D 902007003 BAB VIII

Bab Delapan

Ethnic State, Nation State dan Civil Society
Pada bab ini penulis mengungkapkan konsep-konsep imajiner
dan tataran filosofis yang didukung oleh argumentasi teoretis dan
fakta-fakta empiris dari lapangan yang telah penulis kemukakan
sebelumnya (Bab 4-7). Berikut ini akan disajikan paparan-paparan yang
dilengkapi dengan argumentasinya untuk menjawab tujuan penelitian.

Nusak sebagai “Ethnic State”
Nusak sebagai “Negara Etnik” (Ethnic State) ini merupakan
konsep yang menunjuk pada perjumpaan masyarakat Rote dengan
Nusak yang terjadi sekitar Tahun 1500-an, pada masa itu hanya ada
lima buah Nusak dan kemudian berkembang menjadi 20 buah Nusak
(18 Nusak berada di Pulau Rote, 1 Nusak berada di Pulau Ndao dan 1
Nusak lagi berada di Pulau Ndana). 19 Nusak yang ada masing-masing
memiliki sistem kepercayaan, bahasa, dan adat istiadat yang berbedabeda. Hanya Nusak Oenale dan Nusak Delha yang memiliki bahasa
yang sama, hal ini karena latarbelakang kehadiran Nusak Delha
merupakan pecahan dari Nusak Oenale pada Tahun 1884 dan Delha
merupakan Nusak termuda di Rote. (telah penulis bahas pada Bab 3).
Kekuatan asing supra desa dengan datangnya Belanda melalui

VOC kemudian Pemerintahan Hindia Belanda di mana Rote dikuasai
oleh seorang controleur dan terakhir dijadikan sebuah wilayah onder
afdelling sebagai pemimpin diangkat seorang waarnemend raja Rote.
Pada jaman Jepang di bawah kekuasaan seorang Bunken Kanrikan, dan
akhirnya setelah kemerdekaan dipimpin oleh sebuah Dewan Raja-Raja
yang dikenal dengan Dewan Pemerintahan Raja Sementara (DPRS)
Rote Ndao, yang isinya adalah para Raja atau M anek, mereka bergilir
menjadi Ketua DPRS selama beberapa bulan. Akhirnya pada tahun
1962 DPRS Rote Ndao dibubarkan diganti dengan seorang
koordinatorschaf yang memerintah wilayah koordinatorschap Rote
Ndao yang kemudian berganti nama menjadi wilayah Pembantu Bupati

171

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Kupang wilayah Rote Ndao hingga Tahun 2002. Pada tahun 2002 Rote
dikukuhkan menjadi sebuah kabupaten baru melalui Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2002, terpisah dari Kabupaten Kupang.
M aknanya adalah Rote telah lama bersentuhan dengan

kekuatasan asing supra desa yang mempengaruhi pola hidup
penduduknya, jika dulu berbagai persoalan kemasyarakatan cukup
dengan memanfaatkan dinamika intra Nusak, maka sekarang
kewibawaan Nusak bisa dilangkahi ketingkat yang lebih tinggi.
Struktur asing supra desa ini membawa berbagai hal baru berupa
teknologi yang lebih memudahkan, keuntungan kapital yang
mengikuti kewenangan-kewenangan legal formal sehingga menjadi
rebutan masyarakat Rote
M asyarakat Rote memahami dan menghormati Nusak tidak saja
sebagai sebuah kerajaan tetapi lebih kepada sebuah lembaga
pemerintahan dan sekaligus lembaga peradilan adat yang mengatur
seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Rote pada masa lalu di saat
Nusak masih ada maupun pada masa sekarang di mana penghayatan
akan Nusak tetap dilakukan dengan cara menghormati fungsi-fungsi
adat yang dijalankan oleh seorang M aneleo dan tetap melakukan acaraacara adat seperti upacara kematian, upacara perkawinan, tu’u dan tu’u
belis sesuai dengan adat istiadat yang berlaku pada masing-masing Leo
dan Nusak.
Setiap Nusak memiliki struktur pemerintahan seperti M anek
(Raja), Fetor (W akil Raja), M ane Leo (Kepala Suku, Tak Berteritorial),
Langgak/Nggitak (Kepala Dusun) dan Jabatan-jabatan Lasi Nusak yang

terdiri dari M anesongo (Jabatan Imam), M anekilaoE (Jabatan Pembagi
Air di Persawahan), M anemok/M ane Dope (Hakim Agung), M ane
Dombe (Jaksa Adat), M ane Nulla (Hakim Sengketa Hutan), Dae
Langgak (Hakim Sengketa Tanah), serta satu jabatan lagi bentukan
Belanda yaitu Temukung (Kepala Suku yang diberi Teritorial oleh
Belanda).140

140

Struktur Organisasi Pemerintahan Nusak dan penjelasannya dapat dilihat pada
Gambar 3.2 dan 3.3.

172

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

Struktur pemerintahan Nusak sebagaimana yang telah penulis
sebutkan di atas terbagi ke dalam tiga bentuk kekuasaan dengan
fungsinya masing-masing yaitu: kekuasaan untuk melaksanakan
peraturan-peraturan adat (fungsi eksekutif); kekuasaan untuk membuat

peraturan-peraturan adat (fungsi legislatif); dan kekuasaan dalam
bidang pengawasan dan penegakan peraturan adat (fungsi yudikatif)
yang selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 8.1.

