PENGARUH PENDEKATAN PENGAYAAN GERAK DASAR MELALUI AKTIVITAS BERMAIN TERHADAP KEBUGARAN JASMANI, DAN MOTOR EDUCABILITY, DALAM KAITANNYA DENGAN PERBEDAAN LINGKUNGAN SOSIAL, BUDAYA DAN GEOGRAFIS ANTARA DESA DAN KOTA.

(1)

i

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK... KATA PENGANTAR ... UCAPAN TERIMA KASIH ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ...

i ii iii iv V Vi vii BAB I. PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah... 1. Isu Masalah Program Kurikulum Pendidikan Jasmani di SD………. 2. Isu Masalah Proses Pembelajaran Berpusat Pada Guru….………….. 3. Isu Masalah Ketidak Berhasilan Kurikulum Pendidikan Jasmani….. 4. Isu Masalah Kondisi Pendidikan Jasmani Saat ini..……… 5. Isu Masalah Ditinjau Dari Olahraga Prestasi……….……….. 6. Isu Masalah Kecukupan Belajar Gerak…….. ………. 7. Isu Masalah Penjas Mempromosikan Kebugaran Anak……….. 8. Isu Masalah Obesitas Penyebab Rendahnya Kebugaran Jasmani…… 9. Isu Masalah Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak Usia Sekolah... 10. Isu Masalah Pentingnya Kebugaran Jasmani Untuk Meningkatkatkan

Kualitas Hidup ... 11. Isu Masalah Motor Educability ...

1 3 4 4 5 5 6 9 10 13 14 14 16 B Identifikasi dan Perumusan Masalah...

1. Variabel Bebas ……….………

2. Variabel Terikat………. ………..

3. Pertanyaan Penelitian………

17 18 19 20 C Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian………..

2. Manfaat Penelitian ………

a) Manfaat teoritis ………..

b) Manfaat praktis ………... 3. Pembatasan Penelitian ...

20 21 21 22 22

D Asumsi dan Hipotesis……… ……….

1. Asumsi………..

2. Hipotesis………

22 23 26

E Metode Penelitian ……… 28


(2)

ii

1. Lokasi Penelitian ………..

2. Populasi dan Sampel Penelitian ………

3. Definisi Operasional ……….

29 33 34

BAB II. TINJAUAN TEORI ... 35 A Konsep/Teori Pendidikan Jasmani...

1. Landasan Filosofis Pendidikan Jasmani... a) Landasan Filosofis Dualisme... b) Landasan Filosofis Monoisme... c) Landasan Filosofis Gerak Insani... d) Landasan Biologis Peristiwa Gerak... e) Landasan Neuro-Fisiologis Gerak………... 2. Konsep Pendidikan Jasmani Membangun Karakter Bangsa……… 3. Konsep Pendidikan Jasmani Sebagai Pembentukan Keterampilan Awal 4. Konsep Pendidikan Jasmani Sebagai Gerakan Reformasi Pendidikan… 5. Program dan Tujuan Pendidikan Jasmani……… 6. Konsep Model, Pendekatan Pendidikan Jasmani..………..

7. Konsep/Teori Bermain………

a) Pentingnya Bermain Bagi Anak... b) Bermain Harus Sesuai Dengan Tahapan Usia Anak... c) Bermain Berkontribusi Terhadap Belajar dan Berkembang... d) Ciri Utama Bermain Bagi Anak... 8. Konsep Model Pendekatan Aktivitas Permainan Anak………... 9. Konsep Model Pendekatan Direct Instructional………..

35 35 36 37 37 38 38 39 40 42 44 46 48 55 55 58 59 61 61 63 68

B. Konsep /Teori Kebugaran Jasmani………

1. Kebugaran Jasmani Berhubungan Dengan Kesehatan……… 2. Kebugaran jasmani Berhubungan dengan Keterampilan Gerak ……… 3. Kriteria Kebugaran Jasmani……… 4. Hakikat Kebugaran Jasmani. ………. 5. Manfaat Kebugaran Jasmani……….. 6. Faktor yang Mempengaruhi Kebugaran Jasmani……….. 7. Model Kurikulum Kebugaran Jasmani... 8. Pengembangan Kesehatan dan Kebugaran Jasmani ……….. 9. Hubungan antara Aktivitas fisik, Kebugaran dan Kesehatan ... 10. Hubungan antara Kebugaran Jasmani dengan Tekanan Darah………..

70 71 72 73 75 77 78 78 80 82 83 C. Konsep/Teori Motor Educability…….……… 85 D.

E. F.

Konsep/Teori Etno Pedagogi………..……… Konsep/Teori Adaptasi………..………. Konsep/Teori Ketahanan Pribadi Sepanjang Hayat (Life Long Resilience)

88 91 93


(3)

iii G.

H. I.

Konsep/Teori Ekologi Populasi (Population Ecology Theory) Konsep Adaptasi Sebagai Strategi Bertahan Hidup Manusia Konsep Adaptasi dalam Konteks Kekinian

95 102 106

J. Hasil Penelitian Terdahulu………….……… 109

BAB. III. METODOLOGI PENELITIAN 114 A Desain Penelitian ... 115

B Variabel Penelitian……….. 1. Variabel Bebas ………. 2. Variabel Terikat ……… 116 117 118 C Pengembangan Alat Pengumpulan Data ………. 1. Instrumen Penelitian Kebugaran Jasmani ... a) Tes Lari Cepat 40 meter. ……… b) Tes Gantung Siku Tekuk. ……… c) Tes Baring Duduk 30 detik ... d) Tes Loncat Tegak (Vertical Jump). ………. e) Tes Lari 600 meter. ... f) Petunjuk Penilaian Tes Kebugaran Jasmani ... 2. Instrumen Motor Educability ... 3. Format Pengamatan Tes Motor Educability... 119 119 120 121 122 123 124 124 125 127 130 D Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………..……….. 132

E Populasi dan Sampel ………..………. 133

F Prosedur Penelitian ………..……… 137

G Program Perlakuan dan validitas penelitian………. 140

Rancangan Program Perlakuan………. 144

H Pengendalian Validitas ... 157

BAB. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 160

A Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Data Kebugaran Jasmani Anak Desa dan Kota………… 2. Deskripsi Data Motor Educability ………

160 160 162 3. Uji Normalitas Data ………...

a) Uji Normalitas Tes Awal Kebugaran Jasmani…………... b) Uji Normalitas Tes Akhir Kebugaran Jasmani………. c) Tes Motor Educability Kelompok Anak Desa dan Kota……….

165 165 166 167

4. Uji Homogenitas Data ………..

a) Uji Homogenitas Tes Awal Kebugaran Jasmani...

171 172


(4)

iv

b) Uji Homogenitas Tes Akhir Kebugaran Jasmani ... c) Uji Homogenitas Tes Awal Motor Educability ………... d) Uji Homogenitas Tes Akhir Motor Educability ………....

172 173 174 5. Uji Analisis Multivariat Uji-F (MANOVA) …

a) Pengaruh Model Pendekatan Pengayaan Gerak Melalui Aktivitas Bermain dan Model Direct Instruction Terhadap Kebugaran Jasmani dan Motor Educability Anak 10-12 tahun... b) Pengaruh Konteks Lingkungan antara Kelompok Desa dan Kota

Terhadap Kebugaran Jasmani dan Motor Educability Anak Usia 10-12 Tahun……….

c) Perbedaan Pengaruh Interaksi antara Kelompok Model Pendekatan Pengayaan Gerak Melalui (1) Aktivitas Permainan Anak, dan (2) Model Direct Instructional, dan Kelompok Konteks Lingkungan antara (1) Desa dan (2) Kota terhadap Kebugaran Jasmani dan Motor Educability Anak Usia 10-12 Tahun……….. a) Uji Keunggulan Perbedaan Pengaruh Antara Kelompok Model

Pendekatan Pengayaan Gerak Melalui Aktivitas bermain Anak dan Model Direct Instruction Terhadap Kebugaran Jasmani (KJ) Anak Usia 10-12 Tahun ………

b) Uji Keunggulan Perbedaan Pengaruh Konteks Lingkungan antara Kelompok Desa dan Kota Terhadap Kebugaran Jasmani (KJ) Anak Usia 10-12 Tahun………. c) Uji Keunggulan Perbedaan Pengaruh Interaksi antara Kelompok

Model Pendekatan Pengayaan Gerak Melalui aktivitas bermain anak dan model Direct Instruction) serta Konteks Lingkungan antara (Desa dan Kota) Terhadap Kebugaran Jasmani (KJ) Anak Usia 10-12 Tahun……… a) Uji Keunggulan Perbedaan Pengaruh antara Kelompok Model

Pendekatan Pengayaan Gerak Melalui Aktivitas Bermain Anak, dan Model Direct Instruction) Terhadap Motor Educability (Med) Anak Usia 10-12 Tahun... b) Uji Keunggulan Perbedaan Pengaruh Konteks Lingkungan antara

Desa dan Kota Terhadap Motor Educability (MEd) Anak Usia 10-12 Tahun……… c) Uji Keunggulan Perbedaan Pengaruh Interaksi Antara Kelompok

Model Pendekatan Pengayaan gerak Melalui Aktivitas Bermain Anak dan Model Direct Instruction) serta Kelompok Konteks Lingkungan (Desa dan Kota) Terhadap Motor Educability (Med) Anak Usia 10-12 Tahun...

175 177 178 179 183 183 184 186 186 187


(5)

v

1. Diskusi berdasarkan data yang diolah dari hasil penelitian………. 2. Diskusi berdasarkan tinjauan kerangka teori……….

- Diskusi Filosofis ………..

- Diskusi Pedagogical……….

- Diskusi Filosofis Gerak Insani……… - Diskusi Neuro-Fisiologis Gerak………..

172 178 178 179 182 183

BAB. V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI/SARAN... 184

A Kesimpulan ………. 184

B Implikasi ………. 1. Implikasi Terhadap Dampak Teori ……….. 2. Implikasi Terhadap Penerapan Praktis ………. 185 185 187 C Rekomendasi/Saran... 189

DAFTAR PUSTAKA ... 190

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 200

1 Data Pengukuran Tes Awal Kebugaran Jasmani Desa... 207

2 Data Pengukuran Tes Aakhir Kebugaran Jasmani Desa... 208

3. Data Pengukuran Motor Educability Desa ... 218

4. Data Pengukuran Tes Awal Kebugaran Jasmani anak Kota Banjarmasin... 224

5. Data Pengukuran Tes Akhir Kebugaran Jasmani anak Kota Banjarmasin... 225

6. Data Pengukuran Motor Educability anak Kota Banjarmasin... 233

7. Surat Keputusan Pembimbing Penelitian ... 242

8. Surat Pengantar Penelitian ... 244


(6)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel

1.1. Luas Wilayah Lokasi Penelitian ... 37 3 a) Nilai TKJI anak Putera usia 10-12 tahun ...

b) Nilai TKJI anak Puteri usia 10-12 tahun... c) Norma Nilai TKJI... d) Blanko Nilai Norma TKJI ... e) Pembagian Kelompok Penelitian ………. f) Contoh Jadwal Pelaksanaan Program PerlakuanPBM Penjas Objek

Loksado ……….. g) Contoh Jadwal Pelaksanaan Program PerlakuanPBM Penjas Objek

Banjarmasin ……….

