MODEL PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA: Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut.

(1)

MODEL PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

(Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pengembangan Kurikulum

Promovendus:

AHSAN HASBULLAH

NIM : 0800830

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM S3

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013


(2)

(3)

Ahsan Hasbullah (2013). Model Pembelajaran Kemandirian untuk Meningkatkan Hasil

Belajar Siswa (Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut).

Disertasi pada Program Studi Pengembangan Kurikulum SPs Universitas Pendidikan Indonesia.

Penelitian ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah masih rendah. Hal ini disebabkan pembelajaran yang dilakukan selama ini lebih berorientasi pada hafalan dan nilai akhir bukan pada proses, padahal paradigma pembelajaran telah berubah dari pembelajaran yang menuntut hasil kepada pembelajaran yang menuntut proses dan hasil. Kemandirian belajar adalah aspek kepribadian yang secara teoretik seharusnya telah dimiliki siswa Madrasah Aliyah. Penelitian ini mencoba mencarikan solusi bagi pembelajaran fiqh melalui pengembangan model pembelajaran yang menitikberatkan pada peningkatan kemandirian belajar. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan dan mengembangkan model pembelajaran untuk meningkatkan kemandirian belajar. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut; (1) Menemukan proses pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan guru mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut, (2) Menghasilkan model pembelajaran kemandirian yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut, (3) Memperoleh data empiris tentang efektivitas model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

research and development (R &D). Secara garis besar tahapan penelitian ini meliputi; (1)

Studi pendahuluan, (2) Pengembangan Model, dan (3) Uji validasi. Pengujian model dilakukan dengan cara eksperimen dalam bentuk desain kuasi eksperimen dengan rancangan

pretest-posttest control group design. Pengujian statistik menggunakan uji t diterapkan untuk

membandingkan hasil belajar antara pretest dan posttest dalam kelompok eksperimen (KE), serta membandingkan hasil belajar antara kelompok eksperimen (KE) dengan kelompok kontrol (KK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan ini ternyata lebih efektif dari model pembelajaran yang selama ini digunakan.

Efektivitas penerapan model terhadap peningkatan kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran fiqh diuji melalui uji validasi. Berdasarkan hasil pretest diketahui bahwa hasil yang diperoleh antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak jauh berbeda dan ini menunjukkan bahwa siswa mempunyai kemampuan yang tidak jauh berbeda. Setelah diberikan perlakuan (treatment) dan diuji melalui posttest ternyata ada perbedaan yang signifikan di antara kedua kelompok itu. Kelompok eksperimen secara signifikan mampu menunjukkan hasil belajar yang optimal daripada kelompok kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan mampu meningkatkan proses dan hasil pembelajaran fiqh. Dari segi proses pembelajaran, implementasi model ini dapat meningkatkan kinerja guru, yaitu; waktu pembelajaran lebih efektif, pembelajaran lebih terkonsentrasi, dan aktivitas pembelajaran lebih terkontrol. Sedangkan dari segi hasil pembelajaran, terbukti dengan perolehan hasil belajar (posttest) kelompok eksperiman (KE) pada uji validasi lebih tinggi daripada perolehan hasil belajar (posttest) kelompok kontrol (KK). Temuan ini menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan.


(4)

Ahsan Hasbullah (2013). The Instructional Model to Enhance Students’ Self Learning (A Study on the Subject of Fiqh at Islamic Senior High Schools in Garut). Doctoral Dissertation at the Departement of Curriculum Development, the Postgraduate School of the Indonesian University of Education.

The research is motivated by the reality of that self learning in Fiqh instruction among the students of Islamic Senior High Schools is still far from the expectation. This is because of the instruction carried out so far is more oriented to instruction of fiqh products that; are not rote-oriented instruction process which emphasizes learning about why and how the products of fiqh there be.

Self learning is an aspect of personality that is theoretically supposed to have by students at the age when they are in Madrasah Aliyah. This study attempted to find solutions for learning fiqh through the development of a model of learning that focuses on improving learning independence. This study aims to produce and develop a learning model for improving learning independence. The purposes of this study was follows: (1) To find the process for learning fiqh which has been done by fiqh teacher at Madrasah Aliyah in Garut regency; (2) To generate models of learning that can improve students learning independence in fiqh subjects at Madrasah Aliyah in Garut regency; (3) To obtain empirical data on the effectiveness of the developed learning model in improving student learning independence on the subjects of fiqh at Madrasah Aliyah in Garut regency. To achieve these goals, the study was conducted by using an approach of research and development (R & D). For the most part, the research stages included: (1) Preliminary study, (2) Development Model, and (3) Test validation. Testing was done by experimental models in the form of quasi-experimental design with pretest-pretest control group design. Statistical testing using a test were applied to compare learning outcomes between pretest and posttest in the experimental group (EG), and to compare learning outcomes between the experimental group (EG) and the control group (CG). The results showed that the learning model was more effective than learning model that had been used.

The effectiveness of applying the model to increase student independence in learning fiqh was tested through validation testing. Based on the results of the pretest it was known that the results obtained between the experimental group and the control group was not much different and it shows that students have the skills that were not much different. After given treatment and test through the posttest, there was a significant difference between the two groups. The experimental group was significantly able to demonstrate the optimal learning outcomes than the control group. Thus, these results indicate that the developed learning model is able to improve the process and outcomes of learning fiqh. In terms of the learning process, the implementation of this model can improve the performance of teachers, among others: more effective learning time, learning was more concentrated, and more controlled learning activities. In terms of learning outcomes, as evidenced by the acquisition of learning outcomes (posttest), the experimental group (EG) in the validation test was higher than the acquisition of learning outcomes (posttest) control group (CG). This study shows that the developed learning model is very effective to increase the independence of student learning than students who studied the learning model that had been used.


(5)

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……….……….………. i

LEMBAR PERNYATAAN ………….……….………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. iv

ABSTRAK ………...……….. x

DAFTAR ISI ………. xii

DAFTAR BAGAN ……… xvi

DAFTAR TABEL ………. xvii

DAFTAR GAMBAR ………. xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….………. 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 8

1. Identifikasi Masalah ... 8

2. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ……….……... 12

D. Manfaat Penelitian ………. 13

E. Paradigma Penelitian ……….. 14

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Hakekat Pembelajaran ………….……….. 20

1. Pengertian Pembelajaran ….……… 20

2. Teori Pembelajaran ………. 27

3. Ciri-ciri kemandirian belajar ……….. 69

4. Hasil Pembelajaran ... 40

5. Model Pembelajaran ... 45

B. Kemandirian Belajar ………. 54

1. Pengertian ………... 54

2. Landasan filosfis ………. 58

3. Ciri-ciri Kemandirian belajar ………. 69

4. Sumber dan Dimensi Kemandirian belajar ………. 71 Bentuk dan Karakteristik Kemandirian belajar ………...


(6)

Belajar Mandiri Sebagai Strategi Belajar ………

7. Pengembangan belajar mandiri ………... 75

C. Pengembangan Kurikulum Fiqh ………..……… 80

1. Kurikulum ……….……….. 80

a. Konsep Kurikulum ……… 80

b. Pengembangan Kurikulum ……… 82

c. Komponen Kurikulum ………..……… 86

d. Implementasi kurikulum …………..……… 89

2. Mata Pelajaran Fiqh ………... 92

a. Pengertian ……… 92

b. Tujuan ……….………. 97

c. Materi Fiqh bagi Siswa Madrasah Aliyah ……….. 98

d. Prinsip Dasar Pengembangan Materi Fiqh di Madrasah Aliyah ……….……… 100

e. Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Fiqh Madrasah Aliyah ………. 102

D. Pendidikan Madrasah Aliyah ……… 105

1. Hakekat Madrasah Aliyah ………..………… 105

2. Tujuan Pendidikan Madrasah Aliyah ……….. 109

3. Kurikulum Madrasah Aliyah ………..…… 110

4. Kompetensi Siswa Madrasah Aliyah ………. 117

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ………..……… 119

BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian ……… 122

B. Lokasi dan Subyek Penelitian ……….……… 126

C. Definisi Operasional ……… 128

D. Teknik Pengumpulan Data ……….…..……… 132

E. Analisa Data ……… 134

F. Prosedur Penelitian ……… 135

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 140


(7)

………..…….……

a. Tujuan dan Fungsi Pembelajaran Fiqh ………. 141

b. Rencana Pembelajaran ……… 141

c. Kinerja Guru ... 144

d. Aktivitas Belajar Siswa ... 147

e. Kondisi Lingkungan, Sarana, dan Fasilitas ….……. 149

2. Hasil Pengembangan Model Pembelajaran …………... 151

a. Model Pembelajaran yang dikembangkan …..……. 151

b. Langkah-langkah pengembangan model ………….. 162

c. Uji Coba Model Pembelajaran ……….……… 170

1) Uji coba terbatas ………..…… 170

2) Uji coba luas ………. 192

3. Hasil Uji Validasi Model Pembelajaran ….……… 199

4. Bentuk Akhir Model Pembelajaran ……… 220

B. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 221

1. Hasil Studi Pendahuluan ……… 221

2. Pengembangan Model Pembelajaran ………. 225

3. Dampak Penerapan Model terhadap Kinerja Guru ….… 241 4. Interaksi Model ………..……… 242

5. Faktor Pendukung dan Penghambat ……… 243

C. Temuan Hasil Penelitian ……….……… 248

1. Prinsip-prinsip pembelajaran mandiri fiqh …..……….. 248

2. Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran mandiri fiqh ……….. 256

