PERGESERAN NILAI MASYARAKAT PASCA KONFLIK ETNIK DI MALUKU UTARA IMPLIKASINYA PADA INTEGRASI NASIONAL :Studi Kasus di Kota Ternate.

(1)

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Masalah Penelitian ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Penjelasan Istilah ... 15

1. Pergeseran Nilai Masyarakat ... 15

2. Konflik Etnik di Maluku Utara ... 17

3. Integrasi Nasional ... 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 24

A. Konsep Nilai ... 24


(2)

4. Hierarkhi Nilai ... 35

5. Makna Nilai Bagi Manusia ... 38

6. Nilai Sebagai Perwujudan Diri ... 41

7. Cara Memperoleh Nilai ... 43

8. Nilai diantara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder ... 44

B. Pergeseran Nilai ... 46

1. Perubahan Nilai dan Arah Perubahan Nilai ... 46

2. Faktor-faktor Pendorong Proses Perubahan Masyarakat ... 47

3. Pewarisan Nilai Budaya ... 53

4. Proses Pewarisan Nilai Budaya ... 54

5. Tempat Pewarisan Nilai Budaya ... 56

7. Pergeseran Nilai Budaya, Agama, dan Etika ... 61

C. Memahami Konflik Antaraetnik ... 64

1. Mitos Tentang Konflik ... 64

a. Pengertian Konflik ... 67

b. Bentuk Konflik ... 70

c. Fungsi Konflik ... 72

d. Konteks dan Sumber Konflik ... 76

2. Konsep Etnik ... 83

a. Definisi Etnik ... 83


(3)

e. Pengertian Konflik Antaretnik ... 98

f. Tahap-tahap Konflik Antaretnik ... 101

D. Perubahan Sosial ... 108

1. Pengertian Perubahan Sosial ... 109

2. Teori Perubahan Sosial ... 113

3. Ciri Perubahan Sosial ... 118

4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial ... 120

5. Beberapa Bentuk Perubahan Sosial ... 123

E. Integrasi Sosial dan Integrasi Nasional ... 127

1. Pengertian Integrasi Sosial ... 127

2. Bentuk-bentuk Integrasi Sosial ... 129

3. Faktor-faktor Pendorong Integrasi Sosial ... 131

4. Faktor-faktor Penghambat Integrasi Sosial ... 135

5. Pengertian Integrasi Nasional ... 137

6. Faktor Pendorong dan Penghambat Integrasi Nasional ... 143

BAB III METODE PENELITIAN ... 150

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 150

B. Teknik Pengumpulan Data ... 153

1. Observasi Partisipatif ... 153


(4)

C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 156

D. Analisis Data Penelitian ... 157

1. Analisis Sebelum di Lapangan ... 158

2. Analisis Selama di Lapangan ... 159

a. Penyajian Data ... 161

b. Reduksi Data ... 161

c. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi ... 162

E. Konstruksi Data ... 162

1. Deskripsi ... 162

2. Verifikasi ... 163

3. Validasi Data ... 163

F. Prosedur Penelitian ... 165

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN... 167

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 167

1. Letak Geografis ... 167

2. Iklim dan Topografi ... 170

3. Jumlah Penduduk ... 171

4. Kepadatan Penduduk ... 172

5. Tenaga Kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ... 173


(5)

9. Lembaga Agama ... 180

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 180

1. Kondisi Masyarakat Sebelum Konflik Etnik di Maluku Utara ... 180

2. Kondisi Masyarakat Pasca Konflik ... 184

3. Pergeseran Nilai dan Implikasinya pada Integrasi Sosial dan Nasional ... 187

4. Upaya yang Ditempuh dalam Mengatasi Pergeseran Nilai dan Menyatukan Masyarakat ... 190

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 193

1. Nilai-nilai Budaya Masyarakat Sebelum Konflik ... 193

2. Nilai-nilai Kehidupan (Budaya) Masyarakat Pasca Konflik ... 202

3. Pergeseran Nilai Masyarakat dan Implikasinya pada Integrasi Sosial dan Integrasi Nasional ... 211

4. Upaya-upaya yang Ditempuh dalam Mengatasi Pergeseran Nilai dan Menyatukan Masyarakat Ternate, sehingga tidak Mengakibatkan Terjadinya Disintegrasi Bangsa ... 222

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 231


(6)

2. Kesimpulan Khusus ... 232 B.Rekomendasi ... 234

DAFTAR PUSTAKA ……… 236


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan bangsa yang multi etnis, hal ini ditandai dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat-istiadat, bahasa, dan agama. Kondisi ini disadari menyimpan potensi besar terjadinya pertentangan antaretnis yang satu dengan etnis lainnya. Sementara itu, sebagai mahluk sosial, manusia tentu saja selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Apabila dalam interaksi tersebut terdapat kesamaan tujuan, maka terjadilah kerjasama, dan apabila salah satu individu ingin melebihi individu lainnya, maka terjadilah persaingan atau kompetisi. Dan apabila dua individu atau kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda atau bertentangan satu dengan yang lain, maka dapat memicu terjadinya konflik.

Warnaen (2002:12) mengidentifikasi setidaknya terdapat sekitar 205 suku bangsa atau etnis yang berbeda di Indonesia. Banyaknya etnis dengan berbagai perbedaan kebudayaan memperkuat gambaran Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis. Keanekaragaman dan perbedaan dalam etnis (suku bangsa), adat-istiadat, budaya, bahasa, dan agama di Indonesia merupakan mozaik yang indah dan merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Apabila keanekaragaman tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, akan dapat memicu terjadinya konflik sosial dan konflik etnik yang pada akhirnya mengancam terjadinya disintegrasi bangsa


(8)

Indonesia sendiri (Bachtiar, 1987:33). Menurut Nasikun (2007:5) konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa.

Konflik dan tidak konflik (kerja sama) merupakan suatu pilihan bagi setiap orang yang ada dalam organisasi maupun yang ada ditengah – tengah masyarakat. Konflik selalu ada disetiap organisasi dan masyarakat, meskipun tidak terlihat adanya konflik. Pada umumnya, munculnya konflik ke permukaan sangat sulit untuk diprediksi, konflik tersebut muncul manakala kepentingan individu atau kelompok merasa terganggu atau terancam disertai dengan kondisi yang menciptakan kesempatan timbulnya konflik, meskipun sebenarnya mereka tidak mengarah secara langsung terhadap konflik, tetapi salah satu dari kondisi ini dapat memicu konflik. (Ranjabar: 2006:185).

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami konflik etnis dan agama. Konflik–konflik ini terdiri dari berbagai bentuk dan intensitas yang berbeda. Ini adalah situasi yang mengerikan dan berbahaya, tidak saja bagi orang– orang yang terlibat dalam konflik, tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap konflik mempunyai latar belakang sejarah, sosial, ekonomi, budaya dan politik sendiri. Hal itu merupakan akibat dari faktor struktural dan kegagalan para politisi dan lainnya dalam mengambil tindakan. Seringkali latar belakang provokasi yang terencana oleh pihak–pihak dengan kepentingan tersembunyi dalam mengarahkan kekacauan.

Latar belakang umum terjadinya konflik–konflik ini, yaitu perlu dipahami sebagai sifat konflik tersebut yang sesungguhnya. Pertama, berusaha untuk


(9)

menempatkan konflik – konflik ini kedalam suatu perspektif sosial. Untuk melakukan hal itu, harus dilihat dalam konteks iklim umum dari tindakan kekerasan yang telah umum di Indonesia saat ini. Iklim ini telah terbukti dalam seluruh konflik. Kedua, Setiap kesalahpahaman kecil ditempat keramaian dapat dengan mudah menjadi pertumpahan darah, bahkan seringkali melibatkan komunitas masing–masing. Karena itu, masyarakat kita seperti sedang dalam gangguan dan cengkeraman budaya kekerasan, dimana konflik yang biasa terjadi sehari–hari tidak lagi dikelola dengan cara konstruktif, tetapi sebaliknya segera menjadi kekerasan dan dapat melibatkan seluruh komunitas. Hal itu terjadi tanpa ada tanda-tanda bahwa pihak yang tertarik dapat dengan mudah mengambil keuntungan dari situasi ini.Bahayanya adalah bahwa begitu agama terlibat, mekanisme pembentukan solidaritas dapat berubah menjadi gerakan dengan dampak secara nasional ( Suseno, 2003: 120-121).

