KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN AMPEL SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

FilsafatPolitik Islam

Oleh: Nadiroh E84212087

PRODI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ii

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN AMPEL

SURABAYA Oleh :Nadiroh ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya. Dalam penelitian ini difokuskan untuk menjawab dua masalah utama, yakni bagaimana kehidupan sosial gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya, dan bagiamana kebijakan pemerintah kota Surabaya dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang menggunakan analisis kualitatif. Tipe penelitian kualitatif deskriptif mencoba menggambarkan fenomena yang terjadi. Dalam hal ini peneliti mencoba memberikan gambaran mengenai kehidupan sosial gelandangan dan pengemis yang ada di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya, dan kebijakan pemerintah kota Surabaya dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

Hasil dari penelitian yang dilakukan yaitu, Kehidupan sosisal gelandangan dan pengemis yang berada di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya, tergolong dalam kelasifikasi masalah sosial manifes. Karena di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya menggelandang dan mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, tidak berlaku lagi. Para gelandangan dan pengemis sudah merasa keenakan, tanpa rasa malu dan tanpa beban moral didepan masyarakat. meski sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil menggelandang dan mengemis tetapi mereka tetap saja melakukan aktivitas tersebut. Upaya pemerintah kota Surabaya untuk menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi Sunan Ampel terbilang sudah efektif. Terlihat dari adanya razia yang dilakukan setiap satu bulan satu kali, rehabilitasi yang di tempatkan di LIPPONSOS Keputih Surabaya, dan pelatihan yang dilakukan tenaga ahli di tempat tersebut. Tapi kurangnya kesadaran dari gelandangan dan pengemis telah menghambat proses implementasi kebijakan yang efektif dan efisien.


(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...………... i

HALAMAN ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ...………… iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ...…… v

HALAMANMOTTO …... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...……… vi

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Penegasan Judul ... 9

1.6.Ruang lingkup penelitian... 11

BAB 11 KERANGKA KONSEPTUAL 2.1 Pengertian Kebijakan Publik... 12

2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan... 17

2.1.1 Pengertian Implementasi... 18

2.1.2 Perspektif Teoritik... 20

2.1.3 Implementasi Yang Efektif... 22

2.2 Pengertian Gelandangan dan Pengemis... 23

2.2.1 Pengertian Gelandangan Dan Pengemis... 23

2.2.2 Ciri-ciri Gelandangan Dan Pengemis... 26


(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xi

2.2.4 Kriteria Gelandangan Dan Pengemis... 30

2.2.5 Penyebab Gelandangan Dan pengemis... 31

2.3 PenelitianTerdahulu…………... 34

BAB IIIMETODE PENELITIAN 1.1. Lokasi penelitian... 37

1.2. Pendekatan dan JenisPenelitian... 37

1.3. Objek dan Subjek Penelitian... 39

1.4. Sumber Data ... 40

1.5. Teknik Pengumpulan Data ... 41

1.6. Teknik Pemilihan Informan... 43

1.7. Metode Analisis Data ...……….. 44

1.8. Teknik Keabsahan Data ...…………. 46

1.9. Sistematika Pembahasan...…………. 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data………... 50

4.1.1. Gambaran Umum kotaSurabaya ... 50

4.1.2.Gamabaran Umum Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya...……….. 51

4.1.3 Administrasi Umum Kelurahan Ampel... 52

4.1.4 AdministrasiKependudukanKelurahanAmpel... 53

4.1.5.Kehidupan Sosial Gelandangan dan Pengemis di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya ... 53

4.1.6 Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Gelandangan dan Pengemis di KawasanWisata Religi Sunan Ampel Surabaya……... 65


(9)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xii

4.3.1.Kehidupan Sosial Gelandangan dan Pengemis di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya ... 80 4.3.2.Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Gelandangan Dan

Pengemis Di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel

Surabaya ……... 94

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan... 113 5.2. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu ...36

