Interaksi Sosial dalam Trilogi Darah Emas Karya Meiliana K. Tansri: Pendekatan Sosiologis

(1)

INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI

DARAH EMAS

KARYA MEILIANA K. TANSRI:

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

TESIS

OLEH

ELVA YUSANTI

097009019/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 1


(2)

INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI

DARAH EMAS

KARYA MEILIANA K. TANSRI:

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

TESIS

Diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

ELVA YUSANTI

097009019

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 1


(3)

Judul Tesis : INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI DARAH EMAS KARYA MEILIANA K. TANSRI:

PENDEKATAN SOSIOLOGIS Nama Mahasiswa : ELVA YUSANTI

Nomor Induk Mahasiswa : 097009019 Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE.


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 September 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si Anggota : 1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.

2. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si 3. Dr. Rosmawaty, M.Pd


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

INTERAKSI SOSIAL

DALAM TRILOGI

DARAH EMAS

KARYA MEILIANA K. TANSRI: PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 24 September 2011


(6)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Elva Yusanti

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 31 Mei 1974

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS Kantor Bahasa Provinsi Jambi

Alamat Rumah : Jalan Lawet Raya VI No. 11

Perumnas Jelutung, Jambi 36124

Alamat Kantor : Jalan Arief Rahman Hakim No. 101

Telanaipura, Jambi.

Telepon/Ponsel : (0741) 669466/081366134248

II. Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri No. 060924 Medan (Tamat 6 Juni 1987)

2. SMP Negeri 13 Medan (Tamat 4 Juni 1990)

3. SMA Negeri 12 Medan (Tamat 29 Mei 1993)

4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 4 April 1998) 5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2009)


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Tesis ini berjudul ”Interaksi Sosial dalam Trilogi Darah Emas Karya Meiliana K. Tansri: Pendekatan Sosiologis”. Tesis ini membicarakan tentang interaksi antara masyarakat Tionghoa dan Jambi dalam menyelamatkan warisan budaya serta melestarikan lingkungan dan hewan langka di Jambi. Fakta-fakta fiksional dalam trilogi Darah Emas, yang terdiri atas Mempelai Naga, Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus, dan Sembrani, merupakan media representasi masyarakat Tionghoa-Jambi secara faktual. Selain itu, dapat diketahui bahwa latar belakang sosiologis pengarang turut mempengaruhi proses kreatif trilogi ini.

Penyelesaian tesis ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

Medan, September 2011 Penulis,


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaian tesis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Pascasarjana USU beserta

Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M. Hum., selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Magister Linguistik, beserta para Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Utama dan

Pembimbing Akademik, yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini, serta berkenan membagikan ilmu dan meminjamkan buku-bukunya.

5. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing

penulis, memberikan dorongan dan motivasi, serta menjadi mitra berdiskusi selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., selaku Dosen pada Program Studi Magister Linguistik

Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, yang telah menambah wawasan penulis mengenai teori-teori kritis.


(9)

7. Dra. Yeyen Maryani, M.Hum., selaku Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang telah melegalisasi pemberian beasiswa selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

8. Drs. Yon Adlis, M.Pd., selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi Jambi, yang telah

memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

9. Sdr. Meiliana K. Tansri, selaku pengarang yang menulis novel bahan penelitian ini.

10.Orang tua penulis, Ayahanda M. Yusuf Hasibuan dan Ibunda Ida Yanti, yang

dengan tulus mengalirkan doa dan kasih sayangnya.

11.Keluarga penulis, yaitu suami tercinta, Rizal, yang selalu memberikan dukungan

dan motivasi kepada penulis untuk mencapai kesuksesan dalam karier dan pendidikan, serta kedua anak penulis, ananda Muhammad Farhan Aulia dan Sausan Nadhifah Humaira, yang selalu menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

12.Keluarga besar penulis yaitu, kakak, adik, ipar, beserta keponakan-keponakan yang selalu mendoakan penulis.

13.Sahabat-sahabat penulis: Ilsa Dewita Putri Soraya, S.S., M.A., Lukman, S.Pd.,

M.A., dan Maryani, S.Pd., yang tanpa pamrih telah membantu penulis, serta Hennilawati, M.Hum., yang menjadi sahabat penulis dalam suka dan duka.

14.Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana

USU Angkatan 2009/2010.

15.Teman seprofesi penulis di Kantor Bahasa Provinsi Jambi, Balai Bahasa Medan,


(10)

16.Semua pihak yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.

Medan, September 2011 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL

PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING PANITIA PENGUJI

PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP

KATA PENGANTAR... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR BAGAN... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Akademis ... 8

1.3.2 Tujuan Praktis ... 8

1.4 Batasan Masalah ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Manfaat Teoretis ... 10

1.5.2 Manfaat Praktis ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL ... 12

2.1 Kajian Pustaka ... 12


(12)

2.2.1 Interaksi Sosial ... 15

2.2.2 Novel ... 18

2.2.3 Representasi ... 20

2.2.4 Sosiologis Pengarang ... 21

2.3 Landasan Teori ... 22

2.4 Model Penelitian ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Metode Penelitian ... 32

3.2 Sumber Data ... 34

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.4 Teknik Analisis Data ... 37

BAB IV INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI DARAH EMAS ... 40

4.1 Analisis ... 41

4.1.1 Fakta dan Makna Cerita Trilogi Darah Emas ... 41

4.1.1.1 Alur ... 44

4.1.1.2 Karakter ... 66

4.1.1.3 Latar ... 71

4.1.1.4 Tema ... 74

4.1.2 Interaksi Sosial Asosiatif ... 76

4.1.2.1 Kooperasi (Kerja Sama) ... 76

4.1.2.2 Akomodasi ... 84

4.1.3 Interaksi Sosial Disosiatif ... 85

4.1.3.1 Kompetisi ... 85

4.1.3.2 Konflik ... 87

4.1.3.3 Kontravensi ... 89

4.2 Temuan Penelitian ... 91

BAB V TRILOGI DARAH EMAS SEBAGAI MEDIA REPRESENTASI MASYARAKAT TIONGHOA-JAMBI ... 94 5.1 Fakta-Fakta Fiksional dalam Trilogi Darah Emas yang


(13)

Merepresentasikan Masyarakat Tionghoa-Jambi ... 96

5.1.1 Nama-Nama Tokoh ... 96

5.1.2 Sikap Hidup Tokoh ... 97

5.1.3 Peristiwa-Peristiwa yang Diceritakan ...100

5.2 Temuan Penelitian ...105

BAB VI LATAR BELAKANG SOSIOLOGIS PENGARANG ... 107

6.1 Hubungan Antara Trilogi Darah Emas dan Latar Belakang Sosiologis Pengarang ... 109

6.1.1 Asal Sosial Pengarang ... 109

6.1.2 Kelas Sosial Pengarang ... 112

6.1.3 Jenis Kelamin Pengarang ... 114

6.1.4 Umur Pengarang ... 117

6.1.5 Pendidikan Pengarang ... 119

6.1.6 Pekerjaan Pengarang ... 121

6.1 Temuan Penelitian ... 123

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 125

7.1 Simpulan ... 125

7.2 Saran ... 127


(14)

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman

1. Model Aplikasi Pendekatan Sosiologis terhadap Trilogi Darah

Emas ... 30


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Biografi dan Foto Meiliana K. Tansri ... 137

2. Sampul Depan Trilogi Darah Emas ... 140

3. Sampul Belakang Trilogi Darah Emas ... 141

4. Sinopsis ... 142

5. Berita tentang Situs Kemingking ... 144

6. Foto-Foto Candi di Situs Kemingking ... 147


(16)

ABSTRAK

Penelitian yang mengungkapkan masalah interaksi sosial dan representasi realitas faktual ini dilakukan melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik yang bersumber pada teks sastra, ditinjau berdasarkan pandangan Stanton, yakni meneliti fakta dan makna cerita. Pendekatan ekstrinsik yang meneliti konteks karya sastra, ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra Wellek dan Austin, yakni adanya tiga fakta sastra: pengarang, karya, dan pembaca.

Trilogi Darah Emas karya Meiliana K. Tansri yang menjadi sumber data

penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik dokumenter dan analisis konten. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan berupa interaksi sosial yang dilakukan para tokoh sebagai representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Temuan berikutnya adalah keterlibatan pengarang dalam proses kreatif trilogi tersebut. Keterlibatan itu ditemukan melalui pendeskripsian latar belakang sosiologis pengarang. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra.


(17)

ABSTRACT

This study which revealed problems of social interaction and factual representation of reality is done through two approaches, intrinsic and extrinsic. Intrinsic approach which used literary texts reviewed based on the views of Stanton, which is researching the facts and meaning of the story. Extrinsic approach that examines the context of literary works, reviewed literature on the theory of Wellek and Austin's sociology, namely the existence of three literary facts: the author, work, and readers.

The trilogy of Darah Emas written by Meiliana K. Tansri which was used as the source of research data in this study was analyzed using documentary techniques and content analysis. Based on the analysis, findings obtained in the form of social interaction that made the characters as representations of the Chinese community-Jambi. The following finding is the author's involvement in the creative process of the trilogy. The involvement was found through the description of the author sociological background. However, these findings cannot be separated from fact and meaning of the story for those both aspects are complementary in the interpretation of literary texts. Keywords: interaction, representation, and sociology.


(18)

ABSTRAK

Penelitian yang mengungkapkan masalah interaksi sosial dan representasi realitas faktual ini dilakukan melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik yang bersumber pada teks sastra, ditinjau berdasarkan pandangan Stanton, yakni meneliti fakta dan makna cerita. Pendekatan ekstrinsik yang meneliti konteks karya sastra, ditinjau berdasarkan teori sosiologi sastra Wellek dan Austin, yakni adanya tiga fakta sastra: pengarang, karya, dan pembaca.

Trilogi Darah Emas karya Meiliana K. Tansri yang menjadi sumber data

penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik dokumenter dan analisis konten. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan berupa interaksi sosial yang dilakukan para tokoh sebagai representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Temuan berikutnya adalah keterlibatan pengarang dalam proses kreatif trilogi tersebut. Keterlibatan itu ditemukan melalui pendeskripsian latar belakang sosiologis pengarang. Temuan-temuan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra.


(19)

ABSTRACT

This study which revealed problems of social interaction and factual representation of reality is done through two approaches, intrinsic and extrinsic. Intrinsic approach which used literary texts reviewed based on the views of Stanton, which is researching the facts and meaning of the story. Extrinsic approach that examines the context of literary works, reviewed literature on the theory of Wellek and Austin's sociology, namely the existence of three literary facts: the author, work, and readers.

