D 902007002 BAB VIII

Bab Delapan

Perjumpaan Beresiko:
Transaksi di Saat Konflik

Pengantar
Kerusuhan (konflik) terjadi antar dua kelompok masyarakat Islam-Kristen 1 1999 hingga 2003 membawa dampak yang
signifikan bagi masyarakat Ambon. Kerusuhan itu, praktis memisahkan keduanya menurut garis kelompok masing-masing.
Konflik antar kedua kelompok masyarakat merupakan konflik
fisik yang sangat parah dan banyak menimbulkan korban jiwa
dan harta benda. Kerusuhan dalam beberapa bulan, menelan
ribuan korban jiwa manusia dan hancurnya bangunan fisik.
Pada Mei 1999, sejak kerusuhan melanda kota Ambon,
tercatat sekitar 3.783 kepala keluaga atau 15.941 jiwa dari segala
                                                            
1 Pariela Tony. D (2008:95-98) menguraikan tentang beda persepsi dan tafsir
tentang akar konflik di Maluku. Perbedaan ini terjadi baik di aras lokal
maupun nasional. Adakah konflik Maluku merupakan konflik agama ataukah
konflik Politik yang dikemas melalui media agama?. Selain pembahasan
tersebut, nampaknya belum ada satu penelitian yang valid tentang akar
kerusuhan di Maluku.  


 

237

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
penjuru Pulau Ambon kehilangan harta benda dan mengungsi 2 .
Lebih lanjut disampaikan pula bahwa akibat kerusuhan tersebut
berdiri 55 penampungan pengungsi (kamp) di berbagai lokasi.
Data dari Kepolisian Resort Ambon dan Pulau-pulau Lease
menyebutkan sepanjang tahun 1999-2000, api kerusuhan di
kota Ambon mengakibatkan: rumah warga yang terbakar 4.938
unit, Rumah-Toko (Ruko) 1.158, gedung sekolah 11, gedung
pemerintah 21, kantor swasta 10, hotel 4, kantor bank 4 dan
barak militer 3. Sementara nyawa warga sipil yang melayang
sia-sia 508 orang dan 20 orang aparat keamanan 3 . Untuk
menampung warga yang mengungsi Gereja dan Masjid menjadi
tujuan, mengingat kedua sarana ibadah itu merupakan tempat

berlindung yang aman. Bahkan kedua tempat tersebut, tidak
lagi mampu menampung anggota masyarakat yang mengungsi
untuk menyelamatkan diri.
Implikasi dan dampak buruk kerusuhan nyata pada
aktivitas ekonomi masyarakat dengan dihancurkannya sarana
dan prasarana ekonomi. Di pusat kota Ambon, terdapat tiga
lokasi pasar masing-masing pasar Belakang Kota (pasar lama),
Pasar Mardika dan Pasar Batu Merah. Dua dari tiga pasar
tersebut, tidak luput dari amukan massa. Pasar sebagai sarana
ekonomi dibakar dan dihancurkan, sehingga praktis tidak lagi
dapat dimanfaatkan. Hancurnya pasar mengakibatkan kebutuhan pangan dan sandang masyarakat mengalami kelangkaan
karena arus pendistribusian barang dan jasa tidak normal.
Kesulitan benar-benar dirasakan masyarakat kedua belah
pihak karena kelangkaan kebutuhan itu. Pasokan barang kebutuhan terhambat dan terlambat masuk. Faktor keamanan dan
                                                            
2
3

Koran Kompas, 5 Mei 1999. 
Majalah Tempo 20 Februari 2000. 


 
238
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

keselamatan diri para pengelola dan penyelenggara alat transportasi udara, laut dan darat menjadi penyebab utama. Mereka
tidak berani mengambil resiko untuk memasok barang kebutuhan masyarakat.
Bukan saja masyarakat pada umumnya yang berhenti
berinteraksi, tetapi juga papalele. Mereka selama ini merupakan
satu entitas yang dinamis dalam berusaha. Pedagang dari
berbagai latar belakang kelompok dan suku menjadi bagian
kerjasama dari papalele. Ketika kerusuhan terjadi, interaksi
mereka juga terhenti. Bahkan secara umum aktivitas masyarakat
dengan sendiri tidak bisa berjalan. Kedua kelompok masyarakat
yang puluhan tahun hidup berdampingan sebagai saudara,
hancur lebur dalam hitungan menit, saat kerusuhan. Daya rekat
yang selama ini menjadi pranata sosial ‘pela-gandong’ tidak lagi
menjadi media ampuh untuk menjembatani konflik.

Hampir sekitar dua tahun lamanya, praktis kedua kelompok masyarakat tidak dapat berkomunikasi dan bertemu.
Karena itu, tidak pernah terbayang sedikit pun bagi papalele
bahwa dalam perjalanan usahanya, mereka mencari nafkah
dalam suasana kerusuhan. Namun bagi papalele sekat antar
kedua kelompok yang bertikai berhasil ditembusi melalui
komunikasi dan rasa saling percaya, peduli, menghargai dan
melindungi. Sekat yang ditembusi oleh papalele bukan terjadi
secara mendadak saat suasana kerusuhan masih terasa, tetapi
jauh sebelum konflik, relasi mereka telah terbina. Sehingga dari
proses interaksi mereka diperoleh banyak pengalaman dan
cerita yang tidak terungkap (untold stories) ke publik.
Namun demikian ketika kerusuhan mulai mereda dan
kondisi keamanan mulai membaik, kelompok papalele adalah
bagian dari masyarakat yang mulai membuka kebuntuan komunikasi antar kelompok. Papalele mulai membuka komunikasi
beberapa bulan kemudian setelah intensitas dan eskalasi keru 
239 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 

suhan mulai menurun (cooling down). Mereka adalah salah satu
kelompok di antara warga masyarakat yang membuka kebuntuan aktivitas ekonomi; transaksi barang dan jasa. Menciptakan
kembali komunikasi antar mereka tidak hanya untuk kepentingan ekonomis tetapi tersirat kontribusi sebagai aktor perdamaian (tetapi bukan satu-satunya). Setidaknya dengan transaksi
ekonomi kebuntuan komunikasi terpecahkan antar kelompok
yang bertikai.
Ketika eskalasi kerusuhan mulai menurun, tidak semua
papalele berani melakukan transaksi di simpul perbatasan.
Hanya ada beberapa di antara mereka yang memberanikan diri
bertransaksi di perbatasan konflik. Upaya papalele ini merupakan dampak terhadap kelangkaan bahan-bahan untuk dijual.
Sehingga untuk tetap bertahan dapat terus berjualan, mereka
harus mencari ke perbatasan bertemu dengan pedagang dari
komunitas lain. Perjumpaan untuk bertransaksi kadang mengancam nyawa mereka. Dalam penelitian ini, ada lima papalele
yang selalu mencari buah di lokasi-lokasi perbatasan.
Sementara, papalele yang lain lebih banyak menghindari
resiko mencari bahan kebutuhan berjualan di perbatasan. Bagi
mereka, rasa takut akibat kerusuhan merupakan alasan utama.
Menghindari resiko dan keselamatan diri menjadi yang utama.
Karena mereka tidak bertransaksi di perbatasan, mereka biasanya lebih bersifat menunggu. Menunggu sesama rekan papalele
sekembali saat bertransaksi disana, atau para pedagang lain
sesama komunitas.

