BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN - Transformasi Gaya Arsitektur, Studi Kasus: Istana Maimun, Medan

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

  3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang kompleks dan rinci. Penelitian yang menggunakan pendekatan induksi yang mempunyai tujuan penyusunan konstruksi teori atau hipotesis melalui pengungkapan fakta merupakan penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif. Paradigma ini disebut juga dengan pendekatan konstruktifis, naturalistik atau interpretatif (constructivist, naturalistic of intrepetative

  approach ), atau perspektif post-modern (Erlina, 2011).

  Penelitian ini berarti: (1) Menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok.

  (2) Menggambarkan mekanisme sebuah proses atau hubungan. (3) Memberikan gambaran, baik yang berbentuk verbal maupun numerikal. (4) Menyajikan informasi dasar. (5) Menciptakan seperangkat kategori atau pengklasifikasian. (6) Menjelaskan tahapan-tahapan atau seperangkat tatanan. (7) Menyimpan informasi yang tadinya bersifat kontradiktif mengenai subyek penelitian.

  3.2. Variabel Penelitian Variabel adalah sesuatu yang dapat membedakan atau mengubah nilai.

  Nilai dapat berbeda pada waktu yang berbeda untuk obyek atau orang yang sama, atau nilai dapat berbeda dalam waktu yang sama untuk orang atau obyek yang berbeda. Pada penelitian ini terdapat dua buah variabel, yaitu variabel dependen dan independen (Erlina, 2011).

  3.2.1. Variabel Dependen

  Variabel ini sering juga disebut dengan variabel terikat atau variabel tidak bebas, variabel output, kriteria atau konsekuen, dan menjadi perhatian utama dalam penelitian. Variabel tak bebas ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel sebab atau variabel bebas. Jadi variabel dependen adalah konsekuensi dari variabel independen.

  Yang menjadi variabel dependen di dalam penelitian ini adalah bangunan Istana Maimun. Variabel ini merupakan perhatian utama dari penelitian ini dan bersifat terikat.

  3.2.2. Variabel Independen

  Variabel independen dinamakan pula dengan variabel yang diduga sebagai sebab (presumed couse variabel) dari variabel dependen, yaitu variabel yang diduga sebagai akibat (presumed effect variable). Variabel independen juga dapat disebut sebagai variabel konsekuensi (consequent variabel). Variabel ini sering juga disebut dengan variabel bebas, variabel stimulus, dan prediktor. Variabel yang dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel dependen, atau yang menyebabkan terjadinya variasi bagi variabel tak bebas (variabel dependen) dan mempunyai hubungan yang positif maupun negative bagi variabel dependen lainnya.

  Yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah langgam dan latar belakang yang dimiliki oleh sang arsitek perancang Istana Maimun. Sang arsitek adalah orang yang sangat berperan penting dalam perencanaan dan pembangunan istana sehingga menjadi variabel utama yang membentuk sebab dalam penelitian ini.

3.2.3. Operasional Variabel

  Operasionalisasi variabel penelitian ini ditampilkan pada tabel:

Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel

  Metode Penelitian Variabel Indikator

  Deskriptif Sumber Survey Skala Data

  Independen Gaya Studi Jurnal Arsitektural Literatur Ilmiah

  Istana Labuhan Deli Dependen Gaya Studi Jurnal Observasi Bentuk

  Arsitektural Literatur Ilmiah Istana Maimun

  3.3. Populasi / Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005:72). Populasi dalam penelitian ini digolongkan kedalam populasi homogeny yang berarti populasi ini memiliki sifat atau keadaan yang sama, sehingga dalam pengambilan sampel tidak perlu mempersoalkan jumlahnya secara kuantitatif sepanjang jumlah tersebut telah memenuhi syarat minimum sampel untuk tujuan analisis data penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah detail arsitektural Istana Maimun.

  Sampel dapat dikatakan baik apabila sampel tersebut memenuhi dua kriteria yaitu presisi dan akurat. Sampel yang diharapkan memiliki presisi yang tinggi yaitu sampel yang mempunyai tingkat kesalahan pengambilan sampel yang rendah. Kesalahan pengambilan sampel (sampling error) adalah seberapa jauh sampel berbeda dari yang dijelaskan pleh populasinya. Adapun ruang lingkup sampel dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk detail arsitektural yang terdapat di Istana Maimun diantaranya:

  (1) Lingkungan Istana (2) Bentuk Bangunan (3) Atap (4) Material

  3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian:

  (1) Studi Kepustakaan, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan teori-teori yang ada kaitannya dengan masalah dan variabel yang diteliti, terdiri dari bangunan istana maimun dan gaya arsitektur yang terdapat didalamnya. Studi literatur ini diperoleh dari :

  • Perpustakaan
  • Hasil penelitian terdahulu
  • Jurnal-jurnal imiah
  • Media-media (cetak dan elektronik)

  (2) Observasi, dilakukan dengan meninjau secara langsung detail arsitektural yang terdapat di Istana Maimun dan berada di dalam ruang lingkup sampel penelitian. (3) Wawancara, sebagai teknik komunikasi langsung dengan pihak Yayasan

  Sultan Al-Maksoem selaku pengurus Istana Maimun untuk meninjau lebih dalam tentang sejarah kerajaan dan bangunan istana sendiri.