3. Syarat-syarat Implementasi model pembelajaran mandiri fiqh ……… 257

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan ……….. 268

B. Implikasi ………... 270

C. Rekomendasi ………..……….. 274

DAFTAR PUSTAKA ………... 276


(8)

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1.1 Paradigma Penelitian ……… 19 Bagan 2.1: Spektrum Sistem Belajar Individual ……… 64 Bagan 3.1 Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan 124 Bagan 3.2 Langkah-Langkah Penelitian ... 139 Bagan 4.1 Model pembelajaran yang dikembangkan ……… 160 Bagan 4.2 Grafik Perolehan Skor Test Hasil Belajar Siswa 176 Bagan 4.3 Grafik Skor Rata-Rata Test Hasil Belajar Siswa ……… 179 Bagan 4.4 Grafik Perbedaan Hasil Postest 1 dengan Posttest 2 181 Bagan 4.5 Grafik Perbedaan Hasil Postest 2 dengan Posttest 3 183 Bagan 4.6 Grafik Perbedaan Hasil Postest 3 dengan Posttest 4 184 Bagan 4.7 Grafik Perbedaan Hasil Postest 4 dengan Posttest 5 186 Bagan 4.8 Desain Pembelajaran Hasil Revisi Pada Uji Coba Terbatas 191 Bagan 4.9 Grafik Skor rata-rata Pretest dan Posttest Madrasah “A” 195 Bagan 4.10 Grafik Skor Rata-rata Pretest dan Posttest Madrasah “B” 195 Bagan 4.11 Grafik Skor rata-rata Pretest dan Posttest Madrasah “C” 196 Bagan 4.12 Grafik Skor Pretest Kelompok Eksperimen (KE) 205 Bagan 4.12 Grafik Skor Posttest Kelompok Kontrol dan Skor 208 Bagan 4.13 Grafik Skor Posttest Kelompok Kontrol 2 211 Bagan 4.14 Grafik Skor Posttest Kelompok Kontrol (KK) 3 216 Bagan 4.15 Model akhir Model Pembelajaran yang Dikembangkan 219


(9)

Halaman Tabel 2.1 Revisi Taksonomi Bloom ... 41 Tabel 2.2 Perbandingan Taksonomi Bloom dan Gagne ……… 44 Tabel 2.3. Model-Model Pembelajaran Rumpun Pemrosesan Informasi 51 Tabel 2.4. Model-Model Pembelajaran Personal (Pribadi) ……… 52 Tabel 2.5. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial ……… 53 Tabel 2.6. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku ……… 54 Tabel 2.7 : Understanding the common essential learning ……… 65 Tabel 2.8 : The table below summarises ……… 66 Tabel 2.9 Standar Kompetensi pada Mata Pelajaran Fiqh MA 102 Tabel 3.1 Lokasi dan Subyek Penelitian ... 127 Tabel 3.2 Materi Fiqh MA Semester 1 ……… 137 Tabel 4.01 Topik Mata pelajaran Fiqh Kelas X Semester 1 ……… . 164 Tabel 4.02 Topik Fiqh dan Alokasi Waktu Uji Coba Model ……… 166 Tabel 4.03Analisis Topik Fiqh dan Prosedur Pembelajarannya … 167 Tabel 4.04 Hasil Belajar Siswa pada Uji Coba Terbatas ……… 174 Tabel 4.05 Hasil Pretest Siswa Sebelum Uji Coba ……… 177 Tabel 4.06 Hasil Test Evaluasi Belajar (Posttest) Siswa ……… 178 Tabel 4.07 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 1 dan Posttest 2 180 Tabel 4.08 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 2 dan Posttest 3 181 Tabel 4.09 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 3 dan Posttest 4 183 Tabel 4.10 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 4 dan Posttest 5 185 Tabel 4.11 Rata-rata Hasil Belajar Siswa Madrasah Kategori A, B dan C 194 Tabel 4.12 Skor Rata-Rata Kemandirian belajar dan Tes Hasil … 197 Tabel 4.13 Hasil Test Evaluasi Belajar Uji Validasi ……… …… 201 Tabel 4.14 Hasil Test Evaluasi Belajar Uji Validasi Kelompok Kontrol 203

Tabel 4.15 Hasil Test Evaluasi Belajar Uji Validasi Skor Maksimal, 204 Tabel 4.16 Hasil Uji t Skor Pretest Kelompok Eksperimen (KE) …. 204 Tabel 4.17 Hasil Uji t Skor Posttest Kelompok Eksperimen (KE) 206 Tabel 4.18 Hasil Uji t Perolehan Skor Posttest 1 ……… 207


(10)

Tabel 4.20 Frekuensi Hasil Belajar Fiqh Kelompok Eksperimen 2 209 Tabel 4.21 Hasil Uji t Perolehan Posttest 2 antara (KK) ……… 210 Tabel 4.22 Frekuensi Hasil Belajar Fiqh Kelompok Eksperimen 2 211 Tabel 4.23 Frekuensi Hasil Belajar Fiqh Kelompok Eksperimen 3 212 Tabel 4.24 Frekuensi Hasil Belajar (Posttest 1) Fiqh Siswa (KK) 213 Tabel 4.25 Frekuensi Hasil Belajar (Posttest 2) Fiqh Siswa (KK) 214 Tabel 4.26 Frekuensi Hasil Belajar (Posttest 3) Fiqh Siswa (KK) 214 Tabel 4.27 Hasil Uji t Perolehan Skor Posttest 3 ……… 215


(11)

Halaman Gambar 1.1 Model Sistem Pembelajaran Sederhana ... 11 Gambar 2.1 Revisi Taksonomi Bloom ……… 43 Gambar 2.2 : Sistem Kurikulum ……… 88 Gambar 4.1 Grafik Skor rata-rata Pretest dan Posttest Madrasah “C” 196


(12)

Halaman

Lampiran 1 Pedoman Wawancara ………. 288

Lampiran 2 Instrumen Penelitian Untuk Guru ……….……… 290 Lampiran 3 Instrumen Penelitian Untuk Siswa ………... 298 Lampiran 4 Instrumen Penelitian Untuk Siswa (Validasi) …...……. 305 Lampiran 5 Standar Kompetensi Lulusan Madrasah Aliyah ………. 307 Lampiran 6 Uji coba 1 –Uji coba 5 ………..…. 312


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Aliyah bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan demokratis, menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos budaya kerja, dapat memasuki dunia kerja dan dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut (Sisdiknas, 2003:60). Di sisi lain tujuan pendidikan agama Islam adalah terkait dengan pengembangan cipta, untuk memenuhi kebutuhan hidup material dan kecerdasan sehingga mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam rangka menghasilkan suatu kebenaran.

Implementasi tujuan tersebut, di Madrasah Aliyah dijabarkan dalam bentuk mata pelajaran keagamaan yang terdiri dari mata pelajaran fiqh, mata pelajaran

Qur’an-Hadits, mata pelajaran Aqidah Akhlak dan mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Salah satu mata pelajaran yang berkenaan dengan ibadah dan muamalah yaitu mata pelajaran fiqh.

Mata pelajaran Fiqh di MA berusaha mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian fiqh baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ushul fiqh serta menggali tujuan dan hikmahnya, sebagai persiapan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan untuk hidup bermasyarakat (Depag, 2006: 13). Secara substansial mata pelajaran Fiqh memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada siswa untuk mempraktekkan dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya ataupun lingkungannya.

Selaras dengan pernyataan di atas, mata pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah bertujuan untuk: (1) mengetahui dan memahami prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tata cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek ibadah


(14)

maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial; (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan dengan lingkungannya; (3) mengenal, memahami, dan menghayati terhadap sumber hukum Islam dengan memanfaatkan ushul fiqh sebagai metode penetapan dan pengembangan hukum Islam dari sumbernya; (4) menerapkan kaidah-kaidah dan dalil-dalil syara’ dalam rangka melahirkan hukum Islam yang diambil dari dalil-dalilnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Depag, 2006:14).

Fiqh adalah salah satu aspek dari Pendidikan Agama Islam yang memiliki makna strategis dan fungsional bagi kehidupan sehari-hari manusia muslim dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu fiqh perlu dibelajarkan kepada siswa dengan pendekatan yang efektif. Sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam (PAI), pendekatan pembelajaran fiqh yang digunakan sama dengan pendekatan pembelajaran PAI pada umumnya, yakni pendekatan keimanan, pengamalan, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan (Puskur, 2003: 13).

