D 902006009 BAB VIII

BAB 8

HOT ESEN
ESENSI RELIGI ORANG BUNA’
Dalam uraian-uraian dalam Bab-bab tentang kekerabatan,
kepemimpinan, perekonomian, hiburan dan kesenian, telah terungkap
adanya unsur spiritual yang muncul dari spiritual capital yang dimiliki
oleh kelompok masyarakat DHL. Kekerabatan itu sesuatu yang sangat
manusiawi dan tidak ada kaitan langsung dengan agama asli suku Buna’’
yang percaya kepada Hot Esen sebagai Yang Maha Tinggi. Urusan yang
lain pun demikian, misalnya urusan ladang, tidak ada kaitan dengan
agama asli. Jadi kekerabatan, kepemimpinan, perekonomian desa,
kesenian, permainan dari suku Buna’ tidak ada kaitan langsung dengan
agama. Semuanya itu merupakan pemunculan dari suatu kesadaran
dasar dalam masyarakat akan adanya leluhur, roh-roh dan Hot Esen.
Muncul pertanyaan, apakah lebih dahulu ada agama asli yang
mengajarkan tentang adanya arwah leluhur, roh-roh dan Hot Esen baru
masyarakat mengetrapkan isi ajaran itu dalam hidup harian? Ataukah
sebaliknya, kesadaran tentang adanya arwah leluhur, roh-roh dan Hot
Esen itu yang dimunculkan dalam agama?
Jawaban atas pertanyaan ini akan diuraikan dalam Bab VII,

dalam mana akan dikemukakan uraian tentang Hot Esen: Esensi Religi
Orang Buna’

SUBJEK KEPERCAYAAN ASLI SUKU BUNA’
Masyarakat Buna’ secara sadar selalu menyapa mugen bei mil
(arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi)
dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Ada kemiripan yang menarik antara
kepercayaan Piar Hot Esen (agama asli suku Buna’, percaya pada Yang
Maha Tinggi ) dengan Agama Kristen Katolik.

219

Dalam Piar Hot Esen ada tiga subyek yang diyakini menguasai
kehidupan manusia, ialah: mugen bei mil (roh leluhur), pan muk gomo
(roh-roh penghuni langit dan bumi), Hot Esen (Matahari Yang Tinggi,
Tuhan). Tiga tingkatan subyek yang selalu dihubungi dalam semua
ritus-ritus agama asli suku Buna’, Piar Hot Esen ini mirip dengan
kepercayaan dalam Agama Kristen Katolik yang percaya akan adanya
para Kudus (Santu dan Santa), Roh baik atau Malaikat dan Roh jahat
atau Iblis, dan Allah Yang Maha Tinggi. Atas dasar kemiripan ini, pihak

Gereja Katolik mengambil alih Nama Hot Esen untuk Tuhan Allah.
Seluruh siklus hidup orang Buna’, seluruh upaya untuk memperoleh
rezeki dalam bertani dan beternak, seluruh kegiatan memelihara alam
sekitar, malah sampai kepada kesenian dan hiburan pun selalu dikaitkan
dengan kuasa dari tiga subyek ini: mugen bei mil, pan muk gomo dan

Hot Esen.
Saat penelitian ini dilaksanakan, masyarakat suku Buna’ di DHL
secara statistic, seratus persen memeluk agama Kristen Katolik. Namun
demikian, para pemeluk agama Kristen Katolik itu, pada hakekatnya
belum melepaskan konsep-konsep keagamaan yang berasal dari religi
asli, Piar Hot Esen.
Unsur penting dalam religi asli itu adalah adanya kepercayaan bahwa
ada satu kekuatan yang Tertinggi, disebut “Hot” atau “Hot Esen”. Dalam
syair-syair mitologis Hot Esen disebut “ Masa’ Giral Kere’, Bo’al Gepal
Uen” (Yang Agung bermata tunggal dan bertelinga tunggal = Yang
Agung Maha Sempurna). Pada pembukaan dan penutupan setiap doa,
pada segala macam upacara, selalu disebut terlebih dahulu Hot Esen
dengan perkataan berikut, “ Hot, Ligi O Le Esen, Tiu O Mugi As, Beka’
O Nola’ Esen” (Demi Matahari Yang Maha Tahu, Yang Maha Tinggi,

Yang Maha Agung). Kemudian baru disapa, arwah leluhur, yang sudah
berada di samping Hot, untuk menyampaikan segala
macam
permohonan kepada Hot Esen.
Dalam mitologi suku Buna’ tentang penciptaan dunia, ada
kepercayaan yang menyatakan bahwa Hot Esen berdiam di Esen Hitu
As Hitu (tempat yang tinggi lapis ketujuh), suatu tempat yang istimewa
tidak ada tandingannya. Waktu Hot Esen ini bertakhta di tempat yang
tinggi itu, ada kegelapan meliputi seluruh alam raya. Untuk menghalau
kegelapan, Hot Esen ciptakan bintang, bulan dan matahari. Ternyata di
bawa Esen Hitu As Hitu, hanya ada air tidak terbatas. Hot Esen

220

menjatuhkan satu gumpalan tanah dan tanah itu menjadi air. Hot Esen
menjatuhkan tiga gumpalan tanah lagi dan ada binatang bergerak dalam
air. Lalu Hot Esen menjatuhkan lagi lima gumpalan tanah dan
terjadilah daratan yang terpisah dari air. Tanah yang mulai kelihatan itu
hanya datar, tidak ada bukit dangunung. Tanah datar ini ditumbuhi
rumput liar. Hot Esen menjatuhkan lagi tujuh gumpalan tanah dan

muncullah gunung-gunung dan bukit-bukit. Kemudian muncul di
daratan itu berbagai jenis binatang seperti kambing, babi, kerbau.
Binatang-binatang ini yang menggilas dan menghancurkan rumputrumput. Jenis-jenis binatang lain pun diturunkan dan bumi dengan
isinya itu disebut ‘zigi hitu mual hitu’ (berada tujuh lapis di bawah)
artinya di tempat paling bawah, terpisah dari tujuh lapis yang ada di atas
tempat Hot Esen berdiam.
Matahari dan bulan yang ada di langit itu kawin dan melahirkan
anak manusia. Atas dasar itulah manusia menamakan diri hot gol, hul
gol (anak matahari, anak bulan). Bintang-bintang pun kawin dan
mereka ini melahirkan roh-roh, ada roh yang baik ada roh yang jahat.
Berdasarkan ceritera ini, sampai sekarang manusia tidak boleh
menunjuk dengan jari ke arah bulan dan bintang pada malam hari
karena kalau menunjuk bulan dan bintang dengan jari, nanti jari akan
membusuk dan putus. Anak-anak manusia yang dilahirkan dari
perkawinan antara matahari dan bulan itu berdiam juga di tempat di
mana Hot Esen berdiam. Tetapi manusia itu berkembang dan anak-anak
manusia itu nakal, berkelahi dan mencuri, maka Hot Esen mengusir
mereka turun dari tempat yang ada di ketinggian lapis ke tujuh,
langsung ke bumi dan menghuni bumi. Mereka inilah yang kemudian
datang dan menghuni tanah Lamaknen.