  3.5. Kawasan Penelitian Ruang lingkup pada kawasan penelitian ini yaitu bangunan Istana Maimun yang terletak di Jl. Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan

  Medan Maimun, Medan, Sumatera Utara. Bangunan istana sendiri mempunyai

  2 luas kurang lebih 2.772M .

  3.6. Metode Analisa Data Salah satu tujuan penelitian adalah untuk menguji hipotesis. Tujuan pengujian hipotesis untuk menentukan apakah jawaban teoretis yang terkandung dalam pernyataan hipotesis didukung oleh fakta yang dikumpulkan dan dianalisis dalam proses pengujian data.

  Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Peneliti akan melakukan studi literatur tentang sejarah dibangunnya Istana

  Maimun yang diambil berdasarkan teori dan diadaptasi dari penelitian- penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian didapatlah hasil berupa variabel moderating. (2) Kemudian peneliti melakukan studi literatur tentang langgam sang arsitek yang membangun Istana Maimun yang diambil berdasarkan teori dan diadaptasi dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian didapatlah hasil berupa variabel independen.

  (3) Kemudian peneliti melakukan survey observasi tentang komponen arsitektural yang terdapat pada Istana Maimun sesuai populasi dan sampel yang telah ditentukan. Kemudian didapatlah hasil berupa variabel dependen

  (4) Langkah selanjutnya peneliti mengelompokan variabel dependen kedalam kelompok gaya arsitektural yang didapat dari variabel independen dan moderating dan menarik kesimpulan antara ketiga variabel tersebut.

  Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua metode penelitian antara lain deskriptif dan eksplorasi.

3.6.1. Analisa Deskriptif

  Metode analisis deskriptif merupakan metode yang digunakan dengan mengadakan pengumpulan data dan penganalisaan data yang diperoleh sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat seta hubungan antar fenomena yang diteliti.

  Penelitian deskriptif membantu peneliti untuk menjelaskan karakteristik subjek yang akan diteliti, mengkaji berbagai aspek dalam fenomena tertentu, dan menawarkan ide masalah untuk pengujian atau penelitian lanjutannya. Penelitian ini kadang-kadang dimaksudkan untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan penelitian (Sekaran, 2003).

3.6.2. Analisa Eksplorasi

  Analisa ini disebut juga analisa penjajakan yang bertujuan untuk memahami karakteristik fenomena atau masalah yang diteliti. Analisa ini dilakukan untuk mengklasifikasikan berbagai macam persoalan yang masih bersifat samar-samar. Tujuan langsung ari studi ini adalah untuk mengembangkan hipotesis atau pertanyaan-pertanyaan untuk penelitian selanjutnya (Cooper & Emory, 1995 dalam Erlina, 2011).

  Tujuan Penelitian dan Variabel

  Jenis Penelitian Metode Analisis Studi literatur terhadap Istana Labuhan Deli (Independen)

  Deskriptif Analisis data sekunder Bangunan Istana Maimun (Dependen)

  Eksplorasi Observasi

Tabel 3.2. Metode Analisis

BAB 4. ISTANA KESULTANAN DELI

  4.1. Sejarah Kesultanan Deli Berdirinya Kesultanan Deli sangat sering dikaitkan dengan seorang tokoh asal India bernama Gocah Pahlawan. Gocah Pahlawan dianggap sebagai nenek moyang rakyat Deli dan Serdang. Gocah Pahlawan bernama asli Yazid dan merupakan keturunan raja–raja Bukit Mahameru, yang kemudian meninggalkan Pagaruyung karena terjadi konflik dengan ayahnya. Dengan menumpang kapal pedagang dari India, ia terdampar di Pantai Aceh Pasai (Pelly dkk., 1986:11 dalam Baiduri, 2012).

  Gocah Pahlawan menjadi terkenal di Aceh setelah berhasil mengalahkan 7 orang pengacau bangsa Rum (Turki). Karena jasanya tersebut ia kemudian diberi gelar Gocah Pahlawan oleh Sultan Aceh. Dari keberhasilannya menaklukkan Aceh, seperti Bengkulu, Pahang, dan johor, ia diberi gelar Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Kudja Bintan (Sinar, 1971:31 dalam Baiduri, 2012). Pada 1619M Sultan Iskandar Muda melakukan politik ekspansi dan penaklukan kerajaan di daerah Deli, khususnya kerajaan Aru yang terletak di Delitua dipimpin oleh Gocah Pahlawan. Dalam sejarah tercatat ada beberapa kali Aceh menyerang Aru yakni pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Said Al-Mukammal dan Sultan Iskandar Muda (Said, 1981 dalam Baiduri, 2012). Keberhasilan Gocah Pahlawan inilah yang membuat Sultan Iskandar Muda mempercayakannya sebagai wakil Aceh yang memerintah di Delitua. Nama Aru kemudian berganti dengan Deli, sebagaimana disebutkan dalam surat Iskandar Muda kepada Raja James I dari Inggris tahun 1615 M sebagai salah satu negeri yang dikuasai Iskandar Muda (Husny, 1975 dalam Sinar, 1989). Oleh karena itu Kesultanan Deli boleh dikatakan sebagai lanjutan dari Kerajaan Aru-Deli Tua, sebab Gotjah Pahlawan kemudian digelari “Yang Di Pertuan Deli” dan keturunannya menjadi penguasa Deli. Dari sinilah dimulainya riwayat Kerajaan Deli.

