K. H. Ruhiat (1911-1977); Ulama Pejuang Dari Cipasung.

(1)

K. H. RUHIAT (1911-1977);

ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG

MAKALAH

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional

“Pengusulan Alm.K.H. Rukhiat sebagai Pahlawan Nasional” Di Gedung Rektorat Institut Agama Islam Cipasung, Tasikmalaya

Pada hari Senin, Tanggal 3 Mei 2010

Oleh:

Miftahul Falah, S. S., M. Hum.

DISELENGGARAKAN ATAS KERJASAMA

YAYASAN MSI JAWA BARAT

DENGAN

TIM PENELITI DAN PENGKAJI GELAR DAERAH (TP2GD)

PROPINSI JAWA BARAT


(2)

K. H. RUHIAT (1911-1977);

ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG

Oleh:

Miftahul Falah, S. S., M. Hum.

Asisten Ahli pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran.

A. Pengantar

Rasa-rasanya, generasi muda saat ini lebih mengenai sosok K. H. Muhammad Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PB NU (1994-1999) dan mantan anggota DPA (1998-2004) daripada sosok K. H. Ruhiat. Padahal, K. H. Ruhiat-lah yang teRuhiat-lah berperan dalam membentuk karakter dan keulamaan K. H. Muh. Ilyas Ruhiat. Pesantren Cipasung yang didirikan K. H. Ruhiat dan telah “melambungkan” nama K. H. Muh. Ilyas Ruhiat, merupakan salah pesantren terbesar dan berpengaruh di Jawa Barat.1

Namun sekali lagi, peranan K. H. Ruhiat dalam perjuangan bangsa sudah banyak dilupakan orang. Kondisi tersebut wajar terjadi mengingat Abah Ajengan (panggilan akrab K. H. Ruhiat) telah 33 tahun meninggalkan umatnya untuk menghadap Sang Khalik. Meskipun demikian, jasa-jasanya terhadap perjuangan bangsa terutama di bidang pendidikan tidak akan pernah dilupakan orang. Makalah ini akan mencoba merekonstruksi peranan K. H. Ruhiat dalam perjuangan bangsa sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan.

1


(3)

B. Riwayat Keluarga dan Pendidikan

Pada dasawarsa pertama abad ke-20, Desa Cipakat yang terletak di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh seorang kepala desa yang bernama H. Abdul Ghafur bin Umray. Ia menikahi Hj. Umayah bin Indra dan dikaruniai enam orang anak. Salah seorang anaknya dilahirkan di Kampung Cisaro, Desa Cipakat pada 11 November 1911. Oleh kedua orang tuanya anak itu lantas diberi nama Ruhiat bin H. Abdul Ghafur. Sang anak memiliki tiga orang kakak yang masing-masing bernama Hj. Sofiah, H. Ma’sum, dan H. Syuja’i; serta dua orang adik yakni H. Muharam dan Hj. Jamilah. Selain itu, Ruhiat pun memiliki lima orang saudara seayah karena H. Abdul Ghafur bin Umray memiliki tiga orang istri.2

H. Abdul Ghafur orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ketika usianya sudah memasuki masa sekolah, H. Abdul Ghafur memasukkan Ruhiat ke Vervolghschool di Sukasenang. Pendidikan formalnya itu hanya ditempuh sampai kelas empat yakni dari tahun 1918-1921. Setelah keluar dari Vervolgschool, Ruhiat belajar ilmu agama Islam ke berbagai pesantren. Dari tahun 1922-1927, Ruhiat belajar ilmu agama Islam di Pesantren Cilenga (Leuwisari) di bawah bimbingan K. H. Sobandi. Setelah lima tahun menuntut ilmu kepada K. H. Sobandi, dalam kurun waktu 1927-1928, Ruhiat menuntut melakukan tabarruk ke beberapa ulama yakni kepada K. H. Emed dari Pontren Sukaraja (Garut), K. H. Abas Nawawi dari Pontren Kubang (Cigalontang), dan K.

2

Selain memiliki saudara kandung seayah-seibu, K. H. Ruhiat pun memiliki lima orang saudara seayah. Empat orang saudaranya lahir dari istri pertama ayahnya yang bernama Hj. Murtamah, yaitu Hj. Siti Sobriah, Encoh, Uwen Juansah, dan Acih. Sementara itu, saudara seayah K. H. Ruhiat yang lahir dari istri ketiga ayahnya (H. Zainab binti H. Idris) bernama H. Abdul Hamid (Anonim. t.t.: 2).