Berdasarkan mitologi ini, masyarakat DHL sebagai bahagian dari
suku Buna’ percaya akan adanya tiga tingkat subyek sasaran pemujaan.
Pertama, mugen bei mil ( arwah leluhur). Arwah para leluhur ini
diyakini sebagai peletak keberadaan suku Buna’ sehingga dihormati
sebagai subyek yang paling dekat dengan manusia. Kedua, pan-muk
gomo, (penghuni langit dan bumi) yaitu roh-roh baik dan roh-roh jahat
yang diyakini menghuni tempat-tempat di bumi dan di udara. Ketiga,
Hot Esen (Matahari Tinggi) yang disapa dengan ungkapan, Hot Ligi o Le
Esen, Bei Gepal Kere’ Giral Uen (Matahari yang berjaga dan besinar di
ketinggian, nenek bertelinga satu, bermata tunggal).
221

Tiga subyek ini diyakini ada dan selalu mencampuri urusan
manusia di dunia ini. Mugen (arwah) yang dianggap paling dekat dan
selalu disapa pertama untuk mencapai Hot Esen. Roh-roh, pan muk
gomo, terdiri dari roh yang baik yang disapa sebagai perantara dan roh
yang jahat disapa untuk tidak menghalangi doa atau disapa supaya
jangan mengganggu kehidupan manusia. Kepada roh yang baik
persembahan diletakkan di tempat khusus, kepada roh yang jahat
persembahan dihamburkan ke udara ke empat penjuru mata angin.

Mata angin orang Buna’ dikenal dengan istilah hot taru weni (arah
matahari terbit = Timur), hot topa weni (arah matahari terbenam =
Barat), muk gulo weni ’( arah ekor bumi, bahagian bawah = Selatan),
muk gubul weni (arah kepala bumi, bahagian atas = Utara).
Pemujaan terhadap tiga subyek ini dilaksanakan sesuai siklus
kehidupan manusia, lahir, kawin, sakit, mati, dan sesuai siklus
pekerjaan, buka kebun, tanam dan panen. Di samping itu pemujaan
diadakan untuk kepentingan khusus seperti pada saat membangun
rumah adat, pada saat ada mala petaka dan pada saat mohon kesuburan
untuk hewan piaraan.
Tokoh agama asli yang menjadi pendoa, ialah mako’an (tokoh
agama, tokoh ahli adat, pendoa). Ada tokoh yang lain, agan, bertindak
sebagai dukun yang mengobati sisakit dengan upacara penyembahan
leluhur, roh-roh dan Tuhan dalam bentuk kurban dan doa-doa lalu
memberikan ramuan obat-obatan yang dirahasiakan karena dianggap
diturunkan oleh leluhur. Dua orang ini, mako’an dan agan dianggap
sebagai pejabat rohani dalam sistem kepercayaan orang-orang Buna’.
Dua orang inilah yang dianggap berwenang dan mempunyai wibawa
untuk berkontak dengan roh-roh.
Saat-saat pemujaan sudah ditetapkan secara turun-temurun dan

erat berkaitan dengan adat-istiadat. Setiap hari mulai pagi, sudah ada
doa dengan cara meletakkan sirih pinang di dalam rumah, di bawah
tiang agung.

TEMPAT PEMUJAAN: MOT
Tempat paling sakral dalam Agama Asli suku Buna’ adalah
‘Mot’. Tempat ini ada di tengah kampung. Rumah-rumah adat didirikan
di atas bukit dalam pola lingkaran. Di tengah lingkaran ini dibangun

222

susunan batu yang lebih tinggi dan berbentuk lingkaran. Susunan batubatu di tengah kampung inilah yang dinamakan ‘Mot’. Dalam tradisi
suku tetangga, suku Tetun, tempat ini disebut ‘Ksadan’ dalam bahasa
Tetun.
Bangunan berupa susunan batu ini merupakan lingkaran yang
berukuran garis tengahnya antara lima puluh sampai seratus meter.
Tergantung dari luasnya pelataran di tengah kampung yang
diperuntukkan bagi bangunan ini. Mot ini dibagi dua: Mot Mone dan
Mot Pana. Dalam bahasa Buna’, Mot Mone, (Mot = susunan batu; Mone
= laki-laki; Pana = perempuan). Mot Mone ruangannya lebih sempit.

Mot Pana ruangannya lebih luas. Mot Mone berfungsi sebagai tempat
urusan penyelesaian perkara, sedangkan Mot Pana berfungsi sebagai
tempat urusan mohon berkat.
Urusan perkara seperi perselisihan, pencurian, pembunuhan,
disidangkan dan diputuskan di Mot Mone. Urusan permohonan berkat
atas usaha, atas perjalanan, atas pelantikan, diupacarakan di Mot Pana
yang ruangnya lebih luas. Mot Mone berkaitan dengan urusan duniawi.
Mot Pana berkaitan dengan urusan ilahi. Dengan kata lain, Mot Mone
kurang luhur dibandingkan dengan Mot Pana. Anggapan ini berkaitan
erat dengan adat Suku Buna’ yang lebih menghargai status perempuan
dari pada status laki-laki.
Di tengah lingkaran Mot Pana, ada tempat yang dianggap paling
sakral, yaitu: Bosok Op. Bosok = susunan batu berupa ‘altar’ tempat
diletakkan persembahan, ukuran tinggi bangunan sekitar satu meter,
garis tengah sekitar dua meter. Bosok Op, (Op = tinggi) artinya susunan
batu atau altar yang paling tinggi. Perbedaan dari Bosok Op dengan
Bosok lain, ialah setiap rumah, setiap tempat ada Bosok sebagai tempat
persembahan khusus. Bosok Op, milik seluruh isi desa, dan hanya
dipakai untuk urusan upacara yang menyangkut kepentingan umum.
Ruang di sekitar Bosok Op, tidak boleh ditempati atau dimasuki

oleh kaum perempuan. Hanya kaum laki-laki, khususnya pemimpin
ibadat yang disebut ‘Mako’an’ dan orang yang diupacarakan, boleh
menginjak tempat di sekitar ‘Bosok Op’ yang ada di tengah-tengah Mot.
Dengan sendirinya tidak pernah boleh ada seorang perempuan yang
diupacarakan di Mot Pana. Hanya seorang laki-laki saja yang bisa
diupacarakan dalam bentuk pelantikan atau pengutusan untuk
melaksanakan sesuatu tugas menyangkut kepentingan masyarakat luas.
223

Mot merupakan tempat sakral dengan Bosok Op sebagai tempat
paling sakral. Di Mot diadakan upacara untuk membawa persembahan
kepada tiga subyek yang diyakini sebagai roh penghuni dunia ilahi. Di
Bosok Op yang ada di tengah Mot Pana, bahan persembahan diletakkan
dan Mako’an mendaraskan doa yang selalui diawali dengan seruan
kepada “Hot Esen”.
Sesudah pujaan tertinggi diarahkan kepada Hot Esen, pada
tempat kedua pujaan ditujukan kepada arwah para leluhur (mugen)
yang diberi sajian di Mot, di atas Bosok Op, dengan perbedaan, untuk
Hot Esen diletakkan dalam tempat anyaman yang berhias, sedangkan
untuk ‘Mugen’, diletakkan di dalam anyaman yang tidak berhias.