Gambar 4.1. Lambang Kesultanan Deli Sumber: www.wikimedia.org (2014)

  Pada tahun 1665M Sri Gocah Pahlawan meninggal dunia, selanjutnya memerintah di Deli yaitu Tuanku Panglima Perunggit. Pada masa ini kekuasaan Aceh sudah lemah dan setelah mangkatnya Sultan Iskandar Thaani, maka Aceh diperintah oleh raja-raja perempuan. Pada tahun 1669M, Panglima Perunggit memploklamirkan Deli merdeka dari Aceh dan Berhubungan dengan Belanda di Melaka. Pada tahun 1700 masehi Tuanku Panglima Perunggit wafat dan kemudian tahta kesultanan digantikan oleh keturunannya secara turun-menurun.

  Secara keseluruhan raja atau sultan yang pernah bertahta di Kerajaan Deli adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. Sultan Deli dan Peranannya

  Nama Sultan Peran Mendirikan Kesultanan Deli

  1. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan (1632-1669) dan memusatkan pemerintahan di Deli Tua Memindahkan pemerintahan

  2. Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698) ke Medan

  3. Tuanku Panglima Padrap (1698-1728) Memindahkan pemerintahan

  4. Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761) ke Labuhan Deli

  5. Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805)

  6. Sultan Amaluddin Mangedar Alam (1805-1850)

  7. Sultan Osman Perkasa Alamsyah (1850-1858)

  8. Sultan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873) Memindahkan pemerintahan

  9. Sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) kembali ke Medan

  10. Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam (1924-1945)

  11. Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam (1945-1967)

  12. Sultan Azmy Perkasa Alam (1967-1998)

  13. Tuanku Otteman Mahmud Perkasa Alam (1998-...) Sumber: Sinar (1989)

  4.2. Istana Labuhan Deli Kesultanan Deli dahulunya berada di kawasan provinsi Sumatera Utara, yang dulunya disebut Sumatera Timur. Wilayah Kesultanan Deli terletak antara

  4057’ – 4039’ Lintang Utara, dan 98025’-90047’ Bujur Timur (Veth, 1877:153 dalam Baiduri, 2012). Sejak ditetapkannya lokasi Kesultanan Deli pusat pemerintahan telah mengalami beberapa kali perpindahan. Semasa Gocah Pahlawan, kesultanan Deli berkedudukan di Delitua, kemudian semasa pemerintahan Tuanku Panglima Parunggit bergeser ke Medan Deli, dan selanjutnya ke Labuhan Deli pada masa Tuanku Panglima Pasutan.

  Sebelum pada akhirnya dipindahkan ke Medan, Kesultanan Deli yang pada masa itu dipimpin oleh Panglima Pasutan memusatkan pemerintahannya di Labuhan Deli. Pada masa kepemimpinannya, Panglima Pasutan membanguna istana Kerajaan Melayu Deli yang terletak di depan Mesjid Al-Osmani. Pieter Johannes Veth (1814-1895) seorang profesor geologi dan etnografi Belanda memberikan gambaran tentang istana tersebut yaitu sebagai berikut: “Bahwa bangunan istana sultan yang berbentuk rumah panggung dan terbuat dari papan ini sangat luas. Istana ini berdiri diatas tiang yang tingginya hampir 4 meter di atas tanah. Ruang depan istana ini tidak memiliki tiang di tengahnya ditutupi oleh bubungan atap yang tinggi sehingga menggambarkan ruang yang lebar dan nyaman dengan dinding yang diberi jeruji. Ruang ini dapat menampung ratusan orang yang datang pada upacara-upacara tertentu di istana sultan. Antara ruang depan dan ruang belakang dihubungkan oleh koridor beratap yang memanjang. Istana ini dipagari oleh tonggak-tonggak kayu dengan ujung yang tajam. Di samping pintu gerbang yang berfungsi sebagai jalan masuk, terdapat bangunan rumah mayat orang batak yang berdiri di atas empat tiang yang rendah, beratap ijuk dengan hiasan-hiasan warna khas batak. Rumah mayat ini dibangun oleh kepala suku Batak (karo) sebagai tanda pengakuan terhadap wewenang sultan, sehingga jika ada seorang sultan yang meninggal mereka akan membangun rumah itu sesuai dengan tradisi dalam kepercayaan mereka walaupun mayat sultan tidak ditempatkan disitu”.