Pendekatan keimanan dalam pembelajaran fiqh digunakan karena fiqh adalah pemahaman hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al -Hadits yang diyakini bahwa keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah SWT. Keyakinan kepada Allah SWT adalah langkah awal dan mendasar serta menjadi fondasi dalam memahami fiqh. Pendekatan pengamalan digunakan dalam pembelajaran fiqh, karena fiqh sendiri adalah ilmu tentang amaliah/perbuatan yang menekankan demonstrasi perbuatan. Pendekatan pembiasaan perlu diberlakukan pada siswa agar mereka terbiasa dengan perilaku fiqhnya. Pendekatan rasional digunakan dalam pembelajaran fiqh yang bersifat tafkiriyah-istinbathiyah bahkan pendekatan ini dapat diklaim sebagai pendekatan yang sangat tepat untuk memahami fiqh dengan sebenarnya. Fiqh bukanlah sebatas produk hukum, tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa fiqh dipahami sebagai sebuah proses menghasilkan produk hukum. Pendekatan emosional dalam


(15)

pembelajaran fiqh digunakan untuk menggugah siswa pada pemahaman bahwa berfiqh tidak hanya berarti pelaksanaan formalitas produk-produk hukum Islam tetapi harus pula menginsafi bahwa pelaksanaan formalitas produk hukum Islam akan lebih bermakna bila dibarengi dengan etika, estetika dan kemurnian hati. Pendekatan fungsional dalam pembelajaran fiqh digunakan didasarkankan pada pemikiran bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum perbuatan muslim. Pembelajaran fiqh diberikan dengan pertimbangan kepraktisan, kemanfaatan, dan kebutuhan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan keteladanan digunakan dalam pembelajaran fiqh karena fiqh pada dasarnya adalah ilmu tentang perbuatan formal mukallaf yang menghendaki untuk dilaksanakan oleh setiap mukallaf. Pelaksanaan fiqh dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan contoh, pemodelan atau keteladanan dari orang-orang yang dianggap lebih dewasa, yakni guru fiqh di madrasah. Guru fiqh harus mampu menunjukkan dirinya sebagai contoh, model atau suri tauladan bagi siswa. Apa yang diperbuat oleh guru adalah implementasi fiqh dalam kehidupan sehari-harinya sehingga siswa mau mengambil teladan darinya.

Pendekatan-pendekatan di atas adalah pendekatan yang secara langsung terkait dengan karakteristik materi fiqh. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa guru-guru fiqh Madrasah Aliyah secara umum telah melakukan pembelajaran fiqh dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena mereka adalah lulusan sarjana ilmu agama Islam yang secara substansial menguasai materi-materi fiqh. Pendekatan keimanan, pengamalan, pembiasaan, emosional, fungsional, dan keteladanan mendapat perhatian lebih oleh guru-guru fiqh untuk digunakan dalam pembelajaran fiqh. Pendekatan-pendekatan ini diakui mereka dapat membentuk kepribadian siswa yang baik sebagai muslim. Namun pada sisi yang lain, pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu mengantarkan siswa menjadi pribadi yang memiliki kemampuan bertindak secara rasional dan logis. Hal ini disebabkan pendekatan-pendekatan tersebut tidak mengembangkan aspek kemandirian. Kemandirian merupakan tuntutan kurikulum fiqh di Madrasah Aliyah yang harus dibelajarkan kepada siswa.


(16)

Atas dasar itu semua, maka pembelajaran fiqh membutuhkan sebuah proses pembelajaran yang komprehensif, aktif, kreatif, konstruktif dan inovatif yang dikembangkan dengan landasan filosofis, psikologis, sosio-kultural dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk mencapai keberhasilan yang maksimal. Pembelajaran diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa memecahkan masalah-masalah fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang humanistis dan konstruktifistik sangat diharapkan bisa diimplementasikan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Guru sebagai fasilitator utama dalam pembelajaran memiliki kewajiban untuk mengarahkan pembelajaran ke arah kemandirian.

Kemandirian dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman siswa yang bermakna. Pengalaman tersebut dapat berupa pendekatan keimanan, pengamalan, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan yang dilakukan guru dalam pembelajaran.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah lebih mengarah kepada penghafalan ilmu fiqh, misalnya apa pengertian, macam, jenis, rukun, hukumnya shalat, tidak diarahkan kepada bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajarannya ditujukan pada penguasaan fiqh sebagai ilmu, bukan kepada tuntutan untuk mengamalkannya, sehingga hanya akan menghasilkan kompilasi hafalan, bukan pemahaman terhadap proses pelaksanaannya.

Model pembelajarannya pun cenderung menggunakan model ekspositori dengan menggunakan metode ceramah, sedikit menggunakan metode diskusi atau metode lainnya yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif membangun pengetahuan fiqhnya. Pembelajaran dianggap berhasil jika siswa secara ekspositoris mampu menyampaikan hafalannya tentang definisi, pengertian atau konsep tanpa didasari oleh aspek afektifnya.

Dari paparan di atas diketahui bahwa pembelajaran fiqh masih menekankan kepada hasil/produk bukan pada proses pembelajaran. Pembelajaran fiqh dengan tekanan pada produk, berarti membelajarkan siswa sebatas pada pengetahuan tentang ilmu-ilmu fiqh bukan pada bagaimana ilmu itu dipraktekan. Efek


(17)

negatifnya adalah, siswa akan menjadi orang yang hanya mengekor dalam melaksanakan fiqh, dan dapat menjadi orang yang fanatik buta dalam berfiqh. Mereka tidak mandiri. Ketidakmandirian ini disebabkan karena pembelajaran fiqh yang bersifat ekspositoris atas ilmu-ilmu fiqh bukan pembelajaran yang didasarkan pada pemahaman proses serta pelaksanaannya. Hasil wawancara prasurvey dengan guru-guru fiqh menunjukkan bahwa pembelajaran fiqh cenderung ekspositoris, tidak mengeksplor kemandirian siswa. Diakui oleh guru-guru, bahwa kemandirian siswa dalam pembelajaran fiqh masih rendah. Wawancara secara acak dengan beberapa siswa dari kelas dan Madrasah Aliyah yang berbeda menunjukkan bahwa mereka mengalami kesulitan menjawab ketika diberikan pertanyaan problematik tentang persoalan fiqh. Diakuinya bahwa kesulitan yang dialami lebih disebabkan karena kebiasaan pembelajaran mereka yang cenderung informatif. Hal ini mengindikasikan bahwa kemandirian yang dimilikinya masih lemah.

Dengan demikian, persoalan mendasar mengenai pembelajaran fiqh adalah bahwa siswa kurang atau bahkan tidak dikembangkan kemandiriannya. Padahal kemandirian adalah bagian penting dalam pembelajaran fiqh. Ketidakmandirian siswa akan meyebabkan dampak negatif bagi pemahaman dan penghayatan mereka terhadap fiqh. Dampak negatif itu diindikasikan dengan pemahaman fiqh yang sempit dan pengamalan fiqh yang bersifat taklid buta. Taklid buta dapat menimbulkan fanatisme bodoh yang membabi buta. Dampak negatif lainnya adalah, siswa kurang atau tidak kuat dalam memegang prinsip-prinsip syariah.

Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun

orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin


(18)

sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi kendala bagi berkembangnya kemandirian siswa yang terkait dengan praktek pendidikan yang berlangsung antara lain: (1) sistem pendidikan kurang menempatkan IQ sebagai ukuran keberhasilan; (2) praktek pendidikan lebih berorientasi pada ijazah dari pada penguasaan ilmu; (3) motivasi membaca sebagai salah satu perwujudan independent learner rendah; (4) motivasi membaca siswa rendah; (5) guru mengajar hanya sekadar memenuhi kewajiban beban jam mengajar; (6) kegiatan belajar mengajar masih berorientasi transfer of knowledge yang tidak konstruktivistik; (7) model pembelajaran yang digunakan guru masih pasif artinya tidak aktif, kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan.

Lalu lemahnya sumber daya guru (man behind the gun) dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya atau lemahnya kinerja mereka dalam pembimbingan siswa, adalah faktor lain yang diasumsikan sebagai persoalan yang menyebabkan lemahnya pembelajaran fiqh. Kompetensi dan profesionalisme guru fiqh seringkali dipandang sebagai faktor lain yang menyebabkan rendahnya kemandirian dalam pembelajaran fiqh. Ketika guru sendiri sebagai pembelajar tidak atau kurang kompeten dan kurang professional dalam pembelajaran, maka sulit diharapkan siswa mampu meraih keberhasilan akademis itu. Dari sudut kualifikasi akademik, menurut Firdaus, hasil penelitian menunjukkan kualitas lulusan madrasah 63 persen dipengaruhi oleh kualitas guru,


(19)

bukan manajemen ataupun fasilitas. Saat ini, 54 persen dari 628 ribu guru madrasah belum memenuhi kualifikasi minimal guru, yakni pendidikan S-1 atau D-4. Serta sesuai antara kualifikasi bidang studi yang pernah dipelajarinya dengan mata pelajaran yang diajarkan (http://batakpos-online.com).

Tingkat kompetensi guru yang rendah bukanlah variabel tersendiri yang independen, ia berkait dengan pertanyaan apakah guru sebagai pembelajar mendapatkan pendidikan, pembinaan dan pelatihan metodologis ataupun materi pembelajaran dari pengawas pendidikan yang bertugas dan berkewajiban mengevaluasi dan mensupervisi mereka. Realitas objektif di lapangan membuktikan bahwa pengawas pendidikan jarang sekali bahkan tidak memberikan bimbingan dan pelatihan kepada guru tentang menciptakan pembelajaran Fiqh yang baik dan konstruktif. Mereka cenderung melakukan

aktivitas kunjungan “datang, lihat-lihat, dan pulang”. Guru biasanya hanya diberikan pengawasan administratif. Problem-problem pembelajaran sangat jarang mendapatkan dukungan solusi dari mereka.