Mugen ini yang paling dihormati yaitu mugen atau roh dari leluhur
yang dikenal sebagai pahlawan atau penjasa dalam perjuangan suku.
Pada urutan yang ketiga, pemujaan ditujukan kepada pan muk
gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi). Roh-roh ini ada yang baik
dan ada yang jahat. Kepada pan muk gomo disajikan persembahan
dengan perbedaan, untuk pan muk gomo yang baik, diletakkan di atas
batu, tidak di dalam tempat anyaman. Dalam bahasa Buna’, dikenal
istilah tuk ( tumpuk). Kepada pan muk gomo yang jahat, dihamburkan,
kali (hambur). Dalam upacara persembahan ini, kepada Hot Esen
persembahan disajikan dengan penuh hormat, disusul persembahan
kepada leluhur. Sedangkan kepada pan muk gomo, yang baik diletakkan
supaya mereka dengan tenang menyantap sajian itu sambil tetap berada
dekat dengan manusia yang hidup. Untuk pan muk gomo yang jahat,
sajian dihamburkan supaya mereka segera menerima bahagiannya lalu
berangkat ke tempatnya yang jauh dari manusia dan tidak mengganggu
ketenangan manusia.
Mot dan Bosok sebagai tempat sakral dari Suku Buna’ dapat
dibandingkan dengan tempat sakral dalam tradisi Gereja Katolik, ruang
Gereja dan Altar. Dalam Gereja Katolik ada orang khusus, yaitu Imam
(Pastor) untuk memimpin Kurban Ekaristi di Altar, dalam tradisi Suku

Buna’ ada Mako’an untuk memimpin Upacara di Mot dan berdiri dekat
Bosok Op untuk meletakkan bahan persembahan di atas Bosok Op.
Dari segi tempat dan orang, ada kesejajaran yang sangat menarik
sehingga orang suku Buna’ merasa bahwa ada pertalian antara Mot dan
Gereja, antara Bosok dan Altar. Hal ini membuat mereka tidak merasa
bersalah kalau mereka melaksanakan dua hal ini secara bersamaan.
224

Perasaan tidak bersalah dalam memegang dua hal yang berbeda inilah
yang menarik untuk diteliti.
Dasar dari perasaan beda sekaligus sama dalam hal keterikatan
kepada Mot dan Gereja, Bosok dan Altar untuk sementara dapat
diandaikan ada pada Spiritual capital yang dimiliki oleh setiap orang,
setiap suku dari zaman ke zaman, dan melekat erat pada manusia itu
sendiri.
Ada hal yang menarik, ialah Mot di kalangan Suku Buna’,
bukan hanya tempat, tetapi suatu simbol kekuatan, suatu pengaruh dan
keadaan yang diciptakan oleh orang-orang Suku Buna’ dalam kehidupan
mereka yang sudah sekian lama sehingga sulit untuk dihilangkan atau
dipadukan dengan kekuatan lain.
Dengan datangnya kekatolikan sejak tahun 1875 waktu orangorang Buna’ dikunjungi oleh misionaris asing, suku Buna’ tetap
mempertahankan kepercayaan asli mereka sambil menerima juga
kepercayaan Agama Kristen Katolik. Suku Buna’ sudah mempunyai
kekuatan, pengaruh dan keadaan yang ditimbulkan oleh kepercayaan
rohani, pengetahuan rohani dan praktek rohani. Ini yang disebut
‘Spiritual capital’. Suku Buna’ sudah mempunyai spiritual capital ini
sebelum Agama Katolik pertama kali datang di tengah leluhur mereka.
Dampak dari Spiritual capital ini begitu kuat sehingga sulit untuk
dirobah, karena Spiritual capital ini sudah menjadi kekuatan yang
mempunyai pengaruh yang kuat dan tampak dalam keadaan yang ada
sekarang.
‘Mot’ merupakan kiblat dari seluruh tatanan kehidupan Suku
Buna’. Upacara adat Agama Asli itu berkesan karena dilaksanakan sesuai
dengan warisan adat istiadat, dan diarahkan juga kepada Tuhan, kepada
jiwa-jiwa, dan kepada roh-roh. Hal ini hanya beda ungkapan, tetapi ada
kesamaan dengan ajaran dan tradisi katolik.
Di ‘Mot’ dirayakan upacara kelahiran, upacara kematian,
upacara pembukaan ladang, upacara panen, upacara mohon berkat dan
upacara tolak bala. Semuanya dipusatkan di ‘Mot’. Hal-hal sakral dan
profan dipusatkan pada ibadat di ‘Mot’. Dan rasa sakral ini menijwai
seluruh kehidupan orang suku Buna’. Kepercayaan kepada yang ilahi,
tidak terbatas pada ritus di ‘Mot’. Perilaku dalam kehidupan sehari-hari
dijiwai oleh rasa aman dan rasa hormat yang ditimba dari upacara di
‘Mot’. Larangan memetik hasil yang masih muda, seperti mangga,
225

kelapa, pinang, ditaati karena dikumandangkan larangan itu mulai dari
‘Mot’. Hutan larangan tetap dipelihara karena peresmian hutan larangan
itu diadakan mulai dari ‘Mot’. Ternak dipelihara dengan baik karena
diupacarakan di ‘Mot’ demi terhindarnya ternak dari penyakit ternak.
Tali pusar bayi diisi dalam periuk tanah dan diletakkan di cabang
beringin dekat di sekitar ‘Mot’ sesudah diacarakan di ‘Mot’. Orang Buna’
tidak berani berbuat jahat terhadap sesama, mencuri hewan atau
merusak lingkungan hidup, terutama hutan larangan atau sumber mata
air yang disakralkan, karena semua itu sudah ‘dikuduskan’ di ‘Mot’.
Kalau ada seseorang yang berbuat jahat, terutama menyusahkan sesama
dan tidak diketahui, maka masyarakat akan membuat acara mohon
kutuk atas orang tersebut melalui upacara ‘cie giri pili’ (patahkan kaki
ayam). Dalam upacara itu, seekor ayam jantan hitam diikat, diletakkan
di ‘Mot’ di atas ‘Bosok Op’, didoakan lalu kakinya dipatahkan sebagai
tanda mohon kutuk diturunkan ke atas si-pelaku.
Jadi seluruh segi hidup orang Suku ‘Buna’ dipusatkan di ‘Mot’
lalu diwujudkan dalam hidup harian. Kepercayaan akan Hot Esen
sebagai Wujud Tertinggi, mugen sebagai jiwa-jiwa orang mati yang
tetap mengamati manusia yang masih hidup, muk gomo sebagai roh-roh
baik dan roh-roh jahat yang ada di mana-mana, menjiwai diri pribadi
dan kelompok masyarakat suku Buna’. Kejahatan sering terjadi, dan
kalau ada kematian tidak wajar atau penyakit, atau ada bencana alam,
maka masyarakat yakin semuanya itu terjadi karena ada pelanggaran
atas hal-hal yang sakral yang diupacarakan di ‘Mot’.
Kenyataan lapangan ini yang membenarkan dalil kelompok
Pasadena, bahwa ‘spiritual capital’ itu merupakan “kekuatan, pengaruh
dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan
praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi (Danah Zohar,
2004)”.

LIMA TOKOH MODEL
Dalam praktek hidup beragama di DHL ada lima tokoh yang
dijadikan model. Mereka dipilih sebagai model karena keunikan mereka
dalam hidup beragama di DHL. Model kelima orang ini dapat dijadikan
cermin dalam cara bagaimana orang-orang DHL menghayati agama
mereka, agama Hot Esen.