Faktor mendesaknya kebutuhan ekonomis membuat mereka mengambil resiko berdagang. Berjuang untuk mempertahankan kehidupan keluarga di satu sisi dan kerusuhan (konflik)
di bagian lain, telah menyatu saat itu. Padahal perjuangan
mereka untuk tetap mempertahankan kehidupan ekonomi
 
240
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

keluarga harus terus berlangsung, walaupun berada dalam
suasana konflik.
Bab ini selanjutnya akan menggambarkan tentang kisah
papalele saat bertransaksi dalam suasana kerusuhan di Ambon.
Papalele mulai bertransaksi setelah eskalasi kerusuhan mulai
menurun. Untuk tetap bertahan berjualan dalam situasi kerusuhan, sedapat mungkin mereka mencari dan membeli buah
dengan kondisi seadanya. Mereka yang menjalani papalele tidak
akan berhenti berusaha. Berhenti berusaha sama artinya keluarga akan tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomis. Karena
itu, apa pun kondisinya berjualan harus terus dilakukan. Bagi
mereka, papalele telah menjadi mata pecaharian.
Terkait dengan hal tersebut, maka pembahasan akan diawali dengan keadaan sebelum kerusuhan, kemudian dilanjutkan dengan dampak yang ditimbulkan kerusuhan terhadap

aktivitas papalele, diakhiri dengan strategi-strategi dan proses
transaksi yang dipergunakan papalele selama berjumpa di
simpul-simpul perbatasan.

Keadaan sebelum Kerusuhan
Papalele di tengah pedagang berbeda, tiga hari sebelum
terjadinya konflik untuk pertama kali. Seperti hari-hari sebelumnya, papalele tersebar di banyak lokasi di pasar. Pada
umumnya mereka menempati depan pelataran toko-toko yang
menjual aneka kebutuhan masyarakat. Seperti toko pakaian,
sepatu dan sandal, kelontong dan seterusnya. Deretan pertokoan ini berada di pusat pasar dan terminal Mardika hingga
terminal Batu Merah Ambon. Lokasi tandeng yang ditempati
papalele sengaja dipilih karena keramaian orang dan banyaknya
pembeli. Sementara papalele yang lain, sering berkelompok
pada satu lokasi tertentu. Papalele yang berkelompok biasanya
 
241 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 

memilih lokasi yang sama agar mereka dapat saling membantu
satu dengan yang lain.
Di lokasi sekitar tempat tandeng papalele, banyak pedagang yang berdekatan dengan mereka. Umumnya para pedagang itu berasal dari berbagai suku seperti Bugis, Jawa, Makassar
atau pedagang lokal lain; Seram, Kailolo, Pelauw dan dari pulau
Lease Saparua. Tiga hari sebelum tanggal 19 Januari 1999 saat
konflik pertama kali terjadi 4 , kira-kira siang hari, waktu menjelang tanda-tanda kondisi tidak normal seperti hari biasanya
mulai terlihat. Mereka melihat orang-orang dan beberapa pedagang di sekitarnya mulai berlarian meninggalkan tempat jualan
sambil membawa barang. Sementara ada juga beberapa toko di
samping kiri, kanan dan depan mereka terlihat mendadak
ditutup lebih cepat dari biasanya 5 . Sambil tetap memperhatikan
kepanikan orang-orang tersebut, mereka mulai bertanya dalam
hati ‘apa yang sesungguhnya sedang terjadi?’, sambil terus
memperhatikan beberapa di antara orang-orang tersebut, ada
yang sibuk bertelepon.

Papalele terlihat bingung ketika melihat perubahan perilaku pedagang lain di sekitar tempat berjualan. Perubahan perilaku pedagang terlihat ketika pedagang mulai mengemas barang
jualan atau menurunkan harga. Sementara kepanikan orangorang di pasar saat itu membuat sebagian papalele mulai kebingungan karena orang-orang dan pedagang banyak yang
harus secepatnya meninggalkan tempat berjualan, sehingga
mereka berlarian tidak tentu arah. Dalam kondisi demikian
                                                            

Awal terjadinya kerusuhan di kota Ambon, diperkirakan sekitar pukul 14.30
Wit, sebagaimana dapat dilihat dalam Pariela Tony D, 2008 “Damai di Tengah
Konflik Maluku; Preserved Social Capital Sebagai Basis Survival Strategy.
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Hal. 84-94. 
5 Wawancara dengan Christina (Ting) Alfons, tanggal 20 April 2009. 
4

 
242
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

terlihat juga perubahan perilaku para pedagang pada umumnya.
Salah satu nampak pada pedagang yang berasal dari suku Jawa
yang sering berdekatan berjualan dengan papalele. Pedagang itu
setiap hari menjual gula pasir, beras ketan (pulut), beras dan
beberapa bahan lainnya. Sebagaimana yang diketahuinya, pada
hari itu pedagang tersebut sejak pagi menjual beras ketan
(pulut) Rp 4.500 sama seperti harga eceran tertinggi di pasaran

untuk jenis ini. Harga jual tersebut termasuk yang paling mahal
untuk komuditas itu. Padahal yang diketahui mereka selama ini,
si pedagang tidak pernah turunkan harga jual menjelang sore,
tetapi hari itu si pedagang menurunkan harga hingga mencapai
nilai terendah Rp 2.500. Rupanya kepanikan yang sama juga
terjadi dengan si pedagang. Namun demikian si pedagang
berlagak tidak ada perubahan kondisi dan kepanikan apa pun,
bahkan menawarkan jasa untuk membantu salah satu papalele
menjual dagangannya yang belum sempat habis terjual. Tanggapan si pedagang itu tanpa disertai dengan penjelasan dan
alasan sedikit pun kepada papalele terhadap kondisi yang
sementara terjadi.
Suasana panik pedagang di pasar semakin membuat
orang-orang di sekitarnya tidak merasa nyaman. Tanda-tanda
akan terjadinya kerusuhan di Ambon tidak diketahui banyak
orang. Ada sebagian orang yang sudah menduga kerusuhan
akan terjadi, tetapi sebagian yang lain bahkan tidak mengetahuinya sama sekali; termasuk para papalele. Bagi sebagian
mereka yang telah mengetahui informasi akan terjadi
kerusuhan, sengaja tidak dibicarakan secara terbuka. Mereka
yang telah mengetahui lebih memilih berdiam dan mengemas
barang-barang yang dijual. Tetapi, kepanikan tetap terlihat pada

