Brand community lanjut usia (lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak.
1
BRAND COMMUNITY
LANJUT USIA (LANSIA)
QORYAH THAYYIBAH CABANG AISYIYAH BULAK
TESISDiajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah
Oleh Sri Wahyuni NIM. F120915309
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
(2)
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya :
Nama : Sri Wahyuni
NIM : F120915309
Prodi : Dirasah Islamiyah
Institusi : Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa TESIS ini secara keseluruhan adalah
hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk
sumbernya.
Surabaya, Juni 2017
Saya yang menyatakan,
:
t e r air - d /VI P E L . .J, TGL ~ *20 < 1g6E5AEF57780145 ^ ► 0 0
/T- RIB U RUPIAH
Sri Wahyuni
(3)
PERSETUJUAN
Tesis Sri Wahyuni ini telah disetujui pada tanggal 16 Juni 2017
Oleh
(4)
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Tesis Sri Wahyimi ini telah diuji pada tanggal Jumat, 28 Juli 2017
Tim Penguji:
1.
2.
Dr. Masruchan, M. Ag (Ketua)
Dr. Hj. Dakwatul Choiroh, M. Ag (Penguji)
3. Dr. Moch. Choirul Arif, M. Fil. I (Penguji)
Surabaya, 2 Agustus 2017 Direktur.
H. Husein Aziz, M. Ag. NIP. 195601031985031002
(5)
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERPUSTAKAAN
Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : SriWahyuni
NIM : F120915309
Fakultas/Jurusan : Dirasah Islamiyah E-mail address : learner07@ yahoo.com
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel/Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :
□ Sekripsi E3 Tesis d Desertasi □ Lain-lain (... ) yang berjudul:
Brand Community Lanjut Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/ format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.
Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 7 Agustus 2017
(6)
ABSTRAK
Perintah untuk berdakwah ditujukan kepada umat Islam. Lanjut Usia (Lansia) menjadi salah satu obyek dakwah yang perlu ditangani karena dalam masa-masa ini lansia menghadapi berbagai problema hidup yakni penurunan psikis dan fisik, mulai dari keputusasaan, pasif, lemah, hingga tergantung dengan sanak saudara.
Angka harapan hidup (life expectancy) Indonesia juga telah meningkat secara nyata.
Dengan asumsi tersebut perlu dilakukan penanganan lansia dilakukan secara profesional dan berwawasan kerohanian. Di luar negeri, beberapa negara sudah sukses melakukan pemberdayaan lansia, namun di Indonesia masih sangat jarang ditemui. Ada salah satu komunitas yang agaknya bisa menjadi contoh pemberdayaan lansia yakni Paguyuban Lansia Qoryah Thoyyibah di Kecamatan
Bulak. Paguyuban ini termasuk dalam brand community yang cukup sukses karena
memiliki consciousness of kind, rituals and tradition, dan moral responsibility yang
berhasil menanamkan value agar lansia hidup bernilai, berkualitas, dan beriman.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa brand community value,
pengelolaan dan implikasi dari brand community value. Penelitian dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara dengan pihak pengurus Lansia Qoryah Thayyibah serta anggota komunitasnya dan ditambah dengan dokumen yang dibuat oleh pengurus.
Data yang berhasil dikumpulkan dianalisa dengan teori Brand Community dan
Dakwah bi lisan al-haal.
Penelitian berkesimpulan bahwa Nilai-nilai yang dikonstruksikan oleh Brand Community Lansia Qoryah Thayyibah adalah nilai Muhammadiyah sebagai dasar bahwa lansia harus hidup berkualitas secara fisik dan rohani, yakni terpenuhi kebutuhan kesehatan, ekonomi, psikologis, dan akidah. Tahapan yang dilakukan
dalam pengelolaan brand community value tidak jauh berbeda dengan penelitian
oleh Hope Jensen Schau, dkk yang berjudul How Brand Community Practices
Create Value. Tahapannya adalah social networking (welcoming, empathizing, dan
governing), impression management (evangelizing dan justifying), community engagement (documenting, badging, milestoing, dan staking), dan brand use (customizing). Di dalam tahapan itu, ada beberapa metode dakwah yang berjalan
beriringan, yakni: metode dakwah hikmah (kebijaksanaan), mau’idzah hasanah
(nasehat-nasehat yang baik), dan uswah. Implikasi dari adanya Brand Community
Value dan pengelolaan Brand Community Value sejauh ini masih positif baik dari pengurus Aisyiyah dan anggota komunitas.
Kata kunci: Paguyuban Lanjut Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah, Brand
(7)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN………... ii
PERSETUJUAN……… iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI………... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……… v
MOTTO………. vi
ABSTRAK………. vii
UCAPAN TERIMA KASIH ………viii
DAFTAR ISI………...x
DAFTAR TABEL……….. xii
DAFTAR GAMBAR………. xiii
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah……….. 12
C. Rumusan Masalah……….. 13
D. Tujuan Penelitian………... 13
E. Kegunaan Penelitian……….. 14
F. Penelitian Terdahulu……….. 15
BAB II BRAND COMMUNITY DALAM BINGKAI DAKWAH……….. 18
A. Pengertian Brand Community………18
B. Proses Pengelolaan Brand Community Value………... 20
C. Dakwah bi al-lisan al-haal……… 29
D. Brand Community dalam Bingkai Dakwah………... 36
BAB III METODE PENELITIAN……… 41
A. Pendekatan Penelitian……… 41
(8)
C. Sumber Data Penelitian………. 42
D. Informan Penelitian……… 42
E. Teknik Pengumpulan Data……… 44
F. Teknik Analisis Data………..45
BAB IV KONSTRUKSI DAN PENGELOLAAN BRAND COMMUNITY VALUE PAGUYUBAN LANSIA QORYAH THAYYIBAH………..48
A. Profil Brand Community Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah….. 48
B. Brand Community Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah………… 61
1. Nilai-Nilai Brand Community Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah ………61
2. Konstruksi Nilai-Nilai Brand Community Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah……….. 77
C. Analisis Pengelolaan Brand Community dalam Membangun Nilai/ Value ………79
1. Social Networking (Jejaring Sosial) ………. 79
2. Impression Management (Manajemen Impressi)………...100
3. Community Engagement (Keterikatan pada Komunitas)………….. 107
4. Brand Use (Penggunaan Merk) ……… 116
5. Hubungan antara tahapan dalam pengelolaan brand community value………... 122
D. Implikasi dari proses pengelolaan brand community value Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah terhadap stakeholder ………122
BAB V PENUTUP……… 130
1. KESIMPULAN………. 130
2. SARAN……….. 131
(9)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kewajiban dakwah dalam Islam sebagaimana mengacu kepada al-Qur’an
surat An-Nahl ayat 125:
ُۡع لٱ
ۡ
ِۡبۡ َكِ بَرِۡ يِبَسۡ ٰ
َِإ
َ
ِۡةَ ِ
ۡٱ
َۡۡو
ِۡة َظِع َ
ٱ
ۡ
ۡ ِةَ َسَ
ۡٱ
ۡ
ِۡبۡ ُ
ِدٰ َجَو
ۡ ِت
َلٱ
ۡ
َۡس ح
َ
أۡ َ ِِ
ۡ ُ
ِِۡ يِبَسۡ َعۡ َ َضۡ َ ِبُۡ
َ عَأَۡ ُهۡ َكَبَرَۡنِإ
ۦۡ
ِۡبُۡ
َ عَأَۡ ُهَو
َۡ يِدَت ُ
ٱ
ۡ
٥
ۡ
ۡ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. an-Nahl: 125)2
Dalam ayat tersebut jelas Islam memerintahkan untuk memberikan seruan atau kabar gembira dan peringatan kepada semua manusia. Dengan adanya seruan tentang hikmah dan pelajaran yang baik diharapkan akan membawa perbaikan dan pembaharuan yang bisa memberi rakhmat kepada makhluk. Umat yang ditinggalkan oleh penyeru akan kembali ke masa jahiliyah yang kehidupannya sedikit banyak jauh dengan nilai-nilai ilahiyah. Hal ini seirama dengan pendapat
(10)
2
dari Asep Muhyidin yang menegaskan bahwa dakwah bisa merubah kualitas kehidupan. Dakwah menuju usaha perbaikan pemahaman, cara berpikir, sikap dan tindakan (aktivitas). Dari pemahaman yang negative, sempit, dan kaku berubah menjadi positif dan berwawasan luas. Dari sikap menolak (kafir), ragu (munafik),
berubah menjadi sikap menerima (iman) dengan jalan ilmul yaqîn.3
Lansia menjadi salah satu obyek dakwah yang perlu ditangani karena dalam masa-masa ini lansia menghadapi berbagai problema hidup yakni penurunan psikis
dan fisik. Diane dalam bukunya Human Development menyatakan bahwa pada usia
ini kecemasan akan penurunan fisik dan yang lainnya telah menjadi tema utama dalam deskripsi psikologis. Kemampuan fisik hingga aktivitas menurun dan sering mengalami gangguan kesehatan, yang menyebabkan mereka kehilangan semangat,
ini juga berimbas pada perasaan mereka tidak berharga atau kurang dihargai.4
Menurut pandangan Islam, dalam tahapan umur tua akan tampak tanda-tanda kelemahan seseorang. Kekuatannya mulai menurun sedikit demi sedikit dari puncaknya, lalu menjadi semakin lemah sesudah masa kuatnya dahulu. Tahapan umur ini oleh Rasulullah SAW dinamakan masa pergulatan dengan maut yaitu
masa-masa umur 60 tahunan hingga umur 70 tahunan.5 Shakespeare membuat
132 acuan tentang perubahan fisik dan perilaku yang menyertai usia lanjut (150), dia menggambarkan masa udzur sebagai berikut: babak terakhir dari segalanya, yang mengakhiri sejarah peristiwa aneh ini, adalah masa kekanak-kanakan tahap kedua, dan semata-mata kepikunan, kehilangan gigi, kehilangan penglihatan,
3 Asep Muhyiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 71. 4 Diane E. Papalia, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Kencana, 2008), 731.
