D 902007011 BAB VIII

Bab 8

Sintesa: Kelembagaan I ndustri
Rokok yang Semakin Fleksibel dan
Informal
Pengantar
Persoalan penting yang dihadapi industri rokok dalam kajian
ini adalah adanya tekanan yang mendorong munculnya stigma rokok
“illegal”. Tekanan tersebut berasal dari persaingan, kebijakan dan
masyarakat. Tekanan tersebut menyebabkan pergeseran kelembagaan.
Kelembagaan industri yang formal, tersentral dan kaku menjadi
kelembagaan informal, terdesentralisasi dan fleksibel.
Persaingan, tekanan masyarakat dan kebijakan pemerintah
dalam kepentingan yang berbeda, menyebabkan terjadinya konflik
dan secara bersamaan terjadi kerja sama untuk mewujudkan
kepentingan masing-masing. Namun konflik dan kerja sama ini
terjadi dalam basis material “rokok”.
Hasil kajian menemukan bahwa kompleksitas industri rokok,
bukan hanya dipengaruhi oleh problematika nasional tetapi
problematika global. Secara nasional, negara memiliki kepentingan
terhadap pendapatan, secara bersamaan terkait dengan kepentingan

kesehatan; hak anak dan perlindungan terhadap perempuan; identitas
nasional, nilai-nilai lokal dan ekonomi kerakyatan sebagai aspekaspek yang secara bersamaan “diperjuangkan”. Dalam konteks global
lebih terkait dengan pemenuhan standarisasi rokok sebagai bagian

193

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

dari bisnis global, dan kepentingan
memproduksi substitusi rokok.

industri

farmasi

yang

Paparan di bawah ini selanjutnya menjelaskan kompleksitas
tersebut dalam kelembagaan industri rokok.


Kelembagaan Industri Rokok Informal, Fleksibel dan
Stigma “illegal”
Fakta yang ditemui dalalam penelitian ini, kelembagaan
industri rokok bergeser menjadi semakin “informal” dan perubahan
ini tidak diikuti dengan perubahan konsep yang digunakan oleh
pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait. Akibat dari perubahan
ini maka kelembagaan industri rokok dianggap “illegal”.
Rokok “illegal” menjadi masalah yang sangat birokratis dan
administratif. M asalah “illegal” lebih berkaitan dengan pita cukai,
dalam arti mematuhi kewajiban pajak yang ditentukan sebagai
konsekuensi dari memproduksi barang kena cukai (BKC). Namun
ketentuan ini tidak hanya terkait produk rokok yang dihasilkan tetapi
juga lembaga yang memproduksi, proses, alat yang digunakan (mesin).
Disisi lain pelaku usaha yang memiliki kapasitas beragam tidak
semuanya dapat memahami mekanisme dan kemampuan adminsitratif
procedural yang ditetapkan, misalnya pelaporan melalui sistem online, format administrasi, dan sistem pelaporan yang rutin dan terus
menerus, serta akses pada birokrasi dan sumber informasi yang
terkait. Ketentuan-ketentuan ini mempunyai dampak yang berbeda
pada industri dan pabrik untuk berbagai golongan. Pada industri kecil
(golongan III) yang faktanya merupakan bagian terbesar dari jumlah

pabrik rokok secara keseluruhan, tidak selalu bisa memenuhi
ketentuan tersebut karena kondisi yang terus berubah dan kapasitas
sumber daya manusia (SDM ) yang relatif terbatas. Sebaliknya pada
industri besar (golongan I dan II) memiliki kemampuan yang
dimaksud.

194

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Dampak lainnya, mekanisme procedural ini diabaikan karena
dianggap rumit dan menjadi kendala dalam berproduksi dan berbisnis
rokok. Rokok “illegal” sebagai “stigma” yang diterima secara berbeda
oleh pelaku usaha bahkan ada kecenderungan mengabaikannya dan
lebih mengupayakan bagaimana produk rokok bisa terjual. Artinya,
persoalan ‘illegal’ sebenarnya bisa diantisipasi oleh negara.
Pemerintah dapat mendorong kepatuhan pelaku usaha rokok dengan
mengembangkan keberpihakan terhadap industri. Di samping itu
affirmative action dapat dilakukan, sehingga pita cukai bukan menjadi
kewajiban yang dipaksakan tetapi kewajiban yang disadari oleh

pelaku usaha /industri rokok. Bab-bab empiris (bab 5, 6 dan 7) dalam
kajian ini telah membahas bagaimana rokok “illegal” sebagai suatu
“stigma” terjadi.
Oleh karena itu, perubahan kelembagaan rokok yang semakin
informal dan fleksibel merupakan bentuk upaya yang terus dilakukan
tidak hanya menghadapi ketentuan di atas tetapi merupakan
konsekuensi logis mencari cara-cara efisien menghadapi persaingan di
pasar. Dalam kondisi kelembagaan rokok yang informal maka stigma
‘illegal’ menjadi dipertanyakan, khususnya bagi pelaku usaha.

Kompleksitas Relasi Industri Rokok yang Fleksibel dan
I nformal
Industri Rokok melibatkan pabrik-pabrik dengan skala yang
beragam, yaitu rokok golongan I, II dan III. Pabrik rokok dalam skala
yang sama dan skala yang berbeda saling berinteraksi untuk mencapai
tujuannya, menciptakan keuntungan dan keberlanjutan usaha.
Kompleksitas relasi disebabkan karena masing-masing berdiri diatas
kepentingan yang berbeda. Interaksi di dalamnya menjadi kompleks
karena tidak menyangkut bagaimana menghasilkan rokok dengan
segala konsekuensi aturannya dan stigma ”illegal”, tetapi juga

bagaimana bisa ”bertahan” dan berkembang dalam kompleksitas
tersebut.
195

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

Dalam kompleksitas ini relasi timbal-balik inter dan antar
aktor dalam industri didalamnya terjadi tidak hanya di antara pabrik
yang memproduksi barang sejenis (rokok), juga terjadi dalam dan di
antara industri pendukung rokok yaitu industri penyedia dan pemasok
bahan baku dan pendukung rokok, seperti industri kertas, percetakan
bungkus dan industri saos dan industri terkait.
Industri terkait menjadi bagian dari rantai produksi dan
pemasaran rokok, misalnya transportasi, lembaga keuangan
(perbankan), perusahaan pita cukai dan lain-lain. Pelaku usaha ini
melakukan serangkaian interaksi (jejaring) dalam kepentingan
keberlanjutan usaha. Hal ini menyangkut tuntutan bagaimana terus
memperkuat daya tawarnya terhadap pabrik secara individu,
kelompok, antara kelompok yang terkait dan kelompok usaha yang
mendukung sebagai satu sistem. Juga sekaligus di dalamnya mereka