bebe-rapa pedagang. Hal yang sama juga nampak pada salah
satu pramuniaga toko di salah satu toko milik warga keturunan
Cina (Tionghoa) yang menjual barang-barang kelontong. Situasi
dan kondisi yang telah diketahuinya, disampaikan secara bisik 
243 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
bisik kepada salah seorang papalele. Menurut pramuniaga
tersebut, ia akan segera pulang ke daerah asalnya (Jawa) karena
telah dihubungi oleh orang tuanya, tetapi sang majikan (pemilik
toko) tidak menghendakinya untuk segera pulang. Kebetulan
saja mereka berdua sudah saling mengenal, karena sang bos sang
pemilik toko selalu berlangganan buah langsat, pepaya, mangga
atau pisang dari papalele tersebut. Bahkan sehabis papalele
berjualan dan sebelum pulang biasanya peralatan jualan dititipkan, disimpan di toko tersebut.
Tanda-tanda akan terjadinya kondisi tidak aman menjadi
isyarat hubungan dagang antara papalele dan pedagang harus
berakhir. Sulit untuk menghilangkan perasaan saling membutuhkan antar mereka selama berjualan tatkala harus dipisahkan
oleh kerusuhan. Hubungan baik dalam berdagang setidaknya
telah membentuk karakter saling membutuhkan satu sama lain.
Papalele maupun pedagang memahami pentingnya relasi
dagang untuk melanggengkan usaha. Relasi seperti itu pula
yang membuat keduanya tetap bisa bertahan dalam usaha.
Namun, tanpa disangka relasi yang telah terbina sejak lama
harus berakhir karena kerusuhan. Meskipun demikian, tidak
berarti relasi tersebut terputus dengan sendirinya. Masih ada
saling perhatian di antara keduanya. Perhatian itu ditunjukkan
ketika para pedagang memahami bahwa pasar tempat mereka
berjualan akan dikuasai oleh satu kelompok masyarakat,
sehingga mereka yang berbeda harus dilindungi.
Seperti kedekatan antara salah satu papalele dengan pedagang asal Bugis. Keduanya berada satu lokasi berjualan. Tatkala
situasi buruk akan dialami, pedagang masih sempat menawarkan jasa untuk menjual barang dagangan papalele yang tersisa.
‘Soro’ demikian ia biasa dipanggil. Menurut papalele; mama
Ting, hari itu mereka berdua sedang duduk berjualan, dan
 
244
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

sambil memegang sepotong tongkat yang disentuhkan ke
tangan mama Ting, Soro bertanya “se jaualan su abis kabalong,
kalo balong abis, nanti katong jual?” (barang kamu sudah habis
terjual atau belum?, kalau belum habis terjual, biarkan sisanya
kami yang menjual). Mendengar tawaran itu, mama Ting
menjawab sesuai apa adanya “seng tinggal sadiki sa di nyiru tu,
di karanjang jua su abis” (ya, hanya tersisa sedikit di nyiru, buah
di dalam keranjang juga sudah habis terjual). Sambil mama Ting
juga melihat barang dagangan Soro yang masih banyak, mama
Ting pun sempat bertanya tentang barangnya yang masih
banyak, apakah mungkin bisa juga menjual milik saya?. Lebih
lanjut, sambil setengah berbisik Soro mengatakan “taru akang

sini sa, suda tar apa-apa nani beta jual akang, la se jual se pung
capat-capat sudah, jual akang sabarang-sabarang sa, la capat bale
nai jua” (tinggalkan saja di sini, tidak mengapa, sudahlah nanti
saya yang menjualnya, sebaiknya kamu jual secepatnya, jual
dengan harga terserah saja biar cepat terjual, setelah itu segera
pulang saja).
Baik Soro, dan pramuniaga tadi telah menunjukkan tandatanda akan adanya kerusuhan. Walaupun keduanya tidak
memberikan penjelasan yang rinci terhadap situasi itu. Situasi
tidak aman boleh terjadi, tetapi hubungan baik antar mereka
tetap terpelihara. Hingga akhirnya kerusuhan yang tidak
diinginkan itu mulai pecah tanggal 19 Januari 1999 yang
berawal di Desa Batu Merah Ambon.

Dampak Kerusuhan terhadap Pola Usaha Papalele

• Berjualan dan Menyatu dengan Komunitas Sendiri

Kerusuhan mengakibatkan papalele terkelompokkan beraktivitas berdasarkan garis keagamaan. Jauh sebelum kerusuhan
di kota Ambon terjadi, kehidupan masyarakat berjalan sebagai 
245 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
mana mestinya. Tidak mengenal adanya pemisahan antar warga
masyarakat berdasarkan suku, agama, ras dan golongan dalam
setiap kegiatan, khususnya ekonomi (usaha). Semua anggota
masyarakat memiliki ruang berusaha yang sama tanpa dibatasi
oleh sekat berdasarkan kelompok suku dan agama. Demikian
halnya dengan papalele dan pedagang juga memiliki kebebasan
menentukan lokasi berusaha. Lokasi usaha ditentukan tanpa ada
perasaan pembeda tadi. Demikian pula jika harus berjualan
berkeliling. Namun sejak kerusuhan terjadi, yang diperkuat
dengan simbol-simbol tertentu diikuti oleh pengelompokan
berdasarkan garis keagamaan, masyarakat praktis terpisahkan
oleh sitausi itu.
Kerusuhan berakibat pula pada papalele baronda dan
tandeng sehingga tidak dapat saling melintasi komunitas seperti
sebelum terjadi kerusuhan, mereka harus kembali pada komunitas masing-masing. Dampak lain terhadap pola berjualan
papalele juga terjadi. Perubahan nampak terjadi pada aspek
operasional usaha papalele, baik yang baronda maupun yang
tandeng. Baronda yang selama ini melintasi berbagai lokasi
dengan jarak perjalanan yang panjang, saat itu tidak lagi bisa
dilakukan. Jarak menjadi pendek, karena batas konflik ditandai
secara tegas memisahkan kedua kelompok masyarakat. Sementara mereka yang tandeng, harus mencari tempat dan lokasi
yang baru.
Sejak kerusuhan terjadi di kota Ambon, pasar yang selama
ini menjadi media bersama antara papalele dengan pembeli dari
berbagai kalangan masyarakat tidak luput dari amukan massa.
Pasar dihancurkan dan dibakar sehingga tidak lagi bisa dimanfaatkan. Selain itu, para pengguna pasar itu sendiri harus mencari tempat berjualan lain disesuaikan dengan garis kelompok
keagamaan masing-masing. Seperti halnya papalele; baik yang
 