(11)
3
kehilangan pendengaran, kehilangan pengecapan, dan kehilangan segalanya.6 Hal
ini semakin dikuatkan dengan adanya hasil riset BPS, bahwa semakin bertambah umur maka angka kesakitan semakin tinggi. Angka kesakitan pra lansia (45-59 tahun) yakni 16,10%, usia 60-69 tahun sebanyak 22,02%, usia 70-79 tahun
sebanyak 28,50%, usia 80 tahun ke atas sebanyak 33,23%.7
Dalam menghadapi masa-masa tua, sebagian lansia masih memandang usia tua dengan sikap yang menunjukkan keputusasaan, pasif, lemah, dan tergantung dengan sanak saudara. Lansia tersebut kurang berusaha untuk mengembangkan diri sehingga lansia semakin cepat mengalami kemunduran baik jasmani maupun mental. Ditambah pula pandangan masyarakat umum yang menganggap bahwa lansia itu hanya bisa berada dalam rumah, menghabiskan hari-harinya dengan bersantai, tidak melakukan kegiatan produktif apapun, yang akhirnya membuat lansia merasa bosan dan menghabiskan masa tuanya tanpa kebahagiaan. Sanak keluarganya merasa kasihan jika orang tuanya yang sudah sepuh melakukan kegiatan yang dirasa berat, maka mereka menyuruh orang tuanya di rumah saja. Hal ini sesuai dengan analisa Zahrotun Nihayah dalam bukunya, masyarakat sering tidak melihat potensi tersebut, sehingga kurang ada usaha di lingkungan masyarakat untuk mempersiapkan orang-orang lansia ini terhadap kerawanan-kerawanan kelak. Misalnya saja kurang dipersiapkan terhadap kecelakaan-kecelakaan (yang umum terjadi pada mereka) atau bagaimana menghindarinya, kurang dibantu dalam menggunakan waktu luangnya sesuai dengan kesehatan dan energinya
6 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Edisi Kelima (Jakarta: Erlangga, 1980), 381. 7 Andhie Surya Mustari, dkk., STATISTIK PENDUDUK LANJUT USIA 2014 Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), 50.
(12)
4
yang sudah menurun.8 Ada juga lansia yang menghabiskan masa tuanya dengan
kegiatan-kegiatan produktif, tapi kasus ini sangat jarang ditemui.
Penanganan bagi lansia akan lebih baik jika dibantu secara profesional agar lebih mampu menciptakan pemecahan yang solutif. Lansia sendiri sudah mengalami masa kemunduran sehingga akan sulit untuk membuat inovasi secara mandiri untuk memecahkan masalahnya. Contoh terbaik yang bisa dilihat di Tiongkok, Hong Kong, Jepang, Korea dan Taiwan. Di sana tersedia fasilitas untuk lansia di tempat umum (taman, kartu gratis naik kereta atau bus umum), fasilitas kesehatan dan komunitas masyarakat yang sudah bergerak untuk memberikan
kepedulian khusus terhadap lansia.9 Fasilitas yang diperlukan lansia tentunya tidak
bisa disamakan dengan orang pada umumnya. Selain itu, lansia juga perlu disibukkan pada kegiatan yang bermanfaat seperti kursus, senam, games, dan
lain-lain. “The Hong Kong Society for the Aged: The Computer Learning Center for the
Elderly at the Active Aging Center“ sebagai lembaga pendidikan komputer tersebut khusus untuk orang lansia. Tujuan mereka adalah agar lansia melek teknologi,
internet, pengoprasian smart phone. Lansia juga menerima pelajaran untuk terus
membangkitkan memori mereka agar jauh dari penyakit pikun melalui game di
komputer.10 Pemerintah di Yunnan, Cina menyediakan fasilitas kepada lansia
seperti senam sehat bersama, general check up secara rutin dimana pemeriksa
kesehatan adalah lansia yang bersedia menjadi sukarelawan, kelas MC (Master of
8 Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
dengan UIN Jakarta Press, 2006), 135.
9 Hwan Setiawan Karmansyah, dkk., “Belajar Service Learning melalui Program Cross Border Service Learning SummerInstitute di Hongkong dan Tiongkok”, Journal of Service Learning, Vol. 1, No. 1 (Desember, 2013), 49.
(13)
5
Ceremony), komunitas catur dan beberapa layanan lainnya.11 Sayangnya di Indonesia tidak banyak ditemui penanganan yang cukup solutif untuk membantu permasalahan lansia. Indonesia perlu sadar dan belajar bagaimana menangani masalah lansia agar mereka tidak membebani negara, masyarakat, dan keluarga. Hal ini sesuai dengan hasil riset statistik BPS bahwa nilai rasio ketergantungan lansia sebesar 12,71 menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 13 orang lansia. Dibedakan antara lansia laki-laki dan perempuan, lebih banyak lansia perempuan yang ditanggung oleh penduduk usia produktif. Ketergantungan lansia perempuan (13,59) lebih tinggi
daripada lansia laki-laki (11,83).12
Angka harapan hidup (life expectancy) Indonesia telah meningkat secara
nyata. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki harapan untuk hidup hingga mencapai usia 70,7 tahun. Hal tersebut jauh lebih baik dari angka harapan hidup tiga atau empat dekade sebelumnya, yaitu di bawah 60 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup telah menambah jumlah
penduduk lanjut usia (lansia) dan merubah struktur penduduk Indonesia.13 Jika
jumlah lansia semakin tinggi tentu ini sebagai alarm bahwa perlu adanya penanganan yang serius. Mengingat jika tidak ditangani secara serius maka akan berdampak adanya beban negara dan keluarga.
11 Ibid., 50.
12 Andhie Surya Mustari, dkk., Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014 Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), viii.
(14)
6
Di tengah pergulatan masalah mengenai lansia dan semakin banyaknya jumlah lansia, ada itikad dan usaha yang cukup inspiratif di Kecamatan Bulak dalam Paguyuban Qoryah Thoyyibah. Paguyuban ini dikoordinir oleh Ibu Tri yang dinaungi oleh Cabang Aisyiyah Bulak, salah satu organisasi otonom Muhammadiyah. Paguyuban ini adalah komunitas ibu-ibu istri nelayan yang berlokasi di pesisir pantai Kenjeran yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan. Latar belakang dari paguyuban di area pantai Kenjeran ini adalah sekitar 80% warga bermata pencaharian sebagai nelayan sehingga pada saat musim melaut daerah Bulak menjadi sepi, ibu-ibu hanya mengolah hasil laut dan masih banyak waktu luang yang kurang produktif. Mereka juga termasuk kelompok yang awam tentang kesehatan sehingga rawan terjangkit penyakit, secara psikologis juga merasa kesepian karena mereka kadang ditinggal keluarganya kerja, ada yang hidup sendiri, dll. Kegiatan rutin yang dilakukan ada yang setiap minggu, setiap bulan, dan ada yang tahunan. Setiap minggu, kegiatannya adalah melakukan pengajian yang berisi nilai-nilai Muhammadiyah, tanya jawab kesehatan, senam pagi, melatih skill dalam membuat karya-karya kecil yang bermanfaat untuk rumah tangga, seperti menjahit, membuat kerajinan daur ulang, dan lain-lain. Setiap bulan ada cek kesehatan, penimbangan gratis, dan lain-lain yang mendatangkan ahli klinis dari Universitas Muhammadiyah. Setahun dua kali mengadakan kegiatan bakti sosial pengobatan gratis dan pembagian sembako. Perkembangannya selama ini dinilai cukup progresif karena mampu memertahankan sekitar 40-50 lansia di setiap minggunya. Jika ada acara besar seperti kegiatan bakti sosial maka yang menghadiri ada sekitar 100 lansia lebih. Ibu Tri yang memulai menggerakkan lansia
(15)
7
menyatakan bahwa lansia yang dibina memiliki semangat untuk tetap aktif ikut kegiatan walaupun pada saat pengajian ada kesibukan di rumah, bahkan menurut ibu PKK, banyak lansia yang tidak mengikuti kegiatannya namun memilih ikut Paguyuban Lansia.
Kecamatan Bulak pada tahun 1970-an sangat guyub, masyarakatnya tidak fanatik pada golongan tertentu, damai, gotong royong hingga akhirnya datanglah pendakwah dari organisasi NU dan Muhammadiyah yang mengubah kondisi itu. Mulailah muncul benih konflik, bahkan jika menikah dengan orang yang berbeda aliran maka dianggap sama seperti menikah dengan warga non-muslim. Semenjak adanya pemikiran Gusdur yang menekankan semangat pluralitas dan toleransi,
maka antar golongan ini tidak kembali berkonflik.14 Keduanya tetap berfastabiqul
khairat untuk mendakwahkan nilai-nilainya dengan sportif demi memberdayakan umat. Muhammadiyah cukup diterima di Kecamatan Bulak karena mampu menarik jamaah dari 6 RT dari 8 RT di Kelurahan ini. Warga dari kalangan anak muda, ibu-ibu, hingga lansia mengamalkan prinsip-prinsip Muhammadiyah. Paguyuban Qoryah Thayyibah ini merupakan salah satu strategi yang diterapkan oleh Cabang Aisyiyah Bulak agar nilai-nilainya tetap diterima. Pendekatan dakwahnya unik karena tidak menggabungkan semua ibu-ibu dari segala umur menjadi satu, namun membedakan grup lansia tersendiri. Pembentukan grup ini disesuaikan dengan kebutuhan lansia yang memang berbeda dengan kebutuhan wanita di usia lainnya.