Gambar 4.2. Istana Labuhan Deli Sumber: www.tropenmuseum.nl (2014) Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Istana Labuhan Deli memiliki bentuk sebagai berikut:

  • Memiliki beranda di bagian depan istana yang merupakan tempat penghuni istana bercengkrama dan menjamu tamu kerajaan.
  • Memiliki atap yang memiliki bubungan atau ruang pada bagian dalam atap yang berfungsi sebagai tempat perputaran udara (kemungkinan berbentuk perisai atau pelana).
  • Berbentuk rumah panggung dengan jarak dari tanah 4 meter.
  • Memiliki tangga utama pada bagian depan istana menuju ke dalam balairung istana
  • Memiliki bentuk simetris
  • Terdiri dari bangunan utama dan juga bangunan sekunder yang dihubungkan dengan selasar-selasar.
  • Sebagian besar material bangunan terbuat dari kayu dan dihias menggunakan cat minyak.
  • Memiliki balairung yang luas tanpa tiang pada bagian tengahnya sehingga ruangan terkesan luas.

  4.3. Istana Maimun Pada tahun 1890, Sultan Ma’mun Al Rasyid memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli kembali ke Medan (Pelly dkk., 1986:2 dalam

  Baiduri 2012). Pada tahun 1876, Kesultanan Deli menetapkan kawasan yang menjadi daerah kekuasaannya yaitu meliputi daerah-daerah 1) Deli dan sekitarnya, 2) Sunggal atau yang disebut Serbanyaman, 3) Sepuluh dua kota atau XII kota (kemudian menjadi Hamparan Perak), 4) Sukapiring, dan 5) Senembah.

  Daerah Senembah yang terletak di perbatasan Deli dab Serdang terbagi menjadi beberapa daerah, yaitu Percut, Denai, Bedagai dan Padang.

Gambar 4.3. Peta Perpindahan Kesultanan Deli Sumber: Baiduri, 2012: 19

  Pada saat memindahkan pusat pemerintahan ke Medan, Sultan Ma’moen Al-Rasyid mendirikan sebuah istana yang megah yang bernama Istana Maimun.

  Batu pertama bangunan istana Maimun ini diletakkan oleh Sultan Makmoen Al Rasyid pada tanggal 26 Agustus 1888, pembangunan istana ini memakan waktu hampir 3 tahun lamanya, dan mulai ditempati pada 18 Mei 1891 (Teruna, 2006). Pada saat itu juga Ibukota Deli resmi dipindahkan ke Medan. Istana Maimun adalah Istana kebesaran Kesultanan Deli dengan warna kuningnya (kuning merupakan warna kerajaan Melayu) dan khas gaya arsitektur Melayu di pesisir timur. Ia merupakan salah satu landmark yang terkenal di Medan, ibukota Sumatera Utara.

  Istana ini memiliki luas 2,772 meter persegi, dan memiliki 30 kamar dan menghabiskan biaya hingga F1.100.000,-. Tidak hanya itu, Sultan Makmoen juga memesan perlengkapan untuk ruang resepsi dan balairung dari perusahaan Mutters yang menghabiskan biaya hingga F1.60.000,-. Puas dengan hasil karya Van Erp, beliau kemudian mempersayakan kembali Van Erp untuk mengarsiteki Masjid Raya Al-Mashun. (Teruna, 2006)

4.3.1. Lingkungan Istana

  Istana Maimun berdiri diatas lahan yang berukuran kurang lebih 4,5 hektar. Bangunan istana menghadap kearah diantara timur dan timur laut. Dari

  2 lahan tersebut, dialokasikan sebesar 3600 m untuk bangunan istana.

  Pada sisi timur istana terdapat halaman yang sangat luas. Dahulunya terdapat jalan yang menghubungkan pagar depan istana langsung menuju carport istana. Namun sekarang jalan tersebut telah dirubah. Bila kita hendak memasuki istana, kita akan masuk melalui pintu gerbang pertama dan apabila membawa kendaraan, maka kendaraan diparkirkan di tempat parkir yang disediakan dekat dengan gerbang tadi. Dan melalui gerbang itu jugalah kita keluar dari komplek istana.

  Sisi utara istana merupakan taman yang cukup luas. Selain berfungsi untuk memperindah kasawan istana, taman ini juga menjual tanaman-tanaman hias yang diperjual belikan secara bebas.

  Terdapat pemukiman warga yang merupakan tempat tinggal para kerabat kerajaan yang terletak pada sisi barat istana. Pada tahun 2014, terdapat rumah dan kepala keluarga yang bermukim disitu.

  Pada sisi tenggara berjarak sekitar 10 meter dari bangunan istana, terdapat bangunan bergaya Arsitektur karo tempat dipajangnya meriam puntung. Menurut sejarah, meriam puntung awalnya merupakan jelmaan saudara laki-laki Putri Hijau yang berusaha diculik oleh Raja Aceh pada saat itu.

  A. Halaman Istana

  B. Parkir Istana

  C. Taman Istana

  D. Pemukiman Kerabat

Gambar 4.4. Lingkungan Istana

4.3.2. Denah Istana

  2 Bangunan Istana Maimun memiliki luas total 2772M . Bangunan terdiri

  dari tiga bagian, yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan. Lantai 1 bangunan merupakan area yang seluruhnya digunakan sebagai area administrasi dan area kerja pegawai kerajaan pada masa itu. Lantai dua bangunan induk digunakan sebagai balairung besar dan bagian belakangnya digunakan sebagai dapur dan area servis. Bangunan sayap kanan lantai dua digunakan sebagai ruang rehat dan kamar bagi keluarga dan kerabat kerajaan berjenis kelamin wanita, sedangkan sayap kiri digunakan untuk yang berjenis kelamin laki-laki (Hasil wawancara dengan Humas Yayasan Ma’moen Al-Rasyid, 2014).