Di lihat dari perspektif analisis sistem, bahwa pembelajaran tidak lepas dari aspek input, instrumental input, environmental input, dan proses yang dilaksanakan (Djamaroh, 2000: 142). Aspek-aspek ini dalam banyak hal mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Kondisi objektif raw input Madrasah Aliyah, yakni siswa yang mengikuti pendidikan di dalamnya, sebagian besar adalah siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah menengah negeri (SMAN/SMKN). Salah satu penyebabnya adalah karena perolehan nilai UN yang berada di bawah standar masuk ke sekolah-sekolah negeri.

Hal ini membuktikan bahwa mutu raw input yang memasuki Madrasah Aliyah dapat dikatakan sebagai lulusan SMP/MTs/Paket B yang memiliki keterbatasan kualitas. Di samping itu, raw input Madrasah Aliyah banyak yang berasal dari lulusan SMP yang kurang memiliki kompetensi mata pelajaran keagamaan. Kondisi-kondisi ini secara teoretik diasumsikan dapat menyebabkan terjadinya kesulitan tersendiri bagi mereka dalam pembelajaran fiqh. Dengan demikian problem pembelajaran fiqh dapat disebabkan oleh persoalan raw input. Masukan mentah atau siswa (raw input) dengan segala karakteristiknya


(20)

merupakan bahan baku yang perlu diolah, dalam hal ini diberi pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar (teaching learning process). Dengan demikian, di dalam proses belajar-mengajar fiqh itu turut berpengaruh sejumlah faktor lingkungan yang merupakan masukan dari lingkungan (environmental input) dan sejumlah faktor instrumental (instrumental input) dengan disengaja dirancang dan dimanipulasikan guna menunjang tercapainya keluaran (output) yang dikehendaki. Berbagai faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan keluaran tertentu.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa siswa Madrasah Aliyah seharusnya telah memiliki kemampuan dan kemandirian dalam berpikir tingkat tinggi (formal operational stage). Namun dalam kenyatannya, kemandirian mereka masih jauh dari harapan dan perlu dibina serta dikembangkan secara serius.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan belajar di Madrasah Aliyah adalah kurangnya pemberdayaan siswa sebagai subyek belajar, yang memiliki sejumlah potensi, bakat, minat, nilai dan asumsi yang siap berkembang sebagai karakteristik individu. Untuk itu pembelajaran, perlu mengutamakan pemenuhan belajar sesuai dengan kebutuhan individu.

Belajar dapat dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang sengaja dirancang untuk kegiatan pembelajaran atau yang tersedia di lingkungan pendidikan dan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Siswa sebagai subyek belajar di Madrasah Aliyah, dituntut untuk tidak sekedar menguasai sejumlah ilmu pengetahuan (content) tapi lebih pada bagaimana ia mencari dan menguasai ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya sebagai bekal kelak dalam kehidupan masyarakat, siswa perlu untuk selalu mengembangkan diri dengan kemandirian yang diperoleh di bangku sekolah.

Pembelajaran yang dilaksanakan di madrasah merupakan implementasi kurikulum secara mikro yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembelajaran,


(21)

sementara kurikulum itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah rencana dalam sekala makro untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan yang dimaksudkan tentu memenuhi skala kebutuhan dan jenjang secara hirarkikal. Oleh karena itu pembelajaran tidak terlepas dari kurikulum, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran telah digariskan sebelumnya terlebih dahulu dalam kurikulum.

Pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-langkah tertentu agar pelaksanaannya mencapai hasil yang diharapkan. Pengaturan ini dituangkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran. Setiap pembelajaran selalu berkenaan dengan proyeksi atau perkiraan mengenai apa yang akan dilakukan. Demikian halnya dalam perencanaan pembelajaran, di dalamnya harus dilakukan proses memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pembelajaran sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif. Berdasarkan tujuan dan pertimbangan karakteristik yang ingin dicapai pembelajaran dapat dikelompokkan dalam beberapa model, yakni model sosial, pemrosesan informasi, persoanal dan sistem prilaku.

Model merupakan gambaran mental yang membantu kita untuk menjelaskan sesuatu dengan lebih jelas terhadap sesuatu yang tidak dapat dilihat atau dialami langsung (Dorin et al dalam Ella, 2004:50). Sedangkan model pembelajaran adalah ”kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Toeti S & Udin: 1994; 79).

Sementara itu Sukmadinata (2004:229), menjelaskan bahwa ”Model pembelajaran

merupakan penjabaran dari pendekatan pembelajaran, masih dapat dijabarkan lagi menjadi metode pembelajaran sehingga sifatnya lebih spesifik.

Untuk mencapai tujuan yang berorientasi pada upaya membantu mengembangkan potensi individu siswa dengan memberikan sejumlah perlakuan untuk meningkatkan attitude dan value siswa, maka model pembelajaran yang cocok adalah model personal.


(22)

Menurut Diana Lapp, dkk (1975), dalam model ini siswa menjadi pusat dari proses belajar. Model ini dilakukan dengan cara memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atau tujuannya sehingga dikenal pula bahwa model ini berorientasi pada upaya membantu siswa untuk mengembangkan potensi individunya. Salah satu model pembelajarannya adalah model personal. Model personal adalah model pembelajaran yang menekankan pada pengembangan konsep diri setiap individu. Hal ini meliputi pengembangan proses individu dan membangun serta mengorganisasikan dirinya sendiri. Model pembelajaran memfokuskan pada konsep diri yang kuat dan realistis untuk membantu membangun hubungan yang produktif dengan orang lain dan lingungannya. Model ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada pengembangan individu. Perhatian utamanya pada emosional siswa dalam mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Model ini menjadikan pribadi siswa mampu membentuk hubungan harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif. Model ini diusahakan untuk memungkinkan siswa dapat memahami keberadaan dirinya sendiri secara baik, bertanggung jawab, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Tujuan disediakannya lingkungan belajar dalam konteks model pembelajaran personal adalah untuk memfasilitasi siswa agar dapat belajar secara mandiri. Belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik siswa itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu siswa diharapkan menjadi mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa siswa mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru (mandiri). Selain itu belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dari bahan cetak, non cetak atau orang yang terlebih dahulu disiapkan, istilah


(23)

mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.

Secara makro, strategi pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem dalam pendidikan. Dalam pandangan sistem, pendidikan merupakan serangkaian komponen yang saling terintegrasi untuk mencapai tujuan pendidikan. Sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien. Fungsi-fungsi yang saling berhubungan tersebut merupakan komponen dalam pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Sukmadinata (2003:9), bahwa ”Beberapa komponen atau faktor yang terdapat dalam sistem pembelajaran dikelompokkan dalam komponen input, process dan output. Oleh karena itu implementasi pembelajaran dengan memanfaatkan segala potensi pembelajaran sebagai pengembangan sistem dalam pembelajaran, perlu memperhatikan komponen lain agar pengintegrasiannya dapat menyatu secara sistemik untuk mencapai tujuan.

Model sistem sederhana tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut ini :

Gambar 1.1

Model Sistem Pembelajaran Sederhana Umpan Balik

Pada Input

Proses Transformasi

Input Output

Umpan Balik Pada Input


(24)

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini dirumuskan dengan mengarah pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengembangan model pembelajaran kemandirian untuk meningkatkan hasil belajar siswa di Madrasah Aliyah khususnya pada mata pelajaran Fiqh. Untuk itu, masalah tersebut

dirumuskan dalam pertanyaan pokok yaitu : ”Model pembelajaran kemandirian yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa ?”

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian

ini adalah: ”Model pembelajaran kemandirian seperti apakah yang tepat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah ?”

Pendalaman terhadap permasalahan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pertanyaan sebagai berikut :

a) Bagaimana kondisi obyektif pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan di Madrasah Aliyah ?

b) Model pembelajaran kemandirian bagaimana yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah ?

c) Bagaimana efektivitas model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran fiqh yang digunakan selama ini di Madrasah Aliyah ?

d) Apa faktor pendukung dan penghambat bagi model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dalam meningkatkan has i l b el aj ar s i s wa dalam pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah ?

C. Tujuan Penelitian;

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran fiqh yang dirancang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran fiqh dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kualitas implementasi


(25)

kurikulum fiqh sehingga dapat meningkatkan mutu kompetensi lulusan Madrasah Aliyah.

Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Menemukan kondisi obyektif pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan di Madrasah Aliyah.

2) Menghasilkan Model pembelajaran kemandirian yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah.

3) Memperoleh data empiris tentang efektivitas model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dibandingkan dengan model pembelajaran fiqh yang digunakan guru selama ini di Madrasah Aliyah. 4) Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat bagi model

pembelajaran kem andiri an yang dikembangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis;

Ditemukannya model pembelajaran kemandirian dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa serta diharapkan penelitian ini menghasilkan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang dapat dipergunakan dalam mengembangkan proses kegiatan belajar mengajar Fiqh, sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa.

2. Manfaat Praktis ;

a. Menghasilkan model pembelajaran yang dapat digunakan oleh siswa atau Madrasah Aliyah dan para guru fiqh, terutama yang berkaitan dengan; desain perencanaan pembelajaran, kegiatan implementasi pembelajaran dan pelaksanaan evaluasi.

b. Memberi masukan bagi pihak pembuat kebijakan untuk membina dan melatih para guru dalam mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang lebih berorientasi kepada kemandirian.