226

Tokoh yang pertama ialah Bung Farmin. Orang ini sudah
meninggal dunia dan tidak pernah terungkap dari mana asalnya.
Memang dia orang Jawa. Dia tiba di DHL pada tahun 60-an dan
meninggal pada tahun 80-an. Data tentang asal-usul orang ini tetap
misterius. Sejak dia datang di DHL, dia menjadi orang asing yang
diterima dengan baik oleh warga DHL. Dia kawin dengan seorang
perempuan dari DHL, bernama Romana Motu Iki. Farmin ini akhirnya
dikenal dengan sapaan, Bung. Dia seorang Islam sehingga masyarakat
DHL kalau bicara tentang agama dari Bung, maka mereka hanya
mengatakan, si sael gia por (pemali makan daging babi). Kalau ada acara
adat atau pesta rakyat, Bung sendiri yang dipersilahkan untuk
memotong ayam untuk dimasak oleh kaum perempuan di dapur di
periuk khusus. Piring dan senduknya pun disendirikan. Dia makan
bersama tua-tua adat yang makan daging babi di muka dia. Isteri dan
anak-anaknya tetap katolik dan tidak ada yang mengikuti dia menjadi
Islam. Bung disayangi oleh masyarakat karena pertama-tama dia adalah
guru silat yang malam hari mengumpulkan para pemuda untuk berlatih
silat. Dia juga disayangi karena dia tokoh yang berani menggali sumur di
tempat yang ada air. Orang-orang DHL tidak pernah akan menggali
sumur karena dilarang dalam adat. Siapa yang menggali sumur, dia akan
gila atau mati. Bung berani menggali sumur karena dia merasa tidak
terikat oleh larangan itu. Orang-orang DHL pun tidaka menghalangi dia
menggali sumur. Sumur yan digali oleh Bung dipakai oleh seluruh
warga. Mereka merasa bahwa menggali sumur itulah yang dilarang
tetapi memakai air sumur tidak dilarang. Bung tidak pernah mengajak
orang lain untuk menjadi Islam. Tidak ada upaya sedikit pun untuk
mendirikan rumah ibadat untuk dirinya. Dia menerima keadaan bahwa
dia hanya seorang diri di antara orang-orang katolik dan orang-orang
‘kafir’ yaitu para tua adat yang belum dibaptis.
Tokoh yang kedua yaitu Markus Mali (almarhum), seorang
Protestan. Dia warga DHL yang lama tinggal di luar DHL, di Atambua,
ibu kota Kabupatan Belu sehingga dia mengikuti ayahnya yang
beragama Kristen Protestan. Markus Mali dikenal sebagai orang dari
‘serani mura’ (serani muda karena katolik disebut serani tua). Ia tinggal
di DHL, kawin dan beranak-cucu di DHL. Isteri dan anak-anaknya tetap
katolik dan dia tidak pernah menyatakan pendiriannya untuk menjadi

227

katolik. Tidak pernah diketahui kapan dan di mana dia beribadat secara
Protestan. Dia meninggal sebagai seorang Protestan.
Tokoh yang ketiga ialah Pater Yustus Asa SVD, biasa dipanggil
Pater Yustus. Dia seorang Imam dalam Gereja Katolik. Dia orang
pertama dari masyarakat DHL yang menjadi Imam. Saat penelitian ini
diadakan dan saat hasil penelitian ini dirumuskan, tahun 2011, dia
masih menjabat sebagai, Vikaris Jenderal, yaitu satu jabatan yang sangat
tinggi di dalam Gereja Katolik di Keuskupan Atambua. Lazimnya dia
dikenal sebagai Wakil Uskup. Pada saat Pater Yustus menghadiri
upacara adat di DHL, dia hadir sebagai Imam yang memimpin doa dan
perayaan Ekaristi. Semua yang hadir, merayakan Ekaristi itu dan
menyambut Hosti Kudus.
Waktu hewan kurban, ayam dan babi dipotong untuk
direcikkan darahnya pada orang dan benda keramat oleh Mako’an,
Pater Yustus mengundurkan diri dan menyibukkan diri dengan urusan
lain. Dengan demikian dia tidak akan dituduh oleh seluruh umat katolik
Keuskupan Atambua yang berjumlah 450.000 orang itu sebagai imam
katolik, wakil Uskup yang ‘percaya sia-sia’, ikut upacara ‘kafir’ di
kampungnya sendiri. Dia tidak melarang, juga tidak setuju. Dia hanya
membiarkan dengan alasan, “Itu urusan orang tua-tua, bukan urusan
saya”. Kepada penulis Pater Yustus mengungkapkan pendiriannya, “Kita

tidak bisa merubah praktek agama asli itu dalam waktu singkat, apalagi
menghapusnya.”
Tokoh yang keempat adalah Markus Tay (mako’an). Waktu
penulis mengadakan penelitian pada tahun 2008, Markus Tay ini
melaksanakan tugasnya untuk memimpin upacara agama asli,
penggalian kubur-kubur oleh satu suku, suku Gelaba’ untuk dihimpun
dan dikuburkan kembali di pekuburan katolik. Doa-doa yang dia
daraskan, tidak sedikitpun menyebut Tuhan Yesus atau Bunda Maria.
Dia hanya menyebut ‘mugen tata bei mil’ (arwah para leluhur), pan
muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang
Maha Tinggi). Markus Tay adalah seorang katolik yang hadir dan turut
menerima Komuni Suci pada saat Perayaan Ekaristi. Dia merasa tidak
bersalah. Padahal pada tahun lima puluhan, praktek cie goro, hula
ho’on, por hege piar, dilarang keras dan umat katolik mana pun saja
yang mengambil bahagian dalam upacara ‘kafir’ itu biasanya dilarang

228

‘mengaku sambut’ yaitu larangan untuk menerima ‘ Sakramen
Pengakuan Dosa’ dan ‘Sakramen Mahakudus’ atau ‘Ekaristi Suci’.
Tokoh yang kelima, Marsel Bere (Guru Agama dan Kepala
Desa), sudah almarhum. Dia seorang Guru Agama yang oleh rakyat
dipercayakan menjadi Kepala Desa. Pada bulan Mei dan Oktober setiap
tahun, semua orang katolik disadarkan untuk bedoa rosario setiap
malam dari rumah ke rumah untuk menghormati Santa Perawan Maria,
Ibu Tuhan Yesus. Bulan Mei disebut bulan Maria (bulan untuk
menghormati Bunda Maria) dan bulan Oktober disebut bulan Rosario
(bulan untuk menghormati Bunda Maria) melalui berdoa rosario.
Devosi atau ibadat ini berlaku untuk umat katolik sedunia. Di desa
Henes, di mana Marsel Bere menjadi Guru Agama dan sekaligus Kepala
Desa, setiap malam berteriak memanggil orang-orang untuk berkumpul
dan berdoa rosario. Semasa hidupnya, almarhum pernah mengatakan
kepada penulis, “Orang-orang di kampung begini, kurang sadar. Jadi

harus disadarkan dengan paksa. Kalau ada yang belum bergerak dan
belum ke luar dari rumahnya, saya lempar rumah itu supaya segera ke
luar. Saya lempar rumah sebagai Kepala Desa. Sebagai pemerintah, saya
perintah rakyat. Saya pimpin doa sebagai Guru Agama, urus umat. Siapa
mau persalahan saya”. Masyarakat desa Henes yang semuanya katolik,
menerima saja tindakan Kepala Desa mereka Marsel Bere, karena
mereka tidak ada daya untuk melawan. Mereka setuju bahwa
diperlakukan demikian untuk urusan agama.
Dalam diri kelima tokoh model ini dipelajari hal-hal berikut.
Tokoh Bung (Farmin) mewakili tokoh yang menghargai agama orang
lain dan tidak menjadi pengganggu ketenteraman. Dia menyesuaikan
diri dengan keadaan sekian rupa sampai ke-islam-annya tidak
ditonjolkan untuk mempengaruhi orang lain. Begitu pun tokoh Markus
Mali, sebagai orang asli tetapi sudah menganut agama lain (Gereja
Protestan), tetap menjaga dirinya dan mengambil jarak dengan
agamanya (tidak mencari sesama jemaat) dan dengan agama katolik. Dia
hidup dari nilai-nilai agama asli, agama Hot Esen.
Tokoh yang ketiga, Pater Yustus Asa, menerima agama Katolik
sambil tidak mengabaikan sama sekali agama asli, agama Hot Esen. Dia
mendamaikan dalam dirinya dua agama dalam hal tertentu, sedangkan
dalam hal ajaran Gereja Katolik, dia berpegang teguh dan atas dasar