(4)

H. Thoha dari Pontren Cintawana (Singaparna). Tahun 1929, Ruhiat kembali menunut ilmu kepada K. H. Sobandi di Pesantren Cilenga sampai tahun 1931.3

K. H. Ruhiat mempunyai dua orang istri yakni Hj. Aisyah binti Muhammad Sayuti dan Hj. Badriyah binti H. A. Kosasih Abdul Hamid. Dari perkawinannya itu, K. H. Ruhiat dikaruniai 27 orang anak, masing-masing 14 orang anak dari istri pertamanya dan 13 orang anak dari istri keduanya. Dalam membina rumah tangganya, K. H. Ruhiat sangat berlaku adil sehingga kerukunan dan ketentraman senantiasa memayungi keluarga besarnya itu.

Foto 1: K. H. Ruhiat bin H. Abdul Ghafur

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

3


(5)

(6)

Foto 2: K. H. Ruhiat bersama Keluarga

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

C. Peranan K. H. Ruhiat dalam Perjuangan Bangsa 1. Di Bidang Pendidikan

Setelah selesai menuntut ilmu keagamaan di berbagai pesantren, K. H. Ruhiat kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan pesantren. Pada akhir tahun 1931, K. H. Ruhiat mendirikan Pesantren Cipasung dengan santri berjumlah 40 orang. Keempat puluh santrinya itu sebagai pemberian dari K. H. Sobandi dari Pesantren Cilenga.4 K. H. Ruhiat memilih Cipasung sebagai tempat untuk mendirikan pesantren karena didorong oleh kondisi lingkungannya yang “kotor”. Artinya, pada waktu itu kehidupan masyarakat di daerah tersebut masih dipenuhi

4


(7)

oleh kemaksiatan, seperti perjudian dan perzinahan.5 Dengan maksud memberantas kemaksiatan itulah, K. H. Ruhiat mendirikan sebuah pesantren yang kemudian berkembang menjadi lembaga pesantren tradisional tetapi modern.

K. H. Ruhiat merupakan seorang ulama tradisional, tetapi memiliki pikiran progresif. Ia memiliki keyakinan bahwa jika santrinya hanya memiliki pengetahuan keagamaan saja, keinginan untuk memberantas kebodohan akan sulit diwujudkan. Oleh karena itu, K. H. Ruhiat memiliki pandangan perlunya para santri diberi bekal ilmu pengetahuan umum yang tentunya harus diselaraskan dengan pengetahuan agamanya. Hal tersebut terlihat dari misi perjuangannya di bidang pendidikan yakni keimanan dan ketaqwaan, pengembangan ilmu yang bermanfaat, serta pengabdian kepada negara, agama, dan masyarakat.6

Foto 3: Masjid Pesantren Cipasung Sekitar Tahun 1957

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

5 Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung. 6


(8)

Foto 4: Masjid Pesantren Cipasung Tahun 2010

Sumber: Dokumentasi Penulis, 18 Januari 2010.

Foto 5: Salah Satu Asrama Putra Pesantren Cipasung


(9)

Untuk mewujudkan misinya itu, K. H. Ruhiat tidak hanya mengembangkan Pesantren Cipasung sebagai lembaga pendidikan keagamaan saja. Sebagai ulama dengan pikiran yang progresif, K. H. Ruhiyat mendirikan lembaga pendidikan yang pada waktu belum begitu populer di kalangan pesantren salafiyah. Empat tahun setelah mendirikan Pesantren Cipasung, tepatnya pada 1935, K. H. Ruhiat mendirikan Madrasah Diniyah atau di kalangan masyarakat dikenal dengan istilah sakola agama. Melalui madrasah ini, K. H. Ruhiat menginginkan agar pembinaan keagamaan terhadap anak-anak usia muda dapat dilakukan secara optimal. Sementara itu, untuk membina para santrinya agar menjadi seorang mubaligh yang handal, K. H. Ruhiat pun terobasan baru dengan mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawwirin. Kursus yang dibuka pada 1937 ini dijadikan sebagai arena latihan bagi para santri untuk mahir dalam berpidato, berdebat, dan bermusyawarah.7