secara bersama menghadapi industri lainnya dalam rantai yang
berbeda.
Kompleksitas relasi disebabkan karena masing-masing berdiri
di atas kepentingan yang berbeda tetapi sekaligus relatif sama yaitu
bagaimana memperoleh keuntungan dan keberlangsungan usaha tetap
terjaga. Persaingan antar pabrik pada skala yang sama atau berbeda;
industri pendukung secara nasional dan global, industri sejenis secara
nasional versus global; industri terkait secara nasional dan global.
Persaingan yang terjadi berlangsung dalam sistem
kelembagaan yang fleksibel dan informal. Dalam sistem seperti ini,
stigma ”illegal” terjadi sebagai suatu yang dibentuk. Dalam kondisi
kelembagaan yang informal seperti itu sangat sulit untuk menerapkan
aturan formal, karena semua nilai saling berinteraksi secara informal.
Pada akhirnya peraturan terus berjalan dan stigma “illegal”
akan terus ada bagi negara. Sebaliknya pelaku usaha tetap melakukan
apa yang dianggap “illegal”, bagi pengusaha merupakan sesuatu yang
normal karena tidak ada peraturan baku dan hanya menggunakan
norma, misalnya penerapan ketentuan upah minimal regional (UM R),

196


Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan lainnya terkait dengan
peraturan ketenagakerjaan.

Dampak Kompleksitas
Kompleksitas permasalahan yang terjadi pada industri rokok
menyebabkan kondisi relasi yang hirarchis dan eksploitatif.
Hubungan yang berorientasi saling menghancurkan untuk
mempertahankan keberadaannya baik dalam persaingan maupun
kepentingan yang hanya dapat dicapai menggunakan bargaining
position masing-masing. Interelasi yang merendahkan posisi dan
keberadaan satu dengan yang lain, karena kompetensi dan
kepentingan yang saling bertentangan atau berbenturan. Realitas ini
mendukung pernyataan W illiamson (1994), mengadaptasi dari
Richgart Scott (2001), dan menyusun model yang merupakan skematis
kelembagaan yang terdiri dari; lingkungan kelembagaan; pemerintah
dan individu yang digambarkan secara hierarkis dan saling
mempengaruhi.

Dampak kompleksitas menyebabkan konflik berkepanjangan.
Konnflik yang terjadi disebabkan adanya kontroversi karena
perubahan kelembagaan pada industri rokok. Perubahan ini
seharusnya diikuti oleh perubahan perspektif pihak-pihak yang
berkepentingan. Tetapi karena perubahan tidak diikuti dengan
penyesuaian target dan cara mencapainya maka akan terus terjadi
konflik multi pihak sebagai dampak dari kompleksitas yang terjadi.

Sinergi di Tengah Konflik
Sinergi dan kerja sama dilakukan untuk mewujudkan tujuan
saling menguntungkan di antara para pihak yang terlibat serta
mencapai kepentingannya masing-masing. Sinergi dilakukan di
antara industri dengan negara dan masyarakat, misalnya
ditetapkannya golongan pabrik, tarif pita cukai, kawasan bebas rokok,
197

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

standar tar dan nikotin dalam rokok, peringatan bahaya merokok
dalam bentuk gambar yang dipatuhi oleh industri rokok.

Negara dan industri bekerjasama dalam kebijakan yang
mendua hati. Di satu sisi mengendalikan produksi rokok dan jumlah
pabrik, di sisi lain terus mengijinkan pabrik baru. Memberantas rokok
“illegal”, tetapi tidak melakukan pencegahan agar tidak melanggar.
Yang dilakukan pemerintah hanyalah kegiatan untuk “sosialisasi”
cukai yang tidak difokuskan kepada upaya pencegahan dari sisi
perilaku pelaku usaha.
M unculnya opportunis, oknum aparat yang bekerjasama
dengan pelaku usaha untuk mendapatkan fasilitasi cukai, “pembiaran
pelanggaran”, kebijakan yang sama diimplementasikan dengan cara
berbeda untuk daerah dan individu yang berbeda. Fasilitasi
penggunaan cukai yang tidak sesuai aturan dengan imbalan natura
maupun inatura, dan terbukti sebagai modus “pelanggaran” yang
ditemukan di lapangan. Pada awalnya banyak usaha rokok yang
dimiliki bersama oleh aparat, atau usaha aparat yang dioperasikan
oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Granovetter (1985),
bahwa variasi dari struktur dan sifat dari ikatan antarpersonal
menjelaskan integrasi vertikal perusahaan-perusahaan. Perusahaan
menghadapi tekanan integrasi vertikal dalam pasar, di mana
perusahaan-perusahaan yang bertransasksi kekurangan jaminan sosial

dalam hubungan personal, sehingga pada akhirnya menimbulkan dan
berada dalam masalah, kekacauan opportunism, atau kejahatan
jabatan.
Jadi biaya sosial berkaitan dengan ikatan antarpersonal dalam
upaya menjauhkan dan memecahkan konflik ataupun dalam
mengakumulasi kewajiban-kewajiban berdasarkan perhitungan
rasional ketika mereka memperhitungkan bentuk-bentuk alternatif
organisasi ekonomi. Dalam konsep kelembagaan ekonomi baru, yang
mempertimbangkan kekhususan aset, dan keberadaan opportunist
yang terpenting adalah biaya transaksi, biaya negosiasi, jaminan, dan
penyelesaian transaksi melalui ekonomi pasar dan semua itu
merupakan pilihan rasional (Coase, 1984); (Simons, 1957).
198

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Kepentingan industri adalah keberlanjutan usahanya.
Sedangkan kepentingan negara terhadap pendapatan dan
pengendalian rokok. Kepentingan masyarakat adalah pengendalian
dampak asap rokok yang merugikan kesehatan di satu sisi, tetapi di sisi

lain sebagian besar terus mendukung karena manfaat yang diberikan
rokok secara ekonomi, sosial dan budaya.
Industri bekerjasama dengan masyarakat baik kelompok yang
mendukung maupun menolak melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi, sosial,
kemanusiaan, pendidikan, seni. Di satu sisi perusahaan melakukan
fungsi dan tanggung jawab sosial untuk membantu masyarakat,
sekaligus mengokohkan posisi pabrik dan industri di tengah
masyarakat.
Penggunaan aval/ jengkok dan tornette sebagai bahan
tembakau setelan, merupakan bentuk sinergi antara pabrik besar
(golongan I) dengan pabrik golongan II dan III, sekaligus bentuk
persaingan yang menggambarkan pertentangan di antara pabrik dalam
berbagai skala karena kepentingan pasar.
Penyediaan jasa membuat saos bagi pabrik yang
membutuhkan adalah aplikasi hak-hak property yang tidak sejalan
dengan pendapat Cheung, (1970,1974) ; North dan Thomas, (1973);
Alchian (1950) dan Demsetz, 1983; North, (1973). Kerja sama di
antara para pabrik untuk mengembangkan varian rokok merupakan
bentuk insentif dari kelembagaan baru yang informal dan fleksibel
tetapi dapat melemahkan pembaharuan (inovasi) dan hubungan
pribadi para enterpreuners. Tetapi dalam waktu yang bersamaan
kondisi ini dapat menguatkan hubungan dalam rantai bahan baku,
produksi dan pemasarannya.