The trilogy of Darah Emas written by Meiliana K. Tansri which was used as the source of research data in this study was analyzed using documentary techniques and content analysis. Based on the analysis, findings obtained in the form of social interaction that made the characters as representations of the Chinese community-Jambi. The following finding is the author's involvement in the creative process of the trilogy. The involvement was found through the description of the author sociological background. However, these findings cannot be separated from fact and meaning of the story for those both aspects are complementary in the interpretation of literary texts. Keywords: interaction, representation, and sociology.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trilogi novel Darah Emas (Tansri, 2010), menceritakan tentang usaha

penyelamatan situs Kemingking, sebuah daerah temuan benda purbakala berupa reruntuhan (puing-puing) kerajaan kuno. Dinamakan situs Kemingking karena benda-benda purbakala itu ditemukan di sekitar wilayah Kemingking, sebuah desa kecil yang terletak di sebelah barat Sungai Batanghari, Jambi. Lokasi situs ini diyakini berada persis di bawah bangunan pabrik kayu lapis milik seorang pengusaha lokal keturunan Tionghoa. Pembangunan pabrik tersebut menimbulkan pro dan kontra karena selain menyebabkan terkuburnya sebuah aset budaya, juga melatarbelakangi terjadinya pencemaran lingkungan, penebangan liar, dan perburuan ilegal. Keadaan ini membuat Naga, roh langit dan bumi, murka. Ia menumpahkan murkanya kepada orang-orang yang merusak keseimbangan alam itu melalui keturunannya yang disebut ”berdarah emas”. Selain klan darah emas, penyelamatan juga dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat yang peduli dengan pelestarian budaya dan lingkungan hidup. Mereka saling bekerja sama untuk satu tujuan, mengembalikan alam kepada keseimbangannya.

Trilogi Darah Emas (selanjutnya disingkat DE) ditulis oleh Meiliana K. Tansri, perempuan pengarang kelahiran Jambi dan berdarah Tionghoa. Meiliana adalah satu dari sedikit perempuan pengarang Jambi yang produktif sampai saat ini. Novel yang ditulis Meiliana kali ini berbeda dengan novel-novel yang terbit sebelumnya, yang lebih banyak mengangkat tema-tema percintaan. Novelnya kali ini dapat dikatakan sebagai dokumen yang mencatat realitas yang terjadi pada masa lalu karena diangkat


(21)

berdasarkan polemik sosial yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 1980-an. Saat itu, Jambi dibelit pro-kontra pendirian sebuah pabrik kayu lapis yang diduga dibangun di atas situs purbakala di Kemingking. Keberadaan situs itu masih menjadi perdebatan karena belum pernah dilakukan ekskavasi arkeologis terhadapnya. Sebagian masyarakat meyakini bahwa situs itu benar-benar ada, tetapi sebagian lagi menganggapnya dongeng belaka.

Mengingat dunia dalam karya sastra merupakan tiruan atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imitation of reality), karya sastra dapat dikatakan sebagai dokumen yang mencatat realitas masa lalu (Mahayana; 2005: 361). Namun demikian, pandangan yang menyatakan karya sastra sebagai dokumen realitas harus dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses pengendapan di dalam pemikiran pengarang. Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah melalui proses pengamatan, perenungan, penghayatan, dan penilaian itu, kemudian diolah sedemikian rupa dengan kekuatan imajinasi. Imajinasi, menurut Laclau (dalam Mc Robbie, 2011: 85), merupakan cakrawala yang merepresentasikan dunia sosial. Dengan menggunakan imajinasi, pengarang akan menghasilkan refleksi realitas imajinatif (Mahayana, 2005: 362) atau yang disebut Kleden (2004: 413) sebagai kenyataan imajiner (imagined reality) yang sering disamakan dengan khayalan.

Adanya keterlibatan imajinasi menunjukkan bahwa karya sastra hanya menyajikan kenyataan artistik, bukan kenyataan objektif sehingga realitas dalam karya sastra berbeda dengan realitas empiris yang ditampilkan ilmu sosial lain. Jassin (dalam Kleden, 2004: 413) mengatakan,

”Imajinasi ini berbeda dengan ilmu yang berisi gagasan. Imajinasi lebih daripada gagasan; ia adalah keseluruhan dari kombinasi dari gagasan-gagasan,


(22)

perasaan-perasaan, kenangan pengalaman, dan intuisi manusia. Imajinasi adalah sesuatu yang hidup, suatu proses, suatu kegiatan jiwa. Dengan demikian, imajinasi yang dituangkan ke dalam sesuatu karya seni, tidak identik sama dengan kenyataan sejarah, pengalaman, ataupun ilmu pengetahuan. Suatu karya seni mempunyai kenyataan artistik yang tidak identik sama dengan kenyatan objektif atau kenyataan sejarah atau kenyataan ilmu pengetahuan.”

Pengolahan imajinasi tidak akan terlepas dari pengolahan bahasa sebagai sarana primer karya sastra. Karya sastra merupakan suatu teks, berisi ungkapan bahasa yang menurut pragmatik, sintaktik, dan semantik, merupakan suatu kesatuan (Pradotokusumo, 2002: 23). Bahasa dalam sastra memiliki ciri khas, yakni adanya unsur ambiguitas yang mengandung kepadatan arti. Bahasa sastra pun memproyeksikan pandangan dunia atau ideologi pengarang dalam menerjemahkan peristiwa di sekitarnya (Budiman, 1994: 41). Perpaduan antara bahasa dan imajinasi, menjadikan karya sastra sebagai media yang tepat bagi pengarang dalam berkomunikasi dengan pembaca.

Berdasarkan hal itu, sebagai pengarang yang kreatif dan imajinatif, Meiliana mengolah polemik 1980-an yang terjadi di Jambi dengan menggunakan kreasi dan imajinasinya sendiri. Dengan memanfaatkan latar sosial masyarakat Tionghoa dan Jambi –dua komunitas yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya- Meiliana mendongengkan fakta dan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Jambi ke dalam karyanya. Oleh Meiliana, bahasa dijadikan alat untuk menyampaikan ide, pesan, tema, dan pandangan dunia yang berfungsi sebagai media catatan kritisnya mengenai peristiwa yang bersangkutan. Masalah warisan budaya, pencemaran lingkungan, perburuan ilegal, bahkan kedudukan anak perempuan dalam masyarakat Tionghoa, juga disinggung Meiliana dalam trilogi ini. Akan tetapi, dia menyamarkan kritikannya itu dengan mengedepankan interaksi yang terefleksi antara komunitas Tionghoa dan Jambi pada kurun waktu 1987—2000-an. Interaksi yang terjadi antara masyarakat Tionghoa,


(23)

sebagai pendatang, dan masyarakat Jambi, sebagai penduduk lokal, menunjukkan hubungan timbal balik yang dinamis. Hubungan tersebut diwujudkan melalui kontak sosial dan komunikasi sosial yang terjalin antara kedua etnis yang menjadi subjek penceritaan dalam trilogi DE.

Kontak dan komunikasi sosial, menurut Abdulsyani (2007: 154-155), merupakan faktor-faktor (syarat) yang melatarbelakangi terjadinya interaksi sosial. Kontak sosial adalah interaksi yang terjadi melalui percakapan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan saling mengerti maksud dan tujuan masing-masing. Kontak sosial langsung terjadi dalam bentuk tatap muka, berjabat tangan, atau berbicara secara langsung, sedangkan kontak sosial tidak langsung membutuhkan perantara, misalnya berbicara melalui telepon, surat, dan lain-lain. Komunikasi sosial mengandung pengertian persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi terhadap sesuatu. Hal ini dibarengi dengan adanya tafsiran, yang diberikan seseorang pada sesuatu atau pada perilaku orang lain, sebagai aspek terpenting dari komunikasi sosial.

Berdasarkan kenyataan yang ada, masyarakat Jambi yang multietnis juga melakukan kontak dan komunikasi sosial dalam berinteraksi. Masyarakat pendatang yang berasal dari etnis yang berbeda tidak terlalu sulit melakukan kontak dan komunikasi sosial dengan masyarakat setempat, yakni etnis Melayu Jambi. Hal ini disebabkan oleh sifat masyarakat Melayu Jambi yang terbuka dan mudah berinteraksi dengan etnis apapun. Keterbukaan ini pula yang menyebabkan etnis pendatang bersedia berkomunikasi di depan umum dengan menggunakan bahasa Melayu Jambi, baik komunikasi yang terjalin dengan etnis yang berbeda maupun antarsesama etnis.


(24)

Secara realitas fiksi, kontak sosial dan komunikasi sosial sebagai faktor terjadinya interaksi sosial juga terlihat dalam trilogi DE. Usaha penyelamatan ataupun pelenyapan situs Kemingking dalam trilogi DE dilatarbelakangi dengan pembauran, persepakatan, bahkan pertentangan antaretnis sehingga menunjukkan interaksi yang memiliki pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, realitas dalam trilogi DE tidak sepenuhnya persis dengan kenyataan sehari-hari karena pada hakikatnya, realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca (Wellek dan Austin, 1993: 278). Dalam trilogi DE, pembaca akan disuguhkan beberapa dialog langsung yang terjadi antara manusia dan roh langit dan bumi –sesuatu yang sangat tidak dimungkinkan terjadi dalam kenyataan yang sebenarnya- sebagai salah satu bentuk interaksi yang ada di dalam novel itu. Interaksi itu terjadi setelah adanya kontak dan komunikasi sosial di antara keduanya.

Salah satu yang menarik dari trilogi DE adalah penggambaran interaksi antaretnis dalam menyelamatkan budaya dan lingkungan Jambi. Dalam trilogi ini dideskripsikan bahwa bukan hanya orang Jambi asli yang memiliki tanggung jawab terhadap pelestarian budaya dan lingkungan di daerah Jambi, tetapi juga orang Tionghoa, sebagai masyarakat pendatang. Gambaran seperti ini mencerminkan kenyataan sehari-hari yang terjadi di daerah Jambi. Keharmonisan hubungan antara kedua etnis dapat terlihat dalam berbagai sektor, seperti perdagangan, pendidikan, dan kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena orang Tionghoa dan Jambi telah memiliki keterikatan secara emosional sejak ratusan tahun yang lalu. Oleh karena itu,


(25)

penggambaran interaksi antaretnis dalam trilogi DE dapat dikatakan merepresentasikan kenyataan yang ada.