Tabel 4.2 Batas WilayahKelurahanAmpel………... 53

Tabel 4.2 KondisiGeografisKelurahanAmpel ………... 54

Tabel 4.3 JumlahPendudukKelurahanAmpel………... 54

Tabel 4.4 JumlahGelandangan………...56

Tabel 4.5 JumlahPengemis………... 57

Tabel 4.6 JumlahPengemisDisabilitas... 58

Tabel 4.7 Jumlah Gelandangan Hasil Observasi Lapangan…...60

Tabel 4.8 Jumlah Pengemis Hasil Observasi Lapangan………...62

Tabel 4.9 Jumlah Pengemis Disabilitas Hasil Observasi Lapangan...………....65


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan otonomi daerah Indonesia sejak tahun 1945-2004 berlangsung secara terseok-seok dan tidak memiliki wajah yang jelas. Hal ini menjadi jelas, kalau kita menelusuri perkembangan dan pertumbuhan otonomi daerah serta proses desentralisasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah sejak UU Nomor 1 tahun 1945 hingga UU Nomor 32 Tahun 2004. Pelaksanaan otonomi daerah ternyata tidak mudah walau UUD 1945 lewat amandemen pasal 18 pada tahun 2000 telah membuka horizon baru bagi pelaksanaan pemerintahan daerah. Penyakit sering mengubah satu undang-undang dalam jarak waktu yang singkat dan ikut mempengaruhi pencapaian hasil maksimal dari satu kebijakan. Hal yang sama dialami UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan Daerah lewat perubahan pertama UU Nomor 8 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2008.1

Proses dan realita pelaksanaan Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 tahun 1999 kemudian disempurnakan, dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan tanda-tanda khusus.

1

B.N. Marbun, otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), 1.


(12)

Terindentifikasi bahwa proses pelaksanaan otonomi daerah merupakan aliran sungai yang terus mengalir dan berproses.

Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah yang digulir oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penetapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan terbagi antara pemerintah pusat disatu pihak dan pemerintah daerah dilain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspon dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal. Harapan tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.2

Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan dalam menentukan nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap

2

B.N. Marbun, otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hal. 27


(13)

tidak mengelak terhadap tanggung jawab sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatuhan dalam pemerintahan.

Pemerintah kota Surabaya dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa dihadapkan pada permasalahan gelandangan dan pengemis yang belum teratasi dengan baik sampai saat ini. Pemerintah kota Surabaya telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi angka gelandangan dan pengemis. Namun ironisnya jumlah gelandangan dan pengemis sering mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan di kota-kota besar, jumlah gelandangan dan pengemis biasanya bertambah ketika hari-hari besar, sehingga usaha pemerintah tidak akan pernah ada habisnya untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis khususnya di perkotaan.

Fakta membuktikan bahwa gelandangan, dan pengemis adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan, khusunya di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, dan pengemis merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik serta pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan.3 Masalah gelandangan dan pengemis juga merupakan masalah klasik dalam

3Baharsjah, Justika S. 1999. “

Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen Sosial RI. Hal. 128


(14)

urbanisasi. Oleh karena itu, jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan bisa diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar.

Latar belakang gelandangan dan pengemis sendiri bermacam-macam. Ada yang akibat rumahnya tergusur, sehingga mereka menggunakan gerobak untuk berpindah-pindah tempat dan mencari sumbangan atau makanan, ada yang tinggal disamping rel kreta karena tidak punya lahan untuk tinggal, dan ada pula yang meninggalkan kampungnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota, tapi tidak melengkapi dirinya dengan kemampuan yang dibutuhkan sehingga akhirnya menjadikan pengemis sebagai profesi dan hidup menggelandang. Selain itu faktor malas adalah faktor yang sangat mempengaruhi mereka menjadikan gelandangan dan pengemis, karena mereka malas untuk bekerja keras dan mencari pekerjaan yang layak sehingga mereka memilih jalan pintas yaitu mengemis di jalanan. Bahakan ada pula gelandangan dan pengemis yang disebabkan oleh masalah yang ada dikeluarga mereka, misalnya mereka mendapat suatu tekanan dari keluarga.