Nusak

Fungsi Legislatif

Fungsi Eksekutif

Fungsi Yudikatif

M ane Leo,
M anesongo,
M anekilaoE

M anek, Fetor,
Langgak/Nggitak

M ane Dope, M ane

Nulla, Dae Langga,
M ane Dombe

R ak y at
Gambar 8.1. Bentuk Pemerintahan Nusak141

Seorang M anek (Raja) yang memimpin Nusak tidak memiliki
kekuasaan penuh pada semua aspek pemerintahan sebagaimana terlihat
pada Gambar 8.1. Bentuk pemerintahan Nusak di atas berbeda dengan
struktur/kekuasaan Raja-raja yang ada di daerah lain di NTT seperti
masyarakat kerajaan/suku Buna yang di pimpin oleh seorang Nai (Raja)
yang berfungsi sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai
kepala adat (Bele, 2011) demikian juga dengan masyarakat
kerajaan/suku Abui di Pulau Alor yang dipimpin oleh seorang Lur
(Raja), masyarakat kerajaan M unaseli di ujung timur Pulau Pantar
menyebut Rajanya dengan Raka/Rajang dan masyarakat pada kerajaankerajaan di daratan Timor Barat mengenal Usif sebagai Raja. Di Pulau
141

Penjelasan lengkap tetang Struktur Nusak dapat dilihat pada Bab 3


173

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Sabu dipimpin oleh M one Ama yang bertugas sebagai kepala/
pemangku adat, di Lio dipimpin oleh M osalaki, di Pulau Sumba di
kenal dengan Kabihu, di M anggarai disebut dalu-dalu. (Depdikbud,
1984).
Struktur/kekuasaan raja-raja di luar NTT juga berbeda dengan
stuktur/kekuasaan Nusak di Rote seperti di Bali mengenal Bendesa
Adat atau Kelian Adat sebagai Kepala Adat atas Desa Adat yang dikenal
dengan sebutan Banjar (W ibowo, 2010). M asyarakat di Daerah
Istimewa Yogyakarta misalnya menghormati Sri Sultan dan Pangeran
Pakualaman tidak sebatas sebagai Gubernur dan W akil Gubernur tetapi
lebih sebagai seorang Raja yang memiliki kekuasaan penuh atas
pemerintahan serta adat istiadat Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat.
(Soemardjan, 2009).
M asyarakat Rote dengan Nusak-nya telah lama mengenal dan
mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) sejak jaman
negara kolonial. Seperti yang telah dikemukakan oleh Omerling (1956)

dan Fox (1996). M eskipun Raja (M anek) ditetapkan berdasarkan faktor
genealogis namun seorang M anek tidak serta merta memiliki
kekuasaan penuh atas Nusak yang dipimpinnya sebagaimana yang telah
penulis kemukakan di atas. Kelembagaan Nusak berakhir pada Tahun
1962 setelah dibubarkan oleh pemerintah provinsi NTT dan berganti
menjadi pemerintahan Desa Praja dan pemerintahan Kecamatan.
Dengan demikian Bangsa (nation) adalah suatu ‘konsepsi
kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas
dari suatu kekerabatan yang biasanya diikat oleh suatu kemampuan
self-rule. Negara (state) adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah
entitas politik yang tumbuh berdasarkan kontrak sosial yang
meletakkan individu kedalam kerangka kewarganegaraan (citizenship).
Dalam kerangka ini, individu dipertautkan dengan suatu komunitas
politik (negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum.
Dengan kata lain bangsa beroperasi atas prinsip kekariban. Sedangkan
negara beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan (Latif, 2004).
Dari gambaran tentang struktur pemerintahan Nusak di atas
dengan fungsi-fungsi yang melekat pada Nusak yakni fungsi yudikatif,
174


Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

legislatif dan eksekutif sesungguhnya menyiratkan bahwa Nusak tidak
hanya sebatas sebagai sebuah kerajaan atau lembaga peradilan adat
semata, tetapi Nusak juga merupakan cerminan dari sebuah “negara etnik” (ethnic state).

Communal Property ke Private Property: H adirnya Negara dan
Peran Civil Society di Rote
Negara adalah satu-satunya lembaga atau institusi sosial yang
mempunyai kekuasaan memaksa terhadap warga negaranya (Benn dan
Peters, 1964). Oleh karena itu, para pemikir klasik seperti Plato,
Aristoteles, dan Hegel, seperti yang dikutip oleh Budiman (1996)
berpendapat bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak untuk
mengatur dan mendidik warga. Negara juga lebih cenderung
melakukan penyeragaman dan mengabaikan keanekaan. Perlakukan
terhadap aktivitas ekonomi yang sifatnya menekan atau merugikan
individu bukan saja melahirkan ketegangan dan konflik pada diri
individu, tetapi juga melahirkan ketegangan dan konflik pada
kelompok sosial, sebab kerja bukan saja merupakan ekspresi diri
individu seperti yang dikatakan M arx, melainkan juga merupakan

ekspresi etnisitas atas kelompok etnis yang melakukan kegiatan
ekonomi (Koli Bau, 1999).
Rote sebagai pulau yang terpencil dengan posisi yang kurang
menguntungkan dari sisi geografis dan kondisi alam yang gersang, di
mana pada masa yang lalu masyarakat hidup dengan saling memberi.
Sifat resiprositas dan prinsip ”dahulukan selamat” masih melekat pada
masyarakat di Rote hingga Tahun 1970-an, sebagaimana hasil
penelitian James C. Scott pada para petani di M alaysia, sudah menjadi
suatu konsensus yang tak terucapkan mengenai resiprositas pada petani
untuk menolong kerabat, teman dan tetangga dari kesulitan dan akan
mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka dalam kesulitan.
Norma-norma inilah yang telah melekat dalam moral ekonomi petani,
(Scott, 1981)
Beralihnya communal property (kepemilikan bersama) menjadi
private property (hak milik pribadi) memberi ruang yang cukup luas
175