122 123 123 124 127 142 142 143 143 4 a) Deskriptif Skor Tes Awal Kelompok Eksperimen/Kontrol

Kebugaran Jasmani Anak Desa... b) Deskriptif Skor Tes Akhir Kelompok Eksperimen/Kontrol

Kebugaran Jasmani Anak Desa... c) Deskriptif Data Skor Tes Body Mass Index (BMI) Kelompok

Eksperimen dan Kontrol Kebugaran Jasmani Anak ………. d) Deskriptif Data Skor Tes Antropometri Kelompok Eksperimen

dan Kontrol Kebugaran Jasmani Anak ………. e) Deskriptif Data Skor Tes Awal (pretes) Kelompok Eksperimen

dan Kontrol Motor Educability Anak ……….. f) Deskriptif Skor Tes Akhir (posttes) Kelompok Eksperimen dan

Kontrol Motor Educability Anak ……….. g) Uji Normalitas Data Skor Tes Awal dan Tes Akhir Kebugaran

Jasmani Anak Desa ... h) Pengujian Hipotesis Skor Tes Awal dan Tes Akhir Kebugaran Jasmani Anak Desa ... i) Deskriptif Skor Tes Awal Kelompok Eksperimen/Kontrol Kebugaran Jasmani Anak Kota ... j) Deskriptif Skor Tes Akhir Kelompok Eksperimen/Kontrol Kebugaran Jasmani Anak Kota... k) Uji Normalitas Data Skor Tes Awal dan Tes Akhir Kebugaran Jasmani Anak Kota...

144 145 146 148 149 150 152 154 156 158 159


(7)

vii

l) Pengujian Hipotesis Skor Tes Awal dan Tes Akhir Kebugaran Jasmani Anak Kota ... m) Deskripsi Perhitungan Uji Homogenitas Data Tes Body Mass Index Dan Antropometri Anak Desa (Dayak) Dengan Anak Kota Banjarmasin ……… n) Deskripsi Uji Homogenitas Data Tes Awal, Akhir Motor

Educability Anak Desa (Dayak), Anak Kota Banjarmasin……. o) Deskripsi Perhitungan Uji Homogenitas Data Tes Body Mass

Index Dan Antropometri Anak Desa (Dayak) Dengan Anak Kota Banjarmasin……… p) Between-Subjects Factors ……… ……….. q) Tests of Between-Subjects Effects……….. r) Estimated Marginal Means Antar Kelompok Daerah………. s) Estimated Marginal Means Antar Kelompok Sampel ……… t) Estimated Marginal Means Antar Kelompok Daerah Dengan Kelompok Sampel ……….

160 162

163 163

165 169 172 173 174


(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar

1 Kerangka Berpikir ... 35 2 a) Struktur Materi Pendidikan jasmani...

b) Model hubungan aktivitas fisik, kesehatan dengan kebugaran …. c) Indikator Ukuran Berat Badan Underweight,Normal,Overweight,

Obesitas………... 70 72 78 78 3 a) Desain (rancangan) Penelitian...

b) Sikap Permulaan lari... c) Sikap Gantung Siku Tekuk ... d) Sikap Baring Duduk 30 detik ……… e) Sikap Loncat Tegak... f) Sikap Start dan Finish Lari 600 m ... h) Desain Penelitian ... i) Rencana Program Pembelajaran Tugas Gerak Dengan Aktivitas

110 117 118 119 120 121 85 130


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan yang sangat mendasar dalam pendidikan jasmani bukanlah semata-mata bagaimana proses meningkatkan efektivitas belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalamnya juga terkandung beberapa tuntutan perubahan pada domain kognitif, afektif dan psikomotor di tingkat mikro individual. Efektivitas proses pendidikan dimaksud tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fisik, biologis dan psikologisnya saja, tetapi juga dari aspek konteks lingkungan geografis. Itulah sebabnya penyediaan pengalaman belajar yang mengandung nilai-nilai kependidikan, implimentasi pendekatan dan model pembelajaran yang serasi dengan substansi tugas ajar dan beberapa sumber belajar lainnya. Konteks lingkungan dimaksud merupakan tata latar yang dapat dibatasi dalam pengertian lingkungan, seperti lingkungan sosial, budaya dan geografis. Karena itu penyelenggaraan pendidikan jasmani tidak saja dipengaruhi oleh metode, model, strategi, dan pendekatan saja, tetapi dapat diamati dari sisi kebijakan, perencanaan yang dikaitkan dengan konteks lingkungan pendidikan itu sendiri.

Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan jasmani dewasa ini adalah terjadinya perubahan nilai-nilai budaya. Perubahan dimaksud berupa kultur gerak. Menurut Bart Crum (1994) dalam Rusli Lutan (2003:101) ‘movement culture’, yakni terjadi perubahan kebiasaan aktif bergerak menjadi kebiasaan kurang gerak atau


(10)

bahkan fenomena gaya hidup diam. Pergeseran gaya hidup itu, dipicu oleh aneka kemudahan dalam kehidupan sehari-hari yang di dukung oleh perubahan taraf hidup, penggunaan teknologi komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga di kalangan anak-anak yang fitrahnya sebagai mahluk bermain (homo luden) sangat berkurang dan cenderung menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak anak-anak menghabiskan waktu menyaksikan program televisi, video, menggunakan internet seperti facebook dan lain sebagainya. Pergi ke sekolah atau ke kampus menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi. Para pengunjung toko swalayan lebih banyak menggunakan lift dan tangga berjalan (escalator) ketimbang naik menggunakan tangga dengan pertimbangan mereka lebih cepat, nyaman dan menghemat tenaga. Kecenderungan gaya hidup kurang gerak, menurut George Peterson (2004:2) selaku perwakilan WHO Indonesia menyatakan ‘sekarang ini banyak masyarakat yang tidak aktif bergerak (sedentary life-style) akibatnya kebugaran jasmani sangat rendah’. Ini merupakan penyebab satu dari sepuluh kematian di dunia. Oleh karenanya WHO memprediksi pada tahun 2020 sebanyak 73% kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular, atau sebanyak 60% disebabkan rendahnya kebugaran jasmani. /www.kompas.com.health.news.2004).

Dalam ungkapan yang relatif sama, berdasarkan hasil penelitian, Fu & Fung (2004); dalam Chin Ming-Kai (2008:8) mengungkapkan ‘80 % orang Cina yang tinggal di Beijing, Shanghai, dan Hongkong berperilaku kurang gerak’. Perilaku semacam ini juga terjadi di Eropa. Menurut Janz, (2001), Tybor, (2005); Janssen,


(11)

(2005) dalam Chin Ming-Kai (2008:9) menyatakan sebanyak 130.000 orang anak usia sekolah dari 34 Negara Eropa aktivitas fisiknya menurun karena waktu yang digunakan lebih banyak diluangkan untuk menonton televisi. Jadi tidaklah berlebihan Jordan, (2006); dalam Chin Ming-Kai (2008:8) menjelaskan hasil survey akhir-akhir ini menunjukkan “…time children spent on television, videos, video

games and computer five hours per day”. Masalah ini perlu ditanggapi sebagai

ancaman bagi peningkatan kualitas hidup. Inti permasalahannya dapat dikatakan terjadinya krisis lembaga pendidikan formal, khususnya di lembaga pendidikan jasmani yang sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Kresis tersebut menurut Foldesi, (1993), Naul,.(1994); dalam Rusli Lutan (2003:96) ‘menjadi isu sentral, tidak saja melanda Negara berkembang seperti bangsa Indonesia, tetapi juga Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggeris dan Jerman’. Isu dimaksud pernah diungkapkan Rusli Lutan pada Konvensi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga 24-25 November 2008 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan tema “Paradigma baru dalam pembangunan keolahragaan nasional berbasis ilmu terpadu. Beberapa isu tersebut diantaranya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

Isu Program Kurikulum Pendidikan Jasmani di SD

Isu ini dapat ditinjau dari materi pembelajaran pendidikan jasmani yang

dilakukan oleh guru. Guru sering memaksakan anak untuk melakukan aktivitas fisik, yang tugas geraknya terlalu berat tidak sesuai dengan kemampuan fisiknya. Perilaku


(12)

guru semacam ini, melanggar prinsip developmentally appropriate practice (DAP). Keadaan ini diperparah lagi oleh paham dan keyakinan guru yang berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari pendidikan jasmani.

Isu Proses Pembelajaran Terpusat Pada Guru

Perihal ini memiliki beberapa kelemahan, yakni (a) kurangnya pengembangan dan variasi aktivitas belajar secara holistik, (b) kurangnya pemahaman dampak kebugaran jasmani dan gaya hidup sehat, (c) kurangnya pengalaman guru mengintegrasikan aktivitas pendidikan jasmani dengan bidang lainnya, (d) kurangnya pengembangan aspek afektif sehingga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan anak terhadap pendidikan jasmani. (e) kurangnya pemberian bantuan kepada anak agar mengerti emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas pendidikan jasmani, (f) kurangnya kemampuan guru dalam melaksanakan tugas ajar terlalu sukar yang menyebabkan mereka bosan, atau frustrasi, (g) kurangnya jumlah waktu aktif belajar.

Isu Ketidak Berhasilan Kurikulum Pendidikan Jasmani

Idealnya keberhasilan kurikulum pendidikan jasmani dapat ditinjau dari terdidiknya seseorang melalui aktivitas jasmani yang disebut dengan istilah

physically educated person (PEP). Istilah ini merujuk kepada standar National Association for Sport and Physical Education (NASPE). Menurut NASPE (1992);


(13)

adalah : (a) memiliki beberapa keterampilan melakukan aktivitas fisik. (b) memiliki kebugaran jasmani yang baik, (c) dapat berpartisipasi secara teratur melakukan aktivitas jasmani, (d) mengetahui akibat dan manfaat dari aktivitas jasmani, dan (e) dapat memahami melakukan aktivitas jasmani menjadi hidup sehat.