Untuk memberantas kebodohan, K. H. Ruhiat melangkah lebih jauh lagi dengan mendirikan sekolah formal tetapi dengan landasan nilai-nilai keislaman. Pada masa Perang Kemerdekaan, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Pendidikan Islam. Sekolah yang didirikan tahun 1949 ini tidak hanya mengajarkan ilmu kegamaan saja, melainkan juga ilmu pengetahuan umum. Tahun 1953, Sekolah Pendidikan Islam diubah namanya menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI).8 Dengan perkataan lain, Sekolah Pendidikan Islam merupakan sekolah formal pertama yang didirikan K. H. Ruhiat di kompleks Pondok Pesantren Cipasung.

7 Anonim, t.t.: 5; Anonim, 2010: 2. 8


(10)

Foto 6: Sekolah Menengah Pertama Islam Cipasung, Tahun 1960-an

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Pada 1953, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) yang kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah ini berbeda dengan madrasah diniyah yang didirikan tahun 1935, karena materinya diperkaya dengan pengetahuan umum. Dengan demikian, K. H. Ruhiat menjadi salah seorang ulama pelopor bagi pengembangan madrasah berbasiskan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Sehubungan dengan keadaan prasarana pendidikan di Singaparna belum begitu berkembang dengan baik, K. H. Ruhiat memutuskan untuk mejajaki bagi pembukaan sekolah menengah tingkat atas. Hasilnya adalah tahun 1959, ia membuka Sekolah Menengah Atas Islam


(11)

(SMAI) Cipasung dengan harapan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan umum dan agama dapat disinergiskan.9

Dengan demikian, sampai tahun 1959, lembaga pendidikan yang dikelola oleh K. H. Ruhiat sudah relatif lengkap. Selain ada pesantren salaf sebagai tempat menggodog calon-calon ulama, di kompleks Pesantren Cipasung pun telah berdiri lembaga pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Meskipun demikian, langkah K. H. Ruhiat untuk memajukan pendidikan tidak lantas berhenti. Ia berkeinginan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam yang akan mencetak sarjana dengan tidak meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.

Keinginannya itu berhasil diwujudkan pada tanggal 25 September 1965 seiring dengan pembukaan Perguruan Tinggi Islam Cipasung. Pada awal berdirinya, perguruan tinggi ini hanya membuka satu fakultas yakni Fakultas Tarbiyah. Eksistensi lembaga pendidikan tinggi ini mendapat pengakuan dari pemerintah seiring dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Agama No. 7 Tahun 1969. Untuk mengembangkan kegiatan akademiknya, K. H. Ruhiat melakukan kerja sama dengan IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Selain membina Fakultas Tarbiyah, melalui kerja sama itu pernah pula pada 1970 dibuka Fakultas Ushuludin di Cipasung, namun hanya berjalan selama dua tahun.10 Sekarang perguruan tnggi tersebut menjadi IAI Cipasung sehingga melengkapi

9 Anonim, t.t.: 5.

10


(12)

lembaga pendidikan yang sebelumnya sudah berdiri mulain dari pesantren, TK, sampai pendidikan menengah.11

Foto 7: Aktivitas Dakwah K. H. Ruhiat, Tahun 1960-an

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Dari pemaparan singkat mengenai peranan K. H. Ruhiat dalam perjuangan bangsa dengan jelas terlihat bahwa ia memiliki kepeduliaan terhadap pendidikan. Kebodohan yang menjadi salah satu faktor pendorong lamanya penjajahan yang dialami bangsa Indonesia harus dihilangkan dengan memajukan pendidikan. Selain itu, mendikotomikan pendidikan agama dan pengetahuan umum secara kaku tidak akan memberikan hasil optimal bagi pemberantasan kebodohan. K. H. Ruhiat memberikan contoh bahwa dengan memadukan pendidikan agama dan pendidikan formal, akan menghasilkan sesuatu yang jauh