M odal Sosial Sebagai Dasar Sinergi
M odal sosial terdiri dari bounding, bridging dan linking
(Putnam, 1993; Fukuyama, 1999). Pada industri rokok, bounding
199

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

terjadi pada proses dan sistem pengadaan bahan baku, produksi dan
pemasaran yang terintegrasi secara horizontal. Sedangkan rantai
industri rokok dengan industri terkait, terintegrasi secara vertikal.
Proses, sistem produksi dan pemasaran merupakan arena
(field) (Boerdieu, 1982) bagi pelaku usaha/industri untuk bertarung
dalam rangka memenangkan persaingan. Pada rokok, proses dan
sistem mengikuti produksi dan pasar yang ditetapkan oleh pabrik
atau industri. Semakin pasar dapat dibentuk semakin stabil, dan
sebaliknya, jika pabrik dan industri tidak dapat menciptakan pasar
maka permintaan menjadi sangat dinamis dengan ketidak pastian
tinggi. Dalam kondisi yang demikian maka proses dan sistem menjadi
sangat fleksibel.
Rantai produksi dan pasar tidak hanya mempertimbangkan
faktor ekonomi tetapi juga non ekonomi. Kebiasaan masyarakat untuk
mengintegrasikan diri kepada rantai suatu pabrik tertentu akan lebih
menjamin kepastian pendapatan, keuntungan atau keberlanjutan
usaha. Tetapi pada saat yang lain, rantai yang tidak terintegrasi
dengan kuat hanya kepada salah satu pabrik memungkinkan untuk
mendapatkan pendapatan yang lebih baik. M isalnya ketika tembakau
yang dihasilkan cocok dengan rokok yang akan diproduksi pabrik
lain, dan dengan demikian pemasok dapat memperoleh harga yang
lebih baik.
Tembakau merupakan komoditas yang bersifat fancy product,
harga ditentukan kualitas sedangkan kualitas adalah kesesuaian
dengan kebutuhan yang dapat bersifat khusus terkait jenis rokok yang
akan diproduksi. Jenis rokok tertentu menggunakan jenis tembakau
tertentu dalam komposisi tertentu. Informasi tentang kualitas
tembakau yang diperlukan harus dapat diakses oleh organisasi yang
ada dalam rantai pengadaan bahan baku (pengepul) yang juga
memiliki akses kepada penguasa gudang tembakau, dan sampai kepada
petani sebagai pemilik tembakau. Informasi diakses oleh aktor yang
memiliki ikatan untuk mencapai keuntungan yang sama.

200

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Produksi rokok dengan kelembagaan yang sangat informal
dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. M obilitas bahan baku,
tenaga kerja dan faktor produksi lain dalam kelembagaan yang
informal hanya mengandalkan kepentingan yang sama yang dibangun
dan terlembaga dalam bentuk trust, oleh pabrik dan para aktor di
dalamnya.
Demikian juga untuk pemasaran, sekalipun dalam skala kecil
(golongan III), pabrik memiliki jaringan agen yang bertugas sebagai
informan pasar sekaligus agen pemasaran. Pabrik besar (golongan I
dan II) agen dapat berdiri sendiri sebagai perusahaan dalam rantai
atau perusahaan yang memiliki spesialisasi sebagai pemasar.
Nilai dan kepentingan yang sama berkembang dengan
memanfaatkan interaksi sosial secara horizontal (bounding) maupun
vertikal (linking). Sehingga sepanjang rantai produksi dan pasar diikat
oleh suatu kepercayaan (trust) dan perasaan saling memahami kondisi
yang ada, maka sangat jarang terjadi kemarahan karena kesepakatan
yang saling diingkari atau kejadian one prestasi di antara aktor dalam
rantai.
Rantai pemasok bahan baku dan pengadaan produksi serta
pemasaran bekerjasama dalam rangka menghasilkan rokok sebagai
produk yang menguntungkan semua pihak, atau menanggung resiko
karena perubahan permintaan pasar atau kondisi lain yang tidak dapat
dikendalikan.
Kerjasama
didasari
oleh
sinergi
karena
mempertimbangkan, mengembangkan dan memanfaatkan modal
sosial masyarakat sebagai pendukung industri rokok.

Konflik dan Pihak yang Dikorbankan
Konflik merupakan dampak kontroversi yang berkepanjangan.
Kontroversi para pihak yang terlibat dalam persaingan, tekanan
masyarakat yang menolak dan mendukung keberadaan industri rokok,
serta kebijakan negara. Kebijakan negara terhadap industri rokok
bertentangan satu dengan lainnya. Di satu sisi kepentingan
201

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

pengendalian rokok, dan di
pendapatan cukai.

sisi

lainnya adalah peningkatan

Terjadinya konflik di antara para stakeholder pada akhirnya
mengorbankan pihak-pihak yang memiliki daya tawar paling lemah,
dan pabrik yang tidak memiliki akses kepada penguasa (layer 2).
Keberadaan industri di layer 2 (dua) bersifat informal, keberadaannya
semata-mata karena bertahan hidup (survive); sejarah usaha keluarga
yang telah
berlangsung turun-memurun
sehingga harus
dipertahankan serta sebagai bagian dari budaya (barang “image” atau
“makna”).
Berbagai hal tersebut di atas digerakan oleh suatu kekuatan
kapitalis sebagai desainernya. Kekuatan kapitalis bekerjasama dengan
negara untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan masing-masing.
Kapitalis juga bermain dalam proses dan sistem yang terbangun
sebagai rantai. Kapitalis dalam kelembagaan rokok yang informal
dapat berbentuk motif yang mendasari sikap para aktor yang mencari
menang sendiri, untuk kepentingan sendiri dengan mendistribusikan
segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dengan tidak adil,
hirarchis dan eksploitatif.
Konflik yang terjadi merupakan konsekuensi dari adanya
kontroversi dan perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan
dapat dicapai dengan bersinergi tetapi pada suatu saat sinergi tidak
akan menguntungkan secara optimal bagi semua stake holder. Oleh
karena itu agar keuntungan maksimal, harus ada yang dikorbankan
yaitu mereka yang memiliki bargaining paling lemah dan tidak
memiliki informasi yang lengkap serta tidak mendapatkan akses
terhadap sumber daya yang dipertentangkan. Kondisi tersebut
membuktikan adanya peran kapitalis yang bekerja dalam kelembagaan
rokok yang fleksibel dan informal, karena berbasis jaringan.
Tekanan yang dihadapi industri mendorong maraknya rokok
“illegal”. Hal ini terjadi karena persaingan yang ketat, menyebabkan
kelembagaan pada rokok harus berubah. Dari kelembagaan yang
formal, tersentral dan kaku menjadi kelembagaan yang informal,
202

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

fleksibel yang memungkinkan pabrik dan industri bekerja secara
efisien. Di sisi lain, kebijakan yang dibuat menggunakan paradigma
lama, yaitu industri sebagai lembaga yang formal, kaku dan tersentral.
Dalam aplikasinya konsep yang berbeda menyebabkan kebijakan tidak
relevan dan saling berbenturan satu dengan lainnya. Konsep dan
realitas tidak pernah bertemu. Segala sesuatu yang tidak sama dengan
pemerintah (karena konsep yang digunakan tidak sama),
menyebabkan munculnya stigma rokok “illegal”.

