151522 MQFM 2009 12 Editorial 17 Desember 2009

Editorial MQ 92,3 FM
Edisi Kamis 17 Desember 2009
“ Mencari Standar Kompetensi Jurnalis”
Sahabat MQ/
Wartawan gadungan atau wartawan bodrek tentu saja bukanlah wartawan dalam
arti sebenarnya. Mereka hanya menunggangi pers untuk kepentingan pribadi atau
golongan. Cuma berbekal kartu pers, atau bukti lembaran suratkabar yang hanya
terbit satu-dua edisi, mereka mendekati narasumber dengan alasan ingin
wawancara namun ujungnya meminta uang. Bahkan tak jarang dengan cara
pemerasan.
Anggota dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Wina
Armada Sukardi mengatakan, perlu ada standar kompetensi untuk merekrut
wartawan yang akan bekerja di media massa.
Standar kompetensi wartawan ini sangat dibutuhkan untuk dapat menciptakan dan
menjaring jurnalis dengan intelektualitas tinggi, dan mencegah munculnya aksi
para "bodrek" atau wartawan yang tak jelas media massanya
menentukan standar kompetensi wartawan tersebut, sehingga citra wartawan yang
sesungguhnya tidak semakin rusak oleh ulah oknum wartawan "bodreks". Demi
kesempurnaan standar kompetensi wartawan, Fitri yang mantan wartawan
Sriwijaya Pos itu menyarankan Dewan Pers dapat memilih lembaga-lembaga yang
kredibel dalam menentukan standar kompetensi wartawan


Upaya Pencapaian Kompetisi Wartawan. Dari empat materi yang disajikan, telah
mendapat tanggapan yang positif dari peserta diantaranya dari Koran Tokoh,
Widminarko sependapat dengan Standar Kompetensi tersebut, namun yang
menjadi tolok ukur adalah wartawan yang berprofesionalisme baik di bidang teknis
maupun non teknis, moral serta disiplin sebagai persyaratan managerial, sehingga
tidak terjadi pers kebablasan.
Ketika SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tak lagi menjadi kewajiban bagi
sebuah perusahaan penerbitan pers, maka tak lagi dapat dibendung bisnis media
pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Hingga hari ini tak kurang 12.300 media
beredar di seluruh Indonesia, mulai dari yang berbentuk koran, majalah, tabloid
sampai bulletin.
Orang-orang yang bekerja di media tersebut, semua mengklaim dirinya sebagai
wartawan, meski medianya kadang terbit kadang tidak. Di era Soeharto, pers
memang dikontrol, sehingga tak semua orang bisa mengklaim dirinya sebagai
wartawan.
Tak juga bisa dielak, kebebasan pers membuat citra wartawan menjadi jelek. Padahal

pencitraan itu muncul karena ulah segelintir orang yang mengkalim dirinya
wartawan tadi. WTS, (wartawan tanpa suratkabar), atau wartawan “bodrek” memang

muncul di sejumlah kota. Tugasnya mencari kesalahan orang, atau menodong minta
imbalan kepada pengusaha, atau pejabat. Padahal, sejatinya pers yang benar
tidaklah demikian.
Wartawan yang benar, adalah wartawan yang memiliki media—yang terbit secara
berkala tanpa putus. “Bukan “byar pet”, kadang terbit kadang tidak. Wartawan yang
benar adalah---yang memiliki standar kompetensi profesi, bersikap netral dan
menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Pers yang baik dan benar, adalah pers yang mengerti dan menjalankan fungsi UU
Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Dalam bebarapa diskusi yang menyangkut
masalah pers, sering kita dapati keluhan masyarakat mengenai kinerja wartawan.
Tak sedikit yang menuding wartawan identik dengan pemeras. Sebab itu, tak sedikit
orang selalu menghindar dari wartawan. Terutama bagi mereka yang memang
memiliki masalah. Hebatnya lagi, perusahaan seperti bank juga selalu mengindar
dari wartawan, terutama dalam persoalan akad kredit. Sampai muncul image, tiga
profesi yang sering tidak direkomendasi dalam pengurusan kredit di bank adalah
wartawan, polisi, dan pengacara.
Pertanyaannya adalah, sudah separah itukah citra wartawan? Boleh jadi, karena nila
setitik, rusak susu sebelanga. Pameo ini memang tepat diperuntukkan bagi wartawan
yang benar dan profesional. Akibat ulah sejumlah oknum wartawan, maka wartawan
yang benar dan baik juga mendapat imbas.

Sesungguhnya wartawan tidaklah seburuk yang dibayangkan. Wartawan punya
standar kompetensi profesi. Dalam pekerjaannya, wartawan harus taat pada UU
pokok pers dan kode etik jurnalistik. Jadi tidaklah fair kalau kesalahan oknum
wartawan, kemudian kita ikut menghakimi lembaga atau wartawan yang memang
punya kompetensi profesi.
Dengan demikian, jelas bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya memiliki
stantar kompetensi profesi yang harus ditaati, sehingga tidak memunculkan
wartawan bodrek atau WTS tadi. Kita berharap masyarakat semakin mengetahui,
bahwa wartawan yang pekerjaannya melakukan pemerasan seperti yang sering
dikeluhkan selama ini, sesungguhnya bukanlah wartawan.
rias Kuncahyono mengatakan, profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan, tetapi
merupakan panggilan hati. Karena itulah, profesi ini harus dijalankan dengan
tanggung jawab sepenuh hati, dibarengi dengan pengetahuan, rasa empati
terhadap persoalan masyarakat, keterampilan jurnalistik yang memadai, dan bisa
menjaga etika. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah tegas dalam prinsip,
menjalin relasi yang luas dalam kerangka mendapatkan informasi, serta bisa

menjaga integritas pribadi.
Meski demikian, Dewan Pers tidak akan memaksakan agar kompetensi standar
wartawan diterapkan di seluruh perusahaan pers. Menurutnya pedoman ini tidak

menjadi kewajiban untuk dipatuhi. Karena penerapan standar itu tidak diatur dalam
perundang-undangan. "Bagi perusahaan pers yang tidak ingin menerapkan standar
kompetensi wartawan tidak akan diberikan sanksi, sebaliknya bagi yang menaati
sah-sah saja
// Wallhu'alam Bishowab///