246
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

beragama Kristen dan Islam tidak lagi bisa menyatu di pasar
yang selama ini menjadi perekat sosial, ekonomi. Akibatnya
pasar kemudian terbentuk dengan sendirinya berdasarkan
kelompok yang bertikai. Pasar di Batu Meja dan pasar Benteng
untuk masyarakat yang beragama Kristen, sementara pasar
Lama, pasar Batu Merah untuk masyarakat yang beragama
Islam. Demikian halnya dengan papalele baronda, yang biasanya melintasi wilayah tanpa mempertimbangkan simbol-simbol
pemisah. Seperti pengalaman mama Habsah (57) 6 , pada masa
sebelum kerusuhan, papalele baronda dilakukan ke berbagai
lokasi dengan menjunjung bahan kebutuhan dapur, ikan
mentah, berbagai jenis bumbu dapur dan sayur-mayur. Baronda
terbiasa baginya menyusuri hampir seluruh lingkungan pemukiman masyarakat, khususnya pada warga di lingkungan yang
mayoritas beragama Kristen.
…beta baronda koliling, pikol sayur, kalapa, ikan, apa
saja, orang dolo balong baronda, jadi beta baronda saja,
beta pigi baronda di orang Karesten kampong sampe di
Skip dong bilang jambatan puti, sampe Karang Tagepe,
kampong ganemu ka atas, bajalan naik ke atas yang
tinggi-tinggi itu di rumah-rumah gunung nona sana tu.
(saya berjalan berjualan berkeliling membawa sayur,
kelapa, ikan dan lainnya. Sewaktu dulu belum banyak
orang yang berkeliling, hanya saya saja. Saya berkeliling
ke berbagi lokasi orang Kristen; Kampung Skip di
Jembatan Putih, kampung Karang Tagepe, Kampung
Ganemo bagian atas, hingga perumahan di daerah
sekitar Gunung Nona Kelurahan Kudamati).

Meskipun terjadi kerusuhan, karena faktor ekonomi
mereka tetap menjalankan usaha. Padahal bila dibandingkan
dengan kondisi normal (aman), buah banyak dipasok dari
                                                            
6

 

Wawancara tanggal 28 April 2009. 

247 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
berbagai daerah di luar Maluku seperti dari Makasar, Manado,
Surabaya dan daerah lain. Karena banyak pasokan buah, maka
banyak pilihan dan mudah ditemukan di pasaran. Tetapi sejak
kerusuh-an, papalele harus membeli buah seadanya dari
tetangga, dari desa-desa sekitar, atau orang/pedagang di lokasi
masing-masing. Mereka punya buah, kami membeli untuk
dijual lagi, walaupun harganya naik, kata salah satu papalele.
Lebih lanjut dikatakan, kami tetap ambil walaupun harga
mangga golek per buah mereka jual seharga Rp 6.000 atau Rp
6.500, mengingat buah saat itu tergolong sulit. Kemudian kami
menjualnya Rp 7.500, ya kami mendapat sedikit keuntungan 7 .
Buah-buahan didatangkan dari luar daerah dan harganya
melonjak tajam tak terkendali. Buah-buahan seperti mangga,
jeruk, apel, semangka dan lainnya yang didatangkan oleh
pengusaha dari luar daerah seperti Makassar dan Surabaya harga
jual tidak terbendung naik di tingkat pengecer. Keamanan
menjadi alasan utama meningkatnya harga buah di pasaran,
sehingga biaya itu akan semakin meningkat ketika distribusinya
terjadi di daerah perbatasan konflik antar pedagang. Sebaliknya
di komunitas Kristen, buah-buah lokal seperti salak, kecapi,
gandaria, bicang (sejenis mangga) cukup tersedia. Sementara
kondisi sebaliknya terjadi di komunitas Muslim. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya transaksi sebagaimana diungkapkan
salah satu informan:
…waktu itu memang su tau tampa voor baku dapa la
jual atau bali, jadi macam dong seng ada kucapi, ka
salak, dong datang bilang ada kucapi ka zeng, katong
bilang ada, dong bilang besok bawa beta dolo, katong
bilang ia nanti besok tunggu di sini saja …

                                                            
7

Wawancara tanggal 8 November 2008. 

 
248
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

(pada saat itu memang kami sudah mengetahui tempat
di perbatasan untuk saling jual atau beli. Kalau mereka
tidak memiliki buah kecapi atau buah salak, mereka
mengatakan ‘besok kalau datang lagi tolong dibawakan
buah-buah tersebut. kami menyanggupinya dan mengatakan ‘iya, nanti besok kami membawanya, nanti menunggu saja di sini-tempat semula’ 8 ).

Lagi pula, ketika berjualan di komunitas sendiri mencari
pelanggan baru menjadi tantangan. Pembeli dan pelanggan
tetap sebelum kerusuhan berada di berbagai komunitas
(Kristen-Islam). Papalele beragama Kristen banyak memiliki
pelanggan tetap di warung-warung makan terutama warung
masakan milik pengusaha dari Padang dan Makasar. Sementara
papalele yang beragama Islam banyak pelanggan tetap terutama
ibu-ibu rumah tangga yang setiap hari membeli sayur-sayuran,
ikan dan bumbu-bumbuan dapur. Namun sejak kerusuhan,
semua pelanggan tetap dengan sendirinya hilang. Butuh waktu
yang agak lama untuk harus mencari dan mendapatkan pelanggan yang baru. Selain bersusah-payah mencari pelanggan baru,
tantangan yang harus dihadapi adalah bersaing dengan pedagang di sesama komunitasnya. Tegasnya, kerusuhan mengakibatkan penghasilan mengalami penurunan.
• Ketidak-seimbangan Distribusi Barang Dagangan
Setelah kerusuhan berlangsung sekitar enam bulan,
masyarakat mulai merasakan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok dan melambungnya harga. Kondisi seperti itu
terus berlangsung lama, sehingga berdampak pada usaha para
pedagang kecil dan papalele. Tentu situasi itu tidak diterima apa
adanya, mereka berupaya mencari alternatif dan jalan keluar
untuk mendapatkan bahan-bahan yang akan dijual.
                                                            
8

 

Wawancara dengan mama Yoke, tanggal 21 April 2009. 

249 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 

Pasokan bahan kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan
bumbu-bumbuan dapur memang agak berkelebihan di komunitas Islam. Bahan-bahan kebutuhan sehari-hari nampaknya
memang sedikit lebih banyak di wilayah komunitas Islam saat
konflik. Selain itu, harga barang-barang juga termasuk murah.
Mengingat sarana transportasi laut seperti pelabuhan utama dan
perintis antar pulau di Maluku berada di wilayah Muslim,
sehingga pasokan bahan kebutuhan masyarakat dari daerah lain
terhenti di sini 9 . Sementara bahan pertanian berupa sayurmayur banyak diusahakan dan dihasilkan di komunitas Islam.
Sayur mayur tersebut diproduksi dan didistribusi dari daerah
pegunungan bagian barat Desa Rumah Tiga, tepatnya Jasirah
Leihitu seperti Dusun Taeno, Dusun Talaga Pange, Dusun Air
Ali, dan Dusun Waringin cap Desa Waiyame.
Kondisi yang berbeda terjadi untuk ikan laut mentah hasil
tangkapan para nelayan. Kedua komunitas memiliki ketersediaan ikan yang cukup. Di desa-desa Kristen, nelayan di pesisir
Pulau Ambon terutama di Kecamatan Nusaniwe seperti Desa
Latuhalat, Desa Ery dan Desa Amahusu, hingga dari pesisir
Pantai Selatan Kecamatan Leitimor merupakan daerah yang
memasok ikan tergolong besar. Demikian halnya nelayan di
desa-desa Muslim seperti Desa Hitu, Desa Hila, Desa Liang,
Desa Tengah-Tengah dan Desa Tulehu di wilayah Jasirah
Leihitu turut memasok ikan laut mentah yang sangat banyak.
Harga ikan laut mentah di pasaran Ambon saat kerusuhan
                                                            
Walaupun sarana pelabuhan laut terletak di wilayah yang didominasi umat
Islam, tetapi proses bongkar muat dan distribusi barang tidak terhalangi.
Barang dari kapal diangkut dengan truk oleh sopir beragama Islam dibawa ke
perbatasan yang telah ditunggui dan diambil oleh sopir beragama Kristen
degan truk yang sama. Kondisi sebaliknya terjadi untuk proses pengiriman
barang dari wilayah Kristen yang akan dikirim ke luar Ambon (Pariela. D.
Tony, 2008: 110-111). 
9

 
250
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

seperti satu ekor ikan Tuna yang berukuran dua kilogram atau
lebih, hanya seharga Rp 25.000 per ekor.