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

kepada negara dalam mengambil peran dalam menentukan hak milik

atas lahan yang tidak dikelola/tidak ditempati oleh masyarakat dengan
sendirinya menjadi hak milik negara. Sementara lahan yang
ditempati/dikelola oleh masyarakat dikenakan pajak (Pajak Bumi dan
Bangunan), hal ini juga memicu perlawanan masyarakat di Bo'a pada
Tahun 1960 dan sebelumnya pada masa negara kolonial di Tahun 1932
(telah penulis bahas pada Bab 4) selain penerapan retribusi untuk
hewan dan hasil bumi lainnya yang diperdagangkan antar pulau
maupun yang diperdagangkan di pasar tradisional dikenakan retribusi
dengan alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Gambar 8.2. menunjukkan bagaimana communal property pada
masa lalu telah bergeser menjadi private property hingga hari ini.
Negara

Nusak

Communal Property
- Padang Pengembalaan
- Mata Air
- Tidak Ada Pajak
- Tidak Ada Retribusi


Private Property
-

Hak Milik I ndividu
Hak Milik Keluarga
Hak Milik Negara
Ada Pajak
Ada Retribusi

Gambar 8.2. Dari Communal Property bergeser ke Private Property

Nilai-nilai sosial dan kultural (social and cultural values) yang
begitu kuat terkandung dalam communal property sebagaimana yang
telah penulis bahas di atas telah mengalami pergeseran dari aktivitas
ekonomi moral (ekonomi kerakyatan) menjadi ekonomi uang/ekonomi
komoditi yang sangat kuat dengan nilai-nilai ekonomi. Keluarga yang
tadinya merangkum berbagai fungsi ekonomi (subsisten/kebutuhan)
telah bergeser menjadi lembaga ekonomi (pasar/ekonomi uang).
Gambar 8.3 di dibawah ini memberi gambaran yang jelas bahwa
kemkiskinan adalah puncak dari penetrasi ekonomi uang di Rote.
Utang-piutang terjadi karena padang pengembalaan hewan dan mata
176

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

air yang sebelumnya merupakan communal property telah bergeser
menjadi kegiatan ekonomi yang semuanya diukur dengan uang.
Nilai Sosial &
Kultural

Penetrasi
Ekonomi Uang

Ekonomi
Komoditi

Lembaga Adat,
Hukum Adat,
Pesta Adat

Communal Property:
Padang Pengembalaan
Hewan, Mata Air

Utang
Piutang

M iskin

Kekerabatan/
Kekeluargaan

Gambar 8.3. Penetrasi Ekonomi Uang

Sektor lainnya yang terkena dampak dari penetrasi ekonomi
uang adalah sektor pendidikan, di mana masalah pendidikan tidak lagi
menjadi prioritas keluarga karena perhatian keluarga/orang tua tertuju
pada pemenuhan kebutuhan Tu’u sementara pendidikan anak-anak
terabaikan, termasuk masalah kesehatan dan gizi dasar turut diabaikan,
keluarga terutama anak-anak tidak mendapat acupan gizi yang baik
karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Hal ini yang membuat John Ndolu melakukan gebrakan
dengan merevitalisasi budaya yaitu melakukan standarisasi Tu'u Belis
dan mewujudkan gerakan Tu'u pendidikan sejak Tahun 2004 yang
berawal dari Leo Kunak yang dipimpinnya (telah penulis bahas pada
Bab 4) yang mana Tu'u pendidikan menjadi mekanisme tabungan
beasiswa untuk perkuliahan anak-anak Rote (Folabessy, 2009).
Penetrasi ekonomi uang yang telah penulis kemukakan di atas
justru bertolak belakang dengan tesis utama dari Hernando de Soto
(2000) dalam bukunya The M ysteri of Capital adalah bahwa properti
sangat menentukan bagi perkembangan kapitalisme. Properti yang
dimaksudkan oleh de Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan
kapital. Lebih lanjut de Soto mengungkapkan bahwa penduduk miskin
dari negara-negara Dunia Ketiga sebagai mayoritas yang melimpah,
177

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

memiliki barang-barang, tetapi mereka tidak dapat mempresentasikan
properti mereka dan tidak mampu menghasilkan kapital. Mereka
memiliki rumah tapi tidak ada izinnya, memiliki alat produksi tapi
tanpa surat kepemilikan, memiliki bisnis tapi tanpa status perusahaan.
Gambar 8.3. di atas justru menunjukkan hal yang sebaliknya bahwa
aset-aset yang dimiliki oleh orang Rote adalah bagian dari communal
property (kepemilikan bersama atau modal bersama) yang merupakan
kapital utama dalam membangun dan membina relasi sosial
(kekerabatan dan kekeluargaan) termasuk untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi rumah tangga yang kemudian bergeser menjadi private
property (hak milik individu, hak milik keluarga, hak milik negara)
setelah hadirnya negara dengan kehadiran penetrasi ekonomi uang
(lihat gambar 8.3). Kapital yang diartikan oleh de Soto sebagai seekor
sapi atau hewan ternak lainnya, yang merupakan sumber kekayaan
penting di samping daging yang mereka sediakan. Hewan ternak
merupakan barang kepemilikan dengan biaya perawatan rendah;
hewan mudah digerakan dan bisa dihindarkan dari bahaya; hewan juga
mudah dihitung dan diukur. Hewan ternak juga memiliki nilai lebih
yang lain yaitu mereproduksi sendiri. Dengan demikian istilah kapital
berawal dari melakukan dua pekerjaan secara bersamaan, menangkap
dimensi fisik aset-aset (hewan ternak) sebagaimana potensi hewan
ternak untuk menghasilkan nilai tambah. Kapital ini-lah yang dahulu
dimiliki oleh orang Rote sebagai bagian dari Communal Property
(kepemilikan bersama atau modal bersama).