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, terjadinya konflik dalam hubungan atau interaksi adalah mungkin, karena segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan–kesatuan sosial yang terkait ke dalam ikatan–ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain sehingga mudah sekali menimbulkan konflik diantara kesatuan–kesatuan sosial tersebut. Sesuai pengamatan sistemik, sumber–sumber untuk konflik antara suku bangsa atau golongan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, paling tidak ada lima macam ,(Ranjabar: 2006:194-195) yaitu :

a. Konflik jelas akan terjadi kalau satu suku bangsa mendominasi suatu suku bangsa yang lain secara politis. Pada tingkat yang bersifat politis ini, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber–sumber ekonomi


(10)

yang terbatas adanya dalam masyarakat. Contoh; konflik yangS terjadi di Aceh dan Papua.

b. Konflik biasa terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing– masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup bersama. Contoh; konflik yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat.

c. Konflik biasa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan unsur–unsur dari kebudayaanya kepada warga dari suatu suku bangsa lain. Contoh; konflik yang terjadi di Sampit Kalimantan Tengah.

d. Konflik biasa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa yang lain secara ideologis. Pada tingkatan yang bersifat ideologis, konflik tersebut berwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut. Contoh ; konflik yang pernah terjadi di Maluku, Kupang, Mataram, dan Poso. e. Potensi konflik terpendam yang ada dalam hubungan antara suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat. Contoh; konflik yang sering terjadi di Papua (konflik antara suku di pedalaman Papua).

Konflik itu sendiri merupakan sebuah konsekuensi dari proses perubahan sosial. Oleh sebab itu teori konflik memandang bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan–pertentangan yang terus–menerus diantara unsur–unsurnya (Ritzer, 1992:30). Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik yang menggunakan kekerasana adalah suatu realitas yang tidak membutuhkan pembenaran moral, karena kekerasan memiliki kualitas pembaruan, pembebasan manusia untuk mengikuti ketentuan tidak rasional dari sifat bawaannya sendiri (Ranjabar: 2006: 195).

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem sosial yang berbeda, menjadi semakin rapuh pada tahun 1990-an. Ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa kerusuhan massal yang lebih sering terjadi, dengan tingkat keterlibatan masyarakat yang jauh lebih besar. Ini semua menjadi semakin


(11)

jelas sebelum Pemilu 1997, dimana sejumlah kerusuhan terjadi di beberapa wilayah Indonesia (Azra:2003:61).

Sejumlah konflik komunal berdarah telah mengguncang beberapa daerah di Indoneisa pada sekitar akhir tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Gelombangn konflik dengan kekerasan ini merisaukan banyak kalangan, di samping karena lambannya penyelesaian oleh negara, juga menyangkut jatuhnya korban yang tidak sedikit. Berbagai penjelasan dan hipotesis telah dikemukakan untuk menganalisis terjadinya konflik. Ada pandang yang mengatakan bahwa transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi duduga sebagai salah satu variabel antara terjadinya berbagai konflik komunal di nusantara yang multikultural ini. Beberapa pihak juga mengaitkan akumulasi dampak negatif pembangunan orde baru, seperti ketidakadilan (marginalisasi), kesenjangan ekonomi, maupun faktor kultural dan rusaknya jaringan sosial budaya lokal-tradisional sebagai sumber pendukung pecahnya konflik komunal, sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Konflik kekerasan yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dikaitkan sebagai kerusuhan antar-etnik yang tergolong masif. Kelompok – kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai suku asli Kalimantan –etnik Dayak dan Melayu , berhadapan dengan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai pendatang dari pulau Madura (etnik Madura). Saling bunuh tak terhindarkan tatkala antaretnik sudah tidak lagi saling percaya dan menganggap eksistensi suku yang satu menjadi penghalang eksistensi suku yang lain.


(12)

Pada akhir Februari 2001, kerusuhan pecah di wilayah Kalimantan Tengah. Ribuan orang Dayak bersenjatakan busur, panah, tombak, memburu warga dari etnik Madura. Pembunuhan dan pengrusakan nyaris berlangsung di semua desa. Kerusuhan semula terjadi di kota Sampit, namun kemudian merembet ke Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya. (Cahyono, 2008:3). Dua tahun sebelumnya kerusuhan serupa terjadi di Kalimantan Barat, yakni pada Februari 1999 yang terjadi di Kabupaten Sambas. Pada kejadian di Sambas, etnik Dayak membantu etnik Melayu dengan target yang sama, yakni suku Madura. Catatn resmi menyebutkan korban meninggal sekitar 200 orang. Konflik ini masih berlanjut, sebab setahun kemudian pada tanggal 25 oktober tahun 2000 massa dalam jumlah besar kembali mengepung GOR Pontianak, tempat penampungan pengungsi dari kelompok etnik Madura.

Meskipun dari sudut aktor pelaku tindak kekerasan di lapangan terdapat persamaan, namun dari karakteristik dan sumber konflik diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Konflik etnik di Kalimantan Barat memiliki sejarah yang panjang dan telah berlangsung selama beberapa dekade. Sejak tahun 1950-an pertikaian antara etnik Madura dan Dayak nyaris tak berkesudahan dan telah mengakibatkan ribuan orang meninggal dari kedua belah pihak. Hubungan sosial antaretnik di wilayah ini tidak berlangsung dengan baik. Selama puluhan tahun hubungan antara etnik dayak dan Madura gagal menghasilkan proses adaptasi yang sehat. Konflik lebih mengemuka dibandingkan dengan kerjasama, serta integrasi gagal terwujud. Berkurangnya daya dukung lingkungan akibat pembangunan yang merusak lingkungan serta


(13)

memarginalkan penduduk asli setempat telah mengakselerasi dan mengakumulasi prasangka antaretnik, sementara di pihak lain pola pemukiman khususnya warga Madura tersegregasi secara eksklusif. Pemukiman – pemukiman yang terpisah dari penduduk setempat ini telah mempersulit terjadinya kontak sosial dengan warga etnik lain. Lain halnya dengan Kalimantan Tengah, dalam sejarahnya dapat dikatakan tidak pernah terjadi konflik yang menjurus pada kekerasan. Hubungan sosial antara warga pendatang dengan penduduk asli terjalin cukup baik, meskipun mulai diperumit dengan masalah terdesaknya suku asli Dayak dari kehidupan ekonomi.

Ada beberapa faktor penyebab mengapa konflik di Kalbar dan Kalteng dapat meluas. Selain kebijakan komersialisasi hutan yang cenderung membuat rakyat setempat menjadi frustasi (eksploitasi dan ketimpangan) , tidak ditegakkannya hukum oleh aparat keamanan, situasi politik yang tidak menentu , resesi ekonomi, euforia otonomi daerah, kemajemukan etnisitas, tidak adanya budaya dominan, dan adanya perbedaan budaya antara kaum pendatang dengan penduduk setempat, serta yang tidak kalah pentingnya ialah kemungkinan peranan provokator khususnya yang terjadi di Kalimantan Tengah (Cahyono, 2008:5).

Semboyan nasional Bhineka tunggal Ika, yang berarti meskipun berbeda– beda tetapi satu juga atau kesatuan dalam keanekaragaman, dalam waktu yang cukup lama mampu menyatukan keanekaragaman di dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, sejauh ini interaksi sosial dalam bentuk konflik sosial ternyata selalu ada dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Konflik–konflik pada masa lalu menunjukkan bahwa konflik telah hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia


(14)

sejak lama. Sementara itu, beberapa tahun terakhir khususnya setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang selanjutnya didikuti dengan krisis politik, konflik sosial begitu banyak terjadi, baik konflik sosial yang bersifat vertikal maupun horizontal.

Konflik vertikal misalnya terjadi antara rakyat dengan pemerintah, atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Konflik ini terjadi dalam bentuk demonstrasi (people power) untuk menolak kebijakan pemerintah. Misalnya, demonstrasi menentang pemerintah yang disebut Aksi Reformasi pada tahun 1998. konflik vertikal antara rakyat dengan pemerintah juga terlihat dalam keinginan rakyat di daerah–daerah tertentu yang ingin memisahkan diri (merdeka)dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti Aceh dan Irian Jaya (Papua). Selain itu, konflik vertikal juga dapat terjadi antara bawahan (karyawan) dengan atasan (pimpinan). Dalam partai politik, konflik vertikal dapat terjadi antara pemimpin partai politik dengan anggota– anggotanya. Konflik horizontal terjadi antara rakyat dengan rakyat lainnya, misalnya dalam bentuk konflik antaretnik atau antarsuku, antarras, antarpemeluk agama, antarapenduduk desa, antarapelajar, atau antarapemuda.

Effendi Noer (Ranjabar : 2006:197), mengatakan bahwa konflik sosial menjadi tidak lumrah dan menjadi sumber biang malapetaka dan kehancuran kehidupan berbangsa ketika disertai dengan tindakan anarkhis dan kebrutalan, seperti yang terjadi dipenghujung kebangkrutan Orde Baru dan di awal masa reformasi. Konflik sosial yang terjadi itu diwarnai dengan agresivitas membabibuta , ditandai dengan tindakan yang melampaui batas – batas


(15)

perikemanusiaan disertai dengan kekerasan. Konflik sosial semakin terasa sangat tidak patut karena sudah menuju ke bentuk kekereasan sosial di hampir seluruh lapisan masyarakat, yang semua itu menandai rapuhnya integrasi nasional.