Hal menarik lainnya adalah terdapat indikasi adanya hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis pengarangnya. Meiliana yang berdarah Tionghoa dan telah lama menetap di Jambi ini, berpartisipasi kreatif dalam melestarikan warisan budaya dan lingkungan Jambi melalui tokoh dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam

trilogi DE. Partisipasi kreatif ini merupakan bentuk eksistensi pengarang dalam

berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.

Sehubungan dengan itu, interaksi sosial yang ditemukan dalam trilogi DE bukan hanya mengindikasikan adanya penyatuan (asosiatif), melainkan juga pertentangan (disosiatif). Bentuk-bentuk interaksi ini ditemukan melalui hubungan antartokoh, seperti interaksi antara Hartanto -pengusaha dari etnis Tionghoa- dan penasihat spiritualnya, Datuk Itam, dukun dari etnis Melayu Jambi (dalam MN dan GBTET) yang bersifat disosiatif. Di samping itu, terdapat pula interaksi yang terjadi antara tokoh manusia dan hewan, seperti interaksi antara Leng Cu dan tiga ekor tikus: Mnem, Noah, dan Akyg (dalam GBTET dan Sbr) yang bersifat asosiatif.

Interaksi sosial dalam trilogi DE, baik yang dilatarbelakangi oleh kontak sosial maupun komunikasi sosial, tidak hanya terjadi secara verbal, melainkan juga nonverbal, sebagaimana yang terlihat dalam contoh kutipan berikut.

Mata dukun tua itu merah seperti getah sirih yang baru diludahkan. Napasnya memburu dan berat. Hartanto takut melihatnya. Dia yakin saat itu Datuk Itam mampu membunuh siapa saja (MN: 147).

Kutipan tersebut menyiratkan kontak sosial yang terjadi secara nonverbal antara Hartanto dan Datuk Itam. Perubahan kondisi Datuk Itam ketika mengalami trans dapat


(26)

dipahami oleh Hartanto meskipun tidak diucapkan secara langsung. Timbulnya pemahaman dan penafsiran tersebut secara otomatis juga menyiratkan adanya komunikasi sosial di antara kedua tokoh dalam trilogi DE itu.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang muncul dalam menganalisis trilogi novel Darah Emas (DE) karya Meiliana K. Tansri dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah interaksi sosial dalam trilogi DE?

2. Bagaimanakah trilogi DE sebagai media representasi masyarakat

Tionghoa-Jambi?

3. Bagaimanakah hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis

pengarang?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Akademis

Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis interaksi sosial dalam trilogi DE.

2. Mendeskripsikan trilogi DE sebagai media representasi masyarakat

Tionghoa-Jambi.

3. Mendeskripsikan hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis


(27)

1.3.2 Tujuan Praktis

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan isi trilogi novel Darah Emas yang menceritakan tentang usaha penyelamatan aset budaya di Provinsi Jambi. Usaha penyelamatan tersebut diejawantahkan melalui interaksi yang terjadi antara masyarakat Tionghoa, sebagai pendatang, dan masyarakat Melayu Jambi, sebagai penduduk lokal. Interaksi sosial, secara harfiah, dipahami sebagai suatu proses sosial yang dapat mempersatukan orang dari berbagai latar belakang sosial dan kultural yang berbeda. Berdasarkan pemahaman ini, gambaran tentang masyarakat Tionghoa-Jambi dalam trilogi DE dianggap merepresentasikan masyarakat Tionghoa-Tionghoa-Jambi secara faktual. Relevansi antara realitas fiksi dan faktual tersebut diinterpretasikan dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang meliputi sosiologi karya dan sosiologi pengarang. Hasil analisis terhadap trilogi DE karya Meiliana K. Tansri ini dapat menjadi produk kepustakaan dan model penelitian sastra yang menampilkan kehidupan masyarakat Tionghoa-Jambi.

1.4 Batasan Masalah

Karya sastra selalu membicarakan masalah kehidupan yang kompleks. Oleh karena itu, sangat sulit meneliti sebuah karya sastra tanpa adanya ruang lingkup yang terbatas. Ruang lingkup tersebut harus berdasarkan kepada tujuan yang ingin diperoleh dari suatu penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis dalam pengkajiannya. Pada dasarnya, sosiologi sastra tidak terlepas dari tiga fakta sastra, yakni karya, pengarang,


(28)

dan pembaca. Ketiga fakta sastra tersebut dapat dikaji secara bersamaan ataupun terpisah, tergantung kepada fakta apa yang paling berpengaruh dalam karya tersebut.

Dalam trilogi DE, karya dan pengarang merupakan faktor yang paling penting dalam mengimplikasikan fakta sastra karena peristiwa yang diceritakan dalam trilogi novel ini diindikasikan memiliki kaitan yang erat dengan pengarangnya. Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi pada sosiologi karya dan sosiologi pengarang. Sosiologi karya dalam penelitian ini dibatasi pada masalah sosial, yakni interaksi sosial antartokoh serta deskripsi realitas fiksi masyarakat Tionghoa-Jambi yang merepresentasikan realitas faktualnya. Sementara itu, sosiologi pengarang dalam penelitian ini dibatasi pada latar belakang sosiologis pengarang dalam menghasilkan karya-karyanya.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang diharapkan dari hasil penelitian terhadap trilogi DE karya Meiliana K. Tansri meliputi tiga hal berikut.

1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan pendekatan

sosiologis terhadap karya sastra Indonesia, khususnya novel karya sastrawan yang berasal dari Provinsi Jambi.

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori sosiologi sastra untuk mengungkapkan interaksi sosial antara masyarakat Tionghoa dan Melayu Jambi, terutama berdasarkan novel karya sastrawan yang berasal dari Provinsi Jambi. 3. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian, baik


(29)

realitas fiksi dalam memaparkan kehidupan faktual masyarakat, terutama masyarakat Tionghoa-Jambi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian terhadap trilogi DE karya Meiliana K. Tansri diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, antara lain, adalah:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang interaksi sosial masyarakat

Tionghoa-Jambi, baik secara asosiatif maupun disosiatif.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang perlunya melestarikan

warisan budaya dan lingkungan hidup untuk menjaga keseimbangan alam.

3. Memberikan informasi tentang keberagaman kultur yang ada di Provinsi Jambi

yang dapat dijadikan aset yang potensial dalam mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, dan kesenian di Provinsi Jambi.


(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

2.1 Kajian Pustaka

W.R. Sihombing (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra” mengkaji tentang interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam kajiannya ini, Sihombing lebih menitikberatkan pada sosiologi karya, yakni meneliti interaksi antartokoh dalam novel tersebut. Jenis-jenis interaksi yang ditemukan Sihombing dalam novel Tiba-Tiba Malam adalah kooperasi, akomodasi, dan konflik (pertikaian). Masalah kooperasi terdapat dalam tradisi nguopin, yakni tradisi gotong royong yang dilakukan para tokoh yang berlatar belakang sosiokultural Bali, di berbagai tempat dan kesempatan, misalnya, di sawah (menanam, menyiangi, atau memanen padi), di rumah (memperbaiki atap atau menggali sumur), atau dalam perhelatan ritual (pernikahan, keagamaan, atau kematian). Masalah akomodasi ditunjukkan melalui upaya damai yang dilakukan kepala desa untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara keluarga tokoh Subali dan penduduk desa. Yang terakhir, masalah konflik ditemukan dalam pertikaian antartokoh, yaitu antara tokoh Subali dan tokoh Utari.

Kajian yang dilakukan Sihombing sangat membantu penulis dalam menganalisis interaksi sosial dalam trilogi novel Darah Emas karena persamaan unsur yang diteliti, yaitu interaksi sosial antartokoh. Perbedaannya, Sihombing menggabungkan penganalisisan interaksi yang berorientasi positif dan negatif sekaligus, sedangkan penulis memilah interaksi yang bersifat asosiatif dan disosiatif ke dalam subbab yang berbeda. Tujuannya adalah untuk menganalisis kedua jenis interaksi secara lebih detail.


(31)

Dalam melakukan interaksi, setiap individu atau kelompok akan memiliki motif-motif yang melatarbelakangi terjadinya interaksi itu. Masalah ini tertuang dalam kajian Dedi Pramono (2007) yang berjudul “Menelaah Pola Interaksi Sosial dalam Sastra Melayu Tionghoa: Pembauran dan Pembentukan Budaya Indonesia”. Novel yang menjadi kajian Pramono adalah novel-novel Melayu Tionghoa yang diterbitkan pada

masa kolonial, yakni novel Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang (1903) dan Bunga

Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay (1927). Interaksi antaretnis yang ditemukan Pramono dalam kedua novel itu adalah interaksi antara etnis Tionghoa dan Tionghoa, Tionghoa dan Belanda, Tionghoa dan pribumi, serta Tionghoa dan Arab. Dalam kajiannya, Pramono lebih menitikberatkan pada motif-motif yang melatarbelakangi terjadinya interaksi sosial antaretnis tersebut. Motif-motif yang ditemukannya adalah motif ekonomis, biologis, dan psikologis. Motif ekonomis dan biologis terdapat pada novel Lo Fen Koei yang diwujudkan melalui tokoh Lo Fen Koei, seorang pakter opium yang mengandalkan kekayaannya dalam berinteraksi, termasuk

memuaskan nafsu birahinya; sedangkan motif psikologis tercermin melalui tokoh Oh

Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan, dalam novel Bunga Roos dari Cikembang. Tokoh ini selalu mengandalkan hati nuraninya dalam berinteraksi, tanpa membedakan etnis dan kelas sosial.

Kajian Pramono ini sangat mendukung penelitian penulis dalam melihat motif-motif yang melatarbelakangi interaksi antartokoh dalam trilogi DE. Motif-motif-motif dalam novel berlatar belakang penjajahan kolonial Belanda yang dikaji Pramono tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan trilogi DE yang berlatar belakang tahun 1987—2000-an.