I ndonesia sebagai “Nations State”
Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan,
nasionalisme atau paham kebangsaan, semua istilah tersebut dalam
kajian sejarah terbukti mengandung konsep-konsep yang sulit
dirumuskan, sehingga para pakar di bidang Ekonomi, Politik, Sosiologi,
dan Antropologi pun sering tidak sependapat mengenai makna istilahistilah tersebut. Selain istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia, kita juga
menggunakan istilah nasional, nasionalisme yang diturunkan dari kata
asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada
rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah
178

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

bangsa secara objektif, tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga
saat ini.
Pembahasan mengenai pengertian bangsa dikemukakan
pertama kali oleh Ernest Renan tanggal 11 M aret 1882, yang dimaksud
dengan bangsa adalah jiwa, suatu asas kerohanian yang timbul dari :
(1). Kemuliaan bersama di waktu lampau, yang merupakan aspek
historis. (2). Keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre
ensemble) diwaktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas, dalam
bentuk dan besarnya tetap mempergunakan warisan masa lampau, baik
untuk kini dan yang akan datang.
Dasar dari suatu paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi
berdirinya suatu bangsa, ialah suatu kejayaan bersama di zaman yang
lampau dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangankemenangan, sebab penderitaan itu menimbulkan kewajibankewajiban, yang selanjutnya mendorong kearah adanya usaha bersama.
Lebih lanjut Ernest Renan mengatakan bahwa hal penting merupakan
syarat mutlak adanya bangsa adalah plebisit, yaitu suatu hal yang
memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang, yang
mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan kesediaan
memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga bangsa bersedia
memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa
tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya (Tamburaka,
1999).
Titik pangkal dari teori Ernest Renan adalah pada kesadaran
moral (conscience morale), teori ini dapat digolongkan pada Teori
Kehendak, berbeda dengan teori kebudayaan (cultuurnatie theorie)
yang menyatakan bahwa bangsa merupakan perwujudan persamaan
kebudayaan: persamaan bahasa, agama, dan keturunan. Berbeda juga
dengan teori kenegaraan (staatsnatie theorie) yang menyatakan bahwa
bangsa dan ras kebangsaan timbul karena persamaan negara.
Suatu bangsa dianggap ada, apabila mulai sadar sebagai suatu
bangsa jika para warganya bersumpah pada dirinya, seperti yang telah
dilakukan oleh bangsa Swiss waktu mendirikan persekutuannya: wir
wollen sein ein einzig volk von brudern (kita ingin menjadi satu rakyat
179

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

yang bersaudara satu sama lainnya), seperti juga yang dilakukan oleh
pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928 untuk pertama kalinya pemuda Indonesia memproklamasikan
kesatuan Indonesia secara kultural dan politik dalam 3 (tiga) konsep:
satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa,
Indonesia, hal ini merupakan modal sosial (social capital) penting bagi
perjalanan sejarah masyarakat Indonesia karena pada peristiwa itu
untuk pertama kalinya konsep jati diri (identity) sebagai “bangsa”
(nation) dengan konsep Indonesia sebagai simbol pemersatu keragaman
masyarakat Indonesia dinyatakan secara tegas, jelas, dan berani.
Sumpah Pemuda merupakan tekad generasi muda tersebut pada
dasarnya menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan suku,
bangsa, ras, agama, dan kebudayaan yang berasal dari berbagai penjuru.
M elalui ikrarnya itu, mereka menyatukan derap langkah dan gerak
maju menuju kepada kehidupan kebangsaan Indonesia yang
berlandaskan pada asas kesatuan dan persatuan.
Teori bangsa yang berbeda dikemukakan oleh Benedict
Anderson yang dikenal terutama karena teorinya tentang asal usul
kebangkitan bangsa-bangsa di dunia, yang pemikirannya sebenarnya
masih berada dalam pengaruh pandangan dan kelanjutan
pengembangan teori Ernest Renan; M enurut Anderson (2008):
Kurangnya kepedulian para pengkaji gerakan kebangsaan
terhadap rasa kebangsaan – rasa nasionalitas – perasaan
pribadi dan kultural bahwa seseorang dan orang-orang lain
tertentu adalah satu bangsa – bahwa anda dan saya merasa
sebagai ‘orang Indonesia’, bahwa anda dan saya adalah kita,
bahwa orang-orang lain adalah mereka. Padahal, kenyataan
yang kita selami sebagai bangsa Indonesia ini, tutur
Anderson, hanyalah realitas imajiner; kekitaan kita adalah
komunitas imajiner yang kita namai Indonesia ini.