(26)

c. Memberi masukan bagi peneliti lanjutan untuk melakukan uji coba pengembangan model pembelajaran dengan melibatkan subjek penelitian pada tingkat sekolah dasar dan menengah.

F. Paradigma Penelitian

Berdasarkan apa yang dikemukakan di dalam latar belakang masalah, tampak bahwa masalah yang dihadapi dalam pembelajaran fiqh adalah masih lemahnya dalam implementasinya yang disebabkan oleh proses pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemandirian belajar sebagai akibat dari kurangnya pemahaman metodologis guru membelajarkan fiqh kepada siswa.

Paradigma penelitian yang dikembangkan difokuskan pada tiga kegiatan utama yaitu studi pendahuluan, implementasi dan efektivitas. Penelitian pendahuluan atau prasurvey merupakan kegiatan penelitian yang bersifat deskriptif dan tidak untuk menguji hipotesis. Melalui penelitian prasurvey ini diungkap jawaban pertanyaan apa, bagaimana, berapa, dan bukan pertanyaan mengapa. Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di kelas untuk merefleksi terhadap bagaimana proses pembelajaran Fiqh yang biasa dilakukan. Aspek-aspek yang diteliti pada tahap prasurvey ini adalah (1) desain dan penerapan pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru, (2) kemampuan dan aktivitas belajar siswa, (3) kemampuan dan kinerja guru, (4) kondisi dan pemanfaatan sarana, fasilitas dan lingkungan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan mengacu kepada landasan-landasan teori hasil kajian pustaka maka disusun draf awal model pembelajaran kemandirian dalam rangka meningkatkan hasil belajar fiqh yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Draf awal direview melalui diskusi bersama para pembimbing dan teman-teman sejurusan sehingga menghasilkan draf model yang kemudian diuji kelayakan/ kepatutan oleh ahli (pakar) pembelajaran dan praktisi pembelajaran fiqh. Draf model yang dikembangkan dalam penelitian ini diujicobakan berulang-ulang dalam bentuk


(27)

uji coba terbatas dan luas sampai ditemukan model yang sesuai dengan kondisi lapangan. Sejalan dengan pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan, hasil dari pengamatan ini digunakan sebagai bahan untuk merevisi model yang akan diujicobakan pada tahap berikutnya. Untuk mengetahui hasil belajar setiap selesai uji coba diberikan posttest.

Dalam pengujian model, dilakukan uji validasi terhadap model pembelajaran yang telah dikembangkan tersebut. Aspek-aspek yang diteliti dalam tahap ini adalah (1) dampak penerapan model terhadap kinerja guru, dan (2) dampak penerapan model terhadap kemampuan belajar siswa.

Fiqh sebagai sebuah studi Islam sangat menghendaki pembelajaranya dengan menggunakan model pembelajaran kemandirian yang mampu menghasilkan prestasi belajar siswa. Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini

dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah

hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri.

Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta harus mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.


(28)

Pembelajaran untuk mengembangkan kemandirian perlu mendayagunakan komponen-komponen sistem yang padu dan supportive. Dalam pendekatan sistem, pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena satu sama lain saling mendukung. Komponen-komponen tersebut dapat menunjang kualitas pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2001: 77) pembelajaran sebagai suatu sistem artinya suatu keseluruhan dari komponen-komponen yang berinteraksi dan berinterelasi antara satu sama lain dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Komponen-komponennya itu adalah siswa, guru, tujuan, materi, metode, sarana/alat, evaluasi, dan lingkungan/konteks. Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri, namun dalam berproses pada kesatuan sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan. (Soetopo, 2005: 143).

Pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian juga perlu teori pembelajaran yang mendukung tercapainya kemampuan tersebut. Teori pembelajaran telah bergeser menempatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa yang semula dipandang sebagai objek pembelajaran bergeser sebagai subjek pembelajaran. Sebagai subjek, siswa adalah kunci dari semua pelaksanaan pembelajaran. Teori konstruktivisme Piaget (dalam Sanjaya, 2007: 227) menawarkan pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa secara dominan, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran. Pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis cocok dilandaskan pada teori konstruktivisme ini.

Pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian belajar siswa memerlukan kinerja guru yang optimal. Kompetensi dan profesionalisme sangat berperan untuk mencapai tujuan itu. Kompetensi guru itu mencakup kemampuan menguasai siswa, tujuan, metode pembelajaran, materi, cara mengevaluasi, alat pembelajaran, dan menguasai lingkungan belajar (Soetopo, 2005: 144). Peranannya pun sangat penting dalam proses belajar mangajar (1) sebagai


(29)

demonstrator, lecturer (pengajar), (2) sebagai pengelola kelas, (3) sebagai mediator dan fasilitator, dan (4) sebagai motivator (Usman, 1990:7).

Arikunto (1993: 216) berpendapat bahwa unsur-unsur atau komponen-komponen yang dapat mendukung kualitas pembelajaran, perlu diperhatikan unsur-unsur yang secara langsung berkaiatan dengan berlangsungnya proses belajar tersebut yang terdiri atas enam komponen, yaitu: guru, siswa, kurikulum, konteks, metode, dan sarana. Kalau dicermati lebih jauh, komponen kurikulum yang dipakai oleh Arikunto mengisyaratkan adanya evaluasi, karena dalam perencanaan kurikulum pasti terdapat evaluasi.

Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inquiry), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran yang inovatif dan konstruktivistik dapat menjadi solusi.

Teori pembelajaran konstruktivisme menyarankan proses pembelajaran untuk menempatkan siswa berperan dominan sebagai subjek yang mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya. Bagi konstruktivisme, pengetahuan seseorang merupakan hasil konstruksinya sendiri (Von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6), menstimulasi dan memotivasi, mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman


(30)

untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman, 2001:76), menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif sehingga siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 2009: 53).

Pembelajaran diarahkan kepada upaya membangun kemampuan siswa melakukan aktivitas deskripsi, analisis dan evaluasi (John Hilsdon, 2009: 1-9). Outcomes yang diharapkan melalui pembelajaran yang konstruktivistik-kognitivistik yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran, adalah keterampilan intelektual (intellectual skills), strategi kognitif (cognitive strategy), informasi verbal (verbal information), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap (attitudes) (Gagne, 1992: 43-48). Outcomes pembelajaran oleh Joyce (1992: 156-157) dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu instructional effects dan nurturant effects. Instructional Effects adalah dampak langsung pembelajaran, sedangkan nurturant effects adalah dampak tidak langsung dari pembelajaran (efek pengiring). Dalam penelitian ini, keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap termasuk dalam kategori instructional effects, sedangkan kemampuan otonomi diri, manajemen diri, kebebasan dan kontrol termasuk dalam kategori nurturant effects. Untuk mencapai outcomes yang diharapkan, Gagne (1992: 190-198) mengajukan sembilan peristiwa pembelajaran yang harus dilalui, yakni:

1. Gaining Attention; yaitu upaya atau cara guru untuk meraih perhatian siswa.

2. Informing learner of the objectives; memberitahukan siswa tujuan pembelajaran yang akan mereka capai/peroleh;

3. Stimulating recall of prior learning; guru biasa menyebutnya dengan appersepsi, yaitu merangsang siswa untuk mengingat pelajaran terkait sebelumnya dan menghubungkannya dengan apa yang akan dipelajari berikutnya;


(31)

5. Providing learning guidance; berikan bimbingan belajar; 6. Eliciting performance; tingkatkan kinerja;

7. Providing feed back; alias berikan umpan balik;

8. Assessing performance; ukur capaian hasil belajar mereka;

9. Enhancing retention and transfer; tingkatkan capaian hasil belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan untuk dicapai (Gagne, 1992: 190-198).

Merujuk pada pemaparan di atas, secara sederhana paradigma yang dikembangkan pada penelitian ini, dapat dapat digambarkan pada bagan 1.1 berikut ini

ANTECENDENT PROCESS INSTRUCTIONAL OUTCOMES

Bagan 1.1 Paradigma Penelitian Kurikulum

Fiqh

Model Pembelajaran Fiqh yang Dikembangkan

Sarana & Prasarana

Guru

1. Intellectual skills 2. Cognitive

strategies 3. Verbal

information 4. Motor skills 5. Attitude

Otonomi Pribadi

Manajemen Diri

Kebebasan Instructional Effects Nurturant Effects

Kemandi rian


(32)

Ahsan Hasbullah, 2013

Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

Pada bagian ini dikemukakan beberapa pembahasan, yaitu; (a) Metode Penelitian, (b) Lokasi dan subjek penelitian, (c) Definisi Operasional, (d) Teknik pengumpulan data, (e) Analisis data, dan (f) Tahapan penelitian. Pembahasannya diuraikan berikut ini.

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode research and development (R & D). Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran. Salah satu produk yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran fiqh.