(16)
8
Dari penjelasan mengenai Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah di atas,
terlihat bahwa Aisyiyah bisa dikategorikan sebagai brand community yang sengaja
dibentuk untuk mengonstruksikan nilai-nilainya. Dalam penelitian Muniz dan O’Guinn mengungkapkan brand community adalah komunitas spesifik, tidak terbatas oleh batasan geografis, berdasarkan struktur hubungan sosial antar
anggotanya yang menyukai merek tertentu.15 Komunitas Paguyuban Lansia berisi
anggota yang sama-sama merasakan produk yang diberikan oleh pengurus. Mereka senang mengikuti kegiatan hingga meninggalkan kegiatannya di rumah jika ada bentrok kesibukan, aktif ikut kegiatan, berdialog tentang bagaimana cara mengisi kesibukan di hari tua. Kebanggaan mereka pada paguyubannya juga diindikasikan dengan mengajak teman-teman lansia yang ada di kampungnya untuk aktif kegiatan Lansia dengan alasan kalau ikut Paguyuban bisa senang juga. Bahkan mereka juga
mengungkapkan psy war jika ada paguyuban lansia dari daerah lain yang
menantang mereka, mereka menyatakan kalau lansianya lebih hidup dan banyak kegiatan. Muniz juga mengungkapkan adanya 3 elemen penting yang mendasari
komunitas, yaitu: Kesadaran Bersama (Consciousness of Kind) mengacu pada
hubungan intrinsik dan perasaan kolektif diantara para anggota dan sekaligus merasakan perbedaan dengan mereka yang tidak termasuk anggota komunitas.
Kedua yakni ritual dan tradisi (rituals and tradition) dalam brand community
berupa pengalaman dalam menggunakan merek dan berbagi cerita pada seluruh
anggota komunitas, anggota brand community bertemu dalam suatu proyek dimana
15 Muniz, A.M. Jr. And T.C. O’Guinn, “Brand Community‟, Journal of Consumer Research, Vol.
(17)
9
dalam proyek ini ada beberapa bentuk upacara atau tradisi. Ketiga, adanya Rasa
Tanggung Jawab Moral (Moral Responsibility) adalah hasil kolektif yang dilakukan
dan memberikan kontribusi pada rasa kebersamaan dalam kelompok.16 Komunitas
Paguyuban Lansia ini memang memiliki ketiga indikasi tersebut. Pertama, adanya
Consciousness of Kind dapat dilihat dari kesamaan nasib sudah menginjak usia senja dan butuh ada bimbingan agar bisa tetap menjalani usia senja dengan senang dan bersiap menghadap Allah dengan keadaan siap. Mereka mengingatkan untuk menghafalkan wirid dan dzikir harian, aktif dalam berdialog dan bertanya tentang penyakit dan cara mencegah dan menanganinya, cara menjaga kebersihan, mengisi kegiatan dengan senam lansia, membuat sesuatu yang menarik, dll. Seringkali mereka juga saling curhat tentang kondisi keluarga mereka untuk melepas rasa kesepian yang mereka derita. Mereka mengakui kalau di pengajian luar hanya membahas aspek nilai, tetapi di Qoryah Thayyibah Bulak selain membahas nilai agama, bisa senang-senang dengan menyanyi, melakukan aktifitas yang produktif,
dan mampu menjaga kesehatan. Kedua, adanya rituals dan traditions yakni
menyangkut penguatan nilai Islami, menjaga kebugaran tubuh, kegiatan have fun
(menyanyi) dan membuat peralatan dari kerajinan tangan untuk mengisi waktu luang. Ini aktifitas yang bisa membuat mereka lupa dengan rasa sepi dan menjadi
senang karena hidupnya lebih berisi. Ketiga, adanya Moral Responsibility yang bisa
dilihat dari sikapnya mau menjenguk teman sesama anggota yang sedang mengalami sakit, mengingatkan untuk menghafalkan wirid & dzikir, saling
(18)
10
mendengarkan jika ada teman sesama anggota yang sedang curhat dan menanggapinya dengan ramah.
Dalam buku Connect, Surfing New Wave Marketing, segmentasi adalah
praktik legacy karena dilakukan secara top-down atas inisiatif perusahaan yang
mengotak-kotakkan konsumennya berdasarkan atribut-atribut yang ada. Segmentasi merupakan peta cakrawala pemasar untuk melihat kondisi pasar termasuk konsumennya yang berbeda, untuk kemudian ditembak menjadi
pelanggan. Di era New Wave seperti sekarang, konsumen ingin lebih dianggap
sebagai manusia seutuhnya bukan sebagai sasaran tembak pasar. Dengan demikian, praktik memetakan konsumen ke dalam kelompok berdasarkan atribut dinamis atau statis sudah menjadi kurang relevan lagi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan segmentasi yang lebih horizontal yaitu mengomunitisasikan konsumen sebagai sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain, dan memiliki kesamaan purpose, values, dan identity. Jadi, sama halnya dengan segmentasi, komunitisasi
adalah langkah pertama dalam strategi.17 Dalam buku yang lain, Hermawan
Kartajaya mengungkapkan bahwa konsumen sudah tidak mempercayai marketer
atau pihak perusahaan, konsumen lebih mempercayai rekomendasi dari suatu komunitas yang mahir atau berkompeten di bidangnya. Informasi dalam suatu komunitas dapat bergerak dengan sangat cepat. Media yang digunakan dalam
penyebaran informasi ini adalah melalui mulut ke mulut (word of mouth) baik
secara online maupun offline.18 Contoh sukses yang menjadi cerita yang selalu
17 Hermawan Kartajaya, New Wave Marketing (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 103. 18 Hermawan Kartajaya, Brand Operation (Jakarta : Esensi Erlangga Group, 2010), 276.
(19)
11
disitir adalah Harley Davidson, yang mana pada tahun 1983 perusahaan tengah melawan ancaman kebangkrutan dan kemudian berhasil menepis ancaman tersebut
25 tahun kemudian menjadi top brand dunia dengan nilai 7,8 Miliyar dollar. Hal itu
dikarenakan komitmen perusahaan dalam membangun komunitas (Fournier & Lee,
2009 dalam Badri, 2014)19 Menurut Gusti Ayu Wulandari20, pembentukan sebuah
brand community akan menciptakan sebuah peluang bagi kegiatan pemasaran sosial yang akan semakin memudahkan produsen untuk selalu meneliti keinginan konsumen atau harapan konsumen akan produk yang di gunakan lalu membentuk perilaku konsumtif terhadap suatu merek atau produk sehingga secara tidak langsung membantu pemasar dalam kegiatan penjualannya.
Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa pentingnya membentuk kesatuan
yang homogen dan didasari atas nilai-nilai agamawi sesuai kehendak Allah. Hal
tersebut tercantum di Al-Qur’an surat Al-Mu’minuun ayat 52-54 yakni:
َۡنِ
ۡ
ِۡهِ ٰ َه
ۡكۦۡ
َۡفۡ ُكبَرۡ۠اَن
َ
أَوۡمةَدِحٰ َوۡمةَم
ُ
أۡ ُكُتَم
ُ
أ
ِۡن ُ َتٱ
ۡ
ۡ
ۡ اك ُع َطَ َتَف
ۡ
ۡ ُ َ يَبۡ ُهَ
َ
أ
َۡن ُحِ
َفۡ ِ يَ ََۡاَ ِبۡۢب ِحۡ ُُۡۖام ُبُز
ۡۡ
ۡ ٍيِحٰۡ َتَحۡ ِ ِتَ
َغۡ ِِۡ ُه رَ َف
ۡ
ۡ
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka
dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (QS. al-Mu’minuun ayat 52-54).21
19 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press,
2014), 3.
20Gusti Ayu Wulandari, “Komunitas sebagai Peluang Baru Pemasaran Sosial”, Jurnal ISEI Jember,
Vol. 5, No. 1 (April, 2015), 127.
(20)
12
Ayat tersebut terutama menunjuk kepada ‘ahl ‘al-kitab (Yahudi, Kristen,
Islam) yang seharusnya hidup selaku satu kesatuan yang homogen, tetapi kemudian
terpecah-pecah menjadi golongan-golongan. Istilah ‘ummah dalam bagian ini jelas
sekali menunjuk kepada suatu suatu komunitas agamawi yang dikehendaki oleh Allah, dari orang-orang yang kemudian menjadi terpecah-pecah dan
masing-masing membanggakan dirinya sendiri.22 Untuk memperkuat nilai-nilai Islam maka
harus berpegang teguh dalam satu ikatan ‘ummah. Brand Community sebagai salah
satu model ‘ummah di era kekinian jika tujuannya adalah penguatan nilai-nilai
Islami. Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah tentunya sebagai ‘ummah karena nilai-nilai yang dibangun adalah nilai KeMuhammadiyahan dikontekskan pada segmen lansia.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melihat latar belakang di atas, masalah-masalah yang bisa diambil yakni tentang
mengapa Lansia Qoryah Thayyibah membentuk brand community, bagaimana
proses pembentukan nilai-nilai dan pengelolaannya pada Lansia Qoryah Thoyyibah, dan apa respon stakeholder mengenai proses pembentukan dan
pengelolaan nilai pada Brand Community Lansia Qoryah Thoyyibah. Dengan
mengungkap alasan Pengurus Lansia Qoryah Thayyibah menanamkan nilai-nilai di jamaah maka akan diketahui apa tujuan, alasan rasional dibentuknya Lansia Qoryah Thoyyibah ini. Dengan mengamati realitas di latar belakang, terlihat gambaran awal
22 Djaka Soetapa, Ummah Komunitas Religius, Sosial, dan Politik dalam Al-Qur’an (Yogyakarta:
(21)
13
bahwa nilai-nilai yang dibentuk yakni nilai tentang pentingnya usia senja diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan. Tentunya ada suatu proses yang direncanakan dan dilakukan hingga muncul kondisi seperti itu.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti merumuskan tiga masalah yakni:
1. Bagaimana Brand Community Value yang dikonstruksi pengurus
Paguyuban Lanjut Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak?