Desentralisasi untuk M emenangkan Persaingan
Industri rokok tumbuh sebagai klaster alamiah. Klaster
bekerja sebagai rantai nilai (value chain) untuk mencapai nilai tambah
(value added) (Porter, 2002). Lima aspek penting sebagai kekuatan
kompetitif yang saling bersaing untuk memperebutkan pasar baru
atau mempertahankan pasar yang telah dikuasai sebelumnya. M asing
masing aspek memiliki daya tawar terhadap industri rokok.
Pada saat yang sama pabrik dalam industri saling bersaing.
Aspek-aspek sebagai kekuatan kompetitif dalam persaingan industri
tersebut adalah para pemain baru (pabrik) yang terus muncul,
konsumen, pemasok (supplier); produk pengganti (substitusi) rokok
dan daya tawar pabrik yang menjadi bagian penting dalam persaingan
dalam industri (Porter, 2002). Kelima aspek kekuatan kompetitif
tersebut didalam industri rokok saling berinteraksi, bekerjasama dan
terintegrasi secara vertikal atau horizontal dalam proses dan sistem
produksi serta pemasaran. Secara bersamaan kekuatan kompetitif
berinteraksi menentukan posisi persaingan pabrik. Kekuatan daya
tawar kelima aspek ditentukan oleh biaya beralih dan atau hambatan
masuk yang ditetapkan oleh pabrik di dalam industri.
Lima kekuatan kompetitif (Porter, 2002) bekerja sebagai suatu
sistem dalam rantai produksi dan pemasaran. Penyedia bahan baku
rokok (tembakau dan cengkih)merupakan bagian rantai produksi
yang penting bagi pabrik dalam industri. Daya tawar supplier lemah
terhadap pabrik dalam industri. Pabrik besar merespon daya tawar
203

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

supplier bahan baku dengan suatu ikatan sebagai mitra dan
menyebabkan supplier menjadi sangat tergantung. Pabrik memiliki
hambatan terhadap pemasok, berupa kapasitas produksi yang
disebabkan dinamika pasar. Pemasok bahan baku tidak hanya satu
untuk satu pabrik tetapi lebih banyak pemasok untuk pabrik yang
terbatas. Keterbatasan pabrik untuk menggunakan tembakau
disebabkan oleh jenis tembakau tertentu digunakan untuk rokok
tertentu, atau tidak semua tembakau cocok sebagai bahan semua
rokok. Keterbatasan juga disebabkan karena tidak semua pabrik
menggunakan tembakau dan cengkih asli.
Kekuatan pemain baru dalam industri harus dapat mengatasi
kekuatan pemain lama. Ketika pemain baru dapat membawa produk
dengan image baru kemungkinan akan mendapatkan pasar, yang
berasal dari konsumen yang beralih dari produk lama. Product image,
merupakan salah satu respon terhadap entry barrier yang diciptakan
oleh pabrik bagi para pemain baru. Daya tawar pemain baru lainnya
adalah varian rasa dan harga. Bagi pasar yang terpengaruh issue
kesehatan yang dikampanyekan oleh masyarakat anti rokok, maka
rokok “sehat” adalah alasan untuk beralih. Tetapi bagi pasar yang
tidak terpengaruh, apapun mereknya, asal memenuhi selera dan
harganya murah akan mendapat respon positif dari pasar.
Pabrik juga menghadapi produk pengganti, baik untuk jenis
rokok putih maupun rokok kretek. Rokok putih dan rokok kretek
khususnya akan menghadapi produk pengganti berupa rokok “tingwe”
yang belakangan menjadi trend dikalangan orang muda, karena dalam
proses “nglinting dewe” memiliki kepuasan tersendiri. Rokok
“tingwe” menjadi suatu symbol budaya baru di kalangan orang muda,
dari budaya orang tua yang telah berlangsung turun menurun.
Produk pengganti dapat berupa pengganti rokok yang
ditawarkan oleh pabrik yang tidak mendukung rokok. Permen dan
obat untuk mengatasi “kecanduan” rokok yang diproduksi oleh pabrik
global.

204

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Demikian pula rokok “sehat” yang memiliki standar tar dan
nikotin tertentu sebagai rokok “sehat”. Industri rokok global dan
perusahaan industri farmasi memanfaatkan situasi dan kondisi
dilematis yang dihadapi oleh industri rokok nasional untuk
memperjuangkan kepentingan mereka, dengan berlindung dibalik
issue kesehatan. Pada saat memperjuangkan kepentingan “kesehatan”
maka pabrik produk barang pengganti saling berhadapan dengan
pabrik rokok. Konsep kesehatan dipahami dengan cara berbeda.
Kesehatan yang menggunakan argument adiktif dalam arti luas dan
adiktif dalam arti sempit. Rokok, merupakan produk sosial dan budaya
yang bermanfaat bagi kesehatan, misalnya berbagai tradisi pengobatan
yang dilakukan masyarakat secara turun menurun menggunakan
bahan dasar rokok yaitu tembakau. Rokok kretek ditemukan dan
berkembang sebagai obat bagi penemunya Haji Jamhari yang berasal
dari Kudus.
Perubahan kelembagaan disebabkan oleh perubahan di dalam
daya tawar yang relatif terhadap peraturan. Perubahan-perubahan
timbul karena mengutamakan perubahan–perubahan yang terus
menerus dari harga-harga relatif (North, 1984 : 260). Perubahan harga
relatif digerakkan oleh perubahan demografis, perubahan informasi
dan teknologi. Dinamika perubahan kelembagaan dalam teori North
berakar dari interaksi yang berlangsung terus menerus antara
lembaga-lembaga dan organisasi dalam konteks bersaing ketika
sumber-sumber semakin langka.
Pabrik yang berhasil membentuk product knowledge akan
berhasil membuat image bagi konsumen dan menjadi hambatan
konsumen untuk beralih. Kemampuan pabrik untuk mempertahankan
konsumen dapat menyebabkan stabilitas permintaan. Sebaliknya,
ketika pabrik tidak berhasil membentuk product knowledge maka
permintaan pasar tidak dapat dikendalikan, dan bersifat sangat
dinamis. Rokok, adalah produk simbolik, sehingga tidak hanya
menjual selera dan rasa tetapi juga makna dan image kepada para
penyukanya. Pengusaha pada berbagai skala pabrik bersaing sesuai