Isu Kondisi Pendidikan Jasmani Saat Ini

Pendidikan jasmani saat ini terbilang menyedihkan dan bahkan sering dilecehkan. Hal ini diungkapkan Balitbang Diknas (2008:10) yang menyatakan ‘menjelang ujian akhir di beberapa sekolah, pendidikan jasmani sering tidak dilaksanakan dengan alasan agar para anak tidak terganggu’. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Aip Syarifuddin (2002) dalam Balitbang Diknas, (2008:9) yaitu ‘kualitas guru pendidikan jasmani di beberapa sekolah pada umumnya kurang memadai, mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara professional’. Kondisi saat ini menunjukkan banyak guru, ketika membuka pelajaran, menyuruh anak hanya senam dan lari sebagai bentuk pemanasan. Kemudian teknik dasar yang diberikan dalam suasana tegang, karena guru pendidikan jasmani dianalogikan sebagai penegak kedisiplinan dan kekerasan di sekolah. Terkadang anak disuruh melakukan bermain, sementara dia duduk di bawah pohon sambil memegang peluit. Peristiwa ini telah berlangsung dari waktu ke waktu sehingga tidak terpikir olehnya untuk menciptakan strategi pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan. Isu Ditinjau Dari Olahraga Prestasi


(14)

Performan atlet Indonesia dalam event olahraga internasional seperti ASIAN Games, SEA Games, atau dalam PON dan PORDA akhir-akhir ini sangat mengecewakan. Rendahnya prestasi olahraga seperti ini, merupakan cerminan ketidakberhasilan pembibitan melalui pendidikan jasmani sejak usia SD. Walaupun disadari pendidikan jasmani tidak bertujuan menciptakan prestasi, tetapi misi utamanya berkontribusi terhadap pembentukan keterampilan dasar berolahraga. Keadaan ini diperparah lagi oleh sikap stakeholder mengabaikan arti pentingnya pendidikan jasmani di sekolah-sekolah. Seperti pemberian tugas guru yang tidak berlatar belakang pendidikan jasmani untuk mengajar. Kejadian ini apabila dibiarkan terus menerus, maka tidak akan berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi olahraga prestasi di tingkat Nasional.

Isu Ketidak Cukupan Belajar Gerak

Isu ini berkenaan dengan waktu pelaksanaan pendidikan jasmani tidak efektif. Siedentop, (1980:25) pernah meneliti ‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) hasilnya sebagai berikut:

‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) is a unit of time in which a student is engaged in relevan physical education content in such a way that he or she has an appropriate change to be successful. Appropriate success rate is usually about 80 percent probability of doing the task correctly as it is defined in the lesson. ALT-PE is thought to be a powerfull way of evaluating the degree to wich teacher perform effectively’.

Temuan penelitian Siedentop menegaskan bahwa ALT-PE merupakan acuan waktu keberhasilan anak dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani hanya berkisar


(15)

80 % waktu yang efektif. Sisanya terbuang karena terjadi pergantian dalam melakukan tugas gerak. Lebih tegas lagi diungkapkan Tousignant, Parker (1982) dalam Tinning (1987:55) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak waktu terbuang (28 %) dipergunakan menunggu giliran (pergantian) peralatan. Selanjutnya 20 % lagi waktu habis digunakan tugas managerial, seperti memilih tim, menggerakan dan mengorganiser praktek dari satu tempat ke tempat lain. 20 % lagi waktu digunakan menerima informasi pelajaran dari guru, dan sisanya hanya 32 % waktu yang tersedia untuk melakukan keterampilan.

Penelitian serupa pernah dilakukan Rusli Lutan (1993:37) dengan fukos jumlah waktu aktif belajar (JWAB) kalangan guru-guru pendidikan jasmani di Jawa Barat. Kesimpulan yang diperoleh yaitu ‘penggunaan waktu pembelajaran pendidikan jasmani tidak mencukupi, banyak waktu habis terbuang digunakan berjalan ke tempat lapangan olahraga, banyak waktu terbuang karena menunggu giliran menggunakan fasilitas dan alat olahraga. Hanya sepertiga sisa waktu yang dapat digunakan melaksanakan inti pelajaran’. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menyarankan bahwa indikator keberhasilan waktu pendidikan jasmani yang efektif adalah “jumlah waktu aktif berlatih (JWAB) banyak, waktu menunggu giliran sedikit, dan proses pembelajaran melibatkan partisipasi anak dan guru secara aktif”.

Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai media pembelajaran. Dalam kaitan ini, Wuest dan Bucher (1995:97) menyebutkan, “movement is the keystone of physical education


(16)

and sport”. Oleh karenanya Anderson , (2006); dalam Chin Ming-Kai (2008;12)

mengungkapkan, bahwa “di Eropa-saat ini menerapkan aktif bergerak minimal 90 menit setiap harinya untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya”. Seiring dengan itu pula, Kaplan, Liverman dan Kraak, (2005); McKenzie et al.,(2003) dalam Chin Ming-Kai (2008:8) menegaskan bahwa proses pendidikan jasmani merupakan ‘increasing physical activity through physical

education is also a proposed public health strategy to reduce obesity in childhood and adolescence’.

Beberapa isu di atas, sudah diseminarkan dalam kongres International

Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) di Berlin tahun 1999.

Dalam kongres tersebut, Ken Hardman (1999); dalam Rusli Lutan (2003:115) menyatakan ‘adanya kelemahan di dalam relevansi budaya terhadap nilai-nilai akademik pendidikan jasmani sebagai akibat tidak terlaksananya kurikulum pendidikan jasmani secara tuntas’. Hal ini terbukti implementasi pendidikan jasmani di masing-masing negara tidak ada yang mencapai 100 %. Contohnya, di Afrika hanya 25 %, Asia, 33 %, Kanada, 57 %, Ocenia, 70 %, Amerika Utara, 72 %, Amerika Serikat, 74 %, Timur Tengah, 82 %, dan Eropa, 87 %.

Berdasarkan data tersebut, pendidikan jasmani sedikit sekali mengalami kemajuan yang dicapai dari sisi pengembangan kurikulum. Sebabnya karena sedikit orang yang mau menekuni berbagai disiplin ilmu sebagai landasan pemahaman pendidikan jasmani dan olahraga. Di sisi lain, kurangnya publikasi hasil penelitian


(17)

pendidikan jasmani Indonesia ke dalam jurnal nasional maupun internasional. Kekurangan publikasi seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Diperparah lagi oleh ketiadaan buku-buku pendidikan jasmani dan olahraga dengan disiplin ilmu yang mumpuni. Manakala masalah ini dibiarkan terus menerus, dampak penggiring lainnya munculah masalah rendahnya kebugaran jasmani yang pada akhirnya menimbulkan penyakit hipokinetik, dan berdampak pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik anak.

Isu Pendidikan Jasmani Mempromosikan Kebugaran Jasmani Anak

Konsep pendidikan jasmani dalam upaya mempromosikan kesehatan dan kebugaran jasmani anak di sekolah. Hal ini terungkap pada saat konferensi PBB bulan Pebruari 2003 di Switzerland dengan tema ‘Sport as a means to promote

education, health development and peace’. Menyimak hasil konferensi tersebut,

PBB menegaskan bahwa “pendidikan jasmani dan olahraga dapat mempromosikan kesehatan, dan kebugaran jasmani untuk semua orang, segala usia, tidak memandang perbedaan ekonomi, sosial dan budaya”. Pernyataan ini, disambut baik oleh pemerintah Hongkong dan Cina. Baru-baru ini di Hongkong, dan Cina menerapkan pendidikan jasmani dengan paradigma baru, yakni kurikulum berbasis perkembangan masa hidup untuk lebih lama (areas curriculum development council). Perihal ini disampaikan Chin Ming-Kai (2008:9) pada kongres Sport for All 2008 di Kuala Lumpur sebagai berikut “In Hongkong-China, in order to formulate a curriculum


(18)

paradigm that fosters life-long learning and focuses on whole-person development physical education is included as one of the key learning areas”. Mencermati

pernyataan Chin Ming-Kai ini, ditegaskan bahwa tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk membantu anak mengembangkan gaya hidup aktif, hidup sehat dan memiliki kebugaran fisik, melalui berbagai aktivitas fisik serta belajar keterampilan berolahraga. Jadi pemikiran di atas, menempatkan pendidikan jasmani sebagai satu sumber untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak-anak di sekolah. Selayaknya anak yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran jasmani yang baik. Namun kenyataannya saat ini, masih banyak anak-anak memiliki kebugaran jasmani yang rendah karena mengalami beberapa persoalan, diantaranya adalah obesitas.

Isu Obesitas Menyebabkan Rendahnya Kebugaran Jasmani

Hasil survei sosial ekonomi nasional, (Susenas 2004) dalam Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga masalah kegemukan (obesitas)’. Menelaah penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami obesitas, porsi makannya lebih banyak karena tidak aktifnya hipotalamus. Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh menit sesudahnya. Di pusat hipothalamus terdapat dua sinaps yang memberitahukan rasa lapar dan rasa kenyang. Untuk sinaps rasa lapar, terletak pada


(19)

ventrolateral hypothalamus sedangkan pusat kenyang terletak pada ventromedial hipothalamus. Dalam keadaan normal isyarat rasa lapar dikirim ke korteks serebri yang berasal dari pusat kenyang karena dipengaruhi oleh distensi lambung, plasma glucose, dan insulin serta pengaruh substansi katekolamin sehingga orang tersebut merasa kenyang. Tetapi apabila terjadi gangguan pada regulasi perambatan ini, maka orang tersebut tidak merasa kenyang dan terjadi makan yang berlebihan pada akhirnya menyebabkan obesitas.

Obesitas dari perspektif metabolisme merupakan indikator dari berfungsinya kerja metabolisme secara baik. Semakin cepat metabolisme bekerja, maka semakin baik tubuh anda. Sebaliknya semakin lambat metabolisme bekerja, maka tubuh anda mengalami obesitas. Metabolisme wanita lebih lambat dari pria, oleh karena itu sebanyak 30 % wanita lebih cepat gemuk dibandingkan pria. Pada pria muda kandungan lemak tubuh rata-ratanya 12 % sedangkan wanita 2 %. Karena itu, apabila pria kandungan lemak tubuhnya melebihi dari 20 % dinyatakan obesitas, demikian pula wanita apabila melebihi dari 30 % dinyatakan obesitas. Pada wanita lemak di simpan di bagian pinggul, sedangkan pada pria lemak di simpan di perut.