11


(13)

lebih optimal daripada mengembangkan salah satu bentuk pendidikan saja. Hasilnya perjuangannya berupa satu kompleks pendidikan dengan jenjang pendidikan yang lengkap baik pendidikan pesantren maupun pendidikan formal. Selain itu, K. H. Ruhiat pun telah melahirkan ulama-ulama berpengaruh khususnya di Tasikmalaya, antara lain K. H. Khoer Affandi (Pesantren Miftahul Huda Manonjaya), K. H. Bustomi (Pesantren Bahrul Ulum, Awipari), K. H. Ahmad (Pesantren Cintapada), K. H. Hilmi (Pesantren Cilendek), K. H. Bahrum (Pesantren Cilendek), K. H. Yusuf (Pesantren Cintapada), dan K. H. Syarif Hidayat (Pesantren Cipanengah).12

2. Di Bidang Politik

Pengabdian K. H. Ruyhat dalam perjuangan bangsa tidak hanya dilakukan di bidang pendidikan saja dengan landasan memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta pembangunan ilmu yang bermanfaat. Satu landasan yang mendorong dirinya memiliki jasa yang besar kepada bangsa adalah mengabdi kepada negara, agama, dan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, K. H. Ruhiat memiliki jiwa nasionalisme yang cukup tinggi sehingga ia memiliki kepeduliaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dakwah dan kiprahnya di bidang pendidikan telah membuat Pesantren Cipasung berkembang dengan pesat. Hal tersebut melahirkan kekhawatiran dari Pemerintah Hindia Belanda sehingga memandang K. H. Ruhiat sebagai ancaman. Terlebih setelah K. H. Ruhiat bergabung dengan Nahdlatul Ulama Cabang

12


(14)

Tasikmalaya yang pada tahun 1930-an memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah. Pada saat NU Tasikmalaya yang dipimpin oleh Soetisna Sendjaja menerbitkan Al-Mawaidz pada Agustus 1933, K. H. Ruhiat ikut aktif mengasuh rubrik agama bersama dengan beberapa orang ajengan lainnya.13

Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1930-an, PGN14 dan NU Cabang Tasikmalaya terlibat dalam suatu perdebatan mengenai status Pemerintah Hindia Belanda dikaitkan dengan masalah ulil amri dalam ajaran Islam. Pada dasarnya, PGN dan NU sependapat bahwa pemerintah kolonial bisa dipandang sebagai ulil amri. Akan tetapi, kedua organisasi itu berbeda pendapat berkaitan dengan substansi atau hakikat dari ulil amri. K. H. Fachroeddin menegaskan bahwa PGN memandang predikat ulil amri bagi Pemerintah Hindia dapat dipandang dari sisi

syar’i. Oleh karena itu, umat Islam wajib mematuhi segala kebijakannya

sekalipun mereka itu merupakan pemerintahan kafir yang dalam perbuatannya bersifat fasiq, jahil serta berbuat maksiat dan munkar.15

NU Cabang Tasikmalaya tidak sependapat dengan pandangan PGN. Menurut Soetisna Sendjaja, Ketua NU Cabang Tasikmalaya, gelar ulil amri bagi pemerintah kolonial harus dipandang sebagai suatu siyasi (politik). Dengan demikian, NU memandang Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang sah, tetapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara

13

Pada waktu, K. H. Ruhiat belum memiliki “gelar” kyai haji, tetapi baru “bergelar” kyai seperti tertulis dalam Al-Mawaiz edisi 5 Desember 1933 No. 17. Dalam majalah tersebut, tercatat nama Roehiat kjai di Tjipasung yang diberi tugas mengelola rubrik agama Islam (Bunyamin, 1995: 18).

14

PGN merupakan singkatan dari Perkoempoelan Goeroe Ngaji yang didirikan oleh Bupati Wiratanoeningrat tanggal 15 Juni 1926 yang peresmiannya dilaksanakan di Masjid Agung Tasikmalaya dan dihadiri oleh seluruh wedana dan camat yang ada di Kabupaten Tasikmalaya (Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7).