229

itulah dia terpanggil untuk menjadi Imam dalam Gereja Katolik dan
dipercaya untuk menjadi Wakil Uskup Atambua.
Tokoh yang keempat, Markus Tay, memeluk agama katolik
sambil tetap memeluk agama asli, agama Hot Esen. Dia hidup dalam dua
kutub. Tetap katolik dan tetap agama asli. Posisi dirinya ini diterima
oleh masyarakat dan pemimpin agama katolik. Dia tidak dikucilkan dari
gereja katolik karena jabatannya sebagai mako’an.
Tokoh yang kelima, Marsel Bere, kepala Desa Henes, keras
dalam cara untuk memaksa rakyatnya yang sekaigus umatnya untuk
menjalankan ritus doa agama katolik. Tetapi dalam urusan adat yang
erat kaitannya dengan agama Hot Esen, dia termasuk yang dituakan
untuk mengambi bahagian dalam upacara-upacara di Mot.
Dalam diri kelima tokoh ini terdapat satu hal yang sama, ialah
modal rohani (spiritual capital) yang dimunculkan dalam agama. Bung
(Farmin) dan Markus Mali tidak bersikukuh dengan tradisi dan ajaran
serta ritus agama mereka, Islam dan Kristen Protestan. Pater Yustus Asa
berpegang pada satu, yaitu Katolik sambil tidak membuang yang asli,
agama Hot Esen. Tokoh Markus Tay berpegang pada dua-duanya,
Katolik dan Agama Asli. Tokoh Marsel Bere, memeluk Agama Kristen
Katolik sambil tetap menghargai dan menghayati agama asli.
Pertemuan kelima tokoh ini terjadi dalam hal yang pokok,
bukan pada agama, bukan pada adat, tetapi pada empat capital :
material, intellectual, social dan spiritual capital. Atas empat dasar ini
manusia bisa bertemu dan berdamai. Empat dasar inilah yang
menjadikan manusia itu berpikir dan bertindak manusiawi. Atas dasar
inilah manusia membangun adatnya dan kepercayaannya pada Yang
Maha Tinggi. Agama dimunculkan dari empat nilai atau dasar paling
dalam dari kemanusiaan.
Masyarakat DHL memberikan bukti sangat jelas bahwa keberagamaan
itu muncul dari nilai-nilai yang tertanam dalam diri perorangan dan
dalam masyarakat sebagai satu kesatuan.

MAKAN ADAT
Makan secara adat disebut Hot gutu mit artinya duduk dengan
Tuhan. Peristiwa makan adat pada setiap kesempatan senantiasa
dianggap sakral. Kalau seseorang sedang bermusuhan dengan seorang
230

yang lain, kedua orang itu tidak akan turut dalam makan adat sebelum
didamaikan oleh para ketua suku dan tua-tua adat. Dalam makan secara
adat, orang-orang dipisahkan, rakyat tersendiri dan para pemuka
masyarakat tersendiri. Makan adat ditutup dengan minum sopi secara
adat. Makan adat tidak pernah dilaksanakan tanpa sopi. Setiap orang
yang duduk dalam lingkaran di tikar dan turut dalam makan adat
menyisakan di kuni giral (tempat sirih dari bambu yang tutupannya
biasa dipakai sebagai cangkir) sedikit sopi. Sopi yang masih sisa itu
sebagai bahagian dari diri, dituangkan ke kuni dari orang yang berasal
dari suku yang lebih tinggi. Acara minum sopi secara adat ini disebut
tue malas ho’on. Penyerahan kepada orang yang lebih tinggi ini
dilakukan sebagai tanda hormat dan pengakuan status masing-masing
orang. Sesudah terkumpul pada orang yang paling tinggi, sopi itu
dikembalikan lagi kepada setiap orang sesuai jenjangnya sampai ke
tingkat yang paling rendah. Dan setiap orang harus mencicipi sedikitsedikit sampai yang terakhir harus menghabiskan seluruh sisa sopi itu.
Dalam makan adat dan minum sopi ini, orang-orang yang hadir saling
mengungkapkan isi hati tentang kemarahan yang ada kalau pernah
terjadi. Makan adat dan minum sopi secara adat ini harus dalam keadaan
damai karena makan adat dan minum adat ini merupakan ritus
keagamaan yang dipadukan dengan pertemuan sosial biasa. Pada makan
adat dan minum adat ini biasanya yang tua-tua memberikan nasihat
kepada yang muda tentang berbagai hal. Ajaran moral pun dibicarakan
dalam makan adat dan minum adat ini.

BUSANA ADAT
Busana adat, kain tenun mempunyai nilai spiritual yang tinggi.
Kain tenun itu dinilai sebagai kain yang kaya makna karena dikaitkan
dengan proses pembuatan kain itu sendiri. Untuk mewarnakan benang
diambil kulit pohon cemara (hur). Warna kain menjadi merah tua,
lambang keagungan. Kulit pohon cemara dikaitkan dengan keanggunan
pohon cemara yang tinggi, kokoh dan mempunyai teras. Dengan warna
coklat tua yang melekat pada kain itu, sipemakai merasa bahwa dirinya
mempunyai harga diri dan ada pendirian yang kokoh. Benang yang
dipakai sebagai futus (motif) untuk penghias kain tenun, biasanya
direndam dalam lumpur hitam (lua) selama sehari. Ini diartikan sebagai

231

kedekatan manusia dengan alam, dalam hal ini tanah. Warna hitam dari
benang diperoleh dari lua (lumpur hitam) ini. Pada pemakaman orang
mati jenazah harus diselimuti dengan kain adat ini karena dikaitkan
dengan proses pembuatan yang diartikan sebagai keluhuran manusia
(pohon cemara) dan kematian yang tidak dapat dihindari (lua = lumpur
hitam). Busana adat ini penuh dengan makna spiritual. Spiritual capital
terungkap dalam busana adat ini.

PERCAYA SIA-SIA
Percaya sia-sia adalah istilah yang dituduhkan oleh petinggi
Agama Katolik kepada orang-orang Buna’ yang masih menjalankan
ritus-ritus agama asli mereka, agama Hot Esen. Percaya sia-sia itu
dikenal dengan istilah por hege piar (percaya kepada pemali).
Masyarakat DHL masih melaksanakan upacara hik sagal, mencari jalan
atau menerka nasib. Nasib dicari melalui usus ayam atau usus babi
disebut hula ho’on. Masyarakat DHL juga masih mempersembahkan
daging, nasi, sirih pinang kepada mugen bei mil (arwah leluhur), pan
muk gomo (roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha
Tinggi). Upacara persembahan ini disebut taka gol inil (menyiapkan
tenasak kecil). Taka (tenasak-tenasak atau anyaman dari daun pandan)
dideretkan sesuai tingkat-tingkat, mulai dari leluhur yang paling dekat
sampai ke yang paling jauh, lalu untuk roh-roh, dan untuk Hot Esen,
hanya tenasak kosong, tidak berisi apa-apa karena mereka menganggap
Hot Esen tidak terima apa-apa dari manusia. Tetapi tetap ada tempat
untuk Hot Esen. Semua upacara inilah yang dituduh sebagai percaya siasia dan sangat ditentang oleh pihak Gereja Katolik sebagai institusi
Agama baru.

KAPELA KOSONG
Masyarakat DHL mempunyai dua kapela (gedung gereja di
tingkat stasi) di Abis dan Henes. Dua kapela ini berdiri di pinggir
perkampungan karena dicari tempat yang luas. Nasib gedung kapela ini
menyedihkan. Bangunan bagus tetapi dibersihkan hanya pada hari
minggu untuk berdoa bersama atau saat menantikan kedatangan Pastor
dari Nualain, pusat Paroki. Kapela merupakan rumah doa katolik dan
232

bukan rumah doa dari agama asli. Agama asli mempunyai tradisi berdoa
secara bersama, entah dalam keluarga atau dalam kelompok besar. dan
bukan doa pribadi.