(32)

Masalah interaksi juga dapat ditemukan dalam penelitian Sainul Hermawan yang berjudul ”Novel Ca-bau-kan dan Ambivalensi Wacana Pembelaan Tionghoa”. Penelitian ini dilakukan Hermawan pada tahun 2005 dan ditemukan dalam bukunya yang berjudul Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel (2009). Dalam penelitiannya, Hermawan mendapati bahwa pembauran orang Tionghoa dalam novel Ca-bau-kan tidak bersifat eksklusif dan monolitik. Ketidakeksklusifan itu ditunjukkan melalui kerja sama (kooperasi) antara tokoh Tionghoa dan non-Tionghoa dalam bidang ekonomi, seni, dan perjuangan melawan penjajahan. Tokoh Tionghoa juga tidak lagi menggunakan bahasa Cina dalam berkomunikasi, melainkan bahasa campuran sehingga adanya kecenderungan yang menunggalkan Tionghoa dalam wacana publik –dalam novel ini- terbantahkan. Selain kooperasi, Hermawan juga mendapati adanya kompetisi antartokoh

dalam Ca-bau-kan, seperti yang diperlihatkan tokoh Tan Peng Liang Semarang dan

pesaing bisnisnya, Thio Boen Hiap.

Kajian Hermawan turut membantu penulis dalam melihat kerja sama dan persaingan –sebagai bagian dari bentuk interaksi sosial- yang dilakukan oleh orang Tionghoa. Bentuk interaksi itu bukan hanya dilakukan dengan sesama etnis Tionghoa, melainkan juga dengan etnis yang berbeda.

2.2 Konsep 2.2.1 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah proses sosial yang terjadi sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yakni antara individu dan individu, individu dan kelompok, atau kelompok dan kelompok (Abdulsyani, 2007: 151; Suyanto dan Septi, 2007: 16).


(33)

Pengaruh timbal balik itu, menurut Roucek dan Roland (1963: 41), dilakukan melalui kontak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak sosial secara langsung terjadi melalui organisme fisik, sedangkan tidak langsung terjadi melalui tulisan atau komunikasi jarak jauh. Kontak sosial tidak akan terjadi apabila tidak ada komunikasi sosial, yakni persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi terhadap sesuatu (Abdulsyani, 2007: 155) karena dalam berkomunikasi, banyak sekali penafsiran terhadap perilaku dan sikap masing-masing orang yang saling berhubungan. Oleh karena itu, kontak dan komunikasi sosial merupakan syarat terjadinya interaksi.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia di sekitarnya. Hal ini disebutkan Goldmann (1981: 40) sebagai human facts ’fakta kemanusiaan’, yakni fakta bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang bukan hanya saling bertentangan, melainkan juga saling mengisi.

Sebagai suatu proses sosial, interaksi sosial merupakan masalah yang pokok karena merupakan dasar dari segala proses sosial. Interaksi sosial dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. Interaksi yang bersifat asosiatif mengindikasikan adanya gerak pendekatan atau penyatuan, sebaliknya interaksi sosial disosiatif mengindikasikan adanya pertentangan. Norma (2007: 57) menyebutkan bahwa interaksi sosial bersifat asosiatif dapat terdiri atas empat bentuk, yakni kooperasi, akomodasi, asimilasi, dan amalgamasi.

Kooperasi merupakan kerja sama atau usaha bersama yang dilakukan antara individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Roucek dan Roland (1963: 41)


(34)

mengatakan ”cooperation is fostered by situations in which individuals stand to benefit more by pooling their efforts than by working individually” ’kooperasi lahir dengan adanya keadaan di mana individu dapat memperoleh manfaat optimal dengan bergotong royong daripada bekerja sendiri’.

Akomodasi merupakan persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa (Roucek dan Roland, 1963: 41). Akomodasi bersifat temporer yang bertujuan untuk meredakan pertentangan yang terjadi antara kedua belah pihak.

Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan antara dua pihak yang memiliki kebudayaan yang berbeda (Roucek dan Roland, 1963: 44). Proses peleburan ini dapat menimbulkan kebudayaan yang baru. Sementara itu, amalgamasi, menurut Norma (2007: 57), merupakan proses peleburan kebudayaan, dari suatu kebudayaan tertentu yang menerima dan mengolah unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

Selain asosiatif, interaksi sosial juga dapat berbentuk disosiatif. Bentuk interaksi ini dapat terdiri atas tiga bentuk, yakni kompetisi (persaingan), konflik, dan kontravensi (Norma, 2007: 65).

Kompetisi adalah usaha seseorang untuk memperebutkan tujuan tertentu yang dilakukan dalam keadaan damai (kondusif). Roucek dan Roland (1963: 42) mengatakan bahwa tujuan yang diperebutkan itu dapat berupa materi dan nonmateri.

Berbeda dengan kompetisi, konflik merupakan persaingan yang bersifat ekstrem dan dibarengi dengan kekerasan. Kekerasan yang terjadi, menurut Roucek dan Roland


(35)

(1963: 42), ”is the attempt to eliminate a rival from the competitive process” ’merupakan suatu percobaan untuk menyingkirkan lawan dalam proses persaingan’.

Interaksi sosial disosiatif lainnya adalah kontravensi, yakni proses untuk menghalangi, merintangi, dan menggagalkan pihak lain dalam mencapai tujuan (Norma, 2007: 65).

Interaksi sosial dalam karya sastra –sebagai pengejawantahan dunia dalam imajinasi- akan sama dengan interaksi sosial pada hubungan kemanusiaan dalam kehidupan nyata, yakni adanya motif yang muncul ketika manusia berinteraksi. Dalam karya sastra, motif-motif tersebut akan tergambar melalui interaksi yang dilakukan para tokohnya. Menurut Pramono (dalam www.forum-sastra-lamongan.blogspot.com), interaksi sosial dalam kehidupan manusia, bersifat natural (alamiah) sehingga motif yang terjadi dapat mencakup motif psikologis, ekonomis, biologis, status sosial, dan agamis.

2.2.2 Novel

Novel adalah genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuasi di Inggris pada abad 18 (Sumardjo, 1999: 12). Di Indonesia, bentuk novel mulai diperkenalkan pada tahun 1880-an melalui terjemahan novel-novel Tionghoa (Salmon, 2010: 149). Berdasarkan data-data yang diperoleh Salmon (2010: 151), novel pertama yang diterbitkan ketika itu adalah novel Melayu-Tionghoa berjudul Thjit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) karangan penulis peranakan, Lie Kim Hok, terbit tahun 1886. Novel ini merupakan campuran dari dua buah novel Eropa yang dijadikan Lie sebagai sumber ilham pembuatan novelnya.


(36)

Menurut Nurgiyantoro (1995: 90), novel merupakan karya fiksi yang menceritakan tentang kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya serta mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan lebih kompleks. Novel mengandung nilai-nilai yang otentik, yakni nilai-nilai yang mengimplisitkan totalitas kehidupan (Faruk, 1994: 30). Novel juga lahir dan berkembang dalam dinamika sosiokultural yang khas karena mengejawantahkan keheterogenitasan manusia (Mahayana, 2007: 1). Kekhasan tersebut menjadikan novel sebagai produk yang unikum dan bernas sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pola berpikir, sikap hidup, dan wawasan estetik.

Pada umumnya, novel terdiri atas sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda tetapi saling berhubungan. Hubungan antarbab tersebut berupa hubungan kausalitas dan kronologis karena bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab yang lain (Nurgiyantoro, 1995: 14). Menurut Stanton (2007: 91), setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode yang terdiri pula atas berbagai macam topik. Oleh karena itu, jika hanya membaca satu bab novel secara acak, pembaca tidak akan mendapatkan cerita yang utuh.

Sebagai ragam fiksi naratif, novel lebih populer di kalangan masyarakat karena berisi gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis (Clara Reeve dalam Wellek dan Austin, 1993: 282). Kepopuleran tersebut ditandai dengan beberapa novel yang mengalami cetak ulang karena tingginya permintaan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh Sumardjo (1999: 11), beberapa novel yang mengalami cetak ulang, antara lain, Salah Asuhan, karya Abdul Muis, selama 50 tahun telah dicetak ulang 11 kali, Siti Nurbaya, karya Marah Rusli,


(37)

selama 57 tahun dicetak ulang 12 kali, atau Mawar Jingga karya Ike Soepomo, dalam setahun dicetak ulang 5 kali.

Beberapa tahun terakhir, pengarang lebih menyukai menulis novel-novel yang berseri tetapi masih saling berhubungan, terutama dalam pengembangan tema. Muncullah novel-novel berbentuk dwilogi, trilogi, bahkan tetralogi, yang mengindikasikan tingginya produktivitas pengarang dalam menulis, sekaligus keterlibatan penerbit, sebagai trik untuk menarik minat pembaca terhadap novel tersebut sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan pendapatan mereka. Sebenarnya novel-novel jenis ini, terutama trilogi, sudah ada di Indonesia sejak tahun 1920-an, misalnya, novel trilogi yang ditulis oleh Tan Kim Sen, penulis keturunan Tionghoa (Salmon, 2010: 376). Akan tetapi, trilogi yang ditulis pada tahun 20-an jauh dari kesan komersial karena masih tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintah kolonial.

2.2.3 Representasi

Kata representasi berasal dari bahasa Yunani, repraesentatio, yang berarti mendahului atau sesuatu yang mendahului objek lain. Stuart Hall (dalam www.lontar.ui.ac.id) mengatakan bahwa representasi adalah bagian dari proses produksi dan pertukaran makna yang melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda, dan imaji terhadap hal-hal yang diwakilkan. Dengan demikian, representasi dapat diartikan sebagai perwakilan, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain sebagai pengganti objek faktual (Ratna, 2008: 123). Makna representasi seperti ini, menurut Ratna, melekat dalam beberapa bentuk ciptaan manusia yang menampilkan konteks sosial tertentu, salah satunya adalah karya sastra.


(38)

Karya sastra dapat dikatakan merepresentasikan kehidupan karena kejadian dalam karya sastra, menurut Ratna (2003: 35), merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui elemen-elemen yang membangun karya sastra, seperti narasi, alur, atau citra. Sebagai alat utama, bahasa tidak secara langsung menunjuk kepada sesuatu yang benar. Bahasa hanya menjelaskan, mewacanakan, dan menafsirkan kenyataan alamiah. Hasil penafsiran tentu tidak persis sama dengan kenyataan tersebut. Kenyataan dalam karya sastra sudah mengalami proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi sebagai wujud representasi realitas harfiah. Dengan demikian, representasi berbeda dengan imitasi karena representasi bukan semata-mata tiruan (imitasi) atas kenyataan, melainkan rekonstruksi dari situasi sesungguhnya. Mengenai hal ini, Collingwood (dalam Ratna, 2008: 128) mengatakan, ”Representasi berkaitan dengan alam semesta, imitasi berkaitan dengan karya seni yang lain”.