205

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

dengan kapasitas dan golongannya secara bebas, karena rokok
mengacu pada pasar bebas.
Perubahan permintaan pasar menyebabkan perubahan
produksi. Perubahan produksi akan menentukan
sistem dan
organisasinya. Perubahan sistem dan organisasi mempengaruhi nilai
yang disepakati oleh pelaku dalam rantai produksi dan pasarnya.
Perubahan produksi karena persaingan yang dinamis harus
disertai dengan strategi yang fleksibel. M isalnya kerja sama produksi
dengan pabrik lain, melakukan spesialisasi hanya pada produksi saja
dan menyerahkan proses distribusi pada perusahaan lain, atau
melakukan sub-kontrak produksi dengan pabrik skala mikro/ kecil
dan menengah. Sehingga kelembagaan pada industri rokok berubah
dari pabrik konvensional menjadi pabrik yang modern, berbasis
jaringan.Terjadi sinergi pabrik secara horizontal maupun vertikal.
Industri bekerja berbasis jaringan (network enterprise) (Castells,
2000).
Perusahaan yang berbasis jaringan berdampak pada
kelembagaan yang menjadi fleksibel. Perusahaan yang fleksibel
sebagai bentuk yang tepat dalam merespon kondisi persaingan dalam
industri rokok yang semakin ketat. Jaringan yang terbangun
melibatkan pabrik sebagai rantai produksi dan pemasaran secara
horizontal (bounding), maupun industri lain yang secara bersama
terkait dengan industri rokok, misalnya pabrik kertas, pita cukai
(bridging). Jaringan diantara para aktor dalam rantai diikat oleh trust,
yang berkembang karena kepentingan yang sama (Fukuyama, 1999;
Putnam, 1993).
Penggunaan bahan baku rokok sampah, lebih pada bentuk
persaingan yang terselubung karena pabrik pengguna tembakau dapat
melakukan “penggembosan” terhadap pabrik yang memiliki rokok
aslinya (yang menghasilkan limbah) karena rasanya sama, walaupun
merek nya dibuat berbeda dan harganya lebih murah. Penggembosan,
adalah bagian dari strategi persaingan yang dilakukan oleh pabrik

206

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

rokok kecil (golongan I dan II) terhadap pabrik golongan I dengan
cara mendaur ulang limbah menjadi rokok “baru”.

Rokok

Indust ri
Pendukung

Indust ri yang
Tidak M endukung

Gambar 32
Persaingan Industri Rokok Pada Layer 2, Kapitalistik

Penggunaan tembakau “setelan” tidak menyebabkan adanya
stigma rokok “illegal”, selama tetap menggunakan pita cukai sesuai
peraturan. Penggunaan tembakau “setelan” adalah bentuk inovasi
untuk menciptakan efisiensi dan memaksimalkan keuntungan.
Tembakau setelan merupakan hasil pemikiran yang rasional-ekonomis
untuk merespon persaingan dan menyesuaikan (coping) dengan
kondisi yang terjadi. Rokok “illegal” bukan pada bahan baku tetapi
pada motivasi dan praktek pemalsuan rokok, atau penggunaan pita
cukai yang tidak sesuai peraturan.
Perbedaan konsep terjadi dalam persaingan, kepentingan
global berhadapan dengan kepentingan nasional; kepentingan pabrik
berhadapan dengan kepentingan pabrik lainya dalam berbagai
golongan. Persaingan semakin ketat ketika terjadi restrukturisasi
kelembagaan ekonomi global. Dampak restrukturisasi terjadi sampai
pada skala pabrik. Sejalan dengan Furubotn dan Richter (1993);
Harris, et al (1995), restrukturisasi menyebabkan perubahan institusi
dan kelembagaan. Pada industri rokok hal tersebut juga terjadi, ketika
pada era global dan persaingan global terjadi restrukturisasi yang
berdampak sampai kepada skala pabrik. Oleh karena itu pada skala
pabrik dituntut untuk selalu melakukan adaptasi (coping) dengan
207

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

bekerja dalam kondisi efisien dan harga yang bersaing. Pada saat yang
sama berkembang issue rokok yang merugikan kesehatan, dan harus
diakomodasi. Sehingga cara produksi dan kelembagaan pada skala
pabrik berubah. Pabrik harus menciptakan efisiensi untuk
keberlanjutan dan di sisi lain “menjaga” tekanan masyarakat nasional
dan global terkait issue kesehatan.
Sinergi yang terjadi adalah bagaimana menciptakan kinerja
yang efisien dan keuntungan yang maksimal, sharing keuntungan,
keputusan produksi dan menjaga issue global tentang kesehatan
terekspresikan dalam penetapan golongan pabrik dan semua
konsekuensinya termasuk hak-hak yang ditetapkan. Sekalipun dalam
implementasinya tidak adil antara golongan I,II dan III. Ada kekuatan
(sistem) yang melembaga dan bergerak dalam area kelembagaan
informal. Dalam hal ini New Institusional Economic (NIE) dimengerti
bukan dalam suatu bentuknya yang formal tetapi dalam konteks
informal lebih kuat. NIE, termasuk nilai-nilai yang berkembang,
dianut dan disepakati serta terlekat (embedded) di dalam diri para
aktor (Granovetter,1985) yang terekspresikan melalui interaksi para
aktor di dalam field (Boerdieu, 1982), yaitu rantai produksi dan rantai
pemasaran.
Dampak persaingan yang ketat menyebabkan
industri
mengubah proses dan sistem yang terpusat, kaku dan formal menjadi
berbagi peran (sharing), atau menyerahkan bagian pekerjaan/kegiatan
kepada pihak lain. Desentralisasi, dalam bentuk sub-kontrak,
spesialisasi, maklon menyerahkan produksi, pengadaan bahan baku,
dan pemasaran. Desentralisasi dianggap paling tepat karena
memungkinkan pabrik dan industri bekerja dengan efisien.
Keuntungan yang diperoleh bukan hanya optimum tetapi maksimal
sekalipun harus melakukan sharing profit dengan perusahaan lain.
Keuntungan yang diperoleh semakin besar bukan hanya dapat
menutupi biaya produksi yang dinamis, tetapi juga memungkinkan
pabrik dan industri melakukan berbagai inovasi.
Inovasi produk dilakukan untuk mendesain pasar. Pasar sangat
dinamis karena sifat produk di satu sisi dan karakteristik konsumen di
208