Dahrendorf 1959 (Pruit dan Rubin: 2004:34-35) menyebutkan tiga kondisi yang mendukung kemunculan sebuah struggle group, yang seringkali menjadi pendorong terjadinya konflik, yaitu:

1. Komunikasi terus-menerus diantara orang – orang senasib.

2. Adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok.

3. Legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas atau setidak-tidaknya tidak ada tekanan komunitas yang efektif terhadap kelompok. Meskipun konflik dapat ditemukan hampir disetiap bidang interaksi manusia, Darwin, Freud, dan Marx ( Pruitt dan Rubin, 2004: 12-13). Mengatakan bahwa konflik merupakan peristiwa – peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam kehidupan manusia, tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah salah. Orang pada umumnya mampu bergaul dengan baik dengan orang – orang, kelompok, maupun organisasi lain. Pergaulan itu mereka lakukan dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit terjadi konflik di dalamnya. Bilamana konflik itu memang terjadi, maka lebih sering konflik itu dapat diatasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan dapat memuaskan semua pihak.

Meskipun konflik sebenarnya tidak perlu menimbulkan konsekuensi destruktif, tetapi konflik yang buruk bisa berakibat mengerikan. Bambang Nurokhim dalam tulisannya ”membangun karakter dan watak bangsa melalui


(16)

pendidikan mutlak diperlukan” mengatakan bahwa ”pendidikan nasional bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian bangsa, bahkan terjadi adanya degradasi moral”.

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu : Pertama secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan – kesatuan sosial berdasarkan perbedaan – perbedaan suku-bangsa (etnis), perbedaan – perbedaan agama, adat, serta perbedaan – perbedaan kedaerahan.

Kedua secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya

perbedaan – perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun: 2007:34).

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada pergeseran nilai pasca konflik konflik horizontal (konflik antaretnik), dan tidak akan meneliti atau membahas secara khusus tentang konflik vertikal. Sejak reformasi, banyak konflik yang muncul ke permukaan, baik bernuansa politik, bernuansa etnik, agama, ataupun hanya sekedar perwujudan rasa ketidakpuasan. Konflik – konflik sosial yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini telah menyentuh perasaan manusia dan membangkitkan kecemasan serta ketakutan, sebab konflik – konflik tersebut cenderung bersifat destruktif (merusak) dan meyebabkan kesengsaraan bagi banyak orang. Hal ini karena konflik tersebut tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme yang ada, seperti melalui musyawarah, baik oleh pihak – pihak yang berkonflik maupun oleh bantuan pihak ketiga (mediator atau arbirator).


(17)

Dipihak lain, struktur yang ada tidak mampu menyelesaikan konflik dalam waktu yang singkat. Keadaan ini diperparah dengan semakin membudayanya kekerasan dalam masyarakat disebabkab faktor media yang semakin mengglobal, dan juga akumulasi kebencian dalam masyarakat. Suseno 2003:122 (Moeis 2006:6).

Sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam memecahkan konflik secara damai, beberapa konflik etnik justru meningkat menjadi konflik fisik yang menggunakan kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik. Konflik – konflik ini selanjutnya menyebabkan dampak negatif bagi banyak orang, baik material maupun nonmaterial, baik fisik maupun psikologis. Misalnya konflik yang terjadi di Sambas, Sampit, Palangkaraya, Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan Maluku Utara.

Seperti halnya di daerah – daerah lain, penyebab terjadinya konflik etnik di Maluku Utara tidaklah tunggal. Masalah kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam, pertikaian elite politik dan birokrasi merupakan faktor penyebab terjadinya konflik etnik di Maluku Utara. Pada bulan September 1999, parlemen di Jakarta secara resmi sepakat untuk membentuk Maluku Utara menjadi Provinsi baru. Namun pemerintah pusat tidak menyediakan anggaran dan tidak ada peraturan peralihan, sehingga timbul keadaan tidak pasti dimana – mana. Ditengah – tengah kegembiraan dan waktu yang mendesak, perkelahian antaretnis yang sebelumnya terjadi pada tanggal 19 Agustus, pecah kembali di Malifut Kecamatan Kao pada tanggal 24 oktober 1999. Kali ini, etnis Makian kalah total dan sangat menderita, saat itu juga titik polorisasi di Maluku Utara telah melewati


(18)

titik yang tidak dapat dikendalikan (Ahmad dan Oesman:2000:119).

Konflik yang terjadi mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, baik korban hartabenda, maupun korban nyawa. Begitu banyak orang yang harus kehilangan tempat tinggal, dan sanak saudaranya. Konflik ini bahkan menyisakan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Maluku Utara. Masyarakat mengalami depresi, mereka takut untuk kembali ke daerahnya masing – masing, karena khawatir peristiwa itu akan terulang kembali, sampai akhirnya pemerintah pusat melakukan pemulangan ke daerah masing - masing dan memberikan bantuan untuk membangun kembali tempat tinggal mereka.

Setelah kondisi Maluku Utara kembali aman, hal ini tentu saja membawa dampak bagi masyarakat di Maluku Utara dalam berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya, etika, pendidikan, agama, moralitas, hukum, dampak psikologi, dan lain-lain yang tentu saja berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bahkan kehidupan bernegara. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tesis tentang ” Pergeseran Nilai Masyarakat Pasca Konflik Etnik di

Maluku Utara Implikasinya pada Integrasi Nasional (Studi Kasus di Kota Ternate)”.

B. Masalah Penelitian

Bertolak dari latar belakang penelitian tersebut, maka dapat peneliti rumuskan suatu pokok permasalahan yaitu “ Mengapa terjadi pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara, serta bagaimana


(19)

implikasinya pada integrasi nasional?” Untuk memudahkan pembahasan hasil penelitian, maka masalah pokok penelitian tersebut peneliti jabarkan dalam beberapa sub masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi nilai-nilai budaya masyarakat sebelum konflik etnik di Maluku Utara?

2. Bagaimana kondisi nilai – nilai kehidupan (budaya) masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara?

3. Apakah pergeseran nilai masyarakat berimplikasi pada integrasi sosial dan nasional ?

4. Upaya – upaya apa yang dapat ditempuh dalam mengatasi pergeseran nilai dan menyatukan masyarakat Ternate (Maluku Utara) agar tidak mengakibatkan terjadinya disintegrasi Bangsa ?

Sub – sub masalah tersebut dapat dijadikan pertanyaan pokok penelitian.

C. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara faktual mengenai pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara, implikasinya pada integrasi nasional. Dari tujuan umum tersebut di atas, dapat dirumuskan tujuan khusus sebagai berikut :

a. Mengkaji tentang deskripsi nilai – nilai budaya masyarakat yang berkembang sebelum konflik etnik di Maluku Utara.

b. Mengkaji tentang deskripsi nilai – nilai kehidupan (budaya) masyarakat, yang berkembang setelah konflik etnik di Maluku Utara


(20)

c. Mengkaji apakah pergeseran nilai masyarakat berimplikasi pada integrasi sosial dan integrasi nasional.

d. Melihat gambaran upaya – upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi pergeseran nilai dan menyatukan masyarakat Ternate (Maluku Utara) sehingga tidak mengakibatkan terjadinya disintegrasi Bangsa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara keilmuan (teoritik) maupun secara empirik (praktis) dalam rangka pengembangan Pendidikan Kewargnegaraan. Secara teoritik, penelitian ini akan menggali, mengkaji dan mendeskripsikan, serta mengorganisasikan informasi tentang pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik di Maluku Utara, implikasinya pada integrasi nasional yang akan menghasilkan kerangka dasar secara konseptual-teoritis tentang pergeseran nilai masyarakat yang terjadi pasca konflik etnik di Maluku Utara yang di butuhkan dalam rangka menanamkan nilai – nilai etika dan moral bagi warganegara, khususnya di Maluku Utara serta mengatasi terjadinya disintegrasi nasional.

Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut :

1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang


(21)

pengembangan warganegara yang bermoral, bertanggungjawab, serta menjaga dan mempertahankan integrasi nasional.

2. Para pengembang kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dari tingkat pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi.

3. Para pengambil kebijakan khususnya yang terkait dengan program

penanaman dan pembinaan nilai – nilai budaya, etika dan moral, serta pembentukan warga negara yang baik, cerdas, bertanggung jawab, dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, serta dapat menghargai dan menerima keanekaragaman sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.

E. Penjelasan Istilah

Dalam judul penelitian ini terdapat konsep utama, yakni pergeseran nilai masyarakat, konflik etnik di Maluku Utara, dan integrasi nasional.

1. Pergeseran Nilai Masyarakat

Jack R. Fraenkel (Djahiri, 1985:20) mengulas sejumlah rumusan tentang nilai yang intinya sebagai berikut : nilai / value adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang. Dan biasanya mengacu pada estetika (keindahan), etika (pola laku), dan logika (benar / salah) atau keadilan (justice). Nilai menuntun orang untuk berbuat terarah, indah, baik, efisien dan bermutu / berharga (worth), serta benar dan adil.