Borg and Gall (1983: 775) mengidentifikasi empat langkah yang dilakukan berkaitan dengan penelitian research and development (R&D), yaitu: (1) Preliminary Research (penelitian pendahuluan), (2) Pengembangan Model dan Instrumen atau penyusunan model, (3) pengujian model, dan (4) validasi model. Keempat langkah tersebut, dirinci ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Reserch and information collecting. Tahap ini merupakan studi

pendahuluan, aktivitas yang dilakukan meliputi studi pustaka yang akan digunakan sebagai landasan produk atau model yang dikembangkan, observasi kelas, serta merancang rencana kerja penelitian dan pengembangan produk penelitian. Dalam penelitian ini, aktivitas pada tahap ini dikerjakan dalam dua bentuk kegiatan, yaitu; Pertama, melakukan kajian berbagai macam teori dan mengkaji hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan model pembelajaran. Kedua, melakukan survei awal di MAN 1, MAN 2, MAS Al-Musaddadiyah, MAS Cokroaminoto, MAS Darul Ulum, dan MAS Darul Arqam, setelah memperoleh surat izin untuk melakukan penelitian. Tujuan dari survei ini


(33)

Ahsan Hasbullah, 2013

adalah untuk mengetahui kondisi pembelajaran fiqh yang sedang berlangsung, dan memperoleh aktivitas siswa, kinerja guru, sarana dan prasarana yang tersedia, lingkungan sekolah, serta melihat kemungkinan diterapkannya model pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemandirian belajar fiqh.

2. Planning. Pada tahap ini membuat rancangan untuk merumuskan tujuan khusus yang berkaitan dengan rencana pengembangan produk, menentukan prosedur kerja, perkiraan kebutuhan biaya, waktu, biaya dan bentuk partisipasi selama penelitian, termasuk merancang uji kelayakan;

3. Development of preliminary form of product. Pada tahap ini

mengembangkan bentuk produk awal, fase ini peneliti mempersiapkan materi pelajaran yang merujuk kepada kurikulum untuk diuji cobakan, termasuk sarana/ fasilitas yang diperlukan untuk uji coba validasi, instrument, dan lain-lain;

4. Preliminary field testing and product revision. Tahap uji coba

pendahuluan. Tujuannya adalah untuk memperoleh deskripsi kelayakan/ kepatutan suatu produk.

5. Main field testing and operational product revision. Tahap ini merupakan fase uji coba luas dengan menggunakan disain penelitian eksperiman. Hasil uji coba dipakai untuk merevisi produk tersebut sampai diperoleh suatu produk yang siap untuk divalidasi.

6. Operational field testing and final product revision. Pada tahap ini produk yang dikembangkan benar-benar siap pakai. Tahap ini disebut tahap uji validasi model. Dalam penelitian ini uji validasi model dilakukan dalam bentuk kuasi eksperimen dengan rancangan sebelum dan sesudah dengan kelompok kontrol (pretest posttest control group design). Rancangan ini menggunakan dua kelompok subyek, kedua kelompok tersebut diukur dan diamati dua kali yaitu sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Kelompok yang mendapat perlakuan disebut kelompok eksperimen (treatment


(34)

Ahsan Hasbullah, 2013

group), sedangkan kelompok yang tidak mendapat perlakuan disebut kelompok kontrol.

7. Dissemination and implementation. Pada tahap ini dilakukan sosialisasi terhadap produk hasil pengembangan, dan melaporkan hasil dalam pertemuan ilmiah serta dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dengan tujuan agar model yang baru dikembangkan dapat dipakai dan diterapkan. Dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat laporan penelitian disertasi yang siap dijual dan didistribusikan.

Berdasarkan langkah-langkah Brog and Gell tersebut di atas dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan, tahap-tahap penelitian dan pengembangan ini dapat disederhanakan menjadi tiga tahap, yaitu; melakukan studi pendahuluan, pengembangan model, dan validasi model sebagaimana terlihat dalam bagan 3.1 berikut ini.

Studi Pendahuluan Pengembangan Model/ Produk Validasi Model/ Produk

Studi Kepustakaan

Survey Lapangan - Embrio Model

- Kondisi Guru - Sarana dan

Pasilitas

Model Final Hipotesis Uji Coba

Model Uji Kepatutan

Model

Eksperimen Pre Test Treatmen

Post Test

Model Teruji Draf Model


(35)

Ahsan Hasbullah, 2013

Bagan 3.1

Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan

1. Studi Pendahuluan

Ada dua kegiatan yang dilakukan dalam studi pendahuluan ini, yaitu studi kepustakaan dan survey awal. Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari dan mengkaji landasan-landasan teoretis dari model yang akan dikembangkan.

Survey awal (prasurvey) dilakukan untuk memperoleh gambaran dari gejala-gejala yang ada dan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat madrasah serta situasi-situasi lapangan lainnya. Penelitian survey awal ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menghimpun informasi, dan mengidentifikasi kondisi nyata yang merupakan pendukung atau penghambat terhadap penerapan model yang akan dikembangkan, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis. Pada fase ini dilakukan pengamatan yang berhubungan dengan kegiatan proses pembelajaran fiqh yang biasa dilakukan guru dan siswa. Aspek-aspek yang diteliti dalam survey awal ini adalah: (a) rancangan dan desain pembelajaran yang dilakukan guru, (b) aktivitas belajar siswa, (c) kinerja guru, (d) sarana, fasilitas, dan lingkungan. Hasil dari survey awal/ prasurvey ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan model pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemandirian belajar fiqh di MAN Kabupaten Garut yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.

2. Pengembangan Model

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang mengacu kepada landasan-landasan teori hasil kajian pustaka, maka disusun draf awal model pembelajaran kemandirian dalam rangka meningkatkan hasil belajar fiqh yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Draf awal direview melalui


(36)

Ahsan Hasbullah, 2013

diskusi bersama para pembimbing dan teman-teman sejurusan sehingga menghasilkan draf model yang kemudian diuji kelayakan/kepatutan oleh ahli (pakar) pembelajaran dan praktisi pembelajaran fiqh. Draf model yang dikembangkan dalam penelitian ini diujicobakan berulang-ulang sampai ditemukan model yang sesuai dengan kondisi lapangan. Sejalan dengan pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan, hasil dari pengamatan ini digunakan sebagai bahan untuk merevisi model yang akan diujicobakan pada tahap berikutnya. Untuk mengetahui hasil belajar setiap selesai uji coba diberikan posttest.

3. Validasi Model

Sebuah model dapat diterima sebagai model yang cukup memadai apabila model tersebut berhasil melewati uji validasi. Uji validasi ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas model. Validasi model dilakukan melalui eksperimen.

Dalam uji validasi terhadap model pembelajaran yang dikembangkan ini, standar yang digunakan adalah: efektivitas penerapan model kemandirian terhadap hasil belajar fiqh dan dampak penerapan model kemandirian terhadap kinerja guru.

Uji validasi dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2012/1013. Sebelum pelaksanaan eksperimen diadakan pretest, kemudian setelah model diimplementasikan diberikan posttest. Setelah selesai melakukan eksperimen dan posttest, diadakan pengolahan statistik untuk mengetahui keampuhan model yaitu dengan uji perbedaan pretest dan posttest, uji perbedaan kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Madrasah Aliyah (MA) se kabupaten Garut. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa dan guru. Siswa yang dimaksud adalah siswa yang mengikuti mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah,


(37)

Ahsan Hasbullah, 2013

sedangkan guru yang dimaksud adalah guru yang mengajar mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah.

1. Studi pendahuluan; Studi pendahuluan dilakukan di MAN 1, MAN 2, MAS Al-Musaddadiyah, MAS Cokroaminoto, MAS Darul Ulum, dan MAS Darul Arqam.

2. Pengembangan Model; Pengembangan model uji coba terbatas dilakukan

di MAN 1 Garut dan pengembangan model uji coba luas dilakukan di MAS Al-Musaddadiyah dan MAN 2 Garut.

3. Uji Validasi; Uji validasi dilakukan di MAN 2 Garut sebagai model eksperimen. Sedangkan MAS Cokroaminoto sebagai model kontrol.

Lokasi penelitian ini dapat dilihat pada tabel pada tabel 3.1 berikut ini. Tabel 3.1

Lokasi dan Subyek Penelitian

NO KEGIATAN NAMA MAN/MAS GURU SISWA

1. Studi

Pendahuluan

MAN 1 Garut 1 30

MAN 2 Garut 1 30

MAS Al-Musaddadiyah Garut

1 10

MAS Cokroaminoto Garut

1 10

MAS Darul Ulum Karangpawitan Garut

1 10

MAS Darul Arqam Garut 1 10

Jumlah 6 100

2.

Pengembangan Model a. Uji Coba

terbatas

MAN 1 Garut - 20


(38)

Ahsan Hasbullah, 2013

MAN 2 Garut - 40

3.

Uji Validasi

a. Eksperimen MAN 2 Garut - 40

b. Kontrol MAS Cokroaminoto Garut

- 40

Dari data tersebut, yang menjadi subjek penelitian adalah siswa yang berjumlah 100 orang, terdiri dari 30 orang dari MAN 1, dan 30 orang dari MAN 2 Garut, dan 10 orang dari MAS Al-Musaddadiyah, 10 orang dari MAS Cokroaminoto Garut, 10 orang dari MAS Darul Ulum Karangpawitan Garut, dan 10 orang dari MAS Darul Arqom Garut. Namun, yang dijadikan subjek pada Kelompok Eksperimen adalah 40 orang dari MAN 2 Garut, sedangkan Kelompok Kontrolnya (KK) diambil dari 40 siswa dari MAS Cokroaminoto Garut. Jumlah guru yang dijadikan subjek penelitian ini adalah 6 orang guru yang mengajar mata pelajaran fiqh.

C. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesimpangsiuran dan kesalahpahaman terhadap penelitian ini, terdapat dua istilah yang dianggap perlu dijelaskan yaitu; model pembelajaran, dan kemandirian belajar.