15


(15)

politik. Oleh karena itu, pemerintah hanya memiliki wewenang mengatur masyarakat sepanjang berkaitan dengan urusan politik. Di luar itu, terutama di bidang keagamaan, pemerintah sama sekali tidak memiliki wewenang mengatur masyarakat. Seluruh urusan yang berkaitan dengan masalah keagamaan, sejatinya diserahkan sepenuhnya kepada para ulama yang menjadi panutan rakyat.16

Pandangan NU tersebut bukanlah pandangan pribadi K. H. Ruhiat, tetapi sebagai pengurus bisa dipastikan pandangannya mengenai kedudukan Pemerintah Hindia Belanda sejalan dengan pandangan NU. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda mengawasi gerak-gerik K. H. Ruhiat khususnya ketika ia sedang berdakwah. Sehubungan dengan materi dakwahnya dipandang bisa menumbuhkan patriotisme di kalangan santri dan bisa menumbuhkan nasionalisme di kalangan masyarakat, tanggal 17 November 1941 Pemerintah Hindia Belanda menangkap K. H. Ruhiat bersama-sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, Haji Syirodz, dan Hambali Syafe’i dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak kepada pemerintah. K. H. Ruhiat ditahan satu hari di Penjara Tasikmalaya untuk kemudian dimasukkan ke Penjara Sukamiskin. Penjara ini merupakan tempat penahanan para pemimpin pergerak nasional. Setelah ditahan selama 53 hari di Penjara Sukamiskin, pemerintah membebaskan K. H. Ruhiat. Meskipun demikian, aktivitas materi dakwahnya tidak berubah sehingga pada akhir Februari 1942 untuk yang kedua kalinya, K. H. Ruhiat ditangkap dan ditahan di Penjara Ciamis.

16


(16)

Pemerintah Hindia Belanda kembali menuduh dirinya telah menghasut rakyat untuk memberontak kepada pemerintah.17

Foto 8: Penjara Kota Tasikmalaya, Tahun 2008

Keterangan: Di Penjara Kota Tasikmalaya, K. H. Ruhiat pernah ditahan selama satu hari sebelum dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung

Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Penahanan K. H. Ruhiat yang kedua kalinya tidak berlangsung lama karena Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Balatentara Jepang. Penguasa perang Jepang segera membebaskan seluruh tahanan politik sehingga K. H. Ruhiat kembali dapat melakukan aktivitas dakwahnya. Dalam pandangan K. H. Ruhiat, pendudukan Jepang tidaklah berbeda dengan Belanda yang sama-sama ingin menguasai bangsa Indonesia.

17


(17)

sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, ia berupaya menumbuhkan nasionalisme meskipun gaya dan caranya menunjukkan perbedaan dengan sahabatnya itu. Bagi K. H. Ruhiat, keteguhan hati dalam memegang akidah jauh lebih penting daripada bertindak secara fisik. Pikiran tersebut terungkap ketika K. H. Ruhiat bersama dengan ulama lainnya “melakukan” seikerei di bawah todongan senjata tentara Jepang.18

Foto 9: Pondok Pesantren Sukamanah

Keterangan: K. H. Zaenal Mustofa yang mendirikan Pesantren Sukamanah merupakan sosok ulama yang memiliki pemikiran sejalan dengan K. H. Ruhiat meskipun berbeda stratetgi dalam perjuangannya. Di pesantren ini, pada Februari 1944, K. H. Zaenal Mustofa melakukan perlawanan kepada Balatentara Jepang.

Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Sementara itu, tekad K. H. Zaenal Mustofa untuk memberontak kepada Jepang semakin kuat. Beberapa hari sebelum Peristiwa Sukamanah meletus, K. H. Zaenal Mustofa berkunjung ke rumah K. H. Ruhiat untuk mengajaknya bergabung

18


(18)

mengangkat senjata melawan Jepang. K. H. Ruhiat lebih memilih untuk berjuang di bidang pendidikan sambil berkata”Kang abdi mah mung tiasa ngadu’akeun

bae, mudah-mudahan cita-cita Akang tiasa kawujudkeun. Abdi sawios bade

ngadidik masyarakat bae margi abdi mah masih nya’ah kanu bodo” Lantas K. H.

Zaenal Mustofa pun mendo’akan yang sama dan kemudian sama-sama bertekad untuk berjuang di bidang masing-masing.19 Meskipun K. H. Ruhiat tidak terlibat dalam pertempuran di Sukamanah, namun ia tetap ditahan oleh Pemerintah Militer Jepang dengan tuduhan memiliki keterkaitan dengan K. H. Zaenal Mustafa meskipun tidak secara aktif terlibat dalam peristiwa tersebut. Selama dua bulan K. H. Ruhiat mendekam di Penjara Tasikmalaya.