Gambar – Kapela kosong. Di kampung Abis, Desa Lakmaras.
Digunakan waktu pastor datang. (Sumber: Eustachius Mali TaE

Tidak ada doa pribadi dalam agama asli suku Buna’, agama Hot
Esen. Tempat doa itu di dalam rumah adat (deu hoto), di depan rumah
(bosok) dan di tengah kampung (mot). Tempat-tempat ini masih
dipelihara dan dipercaya sebagai tempat sakral. Maka kapela tetap
dianggap sebagai tempat doa yang asing dan jarang dikunjungi kalau
tidak ada kesempatan untuk berdoa bersama atau perayaan Ekaristi
bersama Pastor Paroki.

233

Di kapela juga terjadi hal-hal yang asing, seperti doa dalam
bahasa Indonesia,33 lagu-lagu dengan nada-nada asing dan sikap berdoa
juga dengan cara berlutut, satu sikap yang dianggap aneh tetapi harus
dilaksanakan karena itu dianggap tradisi katolik. Orang-orang Buna’
biasa berdoa dengan cara bersila dan doa hanya didaraskan oleh
mako’an yang membawakan dengan sikap duduk atau berdiri, lalu
refrennya dijawab beramai-ramai dalam bentuk lagu tradisional.
Keikut-sertaan orang banyak dalam doa bersama, dianggap ganjil.
Busana yang dipakai oleh Imam (Pastor) pada saat memimpin perayaan
Ekaristi juga dianggap asing. Peralatan pun serba asing, mulai dari lilin,
tempat lilin, piala sampai ke altar (meja kurban). Hal-hal ini tidak
diprotes dan tidak dipermasalahkan. Menurut mereka, “Kami katolik,

jadi apa yang diajarkan oleh Pastor, kami ikut. Leluhur punya itu adat,
bukan agama ”.
Masyarakat DHL hidup sebagai orang-orang yang terikat pada
kepercayaan akan adanya dunia roh. Generasi sekarang yang
diwawancara dalam penelitian ini adalah generasi pertama yang
menjadi katolik. Ibu Theresa Ili, Tes Paulus (saksi mata perusakan aitos), dibaptis sesudah remaja. Orang tua mereka dibaptis dalam masa
tua. Nai Bone Bere yang dibaptis dalam masa tuanya, pernah berkata,
Kami jadi serani ini seperti ditelanjangkan, kami buka kami
punya kepercayaan sesuai cara leluhur, dan kami tidak bisa
pakai pakaian baru, cara serani. Karena dengan menjadi
serani ini, bahasa yang dipakai juga kami tidak tahu,
pastornya ganas, orang kulit putih, guru agama ajar kami,
tetap tidak masuk di otak, sembahyang pakai bahasa
Indonesia, mana kami bisa hapal, apa lagi nyanyi, kami
tidak bisa. Kalau misa, kami nonton saja.

Pater Vincent Wun SVD, seorang Imam yang pernah menjadi Pastor
Paroki di Nualain dan melayani juga masyarakat DHL memberikan
penjelasan yang lain:
33

Ada doa secara katolik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Buna’,
tetapi perayaan Ekaristi, perayaan yang paling sacral dan paling luhur, tetap
dalam bahasa Indonesia. Doa ‘Bapa Kami’, ‘Aku percaya’ dan ‘Salam Maria’
sudah diterjemahkan juga dalam bahasa Buna’. Dalam upacara ‘adat’, mako’an
tidak pernah mengucapkan doa-doa ini, biarpun dia itu katolik seperti Markus
Tay, mako’an dari kampong Abis – Desa Lakmaras.

234

Orang-orang di kampung itu, biar tidak ikut sembahyang
dalam bahasa Indonesia, biar tidak nyanyi, tapi mereka ikut
Misa, mereka mengaku dosa, dan saya lihat, mereka serani
betul, ikut mereka punya kemampuan, sederhana. Tidak
heran kalau mereka masih tetap por hege piar, bula ho’on,
molo galai, taka gol inil, bai tuk, saya tidak larang, karena
tidak mungkin mereka dipaksa. Dualisme ini masih bejalan
terus, dan lama-lama baru bisa ada pemurnian iman. Itu
untuk anak-cucu mereka.

Jadi esensi religi orang Buna’ itu memang percaya kepada Yang Maha
Tinggi yang mereka ungkapkan dengan sapaan, Hot Esen. Kepercayaan
ini merupakan akumulasi dari seluruh pengalaman rohani yang menjadi
modal dalam diri mereka turun-temurun. Kesadaran akan adanya rohroh ini bukan suatu kesalahan yang harus dicap ‘kafir’. Memang mereka
tidak beragama dalam arti tidak menganut Agama besar yang hidup di
dunia Timur Tengah dan tersebar ke dunia Barat, tetapi mereka
menganut agama asli yang muncul dari kesadaran dasar, disebut
spiritual capital, terpadu dengan intellecual capital, social capital dan
material capital. Kesadaran dasar inilah yang menjiwai seluruh hidup
manusia.
Masyarakat DHL tetap merasakan Agama Katolik itu asing mulai
dari ajaran, tradisi, orang yang mewartakan (misionaris), bahasa dan
liturgi. Mereka menerima itu sebagai satu hal yang sudah terjadi dan
tidak dapat dihindarkan. Agama katolik tetap dianggap asing dan belum
berakar. Kekhasana agama Katolik belum mampu menggeser
keparcayaan agama asli suku Buna’, agama Hot Esen. Atas dasar inilah
mereka tetap berpegang pada dua kepercayaan, kepercayaan Kristen dan
kepercayaan pada Hot Esen.

KESATUAN HIDUP MASYARAKAT
DENGAN ALAM ROH
Kehidupan sehari-hari masyarakat suku Buna’ di DHL
seluruhnya diresapi oleh kesadaran akan adanya arwah, roh-roh dan
Roh Yang Maha Tinggi. Kesadaran ini diungkapan dalam kepercayaan
dan ritus-ritus, dan itulah agama asli dari suku Buna’ yang dalam tulisan
ini oleh penulis disebut ‘Piar Hot Esen’. Kehidupan seperti ini dicap

235

percaya sia-sia dan kafir 34. Oleh para misionaris dari Gereja Katolik
menyatakan baik dengan ajaran maupun dengan tindakan bahwa
Agama yang benar itu hanya ada dalam Agama Kristen yang dibawa
oleh pewarta Injil dari Gereja Katolik. Selanjutnya Agama Kristen
Katolik itu diringkaskan dalam ungkapan Agama Katolik. 35
Perusakan aitos oleh Pater Ernst Barth almarhum merupakan
salah satu bukti historis bahwa ada anggapan orang-orang Buna’ yang
belum katolik itu adalah orang-orang yang masih kafir, belum percaya
keada Tuhan, belum beragama, belum percaya kepada Tuhan. Atas
anggapan inilah misionaris Gereja Katolik datang dari benua Eropa dan
berusaha meng-agama-kan dalam arti meng-katolik-kan orang-orang
Buna’. Tindakan ini tidak bisa dipersalahkan karena pada waktu itu
memang ada anggapan umum bahwa agama yang benar itu adalah
agama Kristen yang secara khusus dihayati oleh umat dalam Gereja
Katolik. Dan Gereja Katolik masih berpegang pada semboyan, “Extra
Ecclesiam Nulla Salus” (Di luar Gereja tidak ada keselamatan).
Dalam penelitian ini, terungkap bahwa orang-orang Buna’
begitu kuat berpegang pada kepercayaan akan adanya mugen bei mil
(arwah leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan
bumi). Di atas keduanya, ada Hot Esen (Matahari Yang Tinggi).
Kepercayaan ini sudah dibakukan dan dibekukan dalam agama asli, Piar
Hot Esen, dengan ajaran dan ritus-ritus yang menyata dalam hidup
harian orang-orang Buna’. Hal inilah yang dianggap kafir oleh Gereja
Katolik dalam diri para pewarta atau misionaris katolik dari Eropa.
34 Ungkapan ini dapat dibandingkan dengan ungkapan
kafir yang juga
dikenakan pada orang-orang Batak oleh pihak Gereja Kristen Protestan
sebelum orang-orang Batak menjadi Kristen. Hal ini ditulis oleh Lothar
Schreiner dalam bukunya, Adat dan Injil, terjemahan dari buku aslinya yang
diterbitkan pada 1972 di Jerman dalam bahasa Jerman dengan judul, Adat und
Evangelium. Zur bedeutung deer altvol̈ kischen Lebensordnungan fur̈ Kirche
und Mission unter den Batak in Nordumatra, Güttersloscher Verlagshaus Gerd
Mohn, Gütersloh.
35 Istilah yang tepat itu Agama Kristen dan Gereja Katolik, bukan Agama
Katolik. Istilah ‘Agama Katolik’ itu menyesatkan banyak orang karena secara
teologis, seseorang itu menjadi pengikut Kristus, menjadi Kristen melalui
Sakramen Pembaptisan. Dengan dibaptis, seorang itu menjadi Kristen dan itu
berarti menjadi penganut Agama Kristen. Orang-orang Kristen ini terbagi-bagi
dalam kesatuan-kesatuan dan kesatuan inilah yang disebut Gereja. Maka istilah
Gereja Katolik itu merupakan kumpulan orang-orang Kristen yang bergabung
dalam satu Gereja, Gereja Katolik. Jadi kalau ada istilah Agama Katolik, maka
itu harus dimengerti dalam keutuhan pemahaman, Agama KRISTEN katolik.