1. Model Pembelajaran

Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran fiqh, yakni sebuah rancangan atau pola yang digunakan untuk mendesain pembelajaran fiqh yang interaktif di dalam ruang kelas. Model pembelajaran memandu guru ketika ia mendesain pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang beragam.

Model pembelajaran fiqh ini dibangun atas lima komponen yakni fokus, sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, dan sistem dukungan. Dalam pengembangan model pembelajaran ini, fokus dimaksudkan sebagai kerangka referensi di mana


(39)

Ahsan Hasbullah, 2013

model itu dikembangkan. Fokus merupakan tesis utama yang menentukan kombinasi dan hubungan proses yang bermacam-macam, syarat-syarat dan faktor-faktor yang dibangun di dalam model. Tujuan pembelajaran dan aspek-aspek lingkungan, umumnya membangun fokus model. Apa yang menjadi tujuan untuk dicapai dalam pengembangan model ini adalah fokus model. Dengan demikian, fokus merupakan aspek sentral dari model pembelajaran. Kemandirian belajar siswa adalah fokus model pembelajaran fiqh.

Model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemandirian belajar dibangun atas sintaks (syntax), yakni tahapan atau pemfasean (phasing) model, atau deskripsi pelaksanaan model yakni berupa kegiatan-kegiatan yang diorganisasikan untuk kepentingan belajar. Dengan demikian, sintaks model pembelajaran fiqh ini berisi sekuensi langkah-langkah yang terlibat dalam organisasi program pengajaran yang lengkap untuk menuju fokus (kemandirian belajar). Sintaks dibagi ke dalam tiga bagian, yakni kegiatan pendahuluan (kegiatan memotivasi, komunikasi tujuan, scaffolding, fasilitasi belajar); kegiatan inti (elaborasi, kolaborasi); dan kegiatan penutup (evaluasi dan refleksi).

Sistem sosial (social system) yang dikembangkan dalam model pembelajaran ini adalah peran-peran yang dilakukan oleh guru dan siswa, terutama hubungan hirarki atau hubungan otoritas, dan norma-norma atau tingkah laku siswa yang di-reward. Guru secara dominan berperan sebagai fasilitator pembelajaran, dan siswa berperan sebagai subjek belajar yang secara aktif melakukan aktivitas pembelajaran yang dipandu dan difasilitasi oleh guru. Peran guru secara dominan muncul pada kegiatan pendahuluan dan kegiatan penutup. Sedangkan siswa secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran pada kegiatan inti.

Prinsip reaksi (principles of reaction) dalam model pembelajaran fiqh yang dikembangkan ini adalah cara-cara guru fiqh memberikan peluang kepada siswa untuk belajar dan merespon terhadap apa yang dilakukan siswa. Aktivitas


(40)

Ahsan Hasbullah, 2013

memotivasi, menyampaikan tujuan pembelajaran, melakukan scaffolding, memberikan bimbingan, memberikan fasilitasi, dan melakukan konfirmasi adalah bagian dari sistem reaksi yang dibangun dalam model pembelajaran ini.

Sedangkan sistem dukungan (support system) dalam pengembangan model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa ini adalah dengan penyediaan fasilitas oleh guru dan siswa untuk bisa mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan sukses. Ketersedian buku-buku paket fiqh, lembar kerja siswa, al-Qur’an dan terjemahnya, kitab-kitab fiqh, dan sumber-sumber lainnya diadakan untuk mempermudah proses pembelajaran. Di samping itu, setting lingkungan belajar juga dikondidisikan secara kondusif untuk mendukung terjadinya kegiatan pembelajaran yang aktif, efektif dan produktif. Semua ini menjadi system dukungan yang berarti bagi pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan ini.

Berdasarkan pemaparan di atas model pembelajaran fiqh yang dikembangkan ini memiliki karakteristik rasional teoretis logis, yakni didasarkan pada teori pembelajaran kognitif-konstruktifistik; landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (sistem sosial berupa pembagian peran guru dan peran siswa, serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai yakni sasaran untuk mencapai kemandirian belajar; tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan setting lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Model pembelajaran akan establish dan dapat aplikasikan untuk mempola pembelajaran bila memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Validitas model sangat berkait dengan dua hal, yaitu: (1) apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoretik yang kuat; dan (2) apakah terdapat konsistensi internal. Kepraktisan model hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan menunjukan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan. Efektivitas


(1)

Glynn, T. (1992). Support Team For Regular Education. Wellington, Research and Statistic Division, Ministry of Education.

Grieve, K. (2003). Supporting learning, supporting change: A research project on

self-management & self-direction. Toronto: Ontario Literacy Coalition.

http://www.on.literacy.ca/research/ smsdfld/smsd_fld.pdf.

Hargis, J. The Self-Regulated Learner Advantage: Learning Science on the Internet.Hargies, http:/www.jhargis.co/

Hasan, S.H. (1996). Evaluasi Kurikulum. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen PT. Jakarta.

Hamalik, O. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara.

_____________. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja Rosda Karya Bandung.

Hudoyo, H. (2001). Teori Belajar Konstruktivis. Tersedia On Line : http://yasincyber.wordpress.com/2011/10/30teori-belajar-konstruktivis. Ibrahim, dkk. (2002). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung :

FKIP UPI.

Joyce, B., Weil, M., and Shower, B. (1992) Models of Teaching. Massachusetts: Allyn and Bacon.

Karel A. Steenbrink. (1982). Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang.

Kerlin, B. A.(1992). Cognitive Engagemant Style: Self-Regulated Learning and Cooperative Learning.

Knain, E dan Turmo, A. (2000). Self-Regulated Learning. (Online). Tersedia : www.pisa.no/nordisk-pisa.2000/kap.8.pdf. (15 Oktober 2012).

Knowles, M. S. (1975). Self-directed learning: A guide for learners and teachers. Chicago, IL: Association Press.

Krathwohl, D.R. ed. Et al. (1964). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook II, Affective Domain. New York : David McKay.

Longstreet, W.S. dan Shane, G.Sh. (1993). Curriculum for A New Millenium. Boston: Allyn & Bacon.

Lowry, C. M. (2000). Supporting and Facilitating Self-Directed Learning. ERIC Digest No 93,1989-00-00

Majid, A. (2004). Perencanaan Pembelajaran. Rosda Karya, Bandung.

Merriam, S., & Caffarella, R.S. (1999). Learning in Adulthood. San Fransisco : Jossey Bass.

Merx Wertheimer. (2009). Teori Belajar Gestalt. (online). Tersedia : http://teori-belajar-dan-pembelajaran.blogspot.com/2009/04/teori-belajar-gestalt.html. Muhaimin. (2004). Paradigma Pendidikan Islam. Remaja Rosda Karya, Bandung.


(2)

Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT Remaja Rasdakarya.

Munandir. (2001). Latar Belakang Pekerjaan dan Pendidikan Orang Tua murid-murid sekolah menengah di Madura; Risalah disajikan pada seminar. Malang : IKIP Malang.

Mu’tadin, Z. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologi Pada Remaja. Jakarta : WWW.E.Psikologi.co.id (13 september 2005).

Montalvo, F.T., dan Torres, M.C.G. (2004). Self-regulated Learning: Current and Future Direction. Electronic Journal Research in Educational Psychology. 2. 1. 145-156.

Nasution, S. (1982). Azas-azas Kurikulum. Jemmar, Bandung.

__________ (1988). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Tarsito, Bandung. __________ (1996). Metode Research. Bumi Aksara, Jakarta.

National Centre For Competency Based Training (NCCBT). (1993). Developing Competency Based Training Materials.

National Institut for Educational Research (NIER). (1999). An International Comparative of School Curriculum. Tokyo.

Nekosteen, M. (1996). Konstribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya : Risalah Gusti.

Nickerson, R.S. et al. (1985). The Teaching of Thinking. Lawrence, Erelbaum Associates, Inc.

Nur, A.Sy. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung, Lubuk Agung.

Nurcholish Madjid. (2000). Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta : Paramadina.

Oliva, Peter. (1992). Developing The Curriculum. New York : Hirper Collens Publishers.

Ornstein, Allan C. & Prancis P. Hunkins. 1988. Competency In The Work World. Prentice Hall of India.

Paris & Winograd. (1998). The National Science Foundation, 2000.

Perrin, B.S. (tth). Education Through The Arts In Secondary Schools. (Online). Tersedia : http://www.newhorizons.org/strategies/arts/cabc/ perrin2.htm (19 September 2011).

Pertiwi Laboro (2011). Tiga Model Belajar Mandiri. http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/download/46/43

Piaget, J. (1971). Psychology and Epistemology. New York : The Viking Press. _______ (1972. Psikologi Perkembangan Anak. (online, http//online ed. Asv.


(3)

Poedjiadi. (2001). Ilmu dan Aplikasi Pendidikian. Bagian 1 : Ilmu Pendidikan Teoritis. Bandung UPI

Prasasti, S. 2004. 101 Cara Membina Kemandirian & Tanggungjawab Anak. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard : Allen & Unwin Pty, Ltd.

Pusat Pengembangan Kurikulum (April 2006). Kebijakan Dasar Kurikulum 2004. Jakarta.

Pusat Kurikulum (2003). Kurikulum PAI SMA/MA. Jakarta : Puskur.