Istilah komunitas-komunitas imajiner menurut Anderson
memuat arti “kesatuan hidup (manusia) dalam wilayah geografis yang
batas-batasnya telah tertentu, yang sebagaimana dipahami (conceived),
dipikir (thought), diserap sebagai gambaran mental (surmised mental
image) oleh orang-orang yang bersangkutan (yang menganggap diri

180

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

terlibat di dalam kesatuan hidup itu atau menganggap diri sebagai
anggotanya).
Proses-proses penciptaan ‘komunitas-komunitas imajiner’ atau
bangsa-bangsa ini, menurut Anderson, melewati teritorialisasi
keyakinan-keyakinan keagamaan, kemerosotan kerajaan-kerajaan
kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme dengan cetakmencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari
bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepsi-konsepsi tentang waktu
yang berubah (Anderson, 2008)
Bagi Anderson (2008) Bangsa adalah sesuatu yang imajiner
karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan
takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka
dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula
pernah mendengar tentang mereka. Dengan begitu ia mengisyaratkan
bahwa komunitas-komunitas ‘sejati’ itu ada, yang kemudian secara
menguntungkan dipaskan dengan bangsa-bangsa. Dalam kenyataan,
semua komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-dusun primordial di
mana para anggotanya bisa saling bertatap muka langsung setiap hari
(bahkan mungkin komunitas semacam ini pun), adalah komunitas
imajiner. Pembedaan antarkomunitas dilakukan bukan berdasarkan
kesejatian/kepalsuannya, melainkan menurut gaya pembayangannya.
Para penduduk dusun-dusun di Jawa senantiasa tahu bahwa mereka
punya keterkaitan dengan orang-orang yang sama sekali belum pernah
mereka lihat, tetapi ikatan-ikatan ini dahulu dibayangkan secara
khusus dan ‘jelas’ sebagai jaring-jaring kekerabatan dan keklienan yang
luwes (bisa mulur, bisa menciut),
Anderson (2008) menjelaskan bahwa bangsa dibayangkan
sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan
bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semilyar
manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di
luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para
nasionalis yang paling mendekati sikap ‘juru selamat’ pun tidak
mendambakan datangnya hari agung di mana seluruh anggota spesies
manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti,
181

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

dalam zaman-zaman tertentu, orang-orang Kristen memimpikan
sebuah planet yang seutuhnya Kristen.
Anderson (2008) melukiskan bangsa dibayangkan sebagai
sesuatu yang berdaulat, lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu di
mana Pencerahan dan Revolusi memporak-porandakan keabsahan
ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri.
Konsep itu beranjak matang di masa para pengikut paling setia pun dari
agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan semua
agama universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme
antara masing-masing klaim keimanan ontologis serta bentang
kewilayahannya, bangsa-bangsa yang bermimpi tentang kebebasan,
dan andai pun di bawah lindungan Tuhan, secara langsung tanpa
perantara. Panji-panji dan penaksir kebebasan ini adalah negara
berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas,
sebab, tak peduli akan ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi yang
mungkin lestari dalam tiap bangsa, bangsa itu sendiri dipahami sebagai
kesetiakawanan yang mendalam dan arahnya mendatar/horisontal.
Dalam 2 (dua) dasawarsa terakhir, rasa persaudaraan inilah yang
memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, jangankan
untuk melenyapkan nyawa orang lain, mereka pun bersedia meregang
nyawa sendiri demi pembayangan terbatas seperti itu. Kematiankematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang dibawa
nasionalisme: apa yang menjadikan pembayangan-pembayangan yang
kian menciut dalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua abad
saja) bisa menggugah pengorbanan kolosal seperti itu?. Dan menurut
Anderson bahwa permulaan jawabannya tergeletak di akar-akar
budaya nasionalisme.
Proses penciptaan “komunitas-komunitas imajiner” atau
bangsa-bangsa ini, menurut Anderson, melewati
teritorialisasi
keyakinan-keyakinan keagamaan, kemerosotan kerajaan-kerajaan
kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme dengan cetakmencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari
bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepsi-konsepsi tentang waktu
yang berubah (Anderson, 2008)

182

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

Sesungguhnya Anderson memandang bangsa atau nation
sebagai gejala yang relatif modern sebagai konsekuensi modernisasi
dunia barat di abad ke-20. M odernisasi mendatangkan banyak
perkembangan, seperti kemajuan ekonomi, perluasan dan standarisasi
pendidikan, kemajuan teknologi, perbaikan infrastruktur, sarana
komunikasi modern, pertumbuhan birokrasi, dan perkembangan
bahasa baku untuk berbicara, menulis, mengelola, dan memerintah.
Karena perkembangan inilah dimungkinkan lahirnya masyarakat besar
manusia yang anggotanya merasa terikat satu sama lain. M asyarakat
tersebut oleh Anderson dinamakan “imagined community” disebut
“imagined”, karena tak seorangpun anggota bangsa atau nasion akan
pernah melihat semua anggota yang lain, namun ia merasakan adanya
ikatan khusus tertentu dengan anggota-anggota lainnya. Dalam
keadaan-keadaan tertentu, misalnya perang, ia bahkan siap
mengorbankan jiwa untuk anggota-anggota lain yang tidak dikenalnya
“ia mati untuk tanah air”.
Tulisan Anderson di atas bahwa bangsa atau nasion adalah hasil
dari imajinasi orang-orang yang membayangkan mereka berada dalam
satu negara dan merasakan perasaan nasib serta mitos tentang masa
lampau bersama yang jaya, dalam konteks ini juga perlu dilihat secara
kritis. Imajinasi tentang bangsa atau nasion dalam konsep Anderson
tetaplah mengacu pada model bangsa-bangsa atau nasion-nasion yang
tersedia dalam pengalaman barat.
Imagined Community yang dikemukakan oleh Anderson jika
dibawa ke dalam konteks Indonesia saat ini, maka apa yang
dikemukakan oleh Anderson itu sudah tidak relevan lagi karena suku
bangsa yang ada di Indonesia adalah komunitas yang saling mengenal
satu sama lain, komunitas yang saling berjumpa, bukan komunitas
imajiner semata.
Dari berbagai teori tentang bangsa dihubungkan dengan
sebelum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Tahun 1945,
kata bangsa sudah digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat
yang sekarang sering disebut kelompok etnis atau suku bangsa.
Bachtiar (1987) juga mencatat bahwa sebelum kita mengacu diri kita
sebagai bangsa Indonesia terdapat beraneka-ragam suku bangsa yang
183