236

Dalam Bab VIII ini hal itu dianalisa untuk mendapatkan suatu titik
terang.

KESADARAN AKAN ADANYA DUNIA ROH
Manusia itu terdiri dari badan dan roh. Kesadaran manusia akan
dirinya sebagai makhluk yang terdiri dari badan dan roh ini sudah
merupakan axioma yang diterima umum biarpun dalam arus pemikiran
atheistis hal ini pernah dan masih disangkal. Manusia yang terikat pada
situasi tertentu mengungkapkan kesadarannya akan adanya roh di luar
dirinya dengan berbagai cara. Salah satu cara itu adalah agama. Isi
agama itu datangnya dari Roh Yang Maha Tinggi sedangkan cara
menjawab isi itu terumuskan dalam tradisi yang terlahir dari
kebersamaan manusia di tempat tertentu, pada waktu tertentu (Adelbert
Snijders, OFm Cap. 2004: 151-154).
Orang-orang suku Buna’ menghormati leluhur (mugen bei mil)
yang disadari sebagai arwah yang berada di suatu tempat, dan mereka
yakin ada di Masel, satu tempat yang dianggap penuh misteri karena di
sana ada hutan yang lebat, air terjun yang menakutkan, mata air yang
aneh karena berbau seperti bau jenazah. Gereja Katolik mengajarkan
bahwa semua orang yang telah meninggal dunia itu mengalami hidup
yang kekal, entah bahagia abadi (surga) 36 atau celaka abadi di api neraka
(Katekismus Gereja Katolik).
Ajaran tentang surga dan neraka ini merupakan satu contoh
kecil yang membuat orang-orang Buna’ dari golongan tua sulit
menerima kebenarannya, apalagi mengakuinya. Kelompok orang-orang
muda yang sudah katolik tetap berpegang pada penghormatan kepada
leluhur dan bukit yang paling kuat adalah pewarisan nama leluhur
kepada anak-anak yang baru lahir. Setiap anak orang Buna’ memakai
nama salah seorang leluhurnya sebagai nama diri. Waktu dibaptis baru
menerima nama baru, nama Santo atau Santa. Oleh para Guru Agama
Katolik dan para Pastor orang Buna’ diajarkan untuk meninggalkan
36

Gereja Katolik mengajarkan bahwa ‘Surga’ itu tempat Allah yang sebenarnya
karena Ia adalah “Bapa kita di surga” dan sebagai akibatnya surga adalah
kemuliaan definitif. Akhirnya perkataan “surga” berarti “tempat” makhlukmakhluk rohani, malaikat-malaikat, yang mengelilingi Allah. (Katekismus
Gerja Katolik, no. 325).

237

warisan leluhur dalam hal ritus-ritus keagamaan katolik. Ada ajaran
Guru di Sekolah katolik yang diserap penulis sewaktu masih duduk di
bangku SR kelas dua tahun 1955:
Kita orang katolik itu percaya bahwa orang-orang kudus itu
sudah ada dalam surga. Itu yang pasti. Jadi kita harus pakai
mereka punya nama. Kita punya leluhur itu belum pasti ada di
dalam surga. Kita tidak mungkin dan tidak boleh berlindung
pada mereka. Siapa tahu mereka ada dalam neraka. Mau
berlindung pada leluhur yang ada dalam neraka? Dan ingat,
mereka semua itu mati sebelum dipermandikan (dibaptis).
Mana mungkin mereka masuk surga?

Isi ajaran seperti ini rata-rata masih diingat oleh orang-orang
Buna’ yang hidup di masa itu yang sekarang ini, waktu penelitian ini
dilaksanakan, rata-rata sudah berumur antara enam puluh dan tujuh
puluh tahun atau lebih. Pengajaran ini sederhana tapi masuk akal dan
menarik seingga tertanam dengan kuat dalam benak orang-orang Buna’.
Ini termasuk contoh suatu katekese (pengajaran agama) yang penulis
anggap sangat berhasil. Oleh karena itu setiap orang Buna’ yang katolik
termasuk di DHL, sampai sekarang ini nama yang dibeikan oleh orang
tua, nama leluhur, selalu dianggap ‘kafir’ dan diterima sebagai suatu
keterpaksaan. Nama leluhur yang disandang oleh orang Buna’
diistilahkan sebagai ‘ginil tol’ (nama kasar). Nama ini harus diselimuti
dengan nama serani, ‘ginil sarani’. Orang-orang Buna’ yang katolik ini
merasa senang dan merasa terhormat, dihargai, kalau dipanggil dengan
nama serani atau nama pemanis lain seperti ‘apa’ (si-sulung), ‘gulo’ (sibungsu).
Ada kesejajaran antara ajaran Gereja Katolik ini dengan
kepercayaan orang-orang Buna’, Piar Hot Esen yang sama-sama yakin
bahwa orang yang sudah meninggal dunia itu tetap ada, dan adanya itu
dalam bentuk arwah (Adelbert Snijders, OFm Cap., 114-115). Ada
perbedaan yang tajam antara kepercayaan atau iman seturut Gereja
Katolik dan orang-orang Buna’. Gereja Katolik mengajarkan untuk
menghormati orang meninggal dunia, dan secara istimewa
menghormati orang-orang yang dinyatakan kudus, Santu atau Santa.
Mereka inilah yang boleh diserukan namanya dan dimohon untuk
berdoa bagi manusia di hadapan Tuhan. Orang-orang Buna’ yang belum
berkenalan dengan Gereja Katolik menghomati arwah leluhurnya

238

sebagai pribadi-pribadi yang tetap hidup yang patut diteladani.
Keyakinan orang-orang Buna’ inilah yang mau dirobah atau dimurnikan
dengan pengalihan dari leluhur kepada orang-orang kudus, Santu dan
Santa.
Ternyata sesuai hasil penelitian, orang-orang Buna’ yang sudah
katolik ini berpegang pada ajaran katolik yaitu menghormati Santu dan
Santa, serentak juga menghormati arwah leluhur. Di sini ada
pertentangan, ada persimpangan jalan, orang Buna’ mau tetap bertahan
pada warisan leluhur yang berlindung pada arwah leluhur atau mau
beralih dan berlindung hanya pada Santu dan Santa. Pemberian namanama kepada anak-anak di kalangan suku Buna’, ada nama leluhur dan
ada nama baptis yang diterima waktu pembaptisan dan diterima sebagai
anggota Gereja Katolik. Oleh pada Guru Agama dan Pastor di Paroki
Nualain (Lamaknen, wilayah suku Buna’) sejak masuknya Gereja
Katolik di wilayah ini, nama leluhur itu adalah nama ‘kafir’. Isi ajaran
yang biasa terdengar dari mulut para Pastor dan Guru Agama, berbunyi
seperti ini: Nama baru yang diberikan oleh Gereja itu, nama ‘serani’.