Di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya gelandangan dan pengemis masih banyak dijumpai, karena kawasan ini merupakan


(15)

tempat strategis yang memudahkan bagi gelandangan dan pengemis untuk meminta-minta. Dimana di kawasan ini terdapat aktivitas perdagangan serta banyaknya peziarah (wisatawan) yang berkunjung ke makam sunan ampel. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan, yaitu disebabkan oleh tiga faktor yang Pertama kurang tegasnya oknum yang melakukan pengawasan dan pengendalian terkait maraknya gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel. Yang Kedua adanya peluang dari kondisi tersebut yang disebabkan oleh adanya orang yang memberi terhadap pengemis. Dan yang Ketiga pola pikir gelandangan dan pengemis tidak produktif yang hanya memikirkan penghasilan tinggi tanpa harus bersusah payah untuk bekerja.

Hal demikian ini tidak sesuai dengan konsep islam yang menganjurkan sedekah dan mewajibkan zakat. Dalam hadis nabi tersuat sebagai berikut ini:

س َ أ س ء ع ع م سأ ع ك م ع ثَ ح مَ س ع ََ َ ص ََ

َس ع ََ َ ص ََ س قف ع َ ف ء ع َ ع إ س أ م م

ِ ً خ َ أ ت خأ س أ ََ س قف ت س قف ً ش حأ م خأ َ أ ح

َنف أسم ي م ك م َمأف أس ع ك َ إ مَ س ع ََ َ ص ََ

َ ع قف ََ ق ء ش تأ َ ً ش ً حأ أسأ َ سف َ مأ

خأ ََإ أسم ي م ت Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari [Zaid bin Aslam] dari [Atha bin Yasar] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim sesuatu kepada Umar bin Khattab, lalu Umar mengembalikannya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya: "Kenapa engkau


(16)

mengembalikannya?" Umar menjawab, "Wahai Rasulullah, bukankah anda telah mengabarkan kepada kami bahwa kebaikan seseorang adalah tidak mengambil sesuatu dari orang lain?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maksud hal itu adalah jika dia meminta. Jika bukan dengan meminta minta, maka itu adalah rizki yang Allah berikan kepadamu." Umar bin Khattab berkata; "Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan meminta sesuatu kepada seorangpun, dan tidaklah seseorang memberiku sesuatu yang tidak aku minta kecuali aku akan mengambilnya".4

Sehubungan dengan ini Nabi mengcam keras tindakan meminta minta apalagi merasa nyaman dengan kehidupan yang bebas menjadi gelandangan dan pengemis. Hal ini dinyatakan nabi SAW:

ع ََ َ ص ََ س َ أ أ ع ج عِ ع أ ع ك م ع ثَ ح أ م خ ع تح ف ح مك حأ خأ ِ سف َ ق مَ س تأ

ع م أ عأ أس ف ضف م ََ عأ ًًج

“Telah menceritakan kepadaku Malik dari [Abu Az Zinad]

dari [Al A'raj] dari [Abu Hurairah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sekiranya salah seorang dari kalian mengambil tali miliknya, kemudian ia mencari kayu bakar dan memanggul di atas pundaknya, maka itu lebih baik daripada mendatangi seorang laki-laki yang diberi keluasan rizki, lalu ia meminta-minta kepadanya; baik dia diberi atau ditolak".5

Rasul SAW menyatakan bahwa dari pada datang pada seseorang untuk meminta-minta lebih baik dia mengambil kayu dan membakar punggungnya. Ini adalah pernyataan yang senada dengan haramnya meminta-minta karena Nabi SAW memberikan gambaran dengan membakar punggung bagi seseorang yang meminta-minta. Punggung

4

Mursal. Bersambung dalam Shahihain dari Umar. Bukhari 93/17 dan Muslim 12/37

5


(17)

sebagai miniatur (ukuran) akan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan seseorang baik bagi dirinya pribadi maupun keluarga. Kinaya (sindiran) ini menunjukan pentingnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan materi walaupun hal yang demikian tidak selalu mendapatkan hasil secara maksimal, tapi bukan berarti lalu membenarkan sikap apatis (pesimis) dan berdiam diri dengan menikmati kebebasan sebagai gelandangan atau pengemis, apalagi harus meninggalkan keluarganya.

