151239 MQFM 2009 12 Editorial 04 Desember 2009

Editorial MQ 92,3 FM
Edisi Jum'at, 4 Desember 2009
Mencari Pendidikan Hakiki
Sahabat MQ/
Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam aksi
kekerasan, kerusuhan, anarkhi, destruktif, bahkan telah terkontaminasi
virus
disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna
pendidikan hakiki. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan yang tidak
berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada munculnya potensi konflik, chaos, dan
ketegangan di tengah-tengah masyarakat.
Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung
di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin
mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan
untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan
pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari
sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih
mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan
intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi
out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi
nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah kehilangan hati

nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi,
dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk
mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada
kepentingan kekuasaan an-sich.
Tanpa empati, pengajar tidak bisa mengajar dengan bergairah, syarat mutlak yang harus
dimiliki seorang pengajar agar pelajar terbuka mata budinya terhadap keindahan ilmu
pengetahuan (pendidikan).Perbaikan pendidikan tidak hanya berarti perbaikan masa depan
anak didik, melainkan juga perbaikan bangsa dan negara Indonesia. Karenanya, sesuai
dengan konsepsi long life education pendidikan harus melaksanakan pembinaan sedini
mungkin mulai dari tingkat dasar. Berhasil tidaknya pendidikan pada akhirnya dinilai
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
eka-teki jadi atau tidaknya Ujian Nasional (UN) 2010 digelar terjawab sudah setelah
Depdiknas, melalui Sekjen Dody Nandika, menyatakan bahwa UN tahun 2010 akan tetap
berlangsung, sebab hingga kini Depdiknas belum menerima salinan putusan Mahkamah
Agung (MA) terkait kasasi tentang UN (Kompas, 3 Desember 2009). Menurutnya, jika
dicermati, ada tiga poin dari putusan MA dan tidak ada satu pun yang melarang UN. Poin
pertama adalah tergugat diperintahkan untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan
serta guru sebelum menjalankan proses pendidikan. Itu sudah dilakukan Depdiknas dengan

segala kekurangan dan kelebihannya. Poin kedua, tergugat diperintahkan juga oleh MA
untuk membuat satu skema respon terhadap siswa yang gagal UN atau siswa yang menjadi

korban UN, sehingga tidak mengalami stres yang berat. Hal itu, menurut Dodi, sudah dijawab
dengan akan diselenggarakannya ujian ulangan yang merupakan skema baru pada tahun ini,
karena tahun sebelumnya tidak ada. Dengan adanya ujian ulangan, masih ada kesempatan
bagi siswa jika gagal atau tidak lulus pada ujian tahap pertama, tegasnya. Poin ketiga,
pihaknya juga diperintahkan MA untuk meninjau kembali dan memperbaiki sistem pendidikan
dasar secara umum dan itu sudah dilakukan dengan dikeluarkan undang-undang guru dan
dosen, undang-udang BHP, juga undang-undang perpustakaan.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang selama ini mencuat ke permukaan, UN perlu dikembalikan ke
“khittah”-nya sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Artinya, UN jangan dijadikan
sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat untuk memotret dan memetakan mutu pendidikan secara
nasional, sehingga bisa diketahui sekolah mana yang sudah memenuhi standar mutu dan yang belum.
Sekolah yang belum memenuhi standar mutu pendidikan perlu terus dikawal, dilengkapi sarana,
prasarana, dan fasilitasnya, serta ditingkatkan mutu gurunya, sehingga bisa terus berkembang secara
dinamis dan siap bersaing dengan sekolah-sekolah lain yang jauh lebih maju.
Kalau mau jujur, UN selama ini justru telah mereduksi makna pendidikan hakiki. Yang
berupaya serius agar bisa lulus bukan peserta didik, melainkan para pemangku kepentingan
pendidikan untuk mencapai target-target tertentu. Tak heran apabila UN hanya menjadi

rutinitas tahunan yang telah kehilangan aura dan wibawa. Tak ada energi positif yang
terpancar dari balik pelaksanaan UN selama ini. Menjelang UN bukannya siswa yang repot,
melainkan para pejabat dan birokrat pendidikan mulai lapis atas hingga lini bawah. Guru pun
kalang kabut, bahkan mengidap stress tahunan akibat mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari
berbagai sisi. Menjelang UN, seorang guru mesti berangkat pagi-pulang sore untuk
melakukan adegan-adegan akrobatik di kelas guna men-drill siswanya dengan berbagai trik
dan kiat demi memenuhi ambisi dan gengsi atasannya. Mereka pun tak jarang mesti
mengorbankan kepentingan suami dan anak-anak di rumah. Sebuah pemandangan yang
biasa apabila keluarga guru kehilangan sebagian kebahagiaan menjelang UN. Suami uringuringan, anak-anak pun merasa kurang mendapatkan sentuhan perhatian dan kasih sayang.
Yang lebih menyedihkan, siswa justru kehilangan greget untuk belajar keras karena telah terperangkap
dalam kubangan budaya instan. UN bukan lagi sebagai sesuatu yang “sakral”, melainkan hanya
dianggap sebuah adegan drama yang sarat dengan kepura-puraan.
Kalau memang UN hendak didesain sebagai “starting point” peningkatan mutu pendidikan, harus ada
perubahan mendasar tentang sistem dan mekanismenya. Pertama, serahkan sepenuhnya penentuan
kelulusan kepada sekolah dengan menggunakan rambu-rambu dan standar kelulusan secara nasional.
Harus ada pemantauan sistemik terhadap proses penilaian kompetensi siswa secara jujur, fair, dan
objektif, sehingga tak memungkinkan sekolah untuk melakukan manipulasi penilaian. Kedua, kualitas
soal UN harus benar-benar valid sehingga mampu membedakan siswa yang berotak cemerlang dan
siswa yang berotak pas-pasan. Jangan sampai anak-anak cerdas justru terbonsai dan harus jadi tumbal
pendidikan akibat soal UN yang diragukan mutunya. Sebaliknya, siswa yang kehilangan etos belajar

dan bermental pemalas justru termanjakan dengan mendapatkan hasil UN yang bagus dan memuaskan.
Ketiga, harus ada sinkronisasi antara kurikulum yang teraplikasikan dalam kegiatan pembelajaran dan
sistem UN yang dilaksanakan. Selama ini, UN terkesan menjadi sebuah entitas yang terlepas dari
kurikulum. Menjelang UN, siswa tak pernah mendapatkan layanan pendidikan yang inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan, lantaran mereka hanya dilatih untuk menjadi penghafal kelas wahid, tak
ubahnya seperti simpanse dalam permainan sirkus.
Semoga “teguran” MA benar-benar menjadi “warning” buat Depdiknas dalam menggelar UN yang
lebih mencerdaskan dan mencerahkan, sehingga UN bisa menjadi alat yang sahih untuk mencapai
tujuan pendidikan. Sebuah tantangan yang tidak mudah bagi Pak Muhammad Nuh sebagai Mendiknas

di awal pengabdiannya. ***

/// Allohualambishowab