(22)

yes, ” sesuatu yang ditujukan dengan ’ya’ kita”. Nilai adalah sesuatu yang kita

iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif, sebaliknya sesuatu yang kita jauhi seperti penderitaan atau penyakit adalah lawan dari nilai

atau ”non-nilai”. Djahiri (1985: 20), mengatakan bahwa

Nilai merupakan keyakinan / belief yang sudah merupakan milik diri dan akan

menjadi barometer actions and the wiil yang bersangkutan. Maluku Utara merupakan salah satu dari beberapa provinsi termuda di

Indoneisa. Pada kenyataanya, dalam beberapa tahun terakhir setelah terjadi konflik sosial di Maluku Utara, masyarakat lebih banyak menyelesaikan masalah – masalah yang terjadi dengan cara – cara yang tidak rasional, bahkan tidak sedikit yang menggunakan kekerasan dan tindakan – tindakan anarkhis lainnya. Ironisnya, tindakan – tindakan tersebut dianggap sebagai hal yang biasa saja, padahal apabila kita melihat kebelakang, jauh sebelum Maluku Utara mengalami konflik etnis dan konflik – konflik sosial lainnya, tindakan – tindakan anarkhis seperti ini sangat jarang terjadi di kalangan masyarakat, meskipun masyarakat Maluku Utara dikenal mempunyai karakter yang keras akan tetapi tindakan – tindakan anarkhis yang terjadi beberapa tahun terakhir, bukan merupakan bagian dari budaya dan ciri khas masyarakat Maluku Utara.

Pergeseran nilai masyarakat mengandung pengertian terjadinya perubahan pola pikir (idea/ konsep) masyarakat, yang selanjutnya membawa perubahan pada pola tindak masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pergeseran nilai disini mengarah pada nilai – nilai yang justru sangat bertentangn (non-nilai) ” dengan nilai – nilai yang sebelumnya dianut dan berlaku


(23)

dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut telah mengintegrasikan masyarakat selama bertahun-tahun.

2. Koflik Etnik di Maluku Utara

Pruitt dan Rubin (2004:9), mengatakan bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak – pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik etnik di Maluku Utara, merupakan konflik yang terjadi antara etnik Kao (Desa Sosol dan Wangeotak), dengan etnik Makian di Kecamatan Malifut yang terjadi sejak tanggal 19 Agustus 1999 dan merambat hampir keseluruh pelosok Maluku Utara (Ahmad dan Oesman:2000:85).

Kerusuhan beruntun dalam waktu yang relatif singkat, manakala penyelenggaraaan pemerintahan Provinsi Maluku Utara baru berusia empat hari. Pertikaian tersebut selanjutnya berkembang hampir ke seluruh pulau Halmahera dan dampaknya sangat merugikan daerah ini, manakala meletusnya perpecahan masyarakat secara beruntun di kawasan Halmahera Utara yang mencakup Kecamatan Tobelo, Galela, Jailolo, Sahu, Loloda, dan Ibu, dimana posisi strategis Tobelo dan Sidangoli yang merupakan konsentrasi dan economic of power kawasan Halmahera Utara telah menjadi ajang pertumpahan darah yang telah memporak – porandakan sendi – sendi kehidupan masyarakat dan infrastruktur ekonomi yang esensial.

Posisi kota Ternate sebagai ibukota pemerintahan (Kota Ternate, Kabupaten Maluku Utara, dan Provinsi Maluku Utara) sekaligus sebagai sentral


(24)

berbagai aktifitas menghadapi kendala dan masalah secara internal dan eksternal dalam dimensi peran dan fungsi kota tersebut. Hancurnya infrastruktur ekonomi Tobelo secara makro merugikan perekonomian daerah Provinsi Maluku Utara dan juga secara mikro sangat merugikan masyarakat setempat dan wilayah kecamatan sekitarnya. Upaya Pemerintah Daerah dan masyarakat yang mengharapkan kembalinya warga eksodus, pasca kerusuhan di Kota Ternate ternyata menimbulkan benturan karena kepulangan mereka terutama para konglomerat lokal diharapkan akan memulihkan stabilitas ekonomi daerah, namun di sisi lain timbulnya konflik fase kedua di Ternate melahirkan kebencian warga antar kelompok etnis semakin memuncak. Masalah internal yang di hadapi oleh pemerintah Kota Ternate adalah membludaknya pengungsi Halmahera Utara (tujuh kecamatan), yang membutuhkan penampungan serta sandang dan pangan yang memadai. Sementara itu, masalah internal yang dihapi adalah pasokan bahan pangan (sembako) dan kebutuhan lainnya yang mendesak. Belum lagi dampak negatif lainnya yang ditimbulkan seperti dampak psikologis, sosial, pendidikan, dll (Ahmad dan Oesman:2000:126.)

3. Integrasi Nasional

Dalam Sumpah Pemuda 1928, sebuah tekad dari beberapa organisasi pemuda berdasarkan ikatan primordial, bersatu untuk berikrar Indonesia yang satu. Bukti sejarah ini menunjukkan bahwa multikulturalisme masyarakat tidak hanya dipandang mempunyai potensi konflik, akan tetapi lebih dari itu multikulturalisme masyarakat dapat dijadikan sebagai modal dalam upaya


(25)

pembangunan kebudayaan nasional. Pemikiran ini dapat kita jumpai dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 32 (1) yang menyatakan bahwa: ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Peursen (Ritiauw: 2008: 57) menjelaskan: disadari bahwa karena di dalam

masyarakat yang multikultural itu, baik dilihat dari sudut suku bangsa, golongan agama dan daerah, di mana golongan-golongan yang ada tidak sama kemampuan dan kesempatan-kesempatan baru atau untuk membela diri terhadap aspek-aspek negatifnya, masalah persatuan bangsa merupakan suatu masalah yang terus menerus memerlukan perhatian dan usaha yang efektif. Segala aspek ini bertemu dalam usaha untuk merumuskan suatu strategi yang mampu membimbing integrasi.

Lebih luas lagi, Howard Wriggins (Muhaimin, 1991: 51) memberi catatan dan komentar tentang integrasi dan menguraikannya menjadi lima tipe, yaitu:

(1) Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok

budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada pembentukan identitas nasional. Di sini integrasi bangsa menunjuk pada masalah pembangunan rasa kebangsaan dengan cara menghapus kesetiaan-kesetiaan pada ikatan yang lebih sempit.

(2) Integrasi dapat menunjuk pada masalah pembentukan wewenang

kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang lebih kecil yang mungkin beranggotan suatu kelompok budaya atau sosial tertentu.

(3) Integrasi dapat juga menunjuk pada upaya menghubungkan

pemerintah dengan yang diperintah, yakni untuk menjambati gap antara elite dan massa yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan mencolok dalam aspirasi dan nilai-nilai mereka.


(26)

(4) Integrasi kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan adanya konsensus nilai yang minimum yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial.

(5) Integrasi dapat juga menunjuk pada pembicaraan mengenai tingkah laku untuk berorganisasi demi mencapai beberapa tujuan.

Dengan identifikasi yang dibuatnya, Wriggins mengemukakan pula bahwa istilah integrasi merangkum hubungan-hubungan dan sikap-sikap manusia yang sangat luas yakni integrasi antar berbagai kesetiaan kultural dan penciptaan rasa kebangsaan, integrasi unit-unit politik kerangka wilayah bersama dengan satu pemerintah kekuasaan, integrasi antara pemerintah dan yang diperintah, integrasi warga-warga ke dalam proses yang dijalankan bersama, serta integrasi individu-individu ke dalam organisasi-organisasi dengan kegiatan-kegiatan yang berguna. Pengertian-pengertian tersebut, meskipun berbeda-beda, mengandung kesamaan yang konsisten, yaitu adanya upaya mendefinisikan sesuatu yang bisa menyatukan masyarakat dengan sistem politik.

Dari kondisi suatu bangsa yang demikian, Weiner (Muhaimin, 1991: 44) menyatakan perlu disusun adanya dua strategi kebijaksanaan pemerintah untuk mencapai integrasi nasional, yaitu:

(1) Penghapusan sifat-sifat kultural utama dari komunitas-komunitas yang berbeda menjadi semacam kebudayaan nasional. Strategi ini disebut “policy asimilasionis”.

(2) Penciptaan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan-kebudayaan kecil. Strategi ini disebut “policy bhineka tunggal ika” (integrated pluralism).

Dari paparan di atas, menggambarkan bahwa sebuah integrasi dan dipertahankannya sistem budaya adalah karena adanya komitmen-komitmen nilai sebagai konsensus yang di tetapkan secara bersama oleh suatu masyarakat.


(27)

Berkaitan dengan komitmen-komitmen nilai tersebut, Talcott Parsons (Johnson:1986:114), dalam teori tindakannya menguraikan mengenai tindakan manusia yang dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi motifasional yang bersifat pribadi dan orientasi nilai-nilai yang bersifat sosial. Orientasi motifasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Hal ini mengandung pengertian bahwa tindakan seseorang itu dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan sekaligus di kontrol oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Tindakan manusia menurut Parsons memiliki empat elemen sistem, yaitu sub sistem budaya, sub sistem sosial, sub sistem kepribadian dan sub sistem perilaku organisme. Keempat sub sistem tersebut berada dalam suatu hubungan hirarki. Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan

pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan

diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan dalam peran-peran tertentu dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem itu. Perilaku organisme merupakan energi dasar yang dinyatakan dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.