Islam memberikan tatanan baik sebagai pribadi maupun keluarga dengan adanya hak dan kewajiban. Diri pribadi maupun keluarga merupakan amanah yang wajib dipenuhi kebutuhannya baik secara bersama-sama maupun kepala keluarga yang paling wajib bertanggung jawab. Hal demikian ini menunjukan bahwa islam mengarahkan pentingnya berusaha dan menanggung kebutuhan pribadi dan keluargamya Adanya gelandangan dan pengemis menjadi permasalahan krusial yang harus ditangani sampai ke akar-akarnya. Sebab jika permasalahan ditangani dipermukaannya saja, permasalahan tersebut akan terus muncul bahkan dapat menimbulkan permasalahan lain yang lebih kompleks seperti munculnya kriminalitas, premanisasi, eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual, dan penyimpangan prilaku.

Sehubungan dengan latar belakang diatas maka peneliti dapat merumuskan dalam rumusan masalah berikut ini.


(18)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kehidupan sosial gelandangan dan pengemis di kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya?

1.3Tujuan Penelitian

Melihat pada latar belakang dan perumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis kehidupan sosial gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

2. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel surabaya. Selain itu untuk mengetahui


(19)

faktor yang menghambat pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel surabaya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat yang dapat di petik dari penelitian ini yaitu untuk evaluasi terhadap implementasi kebijakan dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel surabaya. Serta rekomendasi untuk pemerintah agar lebih tegas dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel surabaya.

1.5Penegasan Judul

Kebijakan Pemerintah :Kebijakan (policy) seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan yang dibuat oleh pemerintah pada suatu Negara atau daerah.

Menangani : Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1) memukuli (menghajar dan sebagainya): ia suka menangani anaknya; (2) mengerjakan


(20)

(menggarap) sendiri: ia menangani segala pekerjaan rumah.

Gelandangan : Adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat umum. Mereka terperangkap, karena mereka tidak mempunyai tempat untuk pindah, sedangkan yang lainnya mengalami kerisis, sehingga mereka terpaksa hidup dijalanan. Pengemis : Adalah orang-orang yang mendapatkan

penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Pengemis merupakan salah satu bentuk kesenjangan sosial yang paling marak saat ini.

Kawasan Wisata Religi

Sunan Ampel Surabaya : Merupakan pertemuan berbagai etnis, yang didominasi oleh etnis keturunan Arab. Kawasan ini juga telah ditetapkan sebagai


(21)

cagar budaya oleh pemerintah kota Surabaya. Terletak di bagian utara kota Surabaya, daerah ini juga dikenal dengan istilah kampung arab. Komunitas arab telah menghuni kawasan ini sejak berabad-abad silam, yaitu ketika para musafir yang berasal dari Hadramaut datang ke pulau jawa. Kawasan inilah yang menjadi saksi awal mula perkembangan islam di Nusantara.

Kawasan ini merupakan tempat

berkumpulnya peradapan budaya, pusat perekonomian, dan masyarakat multikultur.

1.6Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada lingkup kawasan ampel, meliputi jl. Panggung dan jl. Sasak. Untuk wawancara informannya, saya membatasi dalam lingkup masayarakat, yang bertempat tinggal dikawasan ampel tersebut, baik yang berada di jl. Panggung maupun di jl. Sasak. Dan para gelandangan atau pengemis yang berada di kawasan tersebut. Sehingga dengan lingkup yang terbatas akan memudahkan dalam menyimpulkan penelitian tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN AMPEL SURABAYA.