Strategi Papalele Mengatasi Masalah Akibat Kerusuhan

• Pertemuan di Simpul-simpul Perbatasan

Eskalasi pertikaian dua kelompok yang tidak kunjung
mereda mengakibatkan kota Ambon memiliki wilayah demarkasi yang cukup banyak. Bisa disebutkan di sini beberapa
wilayah demarkasi yang sering digunakan oleh papalele dan
pedagang yang lain untuk saling bertemu dan bertransaksi.
Papalele dan pedagang biasanya bertemu di simpul wilayah itu
antara lain Kelurahan Hunipopu di sekitar belakang pertokoan
Utama jalan A.Y Patty – samping kantor Pemerintah kota
Ambon, Kelurahan Uritetu sekitar Lapangan Merdeka – Gereja
Marantha dan Kantor Perum Pegadaian depan Markas Batalion
733 Para BS dan Tugu Trikora – Gereja Silo dan Masjid An-Nur
dan batas antara desa Batu Merah dan Mardika.
Wilayah batas yang tergolong rawan tidak menghalangi
terjadinya transaksi. Wilayah batas ini tergolong rawan kerusuhan, sehingga masyarakat cenderung menghindari meliwati
daerah jalan-jalan ini. Selain daerah ini sering menjadi pusat
bentrokan fisik antar kedua kelompok, tidak jarang terjadi penembakan gelap yang diarahkan ke kedua kelompok masyarakat. Antara Juli sampai dengan Desember 2000, eskalasi
kerusuhan Ambon semakin meningkat, serangan antar kelompok masyarakat nampaknya sulit teratasi sehingga pengamanan
diperketat di sekitar wilayah-wilayah perbatasan ini.

Papalele selalu bertemu dengan sesama pedagang di
simpul perbatasan yang cukup terbuka. Mengingat bangunan
rumah, toko, kantor di sekitar wilayah perbatasan telah terbakar rata dengan tanah sehingga lokasinya sangat terbuka.
 
251 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
Selain itu, biasanya lokasi perbatasan konflik merupakan jalanam umum yang terbuka. Pemisahan antar kedua kelompok
hanya dipasang barikade berbentuk pagar kayu kawat berduri
atau tumpukan batu dan drum bekas yang dibuat masyarakat.
Barikade di tempat ini selalu ada pos penjagaan dari satuan TNI
atau Polri. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar kedua
kelompok yang bertikai tidak saling berhadapan dan memasuki
wilayah yang telah dipisahkan. Walaupun di tempat itu ada
aparat keamanan yang berjaga tetapi tidak menjamin keselamatan setiap warga yang mencoba melintas atau berada di sekitar
tempat itu.
Dalam dua tahun terakhir masa konflik, muncul simpulsimpul transaksi lebih banyak. Kerusuhan yang semakin berkepanjangan dan bertahan di kota Ambon, mengakibatkan masyarakat mulai merasa tidak lagi nyaman dengan situasi seperti itu.
Tekanan kebutuhan ekonomis membuat masyarakat kedua
komunitas mencoba mencari jalan keluar—berkomunikasi dan
berhubungan dengan pihak lain. Hubungan ini dimaksudkan
agar kebutuhan pokok yang dicari tidak lagi mengalami masalah
distribusi maupun harga.
Mengingat kebutuhan, terbentuk jual beli antara papalele
dan pedagang. Selama kurun waktu kerusuhan harga-harga
kebutuhan melonjak naik. Akibatnya masyarakat pelaku usaha
mulai membuka simpul-simpul untuk melakukan transaksi dan
membangun hubungan antara satu dengan yang lain (KristenIslam) 10 . Simpul-simpul yang dibentuk secara alami oleh
masyarakat ini yang kemudian terus berkembang sebagai
tempat jual-beli antar pedagang.
                                                            
10

Lihat juga Majalah Mingguan Gatra 18 Agustus 2001. 

 
252
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

Strategi menghadapi kelangkaan barang, proses transaksi
harus dilakukan cepat, jika tidak nyawa terancam. Berjumpa
dan bertransaksi di perbatasan harus dilakukan secepatnya
karena alasan keamanan. Kisah transaksi papalele di wilayah
perbatasan ini sangat mengharukan. Tanta Rina misalnya, sejak
kerusuhan dia tidak lagi berjualan di pasar lama, tetapi di pasar
Batu Meja. Sejak terpisah, mulai terasa kesulitan membeli buah
untuk dijual. Memang di wilayahnya ada buah yang bisa dibeli,
tetapi terbatas sifatnya. Jika dibandingkan dengan masa sebelumnya dia bisa membeli sedikit lebih banyak. Karena kondisi
demikian dia mulai mencoba mencari kemungkinan mendapatkan buah di perbatasan.
Salah satu lokasi tanta Rina bertransaksi di lorong kantor
Bank BNI yang berbelakangan dengan kantor Perpustakaan
Daerah Maluku. Di simpul inilah tanta Rina sering bertemu
dengan pedagang buah dari wilayah Muslim. Pada waktu yang
disepakati tanta Rina dengan beberapa temannya bertemu
dengan mereka untuk bertransaksi. Para pedagang muslim
membawa buah yang diperlukan seperti buah mangga, duku,
salak. Sebaliknya juga pedagang sering memesan buah jenis lain
dari tanta Rina dan teman-teman. Antar mereka sudah saling
mengenal melalui salah satu teman tanta Rina yang bernama
Ellen. Mereka tidak lagi merasa khawatir dan takut bertemu,
bahkan saling percaya sudah terbiasa di antara mereka 11 .
Bunyi bom membuat papalele dan pedagang berhamburan
lari terpisah, namun mereka tidak menjadi korban. Wilayah
perbatasan dan simpul transaksi Islam-Kristen, selalu diwarnai
kejadian menegangkan pada saat transaksi. Suasana itu diceritakan oleh salah satu informan; tanta Mike. Kejadiannya terjadi di
satu pagi di akhir bulan Maret 2001, suasana kerusuhan masih
                                                            
11

 