Yanse,(2000:19) mengatakan bahwa ” integrasi memiliki dua pengertian, yaitu : 1) Pengendalian terhadap koflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, 2) Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu”. Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur


(28)

sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya.

Lebih lanjut Yanse,(2000:23) mengatakan bahwa Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut :

1 Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar). 2 Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus

menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting

affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan

kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.

Integrasi nasional merupakan penyatuan atau kesepakatan warga masyarakat Indonesia akan nilai – nilai umum tertentu yang disepakati bersama dan nilai – nilai umum tersebut benar – benar dihayati melalui proses sosialisasi. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, Indonesia, yang tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme dari permulaan abad ke-20 yang berjiwa anti kolonialisme itu merupakan konsensus nasional yang memiliki daya tiada terkira di dalam mengintegrasikan masyarakat Indonesia sampai saat ini. (Nasikun: 2007:80).

Selanjutnya menurut Liddle (Nasikun:2007:81) suatu integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila : (1) sebagian besar anggota suatu masyarakat bangsa bersepakat tentang batas – batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya. (2) apabila sebagian


(29)

besar angota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan – aturan daripada proses – proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif (Qualitative Research) adalah suatu penelitian yang di tujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi dan pemikiran orang secara individu maupun kelompok. Dalam paradigma ini realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang holistik/menyeluruh, kompleks, dinamis, dan penuh makna.

Konsep di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985:39), yakni ”ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan- kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa: metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan, Obyek dan subyek penelitian bersentuhan langsung. Pemaparan di atas, dimaknai bahwa penelitian kualitatif merupakan suatu cara meneliti langsung tanpa rekayasa, atau intervensi dari pihak manapun sehingga memperoleh data deskriptif tentang perilaku manusia. Untuk menghindari kerancuan dalam pelaksanaan pengumpulan data secara operasional, maka Bogdan dan Biklen,(1982:27-29) mengemukakan lima karakteristik utama


(31)

dari penelitian kualitatif sebagai berikut :

1. Peneliti sendiri sebagai instrumen utama untuk mendatangi secara langsung sumber data.

2. Mengimplementasikan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih cenderung dalam bentuk kata-kata daripada angka.

3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan kepada proses tidak semata-mata kepada hasil.

4. Melalui analisis induktif, peneliti mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati.

5. Mengungkapkan makna sebagai hal yang essensial dari pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakn sistem perangkat kerja dalam menggali, menguji dan membentuk teori, penilitian kualitatif menghendaki adanya kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipamahi jika dipisahkan dari konteksnya. Sebab itu, peneliti mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks dari fenomena yang ada

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa karakteristik yang ditonjolkan.

Pertama, peneliti bertindak sebagai instrumen utama (key instrument), dengan

melakukan wawancara sendiri pada informan dan pengumpulan bahan yang berkaitan dengan objek penelitian dan peneliti terlibat aktif dalam proses penelitian, peneliti berpartisipasi aktif selama penelitian berlangsung dalam rangka menjaring data dan mendapatkan informasi dilokasi penelitian. Analisis data diolah selama berlangsungnya kegiatan penelitian.

Kedua, penonjolan rincian kontekstual artinya peneliti mengumpulkan dan

mencatat data-data dengan rinci, yang berkaitan dengan masalah yang sedang diamati. Ketiga, melakukan triangulasi data, atau konfirmasi dari data lain, sebagaimana kata Moleong (2007:330) Triangulasi adalah teknik pemeriksaan


(32)

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu, karena data yang telah diperoleh dari salah satu informan akan dikonfirmasi keabsahaannya pada informan lainnya. Tujuannya untuk memberi perbandingan informasi tentang hal yang diperoleh dari berbagai pihak, agar tingkat kepercayaan terhadap data cukup tinggi. Keempat, dengan manggunakan perspektif emik, artinya membandingkan pandangan informan, bagaimana ia memandang dan menafsirkan masalah dalam pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan dengan tidak membuat generalisasi dan tidak mempengaruhi jalan pikirannya informan. Kemudian, dalam wawancara, akan dilakukan receking bagi data yang diperoleh dari informan sebelumnya. Kelima, melakukan analisis sepanjang penelitian dilakukan. Analisis dengan sendirinya akan muncul saat tiba pada penafsiran data.

Menurut Nasution (1988:9) alasan manusia sebagai instrumen utama adalah; 1). Peneliti sebagai alat peka dan dapat berinteraksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian, 2). Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus, 3). Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan, 4). Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata – mata, untuk memahaminya kita sering perlu merasakannya, menyelaminya, berdasarkan penghayatan kita, 5). Peneliti sebagai instrumen dapat segera mengalisis data yang diperoleh, 6). Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya


(33)

sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan, dan 7). Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang bersifat kuantitatif yang diutamakan adalah respons yang dikuantitikasi agar dapat diolah secara statistik, sedangkan yang menyimpang dari itu tidak dihiraukan. Dengan manusia sebagai instrumen, respons yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian. Respons yang lain daripada yang lain , bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti.

B. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Observasi Partisipatif

Menurut Black dan Champion, (1999:286) yakni mengamati dan mendengar perilaku seseorang selama beberapa waktu, tanpa melakukan manipulasi atau pengendalian serta mencatat penemuan yang memungkinkan atau memenuhi syarat untuk digunakan ke dalam tindakan penafsiran analisis.

Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Dengan observasi partisipatif ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Teknik ini memungkinkan untuk menarik kesimpulan tentang makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa, atau proses yang diamati.


(34)

2. Wawancara Mendalam (In-depth interview).

Merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data dari informan yang berupa pemahaman, perasaan dan makna sesuatu. Tujuan wawancara ialah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain, bagaimana pandangannya tentang dunia, yaitu hal-hal yang tidak dapat diketahui melalui observasi (Nasution; 1988: 73). Dalam wawancara dengan informan, peneliti memberikan keleluasaan kepada untuk menjawab segala pertanyaan, sehingga memperkuat data-data melalui pengamatan. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan menggunakan pedoman wawancara. Nasution, (1988:69) mengemukakan bahwa “observasi saja tak memadai dalam melakukan penelitian, itu sebabnya observasi harus delengkapi dengan wawancara“.

Kelemahan wawancara adalah responden bisa saja tidak jujur atau tidak berterus terang untuk menjawab sesuatu yang sensitif atau mengancam dirinya. Dalam hal ini responden cenderung berkesimpulan bahwa peneliti menginginkan responden menjawab sesuai dengan keinginan peneliti. Dengan demikian untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini peneliti melakukan observasi.

3. Studi Dokumentasi

Selain melalui observasi dan wawancara, dalam hal ini dilakukan juga studi dokumentasi yang bertujuan untuk mendukung di dalam proses pengungkapan dan pendeskripsian hasil penelitian. Selain itu studi dokumentasi bertujuan untuk memperoleh data tertulis mengenai obyek yang diteliti secara akurat dan mencari


(35)

beberapa sumber informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Lincoln dan Guba,(1985:276-277) mengatakan bahwa dokumentasi dan catatan digunakan sebagai pengumpul data didasarkan pada beberapa hal yakni :

1. Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah diperoleh dan relatif lebih murah.

2. Merupakan informasi yang mantap baik dalam pengertian merefleksikan situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan di dalamnya.

3. Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya.

4. Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat di sangkal, yang menggambarkan kenyataan formal.

5. Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non kreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau perlakuan peneliti.

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan informasi-informasi yang berguna. Banyak dokumen resmi dan laporan yang oleh sebagian orang dipandang sebagai arsip yang tidak berguna, namun bagi peneliti ini sangat penting untuk memahami aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu, yang faktanya tersimpan didalam dokumen. Adapun dokumen yang peneliti maksudkan yakni : arsip daerah, kecamatan, catatan-catatan yang dibuat oleh pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, yang dapat memberikan gambaran tetang inti dari penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga tingkat validitas data yang nantinya akan dikumpulkan oleh peneliti.

4. Snowball Sampling

Dalam sampling ini peneliti mulai dengan kelompok kecil yang diminta untuk menunjuk kawan masing-masing. Kemudian kawan-kawan ini diminta pula menunjukkan kawan masing-masing pula, dan begitu seterusnya sehingga


(36)

kelompok itu senantiasa bertambah besarnya bagaikan bola salju yang kian bertambah besar.

Sampling ini dipilih bila kita ingin menyelidiki hubungan antar-manusia dalam kelompok yang akrab, atau menyelidiki cara-cara informasi tersebar di kalangan tertentu. Untuk meneliti penyebaran informasi dikalangan kelompok terbatas sampling ini sangat bermanfaat. Disamping itu diperoleh gambaran tentang hubungan antar-manusia dalam kelompok itu antara lain siapa menjadi tokoh yang berpengaruh dalam kelompok itu (Nasution, 2008:99).

C. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kota Ternate. Dasar pertimbangan dijadikannya Kota Ternate sebagai lokasi penelitian yaitu karena Kota Ternate merupakan salah satu wilayah yang mengalami konflik, serta sebagai pusat eksodus ketika terjadi konflik etnik di Maluku Utara dan hingga saat ini masih ada pengungsi yang belum dipulangkan ke daerah asalnya dan menetap di Kota Ternate. Alasan lainnya yaitu karena Kota Ternate memiliki penduduk yang sangat heterogen jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Subjek penelitian yang menjadi sumber data dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

Pertama, sumber responden (human resources), dipilih secara purposive sampling dan bersifat snowball sampling. Sumber data pada tahap awal memasuki

lapangan dipilih oleh orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti, sehingga mampu “membuka pintu” kemana saja peniliti


(37)

akan mengumpulkan data. Dengan demikian subjek penelitian yakni terdiri atas : tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, guru PKn, dan Pemerintah Daerah. Karena bersifat snowball sampling, maka informan yang diteliti menjadi berkembang dilapangan apabila peneliti menemukan orang yang lebih mengetahui tentang permasalahan yang diteliti.

Kedua, sumber bahan cetak (kepustakaan) yang meliputi: buku teks,

dokumen negara, makalah, kliping tentang nilai, moral, konflik , konflik antaretnik, dan pergeseran nilai – nilai agama, budaya , etika, integrasi sosial dan integrasi nasional yang diperoleh melalui jurnal, majalah ilmiah, surat kabar, internet, dan lain-lain.

D. Analisis Data Penelitian

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah di lapangan dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan “Analisis telah dirumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan, dan berlangsung terus sampai penelitian dan hasil penelitian dicapai. Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

Lincoln dan Guba (1985: 345) mengatakan bahwa :

Langkah pertama dalam pemerosotan satuan ialah peneliti hendaknya membaca dan mempelajari secara teliti seluruh jenis data yang sudah terkumpul. Setelah itu, usahakan agar satuan-satuan itu diidentifikasi. Peneliti memasukan ke dalam kartu indeks. Penyusunan satuan dan pemasukan ke dalam kartu indeks hendaknya dapat dipahami oleh orang lain. Pada tahap ini analisis hendaknya yangan dulu membuang satuan yang ada walaupun mungkin dianggap tidak relevan.


(38)

Tujuan analisis data yang dilakukan oleh peneliti yakni proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analsis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Menurut Creswell, (1998:147-150) langkah-langkah yang sering dipakai dalam penelitian fenomenologi adalah sebagai berikut :

1. Peneliti memulai dengan suatu deskripsi penuh mengenai pengalaman

pribadinya tengtang fenomena tersebut.

2. Peneliti kemudian menemukan pernyataan-pernyataan, tentang

bagaimana orang memahami topik yang diteliti, membuat daftar pertanyaan yang signifikan dan memperlakukan semua data secara sama.

3. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian dikelompokan ke dalam ”unit-unit makna”, peneliti membuat daftar ”unit-unit-”unit-unit ini dan kemudian menulis sebuah deskripsi.

4. Peneliti kemudian melakukan refleksi pada deskripsi pribadinya dan menggunakan variasi imajinatif atau deskripsi struktural, mencari semua makna.

5. Peneliti kemudian menyusun suatu deskripsi menyeluruh dari makna dan esensi dari pengalaman tersebut.

Bertolak dari dasar konsep di atas, maka untuk memudahkan peneliti dalam proses menganalisis data dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan alur analisis sebagai berikut :

1. Analisis Sebelum di Lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan,


(39)

atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menemukan fokus penelitian. Dalam kaitan dengan itu maka, peneliti telah melakukan analisis terhadap beberapa tesis dan hasil-hasil penelitian yang dilakukan di Maluku Utara tentang konflik etnis dan sosial. Analisis ini diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran tentang masalah yang akan dikaji oleh peneliti.

Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. Sugiyono,(2005:90) mengibaratkan tahapan ini seperti :

seseorang yang sedang mencari pohon jati di suatu hutan. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim, maka dapat diduga bahwa hutan tersebut ada pohon jatinya. Oleh karena itu peneliti dalam membuat proposal penelitian, fokusnya adalah ingin menemukan pohon jati pada hutan tersebut, berikut karakteristiknya. Setelah peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata hutan tersebut tidak ada pohon jatinya. …… kalau fokus penelitian yang dirumuskan dalam proposal tidak ada di lapangan, maka peneliti akan merubah fokusnya, tidak lagi mencari kayu jati di hutan, tetapi akan berubah dan mungkin setelah masuk hutan lagi tidak tertarik pada kayu jati, tetapi beralih ke pohon-pohon yang lain, bahkan juga mengamati binatang yang ada di hutan tersebut.

2. Analisis Selama di Lapangan

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel.


(40)

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman: 1992: 16-18). Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Langkah-langkah analisis ditunjukan pada gambar berikut ini :

Gambar : 1.1.

Komponen – komponen Analisis Data ( Miles dan Huberman, 1992 :20 )

Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa ada tiga jenis kegiatan utama analisis data yang merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti harus siap bergerak diantara empat ”titik” kumparan itu selama pengumpulan data,

Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan / Verifikasi


(41)

selanjutnya bergerak bolak balik diantara kegiatan reduksi, penyajian, serta penarikan kesimpulan / verifikasi.

a. Penyajian Data.

Bagian kedua dari analisis adalah Penyajian data, penyajian yang dimaksudkan adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif dalam bentuk teks naratif. Dalam hal ini Miles dan Huberman (1992) menyatakan “ the mos frequent from of

display data for qualitative research dat in the past been narrative tex” yang

paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

b. Reduksi Data

Mereduksi data berarti merangkum, melihat hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan menggunakan kode pada aspek-spek tertentu.

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama pengumpulan data berlangsung. Reduksi data merupakan bagian dari analisis yang


(42)

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi.

c. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi

Langkah ketiga dalam analisis kualitatif menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang ditemukan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung tahapan pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahapan awal, didukung oleh bukti-bukti. Kesimpulan akhir tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang digunakan, serta kecakapan peneliti.

E. Konstruksi Data 1. Deskripsi

Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Karena menggunakan pendekatan kualitatif, selain itu semua data yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti (Moleong, 2007:11). Dalam penelitian ini diusahakan mengumpulkan data deskriptif yang banyak yang dituangkan dalam bentuk laporan dan uraian. Penelitian ini tidak menutamakan angka-angka dan statistik, walaupun tidak menolak data kuantitatif (Nasution, 1988:9).


(43)

2. Verifikasi

Untuk memperoleh hasil yang lebih dipercaya, peneliti mencari kasus-kasus yang berbeda atau yang bertentangan dengan apa yang telah ditemukan. Maksudnya ialah memperoleh hasil yang lebih tinggi tingkat kepercayaannya yang mencakup situasi yang lebih luas, sehingga apa yang semula tampaknya berlawanan akhirnya dapat diliputi dan tidak lagi mengandung aspek-aspek yang tidak sesuai.

3. Validasi Data

Perolehan data yang akurat dan absah, terutama yang diperoleh melalui observasi, wawancara, maupun dokumentasi teknik yang digunakan adalah memeriksa derajat kepercayaan atau kredibilitasnya. Kredibilitas data dapat diperiksa melalui beberapa cara, antara lain :

a. Memperpanjang masa observasi

Usaha peneliti dalam memperpanjang waktu keikutsertaan dengan para nara sumber adalah dengan cara meningkatkan frekuensi pertemuan dan menggunakan waktu seefisien mungkin, misalnya mencari waktu yang tepat untuk melakukan penggalian data pada saat aktivitas masyarakat berlangsung.

b. Melakukan Pengamatan Secara Seksama

Pengamatan secara seksama dilakukan secara terus-menerus untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang pergeseran nilai masyarakat pasca konflik etnik serta implikasinya pada integrasi nasional, serta upaya-upaya yang ditempuh dalam mengatasi konflik dan pergeseran nilai.


(44)

c. Triangulasi

Data atau informasi dari satu pihak harus dichek kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain, misalnya dari pihak kedua, ketiga, dan seterusnya dengan menggunakan metode yang berbeda-beda. Tujuannya ialah membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. Cara ini juga mencegah bahaya subjektivitas (Nasution;1988:10).

d. Menggunakan Bahan Referensi

Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan keabsahan informasi yang dibituhkan dengan menggunakan dukungan bahan referensi yang cukup baik melalui media elektronika. Menggunakan referensi yang cukup adalah menyediakan semaksimal mungkin sumber data dan media cetak (buku, jurnal,makalah, majalah ilmiah, surat kabar, kertas kerja,dll), media elektronika (alat rekam), serta realitas lapangan seperti catatan-catatan observasi dan foto-foto dokumentasi.

e. Melakukan Memberchek

Mmemberchek merupakan salah satu teknik yang penting untuk mempertinggi kredibilitas. Memberchek dilakukan dengan cara meminta pendapat para responden untuk menilai kebenaran data, tafsiran, serta kesimpulan. Selanjutnya mengadakan perbaikan sesuai dengan saran dan masukan dari subjek penelitian. Dengan demikian memberchek dimaksudkan untuk mengecek kebenaran dan kesahihan data temuan


(45)

penelitian dengan cara menginformasikannya dengan sumber data (Nasution;1988:150).