(22)

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

2.1Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan memiliki beragam pengertian. Istilah kebijakan (policy) sering kali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancanga-rancangan besar. Perserikatan bangsa-bangsa sendiri memeberi makna kebijakan berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoma bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana tertentu.1

Kebijakan pada intinya adalah sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini boleh jadi amat sederhana atau komplek, bersifat umum atau khusu, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau rinci, kualitatif atau kuantitatif, public atau privat. Sejalan dengan makna kebijakan yang dikemukakan oleh United Nation tersebut diatas, pengertian kebijakan

adalah “a proposed course of action of person, group, or government withim anak given environment providing abstacles and opportunities which the policy was proposed to ultilize and avercome in an effort to reach an goal or relizean objective or proposed” (… serangkaian tindakan

yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan

1

Solichin Abdul Wahab, Analisi Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1997) hal. 127


(23)

kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu).2

Pada pengertian lain dikemukakan, bahwa kebijakan itu adalah “A purposive course of action followed by action or set actors in dealing with a problem or métier of concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai

tujuan tertentu yang di ikut dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).

Pendapat terakhir tentang kebijakan adalah “A policy… consist of

web of dicisions and action than allocate values” (suatu kebijakan terdiri

atas serangkaian keputusan-keputusan dan tindakan untuk mengalokasikan nilai-nilai).3

Selain ketiga definisi atau pengertian yang dikemukakan diatas, sesungguhnya masih banyak lagi definisi yang lain, namun dari sekian banyak itu tampaknya tidak terdapat adanya perbedaan pandangan secara tajam dalam mengartikan suatu kebijakan. Dari ketiga pendapat mengenai rumusan arti kebijakan, pada intinya setiap rumusan mengandung beberapa elemen yaitu : 1) adanya serangkaian tindakan; 2) dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang; 3) adanya pemecahan masalah; dan 4) adanya tujuan tertentu. Bila keempat elemen tersebut dipadukan maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang berisi keputusan-keputusan yang diikuti dan dilakukan oleh

2

Irfan M. islmay, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 89

3

Solichin Abdul Wahab, Analisi Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1997) hal. 115


(24)

seseorang atau sekelompok orang guna memecahkan suatu masalah untuk mencapai tujuan tertentu.

Meskipun istilah itu dapat dilakukan secara umum, namun pada kenyataannya lebih sering dan secara luas digunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku Negara pada umumnya, yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan Negara (public policy). Pengertian kebijakan Negara banyak ahli yang mendefinisikannya sebagaimana halnya pada pengertian kebijakan itu sendiri. berikut ini hanya dapat dikemukakan beberapa diantaranta, bahwa

kebijakan Negara sebagai “is whatever government choose to do or not to do” (apappun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan).

Lebih lanjut dikatakan, bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesutau maka harus ada tujuannya (obyektifnya). Dan kebijakan Negara itu harus meliputyi semua tindakan pemerintah.Dan bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan Negara. Hal ini disebabkan

karena „sesuatu yang tidak dilakukan’ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan „sesuatuu yang dilakukan

pemerintah’.4

4

Irfan M. islmay, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 90


(25)

Pendapat yang mirip dengan yang dikemukakan oleh Dye,

dijelaskan bahwa kebijakan adalah “is what government say and do or not

do, It is the goals or purposes of government programs” (adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan untuk tidak dilakukan oeleh pemerintah. Kebijakan Negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program

pemerintah…). Kemudian, pendapat lain mengatakan bahwa, “public policies are those developed by government bodies and officals

(kebijakan Negara adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau pejabat-pejabat pemerintah). Dan pendapat yang terakhir

mengemukakan bahwa kebijakan Negara itu, yaitu “A set of interrelated decisions taken bay al political actor or group of actor concerning the selection of goals and the means of achieving thme whitin a specified situation where these decisions should, in principlr, be whitin thethe power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling

berkaitan, yang diambil oleh seorang actor politik atau sekelompok actor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan dari para actor tersebut).5

Dengan pengertian kebijakan tersebut diatas bagaimanapun rumusannya, pada hakekatnya bahwa kebijakan Negara mengarah kepada kepentingan publik (public interest), dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada. Seseorang atau sekelompok orang aktor politik (administrator

5

Solichin Abdul Wahab, Analisi Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1997) hal. 120


(26)

publik) harus senantiasa memasukkan pikiran-pikiran publik dalam wacana politiknya, dan bukan hanya pikirannya atau kemauannya semata-mata sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian, kebijakan Negara dapat disimpulkan yaitu serangkaian tindakan yang dilakukan ataupun tidak dilakukan pemerintah baik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (publik).