Jepang hanya berkuasa di Indonesia sampai 15 Agustus 1945 dan harus menyerahkan kembali kepada Sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Sebelum itu dilakukan, bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ketika berita kemerdekaan itu sampai ke Cipasung, K. H. Ruhiat segera berangkat ke Kota Tasikmalaya untuk menyatakan dukungannya kepada Republik Indonesia. Dengan padang yang terhunus, ia berpidato di

babancong, podium terbuka di alun-alun Tasikmalaya ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diumumkan sejalan dengan perjuangan Islam. Sehubungan dengan itu, kemerdekaan tersebut harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka

19


(19)

seraya menghunuskan pedangnya itu yang dibalasa dengan pekikan merdeka dari umatnya yang berkumpulan di alun-alun Tasikmalaya.20

K. H. Ruhiat membuktikan ucapannya itu dengan ikut mempertahankan kemerdekaan meskipun ia tidak ikut mengangkat senjata. Yang ia lakukan adalah menanamkan kesadaran bahwa di kalangan masyarakat bahwa kemerdekaan itu harus dipertahankan. Penjajahan jangan kembali dialami oleh bangsa Indonesia. Ia pun selalu menginformasikan pergerakan tentara Belanda sehingga para pejuang bisa mengatur strategi perjuangannya.21 Tindakannya itu telah mendorong Belanda menjadikan K. H. Ruhiat sebagai ajengan yang harus dibunuh. Sehubungan dengan itu, tentara NICA datang ke pesantren ketika ia sedang solat ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara NICA tersebut memuntahkan peluru ke arah K. H. Ruhiat, tetapi tidak mencapai sasaran. K. H. Ruhiat lolos dari upaya pembunuhan yang dilakukan tentara NICA, namun dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di kepala. Gagal membunuh, Pemerintah NICA menangkap dan menjeblos K. H. Ruhiat ke Penjara Tasikmalaya selama sembilan bulan pada saat Agresi Militer II. Ketika Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, K. H. Ruhiat pun dibebaskan dari Penjara Tasikmalaya.22

Bukti lain yang menunjukkan bahwa K. H. Ruhiat mendukung kemerdekaan RI adalah penolakannya terhadap eksistensi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ia menolak tawaran untuk menjadi salah seorang imam Darul Islam karena gerakan tersebut dipandangnya sebagai bughat yang berusaha

20 Anonim, 2006: 2.

21 Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung. 22


(20)

mendirikan negara di dalam negara. K. H. Ruhiat mendukung bagi terjaganya keutuhan NKRI sehingga ikut serta secara aktif dalam pertemuan kaum ulama dengan pemerintah dan militer di Gedung Mitra Batik pada 1956. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mengembalikan dan menjaga keamanan daerah Priangan Timur sebagai upaya mempersempit gerakan DI/TII. Akibat menolak gerakan DI/TII, K. H. Ruhiat dijadikan sasaran tembak pemberontak. Namun upaya DI/TII tersebut selalu gagal karena K. H. Ruhiat memiliki tempat persembunyian di kompleks pesantrennya.23

Aktivitas di bidang sosial politik lainnya yang dilakukan oleh K. H. Ruhiat adalah berusaha membesarkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Selain pernah menjadi Rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya, ia pun aktif di NU Jawa Barat. Di tingkat pusat, K. H. Ruhiat pernah menjadi A’wan (pembantu) Dewan Syuriah PBNU dari tahun 1954-1959. Pada 28 November 1977, seluruh aktivitasnya berhenti seiring kepergiannya menghadap Sang Khalik.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Ketua PB NU, K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1960-an

23


(21)

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Menko Kesra, K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1964


(22)

DAFTAR SUMBER Buku, Dokumen, dan Surat Kabar

Anonim. t.t. Riwayat Singkat K. H. Ruhiat (Almarhum) Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tasikmalaya.

Bunyamin, H. A. E. 1995. Lintasan Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya. Tasikmalaya.

Falah, Miftahul. 2009. Perubahan Sosial di Kota Tasikmalaya. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Fasa Unpad.

Lubis, Nina H. 2006. 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lemlit Unpad.

MUI Jabar. 2005. MUI dalam Dinamika Sejarah (BMAU ke MUI di Jawa Barat). Bandung: MUI Propinsi Jawa Barat.

Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7. Wawancara

Abdul Hadi, 84 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

H. Sahid, 76 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

Hj. Euis Hasanah, 58 Tahun, Putra Ke-10 K. H. Ruhiat dari istri pertamanya, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

K. H. Agus Saiful Bahri, 49 Tahun, Putra bungsu K. H. Ruhiat dari istri pertamanya, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

Web Site

Anonim. 2006. K. H. Ruhiat Cipasung Seorang Ajengan Patriot. Diakses dari

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=83 35, tanggal 29 April 2010, pukul 19.45 WIB.

Anonim. 2007. Diakses dari http://mui-jabar.or.id/index.php?option=com_con-tent&task=view&id=96&Itemid=50, tanggal 29 April 2010, pukul 19.50 WIB.

Mudzakir, Amin. 2007. Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya 1930-1980an. Diakses dari http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/pengu saha_dan_islam_di_tasikmalaya.html, tanggal 13 Agustus 2009, Pukul 22.05 WIB.


(1)

sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, ia berupaya menumbuhkan nasionalisme meskipun gaya dan caranya menunjukkan perbedaan dengan sahabatnya itu. Bagi K. H. Ruhiat, keteguhan hati dalam memegang akidah jauh lebih penting daripada bertindak secara fisik. Pikiran tersebut terungkap ketika K. H. Ruhiat bersama

dengan ulama lainnya “melakukan” seikerei di bawah todongan senjata tentara Jepang.18

Foto 9: Pondok Pesantren Sukamanah

Keterangan: K. H. Zaenal Mustofa yang mendirikan Pesantren Sukamanah merupakan sosok ulama yang memiliki pemikiran sejalan dengan K. H. Ruhiat meskipun berbeda stratetgi dalam perjuangannya. Di pesantren ini, pada Februari 1944, K. H. Zaenal Mustofa melakukan perlawanan kepada Balatentara Jepang.

Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Sementara itu, tekad K. H. Zaenal Mustofa untuk memberontak kepada Jepang semakin kuat. Beberapa hari sebelum Peristiwa Sukamanah meletus, K. H. Zaenal Mustofa berkunjung ke rumah K. H. Ruhiat untuk mengajaknya bergabung

18


(2)

mengangkat senjata melawan Jepang. K. H. Ruhiat lebih memilih untuk berjuang di bidang pendidikan sambil berkata”Kang abdi mah mung tiasa ngadu’akeun bae, mudah-mudahan cita-cita Akang tiasa kawujudkeun. Abdi sawios bade

ngadidik masyarakat bae margi abdi mah masih nya’ah kanu bodo” Lantas K. H.

Zaenal Mustofa pun mendo’akan yang sama dan kemudian sama-sama bertekad untuk berjuang di bidang masing-masing.19 Meskipun K. H. Ruhiat tidak terlibat dalam pertempuran di Sukamanah, namun ia tetap ditahan oleh Pemerintah Militer Jepang dengan tuduhan memiliki keterkaitan dengan K. H. Zaenal Mustafa meskipun tidak secara aktif terlibat dalam peristiwa tersebut. Selama dua bulan K. H. Ruhiat mendekam di Penjara Tasikmalaya.

Jepang hanya berkuasa di Indonesia sampai 15 Agustus 1945 dan harus menyerahkan kembali kepada Sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Sebelum itu dilakukan, bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ketika berita kemerdekaan itu sampai ke Cipasung, K. H. Ruhiat segera berangkat ke Kota Tasikmalaya untuk menyatakan dukungannya kepada Republik Indonesia. Dengan padang yang terhunus, ia berpidato di babancong, podium terbuka di alun-alun Tasikmalaya ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diumumkan sejalan dengan perjuangan Islam. Sehubungan dengan itu, kemerdekaan tersebut harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka

19


(3)

seraya menghunuskan pedangnya itu yang dibalasa dengan pekikan merdeka dari umatnya yang berkumpulan di alun-alun Tasikmalaya.20

