peningkatan atau penurunan ekonomi ditentukan oleh kinerja kegiatan ekspor, yaitu berupa produksi barang dan jasa yang dijual keluar wilayah. North dalam teori Eksport Base menyebutkan bahwa masuknya pertambahan penduduk dan modal yang sangat besar dalam suatu wilayah dapat memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan wilayah.

2.4 Pembangunan Ekonomi Daerah

  Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Lincolin Arsyad membedakan pengertian daerah (region) berdasarkan tinjauan aspek ekonomi kedalam 3 kategori:

  1. Daerah homogen, yakni daerah dianggap sebagai suatu ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi dan didalam ruangan tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan tersebut antara lain dari segi pendapatan perkapita, sosial budaya, geografis dan lain sebagainya.

  2. Daerah nodal, yakni suatu daerah di anggap sebagai ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan.

  3. Daerah administratif, yakni suatu ekonomi ruang yang berada dibawah satu sebagainya. Pengertian daerah disini didasarkan pada pembagian administrative satu negara. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.

  Menurut teori ekonomi Neoklasik, ada 2 konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi. Artinya, sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah.

2.5 Ketimpangan Distribusi Pendapatan Antar Wilayah

  Pertumbuhan ekonomi harus direncanakan secara komprehensif dalam upaya terciptanya pemerataan hasil hasil pembangunan. Dengan demikian maka wilayah yang awalnya miskin, tertinggal dan tidak produktif akan menjadi lebih produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

  Strategi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “redistribution with growth”. Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan mengunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan Negara yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi didaerah daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang” dilihat dari pembangunan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang secara signifikan .

  Williamson mengunakan Williamson indeks (Indeks Williamson) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson mengunakan PDRB Per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat kesejahteraan antar kelompok. Formulasi indeks Williamson secara statistik adalah sebagai berikut :

  �( − ) 0 <Vw<1

  =

  Dimana :

  VW : Indeks Williamson Yi : PDRB per kapita di kabupaten / kota i. Y : PDRB per kapita Propinsi Sumatera Utara P i : jumlah penduduk di kabupaten / kota i P : jumlah penduduk propinsi Iw : 0 ( artinya merata sempurna) Iw : 1 (artinya ketimpangan sempurna)

  Angka koefisisen Indeks Williamson adalah sebesar 0 < IW < 1. Jika Indeks Williamson semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil atau semakin merata dan sebaliknya angka yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. Walaupun indeks ini memiliki kelemahan yaitu sensitive terhadap defenisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan artinya apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda maka akan berpengaruh terhadap hasil perhitungannya, namun cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

  Banyak studi yang menganalisis faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Dan Tambunan (2001) menyimpulkan bahwa faktor penyebab ketimpangan ekonomi antar daerah adalah.

1. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

  Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi pada pada suatu daerah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Dimana ekonomi dari daerah dengan dengan tingkat konsentrasi ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat dan sebaliknya.

  2. Alokasi Investasi Teori Harrod Dommar menunjukkan ada korelasi postif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya Investasi disuatu wilayah akan menyebabkan wilayah tersebut sulit berkembang dan menyebabkan rendahnya pendapatan perkapita diwilaah tersebut. Hal itu dikarenakan tidak adanya kegiatan ekonomi produktif.

  3. Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal produksi faktor produksi tanpa hambatan maka akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai.

  4. Perbedaan SDA antar provinsi Menurut dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa daerah yang kaya akan SDA akan lebih cepat maju dibandingkan dengan daerah yang miskin dengan SDA

  5. Perbedaan kondisi demografis antar wilayah Ketimpangan ekonomi regional di daerah juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis ditiap kabupaten kota. Dalam hal ini pertumbuhan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja.

  Faktor faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, dan etos kerja yang tinggi merupakan asset penting bagi produksi.

6. Kurang lancarnya perdagangan antar provinsi

  Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan salah satu unsur yang menyebabkan ketimpangan antar daerah. Dimana ketidaklancaran itu disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi.

  Ketimpangan pembangunan memberikan dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut adalah(www.bappenas.go.id) : 1.

  Banyak wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program program pembangunan sehingga akses terhadap pelayan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah sekitar. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah.

  Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain : a.

  Terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relative maju b.

  Kepadatan penduduk relative rendah dan tersebar c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia.

  d.

  Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan daerah secara langsung.

  e.

  Belum kuatnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah wilayah ini Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh

  Banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain: (a) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (b) belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasaan di daerah; (c) belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta; (d) belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah; (e) masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan masyarakat serta antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; (f) masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi; (g) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (h) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.

  Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah- wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang

3. Wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang

  Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan ilegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan sosial.

  Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking” sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah.

  Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah

  Kesenjangan pembangunan antara kota dan desa Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi ekonomi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan.

5. Pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia

  Dampak utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul terjadinya kemiskinan.

  Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.

2.7 Teori Basis Ekonomi

  Teori basis ekonomi merupakan salah satu teori atau pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Ide merupakan aktivitas-aktivitas basis ekonomi, yaitu dalam arti pertumbuhannya memimpin dan menentukan perkembangan suatu wilayah secara keseluruhan, sementara aktivitas-aktivitas lainnya yang non basis adalah secara sederhana merupakan konsekuensi dari keseluruhan perkembangan wilayah tersebut (Hoover and Giarratani,1984). Dengan demikian perekonomian wilayah dapat dibagi menjadi 2 yaitu aktivitas basis dan aktivitas non basis.

  Glasson (1978) menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas basis adalah aktivitas yang mengekspor barang-barang dan jasa keluar ketempat-tempat diluar batas perekonomian wilayah yang bersangkutan, atau yang memasarkan barang-barang dan jasa-jasa mereka kepada orang-orang dari luar perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan aktivitas non basis adalah aktivitas aktivitas yang menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang orang yang bertempat tinggal didalam batas batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Ruang lingkup produksi dan daerah pasar sektor non basis terutama adalah wilayah yang bersangkutan atau bersifat lokal.

  Dalam bahasan teori basis sektor, aktivitas-aktivitas atau industri-industri yang mengekspor kedaerah lain merupakan basis ekonomi atau sektor basis dari daerah yang bersangkutan. Bila permintaan terhadap ekspor daerah tersebut meningkat, maka sektor basis itu akan berkembang. Hal ini pada gilirannya akan mendorong suatu perluasan didalam aktivitas aktivitas pendukung sektor non basis. Fenomena inilah yang menjadi pokok perhatian dari analisis teori basis ekonomi.

  Dalam menentukan sektor basis dan non basis dapat dilakukan dengan bahwa yang menentukan kegiatan basis dan bukan basis digunakan metode lansung untuk mengetahui sektor mana yang merupakan sektor basis. Metode ini dapat menentukan sektor basis secara tepat, namun metode ini memiliki beberapa kelemahan yakni, memerlukan waktu, biaya dan tenaga kerja lebih banyak. Sehingga pakar ekonomi wilayah mengunakan metode tidak langsung yakni, 1). Metode arbiter, 2). Metode Location Quatient (LQ), dan 3). Metode kebutuhan minimum. Dari 3 metode tersebut Glason menyarankan mengunakan metode LQ dalam menentukan kegiatan basis dan non basis.

  Location Quotient (koefisien lokasi) atau disingkat LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peran suatu sektor disuatu kabupaten / kota terhadap besarnya peran sektor tersebut di provinsi. Secara matematis perbandingan ini dapat ditulis sebagai berikut

  =

  Dimana : xi : Nilai tambah sektor di tingkat Kabupaten i PDRB : Produk Domestik Regional Bruto daerah tersebut Xi : Nilai tambah sektor di tingkat Propinsi PDRB ’ : PDRB di tingkat Propinsi.

  Apabila LQ > 1 artinya peranan sektor tersebut di kabupaten/kota tersebut lebih menonjol daripada peranan sektor tersebut di provinsi. Sebaliknya apabila , LQ < 1 maka peran sektor tersebut di kabupaten/kota lebih kecil dibandingkan dengan di provinsi. LQ > 1 menunjukkan bahwa bahwa peran sektor cukup menonjol didaerah tersebut sekaligus menunjukkan bahwa daerah tersebut surplus akan produk tersebut dan mengekspornya kedaerah lain. Daerah hanya mungkin mengekspor produk kedaerah lain dikarenakan daerah tersebut mampu menghasilkan produk tersebut lebih murah dan efisien. Atas dasar itu LQ >1 menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk sektor i. dimaksud.

2.8 Tipologi Klassen

  Tipologi Klassen merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional, yaitu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pada pengertian ini, Tipologi Klassen dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang menjadi acuan atau nasional dan membandingkan pertumbuhan PDRB perkapita daerah dengan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau PDB perkapita (secara nasional) Alat analisis Tipologi Klassen merupakan gabungan atau perpaduan antara alat analisis hasil bagi lokasi atau Location Quotient (LQ) dengan Model Rasio

  Pertumbuhan (MRP). Tipologi Klassen dapat digunakan melalui dua pendekatan, yaitu sektoral maupun daerah. Data yang biasa digunakan dalam analisis ini adalah data Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Tipologi Klassen dengan pendekatan wilayah menghasilkan empat kuadran dengan karakteristik yang berbeda sebagai berikut (Sjafrizal, 1997).