Sebuah karya sastra dikatakan representatif apabila mampu menafsirkan dan merefleksikan realitas tertentu secara menyeluruh. Dalam hal ini, pengarang memegang peranan penting karena merupakan subjek kreator yang menafsirkan realitas tersebut. Hasil penafsiran biasanya dibarengi dengan pesan atau nilai tertentu melalui tanda, lambang, atau simbol, sebagai bentuk representasi.

2.2.4 Sosiologis Pengarang

Sosiologis pengarang, pada hakikatnya, berkaitan dengan kedudukan pengarang dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, pengarang juga melakukan interaksi dengan masyarakat lain sebagai bentuk eksistensinya dalam struktur sosial. Menurut


(39)

Ratna (2003: 196), partisipasi pengarang dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada partisipasi kreatif dan aktivitas intelektual, melainkan juga meliputi totalitas kehidupan praktis, yang pada dasarnya didominasi oleh definisi-definisi kehidupan sosial yang melatarbelakanginya. Sebagai makhluk sosial, pengarang juga memiliki latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi yang menunjukkan status sosialnya (Wellek dan Austin, 1993: 112).

Untuk menempatkan pengarang dalam masyarakat, menurut Escarpit (2008: 46), hal yang harus dilakukan adalah mencari keterangan tentang asal-usul sosial pengarang. Asal-usul sosial berperan dalam menjawab masalah status sosial, keterlibatan sosial, sikap, bahkan ideologi pengarang. Elemen-elemen ini dapat diketahui bukan hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari biografinya. Sebagai warga masyarakat, pengarang tentunya memiliki pandangan mengenai masalah sosial dan politik serta isu-isu yang berkembang di sekitarnya. Pandangan tersebut, menurut Wellek dan Austin (1993: 114), akan tertuang melalui karya dan biografinya.

Latar belakang sosiologis yang mempengaruhi proses kreatif pengarang dapat berupa struktur sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial (Siswanto, 2008: 3). Struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antarindividu, termasuk di dalamnya kaidah-kaidah sosial dan status sosial (Abdulsyani, 2007: 68). Proses sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu, sedangkan perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam proses sosial (Roucek dan Roland, 1963: 54). Berdasarkan hal tersebut, Junus (dalam Siswanto, 2008: 3) menjabarkan latar belakang sosiologis pengarang atas enam faktor, yakni asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan.


(40)

2.3 Landasan Teori

Pembicaraan mengenai pendekatan sosiologis atau sosiologi sastra terhadap karya sastra di Indonesia, muncul pada dekade tahun 1980-an (Mahayana, 2005: 335; Sikana, 2009: 255). Pada saat itu, muncul anggapan bahwa karya sastra, khususnya novel-novel di Indonesia, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin masyarakat, terutama novel yang berlatar belakang sosial budaya. Menurut Pradopo (1995: 66), latar sosial budaya daerah yang ditonjolkan dalam novel-novel Indonesia terjadi pada periode 1970-1990. Beberapa novel yang menjadikan sosial budaya dan masyarakat sebagai latar belakangnya, antara lain, Warisan karya Chairul Harun (1979)

dan Bako karya Darma Moenir (1983), yang menggambarkan masyarakat

Minangkabau; Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978), sebagai potret masyarakat

Dayak; Sri Sumarah (1985) dan Para Priyayi (1990) karya Umar Kayam, berlatar

belakang masyarakat Jawa; serta Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya (1971) yang menggambarkan masyarakat Bali. Gambaran masyarakat multietnis dalam novel-novel Indonesia itu menjadikan sastra Indonesia sangat kaya dan khas dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Oleh karena itu, peranan sosiologi sastra sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama untuk mengangkat keberagaman tradisi kultural masyarakat Indonesia.

Sosiologi sastra, pada dasarnya, lebih menitikberatkan pada unsur dalam karya sastra yang menandai adanya hubungan antara pengarang dan latar belakang sosialnya. Suatu kelompok masyarakat (lingkungan) tertentu, tempat seorang pengarang berada, dengan sendirinya akan menghasilkan karya sastra tertentu pula. Kecenderungan ini didasarkan atas adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa tata kemasyarakatan


(41)

bersifat normatif, mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus dipatuhi. Sastra juga ditentukan atau dibentuk oleh situasi dan kondisi kehidupan sesuai dengan struktur sosial masyarakat yang memiliki perbedaan kelas (Marx dalam Sikana, 2009: 256; Osborn, 2005:106). Sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena sastra muncul dari realitas sosial sehingga dapat dikatakan sebagai refleksi realitas. Lukacs (dalam Selden, 1993: 27) menyatakan bahwa novel bukan hanya mencerminkan realitas pada permukaannya, tetapi juga merefleksikan realitas yang lebih lengkap, hidup, dan dinamis.

Pernyataan di atas menyiratkan bahwa karya sastra, sebagai dunia rekaan, tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinasi tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya (Ratna, 2003: 27). Karya sastra lahir berdasarkan fakta kultural dan melibatkan struktur sosial sehingga dapat menjelaskan eksistensi individu dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan tujuan sosiologi sastra yang disampaikan Kayam (dalam Ratna, 2003: 26) yakni ”Memahami manusia melalui visi antardisiplin sekaligus menopang koeksistensi disiplin humaniora dalam menghadapi transformasi budaya secara global”.

Secara harfiah, sosiologi sastra berarti analisis yang menggabungkan teori-teori sosiologi dan sastra. Namun demikian, dalam menganalisis karya sastra secara sosiologis, teori-teori sastra lebih dominan digunakan daripada teori sosiologi yang hanya bersifat komplementer. Menurut Ratna (2003: 18), teori-teori sosiologi yang dipakai dalam analisis sosiologis adalah teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial dalam karya sastra, seperti kelas sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial, sistem sosial, dan sebagainya.


(42)

Karya sastra yang menekankan perihal masyarakat dalam penceritaannya, dapat didekati melalui pendekatan sosiologis. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan yang dimaksud, menurut Ratna (2004: 332-333), adalah sebagai berikut.

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang; pengarang adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat.

3. Medium karya sastra, yakni bahasa, dipinjam melalui kompetensi

masyarakat.

4. Dalam karya sastra terkandung aspek yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat, yaitu estetika, etika, dan logika.

5. Karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat dapat menemukan citra dirinya dalam karya tersebut.

Di samping itu, sosiologi sastra juga dianggap sebagai bagian dari tradisi empirik dalam sosiologi umum. Artinya, keterlibatan produksi, distribusi, dan resepsi sastra sebagai kegiatan sosial yang spesifik tidak dapat dinafikan. Dengan demikian, objek sosiologi sastra, menurut Silbermann (dalam Segers, 2000: 68) dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. studi terhadap pengaruh sastra pada kehidupan sosial;

2. studi pengaruh sastra pada pembentukan kelompok, interferensi kelompok,

konflik kelompok, dan sebagainya;

3. studi perkembangan dan keragaman sikap sosial;

4. studi pembentukan, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-lembaga

sosioartistik; dan

5. studi faktor-faktor tipikal dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang

mempengaruhi sastra.

Pada dasarnya, sosiologi sastra dapat diaplikasikan ke dalam karya sastra melalui tiga perspektif (Endraswara, 2008: 80). Pertama, perspektif teks sastra, yakni karya sastra dianalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat. Kedua, perspektif biografis, yakni menganalisis karya sastra melalui latar belakang sosial pengarang. Ketiga, perspektif reseptif, yakni menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks


(43)

sastra. Hal ini sesuai dengan pandangan Escarpit (2008: 3) yang menyatakan bahwa fakta sastra menyiratkan adanya penulis (pencipta), buku (karya sastra), dan pembaca (publik).

Teori sosiologi sastra yang berkaitan dengan ketiga fakta sastra tersebut dikemukakan oleh Wellek dan Austin yang dikenal dengan teori trilogi pengarang-karya-pembaca (Ratna, 2003: 22). Klasifikasi teori trilogi Wellek dan Austin (1993: 111) adalah sebagai berikut.

(1) Sosiologi pengarang.

Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pengarang adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Informasi mengenai pengarang dapat diketahui melalui biografinya, terutama yang berkaitan dengan proses kreatif. Menurut Wellek dan Austin (1993: 112), biografi pengarang merupakan sumber utama, akan tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan asal pengarang. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang, turut berperan dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. Menurut Abrams (dalam Pradopo, 2002: 22), sosiologi pengarang, terutama proses kreatifnya, dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Segers (2000: 70) juga mengaitkan sosiologi pengarang dengan profesionalisme pengarang, kelas sosial, dan generasi sastra pengarang tersebut.

Sebagai makhluk sosial, pengarang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang sosiologis dalam menghasilkan karyanya. Latar belakang sosiologis itu berupa struktur


(44)

sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial. Menurut Junus (dalam Siswanto, 2008: 3), latar belakang sosiologis pengarang dapat dijabarkan atas enam faktor, yaitu (1) asal sosial, yang merujuk pada lingkungan tempat pengarang dibesarkan atau tempat tinggalnya; (2) kelas sosial, berkaitan dengan kedudukan pengarang dalam masyarakat, apakah berasal dari kelas atas, menengah, atau bawah; (3) jenis kelamin; (4) umur; (5) pendidikan; dan (6) pekerjaan pengarang.

(2) Sosiologi karya sastra.

Sosiologi karya sastra berkaitan dengan isi karya sastra, tujuan, serta hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang ada hubungannya dengan masalah sosial. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (Wellek dan Austin, 1993: 122). Karya sastra dianggap sebagai cermin masyarakat karena merefleksikan sikap kelompok sosial tertentu (Ian Watt dalam Damono, 2002: 4).

(3) Sosiologi sastra/ pembaca

Sosiologi sastra berkaitan dengan permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Karya sastra dianggap dapat mempengaruhi dan mengubah pola pikir publik pembaca, sehingga dari segi etika resepsi, menurut Albert Memmi (dalam Segers, 2000: 70), cara-cara sebuah karya diterima oleh pembaca dapat dipandang sebagai indikasi yang krusial dari pentingnya karya tersebut.

Klasifikasi trilogi pengarang-karya-pembaca yang dikemukakan Wellek dan Austin tersebut tidak jauh berbeda dengan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat yang dibicarakan Ian Watt dalam esainya yang berjudul Literature and Society (dalam Damono, 2002: 4). Hubungan tersebut


(45)

diklasifikasikannya menjadi konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.