2. Bagaimana proses pengelolaan Brand Community Value Paguyuban Lanjut
Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak?
3. Bagaimana implikasi proses pengelolaan Brand Community Value
Paguyuban Lanjut Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak terhadap stakeholder?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. memahami Brand Community Value Paguyuban Lanjut Usia (Lansia)
(22)
14
2. memahami proses pengelolaan Brand Community Value Paguyuban Lanjut
Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak,
3. mengetahui implikasi proses pengelolaan Brand Community Value
Paguyuban Lanjut Usia (Lansia) Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak terhadap stakeholder.
E. Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi gambaran konkrit yang bisa
menginspirasi organisasi dakwah lainnya di Indonesia yang ingin menarik jamaah dengan pemasaran berbasis komunitas. Komunitas tidak hanya ada tapi juga harus dikelola dengan benar agar bisa menjawab masalah yang menjadi latar belakangnya. Setiap komunitas memiliki kharakter yang berbeda maka tidak boleh diperlakukan yang sama. Di dunia dakwah juga akan menemui masalah tersebut, namun sayangnya masih sangat sedikit
kajian yang memperdalam mengenai brand community. Di dalam dunia
akademisi justru lebih banyak ditemui kajian brand community pada
perusahaan bisnis atau sosial umum, misal brand community Harley
Davidson, mobil, klub sepeda, vespa, dan lain-lain.
2. Bagi Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah Cabang Aisyiyah Bulak,
dengan hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan tambahan gambaran strategi pengelolaan nilai ke depan, misal berpijak pada respon-respon stakeholder bisa menjadi hambatan atau peluang agar bisa dikaji strategi yang sesuai.
(23)
15
3. Bagi kalangan akademisi manajemen dakwah, bisa menjadi referensi yang
bisa memperkaya kajian brand community di lapangan dakwah.
F. Penelitian Terdahulu
Tujuan dari penelitian Bentuk-Bentuk Produktivitas Orang Lanjut Usia yaitu mengkaji hal-hal yang dilakukan lansia sehingga mencapai kehidupan yang produktif dan memaparkan alasan-alasan lansia memilih untuk menjalani hidup
yang aktif dan produktif.23 Kegiatan lansia yang produktif yakni melakukan
pekerjaan yg mengaktuskan ilmunya, aktif mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya, dan melakukan yang bisa meningkatkan kesehatan fisik dan mentalnya. Alasan lansia menjalankan kegiatan yang produktif yakni prinsip bahwa orang harus berkembang, bisa membantu sesama, meningkatkan rasa percaya diri, tetap sehat jasmani dan rohani, dll.
Keragaman Identitas dalam Komunitas Konsumen Pengamatan Partisipatif
melalui Fashion Marketing. Penelitian ini menekankan pada memahami adanya
keragaman identitas dalam komunitas konsumen melalui fashion marketing.
Temuan penelitian ini mengungkapkan ada empat ragam identitas komunitas, yaitu
identitas kultur individu (nature), identitas kultur kelompok (future), identitas
struktur temporer (discussion), dan identitas struktur permanen (instruction).24
23 Santi Sulandari, dkk., “Bentuk-Bentuk Produktivitas Orang Lanjut Usia”, Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 11, No. 1 (Mei, 2009), 58-68.
24 Eka Ardianto, “Keragaman Identitas dalam Komunitas Konsumen Pengamatan Partisipatif melalui Fashion Marketing”, Integritas - Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 1, No. 1 (Mei, 2008), 13.
(24)
16
Dalam penelitian Penciptaan Nilai dalam Brand Community menjelaskan
aktivitas Social Networking, Impression Management, Community Engagement,
dan Brand Use saling berhubungan dan mendorong aktivitas lainnya untuk berjalan. Dalam konteks ini, semua aktivitas tersebut akan memfasilitasi penciptaan nilai di
dalam brand community.25 Lapangan penelitian diambil dari komunitas Klub Vespa
Indonesia, Tiger Motor Club Surabaya, Paguyuban Sepeda Kuno Arek Surabaya (PASKAS).
Dari pemaparan penelitian terdahulu, penelitian yang ditemui tentang pembinaan lansia lebih fokus ke aspek kesejahteraannya, bukan di aspek
penanaman nilai Islaminya. Di sisi lain, penelitian brand community di dunia
dakwah Islam juga belum ditemui. Ilmu Brand Community dikembangkan di dunia
bisnis sehingga penelitian yang banyak membahas itu berkutat masalah pembentukan komunitas produk bisnis, misal Harley Davidson, komunitas motor, dll. Dalam dunia dakwah juga perlu adanya manajemen pemasaran yang lebih jitu dalam menangkap pasar, maka kali ini penulis ingin meneliti hal yang baru yakni
membangun nilai dalam brand community di Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah
di Kecamatan Bulak.
Qoryah Thayyibah Aisyiyah juga sudah diangkat menjadi kajian tesis, namun temanya tentang pemberdayaan perempuan di Sidoarjo. Tesis ini berjudul “Aisyiyah dan Ekonomi Kreatif: Usaha Pemberdayaan Perempuan melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten
25 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press,
(25)
17
Sidoarjo”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran Aisyiyah Cabang Tanggulangin untuk mengembangkan kewirausahaan keluarga untuk mewujudkan
ekonomi kreatif desa binaan qoryah thaiyyibah; menganalisis peluang
mengembangkan kewirausahaan keluarga untuk mewujudkan ekonomi kreatif desa
binaan qoryah thaiyyibah; mengkaji hambatan pengembangan kewirausahaan
keluarga untuk mewujudkan ekonomi kreatif desa binaan qoryah thaiyyibah;
menganalisis model pengembangan kewirausahaan keluarga untuk mewujudkan
ekonomi kreatif desa binaan qoryah thaiyyibah. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan dukungan data kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Aisyiyah merupakan Organisasi kemasyarakatan perempuan Muhammadiyah yang bergerak dibidang sosial keagamaan, kiprahnya telah banyak dirasakan masyarakat khususnya kaum perempuan. Salah satunya adalah program pembinaan kewirausahaan pada anggotanya melalui Qoryah Thayyibah yakni
gerakan ekonomi kreatif jamaah dibawah kewenangan Majelis Ekonomi.26
26Prosiding Seminar Nasional Ekonomi dan Bisnis & Call For Paper FEB UMSIDA 2016, 383-393.
(26)
18
BAB II BRAND COMMUNITY DALAM BINGKAI DAKWAH
A. Pengertian Brand Community
Dalam ilmu pemasaran, komunitas secara umum dimaknai sebagai konsumen suatu produk atau merk tertentu yang menjadi kelompok. Menurut Muniz dan O’Guinn, brand community adalah komunitas spesifik, tidak terbatas oleh batasan geografis, berdasarkan struktur hubungan sosial antar anggotanya yang
menyukai merek tertentu.27 Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa brand
community adalah kelompok sosial yang memiliki ikatan solidaritas untuk
mengonsumsi merk tertentu. Lebih lanjut Muniz dan O’Guinn (2001)
mengungkapkan adanya 3 elemen penting yang mendasari komunitas, yaitu:
a. Kesadaran Bersama (Consciousness of Kind)
Consciousness of kind ini mengacu pada hubungan intrinsik dan perasaan kolektif diantara para anggota dan sekaligus merasakan perbedaan dengan mereka yang tidak termasuk anggota komunitas.
Consciousness of kind juga mencakup rasa kepemilikan komunitas dari orang yang mempunyai ketertarikan yang sama. Anggota komunitas cenderung untuk mengidentifikasi dirinya dengan yang lain. Melalui konsumsi suatu merek, anggota komunitas merasa bahwa mereka saling
27Muniz, A.M. Jr. And T.C. O’Guinn, “Brand Community‟, Journal of Consumer Research, Vol.
(27)
19
memahami satu sama lain. Dalam kesadaran bersama ini terdapat dua elemen dasar yaitu Legitimasi atau proses dimana anggota komunitas membedakan antara anggota komunitas dengan yang bukan anggota komunitas, atau memiliki hak yang berbeda. Yang kedua loyalitas merek oposisi yaitu proses sosial yang terlibat selain kesadaran
masyarakat atas suatu jenis produk (Conciousness of kind). Melalui
oposisi dalam kompetisi merek, anggota brand community mendapat
aspek pengalaman yang penting dalam komunitasnya, serta komponen penting pada arti merek tersebut. Ini berfungsi untuk menggambarkan
apa yang bukan merek dan siapakah yang bukan anggota brand
community.
b. Ritual dan Tradisi (Rituals and Tradition )
Ritual dan tradisi juga nyata adanya dalam brand community. Ritual dan
tradisi mewakili proses sosial yang penting dimana arti dari komunitas itu adalah mengembangkan dan menyalurkan dalam komunitas. Beberapa diantaranya berkembang dan dimengerti oleh seluruh anggota komunitas, sementara yang lain lebih diterjemahkan dalam asal usulnya dan diaplikasikan. Ritual dan tradisi ini dipusatkan pada pengalaman dalam menggunakan merek dan berbagi cerita pada seluruh anggota
komunitas. Seluruh brand community bertemu dalam suatu proyek
dimana dalam proyek ini ada beberapa bentuk upacara atau tradisi.