  Istana juga memiliki beranda yang besar mengelilingi lantai satu dan dua istana. Beranda ini memiliki lebar 2,4 m dan dahulu berfungsi sebagai tempat bersantai bagi kerabat dan tamu kerajaan.

  Dapur R. Istirahat R. Istirahat

  Balairung R. Istirahat R. Istirahat

Gambar 4.5. Denah Istana MaimunGambar 4.6. Tampak Depan Istana Maimun

  Dilihat dari bentuk denah dan tampak bangunan yang merupakan cerminan satu sisi bangunan dengan yang lainnya, Istana Maimun menunjukkan kesimetrisan yang kuat. Kesimetrisan tersebut mengingatkan kepada gaya arsitektur Palladian, sebuah gaya arsitektur yang tercipta pada zaman Renaissance.

  Arsitektur Palladian adalah gaya arsitektur Eropa yang tercipta dari desain arsitek Venesia Andrea Palladio (1508-1580). Istilah “Palladian” biasanya merujuk kepada bangunan dengan desain yang terinspirasi dari karya Palladio. Gaya desain Palladio berbasis kuat pada simetri, perspektif dan nilai-nilai arsitektur kuil Romawi dan Yunani Kuno. Gaya ini terus berkembang sampai akhir abad ke-18

  Istana Maimun

Villa Godi

Gambar 4.7. Perbandingan Istana Maimun dan Villa Godi

  “Paladianisme yang Sebenarnya” di Villa Godi karya Palladio dari bukunya Quattro Libri dell Architettura. Sayap-sayap tambahannya merupakan bangunan agrikultural dan bukan bagian dari villa. Di abad ke-18 sayap-sayap bangunan tersebut menjadi bagian penting Palladianisme.

  Dapat dilihat, Istana Maimun memiliki kemiripan simetrikal dengan Villa Godi yang ditunjukkan dari pembagian segmen bangunan yang terdiri atas sayap kiri, bangunan tengah dan sayap kanan, seperti yang disebut sebagai bagian penting Palladianisme.

  Arsitektur simetris seperti bangunan-bangunan religius kuno ditujukan agar menjadi model kosmos ciptaan Tuhan. Pada ide ini, humanisme menambahkan konsep bahwa, karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang terpenting, tempatnya adalah di tengah. Sebagai contoh adalah relasi simetris dari denah sebuah basilika Romawi. Denahnya berbentuk rektangular, dengan lengkungan di setiap ujung dari sumbu utama dan pintu di setiap ujung sumbu minor. Elemen arsitekturnya selalu disusun berlawanan satu sama lain: lengkungan dan lengkungan, kolom dan kolom, pintu dan pintu. Simetri aksial yang baik memunculkan sense keseimbangan pada ruang yang menjadi karakterisitik arsitektur Romawi (Williams).

Gambar 4.8. Pembagian Sumbu Simetrikal Sumber: www.mi.sanu.ac.rs

  Arsitek zaman Renaissans, terutama di Italia, juga meneliti reruntuhan bangunan kuno untuk mempelajari bagaimana proporsi dan simetri dulu diaplikasikan di struktur nyata. Hasil dari penelitian tersebut merupakan filosofi baru dari keindahan bangunan. Bangunan dan dekorasi Gothic yang mengimitasi pergerakan surgawi pun digantikan oleh simetri elegan yang mendemonstrasikan intelektual manusia.

4.3.3. Pola Lantai dan Tangga Utama

  Sebagian besar lantai pada Istana Maimun ditutupi oleh tegel-tegel disusun secara berkombinasi. Tegel ini berukuran 30x30 cm dan terletak pada ruangan sebelah kiri dan kanan balairung, dapur, dan beranda depan istana. Lantai pada balairung istana menggunakan marmer putih berukuran 70x70cm. Marmer jenis ini juga menutupi tangga naik pada drop off menuju balairung istana.

4.3.4. Atap

  Terdapat 3 segmen atap pada bangunan istana. Yaitu atap yang melindungi beranda pada lantai 2, atap yang menutupi lantai 2, atap yang menutupi loteng, dan atap pada drop off.

Gambar 4.9. Segmen Atap Istana Maimun

  Atap yang menutupi selasar lantai 2 merupakan over hang yang terbuat dari bahan seng berwarna kuning dengan menggunakan rangka kayu di dalamnya. memiliki panjang 1,5 meter dan berguna sebagai pelindung dari

  Over hang

  masuknya sinar matahari yang berlebihan dan juga sebagai pelindung dari air

  o hujan yang masuk ke beranda atap pada segmen ini memiliki sudut 27 .

Gambar 4.10. Atap Teritisan

  Atap yang menutupi lantai 2 memiliki penutup terbuat dari bahan sirap berwarna abu-abu kehitaman. Pada segmen ini kemiringan atap 32 derajat. Atap memiliki hang over sepanjang 1,75 m.