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

sisi lain. Konsumen sangat mudah beralih karena rokok sebagai barang
preferen. Tetapi konsumen dapat sangat loyal karena rokok adalah
produk image. Ketika pabrik dan industri mampu menciptakan image
bagi konsumennya maka pabrik dapat mengendalikan konsumen
sedemikian rupa dan permintaan pasar terus dapat menjamin
keberlanjutan pabrik. Demikian juga ketika pabrik dan industri
mampu melakukan inovasi produk, menciptakan diversifikasi produk
dan variannya sesuai selera dan tuntutan masyarakat, maka akan
selalu tercipta pasar baru dan konsumen baru. Pabrik dengan industri
pendukung bekerjasama untuk mempertahankan keberlanjutan
usahanya. Pada saat yang bersamaan pabrik dalam skala dan pabrik
yang berbeda skala bersaing untuk memperebutkan konsumen.
Dampak inovasi yang dilakukan dalam kerjasama pabrik dengan
industri pendukung menghasilkan semakin banyak merek dan varian
(rasa) rokok, sekaligus image yang tercipta semakin bervariasi
mengikuti gaya hidup masyarakat. Persaingan di antara pabrik dalam
industri semakin ketat. Dalam kondisi seperti ini pabrik yang
memiliki kapasitas dan daya tawar paling lemah akan menjadi korban.
Industri rokok bukan hanya industri yang tampak di
permukaan, sebagai industri yang formal. Industri rokok sebagai
jaringan yang terdiri dari layer-layer dimana terdapat layer yang tidak
tampak di permukaan dan bersifat informal, tidak terintegrasi,
fleksibel, yang melembaga sedemikian rupa karena diikat oleh trust.
M unculnya trust karena nilai dan norma yang sama, disepakati untuk
mencapai tujuan bersama. Pada saat yang sama saling bersaing untuk
mancapai tujuan masing-masing.

209

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

Indust ri
“ Form al”

Bhn
Baku

Produksi

Pem asar

Cukai

I
-----------------------------------------------------------------Indust ri
II
“ Inform al”
-------------------------------------------------------------------Indust ri
Yang t idak t erlihat

Indust ri

RT

III

Gambar 33
Industri Rokok, sebagai network enterprise

Kapitalis global sebagai desainer, tidak selalu terkait sebagai
pemilik usaha. Sebagai industri jaringan tidak ada lagi kepemilian
pribadi terhadap suatu pabrik. Industri yang bekerja berbasis jaringan,
terintegrasi kuat secara horizontal dan vertikal dengan industri sejenis
maupun industri terkait (bersifat informal). Tujuan utamanya adalah
mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu harus
bekerja efisien. Agar dapat bekerja secara efisien, maka pabrik dan
industri harus melakukan inovasi, baik produk maupun pasar.
Sehingga kerja sama antara pabrik rokok dan industri pendukung
untuk mencapai kepentingan masing-masing dapat tercapai.
Kapitalis tidak identik dengan pemilik perusahaan. Burawoy
(1979), mengintegrasikan pendapat konsep M arxis dalam industri.
Dalam kelembagaan yang informal dan fleksibel, pemilik perusahaan
(owner) jarang ditampilkan sebagai pemegang otoritas. Desentralisasi
yang terjadi memungkinkan pabrik terpecah sebagai anak rantai yang
terorganisir secara terpisah dan mandiri. Dalam kondisi seperti ini
tidak efisien untuk melibatkan pemilik. Pemilik semakin kecil
“wilayah” fisiknya, tetapi kekuatan kapitalis dapat menguasai dan
memiliki otoritas untuk mengendalikan seluruh rantai.
Kapitalisme dalam bentuk murni menghendaki adanya
kebebasan individu yang mutlak dan tidak dibenarkan adanya
210

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

pengaturan ekonomi oleh pemerintah kecuali dalam hal-hal yang
tidak diatur sendiri oleh individu (M a’arif, 2006: 100). Sehingga
pemerintah dengan intervensinya tidak boleh mengganggu
kemampuan dan hasil inovasi pabrik.
Konsumen adalah bagian terpenting dari persaingan industri
rokok. Konsumen tidak hanya tumbuh secara alami tetapi pabrik
harus dapat menciptakan pasarnya. Sehingga konsumen adalah pasar
yang didesain oleh pabrik agar memiliki loyalitas, tumbuh konsumen
baru dan pada akhirnya secara berkelanjutan dapat menciptakan
permintaan yang efektif terhadap produk rokok. Sebagai produk
image, pabrik dan konsumen bekerjasama untuk mencapai
kepentingan masing-masing. Konsumen dipuaskan karena image yang
diciptakan bagi mereka, dan pabrik mendapatkan jaminan
keberlanjutannya. Pada saat yang bersamaan, konsumen yang
terpengaruh issue kesehatan hanya akan memilih rokok “sehat”.
Sehingga terjadi konflik antara konsumen dan pabrik karena issue
kesehatan dan rokok “sehat”. Tetapi pabrik akan terus menciptakan
varians (rasa) rokok bagi penyukanya sebagai barang preferens. Pasar
akan selalu dimanjakan dengan hasil inovasi yang melahirkan rokok
baru dengan mengikuti karakteristik, budaya dan selera
konsumennya. Bahkan konsumen dapat menjadi raw models yang
diciptakan oleh pabrik untuk mencapai kepentingan konsumen yang
mendukung rokok.
Sejalan dengan pendapat (Simons, 1957) tentang pilihan
rasional, bahwa perubahan kelembagaan melihat organisasi-organisasi
sebagai pelaku rasional dalam mengejar keuntungan yang berasal dari
perubahan harga relatif.

M asyarakat dan Kontroversi Rokok
Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok karena
dampak asapnya yang merugikan kesehatan, diaplikasikan pada
peraturan tentang iklan, batasan tar dan nikotin, peringatan bahaya
merokok pada bungkusnya, serta kawasan bebas rokok. Kondisi ini
211

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

berdampak secara langsung terhadap pabrik besar, tetapi tidak secara
langsung dirasakan oleh pabrik kecil. Pabrik besar memproduksi
rokok untuk masyarakat yang memiliki pendapatan menengah dan
tinggi dengan pemahaman terhadap kampanye anti rokok lebih baik.
Pabrik kecil, memproduksi rokok dengan konsumen yang lebih
banyak di daerah pedesaan yang terpencil, kurang memahami dan
merespon kampanye anti rokok, karena memiliki ikatan kuat terhadap
rokok sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budayanya.
M asyarakat konsumen pada segmen tersebut kurang terpengaruh pada
ada atau ketiadaan iklan, batasan tar dan nikotin, peringatan bahaya
merokok serta peraturan tentang kawasan bebas merokok. Bagi
mereka rokok semakin “mantap”, apabila kadar tar dan nikotinnya
semakin tinggi. Hal ini bertentangan dengan peraturan pemerintah
dengan standarisasi tar dan nikotin rendah.
Perbedaan persepsi terhadap keberadaan rokok, yang
merugikan kesehatan dengan manfaat ekonomi, sosial dan budaya
yang dirasakan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat
sebagai bagian dari rantai produksi dan bisnis rokok terus akan
berlanjut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Newstorm dan Davis
(1977), bahwa konflik yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan dan
perbedaan persepsi akan mendorong munculnya kontroversi yang
terus menerus. Faktanya, pertentangan yang terjadi dalam masyarakat
tidak akan mencapai titik temu, selama masih ada masyarakat yang
mendukung keberadaan rokok dengan berbagai alasannya sendiri yng
berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang menolak
keberadaan rokok.
M asyarakat yang menolak dan mendukung rokok tidak dapat
dipisahkan, karena mereka senantiasa berhubungan satu dengan
lainnya sebagai sistem dalam komunitas masyarakat. Pada suatu saat
mereka akan saling berhubungan dalam berkehidupan dan pada saat
yang bersamaan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap rokok.
Sehingga konflik tidak dapat dihindari. Hal ini sejalan dengan
pendapat Gibson, et al (1997:437) dan Robbin (1996), bahwa adanya
interelasi yang melibatkan kelompok masyarakat yang memiliki
212