Ritual dan tradisi dalam brand community ini berfungsi untuk
(28)
20
c. Rasa Tanggung Jawab Moral (Moral Responsibility)
Komunitas juga ditandai dengan tanggungjawab moral bersama. Tanggung jawab moral adalah memiliki rasa tanggungjawab dan berkewajiban secara keseluruhan, serta kepada setiap anggota komunitas. Rasa tanggungjawab moral ini adalah hasil kolektif yang dilakukan dan memberikan kontribusi pada rasa kebersamaan dalam kelompok. Tanggungjawab moral tidak perlu terbatas untuk menghukum kekerasan, peduli pada hidup. Sistem moral bisa halus dan
kontekstual. Demikianlah halnya dengan brand community. Sejauh ini
tanggungjawab moral hanya terjadi dalam brand community dengan dua
misi yaitu integrasi dan mempertahankan anggota serta membantu dalam penggunaan merek.
B. Proses Pengelolaan Brand Community Value
Gambar 1
(29)
21
Social Networking
Membangun jejaring sosial merupakan kategori aktivitas yang
menitikberatkan pada menciptakan, mengembangkan, dan
mempertahankan hubungan antar anggota brand community.28
1. Welcoming.
Greeting new members, beckoning them into the fold, and assisting in their brand learning and community socialization.Welcoming occurs generally into the brand community and locally as members welcome one another to each practice. Welcoming can also be negatively valenced, as in discouraging participation in the brand community and/or a specific practice.29Aktivitas penyambutan yakni menyambut anggota baru, memanggil mereka agar masuk dan berpartisipasi dalam
kegiatan brand community, dan membantu mereka dalam mempelajari
merek serta mendampingi mereka bersosialisasi dalam komunitas.30
2. Empathizing.
Lending emotional and/or physical support to other members, including support for brand-related trials (e.g., product failure, customizing) and/or for non-brand-related life issues (e.g., illness,
28Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press,
2014), 203.
29Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 43.
30 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
(30)
22
death, job). Empathizing can be divisive if the emotional support is in regard to intragroup conflict. 31 Berempati merupakan aktivitas yang
terihat dengan jelas di antara anggota brand community di Indonesia,
contohnya Klub Vespa Indonesia yang memberikan pertolongan kepada anggotanya yang mengalami kesulitan spare part (suku cadang)
karena keuzurannya.32
3. Governing.
Articulating the behavioral expectations within the brand community.33 Governing yakni mengkomunikasikan perilaku-perilaku
yang diharapkan di dalam brand community. Misalnya Tiger Motor
Club (TMC) mempersyaratkan pemilik Tiger dapat bergabung bilamana telah mengikuti tour bareng anggota yang lain sepanjang
1.000 km.34
Impression Management
Manajemen impresi merupakan kategori aktivitas yang menitikberatkan pada lingkungan eksternal komunitas dalam menciptkana kesan yang menarik dari sebuah merk, orang yang fanatik terhadap merk, maupun
31 Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 43.
32 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
Press, 2014), 204.
33Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 43.
34Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press,
(31)
23
brand community itu sendiri. Dengan kata lain, aktivitas-aktivitas dalam kategori ini ditujukan untuk membangun kesan yang baik terhadap
keberadaan komunitas dari lingkungan eksternal brand community.35
1. Evangelizing.
Sharing the brand “good news,” inspiring others to use, and preaching from the mountain top. It may involve negative comparisons with other competing brands. Evangelizing can be negative (annoying, off-putting) if extreme.36 Pendakwahan merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan anggota komunitas dalam membagi kabar baik berkaitan dengan merk dan menginspirasi konsumen lain untuk menggunakan. Aktivitas ini dapat berupa memperbandingkan secara
negatif merk yang ada di pasaran dengan merk yang digunakan.37
2. Justifying.
Deploying rationales generally for devoting time and effort to the brand and collectively to outsiders and marginal members in the boundary. May include debate and jokes about obsessive-compulsive brand-directed behavior.38 Pembenaran merupakan rasionalitas secara
umum terhadap kegiatan aktivitas yang berhubungan dengan brand
35 Ibid., 206.
36Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 43-44.
37
Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press, 2014), 206.
38Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 43-44.
(32)
24
community, baik yang berkaitan dengan waktu yang dicurahkan maupun tenaga yang dikerahkan oleh anggota (Schau dkk., 2009 dalam
Badri, 2014).39
Community Engagement
Aktivitas yang dilakukan anggota yang akan memperkuat dan
meningkatkan keterikatan terhadap brand community. Terlepas dari
beragamnya latar belakang anggota maupun perbedaan lainnya antar anggota komunitas, aktivitas-aktivitas yang tergolong dalam kategori ini
akan menjaga keberagaman anggota.40
1. Staking.
Recognizing variance within the brand community membership. Marking intragroup distinction and similarity.41 Aktivitas pertama
dalam meningkatkan keterikatan pada brand community adalah
memberikan tanda (staking) dengan mengakui keberagaman yang ada
di dalam keanggotaan brand community.42 Aktivitas yang dilakukan
anggota yang akan memperkuat dan meningkatkan keterikatan terhadap
brand community. Terlepas dari beragamnya latar belakang anggota
39
Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press, 2014), 206.
40 Ibid., 207.
41Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 44-45.
42 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
(33)
25
maupun perbedaan lainnya antar anggota komunitas, aktivitas-aktivitas yang tergolong dalam kategori ini akan menjaga keberagaman
anggota.43
2. Milestoning.
Milestoning refers to the practice of noting seminal events in brand ownership and consumption. 44 Aktivitas kedua dalam kategori ini
(dalam meningkatkan keterikatan pada brand community) adalah
memperingati kejadian-kejadian penting sebuah komunitas maupun melakukan pencatatan kejadian yang cukup penting dalam kepemilikan
dan konsumsi sebuah merk (milestoning). Salah satu anggota Klub
Vespa Indonesia menceritakan dia jatuh cinta dan menggunakan Vespa dikarenakan dia bosan dengan modifikasi motor Jepang yang sebagian besar menggunakan komponen plastik sebagai fairing. Dengan mengendarai Vespa, dia bisa merawat keotentikan Vespa tahun 1969
yang terbuat dari alumunium sekaligus menikmati perburuan spare
parts orisinil dari seri tersebut.45
3. Badging.
43 Ibid., 207.
44Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 44-45.
45 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
(34)
26
Badging is the practice of translating milestones into symbols.46
Aktivitas ketiga adalah pelambangan (badging) yakni aktivitas anggota
brand community untuk mentransformasikan kejadian-kejadian penting ke dalam simbol-simbol yang menjadi penandanya. Sebagian besar anggota akan senang hati memajang aktivitas-aktivitas yang mereka
lakukan dalam bentuk foto.47
4. Documenting.
Detailing the brand relationship journey in a narrative way. The narrative is often anchored by and peppered with milestones. Documenting includes the Mini birth stories of the car assembly and distribution, customization efforts, grooming practices, and so forth. 48
Aktivitas terakhir adalah pendokumentasian (documenting) dengan
melakukan perincian perjalanan hubungan dengan merk dalam bentuk narasi. Narasi yang dimaksud biasanya mengacavidsou dan dibumbui dengan aktivitas milestoning. Ada beberapa pecinta Harley Davidson dengan bangga menyatakan usaha untuk merestorasi motor yang mereka punya membutuhkan waktu 2 hingga 3 tahun, dan mereka mampu menyebutkan di mana mereka memperoleh komponennya satu
46Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 44-45.
47 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
Press, 2014), 208.
48Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 44-45.
(35)
27
per satu disertai dengan pengorbanan (dalam bentuk uang) untuk
menebusnya.49
Brand Use
Aktivitas kategori penggunaan Merk memfokuskan diri pada upaya-upaya untuk meningkatkan dan/ atau mengembangkan pemakaian merk
selain yang sudah diketahui dan dipraktekkan selama ini.50
1. Grooming.
Caring for the brand (washing your Mini) or systematizing optimal use patterns (clean skin before applying StriVectin). 51 Aktivitas
pertama yang termasuk di dalamnya adalah bersolek (grooming) berupa perhatian terhadap merk dan mempunyai perilaku atau ritual tertentu dalam menggunakan merk yang dicintai. Misalnya yang dilakukan oleh
anggota Klub Vespa Indonesia yang ber-genre original, mereka akan
mendedikasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk mendandani vespanya
agar mempunyai penampakan seperti motor baru.52
49 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
Press, 2014), 208-209.
50Ibid., 209.
51Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 45-46.
52Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University Press,
(36)
28
2. Customizing.
Modifying the brand to suit group-level or individual needs. This includes all efforts to change the factory specs of the product to enhance performance. Includes fan fiction/fan art in the case of intangible products.53 Aktivitas kedua (dalam upaya meningkatkan pemakaian
merk) adalah modifikasi (customizing) merk agar sesuai dengan
identitas yang diusung oleh komunitasnya maupun memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan keunikan diri. Meskipun banyak komunitas merk yang mempunyai emblem atau logo yang terstandar, namun dapat dimaklumi juga bahwasanya masing-masing anggota juga
ingin menampilkan sosok yang berbeda dengan anggota lain.54
3. Commoditizing.
Distancing/ approaching the marketplace. A valenced behavior regarding marketplace. May be directed at other members (e.g., you should sell/should not sell that). May be directed at the firm through explicit link or through presumed monitoring of the site (e.g., you should fix this/do this/change this).55 Perdagangan (commoditizing)
berupa upaya untuk menjauhi atau mendekati pasar. Anggota komunitas tidak mudah untuk sharing pengetahuannya tentang segala
53Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 45-46.
54 Badri Munir S., Brand Community, Konsep dan Evaluasi (Surabaya: Airlangga University
Press, 2014), 209-210.
55Hope Jensen Schau, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73 (September, 2009), 45-46.
(37)
29
aspek iPhone, karena mereka khawatir tingkat eksklusifitasnya akan menurun jika banyak orang yang menggunakannya. Untuk Klub Vespa Indonesia, para anggota saling mengingatkan untuk tidak melepas
scooter mereka kepada pembeli yang tidak mempunyai atau
memperlihatkan passion kepada Vespa.56
C. Dakwah bi al-lisan al-haal
Sebagai umat Islam dianjurkan menjalankan dakwah, karena dengan hal itulah
maka akan mendorong terciptanya masyarakat Islami. Al-Qur’an menyebut
kegiatan dakwah dengan ucapan dan perbuatan yang baik.
ۡ َمَو
ۡ
ۡ
َِإۡ
َ
ك َََلۡ َ ِ ۡ مٗ َقُۡ َس حَأ
ِۡ َّٱ
ۡ
َۡ ِمۡ َِِنِإۡ
َلاَقَوۡامحِ ٰ َصَۡ ِ َعَو
َۡيِ ِ سُ
ٱ
ۡ
٣
ۡ
ۡ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?" (QS. al-Fussilat: 33).57
Dakwah seperti yang diungkapkan dalam ayat tersebut tidak hanya dakwah berdimensi ucapan atau lisan tetapi juga dakwah dengan perbuatan yang baik (uswah) seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.58 Dalam konteks ini,
56 Ibid., 210. 57 al-Qur’an, 41: 33.
(38)
30
dakwah lisan dan perbuatan menjadi satu kesatuan yang bersinergi untuk mencapai tujuan dakwah.
Dakwah bi lisan al-haal mengandung arti “memanggil, menyeru dengan
menggunakan bahasa keadaan” atau “menyeru, mengajak dengan perbuatan nyata.”
Bisa diartikan pula dakwah bi lisan al-haaladalah: “memanggil, menyeru ke jalan
Tuhan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan menggunakan bahasa keadaan
manusia yang didakwahi (mad’u)” atau “memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk
kebahagiaan manusia dunia dan akhirat dengan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia”.59
Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi lisan al-haal lebih
mengarah pada tindakan menggerakkan/ “aksi menggerakkan” mad’u sehingga dakwah ini lebih berorientasi kepada pengembangan masyarakat. Pengembangan pendidikan mesti pula mampu meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang ekonomi, pengembangannya dilakukan peningkatan minat usaha dan etos kerja yang tinggi serta menghidupkan dan mengoptimalkan sumber ekonomi umat. Sementara pengembangan sosial kemasyarakatan dilakukan dalam kerangka merespon problem sosial yang timbul karena dampak modernisasi dan globalisasi, seperti masalah pengangguran, tenaga
kerja, penegakan hukum, HAM, dan pemberdayaan perempuan.60
Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah juga sebagai komunitas yang berupaya
untuk melakukan dakwah bi lisan al-haal di bidang sosial kemasyarakatan, khusus
59 Ibid., 219-220.
(39)
31
pada pemberdayaan lansia. Dakwah dengan ucapan dilakukan dengan memberikan informasi tentang akidah mengenai tata cara sholat, wudhu, berdzikir, bertutur kata yang baik, menjadi ibu yang baik, dan lain-lain. Informasi tentang kesehatan juga diberikan agar memberikan wawasan bagi lansia. Hidup islami sebagai spirit adanya Qoryah Thayyibah tentunya dalam penyampaian materinya juga memuat nilai-nilai Islami. Di dalam kegiatannya, pengurus tidak hanya dakwah dengan ucapan, namun pengurus juga memberikan pemecahan riil untuk menyelesaikan masalah lansia di Sukolilo. Lansia Sukolilo diberikan pengobatan gratis, santunan, makanan bergizi gratis, permainan, dan penambahan skill kerajinan. Selain itu juga diselenggarakan program senam lansia yang itu memberikan manfaat positif bagi kesehatan lansia Sukolilo. Bagi pengurus, Islam yang baik adalah juga memberikan kerahmatan bagi umat sekitarnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ketua Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah, “Prinsip Muhammadiyah yang ditekankan yakni yang lebih mementingkan Masa depan. Visi misinya Progress, ke depan. Jadi
kalau Muhammadiyah itu lebih ke hablumminallah dan hablumminannasnya jalan,
tidak berat sebelah”.61 Dengan demikian Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah
sebagai brand community yang mampu memberikan dakwah baik secara lisan dan
perilaku.
(40)
32
Faktor yg memengaruhi pemilihan dan penggunaan metode dakwah
Agar metode dakwah yang dipilih dan digunakan benar-benar fungsional maka perlu juga diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan dan penggunaan suatu metode yaitu:
1. Tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya,
2. Sasaran dakwah (masyarakat atau individu) dari berbagai segi,
3. Situasi dan kondisi yang beraneka ragam,
4. Media atau fasilitas yang tersedia dengan berbagai macam kualitas dan
kuantitasnya,
5. Kepribadian dan kemampuan da’i.
Dalam pelaksanaan dakwah bi lisan al-haal yang ditujukan untuk
pengembangan masyarakat, kendala yang paling dirasakan adalah masalah dana dan logistik. Selain itu ada juga keterbatasan fasilitas dan kurangnya kemampuan da’i.62
Pendekatan Kebutuhan dalam Dakwah bi lisan al-haal
Seseorang atau suatu organisme yang berbuat/ melakukan sesuatu sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kebutuhan yang ada dalam dirinya atau sesuatu yang
hendak dicapai.63
62 Ibid., 229. 63 Ibid., 235.
(41)
33
Motif timbul karena adanya kebutuhan. Kebutuhan seseorang dapat berbeda dengan orang lain dan kebutuhan di sini diartikan:
a. Suatu kekurangan universal di kalangan umat manusia dari musnah bila
kekurangan itu tidak dipenuhi
b. Suatu kekurangan universal di kalangan umat manusia yang dapat
membantu dan membawa kebahagiaan pada manusia bila kekurangan itu terpenuhi walaupun hal itu tidaklah esensil terhadap kelangsungan hidup manusia
c. Suatu kekurangan yang dapat dipenuhi secara wajar dengan berbagai benda
lainnya apabila benda khusus yang diingini tidak dapat diperoleh, atau
d. Setiap taraf kebutuhan.64
Efektifitas Dakwah bi lisan al-haal
Pedoman dasar atau prinsip penggunaan metode sudah termaktub dalam surat An-Nahl ayat 125.
ُۡع لٱ
ۡ
ِۡبۡ َكِ بَرِۡ يِبَسۡ ٰ
َِإ
َ
ِۡةَ ِ
ۡٱ
َۡۡو
ِۡة َظِع َ
ٱ
ۡ
ۡ ِةَ َسَ
ۡٱ
ۡ
ِۡبۡ ُ
ِدٰ َجَو
ۡ ِت
َلٱ
ۡ
َۡس ح
َ
أۡ َ ِِ
ۡ ُ
ِِۡ يِبَسۡ َعۡ َ َضۡ َ ِبُۡ
َ عَأَۡ ُهۡ َكَبَرَۡنِإ
ۦۡ
ِۡبُۡ
َ عَأَۡ ُهَو
َۡ يِدَت ُ
ٱ
ۡ
٥
ۡ
ۡ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
(42)
34
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. an-Nahl: 125).65
Dijelaskan dalam surat an-Nahl ayat 125 bahwa dakwah dapat dilakukan
melalui: hikmah (kebijaksanaan), mau’idzah hasanah (nasehat-nasehat yang baik)
dan mujadalah (perdebatan dengan cara yang baik).66
Beberapa hal yang termasuk hikmah (kebijaksanaan) dalam berdakwah
meliputi adab berbicara dan mencari titik temu ketika ada perbedaan. Agar pergaulan tetap baik hendaklah selalu berbicara dengan perkataan yang baik, hal yang harus diperhatikan yakni: (1) hendaklah topik pembicaraan berkisar pada hal-hal yang baik dan bermanfaat, (2) menghindarkan diri dari pembicaraan yang jelek dan tidak bermanfaat, (3) tidak membicarakan ‘aib orang lain atau menyebarkan isu-isu yang tidak baik tentang diri seseorang, (4) bila ingin meluruskan suatu kesalahan hendaknya dengan cara yang bijak, tidak menjatuhkan orang lain, dan
lain-lain.67 Dalam hal mencari titik temu dalam dakwah, diperlukan aktivitas
mengajak dengan penuh hikmah dan kearifan. “Mengajak” yang dilakukan penuh hikmah dan kearifan, yang menghindarkan diri dari segala bentuk konflik dan konfrontasi keagamaan. Walaupun dakwah adalah kewajiban bagi umat Islam, tetapi tidak kemudian melahirkan suatu pemaksaan agama terhadap orang yang
65
al-Qur’an, 16: 25.