K. H. Ruhiat membuktikan ucapannya itu dengan ikut mempertahankan kemerdekaan meskipun ia tidak ikut mengangkat senjata. Yang ia lakukan adalah menanamkan kesadaran bahwa di kalangan masyarakat bahwa kemerdekaan itu harus dipertahankan. Penjajahan jangan kembali dialami oleh bangsa Indonesia. Ia pun selalu menginformasikan pergerakan tentara Belanda sehingga para pejuang bisa mengatur strategi perjuangannya.21 Tindakannya itu telah mendorong Belanda menjadikan K. H. Ruhiat sebagai ajengan yang harus dibunuh. Sehubungan dengan itu, tentara NICA datang ke pesantren ketika ia sedang solat ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara NICA tersebut memuntahkan peluru ke arah K. H. Ruhiat, tetapi tidak mencapai sasaran. K. H. Ruhiat lolos dari upaya pembunuhan yang dilakukan tentara NICA, namun dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di kepala. Gagal membunuh, Pemerintah NICA menangkap dan menjeblos K. H. Ruhiat ke Penjara Tasikmalaya selama sembilan bulan pada saat Agresi Militer II. Ketika Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, K. H. Ruhiat pun dibebaskan dari Penjara Tasikmalaya.22

Bukti lain yang menunjukkan bahwa K. H. Ruhiat mendukung kemerdekaan RI adalah penolakannya terhadap eksistensi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ia menolak tawaran untuk menjadi salah seorang imam Darul Islam karena gerakan tersebut dipandangnya sebagai bughat yang berusaha

20 Anonim, 2006: 2.

21 Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung. 22


(4)

mendirikan negara di dalam negara. K. H. Ruhiat mendukung bagi terjaganya keutuhan NKRI sehingga ikut serta secara aktif dalam pertemuan kaum ulama dengan pemerintah dan militer di Gedung Mitra Batik pada 1956. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mengembalikan dan menjaga keamanan daerah Priangan Timur sebagai upaya mempersempit gerakan DI/TII. Akibat menolak gerakan DI/TII, K. H. Ruhiat dijadikan sasaran tembak pemberontak. Namun upaya DI/TII tersebut selalu gagal karena K. H. Ruhiat memiliki tempat persembunyian di kompleks pesantrennya.23

Aktivitas di bidang sosial politik lainnya yang dilakukan oleh K. H. Ruhiat adalah berusaha membesarkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Selain pernah menjadi Rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya, ia pun aktif di NU Jawa Barat. Di tingkat pusat, K. H. Ruhiat pernah menjadi A’wan (pembantu) Dewan Syuriah PBNU dari tahun 1954-1959. Pada 28 November 1977, seluruh aktivitasnya berhenti seiring kepergiannya menghadap Sang Khalik.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Ketua PB NU, K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1960-an

23


(5)

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Menko Kesra, K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1964


(6)

DAFTAR SUMBER Buku, Dokumen, dan Surat Kabar

Anonim. t.t. Riwayat Singkat K. H. Ruhiat (Almarhum) Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tasikmalaya.

Bunyamin, H. A. E. 1995. Lintasan Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya. Tasikmalaya.

Falah, Miftahul. 2009. Perubahan Sosial di Kota Tasikmalaya. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Fasa Unpad.

Lubis, Nina H. 2006. 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lemlit Unpad.

MUI Jabar. 2005. MUI dalam Dinamika Sejarah (BMAU ke MUI di Jawa Barat). Bandung: MUI Propinsi Jawa Barat.

Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7. Wawancara

Abdul Hadi, 84 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

H. Sahid, 76 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

Hj. Euis Hasanah, 58 Tahun, Putra Ke-10 K. H. Ruhiat dari istri pertamanya, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

K. H. Agus Saiful Bahri, 49 Tahun, Putra bungsu K. H. Ruhiat dari istri pertamanya, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

Web Site

Anonim. 2006. K. H. Ruhiat Cipasung Seorang Ajengan Patriot. Diakses dari

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=83 35, tanggal 29 April 2010, pukul 19.45 WIB.

Anonim. 2007. Diakses dari http://mui-jabar.or.id/index.php?option=com_con-tent&task=view&id=96&Itemid=50, tanggal 29 April 2010, pukul 19.50 WIB.

Mudzakir, Amin. 2007. Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya 1930-1980an. Diakses dari http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/pengu saha_dan_islam_di_tasikmalaya.html, tanggal 13 Agustus 2009, Pukul 22.05 WIB.