  Atap pada loteng lantai 2 memiliki penutup terbuat dari bahan berwarna charcoal. Loteng ini berguna sebagai area perputaran udara yang membuat suhu udara pada lantai satu dan dua istana tetap terjaga. Pada segmen ini kemiringan atap derajat. Atap memiliki hang over sepanjang.

  Atap puncak berdiri diatas tembok layar setinggi 2 meter. Dan pada tembok layar terdapat ventilasi-ventilasi yang berbentuk kisi-kisi dan terletak secara berseberangan atau yang biasa disebut dengan sistem cross ventilation.

Gambar 4.11. Atap Utama Istana

  Istana Maimun juga memiliki atap berbentuk kubah yang terletak pada bagian drop off dan main entrance istana dan berjumlah 3 buah dan berwarna hitam. Ketiga kubah tersebut memiliki alas yang berbentuk segi empat dan memiliki ukuran yang sama, yaitu. Kubah memiliki empat sisi yang berdiri diatas setiap sisi pada alas segi empat, dan terjalin menjadi satu pada ujung-ujung sudutnya. Kubah ini merupakan kubah yang merebah rendah. Bangunan yang menggunakan atap kubah pada umumnya adalah bangunan yang berdenah bujur sangkar atau persegi panjang sehingga memberikan kesan besar dan megah pada bangunan tersebut. Namun kubah pada istana maimun ini berbentuk dan tidak menjadi pusat perhatian utama pada istana.

Gambar 4.12. Kubah Istana

  Atap Istana Maimun dibuat untuk dapat menyesuaikan dengan iklim tropis

  o o

  yang memiliki suhu rata-rata 30 , kemiringan hujan 17 , dan sinar matahari yang berlebihan. Atap over hang yang melindungi beranda lantai 2 memiliki over hang sepanjang 1,75 m bertujuan untuk mengantisipasi masuknya air hujan ke area beranda atau ruangan istana. Over hang ini juga berfungsi sebagai penahan masuknya sinar matahari yang berlebihan kedalam area istana sehingga sinar matahari yang masuk tidak membawa panas berlebihan dan juga cahaya yang menyilaukan.

Gambar 4.13. Teritisan Menahan Air MasukGambar 4.14. Teritisan Menahan Silau dan Panas Berlebih

  Istana juga memiliki lantai loteng yang berukuran tinggi 2,5 m dengan lantai papan. Ruang loteng ini berfungsi sebagai ruang perputaran udara dimana terdapat ventilasi di sekeliling sisi dinding loteng. Loteng ini memiliki sistem

  

cross ventilation guna melancarkan aliran udara pada ruang loteng sehingga suhu

  udara pada ruang istana lantai dua tetap terjaga baik. Hal ini telah ditemukan sejak rumah tradisional melayu ada. Karena mereka tinggal di sepanjang pantai dan muara sungai serta tepi sungai, dan cukup lobang angin untuk menyegarkan udara tropis yang panas (Sinar, 1993).

Gambar 4.15. Loteng sebagai tempat perputaran udara

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dilakukan pembahasan terhadap komponen-komponen

  arsitektural Istana Maimun yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Adapun pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar-belakangi gaya arsitektur Istana Maimun.

  Dari hasil perbandingan antara Istana Labuhan Deli dan Istana Maimun, dapat disimpulkan bahwa: Perbandingan Gaya Arsitektural Istana Kesultanan Deli

  

Diagram 5.1. Transformasi Arsitektural Istana Maimun Faktor yang melatar-belakangi transformasi:

  5.1. Adaptasi Penerapan bentuk atap perisai, cross ventilation dan bukaan lebar merupakan hasil penyesuaian dengan iklim Sumatera Utara yaitu iklim tropis yang memiliki temperatur dan kelembapan tinggi. Adaptasi ini memungkinkan bangunan tetap memiliki suhu yang nyaman terhadap penghuni bangunan. Karena dengan adanya ruang dibawah atap dan juga didukung dengan cross ventilation memungkinkan udara mengalir langsung dengan peletakan ventilasi atau jendela yang tegak lurus berseberangan. Penggunaan bukaan jendela yang besar dan jumlah ventilasi yang banyak juga membantu mengatur suhu dalam bangunan istana tetap dalam kondisi nyaman.

  5.2. Pencapaian Misi Budaya Kesultanan Deli berusaha untuk menunjukkan jati diri kerajaan yang diaplikasikan pada desain Istana Maimun. Hal ini merupakan pencapaian misi budaya Kesultanan Deli sebagai berikut.