  1. Daerah yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran daerah dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk.

  2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi<g dan gki>gk.

3. Daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III).

  Kuadran ini merupakan kuadran untuk daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g), tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah tersebut (gki) lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi>g dan gki<gk.

  4. Daerah relatif tertingggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional (g) dan sekaligus pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang menjadi acuan atau secara nasional (gk). Klasifikasi menurut daerah dapat dilihat pada Tabel 2.1 :

Tabel 2.1 Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Wilayah

  Kuadran I Kuadran II Daerah maju dan tumbuh dengan Daerah maju tapi tertekan pesat gi<g dan gki>gk. gi>g dan gki>gk.

  Kuadran III Kuadran IV Daerah yang masih dapat Daerah relatif tertinggal berkembang dengan pesat gi<g, gki<gk gi>g, gki<gk

2.9 Penelitian terdahulu

  Penelitan tentang disparitas daerah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti yakni: Hera Pramesti Putri (2010) meneliti tentang disparitas pendapatan

  Kabupaten Kendal (Studi kasus: Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi. Indeks Williamson (IW) pada daerah Dataran Rendah selama periode 2002-2006 cenderung menurun dengan rata-rata IW sebesar 0,523 dan pada daerah Dataran Tinggi mengalami fluktuasi dengan rata IW sebesar 0,194. Dengan pengujian hipotesis Kuznets disimpulkan bahwa hipotesis Kuznets tidak berlaku pada daerah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Kendal tahun 2002-2006. Selain itu Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) sektor unggulan pada daerah Dataran Rendah adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; dan sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor unggulan pada daerah Dataran Tinggi adalah sektor pertanian. pendapatan regional dengan membandingkan Cina dan Indonesia. Dengan menggunakan indeks Entrophy Theil, hasil studi menunjukkan bahwa di Cina, ketimpangan meningkat dari sebesar 0,230 pada tahun 1995 menjadi 0,235 pada tahun 1997 dan kemudian terjadi peningkatan lagi pada tahun 1998 menjadi 0,249.

  Sedangkan untuk Indonesia, penelitian dilakukan dengan dua periode yaitu tahun 1993-1997 (sebelum krisis) dan tahun 1997-1998 (selama krisis). Hasil studinya menunjukkan bahwa terjadi penurunan ketimpangan selama krisis ekonomi.

  Yakin Rahmat Zebua (2011) Melakukan Penelitian mengenai disparitas pembangunan antara Kabupaten Nias dengan Nias Selatan. Hasil analisis menunjukkan ketimpangan yang terjadi di Nias lebih tinggi dari yang terjadi di Nias Selatan, walaupun ketimpangannya masih tergolong rendah, dengan analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa kedua daerah termasuk daerah yang relative tertinggal. Hipotesis Kuznets berlaku berlaku di kedua daerah, dimana kedua daerah memiliki sektor unggul yang relative sama yakni pertanian namun pada Kabupaten Nias juga memiliki sektor unggul di sektor jasa.

  Chalif Prasetio Wicaksono (2010) melakukan penelitian mengenai disparitas pendapatan antar kabupaten / kota dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 – 2007. Hasil analisis yang mengunakan ketimpangan Williamson dan Indeks Theil menunjukkan bahwa ketimpangan/disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah selama tahun 2003-2007 tergolong tinggi, karena berada diatas ambang batas 0,5. Indeks Theil dan indeks Williamson yang menunjukkan adanya disparitas pendapatan antar kabupaten/kota karena masih tergolong tinggi.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Burung Pantai dan Potensi Makanan di Kawasan Pantai Muara Indah Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara

5 98 84

Analisis Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2006-2010 (Studi Kasus : Pantai Barat, Pantai Timur, Dataran Tinggi dan Pantai Selatan)

5 123 111

Determinan Pertumbuhan Ekonomi Regional Sumatera Utara (Studi Kasus: Wilayah Pantai Timur)

0 18 8

Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

1 87 108

Analisis Pengembangan Kawasan Pariwisata Pantai Cermin (Studi Kasus : Desa Pantai Cermin Kanan...

1 26 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pantai - Pemodelan Profil Pantai untuk Estimasi Jarak Sempadan Pantai di Kawasan Pantai Cermin

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai - Prediksi Parameter Gelombang Yang Dibangkitkan Oleh Angin Untuk Lokasi Pantai Cermin

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Burung Pantai - Keanekaragaman Burung Pantai dan Potensi Makanan di Kawasan Pantai Muara Indah Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara

0 4 10

Analisis Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2006-2010 (Studi Kasus : Pantai Barat, Pantai Timur, Dataran Tinggi dan Pantai Selatan)

0 0 26