Menurut Rusli Syarif dokter ahli nutrisi dan metabolik anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dalam Misnadiarli, (2007;144) ‘Obesitas adalah penyakit yang ditandai penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan’. Sekarang ini obesitas tidak saja di alami orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Perihal ini diperkuat oleh Ebbeling PawLak dan Ludwing,(2002); Finer, (2003),Wang,


(20)

Monteiro, & Popkin, (2002) dalam Chin Ming-Kai (2008:1) mengatakan ‘…the

world-wide prevalence of obesity in childhood is also increasing’. (Journal 12th

World Sport for All Congress Malaysia 2008).

Dalam kaitan yang sama, disampaikan Florentino (2002); dalam Chin Ming Kai (2008:3) “Increasing prevalence of obesity has been shown not only in the

industryiall developed countries, but also in the developing countries. Oleh karena

itu WHO (2002) menyatakan bahwa kelebihan berat merupakan faktor resiko kelima dari 39% total obesitas. Sekarang ini ada enam negara dari sepuluh negara di Asia mengalami penyakit obesitas tertinggi, yakni; (1) Cina, (2) India, (3) Indonesia, (4) Jepang, (5) Pakistan dan (6) Banglades. Kemudian berdasarkan hasil survey himpunan obesitas Indonesia Askandar Tjokroprawiro, (2006); dalam Misnadiarli (2007;144) menyatakan bahwa ‘anak-anak SD favorit di Jakarta Selatan, saat ini mengalami obesitas sebanyak 20 %, di Semarang 12 %. Perihal yang sama dikemukakan Djer (1998) dalam Misnadiarly (2007:145) yang melaporkan bahwa anak lelaki perkotaan mengalami kenaikan obesitas dari 4,6 % menjadi 6,3 %, sedangkan anak perempuan dari 5,9 % naik menjadi 8 %.

Dalam pandangan yang lebih luas, saat ini diperkirakan sekitar 155 juta anak-anak dan anak-anak remaja usia sekolah mengalami gejala obesitas dan kelebihan berat. Perihal ini dinyatakan oleh Kosti & Panagiotakios, (2006); Ebbeling, Pawlak & Ludwig (2002) dalam Chin Ming-Kai (2008:4) menyebutkan : “…..It is estimated


(21)

overweight”. Selanjutnya Ogden., (2006) dalam Chin Ming-Kai (2008:4)

memprediksi bahwa anak-anak usia 6 - 11 tahun mengalami obesitas di perkirakan meningkatkan dari 15,1 % menjadi 18,8 % antara tahun 1999 dan 2004. Demikan pula prediksi General Accounting Office, (2006) dalam Chin Ming-Kai (2008:4) yang menyatakan ‘bahwa anak-anak Amerika Serikat mengalami peningkatan obesitas sebanyak 20 % pada tahun 2010. Nah bagaimana di Indonesia, dikatakan bahwa rendahnya kebugaran jasmani anak-anak, sebagai dampak dari rendahnya kualitas pengajaran pendidikan jasmani.

Isu Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak

Sekarang ini penyakit jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan remaja sebagai dampak rendahnya kebugaran jasmani di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Rendahnya kebugaran jasmani tersebut, terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh tim pengembang Sport Development Index (Mutohir, dan Ali Maksum, 2007: 52) meneliti kebugaran jasmani pelajar di seluruh Indonesia. Hasilnya tidak ada yang baik sekali atau 0 %, katagori baik hanya 5,66 %, sedang 37,66 %, kurang 45,97 %, dan kurang sekali 10,71 %. Perihal ini menurut (WHO 2004) apabila dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit hypokinetik setiap tahunnya. (G. Petersen 2004;2).


(22)

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama ini. Karena itu, masyarakat perlu didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan berkelanjutan. Dampak lain, akibat rendahnya kebugaran jasmani masyarakat, di tinjau dari dua sisi ekonomis yang terjadi, yakni : (1) peningkatan biaya pengobatan, (2) penghematan biaya pengobatan. Dari sisi peningkatan biaya, perihal ini terbukti dari hasil survey American Alliance for Health, Physical Education, Recreation and

Dance (AAHPERD:1999) dalam Mutohir, dan Ali Maksum, (2007:47), menyatakan

‘beberapa negara terjadi peningkatan biaya pengobatan, seperti di Belanda 2.4 %, Kanada 6 %, dan Amerika Serikat 9 % termasuk biaya untuk mengatasi obesitas’. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Dave Jackson, Houlihan (1997) dalam Rusli Lutan dan Hallam Pereira (2003:2a) menyatakan ‘apabila olahraga dapat dikemas dengan baik, maka dapat mempunyai peluang ekonomi yang besar bagi sebuah industri olahraga dengan memanfaatkan sumber paralatan dan infastruktur yang representatif. Kemudian dari sisi penghematan biaya, sebagaimana yang dikatakan Bruce Kidd (1997) dalam Mutohir, dan Ali Maksum, (2007:47) makalahnya berjudul the economic case for physical education menjelaskan, bahwa ‘Amerika Serikat dapat menghemat biaya pengobatan sebesar $ 330/orang, atau sebesar $ 580 juta/orang dalam setahun. Kanada sebesar $ 364/orang, atau sebesar $ 200 juta/orang dalam setahun’. Dengan demikian, apabila setiap 1 dollar diinvestasikan pada aktivitas jasmani, maka akan menghasilkan penghematan biaya


(23)

pengobatan sebesar $ 320/orang dan menghasilkan keuntungan sebesar $ 29 juta dalam setahun. Lebih lanjut Hallam Pereira dan Rusli Lutan, (2003:2b) menyatakan bahwa melakukan ‘Olahraga dapat menurunkan nilai keuangan pemerintah dalam mengeluarkan biaya pengobatan kepada masyarakat’.

Isu Pentingnya Kebugaran Jasmani Meningkatkan Kualitas Hidup

Pentingnya kebugaran jasmani, mengacu deklarasi the Magglingen sebagaimana dikutip Mutohir, dan Ali Maksum, (2007:17) sebagai berikut : “sport is

a part of the schooling system helps young people perform better, and improves their quality. Making physical education of the system helps young people perform better, and improves their quality of life”. Menyimak pernyataan tersebut, olahraga

merupakan bagian dari sistem pendidikan dan dapat membantu anak-anak melakukan aktivitas gerak yang lebih baik guna meningkatkan kualitas hidup mereka. Pendidikan jasmani dapat membantu anak-anak melakukan aktivitas gerak guna meningkatkan kualitas hidup (quality of life) lebih baik lagi”. Orang yang memiliki kualitas hidup baik, adalah orang yang sehat jasmani, rohani dan sosial serta spritualnya (weellbeing). Upaya yang ditawarkan dengan cara melakukan aktivitas fisik setiap hari agar harapan hidup menjadi lebih lama (longevity). Perihal ini sebagaimana yang sudah diterapkan di Hongkong dan Cina. Kedua negara ini sejak tahun 2003 berhasil sukses menerapkan program aktivitas fisik setiap harinya sehingga masyarakatnya memiliki tingkat kualitas hidup yang baik. (Chin Ming-Kai (2008:8). Selanjutnya Chin Ming-Kai (2008:9) menjelaskan untuk melakukan


(24)

program aktif bergerak anak-anak sekolah, diterapkan pada setiap jam istirahat selama lima menit. Program ini dilakukan oleh semua anak dan guru dengan berbagai aktivitas gerak menari, seperti tarian Chu Shang de Taiyang, tarian

Qingchun de Huoli, serta diselingi dengan musik jazz modern. Dengan demikian

mereka akan memiliki quality of life yang lebih baik lagi. Keuntungan lain orang yang memiliki kualitas hidup yang baik adalah “Can also help people sleep better”. Nah bagaimana dengan bangsa Indonesia?.

Pemerintah Republik Indonesia melalui kerjasama Departemen Kesehatan (Depkes) dengan instansi yang terkait, berupaya menyusun strategi kebijakan pembangunan baru didasarkan pada “Gerakan Pembangunan Berwawasan

Kesehatan dan Kebugaran Jasmani”. Gerakan ini dicanangkan oleh Presiden

Republik Indonesia pada pembukaan rapat kerja kesehatan nasional Depkes pada tanggal 1 Maret 1999 sebagai sebuah strategi. Strategi ini merupakan strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010 dikenal sebagai paradigma sehat, yaitu fit for

health atau move for health. Artinya bergerak agar sehat dan bugar.

(Pribakti, 2009:10b). Program Indonesia sehat 2010 tersebut, menghendaki agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat berperilaku hidup sehat dengan mengoptimalkan lingkungannya untuk mewujudkan masyarakat madani (Civil

Society), yaitu masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan. Jika

pembinaan tersebut dibarengi dengan pembinaan bakat olahraga, maka di kemudian hari akan menghasilkan prestasi olahraga.


(25)

Isu Kemampuan Mempelajari Gerakan Yang Baru (Motor Educability)

Isu ini berpangkal akibat ketidakpahaman guru tentang hakikat tubuh anak yang sesungguhnya berbeda dengan fisik orang dewasa. Keadaan ini diperparah lagi adanya perilaku guru cenderung malas dan kurang mencintai tugas itu dengan sepenuh hati, sehingga dalam memberikan tugas geraknya melanggar prinsip

developmentally appropriate practice (DAP), yakni tidak memperhatikan

pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepada anak diberikan tugas gerak melebihi dari kemampuan fungsional tubuhnya, sehingga untuk mempelajari gerakan yang baru (new motor skill) anak-anak mengalami hambatan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani.

Motor educability menurut Rusli Lutan (1988:115) adalah kemampuan umum

untuk mempelajari tugas gerak secara cermat dan cepat. Motor educability juga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi tingkat penguasaan suatu keterampilan gerak. Jika seseorang memperlihatkan penampilan (performa) dalam menguasai gerakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik, maka orang itu dikatakan memiliki tingkat motor educability yang baik pula. Selanjutnya Rusli Lutan (1988:116) menegaskan bahwa motor educability erat hubungannya dengan koordinasi gerak. Semakin tinggi tingkat motor educabilitynya, maka semakin tinggi pula koordinasi geraknya. Menurut Harsono (1988:220) yang dikatakan koordinasi gerak yang baik, bukan saja mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah dan cepat dalam mempelajari gerakan yang baru (new motor


(26)

skill). Faktor semacam inilah yang menjadi fukos dalam penelitian ini, karena selain

bisa dijadikan pertimbangan untuk menetapkan suatu keterampilan, juga untuk membedakan dan untuk mengelompokkan anak ke dalam kelompok individu lainnya, baik dalam berolahraga maupun sosial berbudaya serta perilaku berkarakter dalam kehidupan masyarakatnya.