F. Prosedur Penelitian.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan, yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pelaporan.

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap mengenai masalah yang hendak diteliti. Tahap awal ini diawali dengan penjajakan lapangan untuk menentukan permasalahan atau fokus penelitian. Lebih lengkap tahap ini meliputi pemilihan masalah, studi pendahuluan, penyusunan proposal dan perijinan.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Demi kelancaran tahap ini maka peneliti harus memahami beberapa hal yakni pemahaman tentang latar belakang penelitian, tata cara memasuki lapangan, dan peran sertanya dalam mengumpulkan data.

Pemahaman terhadap latar penelitian bertujuan untuk menghindarkan peneliti dari data yang kurang diperlukan dalam sebuah penelitian. Tugas peneliti


(46)

mengumpulkan data yang relevan sebanyak mungkin dari sudut pandang informan tanpa mempengaruhinya. Selain itu agar data dapat diperoleh dengan baik maka peneliti harus melakukan hubungan yang akrab dengan responden, memahami etika di daerah latar penelitian dan tetap menyadari perannya sebagai peneliti. Untuk lebih lengkapnya kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi pengumpulan data, pengolahan data, dan penarikan kesimpulan.

3. Tahap Pelaporan

Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penulisan tesis, hal ini dimaksudkan sebagai alat untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada pihak lain.


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari deskripsi dan pembahasan hasil penelitian pada bab IV, dapat peneliti rumuskan suatu kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

A. Kesimpulan 1. Kesimpulan Umum

Sebelum konflik, masyarakat Ternate sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya seperti adat-istiadat, kesusilaan (moral), hukum, kekerabatan, toleransi, gotong-royong, dan lain-lain. Nilai-nilai ini kemudian sanggup menyatukan masyarakat Ternate yang sangat heterogen. Kehidupan masyarakat saat itu sangat harmonis, tidak ada gangguan-gangguan keamanan yang berarti, hubungan antara agama yang satu dengan agama lainnya terjalin baik, demikian juga hubungan antara suku (etnik) yang satu dengan suku (etnik) lainnya sangat harmonis, rukun, dan rasa kekeluargaan terjalin sangat erat. Akan tetapi dengan terjadinya konflik etnik tersebut, masyarakat mengalami perubahan nilai-nilai budaya, etika, pola pikir dan tingkah laku serta memudarnya nilai-nilai gotong royong, toleransi, rengganggnya (tidak harmonisnya) hubungan antara anggota masyarakat yang berbeda etnis dan agama, serta marak terjadinya tindakan-tindakan anarkhis dan amoral, yang sangat meresahkan masyarakat luas. Kondisi yang demikian tentu saja dapat menghambat integrasi sosial masyarakat, khusnya masyarakat Ternate dan Maluku Utara, bahkan secara umum, dapat mengancam integrasi nasional bangsa Indonesia. Berbagai upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah, tokoh


(48)

agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan lain-lain, belum mencapai hasil yang maksimal. Upaya yang dilakukan masih berupa upaya perbaikan fisik, seperti memperbaiki rumah-rumah penduduk, rumah sakit, gedung sekolah, perbaikan jalan, dan lain-lain. Sementara pemulihan mental masyarakat korban konflik, belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.

2. Kesimpulan Khusus

1. Nilai-nilai budaya masyarakat sebelum konflik etnik di Maluku Utara, mampu menyatukan masyarakat dari berbagai golongan (etnik, agama, danlain-lain). Melalui hasil observasi dan wawancara, peneliti berkeyakinan bahwa sebelum konflik etnik kehidupan masyarakat Kota Ternate sangat aman, damai, harmonis, penuh toleransi, serta terjalin hubungan kekerabatan yang sangat kuat antar berbagai suku dan pemeluk agama yang berbeda-beda. Masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, sehingga hubungan antar anggota masyarakat sangat harmonis dan tindakan-tindakan anarkhis sangat sulit terjadi di kalangan masyarakat.

2. Pasca konflik etnik kehidupan masyarakat Kota Ternate mengalami perubahan yang sangat signifikan, mulai dari segi sosial budaya, ekonomi, politik, keamanan, dan lain-lain. Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan kondisi kehidupan masyarakat pada waktu sebelum konflik dan pasca terjadinya konflik di Maluku Utara. Pasca konflik, kehidupan masyarakat sangat tidak aman, berbagai persoalan timbul akibat kondisi yang tidak


(49)

stabil. Hubungan masyarakat mulai renggang, saling mencurigai antara kelompok (etnik, agama, dll) yang satu dengan kelompok lainnya sangat terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pencurian, pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya sering kali mewarnai kehidupan masyarakat, tindakan-tindakan anarkhis muncul di mana-mana dan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Padahal sebelumnya hal ini sangat sulit ditemukan di kalangan masyarakat Kota Ternate.

3. Dengan kondisi yang demikian, masyarakat Kota Ternate sangat resah, akan tetapi ada sebagian anggota masyarakat yang mulai terbiasa dengan situasi ini. Hal ini tentu saja sangat meresahkan masyarakat luas, sebab nilai-nilai kehidupan (budaya) masyarakat yang telah menyatukan masyarakat Kota Ternate selama bertahun-tahun mulai terkikis. Situasi ini mengakibatkan terancamnya integrasi sosial masyarakat Kota Ternate, sebab pluralitas budaya lokal yang selama ini menjadi kekuatan perekat masyarakat Ternate dan bangsa Indonesia pada umunya kini telah menjadi ancaman serius bagi runtuhnya integrasi sosial bahkan integrasi nasional bangsa Indonesia.

4. Upaya-upaya yang ditempuh oleh masyarakat dan Pemerintah Kota

Ternate untuk menyatukan kembali masyarakat Kota Ternate dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Daerah dan tokoh-tokoh agama, adat, tokoh masyarakat, serta pihak-pihak yang dipandang berpengaruh di kalangan masyarakat luas. Upaya ini dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti membangun kembali sarana-sarana ibadah, perumahan, sekolah,


(50)

sarana-sarana fisik lainnya, serta upaya mencegah konflik dalam bentuk arahan dan penyuluhan-penyuluhan. Selain itu pemerintah memberikan bantuan seperti biaya hidup selama beberapa bulan sejak pengungsi (korban konflik) kembali ke daerah asalnya masing-masing. Sementara upaya untuk mengatasi pergeseran nilai yang terjadi di kalangan masyarakat belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, sebab upaya pemulihan mental masyarakat korban konflik, sangat kurang mendapat perhatian. Hal ini diakibatkan oleh perhatian pemerintah yang justru lebih terfokus untuk melakukan rehabilitasi pembangunan fisik

dibandingkan dengan pemulihan mental (psikhis) para korban konflik.

B. Rekomendasi

Berkaitan dengan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka penulis mengemukakan rekomendasi serta usaha-usaha yang dilakukan :

1. Ditujukan kepada Pemerintah Daerah, agar melakukan pemulihan

mental terhadap masyarakat korban konflik, terutama bagi mereka yang keluarganya banyak menjadi korban akibat konflik. Hal ini harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, agar tidak menimbulkan dendam yang dapat mengakibatkan terulangnya peristiwa konflik masa lalu.

2. Ditujukan kepada tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat,

serta pihak-pihak terkait, agar selalu melakukan pembinaan terhadap masyarakat secara intens dan berkesinambungan, dalam rangka


(51)

mengatasi pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat dan upaya menyatukan kembali masyarakat Ternate.

3. Kepada Dinas Pendidikan sebagai pemegang kebijakan, hendaknya

melakukan upaya-upaya yang konkrit untuk mengatasi pergeseran nilai dan menyatukan kembali masyarakat Ternate, serta memberikan suatu rambu-rambu dalam menerjemahkan kurikulum yang memberikan bobot lebih dalam upaya menanamkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, persatuan dan kesatuan, serta nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme kepada peserta didik.

4. Untuk masyarakat Kota Ternate, agar merevitalisasi nilai-nilai

budaya yang ada dan telah menyatukan masyarakat Ternate selama bertahun-tahun. Nilai-nilai budaya ini kemudian dikemas sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Harus disadari bahwa berbagai tindakan anarkhis yang muncul akhir-akhir ini sangat bertentangan dengan budaya masyarakat Ternate.

5. Untuk peneliti berikutnya, agar ada kajian lebih lanjut mengenai pergeseran nilai masyarakat pasca konflik secara mendetail.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kasman dan Oesman, Herman. (2000). Damai Yang Terkoyak (Catatan

Kelam Dari Bumi Halmahera). Ternate: PODIUM, LPAM Pemuda

Muhammadiyah dan Madani Press.

Acton, H.B. (2003). Dasar – Dasar Filsafat Moral (Elaborasi terhadap pemikiran

Etika Immanuel Kant). Surabaya: Pustaka Aureka.

Al Qadrie, Syarif Ibrahim. (2003). Faktor – Faktor Penyebab Konflik Etnis,

Identitas dan Kesadaran Etnis, serta Indikasi Kearah Proses Disintegrasi di Kalimantan Barat, dalam INIS (ed)Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Seri INIS :41. Jakarta: Leiden.