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

tujuan atau kepentingan berbeda tidak dapat menghindari adanya
konflik.
M enurut pandangan konvensional, konflik harus dihindari
karena merugikan masyarakat yang terlibat dalam konflik. Tetapi
pandangan modern, konflik yang berkembang menjadi kontroversi
dapat mendorong munculnya dampak baik terhadap industri, dan
masyarakat karena dapat meningkatkan kinerja organisasi (Stoner dan
Freeman,1989). Industri rokok akan semakin terdorong untuk
melakukan berbagai inovasi produk dan pasar untuk menjawab
keberatan yang menyebabkan adanya penolakan terhadap rokok.
Kontroversi, mendorong adanya peluang berbagai kajian dan
temuan yang mendukung pendapat dan pandangan masing-masing
kelompok. Selama terjadi kontroversi terhadap rokok karena dampak
buruknya bagi kesehatan, maka telah ditemukan metode balur
tembakau untuk kesehatan menggunakan teknologi nano. Namun
juga semakin banyak temuan untuk mendukung pendapat bahwa
rokok merugikan, baik secara ekonomi, sosial, budaya. Temuan
tersebut akan semakin memperkuat fakta, baik yang merugikan atau
menguntungkan masyarakat. Di sisi lain konflik dan kontroversi
terhadap keberadaan rokok tidak akan segera usai.
Pengelolaan konflik oleh pemerintah dengan mengakomodasi
keberatan melalui peraturan yang ada tidak akan mudah untuk
menghasilkan kolaborasi. Karena masing-masing kelompok yang
memiliki pandangan berbeda tidak dapat melakukan komunikasi dan
negosiasi dengan baik. Jun Qura, (2007) dan Sobirin, (2010)
mengusulkan pilihan-pilihan di antara pengabaian, mendorong
kolaborasi diantara masyarakat yang berkonflik karena dampaknya
lebih ringan dibanding jika tidak berhasil mengelola dengan baik akan
terjadi konfrontasi dalam berbagai bentuk, mulai saling menyerang
dengan opini masing-masing sampai kepada tindak kekerasan dan
ancaman antara kelompok yang satu dengan lainnya.
Realitas yang terjadi dalam masyarakat antara yang pro dan
menolak rokok tidak benar-benar melakukan ancaman terhadap
213

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

industri rokok, tetapi secara individu yang anti rokok kepada individu
lainnya yang pro rokok. Secara sistem, penolakan terhadap rokok
tidak akan berhasil karena industri mendapat dukungan
dari
kelompok masyarakat pro rokok.
Sebagai dampak adanya konfrontasi, pada akhirnya
pemerintah akan melakukan ancaman, antara lain dengan
memberikan stigma terhadap rokok yang melanggar peraturan sebagai
rokok “illegal”.
Fatwa haram terhadap rokok, tidak efektif dipatuhi oleh
masyarakat karena masyarakat memiliki keyakinan yang berbeda
dengan dasar yang digunakan untuk mengharamkan rokok. Pada
akhirnya fatwa haram diabaikan oleh kelompok masyarakat yang
memiliki pandangan berbeda. Rokok tidak haram tetapi”makruh”.
Pembatasan rokok melalui kawasan bebas rokok hanya efektif
dalam interaksi masyarakat secara individu, karena peraturan daerah
yang telah dibuat di berbagai daerah tidak disertai sanksi bagi para
pelanggarnya.
Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok bukan
semata-mata didorong kepentingan masyarakat tetapi oleh
kepentingan lain yang memanfaatkan kesempatan pada situasi konflik
tersebut. Kepentingan lain tersebut adalah industri tembakau global
yang berkepentingan memasarkan produk rokok putih yang diklaim
sebagai rokok yang lebih sehat dibanding rokok kretek. Sehingga
tekanan masyarakat memberi peluang persaingan antara industri
rokok nasional dan industri rokok global untuk kepentingan masing
masing.
Argumentasi masyarakat yang menolak keberadaan rokok,
karena rokok bukan hanya merugikan para perokok aktif tetapi juga
para perokok pasif. Para perokok adalah orang sakit yang perlu diobati
atau diberikan produk lain yang dapat menghilangkan kecanduan
mereka terhadap rokok. Sehingga industri farmasi global yang
memproduksi pengganti rokok dan obat kecanduan rokok
berkepentingan terhadap konsumen rokok di Indonesia yang sangat
214

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

besar jumlahnya dan masih potensial dengan memanfaatkan peluang
yang muncul akibat konflik yang terjadi.
Nilai-nilai global digunakan untuk semakin menekan industri
tembakau yang hanya mengijinkan rokok “tidak beraroma”, yaitu
rokok putih. Nilai tersebut bertentangan dengan budaya lokal
masyarakat Indonesia sejak turun temurun memanfaatkan tembakau
dan produknya sebagai obat. Dalam perkembangannya nilai-nilai
lokal tidak hanya berkembang pada bagaimana rokok yang
mengandung cengkih bermanfaat untuk obat sakit ashma, tetapi
dengan teknologi nano paparan asap rokok yang menjadi issue
kesehatan menjadi obat yang berguna untuk pemuliaan sel dalam
tubuh manusia. Nilai lokal berhadapan dengan nilai global.
Argumentasi yang digunakan oleh masyarakat yang menolak
keberadaan rokok adalah zat adiktif yang ada dalam tembakau-rokok
dan merugikan kesehatan. Issue kesehatan yang bersumber dari zat
adiktif, yang ada pada tembakau dan produk-produknya. Padahal
nikotin yang dianggap sebagai zat adiktif bukan hanya berasal dari
tembakau saja. Sehingga menyebabkan masyarakat terbagi menjadi
dua, masyarakat yang menolak dan masyarakat yang mendukung
rokok. Terhadap industri rokok, tekanan masyarakat yang menolak
dan mendukung dapat saling bekerjasama dan sekaligus terjadi konflik
karena kepentingan masing-masing. M asyarakat yang mendukung
bukan hanya berkepentingan terhadap rokok dari sisi ekonomi, sosial
dan budaya tetapi merespon issue kesehatan dari perspektif yang
berbeda. Bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan sosial dan
budaya bahkan aspek spiritual masyarakat dalam arti luas.
Kepentingan masyarakat yang menolak adalah bahwa udara harus
bersih dan bebas dari asap rokok, oleh karenanya rokok perlu dibatasi
dengan berbagai peraturan yang menyangkut kesehatan, distribusinya
melalui pembatasan iklan dan peringatan bahaya merokok, kawasan
(daerah) bebas rokok, serta pembatasan tar dan nikotin.
Industri merespon semua peraturan yang ditetapkan sebagai
wujud kerjasama, dengan terus memproduksi rokok yang dianggap
“sehat”agar pabrik terus dapat beroperasi. Pada saat yang bersamaan
215