Wawancara tanggal 19 April 2009 

253 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
terasa walaupun intensitasnya mulai berkurang. Seperti biasanya dia berjualan di pasar Batu Meja, wilayah komunitas
Kristen. Karena buah yang akan dicari untuk dijual tidak ada
sehingga dia bersama beberapa temannya menuju perbatasan di
jalan Kakiay depan kantor Perum Pegadaian bersebelahan jalan
dengan Markas Kodim 1504 Pulau Ambon. Lokasi ini lebih
dikenal oleh masyarakat kota Ambon dengan sebutan PHB, dan
di lokasi ini pula merupakan salah satu simpul transaksi IslamKristen selama kerusuhan. Rupanya sudah beberapa kali dia dan
teman-temannya bertransaksi di tempat itu.
...waktu kerusuhan katong bajual disini di batu meja,
waktu itu katong jaga pi di PHB tampa Pegadian situ,
kan ada Acang-Acang yang dong kanal katong, deng
dong jaga tunggu di situ. Katong coba bajalang-bajalang
kasitu lalu ada teman yang su kamuka lalu katong iko
lai, mo waktu itu jaga pi ambel mar taku-taku lai, tapi
katong pi saja, beta inga itu. Jadi acang yang su jaga
kenal-kenal jaga badiri di situ lalu katong jaga ambel di
situ. Tapi seng tahu, waktu itu katong banya, mar katong
seng inga lae kata sapa-sapa. Beta inga waktu itu katong
ambel lemong manis deng tas-tas merah tu, transaksi
deng dong disitu. waktu itu katong takotang majupar
ambe.. mar dong panggel mari ambel saja seng apa-apa.
Mangkali dong barang su biasa deng katong toh, pas
katong masih tanya-tanya harga bagini, bom sabatang
babunyi seng tau dimana, katong loko deng lari, dong lai
baku lari tapisa, tapi beso katong datang kombali la
bayar yang su ambel kamareng. La dar situ dong parcaya
sampe tarus skarang ni12 . ..
(… saat kerusuhan terjadi kami berjualan di pasar Batu
Meja, kami saat itu sering ke perbatasan di PHB depan
Kantor Perum Pegadaian Ambon. Di tempat itu selalu

                                                            
12

Wawancara 7 November 2008 

 
254
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

ada Acang-Acang 13 yang mereka sudah mengenal kami,
mereka biasanya menunggu kami di situ. Tapi saat itu,
kami mencoba ikut berjalan kesitu karena sudah ada
teman yang mendahului. Walaupun sebetulnya kami
juga merasa takut, tetapi kami pergi saja, saya masih
ingat peristiwa itu. Waktu itu kami dengan temanteman cukup banyak, tapi saya tidak ingat lagi siapasiapa saja. Saya masih ingat pada saat kami akan
mengambil buah Jeruk dengan tas plastik kresek warna
merah ukuran besar. Sebetulnya saat itu kami takut
untuk maju bertemu, tetapi mereka memanggil; mari
saja, tidak apa-apa. Mungkin karena mereka sudah
terbiasa dengan kami. Pada saat kami sedang berbicara
dan saling bertanya harga, tiba-tiba Bom daya ledak
besar berbunyi sangat kuat, tidak tahu asal dan tempatnya dimana, kami mengambil jeruk-jeruk itu dan secepatnya berlarian terpisah menyelamatkan diri, demikian
pula mereka. Tetapi keesokan harinya kami kembali
bertemu lagi dan membayar harga jeruk yang kemarin
telah kami ambil).

Proses transaksi antar papalele dan pedagang bisa terjadi
karena didukung oleh rasa saling percaya yang sudah ada sebelumnya. Pengalaman yang diceritakan ini setidaknya memiliki
makna berkaitan dengan rasa saling percaya di antara mereka.
Nampaknya hal apa yang dilakukan para papalele dan pedagang,
lebih mengutamakan hubungan baik. Kepedulian dan rasa
saling membutuhkan yang tercipta, melebihi nilai ekonomi
(transaksi) yang hanya mengutamakan keuntungan jangka
pendek.
Sebelum kerusuhan mereka sudah saling mengenal, sehingga kejadian kerusuhan tidak cukup membuat mereka ter                                                            
Saat kerusuhan Ambon, simbol-simbol pemisahan antara kelompok IslamKristen terbentuk secara jelas dan tegas. Istilah “Acang” dari kata ‘Hasan’ yang
Islam dan “Obed” dari kata ‘Roberth’ yang Kristen. (Pariela Tony, 2008:88 dan
Majalah Mingguan Gatra 2001).  

13

 
255 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
pecah begitu saja. Hubungan yang telah terjalin lama dan terus
melekat, dipertegas dengan pertimbangan bahwa orang Kristen
adalah saudara. Kekuatan hubungan saudara tidak hanya dilandasi oleh motif ekonomi semata-mata, tetapi di dalamnya sarat
akan nilai lokal yang masih kuat tertanam.
Seperti pengalaman tanta Rina dan tanta Mike, pengalaman berbeda dengan mengutamakan nilai lokal (pelagandong) juga ditunjukkan mama Habsah (57). Saat kerusuhan,
walaupun mama Habsah harus mengungsi di Masjid Al-Fatah
seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dia tetap berusaha
berjualan walaupun situasi tidak memungkinkan. Ketika kerusuhan masih berlanjut, banyak pedagang asal luar daerah seperti
dari Buton, Makasar ingin segera kembali ke daerah dan
menjual murah barang jualan mereka, mama Habsah membeli
dalam jumlah banyak. Bahan-bahan yang dibeli seperti halia
(ginseng), daun kemangi, sereh, kuning (kuncir), lada halus dan
beberapa lainnya. Semua bahan yang dibelinya kemudian
dibawa ke Masjid tempat pengungsiannya. Pagi-pagi setelah dia
bangun, semua bahan tersebut dibersihkan kemudian diikat
sesuai ukuran masing-masing dalam jumlah kiloan. Ikatan ini
dibuat untuk mempermudah saat di bawa ke simpul transaksi
untuk dijual.
...dolo sniper kiri-kanan jadi beta seng bisa bajalang
bajual lai taku to. Beta bali bawa taru di Mesjid Al-Fatah
karna mengungsi tinggal disitu to, tapi pagi-pagi hari
beta cuci samua, ika samua bawa kilo, orang dari Batu
Meja, Batu Gajah, Air Salobar, Halong beli apa saja,
samua datang kasini, dong baja-lan cepat-cepat, sombole
lama-lama, dong taku dapa tembak, beta jua bagitu to.
Pokoknya beta jual sa, karna beta jua pikir mangkali ada
katong pung sudara ka yang karesten, itu samua-samua
katong pung gandong, katong pung pela, katong pung
basudara datang balanja di situ. Katong pung saudara

 
256
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

dekat, orang Hulaliu, itu orang adik-kakak basudara satu
mama satu bapa 14 ...
(dulu waktu kerusuhan, sniper—penembak jitu, di
banyak tempat sehingga saya tidak berjalan berjualan
karena takut. Saya membeli bahan-bahan dibawa ke
Masjid Al-Fatah tempat mengungsi, tapi saat pagi-pagi
saya mem-bersihkan dan mengikat bahan-bahan
tersebut. Orang dari Batu Meja, Batu Gadjah, Air
Salobar, Halong datang membeli, itupun mereka harus
bergegas tidak boleh berlama-lama. Mereka takut kena
tembak, saya pun demikian. Prinsipnya saya jual saja,
karena saya selalu berpikir mungkin ada diantara
mereka kami punya gandong, pela. Itu kami punya
saudara yang datang membeli. Kami punya saudara
dekat dari desa Hulaliu (Kristen) 15 adik-kakak
bersaudara satu bapak dan Ibu).