Dari beberapa pengertian kebijakan Negara, ada beberapa elemen penting tentang kebijakan Negara (public policy),6

yaitu :

1. Bahwa kebijakan Negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

2. Bahwa kebijakan Negara itu tidak cukup hanya dinyatakan dengan pernyataan saja, akan tetapi harus di implementasikan dalam bentuk yang nyata.

3. Bahwa kebijakan Negara baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

Bahwa kebijakan Negara itu harus senantiasa di tujukan bagi kepentingan seluruh anggota mayarakat.

6

Irfan M. islmay, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 94


(27)

2.2Pengertian Implementasi Kebijakan 2.2.1 Pengertian Implementasi

Implementasi kebijakan adalah proses pelaksanaan keptusan kebijakan dibuat oleh lembaga pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan tersebut. Proses pelayanan kebijakan dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan telah ditetapkan, terbentuknya program yang pelaksanaan, dana telah dialokasiakan untuk mencapai tujuan tersebut. Ada 4 (empat) aspek penting dalam implementasi kebijakan yaitu : siapa yang dilibatkan dalam implementasi, hakekat proses administrasi, kepatuhan atas suatu kebijakan, efek atau dampak implementasi7

Implementasi kebijakan dalam pengertian yang luas merupakan alat administrasi hukum dimana sebagai actor, orgaisasi, prosedur, dan teknik bkerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guan meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi dari sisi lain merupakan fenomena yang kompleks, mungkin dapat dipahami sebagai proses keluaran (out put) maupun sebagai hasil. Selain itu, proses implementasi juga dapat dipahami sebagai “those actions by public or private individuals (or groups) thatare derected at the achievenment of objectives set forth in prior policy decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu pejabat-pejabat/atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya

7

James E. Anderson, Public Policy Making, (New York. NJ: Holt Reinhartwinston 1997) hal. 36


(28)

tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). Implementasi kebijakan (policy implementation) merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan.

Implementasi bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, termassuk masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada perbuatan kebijakan. Kebijakan-kabijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan.

Fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkikan tujua-tujuan atau sasaran kebijakan Negara diwujudkan sebagai suatu autcome (hasil). Sayangnya, dalam hasanah pengetahuan yang kini dikenal dengan sebutan ilmu kebijakan publik, harus diakui bahwa hanya baru pada dasawarsa terakhir ini saja para ilmuan sosial, khususnya para ahli ilmu politik menaruh perhatian yang besar terhadap masalah proses pelaksanaan kebijakan atau menerimanya sebagai bagian integral dari studi proses perumusan kebijakan.8

Proses untuk melaksakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Karena itu, keliru apabila menganggap proses pelaksanaan kebijakan dengan sendirinya akan berlangsung secara mulus tanpa

8

Irfan M. islmay, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 98


(29)

hambatan. Harus dipahami bahwa proses kebijakan merupakan proses dinamis, banyak faktor yang mempengaruhinya. Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan memperoleh legitimasi dari lembaga legislatif, telah memungkinkan birokrasi untuk bertindak.

Pelaksanaan kebijakan di rumuskan secara pendek to implement

(untuk pelaksanaan), berarti to provide, the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini diikuti, maka pelaksanaan kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan, biasanya dalam bentuk undang-undang peraturan pemerintah, peraturan daerah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perlikau badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melaikan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan social yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan ( spillover-negative effects).