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

masing-masing saling berkonflik, karena issue kesehatan yang
diperjuangkan menimbulkan dilema dan masing-masing melakukan
upaya pembuktian atas argumentasi yang diajukan. Kematian bukan
hanya karena rokok, agar bisa merokok dengan nikmat orang harus
sehat. Kalau tidak sehat rokok akan terasa pahit ketika diisap. Rokok
seperti halnya obat, jika dikonsumsi tidak dalam takaran yang pas
akan menjadi racun dalam tubuh, tetapi ketika dikonsumsi dalam
takaran yang pas akan menyembuhkan.
Penolakan masyarakat terhadap rokok menjadi suatu gerakan
oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM ) atau Non Government
Organization (NGO) pada tingkat nasional maupun global. Penolakan
menimbulkan konflik dengan gerakan yang sama tetapi mendukung
keberadaan rokok. Fatwa haram terhadap rokok oleh M ajelis Ulama
Indonesia; Bloomberg Initiative yang mendukung kampanye anti
tembakau-rokok; berhadapan dengan M asyarakat Bangga Produksi
Indonesia (M BPI); Komunitas Balur Tembakau dll. Pada saat yang
sama, masing-masing bekerjasama dan menyepakati bahwa yang
haram terhadap rokok adalah anak-anak dan perempuan hamil. Nilai
nilai lokal yang terkait dengan rokok terus dikembangkan untuk
merespon nilai –nilai global yang digunakan untuk menekan industri
rokok.
Pada tataran praktis, selalu ada kontroversi karena perbedaan
konsep seperti yang dikemukakan oleh Newstorm dan Davis (1977).
Gibson, et al (1997:437), tentang tuduhan “adiktif” secara sempit
dengan segala konsekuensinya dan pemahaman “adiktif” secara luas.
Kontroversi ini akan terus terjadi karena kedua kelompok terus saling
berinterelasi dalam kehidupan (Robbin, 1996).

216

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

Negara dan Industri, Kompleksitas Kepentingan
Jutting (2003), menjelaskan bagaimana pemerintah sebagai
representasi negara berkepentingan dalam pembangunan dengan
mengembangkan kelembagaan yang ada untuk tujuan pembangunan
secara komprehensif. Kepentingan negara untuk membatasi rokok,
karena rokok merupakan barang kena cukai. Kebijakan terkait cukai
digunakan untuk membatasi produk, distribusi dan konsumsi rokok.
Untuk memudahkan pengawasan maka negara bernegosiasi dengan
industri, dan membagi pabrik dalam industri dalam golongan yang
berdasarkan pada produksi maksimal yang diijinkan. Sekalipun dalam
aplikasinya tidak adil, karena untuk golongan I, II dan III berbeda.
Kebijakan adalah perwujudan apa yang akan dan tidak
dilakukan oleh pemerintah (Dye,2002). Pemerintah berkepentingan
terhadap rokok karena rokok merupakan barang kena cukai (BKC).
Oleh karenanya pemerintah melakukan intervensi melalui kebijakan
yang bertujuan untuk mengendalikan produk, peredaran dan
konsumsinya.
Kenaikan dan perubahan tarif cukai berhasil mengurangi
jumlah pabrik, khususnya yang tidak mampu bersaing karena beban
pita cukai yang semakin berat. Pabrik yang bangkrut kebanyakan
berskala kecil (golongan III). Tetapi berkurangnya pabrik tidak secara
signifikan mengurangi jumlah produksi, distribusi dan konsumsi
rokok. Pengusaha pabrik yang bangkrut sulit untuk beralih usaha.
Kepentingan pabrik untuk kembali beroperasi karena tuntutan hidup;
bahwa rokok merupakan satu-satunya keahlian yang dimiliki; pabrik
menanggung banyak orang yang terlibat dalam rantai produksi, dan
bisnisnya. M asing-masing dengan tanggungannya, yang terus
berusaha bertahan hidup dan rentan terhadap kondisi kemiskinan.
Fleksibilitas sebagai usaha mikro / rumahan memungkinkan mereka
beroperasi lagi walaupun tidak dalam legalitas sebagai pabrik rokok
sesuai
peraturan. Aplikasi
kebijakan
saling berbenturan,
membingungkan pelaku usaha/industri rokok yang seringkali justru
diabaikan oleh pelaku usaha/industri. Disisi lain, pengabaian terhadap
berbagai peraturan mendorong munculnya stigma rokok “illegal”.
217

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

Pada saat yang bersamaan pabrik baru terus tumbuh, bukan
hanya pabrik golongan III, tetapi juga pabrik golongan I yang
membeli pabrik golongan II dan I II; serta pabrik golongan I dan II
yang melakukan ekspansi dengan mengembangkan pabrik atau
mendirikan pabrik baru. Investasi rokok asing di Indonesia dapat
dilihat dari beroperasinya pabrik rokok asing, maupun alih
kepemilikan industri rokok nasional oleh industri global.
Kepentingan negara untuk membatasi rokok karena sebagai
barang kena cukai dalam aplikasinya bertentangan dengan
kepentingan pemerintah terhadap rokok sebagai sumber pendapatan,
berupa pajak (cukai). Kebijakan kenaikan cukai ditujukan untuk
mencapai target pendapatan yang ditetapkan. Target penerimaan
cukai ditetapkan semakin meningkat dari waktu ke waktu dan selalu
dapat terlampaui. Fungsi cukai sebagai pajak rokok bertentangan
dengan maksud untuk membatasi dan mengendalikan rokok.
Kebijakan publik berkaitan tentang bagaimana, mengapa, dan
apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) yang
dilakukan pemerintah (Heidenheimer et al, 1990:3, dalam Parson,
2006). Hal tersebut didukung oleh Dye (2002:1), yang menitik
beratkan kebijakan publik pada apa yang dilakukan oleh pemerintah,
mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat
dari tindakan tersebut. Pembatasan yang semakin ketat dalam
realitasnya justru mendorong tumbuhnya pabrik rokok dalam jumlah
dan skalanya. M unculnya pabrik baru, alih kepemilikan dari pabrik
yang hampir mati oleh pabrik rokok, ekspansi, bertambahnya
investasi asing dan operasi pabrik asing di Indonesia.
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan
perlindungan kesehatan masyarakat sebagai akibat dari paparan asap
rokok, dan zat adiktif yang ada di dalamnya. Oleh karena itu pabrik
rokok harus dikurangi menjadi hanya 3-5 pabrik saja, produknya
dibatasi hanya 260 milyar batang pada tahun 2020. Targe