Sebagai suatu pendekatan yang reflektif, sosiologi sastra harus menemukan sasaran yang tepat dalam pengaplikasiannya. Sasaran yang dimaksud adalah (1) fungsi sosial sastra, (2) produksi dan pemasaran sastra, (3) sastra sebagai cermin masyarakat, dan (4) konteks sosiobudaya (Endraswara, 2008: 81). Hal ini sesuai dengan pandangan Alan Swingewood (dalam Junus, 1986: 1) yang mengatakan,

”Sosiologi dan sastra meliputi tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya, (2) pendekatan yang memandang kedudukan sosial pengarang, dan (3) pendekatan yang menekankan pada resepsi masyarakat terhadap suatu karya.”

Berdasarkan beberapa teori sosiologi sastra tersebut, teori trilogi pengarang-karya-pembaca yang disampaikan Wellek dan Austin, dianggap lebih tepat dalam mengungkapkan interaksi sosial yang ada dalam trilogi novel Darah Emas karya Meiliana K. Tansri. Hal ini didasarkan pada keterlibatan pengarang yang cukup intens dalam proses kreatif dan struktur penceritaan novel tersebut.


(46)

2.4 Model Penelitian

TRILOGI DARAH EMAS

Intrinsik Ekstrinsik

Alur Karakter

Latar Tema

Sosiologi Sastra

Sosiologi Karya

Sosiologi Pengarang Interaksi

Sosial

Media Representasi

Latar Belakang Sosiologis

Karya Sastra sebagai Cermin Masyarakat

Pedoman Hidup Bermasyarakat


(47)

Keterangan:

= hubungan langsung = hubungan timbal balik

Trilogi Darah Emas (DE), yang berkedudukan sebagai objek penelitian,

dianalisis peneliti melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bersumber pada teks sastra, yakni meneliti unsur-unsur yang membangun struktur sebuah cerita. Menurut Stanton (2007: 7), struktur sebuah cerita dibangun oleh beberapa unsur, diantaranya adalah fakta dan makna cerita. Fakta cerita terdiri atas (1) alur, (2) karakter, dan (3) latar; sedangkan makna cerita merupakan tema yang terkandung dalam cerita.

Setelah menganalisis fakta dan makna cerita, peneliti menganalisis trilogi DE melalui pendekatan ekstrinsik. Pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur di luar karya sastra, yakni mengkaji konteks karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik yang ditemukan dalam trilogi DE adalah (1) interaksi sosial yang dilakukan para tokoh; (2)

trilogi DE sebagai media representasi masyarakat, khususnya masyarakat

Tionghoa-Jambi; dan (3) terdapat hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis pengarang. Ketiga unsur ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra. Oleh karena itu, sesuai dengan bagan di atas, terlihat bahwa hubungan antarunsur bersifat timbal balik ( ). Dengan kata lain, pemahaman terhadap karya sastra, yang memiliki otonomi tersendiri, hanya mungkin dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang menghasilkannya.


(48)

Sebagai karya yang sarat dengan muatan sosial, unsur-unsur ekstrinsik yang ditemukan dalam trilogi DE dianalisis melalui teori sosiologi sastra Wellek dan Austin (teori trilogi pengarang-karya-pembaca). Namun demikian, analisis terhadap trilogi DE dibatasi pada sosiologi karya dan sosiologi pengarang. Sosiologi karya berfungsi untuk menganalisis interaksi sosial antartokoh dan mendeskripsikan trilogi DE sebagai media representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Sosiologi pengarang berfungsi untuk mendeskripsikan latar belakang sosiologis pengarang yang terdiri atas enam faktor, yaitu (1) asal sosial pengarang, (2) kelas sosial pengarang, (3) umur pengarang, (4) jenis kelamin pengarang, (5) pendidikan pengarang, dan (6) pekerjaan pengarang. Hubungan antara sosiologi karya dan pengarang merupakan hubungan timbal balik. Hal ini menyiratkan bahwa sosiologi sastra tidak akan terlepas dari fakta-fakta sastra, antara lain, karya dan pengarang.

Melalui hasil analisis yang dilakukan terhadap sosiologi karya dan pengarang, ditemukan bahwa trilogi DE merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa-Jambi sehingga terminologi karya sastra sebagai cermin masyarakat dapat diberlakukan – meskipun cermin masyarakat yang dimaksud di sini adalah potret kehidupan yang sudah direka pengarang melalui medium bahasa. Oleh karena itu, sebagai suatu cermin, trilogi DE juga memiliki nilai-nilai positif yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bermasyarakat, antara lain, keharmonisan interaksi antaretnis serta pelestarian warisan budaya dan lingkungan.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian terhadap trilogi Darah Emas dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan kepada perspektif filosofi penelitian kualitatif, yakni fenomenologi yang menekankan kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong, 2006: 15). Fenomenologi di dalam karya sastra terbentuk dari kesadaran pengarang menciptakan dunia yang dialami orang-orang di sekitarnya. Pemilihan metode kualitatif dalam penelitian ini juga disesuaikan dengan pandangan Moleong (2006: 5) yang mengatakan bahwa metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Muhadjir (2002:19) yang mengatakan bahwa metode kualitatif yang berlandaskan fenomenologi, secara epistemologis, menuntut bersatunya subjek peneliti dengan subjek pendukung objek penelitian.

Di samping itu, dasar pemilihan metode ini disesuaikan dengan ciri-ciri penelitian kualitatif dalam kajian sastra, sebagaimana yang dikemukakan Endraswara (2008:5), yaitu:

(1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah

karya sastra;

(2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka;

(3) lebih mengutamakan proses daripada hasil karena karya sastra merupakan

fenomena yang banyak mengandung penafsiran; (4) analisis secara induktif; dan


(50)

Dalam penelitian ilmu sosial, metode kualitatif memanfaatkan cara-cara penafsiran yang disajikan dalam bentuk deskripsi dan dibatasi oleh hakikat fakta-fakta sosial serta sejumlah gejala sosial yang relevan. Sebagai sebuah prosedur penelitian, metode ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai, dan pengertian (Bogdan dan Steven, 1992: 21). Apabila diterapkan dalam penelitian sastra, metode ini melibatkan pengarang serta lingkungan sosial tempat pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Ratna (2004: 47) mengatakan bahwa metode kualitatif dalam penelitian sastra memfokuskan perhatian kepada data alamiah yang dihubungkan dengan konteks keberadaannya. Data alamiah dalam karya sastra diperoleh melalui berbagai fenomena yang dinarasikan dan dideskripsikan oleh pengarang yang dapat dihubungkan dengan konteks sosialnya. Oleh karena itu, metode kualitatif cenderung menekankan pada faktor kontekstual sehingga peneliti perlu mendekatkan diri secara holistik (Widati, 2001: 36; Muhadjir, 2002: 18).

Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta sekaligus menganalisisnya. Menurut Widati (2001: 35), metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu individu dan gejala yang terjadi melalui analisis yang dilakukan. Dalam trilogi DE, pendeskripsian dan penganalisisan fakta dilakukan melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bersumber pada teks sastra, sedangkan ekstrinsik bersumber dari konteks karya sastra (Endraswara, 2008: 9). Kedua pendekatan ini perlu diaplikasikan untuk memperoleh pemaknaan yang utuh dari karya tersebut.


(51)

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Dari kedua sumber itu, sumber data primer menjadi acuan utama dalam menemukan aspek sosiologis dalam masyarakat Tionghoa-Jambi. Sumber data primer penelitian ini terangkum dalam trilogi DE karya Meiliana K. Tansri. Peluncuran (launching) trilogi novel ini, khususnya buku pertama dan kedua, dilakukan di Toko Buku Gramedia Jambi, pada tanggal 31 Mei 2010. Buku ketiga dari trilogi ini muncul di toko buku pada bulan Juli 2010.

Adapun judul novel-novel yang terangkum dalam trilogi DE adalah sebagai berikut.

1. Novel Mempelai Naga (MN) merupakan buku pertama dari trilogi DE. Novel

MN yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010. Sampul (kulit) depan novel yang bergambar wajah perempuan Tionghoa yang sedang tersenyum dengan latar belakang warna kuning keemasan ini, didesain oleh Marcel A.W. Novel ini berukuran 20 x 13,5 cm dan terdiri atas 248 halaman.

2. Novel Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus (GBTET) merupakan buku kedua dari

trilogi DE. Novel GBTET yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010. Sama seperti novel pertama, novel ini juga berukuran 20 x 13,5 cm, tebal 248 halaman, dan desain sampul dikerjakan oleh Marcel A.W. Sampul depan novel ini bergambar wajah perempuan yang sedang menunduk dengan latar belakang warna hijau dan kuning.


(52)

3. Novel Sembrani (Sbr) merupakan buku ketiga dari trilogi DE. Novel Sbr yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010. Sampul (kulit) depan novel ini bergambar wajah perempuan Tionghoa yang sedang menghadap ke samping kanan dengan latar belakang warna biru dan gambar kuda sembrani. Desain sampul juga dikerjakan oleh Marcel A.W. Novel ini berukuran 20 x 13,5 cm dan terdiri atas 240 halaman.

Sumber data sekunder penelitian ini berupa tulisan-tulisan yang membicarakan tentang Meiliana K. Tansri, baik tentang karya-karyanya maupun proses kreatif kepengarangannya. Data sekunder berikutnya berupa tulisan-tulisan yang membicarakan tentang sosiokultur masyarakat Tionghoa-Jambi. Data sekunder ini diperoleh melalui buku, makalah, media cetak, dan internet.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang berkaitan dengan interaksi sosial dalam trilogi DE dilakukan dengan teknik (metode) dokumenter, yakni pengumpulan data melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek yang akan dianalisis (Bungin, 2008: 121). Dokumen yang menjadi pusat perhatian dalam pengumpulan data ini adalah dokumen publik dan dokumen pribadi. Dokumen publik diperoleh melalui media massa dan kepustakaan, sedangkan dokumen pribadi diperoleh melalui wawancara yang dilakukan peneliti dengan pengarang (Bogdan dan Steven, 1992: 25).

Pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan secara cermat dan berulang-ulang. Sesuai dengan metode pengumpulan data yang dikemukakan Endraswara (2008:


(53)

162), data penelitian yang diperoleh dari hasil bacaan, dicatat sekaligus diseleksi. Penyeleksian dilakukan untuk melihat relevansi antara data dan konstruk penelitian. Data yang tidak relevan, ditinggalkan, sedangkan data yang relevan diberi penekanan (digarisbawahi) untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis.

Pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara kepada pengarang trilogi DE, Meiliana K. Tansri. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui secara langsung latar belakang sosiologis pengarang yang berkaitan dengan proses

kreatif DE. Teknik wawancara dilakukan secara terbuka, artinya, pihak yang

diwawancarai mengetahui maksud dan tujuan wawancara (Moleong, 2006: 189). Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan petunjuk umum wawancara, yaitu membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Wawancara juga dilakukan secara terstruktur karena peneliti menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak secara spontanitas, melainkan telah dipersiapkan terlebih dahulu.

Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara jarak jauh. Bahan wawancara, berupa pertanyaan-pertanyaan terstruktur, dikirimkan ke alamat pos-el (e-mail) pengarang dan pengarang mengirimkan jawabannya melalui pos-el pula. Hasil wawancara jarak jauh tersebut merupakan dokumen pribadi yang menjadi salah satu bahan dokumenter dalam penelitian ini.


(54)

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data trilogi novel DE ini menggunakan teknik analisis konten (content analysis). Teknik analisis konten memberi perhatian pada isi pesan atau makna yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2004:49; Endraswara, 2008: 161). Teknik ini berangkat dari aksioma bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi adalah dasar bagi ilmu-ilmu sosial (Muhadjir, 2002: 68; Bungin, 2008: 84). Dalam penelitian kualitatif, penekanan analisis konten tertuju pada cara peneliti melihat keajekan isi komunikasi, memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, serta memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2008: 156).

Isi dalam analisis konten terdiri atas dua bagian, yakni isi laten dan isi komunikasi (Ratna, 2004: 48). Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Analisis isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan menghasilkan makna. Berdasarkan hal tersebut, isi laten dalam trilogi DE dapat diketahui melalui analisis yang menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik, sedangkan isi komunikasi adalah makna yang diperoleh berdasarkan interpretasi terhadap hasil analisis.

Analisis konten dalam meneliti trilogi DE dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) menganalisis dan mendeskripsikan struktur trilogi DE; (2) mendeskripsikan relevansi struktur novel dan konteks sosial masyarakat Tionghoa-Jambi; dan (3) mendeskripsikan latar belakang sosiologis pengarang. Ketiga tahapan tersebut tergambar dalam bagan berikut.


(55)

Analisis struktur novel/

teks

Deskripsi relevansi struktur teks dan

konteks

Deskripsi latar belakang

sosiologis pengarang

Bagan 3.4 Tahap-Tahap Analisis Konten terhadap Trilogi Darah Emas

Sesuai dengan bagan tersebut, analisis konten dalam meneliti trilogi DE dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Menganalisis dan mendeskripsikan struktur trilogi DE.

Struktur novel diketahui setelah dilakukan pembacaan yang menyeluruh dan berulang-ulang terhadap novel tersebut. Setiap elemen struktur, seperti, alur, karakter, latar, dan tema, dianalisis untuk memperoleh gambaran mengenai isi novel secara utuh. Hasil analisis yang dipaparkan selalui disertai dengan kutipan-kutipan dari dalam teks untuk mendukung analisis. Pendekatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pendekatan intrinsik yang berpandangan bahwa karya sastra sewajarnya bertolak dari interpretasi dan analisis karya itu sendiri (Muhadjir, 2002: 308).

2. Mendeskripsikan relevansi struktur novel dan konteks sosial masyarakat

Tionghoa-Jambi.

Setelah menganalisis struktur novel, analisis kemudian dilanjutkan dengan melihat relevansi antara semua elemen struktur dan konteks sosialnya, yakni masyarakat Tionghoa-Jambi yang menjadi latar sosialnya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekstrinsik mengingat karya sastra selalu berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Kenyataan fiksional dalam teks kemudian direlevansikan dengan kenyataan faktual yang diperoleh dari berbagai dokumen


(56)

publik yang dijadikan sebagai rujukan. Relevansi yang diperoleh dideskripsikan dengan dukungan kutipan-kutipan yang terdapat dalam teks.

3. Mendeskripsikan latar belakang sosiologis pengarang.

Fakta-fakta fiksional yang direlevansikan dengan fakta faktual tidak terlepas dari campur tangan pengarang sebagai bagian dari anggota masyarakat. Hubungan antara novel dan pengarang ditemukan melalui latar belakang sosiologis pengarang. Latar belakang tersebut diperoleh melalui dokumen pribadi, yakni berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan disertai dengan data-data pendukung dari dokumen-dokumen publik. Hasil wawancara dan data-data pendukung dipaparkan beserta kutipan dalam teks.

Ketiga tahapan analisis konten dalam penelitian ini dilakukan secara sistematis sehingga dapat ditemukan fakta-fakta cerita yang merepresentasikan fakta faktual.


(57)

BAB IV

INTERAKSI SOSIAL DALAM TRILOGI DARAH EMAS

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap manusia akan mengalami suatu proses hubungan yang terjalin antara manusia satu dengan yang lainnya. Proses hubungan itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus sebagai suatu siklus perkembangan dari struktur sosial. Menurut Nasution (dalam Abdulsyani, 2007: 152), proses hubungan itu berwujud interaksi sosial, yakni berupa rangkaian human actions ‘sikap/tindakan manusia’ sebagai aksi dan reaksi (challenge and respon) di dalam hubungannya satu sama lain. Aksi dan reaksi itu bukan hanya mengindikasikan sesuatu yang positif, melainkan juga negatif. Oleh karena itu, interaksi ada yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Di samping itu, interaksi sosial dalam kehidupan manusia bersifat natural (alamiah) karena dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu. Menurut Pramono (dalam www.forum-sastra-lamongan.blogspot.com), motif-motif tersebut mencakup motif psikologis, ekonomis, biologis, status sosial, dan agamis.

Interaksi sosial yang dilakukan para tokoh dalam trilogi DE sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari struktur trilogi novel itu. Struktur dalam karya sastra (dalam hal ini novel), menurut Wellek dan Austin (1993: 159), mencakup isi dan bentuk yang memiliki fungsi estetis. Isi dan bentuk bukanlah dualisme yang terpisah, melainkan saling mendukung. Selanjutnya, Wellek dan Austin mencontohkan, peristiwa dalam suatu novel adalah bagian dari isi dan cara peristiwa itu disusun merupakan bagian dari bentuk. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur yang membangun novel merupakan suatu struktur yang saling berinteraksi. Mahayana (dalam Horison, Februari, 1994) mengatakan,


(58)

”Karya sastra hadir dan dibangun oleh sejumlah unsur yang berperan secara fungsional. Analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur tersebut sebagai kesatuan struktural. Pusat perhatian analisis struktural adalah hubungan fungsional antarunsur itu sebagai suatu keutuhan. Kesatuan unsur-unsur itu bukan cuma kumpulan atau tumpukan hal-hal tertentu yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan, terikat, bergantung satu sama lain”.

Struktur (unsur-unsur) yang membangun dalam trilogi DE mencakup alur, karakter, latar, dan tema. Unsur-unsur ini dianalisis berdasarkan pandangan Stanton yang menyebutkan bahwa unsur-unsur dalam novel berkedudukan sebagai fakta cerita dan makna cerita. Fakta cerita meliputi alur, karakter, dan latar, sedangkan makna cerita adalah tema.

Setelah menganalisis struktur novel sebagai fakta dan makna cerita, penelitian ini selanjutnya menganalisis interaksi sosial yang terdapat di dalam trilogi DE. Interaksi sosial tersebut dianalisis melalui relasi setiap fakta cerita sehingga akan ditemukan interaksi yang berupa kooperasi, akomodasi, kompetisi, konflik, dan kontravensi.

4.1 Analisis

4.1.1 Fakta dan Makna Cerita Trilogi Darah Emas

Unsur-unsur dalam novel, seperti alur, karakter, dan latar, disebut Stanton sebagai fakta cerita; sedangkan tema disebutnya sebagai makna cerita. Fakta dan makna cerita, berdasarkan pandangan Stanton (2007: 22), “Berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita; jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ dalam cerita”.

Fakta cerita yang paling penting adalah alur (Stanton, 2007: 28; Nurgiyantoro, 1995: 110). Hal ini cukup beralasan sebab kejelasan tentang alur sebagai kaitan


(59)

antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Alur memiliki hubungan kausalitas dengan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Hubungan kausalitas itu tidak hanya terbatas pada hal-hal yang fisik, seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter serta segala sesuatu yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007: 28). Di samping itu, alur memiliki hukum-hukum tersendiri, yakni memiliki bagian awal, tengah, dan akhir, serta dapat menciptakan bermacam kejutan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan. Menurut Stanton, dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik dalam alur dapat bersifat internal, eksternal, atau kedua-duanya. Konflik tersebut hadir melalui hasrat seorang atau dua orang karakter dengan lingkungannya yang akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang terus-menerus mengalir. Ketika konflik terasa sangat intens -sehingga ending tidak dapat dihindari lagi- terjadilah klimaks. Klimaks adalah puncak dari segala konflik yang akan menentukan bagaimana konflik tersebut terselesaikan.

Fakta cerita berikutnya adalah karakter. Menurut Stanton (2007: 33), terma karakter dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita; sedangkan konteks kedua, merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Setiap karakter memiliki alasan untuk bertindak, yang disebut dengan motivasi. Stanton membagi motivasi menjadi dua, motivasi spesifik dan motivasi dasar. Motivasi spesifik seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan, yang terkadang tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. Motivasi dasar adalah hasrat dan maksud yang memandu karakter dalam melewati


(1)

duduk di depan komputer. Lebih banyak 'mengarang' dalam kepala dulu sebelum menuliskannya di kertas (manuskrip) untuk diketik kalau ada waktu senggang.

Bagaimana Anda memperoleh inspirasi dalam menulis sebuah novel?

Masyarakat lingkungan sekitar adalah sumber ilham saya. Cerita-cerita tentang kehidupan orang-orang yang saya jumpai, isu hangat di masyarakat, semua bisa jadi inspirasi untuk ide cerita.

Apakah ada tokoh atau buku yang menginspirasi Anda dalam menciptakan novel? Walaupun barangkali terdengar agak arogan, dalam menulis saya tidak terinspirasi oleh orang lain atau buku. Tapi saya mengagumi almarhum Mochtar Lubis, dan sangat menyukai karya-karya penulis Oscar Wilde.

Trilogi Darah Emas, menurut saya, berbeda dengan novel-novel bertemakan percintaan yang pernah Anda tulis sebelumnya karena trilogi ini diangkat berdasarkan polemik yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 1987. Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi penciptaan trilogi novel ini?