Proses transaksi berjalan seperti biasa dan tidak dipengaruhi oleh latar belakang dan status pembeli dan pelanggan.
Melayani pembeli dan pelanggan tidak dibedakan karena asal
daerah yang sama atau karena agama yang dianut. Dalam benak
dan pertimbangan papalele, melayani semua orang adalah
sama. Tidak ada yang perlu dibedakan satu sama lain, walaupun
dalam kerusuhan dengan nuansa dan simbol keagamaan yang
dipakai. Bagi mereka nilai dan norma lokal telah tertanam kuat
di dalam pikiran terutama tentang makna ‘orang basudara –
pela gandong’ sebagai nilai leluhurnya. Karena itu, bagi dia
melayani bukan sekedar untuk mencari keuntungan ekonomis,
tetapi nilai persaudaraan (lokal) yang dipegangnya juga dikedepankan dalam kondisi konflik yang sementara berlangsung.
                                                            

Wawancara tanggal 28 April 2009 
Mama Habsah berasal dari Desa Kailolo (Islam) Pulau Saparua Kabupaten
Maluku Tengah. Desa ini memiliki hubungan kekerabatan Pela-Gandong
dengan Desa Hulaliu (Kristen). Persekutuan desa-desa ini dinamakan
‘Amarima Lou Nusa’ yang terdiri dari desa Kailolo, Pelauw, Kabau, Ruhomony
(Islam) Hulaliu (Kristen) 
14

15

 
257 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
• Keselamatan Dipertaruhkan

Papalele saat bertransaksi, nyaris tidak didampingi aparat
keamanan di lokasi transaksi. Tetapi aktivitas antara papalele
dan pedagang selalu mendapat pantauan aparat keamanan di
lokasi-lokasi seperti itu. Setiap wilayah perbatasan terutama
lokasi yang sering men-jadi tempat transaksi antar pedagang,
aparat kemananan selalu berada di lokasi tersebut. penempatan
mereka dilengkapi dengan Pos Penjagaan. Posisi Pos dengan
tempat transaksi biasanya memiliki jarak tertentu. Seperti lokasi
di Jalan Sedap Malam 16 ; sebelah kanan jalan terdapat Kantor
Pemerintah Kota Ambon dan di sebelah kiri terdapat Kantor
Perpustakaan Daerah Provinsi Maluku. Letak Pos Penjagaan
sekitar 50 meter dari tempat transaksi. Kedua komunitas pedagang sering bertemu dan bertransaksi segala macam keperluan
dan kebutuhan. Walaupun berjarak 50 meter dari Pos Aparat,
transaksi selalu berjalan tanpa ada kendala. Aparat keamanan
TNI selalu memantau setiap aktivitas para pedagang. Mereka
mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang
merugikan para pedagang. Dengan berjarak seperti itu, para
pedagang tidak merasakan adanya gangguan keamanan di
antara mereka. Karena itu, setiap akan dilakukan transaksi, para
pedagang tidak memerlukan dan meminta pendampingan
aparat keamanan berada dekat dengan mereka. Sebagaimana
disampaikan salah satu informan tanta Rina:
...wua’nga katong seng pernah pake keamanan, maju
sandiri sa deng ada tamang, artinya katong barang duatiga orang, lain baku ajak lain, par katong pigi, Ia seng
sandiri. Tagal itu ada yang sampe dong larang, dong
                                                            
Di Ambon, daerah perbatasan ini, lebih dikenal dengan sebutan lorong
IKIP. Mengingat pada masa lalu, lokasi ini merupakan tempat perkuliahan
Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura Ambon.
Sekarang di lokasi tersebut berdiri Kantor Perpustakaan Pusat Provinsi
Maluku. 

16

 
258
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

bilang kata itu jang sampe dong hanya alasan bagitu saja,
la dong bala. Ada yang dong larang katong seng boleh
pigi, tamang-tamang bilang seng bole pigi. Tapi katong
berpikir lai, masakan dong su bae-bae bagitu, dong bale
bagitu par katong, sedangkan dong jua jaga larang
katong seumpa ada mau terjadi apa-apa dong bilang par
katong kata jang datang, hari ini ada bagini, ada bagini.
Dong bilang bagitu. Katong mau dengar lai, ragu-ragu
mar karna katong seng biking apa-apa jadi aman sa” 17 .
(ya ampun kami tidak pernah memakai keamanan untuk
dampingi, kami maju sendiri dengan teman, artinya
kami antara dua atau tiga orang saling mengajak untuk
pergi ke perbatasan. Karena itu ada teman-teman yang
melarang kami. Mereka mengatakan ‘jangan sampai
mereka hanya menggunakan alasan berjualan, yang pada
akhirnya mereka bisa membunuh’. Tapi kami juga
berpikir, masakan mereka sangat baik dengan kami
selama ini, mereka harus melakukan hal itu kepada
kami? Bahkan sering mereka justru selalu mengingatkan
dan melarang kami untuk datang jika keributan akan
terjadi. Larangan teman-teman tadi kami mau mendengar tapi kadang kami ragu, tetapi karena kami tidak
melakukan apapun jadi semua aman saja).

Keberanian pertemuan dan bertransaksi antar papalele
dan pedagang karena rasa saling percaya, sehingga sering
diperingatkan oleh teman dan sanak saudara. Himbauan kepada
papalele maupun pedagang sering diingatkan oleh sesama teman
dan sanak keluarga. himbauan itu dimaksudkan agar sedapat
mungkin dihindari agar tidak terjadi sesuatu dengan mereka.
Walaupun keprihatinan dari sesama rekan atau anggota keluarga telah disampaikan, tetapi bagi mereka kepercayaan yang
telah terbina menjadi perekat hubungan tersebut. Dalam situasi
tertentu aspek kepercayaan memang memiliki resiko, resiko
yang terkadang terjadi tanpa terduga sebelumnya. Sepanjang
                                                            
17

 

Wawancara tanggal 19 April 2009. 

259 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
kepercayaan itu benar-benar diimplementasikan dan sesuai
dengan kesepakatan, maka terhindar dari resiko buruk dan
sebaliknya.