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

biasa dinamakan bangsa, misalnya, bangsa M elayu, bangsa Jawa, bangsa
Bugis. Selanjutnya dia mencatat bahwa :
“Masing-masing suku bangsa mempunyai kebudayaan
sendiri, yang selain terdiri dari nilai-nilai dan aturan-aturan
tertentu juga terdiri dari kepercayaan-kepercayaan tertentu
serta pengetahuan tertentu yang diwarisi dari para nenek
moyang suku bangsa yang bersangkutan. Masing-masing
suku bangsa juga mempunyai bahasa sendiri, struktur
masyarakat sendiri, sistem politik sendiri, dan ini yang amat
penting, wilayah tempat pemukiman (tanah air) sendiri.”

Kalau batas bahasa dapat dianggap bertumpang tindih dengan
batas suku bangsa, maka dapat dibayangkan betapa besar jumlah suku
bangsa yang tadinya disebut bangsa (jadi bukan suku bangsa) terdapat
di Indonesia ini. (Simatupang, 2002).
Tidak ada yang mengetahui jumlah suku bangsa di Indonesia
secara persis. Namun berdasarkan hasil sensus terakhir yang dilakukan
Badan Pusat Statistik pada Tahun 2010, diperkirakan ada sekitar 1.128
suku bangsa di Indonesia (termasuk jumlah agama suku/agama adat dan
aliran kepercayaan yang jumlahnya tidak diketahui secara persis) yang
tersebar di sekitar 8.172 pulau142. Summer Institute of Linguistik (SIL)
Internasional cabang Indonesia telah mencatat bahwa Indonesia
memiliki 741 bahasa. Dari 741 bahasa tersebut, 726 bahasa masih
memiliki penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2 bahasa tidak
memiliki penutur asli lagi. Dari 741 bahasa daerah yang ada, 169
bahasa diantaranya terancam punah.143 M ajalah Tempo edisi 12-18
M aret 2012 juga menulis bahwa Indonesia memiliki 756 bahasa daerah
(12% dari total bahasa yang ada di dunia) dan terbanyak kedua setelah
Papua Nugini. Sebagian besar bahasa daerah itu memiliki penutur di
bawah 1 juta orang, bahkan ada bahasa yang hanya memiliki 1 orang
penutur saja seperti bahasa Beilel (Alor, NTT); bahasa M apia (Papua);
dan bahasa Hukumina (Papua). Jika para penutur ketiga bahasa di atas
meninggal dunia, maka punahlah bahasa sekaligus budayanya.

142
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/19/12373539/jumlah.pulau.berkurang
diunduh tanggal 7 Maret 2012
143 http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.
punah diunduh tanggal 7 Maret 2012

184

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

Dari pemaparan di atas dapat penulis kemukakan bahwa
Republik Indonesia adalah “negara bangsa-bangsa”, dan negara bangsabangsa merupakan tempat di mana kita merasa ada ikatan alamiah satu
sama lain lantaran kita memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa
Indonesia dan berbagai bahasa daerah yang begitu banyak jumlahnya,
agama suku dan agama adat yang begitu beragam selain agama resmi
yang diakui oleh negara, atau apapun lainnya yang cukup kuat untuk
menjalani keragaman yang dimiliki.
Dari narasi yang dikemukakan para ahli antropologi, sosiologi,
dan budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya konsep
Bangsa Indonesia Asli merupakan suatu konsep yang sangat kompleks,
dan bukan suatu konsep yang sudah seluruhnya jelas dan selesai.
Bahkan penelitian secara antropologi, sosiologi, dan kultural secara
tegas membuktikan bahwa bangsa Indonesia asli dapat dikatakan
sebagai suatu kelompok ras hasil dari percampuran antara ras dan/atau
antar etnik yang sulit dibuktikan atau bahkan perlu dipertanyakan
apakah ada garis pemisah yang tegas untuk memahami konsep Bangsa
Indonesia Asli yang mampu menggambarkan realitas dan mampu
menjawab keaslian bangsa Indonesia. Kita maklum bahwa negara
bangsa-bangsa adalah sebuah kreasi; Konstruksinya tidak pernah usai,
dan dalam keserasiannya, state building dan nation building adalah
selalu sebuah proses menjadi bukan suatu keadaan yang statis
(becoming instead of being). Dan Indonesia sebagai sebuah identitas
sebenarnya bukan sesuatu yang mati, tetapi memerlukan penafsiran
yang terus menerus.