Hanya rasa cinta pada kampung halaman, dan keprihatinan karena orang tidak menghargai warisan budaya, semua mabuk gara-gara uang dan kapitalisme.

Bagaimana proses kreatif Anda menulis trilogi ini, apakah perlu membaca sejarah? Perlu. Tapi saya tidak menerapkan semua fakta historis. Ada banyak pembiasan untuk keperluan komersial.

Trilogi ini berlatar belakang sosial budaya masyarakat Tionghoa dan Jambi. Seberapa jauh keterlibatan latar belakang sosiologis Anda dalam proses kreatif trilogi ini? Sangat jauh, karena menulis tentang Cina Jambi dalam cerita ini berarti menggali masa lalu pribadi, mengingat Jambi tempo doeloe melalui cerita orangtua, mempelajari dan mengenal kehidupan sosial-ekonomi Cina Jambi secara mendalam.


(2)

Apakah kedua orang tua Anda orang Tionghoa asli?

Ya. Kakek buyut dari pihak ayah merupakan imigran dari Cina daratan.

Apakah Anda menguasai bahasa Tionghoa? Bahasa apa yang Anda gunakan dalam berkomunikasi dengan orang tua dan keluarga Anda?

Menguasai sedikit, tapi bukan bahasa ibu. Kami dibesarkan dengan Bahasa Indonesia, tapi saya bisa berkomunikasi dalam dialek Hokkian dan sedikit Mandarin.

Pernahkah Anda berkunjung ke kampung halaman leluhur Anda? Belum pernah. Tapi ingin, kalau ada kesempatan.

Kota-kota apa saja di Indonesia yang pernah Anda kunjungi?

Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Medan, Bengkulu, (masih bisa dihitung dengan jari tangan, ha-ha-ha….).

Apa yang Anda lakukan pada waktu senggang? Membaca buku atau menonton televisi.

Dalam wawancara dengan Tribun Jambi tanggal 31 Mei 2010, Anda mengatakan pernah bekerja di sebuah bank. Bisakah Anda menceritakan tentang pengalaman bekerja tersebut?

Sebenarnya, tiga bank swasta nasional dalam waktu yang berbeda selama 9 tahun, Bank Lippo Cabang Muara Bungo tahun 1993, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Cabang Jambi tahun 1994-1998, Bank Mega Cabang Gatot Subroto, Jambi tahun 2001-2002. Pengalaman kerja saya tidak ada istimewanya, tapi saya cukup menikmati kesempatan mengepalai Departemen Ekspor-Impor di BDNI.

Apa yang menjadi alasan Anda lebih memilih dunia tulis-menulis daripada bekerja di kantoran?


(3)

Saya menulis full-time sebenarnya ‘kecelakaan’ yang berbuah amat manis. Tapi alasan berhenti bekerja selain karena bank-nya ditutup (Lippo dan BDNI), juga karena berkeluarga.

Mengapa Anda memilih judul Darah Emas untuk trilogi novel ini. Apakah judul itu mempunyai keterkaitan dengan masyarakat Tionghoa-Jambi?

Semata-mata ide kreatif. Dalam cerita, mereka yang disebut darah emas tidak hanya etnis Tionghoa. Salah satunya Nyai Sati (Buku 1).

Trilogi ini juga menempatkan Naga sebagai penjaga langit dan bumi. Sejauh mana mitos Naga ini berpengaruh dalam kehidupan etnis Tionghoa?

Naga sangat berpengaruh dalam kehidupan orang Tionghoa. Dalam kepercayaan asli leluhur, liong, naga (huruf kecil) adalah roh yang berkuasa atas air. Naga (huruf besar, nama) dalam cerita ini adalah kiasan.

Sepengetahuan saya, dalam keyakinan etnis Tionghoa, naga digambarkan sebagai makhluk serba bisa dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Akan tetapi, dalam Darah Emas, naga melakukan pembalasan terhadap musuh-musuhnya bukan melalui tangannya sendiri, melainkan melalui keturunan-keturunannya yang berjenis kelamin perempuan. Mengapa demikian?

Secara logis saja, kalau makhluk seperti itu tiba-tiba muncul dan memporak-porandakan Jambi, tentu ceritanya jadi aneh dan sama sekali tidak masuk akal, walaupun mungkin saja berhasil kalau dicoba. Di sini ada semacam pendelegasian, karena kehadiran Naga untuk membereskan segala sesuatu pasti akan merusak keseimbangan alam semesta. Lagipula, kalau langsung-langsung saja, nggak jadi cerita dong!

Bagaimanakah posisi perempuan dalam sosial budaya etnis Tionghoa? Khas masyarakat Timur. Pada dasarnya dianggap warganegara kelas dua, walaupun sekarang sudah banyak yang berubah pendapat. Dulu punya anak perempuan dianggap tidak berguna, tapi sekarang banyak orang sudah mengerti, bahwa justru anak perempuan yang lebih berbakti pada orangtua.


(4)

Dalam Mempelai Naga, Anda begitu detail menggambarkan kehidupan etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai petani di daerah Kumpeh. Apakah Anda memiliki keterikatan emosional dengan daerah tersebut?

Tidak. Tapi saya selalu senang mendengar cerita-cerita orang tua tentang kehidupan bertani.

Penggunaan nama-nama tokoh beretnis Tionghoa yang memakai abjad ”A” di depannya, misalnya A Lung, A Ming, atau A Hai, apakah berkaitan dengan status sosial?

"A" pada A Lung, A Ming, dan seterusnya, berarti "si" anu. Nama orang Cina terdiri dari 2 atau 3 karakter huruf kanji, huruf pertama marga, huruf kedua pangkat (tidak selalu ada) huruf terakhir nama kecil yang bersangkutan. Misal: Tan Tiauw Lam: marga Tan; pangkat (diambil dari urutan kata dalam sajak kuno leluhur untuk marga bersangkutan, bisa menunjukkan hitungan silsilah) Tiauw; nama kecil Lam, biasa dipanggil A Lam.

Bagaimana pula dengan kata sapaan seperti ”A Hia” dan ”Tua Hia”, apakah berbeda berdasarkan status sosialnya?

"A"-hia: "A" sama dengan pada nama, hia= abang. Tua= besar, sebutan untuk yang dituakan, Tua-hia= biasa untuk menyebut bos/majikan yang dianggap paling tinggi pangkatnya.

Nama-nama tokoh seperti Mnem, Noakh, Akyg, Ruura, dan Yaath-Urig cukup unik dan asing di telinga. Apakah nama-nama tersebut memiliki makna tersendiri?

Tidak. Sekadar nama.

Kepiawaian Anda dalam merangkai bahasa terlihat dalam beberapa gaya bahasa, seperti simile dan metafora yang Anda ciptakan dalam trilogi ini. Anda tidak menggunakan gaya bahasa yang umum digunakan orang, tetapi menciptakan sesuatu yang khas dan unik. Contohnya, ”rambutnya yang panjang dan berwarna seperti tembaga bergelombang”;”bulan seperti sepotong kuku keemasan di langit”; ”seperti


(5)

stek batang singkong yang ditancapkan ke tanah”; ”seperti nenek baik hati yang membukakan pintu rumahnya”. Bagaimana Anda menciptakan gaya bahasa perbandingan tersebut?

Bisa aja... latihan-latihan-latihan...ha-ha-ha...

Anda juga mahir berbahasa Inggris seperti yang tercermin dalam beberapa dialog antara Rigel dan Reuben Moore. Dari manakah Anda memperoleh pengetahuan berbahasa Inggris?

Dari sekolah dan...latihan-latihan-latihan... (kebetulan dibiasakan keluarga, banyak buku warisan kakek bahasa Inggris).

Saya melihat, ada beberapa kritikan yang Anda sampaikan dalam trilogi ini, misalnya, ”Pejabat berwenang hanya berpikir untuk memihak siapa yang bakal lebih menguntungkan pemerintah daerah –dan dirinya sendiri”; ”PNS Kota yang biasanya berpengetahuan pas-pasan”; ”dikandangkan atas nama pelestarian hanya karena manusia tidak mampu menahan dirinya”. Bagaimana tanggapan Anda?

Memang kritik. Kiranya diterima untuk membangun.

Dalam novel ini Anda berusaha mengangkat kearifan lokal, seperti pelestarian temuan purbakala, pelestarian satwa langka, dan hubungan antaretnis di Jambi. Bagaimana pandangan Anda terhadap kearifan lokal yang ada di Jambi?

Secara alamiah orang Jambi masih sangat sederhana, walaupun cukup banyak yang secara perorangan menonjol di bidang intelektual. Saya sangat menghargai mereka, Anda perhatikan tokoh Kemas Ramli dan Datuk Itam. Untuk kearifan lokal, orang Jambi masih perlu banyak belajar. Dari orangtua, dari orang luar, dari berbagai sumber. Generasi muda Jambi perlu diberi bekal pengetahuan sosial setempat, khususnya belajar mengenal diri sendiri dan keluarga, misalnya dengan menelusuri silsilah keluarga. Dengan demikian, mereka belajar tahu siapa dirinya, mengenal siapa saja keluarganya, baru bisa menghargai budaya tempat dia lahir dan dibesarkan, dan punya kesadaran untuk melestarikannya.


(6)

Anda dilahirkan dan dibesarkan di Kota Jambi, kota yang berpenduduk multietnis. Bagaimana Anda mendeskripsikan keharmonisan hubungan antaretnis di Jambi?

Hubungan multietnis di Jambi sangat erat dan unik. Dari keluarga saya sendiri banyak paman dan bibi yang menikah dengan orang Melayu asli Jambi, sehingga sama seperti kebanyakan penduduk peranakan Jambi, agama dan budaya dalam keluarga besar sangat beraneka ragam. Tapi tali silaturahmi terjalin dengan baik, misalnya kunjungan dalam hari-hari raya antaragama selalu rutin dilakukan. Keadaan ini merupakan gambaran lazim dari terpeliharanya kerukunan antaretnis di Jambi.

Bagaimana pandangan dan harapan Anda mengenai warisan budaya di Provinsi Jambi?

Saya sungguh berharap bahwa orang Jambi akan belajar untuk lebih menghargai budaya sendiri, sebagai penghubung diri manusia dengan alamnya dan penciptanya. Manusia adalah perpanjangan tangan Sang Pencipta, dan hanya dengan selalu memelihara hubungan dengan-Nya, maka manusia bisa mencipta dan hasil ciptaannya memiliki nilai.