B. Identifikasi Variabel dan Rumusan Masalah

Berdasarkan ungkapan dalam latar belakang masalah di atas, menyatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai media pembelajaran. Perihal ini menurut Wuest dan Bucher, (1995:97) adalah “movement is the keystone of physical education and

sport”. Oleh karena itu, penelitian ini terfokus mempelajari pengayaan gerak dasar

melalui aktivitas bermain merupakan kata kunci dalam pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga dikaitkan dengan konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis yang berbeda antara desa dan kota. Atas dasar pertimbangan ini pula ditetapkan dua jenis variabel, yakni (1) variabel bebas, (2) variabel terikat. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

Variabel Bebas.


(27)

a) Model pendekatan pembelajaran, terdiri dari dua variabel; (a) model pendekatan pengayaan gerak dasar melalui aktivitas bermain anak, (b) model

pendekatan direct instruction dilambangkan dengan X1.

Penetapan variabel ini sebagai pengalaman ajar, yang mengacu pada aktivitas bermain anak dengan prinsip developmentally appropriate practice (DAP). Yakni prinsip pengajaran yang memperhitungkan penyesuian pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepada anak diberikan tugas gerak sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisiknya dengan dasar anak bukanlah manusia dewasa. Kemudian alasan penetapan model pembelajaran direct instruction. Penetapan variabel ini terinsprirasi dari model pembelajaran pendidikan jasmani Metzler, (2005) yang menyatakan bahwa guru sebagai pemimpin dengan format pembelajarannya lebih menekankan kepada penguasaan teknik dan keterampilan dasar bermain olahraga. Ciri-ciri dari model ini, berpusat pada guru (teacher centered approach).

b) Konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis, terdiri dari dua macam

variabel, yakni ; (a) di desa dan (b) di kota dilambangkan dengan X2.

Penetapan variabel konteks lingkungan ini, dibatasi dalam pengertian lingkungan sosial budaya dan geografis antara desa dan kota.

Variabel desa merupakan objek pembelajaran pendidikan jasmani yang dilaksanakan di lingkungan pedesaan. lingkungan pedesaan dimaksud adalah desa Loksado yang merupakan desa terpencil dihuni oleh sekelompok


(28)

masyarakat Dayak yang dalam sisi kehidupan masih tradisional karena posisi mereka terisolasi (terasing) dari kehidupan layaknya. Penjelasan desa Loksado secara rinci, dapat dilihat pada lokasi penelitian. Sedangkan lingkungan kota, menggunakan murid SD Pasarlama 1 Banjarmasin jalan S. Parman Banjarmasin. Karakteristik masyarakatnya merupakan masyarakat kota karena berada di ibu kota pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam kehidupannya sehari-hari sudah mengikuti pola kehidupan semi modern. Karena itu penyelenggaraan pendidikan jasmani yang tidak saja dipengaruhi oleh metode, strategi, model dan pendekatan saja, tetapi juga dapat diamati sisi konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis.

Variabel Terikat.

Varibel terikat merupakan variabel konsekuensi dari variabel bebas (variabel terpengaruh). Dalam penelitian ini ada dua, masing-masing dilambangan Y1, Y2,. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

a) Kebugaran Jasmani (KJ) dilambangkan dengan Y1. Penetapan variabel ini

dengan alasan bahwa pembelajaran pendidikan jasmani melalui aktivitas bermain anak, mampu meningkatkan motivasi anak untuk selalu aktif bergerak. Dengan aktifnya gerak fisik anak, diyakini dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiologi yang pada akhirnya dapat pula meningkatkan kebugaran jasmani anak.

b) Motor educability anak dilambangkan dengan Y2. Penetapan variabel ini


(29)

bermain anak, mampu menggugah motivasi anak untuk selalu aktif bergerak. Diyakini pula dengan menerapkan model pendekatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini berdampak positif terhadap kemampuan untuk dapat mempelajari gerakan yang baru (new motor skill).

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan identifikasi variabel di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Apakah ada pengaruh pendekatan pengayaaan gerak melalui aktivitas bermain anak, dan model direct instruction terhadap kebugaran jasmani, dan motor

educability pada anak usia 10-12 tahun?

b) Apakah ada pengaruh konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis, (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10-12? c) Apakah ada pengaruh interaksi antara pendekatan pengayaan gerak melalui

aktivitas bermain anak, dan model direct instruction dengan konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani, motor educability pada anak usia 10-12 tahun?.


(30)

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan ;

a) Pengaruh pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak, dan model direct instruction terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10 -12 tahun.

b) Pengaruh konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis, (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10 -12 tahun.

c) Pengaruh interaksi antara pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak, dan model pembelajaran direct instruction dengan konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis, (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10-12 tahun.

Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.

Manfaat Teoretis :

a) Memberikan sumbangan pengetahuan (keilmuan) pendidikan jasmani implikasinya pada pembinaan kebugaran jasmani dan motor educability anak sekolah dasar (SD).

b) Memberikan sumbangan pengetahuan (keilmuan) pedagogi olahraga, terutama berkaitan dengan pemutakhiran teori pengajaran pendidikan jasmani berazaskan


(31)

c) Penajaman kontribusi pendidikan jasmani bagi dunia pendidikan, yang bukan hanya semata berkontribusi pada perkembangan dan pertumbuhan fisik saja, tetapi juga berkontribusi pada kebugaran jasmani, motor educability.

Manfaat Praktis

Bagi para penyusun kurikulum, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambilan keputusan dalam pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan jasmani secara efesien dan efektif. Hasil penelitian ini pula, manfaatnya diperuntukan buat:

a) Guru pendidikan jasmani, hasil penelitian ini dapat membantu meningkatkan proses belajar mengajar (PBM) pendidikan jasmani dikalangan pelajar, khususnya di sekolah dasar (SD),

b) Para peneliti lain, hasil penelitian ini merupakan bahan informasi guna memberikan rangsangan untuk melakukan penelitiannya berkaitan dengan proses pembelajaran pendidikan jasmani di SD.

c) Lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK), khususnya FPOK dan JPOK hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam upaya mempersiapkan tenaga pendidik di bidang pendidikan jasmani dan olahraga.

E. Asumsi dan Hipotesis

Asumsi adalah anggapan dasar yang melandasi perumusan hipotesis, karena itu beberapa landasan penting dalam perumusan hipotesis disusun sebagai berikut :


(32)

Menurut Anderson, (2006); dalam Chin Ming-Kai (2008;12) menyatakan ‘Eropa-saat ini mengusulkan agar anak-anak usia 11 sampai 14 tahun selalu aktif bergerak minimal 90 menit setiap hari dengan tujuan untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya’. Dalam pandangan yang sama, menurut Kaplan, Liverman dan Kraak, (2005); McKenzie et al., (2003) dalam Chin Ming-Kai (2008:8) mengatakan “increasing physical activity through physical education is also a

proposed public health strategy to reduce obesity in childhood and adolescence”.

Begitu pula, tidaklah berlebihan Bart Crum (1994) mengatakan ‘movement culture’ dikaitkan dengan konteks budaya gerak, faktor lingkungan sangat berpengaruh, misalnya anak-anak yang berada di pedesaan diasumsikan lebih banyak aktif bergerak dibandingkan dengan anak-anak yang berada di lingkungan perkotaan. Mencermati pernyataan di atas, menempatkan pendidikan jasmani sebagai satu sumber keyakinan untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak-anak di sekolah. Sejatinya anak yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran jasmani yang baik.

Asumsi : “Ada pengaruh interaksi antara pendekatan pengayaan gerak melalui

pendekatan aktivitas bermain anak, model direct instruction, dan konteks lingkungan (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani dan motor educability anak usia 10-12 tahun”.

Landasan rationalisasi dari asumsi ini, diyakini bahwa model aktivitas bermain anak ini, merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan


(33)

dalam bentuk aktivitas gerak bermain yang menggembirakan. Strategi pembelajarannya diorganisir kedalam bentuk modifikasi secara terstruktur dari yang mudah kearah yang lebih sukar.

Penetapan model ini sebagai pengalaman ajar, yang mengacu pada prinsip developmentally appropriate practice (DAP). Prinsip dimaksud memperhitungkan penyesuian pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepada anak diberikan tugas gerak sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisiknya dengan dasar anak bukanlah manusia dewasa. Di samping itu, prinsip lainnya menekankan pemahaman filosofis bahwa anak adalah mahluk bermain (homo-luden). Bahkan menurut Griffin, Mitchell, & Oslin (1997: 8) tujuan pembelajaran bermain adalah: (1) penguasaan kemampuan bermain melalui keterkaitan antara aktivitas gerak dengan perkembangan keterampilan, (2) memberikan kesenangan dalam beraktivitas, dan (3) memecahkan masalah-masalah dan membuat keputusan selama bermain.

Langkah-langkah pelaksanaan model ini, oleh Metzler (2000: 369) secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:

(1) format bermain, anak diarahkan kepada bentuk-bentuk bermain, (2) mengajar untuk pemahaman, pada saat pembelajaran berlangsung guru menghentikan sementara kegiatan pembelajaran untuk mengadakan tanya jawab dengan anak, (3) drill untuk pengembangan keterampilan, guru menjelaskan dan memberikan contoh kepada anak untuk melakukan pengulangan terhadap keterampilan teknik, (4) kembali ke format bermain, para anak melakukan bermain kembali sesuai dengan instruksi guru, (5) evaluasi (penutup), guru menjelaskan kembali konsep dan prinsip penting pola-pola bermain yang telah dilakukan oleh anak.


(34)

Sedangkan rasionalisasi model pembelajaran direct instruction, menurut Thorpe, Bunker & Almond (1986: 26) format kegiatan pembelajarannya meliputi “pengenalan aktivitas gerak dasar, dan fase keterampilan gerak dasar, dan keterampilan bermain”. Format kegiatannya meliputi pemanasan, pengembangan keterampilan gerak dasar, modifikasi bermain, dan kemudian bermain.” Menyimak pendapat tersebut, suasana pembelajarannya memberi kesan monoton dan membosankan, sehingga kurang merangsang minat belajar pada anak. Dampaknya, anak yang belajar tidak diarahkan kepada prinsip penyesuaian kemampuan kapasitas fisik anak itu sendiri. Kepada anak diberi tugas gerak yang melebihi kemampuan fisiknya sehingga anak merasa kelelahan. Di sisi lain model direct instruction ini di cirikan dengan semua aktivitas dan bahan pembelajaran sudah di atur oleh guru itu sendiri, anak tinggal menerima saja.