Kalau sudah jadi ‘serani’ pakailah nama serani dan adat-kebiasaan
‘serani’, jangan campur. Atau-atau, kafir atau serani. Tidak bisa serani
sekaligus kafir. Tinggalkan kekafiran, jadilah serani.
Hasil dari ajakan dan ajaran ini ialah masyarakat suku Buna’
lebih senang dipanggil dengan nama ‘serani’ dari pada dipanggil dengan
nama ‘leluhur’. Di sekolah kalau seorang anak perempuan bernama
‘Agnes Lika’ (Agnes nama ‘serani’, Lika nama ‘leluhur’) dipanggil oleh
Gurunya dengan panggilan ‘Lika’ saja, maka anak itu akan tersinggung
dan merasa dimarahi karena Guru itu memanggil dirinya dengan nama
‘kafir’. Harus diungkapkan dengan jujur bahwa penulis ini pun tidak
suka dipanggil dengan nama ‘Bele’ karena nama itu nama ‘kafir’ yang
diambil dari leluhur yang masih ‘kafir’ dan diberikan oleh orang tua
yang masih ‘kafir’ waktu itu sehingga penulis lebih senang dan gembira
kalau dipanggil dengan nama ‘Anton’, sapaan manis dan ringkas dari
nama Antonius yaitu nama seorang kudus, seorang Santu yang berasal
dari Portugal (1195 – 1231) dan pernah hidup di Italia di kota Padua
dari tahun (New Catholic Encyclopedia).
Orang Buna’ percaya akan adanya pan muk gomo (penghuni
langit dan bumi), suatu kepercayaan akan adanya roh-roh yang
menghuni tempat-tempat seperti hutan, bukit, sumber air dan pohon239

pohon tertentu. Ada bukit yang ditumbuhi hutan dekat kampung
Lakmaras, namanya Railuli. Ada roh yang menghuni hutan di bukit
Railuli ini dan dinamakan Railuli gomo (penghuni Railuli). Ada roh
yang diyakini tidak menghuni salah satu tempat tetapi berkeliaran saja
ke sana-sini dan hadir di mana-mana. Roh-roh ini dianggap ada di
udara, ada di dalam kabut yang tebal, ada di dalam angin ribut, ada di
dalam udara yang panas, ada di dalam udara yang dingin. Roh-roh ini
ada yang baik dan tidak membahayakan manusia, tetapi ada yang jahat
yang selalu mencelakakan manusia dan hewan. Untuk berkontak
dengan roh-roh ini, orang Buna’ memberikan persembahan dengan
perbedaan, kepada roh yang baik disajikan di tempat yang layak, di atas
batu khusus di dalam rumah atau di luar rumah seperti di Bosok dan
Mot. Tetapi untuk roh yang jahat, selalu dihamburkan saja sajian yang
mentah, entah daging mentah atau beras. Penghamburan itu bertujuan
agar roh jahat itu menangkap persembahan itu, memakannya dan lari
menjauh dari manusia karena sudah kenyang lalu akan kembali lagi
pada saat yang tepat. Kepercayaan akan adanya roh-roh ini sejalan
dengan kepercayaan yang diajarkan dalam Gereja Katolik bahwa ada
roh-roh yang baik seperti malaekat-malaekat dan ada roh-roh yang
jahat yang dikenal dengan nama syaitan atau iblis. Jadi kepercayaan
masyarakat Buna’ akan adanya roh-roh baik dan roh-roh jahat ini tidak
bisa dipersalahkan dengan tuduhan mereka percaya sia-sia.
Nama yang diberikan oleh orang-orang Buna’ kepada Tuhan,
Hot Esen, mempunyai kesamaan dengan nama yang lazim dipakai oleh
Gereja Katolik yaitu, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa. Agak
mengejutkan bahwa orang-orang Buna’ juga menyapa Hot Esen itu
dengan ungkapan ‘Ligi o Le Esen, Bei Gepal Kere’ Giral Uen’, artinya
‘Yang Agung Yang Berjaga dan Terang, Nenek Bertelinga Satu dan
Bermata Satu’. Oleh tokoh adat suku Buna’ seperti Alfons Bere Tallo
(almarhum), ungkapan ini mempunyai arti yang sama seperti dalam
ajaran Agama Kristen Katolik, Allah Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Jadi
pengakuan orang Buna’ tentang ke-esaan Allah itu ada dan sepadan
dengan keyakinan iman orang Katolik.
Jadi dalam iman kepercayaan, ada kesejajaran, ada kesamaan.
Intinya sama, percaya pada dunia roh dan dunia roh itu dihuni oleh
arwah-arwah dan roh-roh dan Roh Yang Maha Tinggi itu ialah Tuhan
Allah. Hanya dalam pengungkapan, ada perbedaan. Sebagai contoh,

240

orang Buna’ menghormati leluhur mereka, orang Katolik menghormati
orang kudus, Santu dan Santa. Orang Buna’ beribadat di Bosok, Mot,
orang Katolik beribadat di Kapela, Gereja, tempat-tempat ziarah. Cara
pengungkapan baik dalam ajaran dan tindakan ibadat yang disampaikan
oleh pewarta awal yang diutus Allah, yang umum disebut Nabi atau
Utusan Allah, berbeda-beda seturut zaman dan budaya di mana
peristiwa itu berlangsung. Inilah agama, suatu pertemuan antara
pewahyuan diri Allah dan penerimaan oleh manusia yang kemudian
diungkapkan dalam iman dan ibadat yang dijaga dalam tradisi (Adelbert
Snijders,2004:148-149).
Pater Barth adalah salah seorang misionaris dari Eropa yang
berusaha keras untuk mewartakan ajaran Katolik dengan tradisinya
kepada orang-orang Buna’. Ajaran katolik itu sudah dirumuskan oleh
para teolog katolik selama berabad-abad dalam teologi yang sulit
dimengerti oleh orang-orang sederhana dan dihayati dalam tradisi
Romawi yang kemudian menjadi tradisi di Eropa. Agama dalam
‘pakaian’ Eropa ini yang ditawarkan malah dipaksakan kepada orangorang Buna’ oleh misionaris-misionaris dari Eropa. Dalam penawaran
dan pewartaan ini ada proses penerimaan, penolakan dan penyatuan
baik oleh pewarta (misionaris) maupun oleh penerima (orang Buna’). Di
situ ada tawar menawar. Tetapi dalam hal perilaku yang berdasarkan
ungkapan dari khazanah atau harta atau modal (capital) kerohanian,
spiritual capital, tidak ada tawar menawar. Langsung diterima. Pater
Barth yang menampilkan kemurahan hatinya diterima dengan senang
hati oleh orang-orang Buna’ yang juga mempunyai kemurahan hati.
Faktor murah hati ini salah satu aspek atau segi dari spiritual capital
(Danah Zohar, 2004: ). Dalam hal agama, manusia ada jarak antara satu
dengan yang lain. Dalam hal nilai-nilai rohani, manusia bertemu dan
jadi satu.

SPIRITUAL CAPITAL ITU UNIVERSAL
Dalam perjalanan sejarah perubahan yang dialami oleh suku
Buna’, tokoh kato