5.2.1. Deli Sebagai Kerajaan Islam

  Kesultanan Deli seperti diketahui adalah sebuah kerajaan penganut agama Islam yang taat. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa Gotjah Pahlawan sendiri adalah seorang yang Islam. Gotjah Pahlawan merupakan wakil sultan aceh yang juga merupakan kerajaan Islam. Pada saat itu Kerajaan Aceh yang mengutus Gotjah Pahlawan sebagai wakil sultan aceh juga memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam hingga ke pedalaman di seluruh wilayah kekuasaan Deli. Proses pengislaman ini dilakukan dengan cara damai, diantaranya menjalin ikatan persaudaraan dengan datuk Sunggal, salah satu dari empat wilayah yang menjadi bagian kesultanan Deli pada masa itu. Seiring perkembangan Kesultanan Deli, perkembangan agama Islam juga turut menyertai. Pada Saat itu hampir seluruh masyarakat Melayu mengikuti agama yang dianut Sultan mereka yaitu Islam (Sinar, 1989).

  Namun berkembangnya Islam di tanah Melayu ternyata sudah terjadi sejak 1400 M. Setelah pusat imperium Melayu berada di Malaka dan Pameshwara di- Islam-kan dari Pasai, maka sejak itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam yang disebarkan dari Melaka ke segenap penjuru nusantara. Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti dengan perkawinan puteri raja setempat, bukan saja membentuk masyarakat Islam disitu tetapi juga sekaligus membentuk “budaya Melayu”. Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada factor genealogis (hubungan darah) tetapi disatukan oleh factor kultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam (Sinar, 1989).

  Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa masyarakat Melayu merupakan penganut Islam yang taat adalah sebagai berikut: (1) Dalam “The Book of Duarte Barbosa” Vol. II (1518-M) sumber

  Portugis, terjemahan Mansel Longsworth Dames, Hakluyt Society London menyebutkan bahwa “These as I say are Moors with their own distinct language and are called Malaios. These Malaios hold the Alcoran of Mafemede in great veneration. They are polished and wellbred, fond of Music, and given to love”. (Mereka sebagaimana saya katakana adalah orang Islam dengan bahasa yang khas dan disebut “Orang Melayu”. Mereka bersih dan sangat berketurunan baik, sangat gemar akan music dan berkasih sayang).

  (2) E. Godinho de Eredia, “Declaracam de Malacae India Meridionale Com o Cathay” (1613M). Terjemahan bahasa portugis ke Inggris oleh J.V. Milis: “The Malaios are all Serracenos or Moriscos”. (Orang Melayu itu semuanya Islam atau Muslim)

  (3) R. J. Wilkinson, “A Malay English Dictionary” (1959) “A Malay” (occationally Moslem) e.g. “Masuk Melayu” (To turn Mohammedan)

  Kesultanan Deli sebagai kerajaan Islam dapat dilihat pada perencanaan lingkungan istana. Pada istana Labuhan Deli terdapat mesjid pada bagian depan istana yaitu Mesjid Al-Osmani atau yang juga dikenal dengan Mesjid Labuhan Deli. Begitu juga Istana Maimun yang memiliki Mesjid Raya Al-Mashun yang terletak hanya 100 meter di depan Istana Maimun. Hal ini menguatkan identitas Kesultanan Deli sendiri sebagai kerajaan Islam dan juga mengikuti syariah Islam kehidupan sehari-hari.

  Istana Maimun juga banyak mengambil komponen-komponen bangunan yang berasal dari bangunan-bangunan mesjid atau bangunan yang memiliki corak Islam. Hal ini terlihat pada ornamen-ornamen dan motif hiasan dinding, lantai, langit-langit, lengkungan-lengkungan, dan juga kubah. Bentuk denah yang mengadopsi unsur arsitektur Palladian yang berbentuk simetris dengan peletakan bangunan utama di tengah dan bangunan pendukung di sayap kiri dan kanan merupakan arti dari ketuhanan yang maha esa. Ini merupakan hasil dari pencapaian misi budaya Kesultanan Deli yaitu mengedepankan ketuhanan yang maha esa dan dengan agama yang dianut yaitu Islam. Hasan Muarif Ambary dalam bukunya, Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia menyatakan, “Istana Maimun yang memiliki atap-atap kubah dan barisan tiang penopang atap bercirikan khas Maroko, secara jelas meniru gaya Mughal India (atau mungkin kolonial Eropa yang menerapkan konsep arsitektur Mughal) untuk menandai sebuah istana Islami”.

5.2.2. Deli Sebagai Kerajaan Melayu

  Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Kesultanan Deli merupakan lanjutan dari Kerajaan Aru. Pada abad ke 15 Aru sudah merupakan kerajaan terbesar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Kebesaran Aru ini diakui Portugis yang tetap berusaha menjalin persahabatan dengan Melayu Malaka (Sinar, 1989). Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti perkawinan dengan puteri raja setempat, bukan saja membentuk masyarakat Islam disitu tetapi juga sekaligus membentuk “budaya melayu”. Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang tidak lagi terikat pada faktor genealogis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor kultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa Melayu, dan adat-istiadat Melayu di pesisir Sumatera Timur (Sinar, 1989).

  Syafwandi berpendapat bahwa dalam menata ruang atau membentuk fisik bangunan rumah tinggal, masyarakat Melayu pada umumnya dipengaruhi oleh agama dan adat istiadat yang berlaku. Kehidupan etnis dan agamis yang tercerminkan pada bangunan kemudian diistilahkan dengan Arsitektur Melayu (Syafwandi, 1993 dalam Winandari, 2005:143).