66 Harjani Efdi, dkk, Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2003), 228. 67 Ibid., 112-113.
(43)
35
berbeda agama. Pelaksanaan dakwah semacam ini merupakan suatu format dakwah
yang paling tepat dan kondusif.68
Dakwah mau’idzah hasanah (nasehat-nasehat yang baik) sangat
disesuaikan dengan konteks manusia yang dijumpainya, baik itu kecerdasannya dan perasaannya. Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah secara garis besar membagi 3 golongan yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula :
1. Ada golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat
berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus dipanggil atau diseru diberi nasihat dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan doa mereka.
2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir
secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi, mereka ini diseru/ diberi nasihat dengan cara: “Mauidzatun hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan
tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu, tidak
(44)
36
sanggup mendalam benar. Mereka ini diseru/ dinasihati dengan cara “Mujadalah billati hiya Ahsan” yakni dengan cara bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik. Kesemuanya disimpulkan oleh Syekh Muhammad
Abduh dalam kalimat.69
Uswah dalam Dakwah bi lisan al-haal
Melihat proses kejiwaan manusia maka masyarakat sebagai kumpulan individu sudah pasti akan terkena pengaruh dari keteladanan dan taklid baik berpengaruh positif maupun negatif. Karena itu, Islam sangat menaruh perhatian terhadap pemeliharaan masyarakatnya yaitu perintah untuk selalu meneladani
Rasulullah SAW atau orang berbuat kebajikan.70
D. Brand Community dalam Bingkai Dakwah
Brand Community yang berkembang selama ini berkaitan dengan konteks
organisasi profit, maka perlu dijelaskan bagaimana brand community dalam
perspekstif dakwah. Organisasi dakwah adalah organisasi profit tentu akan sedikit banyak berbeda kharakternya dengan organisasi profit yang kemudian
berimplikasi pada perbedaan pada pengelolaan brand community value-nya.
69Ibid., 258-259.
(45)
37
Faktor yg memengaruhi pemilihan dan penggunaan metode dakwah
Aspek pertama yang perlu dianalisa dalam penyelenggaraan Lansia Qoryah Thayyibah yakni kejelasan tujuan. Tujuan bisa berbentuk kondisi benda
berwujud atau berupa apa nilai/ value yang hendak diperjuangan dalam
dakwahnya. Terkadang dalam dakwah, ada tujuan mendapatkan berapa jama’ah
atau berapa dana dalam setiap proyeknya. Tujuan yang berbentuk nilai-pun ada, nilai ini tentunya adalah nilai yang dianggap baik oleh komunitasnya. Sebagai
contoh, salah satu nilai organisasi ICW (Indonesian Corruption Watch) yakni
keadilan sosial dan kesetaraan jender, setiap laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi. Nilai bisa banyak ragamnya, bisa bermuatan sosial, kesehatan, agama,
dan lain-lain. Dalam teori brand community, nilai yang dijadikan dasar/ tujuan
untuk pengelolaan komunitas adalah brand community value. Brand community
value yang akan banyak mengilhami semua metode, program yang digunakan
dalam tahap pengelolaan brand community value, misal ada program
pengobatan gratis karena ada nilai kesehatan lansia harus dijaga.
Aspek kedua adalah pemahaman tentang kharakter lansia yang dijadikan
asumsi dalam tahap pengelolaan nilai dalam brand community, mulai dari tahap
social networking, impression management, community engagement, dan brand
use. Pemetaannya bisa terkait dengan kebutuhan, keyakinannya, dan lain-lain.
Jika salah memeta tentunya akan salah dalam pelaksanaanya, misal dalam tahap
community engagement, lansia diberikan materi perencanaan membangun keluarga Islami (memilih pasangan dan membina rumah tangga sakinah bagi
(46)
38
pasangan muda), hal ini bukanlah kebutuhan lansia, melainkan kebutuhan remaja. Banyak kasus di lapangan, kegiatan yang tidak diminati anggota maka sedikit demi sedikit anggotanya keluar, misal Karang Taruna yang tidak jelas kegiatannya, hanya ada acara saat HUT RI, tidak memberikan program konkrit bagi masa depan remaja atau permasalahan riil remaja.
Aspek kedua yakni memeta kondisi yang beraneka ragam di sana dimaknai situasi di luar internal komunitas, bisa menyangkut pesaing atau lingkungan organisasi. Dengan pemahaman yang utuh maka bisa dianalisa mana yang
hambatan dan ancaman bagi terlaksananya tahapan dalam pengelolaan brand
community value. Jika ternyata ada pesaing atau kondisi masyarakat memiliki
presepsi negatif, maka pemecahannya adalah manajemen impressi (impression
management) dimana memfokuskan diri pada pendakwahan dan membuat
pembenaran pada komunitas. Kondisi eksternal juga bisa dipetakan untuk semakin menguatkan pemenuhan penyelenggaraan kegiatan, misal butuh bantuan dana, legalitas, dan lain-lain.
Aspek ketiga dan keempat menyangkut dana, infrastruktur, dan kemampuan pengurusnya. Komunitas Lansia Qoryah Thayyibah juga membutuhkan dana dan pengurus yang memiliki kemampuan spesifik. Setiap tahapan dalam
pengelolaan brand community value pasti ada campur tangan pengurus. Contoh
salah satu programnya adalah pengobatan gratis, program ini tentu membutuhkan tenaga-tenaga ahli di bidang kesehatan dan dana yang cukup agar mampu menyediakan alat dan obat yang sesuai dengan masalah lansia. Dalam
(47)
39
menjalankan kegiatannya tentu memetakan kondisi eksternal, misalkan pemerintahan, organisasi lain, dan lain-lain.
Efektifitas Dakwah bi lisan al-haal
Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah tentu juga mengarahkan agar dakwahnya berjalan efektif. Upaya yang perlu dilakukan tentu dengan metode
hikmah (kebijaksanaan), mau’idzah hasanah (nasehat-nasehat yang baik), dan
mujadalah (perdebatan dengan cara yang baik). Para lansia memiliki ciri khas tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan obyek dakwah anak atau dewasa. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman rasa yang unik karena kondisi fisik dan psikis yang sudah berbeda sehingga nantinya akan membutuhkan
metode hikmah dan mau’idzah hasanah tertentu. Jikapun nantinya ada yang
memiliki pandangan yang berbeda maka tentu harus menggunakan mujadalah.
Kegagalan dalam menyampaikan gagasan maka akan membuat mereka menjadi menyesal dan tidak akan bertahan mengikuti kegiatan komunitas.
Metode-metode ini sebenarnya adalah metode tekhnis yang masuk di
dalam setiap tahapan pengelolaan brand community value. Metode teknis akan
sangat membantu memperlancar tahap social networking dan impression
management misalnya. Tahap social networking mensyaratkan adanya
welcoming dimana pengurus mengenalkan produk komunitas kepada calon anggota, tentunya dalam menyampaikan harus memakami metode bil-hikmah
(48)
40
isinya mengarahkan anggota untuk mengikuti aturan-aturan komunitas, tentu
membutuhkan salah satunya metode mau’idzah hasanah agar
nasihat-nasihatnya diterima tanpa menyinggung lansia. Dalam tahap impression
management akan banyak ditemui persinggungan dengan kondisi eksternal,
tentu butuh pula metode itu, khususnya mujadalah agar dalam mencapai titik
temu tidak memunculkan konflik dan kebencian.
Uswah dalam Dakwah bi lisan al-haal
Lansia Qoryah Thayyibah tentu tidak akan bertahan sekitar hampir empat tahun jika tidak ada leader yang mencetuskan ide ttg komunitas, menggerakkan anggota-anggotanya, dan memecahkan masalah-masalah seputar keorganisasian. Menghadapi anggota yang memiliki keinginan yang mungkin berbeda, kharakter kepribadian berbeda, tujuan yang berbeda maka dibutuhkan orang yang menyatukan gerak dan mengelola keorganisasian.
Uswah ini sangat bermanfaat bagi pelaksanaan tahapan pengelolaan
brand community value, mulai dari tahap social networking, impression
management, community engagement, dan brand use. Uswah juga merupakan
metode teknis yang berada di setiap tahapan pengelolaan brand community
value. Uswah bisa dilakukan oleh pengurus atau anggota yang secara sengaja
dilakukan agar anggota lainnya mengikuti sikap dari sang uswah. Salah satu
contohnya adalah dalam empathizing, salah satu tahapan social networking,
(49)
41
lain dan berusaha menolong orang lain. Dengan sikap tersebut, diharapkan semua anggotanya juga melakukan itu.
(50)
41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
karena peneliti ingin memperdalam proses terbentuknya nilai dalam brand
community Paguyuban Lansia. Peneliti ingin menganalisa lebih dalam apa
tujuan, bagaimana, dan hasil dari proses pengelolaan brand community. Seperti
yang dikatakan Denzin dan Lincoln bahwa penelitian kualitatif lebih
menyiratkan penekanan pada proses dan makna.71
B. Lokasi Penelitian
Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah sebagai komunitas yang dibentuk oleh Cabang Aisyiyah Bulak sebagai lembaga Otonom Muhamadiyah yang bertempat di RT 4, Kecamatan Bulak. Komunitas ini memiliki kekhasan karena di sana jamaah lansianya disadarkan bahwa menjalani hidup di usia senja harus dipenuhi dengan kegiatan yang produktif, menyenangkan, dan belajar Islam. Dengan mengisi hari-hari tua dengan kegiatan akan lebih menguatkan psikologis jamaah untuk mencari amalan agama.