Qomari, Y. (2006). Relevansi Pendidikan Agama di Sekolah. (online). Tersedia : http://www/pikiran rakyat.com/cetak/2006/112006/16/99 farungun.htm 19 September 2011.

Reece, I. dan Walker, S. (1997). Teaching Training and Learning: A Practical Guide. Third Edition. Bussines Education Publishers.

Ruggiero, V.R. (1998). Teaching Thinking Across The Curriculum. State University of New York at Delhi.

Robert, A.R. (1999). Values and Work : A Special Issue Of the Journal Applied Psychology. New York : Taylor and Francis.

Rochester Institute of Thechonology. (2000). Effective Teaching Thecniques for Distance Learning. Online Learning.

Roestiyah NK. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta

Rogers, E.M. (1983). Diffusion of Innovations. A. Division of Macmillan Publishing Co., Inc.

Romiszowski, A., 1996, Instructional System Design and Development for A Network Society, Jurnal Teknologi Pembelajaran : Teori dan Penelitian, 4 (2), 89-107.

Ruseffendi, ET. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Rusman. (2008). Manajemen Kurikulum : Seri Manajemen Sekolah Bermutu. Bandung : Mulia Mandiri Press.

Said Agil Siradj. (2010). Etika Fiqh. (Online). Tersedia di : http://www.subkialbughury.com/2010/08/etika-fiqih/

Saifert, K.L. dan Hoffnung. (1994). Child and Adolescent Development. Boston : Houghton Mifflin Compaby.

Sanjaya, W. (2002). Pengembangan Model Pembelajaran Metode Klinis Bagi Peningkatan Kemampuan Berfikir Siswa Dalam Pembelajaran IPS di SD. Disertasi, Program Pascasarjana Iniversitas Pendidikan Indonesia.


(4)

____________. (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sardiman. (1986). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. CV. Rajawali, Jakarta.

Sauri, S. (2006). Pengembangan Kepribadian (Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi). Media Hidayah, Bandung.

Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan.

Schunk, D.H. (1994). Helping Children Work Smarter for School Success. Department of Educational Studies, Purdue University Parent page was developed by Cornel Cooperative-Extention of Suffolk County.

Schunk, D.L., & Zimmerman, BJ. (1998). Self-Regulated Learning: From Teaching to Self-Reflective Practice. New York: Guilford Press.

____________________________________. (1998). Introduction to the Self Regulated Learning (SRL) Cycle.

Setyosari, P. (2009). Teori Konstruktivisme. (Online). Tersedia : tep.ac.id/berita-108-teori konstruktivisme.html. (17 Juli 2012).

_______ (2009). Belajar Berbasis Masalah (Problem-Based Learning). Di akses dari http://tep.um.ac.id/berita-223-belajar-berbasis-masalah--- problembased-learning.html/ pada tanggal 8 Februari 2012.

Spencer & Spencer. (1993). Competence at Work : Models for Superior Performance. Boston : Warren, Gorham & Lambert.

Soetopo, H. (2005). Pendidikan dan Pembelajaran. UMM Pres. Bandung.

Sudjana, N. & Ibrahim, R. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung, Sinar Baru.

Sumarmo, Utari. 2004. “Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Dikembangkan pada Peserta Didik?”. Makalah Lokakarya. Jurdik

Matematika FMIPA UNY.

Suharsono, N. (1996). Strategi Belajar Mengajar IPS di Sekolah dengan Pendekatan System Pemrosesan Informasi.

Sukmadinata, N. Sy. (2003). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung; PT. Remaja Rosda Karya.

________________________. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung; Kesuma Karya.

_________________________. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung; PT. Remaja Rosda Karya.

__________________________. (2006). Landasan Psikologi Proses Pedidikan. Bandung; PT. Remaja Rosda Karya.


(5)

Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Bandung.

Syarifuddin, A. (1990). Ushul Fiqh 1. Jakarta : Prenada Media Group.

Syaiful, Sagala. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta

Syuaeb, K. & Aziz, A. (2006). Model Pembelajaran Efektif. Pustaka Bany Quraisy, Tafsir, A. (2006). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung; PT. Remaja Rosda Karya.

Tanjung, RM. (1998). Efektivitas Pembelajaran Biologi Yang Berdasarkan Pada Prinsip Belajar Konstruktis. Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. (Tidak diterbitkan).

Tasker, R. (1992). Effektive Teaching – What can a constructivist View Of Learning Offer ?. The Australian Science Teachers Journal, 38, (1), 25-34.

Thoha, chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka pelajar (IKAPI) Johnson, E. B. (2009). Contextual Teaching Learning. MLC.

Bandung.

Thomas, Ken. (2005). Learning Taxonomies in the Cognitive, Affective and Psychomotor Domain. London : Rocky Mountain.

Toeti Sukamto dan Udin Saripudin (1997). Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka.

Tyler, R. (1950). Basic Principles For Curriculum and Instruction. Chicago : Universitas of Chicago Press.

________ (1996). Constructivism and Conceptual Change Views Of Learning in Science. Dalam Khasanah Pengajaran IPA. 1

________ (2001). Teaching Constructively. London : SAGE Publication Ltd. Unesco. (1996). Education for All by 2015 : Will We Make It ?. New York :

UNESCO.

Usman. (1990). Guru Profesional. Jakarta: Gramedia

Utari Sumarmo Perlunya pengembangan SRL pada individu. FPMIPA UPI Hargis, http:/www.jhargis.co/

UU. RI. No. 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Tamita Utama Vembrianto, ST. (1979). Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan

Pendidikan Paramita.

Vigotsky. (2000). Psycology Of Learning For Instruction. The social Formation of Mind in Driscoll, MP. Allyn & Bacon, Boston

Wahab, R. (2004). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Alfabeta, Bandung. Warson, M.A. (1984). Kamus Munawwir. Yogyakarya : Yayasan


(6)

Wheatley, GH. (1991). Constructivist Perspective on Science and Matematics Learning. Journal Science Education, 75,(1) 9-21

Widodo, A. 2006. Profil Pertanyaan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Sains: The Feature Of Teachers’ and Students’ Questions In Science Lessons, (Online), Vol. 4, No. 2, (http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 4206139148.pdf, Diakses 1 Maret 2012).

Wilis, R. (1996). Teori-teori Belajar. Erlangga, Jakarta.

Wikipedia. (2006). Value Chain. (Online). Tersedia: http//en.wikipedia.org/wiki/Value_Chain (19 November 2006).

Winkel, WS. (2002). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

Wolters. C.A; Pintrich, P.R; dan Karabenick, S.A. (2003). Assessing Academic Self-Regulated Learning. (Online). Tersedia: www.Childtrends.org/Files/Wolters Pintrich Karabenick Paper.pdf. (12 Desember 2012)

Wongsri,N., Cantwell, R.H., Archer, J. (2002). The Validation of Measures of Self-Efficacy, Motivation and self-Regulated Learning among Thai tertiary Students. Paper presented at the Annual Conference of the Australian Association for Research in Education, Brisbane, December 2002.

Yin Cheong Cheng. (1996). School Effectiveness & School-based Management: A Mechanism for Development. London: The Falmer Press.

Yunus, M. (1983). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

Yusufhadi, Miarso. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Pustekkom DIKNAS, Jakarta.

Zais, R.S. (1976). Curriculum: Principles and Foundations. New York: Harper & Row.

Zaini, H., et al (2002). Strategi Pembelajaran Aktif. CTSD (Center for Teaching Staff Development) IAIN Sunan Kalijaga.

Zimmerman, R J. 1998. "Developing Self-Fulfilling Cycles of Academic Regulation: An Analysis of Exemplary Instructional Model". In D.H. Schunk & BJ. Zimmerman (Eds). Sell Regulated Learning: From teaching to se{f-reflective practice (pp. 1-19).New York: Guilford.

________________ 2001. "Achieving Academic Excellence: A Self-Regulate Perspective". In . Ferrari (Eds.). The Pursuit of Excellence Through Education (pp. 85-110). Mahwah, New Jersey: Erlbaum.

________________ 2002. "Becoming a Self Regulated Leamer: An Overview". Theory into Practice, 41, 64-72.


Dokumen yang terkait

Keterampilan Bertanya Guru dalam Meningkatkan Aktivitas belajar Siswa pada Mata Pelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah At-taqwa 06 Bekasi.

1 10 196

Implementasi penilaian hasil belajar pada mata pelajaran ekonomi kelas X di Madrasah Aliyah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 5 147

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS GENRE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN : Studi pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris di Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Cisewu Kabupaten Garut Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 3 58

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS GENRE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN : Studi pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris di Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Cisewu Kabupaten Garut Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 2 58

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TIPE STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN FIKIH: Studi Kuasi Eksperimen pada Madrasah Aliyah Al-Junaidiyah di Kota Watampone Kabupaten Bone.

0 1 46

MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA :Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung.

0 0 71

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN REMEDIAL TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA: Studi pada mata pelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat.

3 12 46

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SINEKTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI SASTRA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI MADRASAH ALIYAH KABUPATEN LEBAK.

0 1 44

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN IPS.

0 0 8

PERAN GURU FIQH DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN FIQH DI MADRASAH ALIYAH NURUL ISLAM JATI AGUNG LAMPUNG SELATAN - Raden Intan Repository

0 2 98