Ethnic State, Nations State dan Civil Society
Pada uraian sebelumnya, telah penulis kemukakan bagaimana
Negara Kebangsaan Indonesia (Nation State) seharusnya dilihat sebagai
“Negara Bangsa-Bangsa (Nations State)” dan Nusak sebagai cerminan
dari Negara Etnik(Ethnic State) yang ada di Indonesia. Pada bagian ini
penulis lebih banyak membahas tentang posisi Civil Society di Rote
yang di satu sisi telah menyatu dan menjadi bagian dari Nusak dan
pada sisi yang lain secara formal adalah bagian dari negara Indonesia.
185

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Benturan antara “Negara-Bangsa” dengan “Negara Bangsa-bangsa”
adalah sebuah diskursus yang menarik sebagai sumbangan teoretis
untuk Studi Pembangunan di Indonesia.
Pengalaman negara-negara di Eropa Timur telah “menjebak”
para sosiolog menaruh civil society di tempat yang “sakral” dalam
berbagai analisis sosial politik. Kaldor (1999), misalnya, menyatakan
bahwa civil society adalah sebuah “ethical arena” (entitas etis), di
mana kelompok-kelompok yang patut hukum, menghargai hak asasi
manusia, mengembangkan sikap toleran, dan anti kekerasan (non
violence). Sementara itu Putnam (1996) berpendapat bahwa civil
society yang dipahami sebagai segala bentuk kehidupan sosial yang
terorganisir dan terbuka bagi semua kalangan, menganut prinsip
sukarela, dan tumbuh secara mandiri merupakan inti dari demokrasi.
Tanpa civil society yang tumbuh secara subur, maka demokrasi tidak
bakal dapat dipertahankan. Bagi Putnam, civil society merupakan
tempat perbedaan kepentingan dinegosasikan sehingga kehadirannya
dapat meningkatkan kemampuan pemerintahan dalam merepresentasi
kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik.
M embincangkan masyarakat sipil (civil society) dalam dunia
modern dalam konteks ke-Indonesia-an, tidak bisa lepas dari
transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa
kolonialisme. M asyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan
pengorganisasian tradisional mulai mengubah strategi untuk
melakukan aksi-aksi aksi kritis. Suwondo (2003) dalam penelitiannya
di Klaten mengungkapkan kegagalan pengembangan civil society di
aras nasional antara lain karena: (1) sistem politik yang tidak
fungsional; (2) kepemimpinan nasional yang lemah; dan (3)
ketidakpercayaan rakyat. Sementara pada aras lokal justru
pengembangan civil society dinilai berhasil karena: (1) kondisi yang
sudah mapan di bawah; (2) sistem politik lokal yang sudah fungsional;
(3) kepemimpinan elit lokal; dan (4) tradisi partisipasi masyarakat desa.
W iloso (2009) dalam penelitiannya di Grobogan melihat
pembentukan civil society masih bersifat amatiristik oleh para
mahasiswa dan dari pihak NGO/LSM lebih mengejar keuntungan
pribadi meskipun mereka merupakan pelaku “potential civil society”
186

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

melihat peluang demokratisasi di era desentralisasi, namun karena
lemah dan amatiristiknya mahasiswa beserta egoismenya para
pemimpin NGO/LSM , aktivitas interaktif mereka tidak membuahkan
penguatan proses demokratisasi. Hal ini menegaskan bahwa
pembentukan civil society tidak mesti diikuti dengan proses
demokratisasi dan era desentralisasi dengan sendiri tidak melahirkan
civil society yang kritis.
Kekuatan civil society sangat ditentukan oleh kemampuan
untuk merencanakan model sistem sosial yang hendak dijadikan
sebagai acuan kehidupan bersama diantara mereka. Paling tidak ada
tiga cara pandang yang dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai variabel
untuk mengukur apakah sebuah system itu memiliki energi untuk
menciptakan tujuan yang hendak dicapai. Ketiga hal itu adalah: cara
pandang ideologis atau nilai yang bersifat universal (universal values).
Kedua, meneropong dengan kacamata dan kesadaran empirik (empiric
awareness). Ketiga, membandingkan sistem itu dengan pengalaman
masa lalu yang dinilai memiliki kemampuan yang positif memproduksi
tujuan sosial. Pendekatan ini sering disebut sebagai pedekatan sejarah
(historical approach).
Bila menggunakan perspektif ideologis, perlu rekayasa sosial
politik untuk menciptakan kehidupan umat manusia yang berkeberadaban (civil society). Kemakmuran, keadilan, equality, kesejahteraan, toleransi dan kedamaian adalah sejumlah kata kunci yang
menunjukkan kualitas keberadaban umat manusia. Pertanyaannya,
apakah kondisi sosial politik yang menjadi sistem sosial manusia di
dunia atau di Indonesia khususnya saat ini, telah mencapai titik
ideologis yang dimaksud? Secara empirik, dengan gamblang
menggambarkan bahwa sistem sosial politik yang dianut oleh civil
society di Indonesia saat ini belum berhasil, kalau tidak mau dikatakan
gagal menciptakan masyarakat yang berkerberadaban.
Secara ideologis negara dihadirkan untuk menjadi regulator
pembangunan agar dapat membantu mempermudah kepentingan multi
pihak dalam masyarakat sosial. Dengan demikian tanggungjawab
utama negara semestinya adalah membangun kehidupan yang adil,
sejahtera, equality dan aman. Akan tetapi secara faktual dan empirik,
187