Berdasarkan asumsi di atas, diduga terdapat perbedaan pengaruh pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak, dan model pembelajaran direct instruction, serta konteks lingkungan geografis (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani dan

motor educability anak usia 10-12 tahun. Memperhatikan kondisi demikian,

implementasi pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar melalui pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak dan model direct instruction, serta konteks lingkungan (desa dan kota) sangatlah beralasan. Beberapa pendekatan pembelajaran tersebut diindikasikan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kebugaran jasmani dan motor educability anak anak SD usia 10-12 tahun.


(35)

Melalui pendekatan pembelajaran model pengayaan gerak, dan model direct

instruction serta dikaitkan dengan konteks lingkungan sosial, dan budaya geografis

(desa dan kota) itu, anak yang belajar diarahkan kepada kondisi Pembelajaran Aktif, Kreatif dan Menyenangkan (PAKEM) yang disesuaikan dengan kemampuan gerak pada saat itu dan situasi-kondisi lingkungan di sekolah. Model ini pula diarahkan kepada pemahaman pola-pola gerak dasar. Sedang melalui model pembelajaran

direct instruction, anak diarahkan kepada belajar penguasaan keterampilan dan

penguasaan teknik dasar cabang olahraga tertentu.

Menyimak gambaran perbedaan pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak dengan model pembelajaran direct instruction dalam pendidikan jasmani di Sekolah Dasar. Dalam rangka untuk memperoleh hasil proses pembelajaran yang baik, maka diduga terdapat perbedaan tingkat kebugaran jasmani dan motor educability anak usia 10-12 tahun di Sekolah Dasar, baik antara yang diajar melalui pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak maupun model pembelajaran dengan pendekatan direct instruction. Model pembelajaran pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak lebih besar pengaruhnya dari pada model pendekatan direct instruction.


(36)

F. Hipotesis.

Berdasarkan asumsi di atas, diajukan beberapa hipotesis yang memberi arah penelitian sebagai berikut:

H1 : Terdapat pengaruh positif pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak, dan model direct instruction terhadap kebugaran jasmani, dan

motor educability anak usia 10-12 tahun.

H2 : Terdapat pengaruh positif konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10-12 tahun.

H3 : Terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak, dan model direct instruction dengan konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10-12 tahun.

Berdasarkan asumsi dan hipotesis di atas, dapat disarikan ke-dalam dua status kinerja fisiologis yang diformulasikan kedalam tatanan kerja kebugaran jasmani anak-anak. Dalam formulasi tersebut, proses kerja fisiologis saling berinteraksi untuk meningkatkan kapasitas aerobic, anaerobic, dayatahan otot, kekuatan otot, daya tahan otot lokal, koordinasi gerak dan bahkan memberikan dampak perubahan


(37)

terhadap beberapa komponen lainnya. Dampak perubahan dimaksud meliputi dampak kelelahan, belajar, motivasional, gaya hidup aktif, gaya hidup sehat, peningkatan stimulus, dan motor educability anak. Apabila beberapa komponen tersebut secara bersama-sama pula berinteraksi melakukan aktivitas gerak (physical

activity) dan bahkan direspons secara lebih baik melalui berbagai latihan dan aktivitas

gerak fisik. Maka di dalam tubuh anak lama-kelamaan dapat beradaptasi menuju peningkatan kualitas gerak, dimana kualitas gerak tersebut secara bersama-sama pula akan berdampak secara positif dan negatif. Dampak positif dari aktivitas gerak tersebut akan terlihat pada pertumbuhan dan kematangan fisik anak dan meningkat menjadi pengembangan kebugaran jasmani dan bahkan mampu mempersiapkan fisik anak untuk dapat beradaptasi dalam hal mempelajari gerakan yang baru (new motor

skill) dalam konsep motor educability anak-anak.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperiment dengan rancangan pre-test and post-test design”. Hyllegard (1996: 424) menyatakan ”experiments are conducted to investigate caucal and effect relationships”. Metode eksperimen adalah cara mengadakan kegiatan percobaan yang bertujuan untuk menemukan hubungan sebab akibat beberapa variabel yang diselidiki. Hubungan sebab akibat dimaksud, yakni terhadap kelompok eksperimen (KE) dan


(38)

membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol (KK) yang tidak dikenai perlakuan.

Teknik pengolahan dan analisis data untuk uji hipotesis, digunakan analisis multivarian dengan teknik MANOVA. Manova adalah suatu teknik statistik yang digunakan untuk menghitung pengujian signifikansi perbedaan rata-rata secara bersamaan antara kelompok untuk dua atau lebih variabel terikat dalam bentuk data skala interval atau rasio (Ghozali, 2009: 79) pada taraf signifikansi α = 0,05.

H. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada dua konteks lingkungan geografis yang berbeda, yakni lingkungan : (1) pedesaan, (2) perkotaan. Di pedesaan menggunakan murid Sekolah Dasar (SD) usia 10-12 tahun yang berlokasi di pedalaman Dayak Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Desa pedalaman Dayak Loksado merupakan desa terpencil yang dihuni oleh sekelompok masyarakat Dayak berkumpul dalam sebuah balai (rumah adat) berukuran 10 sampai 15 meter.


(39)

Kehidupan mas (terasing) dari kehi kehidupannya menge tradisional yang mer bukan saja pekerjaan Luas wilayah pemu pemerintahan, pemuk Halunak, (2) desa Pan (6) Loksado, (7) Lou haratai terbagi lagi me

No 1 2 3 4 Gambar 1

Balai (rumah adat) dan Peta Lokasi

asyarakatnya masih tradisional karena posis ehidupan layaknya. Masyarakat Dayak

gembangkan budaya huma (tanam padi) atau ereka sebut dengan istilah menugal. Menu an kaum lelaki, tetapi juga perempuan dan mukimannnya kurang lebih 338,89 Km2. ukiman Dayak Loksado terdiri dari 10 desa Panggungan, (3) desa Lumpangi, (4) desa Hulu ouklahong, (8) Tumingki, (9) Kamawakan, menjadi (a) Haratai 1, (b) Haratai 2 dan, (c) Ha

Tabel 1.1.

Data Luas Wilayah Kecamatan Loksado

No Nama Desa Luas Wilayah

Halunak 3,605 Ha

Panggungan 1,368 Ha

Lumpangi 2,462 Ha

Hulubanyu 4,044 Ha

sisi mereka terisolasi yak Loksado dalam tau berladang secara nugal atau berladang n bahkan anak-anak.

. Dalam struktur esa, yakni : (1) desa ulubanyu, (5) Tanuhi, n, (10) Haratai. Desa Haratai 3.


(40)

5 Tanuhi 3,482 Ha

6 Loksado 9,51 Ha

7 Loklahung 3,486 Ha

8 Tumingki 2,891 Ha

9 Kamawakan 3,696 Ha

10 Haratai 3,486 Ha

Sumber :

Monografi Kecamatan Loksado tahun 1980

Pada era 70-an, perjalanan menuju Loksado hanya bisa berjalan kaki dengan menghabiskan waktu kurang lebih 8 - 12 jam dari ibu kota kabupaten. Dalam perjalanannya menelusuri lereng bukit dan terkadang melintasi sungai berarus deras. Sungai juga dijadikan mereka sebagai sarana transportasi dengan menggunakan bambu (lanting paring) penghubung antara desa ke desa lainnya. Di era sekarang oleh pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) sejak tahun 1970 dibuat jalan beraspal sebagai jalur utama menuju Loksado selesai pada tahun 1980 bertepatan dengan terbentuknya kecamatan Loksado. Dampak terbangunnya jalan beraspal tersebut, membuka isolasi dari marginalisasi masyarakat dayak loksado menjadi masyarakat yang lebih maju dari keterasingan. Meski demikian, hingga saat ini masih ada 6 (enam) desa lagi yang masih terasing, mereka hidupnya berkelompok dengan menghuni satu atau dua rumah dalam satu umbun (keluarga).

Ke-enam desa tersebut itulah yang dijadikan penulis sebagai lokasi penelitian, yakni desa : (1) Lokhalung, (2) Tumingki, (3) Kamawakan, (4) Haratai satu, (5) Haratai dua, dan (6) Haratai tiga.


(41)

Di lihat dari kondisi alam, Loksado berwujud hutan tropis berfungsi sebagai hutan lindung mendominasi kawasan pengunungan. Hutan tropis tersebut seperti kayu meranti, ulin, lanan, putih, kayumanis, dan pohon karet. Mereka memiliki ladang luas sebagai tempat menugal (tanam padi) dilereng-lereng gunung. Jarak dari desa ke desa cukup berjauhan .http:.wikipedia.org/Suku_Dayak_Meratus

Ke-anekaragaman budaya suku dayak berbeda satu dengan lainnya. Di Loksado dikenal sebagai adat dayak meratus. Budaya tersebut lebih menekankan pada upacara kehidupan, seperti upacara "Bawanang". Rumah adat mereka dinamakan balai. Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan upacara ritual (religi) yang di tengah-tengah balai tersebut ada sebuah altar (panggung) tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku dayak umumnya yang berbentuk panjang rumah panjang (BPS HSS 2001). Sedangkan lokasi penelitian di lingkungan perkotaan, menggunakan murid SD Pasarlama 1 Banjarmasin jalan S. Parman


(42)

Banjarmasin. Karakteristik masyarakatnya merupakan masyarakat kota karena berada di ibu kota pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam kehidupannya sehari-hari sudah mengikuti pola kehidupan semi modern.

2. Populasi dan Sampel Penelitian

a) Populasi Penelitian.

Populasi penelitian ini adalah seluruh individu yang diteliti dengan memiliki karakateristik homogen. Karakateristik dimaksud berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan wilayah tempat tinggal anak yang sama pula. Dengan demikian populasi penelitian ini adalah seluruh anak Sekolah Dasar (SD) usia 10-12 tahun dengan konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis (desa dan kota) di Kalimantan Selatan.

b) Sampel Penelitian.

Sampel merupakan bagian dari populasi yang dapat menggambarkan seluruh populasi yang representatif. Dalam penentuan sampel, agar memenuhi syarat representatif, maka prosedur dan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik


(43)

random sederhana (simple random). Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 108 anak dengan rincian sebagai berikut : (a) sampel di pedesaan sebanyak 40 orang, terdiri dari 26 orang laki-laki 14 orang perempuan. Untuk lingkungan perkotaan sebanyak 68 orang, terdiri dari 34 orang anak laki-laki, dan 34 orang perempuan.