Azra, Azzumardi. (2003). Kerusuhan Massal di Indonesia Baru – Baru Ini:

Kemunduran Nasionalisme dan Kemunculan Separatisme, dalam INIS (ed)Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Seri INIS :41. Jakarta: Leiden.

Bachtiar, Harsya W. (1987). Konsensus dan Konflik dalam Sistem Budaya dan

Manusia Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.

Bertens. (2004). Etika (Seri Filsafat Atma Jaya: 15). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Black, A, James, dan Champion. (1999). Penelitian Sosial. Bandung : Rafika Aditama.

Bogdan, B, C Dan Biklen, S, K. (1982). Qualitative Research for Education An

Introduction to Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon.

Budiningsih, Asri. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta : Rineka Cipta.

Budiyono. (2007). Nilai – Nilai Kepribadian Dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Bungin. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Cahyono, H. et al. (2008). Konflik Kalbar dan Kalteng (Jalan Panjang Meretas

Perdamaian). Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar.

Creswell, John. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing

Among Five Traditions. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.


(1)

Darmadi, Hamid. (2007). Dasar Konsep Pendidikan Moral (Landasan Konsep Dasar dan Implementasi). Bandung: Alfabeta.

Dahrenrendorf, Rafl. (1986). Class and Class Conflict in Industrial Society. Alih Bahasa Alimandan. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah analisa Kritik. Jakarta: Rajawali Pers.

Dinsie, A. dan Taib, R.(2008). Ternate (Sejarah, Kebudayaan, dan Pembangunan Perdamaian Maluku Utara). Ternate : Lembaga Kebudayaan Rakyat Moloku Kie Raha (LeKRa-MKR).

Djahiri, Kosasih. (2006). Pendidikan Nilai Moral Dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIS UPI.

____________ (1985). Strategi Pengajaran Afektif -Nilai –Moral VCT dan Games dalam VCT. Bandung : PMPKN FPIPS IKIP Bandung. Elmubarok. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang

Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai). Bandung : Alfabeta.

Frondizi, Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Etika. Terjemahan Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Guba, G, E dan Lincoln, S. (1985). Naturalistic Inquiry. London : SAGE Publications.

Hakam. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Hasibuan. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Teori dan Konsep). Jakarta: Dian Rakyat.

Jhonson, P. D. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid II. Jakarta : Gramedia.

Katalog BPS:1403.8271. (2008). Kota Ternate dalam Angka. Ternate: Badan Pusat Statistik.

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Latif, A. (2007). Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.


(2)

Liliweri, Alo. (2005). Prasangka Dan Konflik. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. Maris. (2005). Konflik Kekerasan Internal (Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik,

Dan Kebijakan Di Asia Pasifik). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS dan KITLV-Jakarta.

Miles, Matthew B. dan Huberman A. (1992). Qualitative Data Analysis. Alih Bahasa Tjejep Rohendi Rohidi. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Muhaimin, Yahya. (1991). Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mulyana. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasikun. (2007). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nasution, S.(1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. _________ (2008). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara. Perdana, F. (2008). Integrasi Sosial Muslim-Tionghoa (Studi atas Partisipasi PITI

DIY dalam Gerakan Pembauran). Yogyakarta : PITI DIY dan Mystico. Poespoprodjo. (1999). Filsafat Moral (Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek).

Bandung: Pustaka Grafika.

Priyanto, S. (2003). Bangsa dan Negara (Pelatihan Terintegrasi Berbasis

Kompetensi Guru Mata Pelajaran PPKN). Jakarta : Direktorat PLP, Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Pruit, G. Dean dan Rubin, Z. Jeffrey. (2004). Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahiem. (1990). Pewarisan Nilai-Nilai. Surabaya: Usaha Nasional.

Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Ghalia Indonesia.

Robert. (2002). Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


(3)

Robbins, Stephen P. (1996). Perilaku Organisasi (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: Prenhallindo.

Roziqin, M. Zainur. (2007). Moral Pendidikan di Era Global. Malang: Averroes Press

Ritzer, George. (1992). Sociolagy : A Multiple Paradigm Science. Alih Bahasa Alimandan. Sociology: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : Rajawali Pers.

Ritzer, George. (2008). Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Muhammad Taufik. The Postmodern Social Theory. Yogyakarta : Juxtapose Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana.

Salim, Agus. (2002) Perubahan Sosial ( Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia).Yogyakarta :Tiara Wacana.

Sjah, Mudaffar, et.al. (2005). Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate : HPMT Press.

Soekanto, S. (1986). Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Baru Kedua). Jakarta : Rajawali.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. (1995). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby.

Suhady, Idup dan Ssinaga. (2003). Wawasan Kebangsan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Sumarna. (2006). Filsafat Ilmu (Dari Hakiki Menuju Nilai). Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Suparlan,P.(2003). Etnisista dan Potensinya terhadap Disintegrasi Sosial di Indonesia, Dalam INIS (ed)Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Seri INIS :41. Jakarta: Leiden.

Sudjana, (2006). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Program Pasca Sarjana UPI & Remaja Rosdakarya.

Subagyo. (2004). Metode Penelitian (Dalam Teori Dan Praktek). Jakarta: Rineka Cipta.

Sudharto. (1992). Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya: Usaha Nasional. Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.


(4)

Suseno, Frans Magnis. (2003). Faktor - Faktor yang Melandasi Terjadinya Konflik Antaretnis dan Agama di Indonesi, Dalam INIS (ed)Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Seri INIS :41. Jakarta: Leiden.

Suryabrata. (2006). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suwarsono dan Alvin. (1994). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta:

Pustaka LP3ES Indonesia.

Usman, Sunyoto. (2003). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Usman dan Akbar. (2006). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Warnaen, Suwarsih. (2002). Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multi Etnis. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Winardi, J. (1994). Manajemen Konflik : Perubahan dan Pengembangan. Bandung: Mandar Maju

Yanse. (2000). Pembangunan Masyarakat. Semarang : Persada Press.

Zeitlin, Irving M. (1998). Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Disertasi dan Tesis :

Alesyanti. (2003). Revitalisasi Nilai Moral Sosial Adat Minangkabau dalam Kehidupan Keluarga (Studi Deskriptif pada Beberapa Keluarga Minangkabau). Disertasi Doktor pada PIPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Danial, E. (1985). Proses Pembauran WNI Keturunan Cina di Cianjur Jawa Barat (Studi Kasus Pembauran WNI Keturunan Cina di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat). Tesis Magister pada Fakultas Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung : tidak diterbitkan.

Gustina. (2002). Integrasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Pengajaran Sejarah Pergerakan Nasional. Tesis Magister pada PIPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.


(5)

Moeis, Isnarmi, (2006). Kerangka Konseptual Pendidikan Multikultural Transformatif

Berdasarkan Pola Hubungan – Konflik Antaretnik (Kajian Kritis Terhada Laporan Media Massa Mengenai Konflik Ambon, Sambas dan Sampit dan Poso). Disertasi Doktor pada PIPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Nur, M. Abubakar. (2005). Konflik dan Kekerasan Antaretnik di Malifut Maluku Utara. Tesis Magister pada Universitas Gajah Mada: tidak diterbitkan. Ritiauw, Samuel. (2008). Peranan Kepemimpinan Masyarakat dalam

Penyelesaian Konflik Sosial di Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah Tahun 1999. Tesis Magister pada PIPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Supardan, D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental terhadap Siswa Sekolah Menengah Umum di Kota Bandung). Disertasi Doktor pada PIPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Wiriaatmadja, Rochiati. (1992). Peranan Pengajaran Sejaral Nasional Imdonesia dalam Pembentukan Identitas Nasional. Disertasi Doktor pada PIPS IKIP Bandung : tidak diterbitkan.

Yusuf, Jusan. (2001). Konflik Maluku Utara (Kasus Konflik Antarkelompok di Ternate). Tesis Magister pada Universitas Hasanuddin Makassar: tidak diterbitkan.

Makalah dan Jurnal :

Amri, Yudatmi. (2003). Kepemimpinan; Lokakatya Kepemimpinan : PKK Provinsi Jambi.

Dinuth, Alex. (2002). Penyelesaian Konflik Maluku. Harian Umum Sinar Harapan.

Huliselan, M. (2002). Krisis Kebudayaan, Konflik Dan Kekerasan. “ Laporan Penelitian “ Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku : Ambon. Kanna, Patrus. (2001). Konflik Sosial Antar Etnis Di Kota Makasar. “ Laporaan


(6)

Stevart, Guy.W. (1974). Konflict, Social Justice and Neutrality: a Critique and an Alternative. Journal of Community Development Society, 5, (1).

Sumber dari Internet :

Widodo, S. (2009). Proses-proses Perubahan Sosial; Perubahan Stratifikasi dan Struktur Sosial. [Online]. Tersedia:http/ /www.attachment:/1/default.htm [1 Pebruari 2009].

http://yankoer.multiply.com/journal/item/50/Membaca_Pergeseran_Nilai_Masyar akat