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

negara di manapun di dunia ini, khususnya di Indonesia telah menjadi
arena kepentingan kelas-kelas sosial (social classes) tertentu, menjadi
alat legitimasi kekuasaan (legitimacy of powers), menjadi corporate
powers bagi kelompok-kelompok yang memiliki link dengannya.
M enurut M arx, kelompok-kelompok yang melakukan pertarungan di
sana adalah; kaum nobles, bourgeoisie, dan proletariat. Dua kaum yang
pertama menurut M arx sangatlah dominan dalam Negara, meskipun
satu dua terjadi pergeseran ruang yang dimasuki oleh kaum proletariat
yang bernasib baik. Patut dicatat, siapapun yang berada dalam ruang
negara selalu ditumbuhi oleh benih keinginan menguasai. Inti dari
politik negara adalah kekuasaan/penguasaan (powers and occupancy)
(Lukacs, 2010).
Dengan mengikuti karakter dasarnya, negara selalu
membangun relasi dengan kelompok private sectors. Hubungan ini
sudah pasti tidak memberikan kontribusi positif untuk membangun
sistem sosial politik yang fair. Pihak yang paling dirugikan dari
hubungan antara negara dengan private sectors adalah civil society. Hal
yang paling menonjol dari kelompok kapitalis (private sectors) adalah
pendapatan ekonomi atau memperkuat capital (capital reach). Dari
kecenderungannya dapat dideteksi bahwa kelompok ini akan
melakukan apa saja untuk mencapai kepentingannya, termasuk
merusak hubungan berimbang antara negara-masyarakat. Civil society
sebagai fondasi masyarakat sosial dalam berelasi dengan negara dan
pengusaha, juga memiliki agenda sendiri. Tujuan utama dari civil
society adalah membangun masyarakat yang sejahtera, damai dengan
basis berkeadilan.
Civil Society yang dimaksudkan dalam uraian di atas dalam
konteks Rote adalah Nusak yang sudah berdiri di Rote jauh sebelum
era kolonialisme. Bagaimana posisi civil society, Nusak sebagai “negarabangsa” dan Indonesia sebagai “negara bangsa-bangsa” dapat dilihat
pada Gambar 8.4. berikut ini:

188

Et hnic Stat e, Nat ion Stat e dan Civil Societ y

Ethnic State
(Nusak)

Konstruksi

Nation State
(I ndonesia)

Formalistik

Embedded

Civil Society

Gambar 8.4. Posisi Civil Society di antara “dua negara” di Rote

Gambar 8.4. di atas ingin menunjukkan bahwa civil society di
Rote sudah lama menyatu (embedded) dengan Nusak sebagai lembaga
peradilan adat dan sekaligus sebagai lembaga pemerintahan adat dalam
kehidupan mereka sejak Nusak hadir di Rote sekitar Tahun 1500-an.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa Nusak
memiliki tiga fungsi negara yaitu lembaga yudikatif, lembaga legislatif
dan lembaga eksekutif. Kehadiran negara (baik pada masa negara
kolonial maupun negara Indonesia) disambut oleh masyarakat Rote
secara formalistik saja karena bagi masyarakat Rote, Nusak adalah
negara untuk mereka (local state/nation state), dengan hadirnya
Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, bahasa dan agama maka
Indonesia seharusnya dimaknai sebagai “negara bangsa-bangsa”
(nations state), dengan begitu “negara-bangsa” (nation state) yang ada
di Indonesia adalah bagian dari Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa
dan bukan negara kesatuan yang dipaksakan. Karena kenyataannya di
Jawa pun sampai hari ini, bahasa sehari-hari adalah bahasa Jawa, begitu
juga di Bali, di Timor, di M anggarai, di Sumba di Sabu, di Papua dan
berbagai daerah di Indonesia, bahasa Indonesia hanya untuk kegiatan
yang bersifat formal. Begitu pun di Rote, bahasa sehari-hari adalah
bahasa Rote, bahasa Indonesia hanya untuk kegiatan yang bersifat
formal saja.
Gambar 8.4 di atas juga memperlihatkan masih adanya jarak
antara civil society dan negara. Hal ini bisa dipahami karena relasi antara
negara dan civil society tidak selamanya berjalan ideal. Meminjam
189

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

kerangka pikir teoretik yang dikembangkan oleh Diane Davis (1999),
yang dikenal dengan konsep power of distance (kekuatan jarak) yakni (a)
geographic source of distance, merupakan jarak yang berkaitan dengan
ruang fisik yang membentang antara lokasi pelayanan pemerintah dan
lokasi tempat tinggal warga masyarakat selaku penerima pelayanan; (b)
institutional source of distance merupakan jarak yang berkaitan dengan
pelembagaan lembaga-lembaga pelayanan publik; (c) social class
positional of distance merupakan jarak yang berkaitan erat dengan
perbedaan stata sosial (termasuk strata ekonomi) antara aparat birokrasi
tata pemerintahan yang menyediakan pelayanan publik; dan (d) cultural
source of distance merupakan jarak yang berkaitan dengan perbedaan
budaya.
Tatkala warga masyarakat merasa serba jauh dari birokrasi tata
kelola pemerintahan baik secara geografis, kelembagaan, strata sosial,
maupun budaya, maka menurut Davis, jarak tersebut memiliki kekuatan
(power of distance) untuk mendorong masyarakat melakukan gerakan
sosial. Gerakan sosial mewujud dalam berbagai fenomena sebagaimana
yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab empiris terdahulu.
Dari pemaparan di atas, sistem sosial dan politik dapat
dibangun secara adil sesuai dengan prinsip-prinsip civil society dan
tujuan ideologis keberadaan negara apabila hubungan ketiganya
(legislatif, eksekutif dan yudikatif) berimbang secara posisional. Relasi
antara penguasa dan pengusaha yang selalu jadi sorotan publik
semestinya harus segera diganti dengan hubungan yang transparan,
yang dapat diaudit oleh publik. Tidak ada underground relationship.
Kedua, civil society dalam proses memodifikasi dirinya sendiri, di mana
tujuan awalnya bermaksud untuk memperluas space of civil society
hendaknya tidak bergeser dalam pelaksanaanya menjadi berorentasi
kekuasaan. Terdapat jalan lain, jika kedua cara itu gagal ditempuh
dalam periode waktu tertentu, jalan itu adalah menggerakkan kekuatan
cultural dan fungsional.

190