3. Definisi Operasional

Dalam upaya untuk lebih memahami penelitian ini, beberapa istilah perlu dijabarkan definisi operasional sebagai berikut :

a. Pendidikan jasmani adalah sejumlah aktivitas jasmani yang dilaksanakan melalui aktivitas jasmani tujuannya mencakup semua aspek pendidikan. (Jesse Feiring Williams ; 1999; dalam Freeman, 2001)

b. Kebugaran jasmani adalah kemampuan fisik seseorang untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari secara efisien dan efektif dalam waktu yang relatif lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih memiliki tenaga cadangan untuk melaksanakan aktivitas lainnya.

c. Motor educability adalah kemampuan seseorang untuk mempelajari gerakan

yang baru (new motor skill).

d. Pendekatan Pengayaan gerak melalui aktivitas bermain adalah merupakan suatu model pendekatan pembelajaran dalam pendidikan jasmani dalam


(44)

pelaksanaannya menuntut kemampuan siswa dalam menangkap informasi dan mengolahnya lalu dikongkretkan dalam wujud gerak, yakni menggunakan badan, kaki dan tangan dalam bentuk bermain”.

e. Konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis adalah merupakan tata latar keberadaan lokasi sekolah dan siswanya dibatasi dalam pengertian lingkungan pedesaan dan perkotaan.


(45)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

Berdasarkan paparan dan analisa data yang dilakukan, dapat dirumuskan kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi sebagai berikut :

A. Kesimpulan.

Pertama, terdapat pengaruh model pendekatan pengayaan gerak dasar melalui aktivitas bermain anak, dan model direct instruction secara signifikan terhadap kebugaran jasmani dan motor educability anak usia 10-12 tahun. Kedua, terdapat pengaruh konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis (desa dan kota) secara signifikan terhadap kebugaran jasmani, motor educability anak usia 10-12. Ketiga, terdapat perbedaan pengaruh interaksi yang signifikan antara kelompok model pendekatan pengayaan gerak dasar melalui model aktivitas bermain anak, dan model direct instructional dengan kelompok konteks lingkungan sosial, budaya dan geografis (desa dan kota) terhadap kebugaran jasmani dan motor educability anak usia 10-12 tahun.


(46)

B. Implikasi

Implikasi yang di bahas meliputi: (1) implikasi terhadap dampak teori dan; (2) implikasi terhadap penerapan praktis.

1. Implikasi Terhadap Dampak Teori.

Pendekatan pengayaan gerak dasar melalui aktivitas bermain anak dalam pendidikan jasmani dapat mengembangkan kemampuan gerak lokomotor, non-lokomotor dan menipulatif sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kebugaran jasmani dan motor educability anak usia 10-12 tahun. Pengajaran pendidikan jasmani dengan menggunakan model pendekatan yang menyenangkan anak, tentunya dapat menggugah keaktifan gerak anak dan sekaligus menjadi media serta faktor pendukung dalam meningkatkan keterampilan berolahraga.

Dewasa ini, pengajaran pendidikan jasmani sangat perlu dibarengi dengan memodifikasi model, dan metode serta pendekatan pembelajaran dalam upaya memberikan kesan positif dan suasana pengajaran yang menyenangkan. Model pendekatan pengayaan gerak sebagaimana dalam penelitian ini, tentunya perlu ditelusuri agar menjadi perioritas utama dalam upaya mempersiapkan tenaga sumber manusia yang berkualitas. Tantangan modernisasi, globalisasi dan tingginya arus informasi dan teknologi mengilhami pendidikan jasmani sekarang perlu mengarahkan diri pada upaya pengembangan model dan pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Oleh karenanya guru pendidikan jasmani harus pandai dan terampil dalam merancang, mengorganisasi sekaligus dapat dengan baik melakukan


(47)

evaluasi pengajaran secara bermakna. Upaya kebermaknaan pengajaran pendidikan jasmani dimaksud, penekanannya pada penanaman pola kebiasaan dan kebutuhan gerak serta pemanfaatan aktivitas bermain anak disetiap sisi kegiatannya. Dengan kata lain, siswa dipancing untuk terbiasa melakukan aktivitas gerak guna menghindari dari pemanjaan fisik yang merugikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Stodden, dan Goodway,(2007);dalam Chin Ming-kai.,(2008:10) menyatakan ‘tanggung jawab pendidikan jasmani adalah mendidik dan memberi pengetahuan tentang berbagai macam aktivitas fisik’. Jadi pemikiran di atas, menempatkan pendidikan jasmani sebagai satu sumber untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak-anak di sekolah. Selayaknya anak yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran jasmani yang baik. Namun kenyataannya saat ini masih banyak anak-anak memiliki tingkat kebugaran jasmani yang rendah.

Dalam kaitan itu, para ahli pendidikan jasmani, seperti Bunker & Thrope, (1982); Griffin, Mitchell & Oslin, (1997); Metzler, (2000) mengatakan bahwa “untuk mengefektifkan pengajaran pendidikan jasmani, model pengajaran teaching game for understanding merupakan bagian dari strategi pembelajaran penjas yang dapat menggugah suasana menjadi menyenangkan. Berdasarkan hal ini, pendekatan pengayaan gerak dasar melalui aktivitas permainan, mampu membangkitkan arousal para siswa untuk lebih termotivasi aktif bergerak. Oleh karenanya, diharapkan terjadi proses transfer pemahaman dan keterampilan terhadap kebugaran jasmani dan motor educability yang sesungguhnya. Dengan demikian implikasi penelitian terhadap


(48)

dampak teoretis, adalah upaya membantu pembangunan kualitas sumber daya manusia, terutama dari kompetensi gerak dasar anak sebagai landasan untuk mencapai kebugaran jasmani anak. Di samping itu pula, berupaya untuk menggali dan mengembangkan kemampuan sebagai bekal mendapatkan keterampilan gerak selanjutnya.

2. Implikasi Terhadap Penerapan Praktis.

Hasil penelitian ini, khususnya bagi guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar dapat dijadikan pertimbangan dalam menerapkan sebuah model pendekatan ketika akan mengajarkan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan informasi kepada pejabat yang berwenang dalam menyusun program pembelajaran pendidikan jasmani. Melalui hasil penelitian ini diyakini bahwa pendidikan jasmani memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan meningkatkan status kebugaran jasmani manakala tugas belajar gerak, dikemas, dikelola dengan baik. Oleh karenanya, pendidikan jasmani perlu dibarengi dengan pengajaran aktivitas bermain, agar menimbulkan kesenangan, keceriaan yang pada akhirnya anak-anak termotivasi selalu aktif bergerak.

Dalam kaitan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dihubungkan dengan persaingan pengembangan pendidikan jasmani di berbagai Negara. Tantangan modernisasi, globalisasi, dan arus informasi teknologi komunikasi mengilhami pendidikan jasmani untuk mengarahkan diri kearah upaya


(49)

pengembangan aspek pertumbuhan dan perkembangan fisik anak yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan kematangan fisiknya. Oleh karena itu pula, guru pendidikan jasmani harus pandai dan terampil dalam merancang, mengorganisasikan, dan sekaligus mengevaluasi proses ajar aktivitas jasmani secara bermakna.

Guru pendidikan jasmani harus memahami pendidikan jasmani dan olahraga digunakan untuk mempromosikan kesehatan, kebugaran jasmani semua orang, segala usia, tidak memandang perbedaan ekonomi, sosial dan budaya’. Guru pendidikan jasmani harus memahami tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk membantu siswa mengembangkan gaya hidup aktif, hidup sehat dan memiliki kebugaran fisik, melalui berbagai aktivitas fisik serta belajar keterampilan berolahraga.

C. Rekomendasi dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, rekomendasi dan saran-saran diharapkan dapat memberikan sumbangan dan pertimbangan bagi para ahli pendidikan maupun peneliti selanjutnya, yaitu:

1. Dalam proses pendidikan jasmani, disaran memperhatikan lingkungan fisik tempat berolahraga yang cukup luas, lapang, nyaman dan aman membangkitkan sensasi penarik yang kuat secara psikologis bagi anak usia SD untuk aktif mengekspresikan dirinya melalui berbagai aktivitas gerak dasar lokomotor, misalnya, melompat, berguling, berlari. Aktivitas gerak non-lokomotor, misalnya, aktivitas berbagai gerak keseimbangan, dan aktivitas gerak


(50)

manipulative, misalnya, memainkan objek dengan anggota badan, khususnya tangan dengan konfigurasi ruang dan bentuk objek disekitarnya, serta pertimbangan kemampuan diri untuk melakukan tugas gerak tersebut.

2. Dalam rangka melengkapi falsafah pendidikan khususnya dalam perkembangan domain afektif, maka aktivitas gerak dalam pendidikan jasmani, mengandung nilai sikap perilaku berkarakter, jujur, kerjasama, disiplin dalam konteks pendidikan yang bersifat menyeluruh.

3. Model pendekatan pengayaan gerak melalui aktivitas bermain anak harus dipopulerkan ke seluruh jenjang persekolahan menimbulkan rasa cinta dan aktif dalam memelihara kemampuan fisik dan kebugara jasmani siswa.

4. Dalam penelitian lebih lanjut, disarankan untuk lebih mengembangkan desain, treatmen, serta menggunakan waktu lebih lama agar hasilnya lebih baik dan lebih sempurna. Perihal ini ditegaskan, karena efek eksperimen itu bergantung pada subtansi, durasi dan frekuensi di samping intensitas proses refleksi. 5. Dalam upaya mengurangi pengaruh di luar kegiatan penelitian, disarankan

untuk mencari sampel, dan desain yang lebih cermat dalam mengontrol perlakuan di samping menggunakan alat ukur yang lebih tepat pula.


(51)

212

DAFTAR PUSTAKA

AAHPERD (1999). Physical Best. The American Alliance Physical Fitness

Education and Assessment Program. Reston, VS : Author.

AAHPERD (1980). Health-Related Fitness Test. Reston, VS : Author.

Adang Suherman (2008). Pedagogi Olahraga” Modul Jurusan Pendidikan Olahraga FPOK UPI Bandung.

Auweele, Y.V., Bakker, F., Biddle, S., Durand, M., & Seiler, R. (1999). Psychology

for Physical Educators. Champaign, Illinois; Human Kinetics.

Bailey, D.A., & McCulloch. (1992) A Children’s test of fitness. Medicine in Sport, 11. Champaign, IL, Human Kinetics.

B.,Abdul Jabar (2009). Disertasi Pengaruh Pembelajaran Kognitif dalam

Pengajaran Olahraga Tenis dan Program Pengajaran Olahraga Futsal untuk Pengembangan Keterampilan Kritis dan Atensi Kinestetik Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama. UPI Bandung.