  Pintu dan jendela dicat menggunakan cat minyak dengan warna dominan kuning dengan paduan warna hijau dan putih. Warna putih sendiri banyak digunakan pada bagian kisi-kisi jendela dan pintu. Pemilihan warna kuning sebagai warna dominan merupakan pengaplikasian unsur budaya melayu yang mengartikan warna kuning sebagai warna kebesaran kerajaan dan sebagai perlambang kemakmuran Sedangkan hijau berarti kesuburan dan putih berarti kesucian. Perpaduan warna tersebut merupakan perlambang kerajaan yang mahsyur dan subur (Sinar, 1993).

  Pemisahan zona kamar dan ruang rehat sesuai dengan jenis kelamin pada Istana Maimun juga mengacu kepada konsep rumah melayu yang sering memisah zona kamar dan area rehat yang dikhususkan untuk penghuni rumah berjenis kelamin wanita khususnya yang belum menikah. Sinar dalam bukunya mengatakan rumah melayu terbagi dalam ruangan tamu, ruang kumpul keluarga, ruang masak, dan ditingkat atasnya ada kamar kecil (loteng) untuk para anak gadis (Sinar 1993). Masih bertahannya bentuk rumah panggung pada desain Istana Maimun juga merupakan penguat identitas Kesultanan Deli sebagai kerajaan melayu. Rumah panggung memiliki bentuk dengan kaki atau tiang yang berfungsi sebagai penopang atau pondasi bangunan, diletakkan diatas tanah setinggi 1,5 meter – 4 meter, kemudian pada bagian tengah merupakan badan rumah dan pada bagian atas merupakan atap rumah. Atap pada rumah panggung biasanya berbentuk perisai ataupun juga pelana yang membumbung tinggi keatas. Bentuk rumah panggung seperti ini awalnya berfungsi sebagai dari ancaman binatang buas dan juga sebagai pencegah terkena banjir atau air pasang bagi rumah-rumah yang terletak di pesisir pantai. Namun selain berfungsi sebagai bentuk adaptasi terhadap alam tersebut, rumah panggung juga dimanifestasikan secara antropometrik dengan tubuh manusia yaitu atap sebagai atas (kepala), badan sebagai bagian tengah dan bagian bawah sebagai kaki pada tubuh manusia (Frick, 1997). Masyarakat melayu juga percaya bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki tempat di tengah, bukan pada dunia bawah / bumi ataupun di dunia atas langit. Dasar-dasar inilah yang pada akhirnya membentuk makna dari rumah panggung itu sendiri yang selanjutnya menjadi identitas dalam arsitektur melayu sendiri dan hal ini yang berusaha dipertahankan oleh Kesultanan Deli pada desain istana barunya.

5.2.3. Nilai Sosio Kultural

  Bentuk rumah panggung yang juga perwujudan bentuk badan manusia merupakan manifestasi kedaulatan Kesultanan Deli terhadap sebuah sistem sosial antar sesama manusia dimana sultan dan rakyatnya merupakan suatu kesatuan yang dengan bahu-membahu menuju kemakmuran Kerajaan Deli. Istana Maimun juga dipagari dengan pagar yang berupa tombak besi yang memungkinkan bangunan terlihat jelas dari sisi luar, tidak dengan beton tebal seperti benteng yang membuat bangunan terkesan tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa sultan pada saat itu sangatlah terbuka kepada rakyatnya dan tidak terkesan seperti menutup-nutupi atau berlindung didalam istana. Dalam istilah Melayu dikenal ''Sultan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah.'' Artinya, seorang sultan hanyalah manusia biasa yang memang harus dijunjung dan dihormati, namun tidak melebihi tinggi ranting dan dikedepankan tidak lebih dari satu langkah. Dengan demikian, seorang sultan masih dapat dilihat, disapa, bahkan disentuh oleh rakyatnya. Sultan dan rakyat bukanlah dua entitas yang berbeda, tetapi merupakan dua unsur masyarakat yang saling melengkapi.

BAB 6. KESIMPULAN Kerajaan Deli yang merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar di Indonesia saat itu, sangat mengedepankan keagamaan dalam keseharian dan

  kebudayaannya. Bahkan kerajaan sendiri memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah kekuasaan kerajaan. Hal inilah yang membuat gaya arsitektur Istana Maimun sangat mengedepankan ketuhanan yang merupakan penunjukan jati diri Kerajaan Deli sendiri sebagai kerajaan yang beragama yaitu agama Islam. Selain itu juga Kesultanan Deli memberikan kesan sosial yang kuat pada desain Istana Maimun dengan membuat istana terkesan sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung dan mempawa pesan kepada Sultannya.

  Kesultanan Deli juga masih mempertahankan beberapa unsur dalam istana yang masih memiliki kemiripan dengan istana Kesultanan Deli yang sebelumnya yaitu Istana Labuhan Deli. Istana Maimun juga memberikan kesan Melayu yang kuat pada desain bangunan itu sendiri dengan memasukkan ornamen-ornamen kesenian Melayu dan juga dengan pemilihan warna kuning sebagai warna dominan yang dalam kebudayaan melayu melambangkan kemakmuran.