Proses Transaksi antara Papalele dan Pedagang

• Mekanisme Pembayaran di Tapal Batas

Saat di perbatasan, pembayaran tunai dilakukan dalam
waktu singkat. Situasi itu, merupakan pola pembayaran yang
dilakukan antara papalele dan pedagang berbeda saat kerusuhan
dan pasca kerusuhan. Saat kerusuhan papalele dan pedagang
sama-sama mengharapkan pembayaran dilakukan secara tunai.
Tetapi kadang-kadang situasi benturan antar kelompok yang
tidak menentu waktunya, mempengaruhi proses pembayaran
saat itu. Perjumpaan di tapal batas harus dilakukan secepatcepatnya sejak kedua pihak bertemu. Semakin lama bertemu
resiko keselamatan semakin besar dan sebaliknya. Andaikata
pembayaran tertunda karena kondisi tidak memungkinkan,
maka pembayaran bisa dilakukan sehari kemudian atau pada
saat waktu lain yang disepakati. Sebaliknya, dalam suasana
aman (seperti saat ini), pembayaran bisa tunai dan bisa juga
dengan cara utang. Artinya sore hari dibayar atau beberapa hari
kemudian dibayar. Yang terpenting bagi kedua pihak, kewajiban harus dipenuhi dan menghindari kelalaian.
Pembayaran secara tunai selalu diutamakan karena
mereka menyadari bahwa masing-masing pihak memerlukan
modal usaha diputar hari berikutnya. Karena kondisi tidak
aman saat ber-jumpa bertansaksi, maka segera pembayaran
dilakukan ketika menerima buah. Masing-masing pihak telah
membawa buah yang saling dibutuhkan, karena sudah dipesan
sebelumnya. Waktu untuk bertemu pun tidak memungkinkan
 
260
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

untuk berlama-lama, resiko akan semakin besar bagi kedua
pihak. Pada saat itu barang ditawarkan, dan terjadi kesepakatan
harga, transaksi segera diselesaikan. Setelah itu barang diambil
dan segera berpisah 18 .

Papalele dan pedagang menyadari waktu terbatas untuk
melakukan tawar-menawar barang. Seperti pasar antar papalele
dan pedagang di simpul perbatasan konflik, tidak ada tawarmenawar. Tidak ada perincian perhitungan harga dan tidak
tersedia cukup waktu untuk berdiskusi. Waktu menjadi sangat
terbatas. Saat kedua pihak bertemu, penyerahan barang dilakukan diikuti penyerahan sejumlah uang. Itupun seandainya tersedia cukup waktu untuk itu. Seandainya sebelum penyerahan
uang, kedua pihak harus meninggalkan lokasi, maka sehari atau
dua hari kemudian pembayaran baru dapat dilakukan. Atau
kesepakatan hari lainnya yang disepakati keduanya. Mengingat
waktu sangat menentukan perjumpaan keduanya. Kecepatan
penyerahan uang dan barang meminimalkan bahaya dan resiko
terhadap keselamatan diri.
• Hubungan dengan Pedagang Sebelum dan Selama Kerusuhan
Hubungan baik antara papalele dan pedagang telah berlangsung sejak sebelum kerusuhan hingga selama kerusuhan.
Hubungan baik tersebut tidak hanya pada saat mereka berada di
pasar sebelum dan selama konflik, tetapi jauh sebelumnya telah
berlangsung.
Kepercayaan terbentuk karena hidup berdampingan sebagai tetangga. Pengalaman hidup sebagai tetangga pernah dijalani
salah satu papalele bersama beberapa pedagang asal Makasar
dan Buton. Mereka sama-sama berdomisili daerah Kampung
Waringin Batu Gantung. Daerah ini merupakan pemukiman
                                                            
18

 

Wawancara dengan ‘tanta Rina’, tanggal 19 April 2009. 

261 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
padat penduduk. Salah satu papalele yang sebelum kerusuhan
menetap di wilayah ini adalah Mama Yoke. Selama berdiam di
lokasi Batu Gantung Waringin, ia banyak memiliki tetangga
yang umumnya berasal dari Bugis dan Makasar; Sulawesi
Selatan. Hubungan bertetangga dan saling mengenal satu
dengan yang lain sudah sejak lama. Kemudian, sejak kerusuhan
terjadi banyak diantara mereka yang telah kembali ke daerah
asal, sementara ada juga yang lain yang masih menetap di
Ambon. Meskipun demikian menurut sang informan; mama
Yoke 19 , walaupun tempat tinggal telah terpisah tetapi mereka
sering bertemu, baik sekedar bertegur sapa, maupun saling
berjual-beli barang-barang (buah) yang dibutuhkan.
Pertalian hubungan dagang tetap terpelihara dan terjaga
walaupun tidak lagi bertemu untuk bertransaksi. Berbeda
dengan mama Yoke, mama Anto membina hubungan baik
dengan Anwar pedagang asal Desa Batu Merah sebelum kerusuhan. Hubungan mereka berkaitan dengan barang kebutuhan
yang diperlukan masing-masing, seperti buah-buahan. Pada saat
kerusuhan terjadi, keduanya sempat tidak bertemu karena terpisah sesuai kelompoknya. Pada saat terbuka peluang bertransaksi semasa kerusuhan, hubungan dagang mereka kembali terjalin. Menurut salah satu informan (Mama Anto 20 ), masa-masa
kerusuhan, mereka berdua selalu melakukan kontak untuk
bertemu dan saling bertukar membeli buah yang diperlukan.
Keduanya saling mendukung jika salah satu dari keduanya
membutuhkan buah yang tidak tersedia. Pertemuan mereka
bersama pedagang lain biasanya terjadi di wilayah Mardika
dekat Hotel Amans Ambon, yang merupakan salah satu simpul
transaksi di perbatasan. Simpul transaski ini, bagi papalele dan
                                                            
19
20

Wawancara tanggal 21 April 2009. 
Wawancara tanggal 18 April 2009. 

 
262
 

Perjumpaan Beresiko: Transaksi di Saat Konflik

pedagang serta warga masyarakat kota Ambon dikenal dengan
nama ‘zona baku dapa’ (wilayah saling bertemu). Anwar kini
telah membuka usaha baru di Terminal Batu Merah dengan
nama toko Duta Mainan, namun demikian keakraban dan
hubungan mereka hingga kini tetap berlangsung.
• Saling Menjaga di Masa Konflik

Papalele dan pedagang sering mendapat informasi dan
isu-isu yang menyesatkan saat akan bertemu di perbatasan. Isu
atau kabar angin yang tidak jelas sumbernya menyebar menjadi
informasi yang mudah dipercaya sehingga membuat suasana
semakin tegang. Isu kemudian sering digunakan untuk aktivitas
masyarakat yang berhubungan dengan situasi keamanan dan
kegiatan ekonomi mayarakat. Isu-isu tersebut hanya untuk
menakuti masyarakat agar menghindari pertemuan dan bertransaksi, sehingga ketidak-stabilan situasi keamanan tetap bertahan. Kedua isu itu selalu dikemas dan disebar ke masyarakat
sehingga tidak bisa terhindarkan.
Papalele dan pedagang menghadapi bersama isu-isu
negatif dalam rangka mempertahankan transaksi. Berkembangnya berbagai isu di masyarakat, dibentuk sebagai opini agar para
papalele dan pedagang mengurungkan niat bertemu untuk
mendapatkan bahan jualan di simpul-simpul perbatasan. Sering
sebelum pertemuan berlangsung dan transaksi antar mereka,
berbagai isu m