B.,Abdul Jabar (2010). Landasan Ilmiah Pendidikan Intelektual Dalam Pendidikan

Jasmani. Rizqi Press, Bandung

Begley, S. (2007). Train Your Mind Change Your Brain”. New York ; Ballantine Books.

Bohler, Heidi, R. (2004). Sport Education: Examining an Alternative Physical

Education Instructional Approach. Thesis. Texas: Texas Tech University.

Bookwalter, Kaerl W. (1964). Physical Education in the Secondary School. Washington DC; The Center for Applied Research in Education, Inc. Bredkam & Metzler (2000). Instructional Models for Physical Education. United


(1)

Gerber, & Pushe.,Uwe. (2005) International Comparasion of Physical Education

Concepts-Problems-Prospects. United Kingdom. Meyer and Meyer

Sport.

George Petersen (2002) “World Health Organization for Indonesia” Jakarta. Kompas 7 April 2002.

Generall Accounting Office (2006). Chilhood Obesity ; factors affecting physical

activity. Washington DC ; Author (GAO-070260R).

Griffin L. L., Mitchel, Stephen A., and Oslin, Judith L. (1997). Teaching Sport

Concepts and Skills: A Tactical Games Approach. United States of America:

Human Kinetics.

Group-3. LTCwiki. (2008). Teaching Game For Understanding (TGFU) (Online). Gulo W. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Cetakan Keempat. Jakarta: PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Gunarsah, Singgih D. (1989). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Harsono, (1991). Fungsi dan Profesionalisasi Pendidikan Jasmani di Sekolah Serta

Sumbangsihnya Dalam Membentuk Manusia Seutuhnya. Makalah. Bandung:

University Press IKIP Bandung, Penerimaan Jabatan Guru Besar.

Harrison, Joyce M dan Blakemore, Connie L. (1989) Instructional Strategies for

Secondary School Physical Education. Dubugue, Iowa. Wm.C.Brown

Publisher.

Hyllegard. R (1996) “ Interpreting Research in Sport and Exercise Science” Kansas State University.

James Pinontoan (2008). Menyambut Indonesia Sehat 2010. Jurnal Kedokteran Jakarta.

Jonathan Sarwono, (2006). Panduan Cepat dan Mudah Mempelajari SPSS Versi 14. Penerbit, CV Andi Offset, Jogyakarta.


(2)

Kevin Norton & Tim Olds (1996). Anthropometrica., A textbook of body

measurement for sport and health courses. Human Kinetics. Sydney

Australia.

Kongress ICSSPE. International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) di Jerman.

Mandigo, James L., and Holt, Nicholas L. (2004). Reading the Game: Introducing

the Notion of Games Literacy. Physical Education and Kinesiology at Brock

University.

Metzler., MW. (2000). Instructional Models for Physical Education. Massachusetts; Allyn & Bacon A Person Education Company.

Metzler, Michael W. (2000). Instructional Models For Physical Education (First Edition). United States of America: Allyn & Bacon.

Metzler, Michael W. (2006). Instructional Models For Physical Education (Second Edition). United States of America: Holcomb Hathaway Pubs.

Metzler, Mike dan Housner, Lynn. (2009). That was Then…..This is Now: Celebrating PETE’s Past While Facing Challenges for its Future. Makalah. Gorgia state University and West Virginia University.

Meyer, Beverly. (2009). Guide to information in Physical Education and Recreation. (Online). Chicago: Phys. Ed & Recreation Selector.

Moh. Nazer, (2005). Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Rancamaya warung Nangka Ciawi Bogor.

Murray, N.,& Wall, J. (1994). Children and Movement :Physical Education in the

Elementary School. 2nd Ed.Brown & Benchmark Publisher.

Mosston, Muska, and Ashworth, Sara,. (1994). Teaching Physical Education. Fourth Edition. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc.

Mulyasa. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(3)

jasmani dijadikan patokan di beberapa negara maju.

Nerry A Sani (2004). Pola makan tidak seimbang banyak dialami masyarakat, terutama kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah) “Yayasan Jantung Indonesia. Jakarta. http://www.kompas.com/health/news/0204/04/073320.htm. Ogden, C.L., Carroll, MD., Curtin LR., McDowell, M.A. (2006) Prevalence of

Overweight and Obesity in the United States,

O’Connor, Justen, (2006). The Teaching of Skills in Games and Sports (Online). Monash University.

Oliver, Michael J. (2001). A Comparison of Critical Thinking Skills For Hospitality

Management Graduates From Associate and Baccalaureate Degree Programs. Stout: The Graduate College University of

Wisconsin-Stout.

Othman, Nurliza. (2002). Thinking Skills-A Motivational Factor in ELT. Jurnal Pendidikan IPBA

Otten G. V. and Leszczynski L. (2006). Critical Thinking: Teaching Critical

Thinking Skills Across the USAIC Curriculum. USA: Military Intelligence

Professional Bulletin.

Pribakti B (2009). Menyambut Indonesia Sehat 2010. Jurnal Kedokteran Jakarta. Rahantoknam, Edward B. (1988). Belajar Motorik: Teori dan Aplikasinya dalam

Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti.

Riduan., Engkos Achmad Kuncoro. (2007). Cara Menggunakan dan Memakai Analisis Jalur. Penerbit Alfabeta Bandung.

Rusli Lutan. 1984a. Beberapa Isu dalam Olahraga. Makalah

Rusli Lutan. 1984b. Menuju Ke Arah Filsafah Olahraga dan Implikasinya Terhadap

Pembinaan. Makalah

Rusli Lutan.,(1988). Belajar Keterampilan Motorik, Pengantar Teori dan Metode. Departemen Pendidikan Kebudayaan Dirjen Dikti, Jakarta.


(4)

Rusli Lutan. 1998. Perencanaan Stategi Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan

Kesehatan. Makalah. Depertement Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen

Pendidikan dasar dan Menengah

Rusli Lutan (2003). Olahraga Kebijakan dan Politik: Sebuah Analisis. Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga. Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta.

Rusli Lutan (2004) Akar Sejarah dan Dimensi Keolahragaan Nasional. Jakarta ; Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga. Dirjen Depdiknas.

Rusli Lutan (1990) Profil Pengelolaan Pengajaran Olahraga Pendidikan dalam

Kaitannya dengan Kualifikasi Tenaga Guru SLTA “Laporan Penelitian”.

FPOK IKIP Bandung.

Rusli Lutan, (1999). Reinterpretasi Hasil Kongres: World Summit on Physical Education at Berlin, September, 1999. Unpublished manuscript.

Rusli Lutan (2000). Keniscayaan Pluralitas Budaya Daerah. Analisis Dampak Sistem

Nilai Budaya terhadap Eksistensi Bangsa. Bandung: Penerbit Angkasa. I.

Rusli Lutan (2000). Sosiologi Olahraga . Jakarta ; Direktorat Pendidikan Dasar Menengah.

Rusli Lutan (2000). Reinterpretasi Hasil Lokakarya di lingkungan ASPES, Seoul, Korsel.

Rusli Lutan dan Toho Cholik Mutochir (2001). Olahraga sebagai Wahana Koreksi

Budaya. Makalah (untuk kebutuhan intern Komisi nasional pendidikan

jasmani dan Olahraga). Jakarta.

Rusli Lutan dan Toho Cholik Mutochir (2003). Olahraga Kebijakan dan Politik:

Sebuah Analisis. Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan


(5)

Santrock.,John W. (2007). Child Development. The McGraw-Hill Companies, Inc. All rights Reserved.

Santrock.,John W. (2007). Perkembangan Anak. Translation Copyright by Penerbit Erlangga.

Singgih Santoso (2008). Panduan Lengkap Menguasai SPSS Versi 16. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Anggota Gramedia Jakarta.

Siedentop, Daryl (1990). Introduction to Physical Education, Fitness, and

Sport.,Ohio State University,.May Field Publshing Company.

Siedentop, Daryl (1991). Developing Teaching Skills in Physical Learning Time

Physical Education”. View, California, London, Toronto.

Siedentop, D. Tousignant, M. and Parker (1982) “Developing Teaching Skills in

Physical Learning Time Physical Education Coding Manual, Columbus, OH. School of Health Physical Education and Recreation.

Sugiyanto (1992). Modul Perkembangan dan Belajar Gerak” Depdiknas.,Proyek Peningkatan Mutu Guru Pendidikan jasmani.Jakarta.

Sugiyono (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta Bandung.

Susenas (2004) “Survei Sosial Ekonomi Nasional” Kerjasama Departemen Kesehatan dengan Departemen Sosial. Jakarta.

Suharsimi, Arikunto (1999). Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek., Edisi Revisi V. Penerbit Rineka Cipta.

Toho Cholik dan Ali Maksum (2007) “ Landasan dan Konseptual Sport Development

Index” Jakarta.

Thorpe R., Bunker D., and Almond L. (1986). Rethinking Games Teaching. Loughborough: Department of Physical Education and Sports Science, University of Technology.


(6)

Teri Reed Rhoads, Ron J. Roedel. (1999). The Wave Concept Inventory - A

Cognitive Instrument Based on Bloom’s Taxonomy. San Juan, Puerto Rico,

29th ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference. November 10 - 13, 1999.

Tiberius & Tipping, (1990). Twelve Principles of Effective Teaching and Learning

(Online). Toronto: University of Toronto

Torff, Bruce, (2006). Expert Teachers’ Beliefs about Use of Critical-Thinking

Activities with Highand Low-Advantage Learners. Spring: Teacher Education

Quarterly.

Turner, Andrian P. (1995). An Investigation Into Teaching Games For

Understanding. (Dissertation). Greensboro: University of North Carolina.

Vivian H. Heyward & Dale R. Wagner (2004) “ Applied Body Composition

Assessment”.University of New Mexico.Human Kinetics.

Wall, Jennifer dan Murray, Nancy. (1994). Children and Movement Physical

Education In Elementary School. Dubugue. Il. Brown Communication.

Inc.

Widaninggar,.dkk (2002).. Pusat Pengembang Kualitas Kebugaran Jasmani Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.

Wuest, D.A,. dan Bucher, C.A. (1995). Foundation of Physical Education and Sport. St Louis, Missouri ; Mosby-Year Book, Inc.

World Health Organization/WHO (2002) “Fit For Health or Move For Healt and

Agita Mundo” Peringatan hari kesehatan se-dunia ke 54 tahun 2002 di

Brazil.

Zakrajsek, D.Darst.P and Mancini V. (1989) “ Analizing Physical Education and