71 Norman K Denzin dan Yvonna S Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Yogyakarta:
(51)
42
C. Sumber Data Penelitian
Menurut Lofland dalam Moleong sumber data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama
dicatat melalui catatan tertulis, perekaman dan pengambilan foto atau film.72
Adapun sumber data pada penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Adalah data yang diperoleh secara langsung dilapangan yang bersumber dari hasil observasi dan wawancara.
2. Data Sekunder
Adalah data pendukung bagi data primer yang diperoleh dari bahan-bahan literatur seperti buku-buku, dokumen-dokumen serta laporan-laporan dan kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan analisis manajemen komplain dalam pelayanan kesehatan.
D. Informan Penelitian
Pemilihan informan dalam penelitian ini mengacu kepada 2 prinsip,
yaitu: prinsip kesesuaian (appropriateness) dimana informan memiliki
pengetahuan dan terlibat langsung dalam manajemen komplain, dan prinsip
kecukupan (adequacy) dimana jumlah informan ditentukan oleh kecukupan
informasi yang diperoleh peneliti. Oleh karena itu, peneliti melakukan
(52)
43
wawancara mendalam kepada tiga orang pengurus dan tiga orang anggota Posyandu Lansia Qoryah Thayyibah, berikut profilnya:
1. Ibu Muliana selaku Wakil Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Dewan
Tabligh Aisyiyah Wilayah. Ibu Muliana dulunya adalah Pimpinan Ranting Aisyiyah Kecamatan Bulak sehingga ikut andil dalam proses pembentukan dan pengelolaannya di masa awal dan pertengahan.
2. Ibu Nurul Kholifah selaku Pimpinan Ranting Aisyiyah yang sudah
menjabat selama 7 bulan. Beliau sudah banyak berperan dalam pengelolaan Lansia Qoryah semenjak menggantikan Ibu Muliana.
3. Ibu Tri Eko Sulistyowati selaku Ketua Paguyuban Lansia Qoryah
Thayyibah sebagai pengurus harian yang menjalankan manajemen taktis lapangan sehingga mengetahui secara jelas bagaimana proses awal mula berdirinya Paguyuban ini dan pengelolaannya hingga sekarang.
4. Ibu Marse adalah anggota jama’ah Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah selama kurang lebih 2 tahun. Dia senantiasa aktif mengikuti kegiatan Paguyuban ini.
5. Ibu Sumarlik, dipanggil Ibu Lik, adalah anggota jama’ah Paguyuban
Lansia Qoryah Thayyibah selama kurang lebih 3 tahun. Dia senantiasa aktif mengikuti kegiatan Paguyuban ini.
6. Ibu Zubaidah adalah anggota jama’ah Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah selama kurang lebih 2 tahun. Dia senantiasa aktif mengikuti kegiatan Paguyuban ini.
(53)
44
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan memperoleh
data yang memenuhi standar data yang telah ditetapkan.73
Berdasarkan pada jenis dan sumber data yang diperlukan, adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap obyek penelitian. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam suatu penelitian.
2. Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang
harus di teliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal – hal dari
responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan data ini
mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau
setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.
3. Dokumentasi.
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Dalam teknik ini pengumpulan data
(54)
45
dilakukan dengan mencari referensi berupa catatan, dokumentasi dan literatur lainnya yang dianggap berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti termasuk laporan arsip-arsip mengenai kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang berhubungan dengan masalah penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.74
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan Huberman dalam Sugiyono yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Ada tiga aktifitas dalam analisis
data yaitu: data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification.75
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan di lapangan. Dalam reduksi data peneliti menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
74 Ibid., 333.
(1)
130
mengganjal karena keluhannya sudah disampaikan semuanya pada
(2)
130
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
a. Brand Community Value yang dikonstruksi adalah nilai Muhammadiyah sebagai dasar nilai bahwa harusnya lansia hidup berkualitas secara fisik
dan rohaninya (lansia terpenuhi kebutuhan kesehatan, ekonomi, akidah,
dan psikologisnya).
b. Pengelolaan Brand Community Value
i. Tahapan yang dilakukan dalam pengelolaan brand community value
adalah social networking (welcoming, empathizing, dan governing),
impression management (evangelizing dan justifying), community
engagement (documenting, badging, milestoing, dan staking), dan
brand use (customizing). Perbedaan penelitian Hope Jensen Schau, dkk dengan penelitian ini yakni pada proses brand use, dalam
penelitian ini tidak ada realitas grooming dan commoditizing yang
diutarakan oleh Hope Jensen dkk. karena ada perbedaan konteks
latar belakang penelitiannya.
ii. Di dalam tahap social networking memuat metode dakwah hikmah, mau’idzah hasanah, dan uswah. Tahap impression management juga menggunakan metode dakwah hikmah.
(3)
131
c. Implikasi dari adanya Brand Community Value dan pengelolaan Brand
Community Value menurut Pengurus Cabang dan Ranting serta
anggotanya sejauh ini masih positif.
2. SARAN
a. Sebaiknya Brand Community Lansia Qoryah Thayyibah tidak
memaksakan menggarap pasar loyal organisasi lain, tetapi lebih
memfokuskan pada program internal dan promosi pada orang yang awam
saja. Dalam berdakwah termuat nilai-nilai toleransi sehingga ketika
mendapati fakta ada kelompok lain yang sudah memegang kuat
keyakinannya maka sikap yang terbaik adalah menghargainya.
b. Brand Community Lansia Qoryah Thayyibah harus melakukan
pengembangan produk ke pasar lansia laki karena pasa lansia
laki-laki juga membutuhkan penanganan kesehatan dan aktualisasi. Yang
selama ini mengikuti acara Paguyuban Lansia Qoryah Thayyibah adalah
lansia ibu-ibu padahal tidak dapat dipungkiri bahwa lansia laki-laki juga
mengalami masalah-masalah yang butuh dipecahkan. Hal ini berdasar
asumsi bahwa setiap lansia baik perempuan atau laki-laki juga
mengalami kerentanan fisik. Selain itu, semua lansia Sukolilo berada
dalam wilayah geografis dan kondisi sosiologis yang sama sehingga
dimungkinkan akan mengalami masalah-masalah yang hampir sama
(4)
132
bekasan perasaan positif, mengembangkan kreativitas lansia, semakin
memberikan kepuasan bagi lansia sehingga semakin memperkuat
loyalitas lansia. Kegiatan milestoing yang bisa dilakukan misalnya,
perayaan HUT Qoryah Thayyibah, atau lainnya. Kegiatan documenting
misalnya dengan membuat cerita-cerita bil-hikmah mengenai kisah
lansia yang patut menjadi suru tauladan, dan lain-lain.
d. Etis berbicara mengenai kejelekan orang lain yang disarankan Ibu Nurul
harus segera terealisasikan agar Brand Community Lansia Qoryah
Thayyibah benar-benar melaksanakan akidah sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam. Sebagai ibu-ibu yang sedang mengalami masalah, memang
sudah sewajarnya mencurahkan isi hatinya ke teman tetapi harus dijaga
batasan-batasan etisnya, lebih baik membicarakan hal itu ke orang
(5)
133
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999.
A.M. Jr, Muniz, dkk, “Brand Community‟, Journal of Consumer Research, Vol.
27, No. 4, 2001.
Ardianto, Eka. “Keragaman Identitas dalam Komunitas Konsumen Pengamatan Partisipatif melalui Fashion Marketing”, Integritas - Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 1, No. 1, Mei, 2008.
Ayu Wulandari, Gusti, “Komunitas sebagai Peluang Baru Pemasaran Sosial”, Jurnal ISEI Jember, Vol. 5, No. 1, April, 2015.
Harjani Efdi, dkk. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2003.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 1980.
Jensen Schau, Hope, dkk, “How Brand Community Practices Create Value”, Journal of Marketing, Vol. 73, September, 2009.
K. Denzin, Norman dan Lincoln, Yvonna S. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Karmansyah, Hwan Setiawan dkk., “Belajar Service Learning melalui Program Cross Border Service Learning Summer Institute di Hongkong dan Tiongkok”, Journal of Service Learning, Vol. 1, No. 1, Desember, 2013. Kartajaya, Hermawan. Brand Operation. Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2010. Kartajaya, Hermawan. New Wave Marketing. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009.
M. Makhluf, Hasanain. Renungan Tentang Umur Manusia. Bandung: Mizan, 1992.
(6)
134
Munir S, Badri., Brand Community, Konsep dan Evaluasi. Surabaya: Airlangga University Press, 2014.
Nihayah, Zahrotun dkk., Psikologi Perkembangan. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006.
Papalia, Diane E. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana, 2008.
Soetapa, Djaka. Ummah Komunitas Religius, Sosial, dan Politik dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991.
Sulandari, Santi, dkk., “Bentuk-Bentuk Produktivitas Orang Lanjut Usia”, Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 11, No. 1, Mei, 2009. Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta,
2014.
Surya Mustari, Andhie dkk., STATISTIK PENDUDUK LANJUT USIA 2014 Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015.
Redaksi, “Aisyiyah Mencetak Sejarah”, dalam
http://www.muhammadiyah.or.id/content-199-det-aisyiyah.html (2 Juni 2017).
Litbangpda kebumen, “Pertemuan Triwulanan Pimpinan Daerah 'Aisyiyah
Kebumen”, dalam