(30)

Untuk mengefektifkan kebijakan yang ditetapkan maka diperlukan adanya sifat implementasi kebijakan.9

Sifat kebijakan dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :

1. Bersifat Self Executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu Negara terhadap kedaulatan Negara lain.

2. Bersifat Non Self Executing, bahwa suatu kebijakan public perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai.

2.2.2 Perspektif Teoretik

Kerangka kerja teoritik berangkat dari kebijakan itu sendiri dimana tujuan-tujuan dan sasaran ditetapkan. Disini proses implementasi bermula. Proses implementasi akan berbeda tergantung pada sifat kebijakan yang dilaksanakan. Macam keputusan yang berbeda akan menunjukkan karakteristik, struktur dan hubungan antara factor-faktor yang mempengaruhi pelaksaan kebijakan sehingga proses implementassi akan mengalami perbedaan. Kebijakan dapat digolongkan menurut dua karakteristik yang berbeda, yakni : jumlah perubahan yang terjadi dan sejauh mana consensus menyangkut tujuan antara pemeran serta dalam

9

Irfan M. islmay, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 102


(31)

proses implementasi berlangsung. unsur perubahan merupakan karakteristik yang paling penting setidaknya dalam dua hal :

1. Implementasi akan dipengaruhi oleh sejau mana kebijakan menyimpang dai kebijakan-kebijakan sebelumnya untuk hal ini, perubaha-perubaha incremental lebih cenderung menimbulkan tanggapan positif dari pada perubaha-perubahan drastis (rasional). Seperti telah dikemukakan sebelumnya perubahan incremental yang didasarkan pada pembuatan keputusan secara incremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidak sempurnaan social yang nyata sekarang ini dari pada mempromosikan tujuan social dimasa depan. Hal ini sangat berbeda dengan perubaha yang didasarkan pada keputusan rasioanlyang lebih berorientasi pada perubahan besar dan mendasar. Akibatnya, peluang terjadi konflik maupun ketidak sepakatan antar pelaku pembuat kebijakan akan sangat besar.

Proses implementasi akan dipengaruhi oleh jumlah perubaha organisasi yang diperlukan. Implementasi yang efektif akan sangat mungkin terjadi jika lembaga pelaksana tidak diharuskan melakukan reorganisasi secara drastis. Kegagalan program-program social banyak berasal dari meningkatnya tuntutan-tuntutan yang dibuat terhdap struktur-struktur dan prosedur-prosedur administratif yang ada.


(32)

2.2.3 Implementasi yang Efektif

Implementasi yang efektif memerlukan 6 (enam) kondisi,10

yaitu : 1. Tujuan-tujuan jelas dan konsisten, sehingga tujuan dapat

menyajikan standar evaluasi dan sumber-sumber yang legal. 2. Teori hubungan sebab-akibat yang memadai, sehingga dapat

memastikan bahwa kebijakan tersebut memiliki suatu teori akurat tentang bagaimana membawakan suatu perubahan. 3. Struktur implementasi yang disusun secara legal sehingga dapat

mempertinggi pemenuhan dari mereka yang bertugas dalam mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan kelompok-kelompok yang merupakan target kebijakan.

4. Para pelaku implementasi yang sangat ahli mengaplikasikannya sendiri untuk menggunakan kekuasaannya agar tujuan-tujuan kebijakan dapat terealisasikan.

5. Dukungan kelompo yang berkepentingan dan pihak yang berkuasa dilegislatif dan eksekutif.

Perubahan dalam kondisi sosial ekonomi yang tidak mengurangi dukungan kelompok dan pihak yang berkuasa atau tidak berdampak pada mekanisme hubungan yang mendukung implementasi kebijakan.

10

Wyne Parsons. Public policy: An Intriduction to the Theory and Prctice of Policy Analysis, (Queen Mary Westifield Collage University, London: 1997) hal. 198


(33)

2.3Pengertian Gelandangan Dan Pengemis 2.3.1 Pengertian Gelandangan Dan Pengemis

Menurut Departemen Sosial R.I, “Gelandangan” adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.11

Menurut PP No. 31 Tahun 1980, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.12

Ali, dkk,. menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip pendapat Wirosardjono maka Ali, dkk., juga menyatakan bahwa gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat

11

Depertemen sosial RI 1992

12


(34)

tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.

Menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyarakatnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.13

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap14. Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba mengadu nasib mencari peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington dan Weinberg menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.15

13

Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor, 1993) hal. 95

14

Ibid, hal. 179

15

Earl Rubington dan Martin S. Weinberg The Study Of Social Problem. (New York: Oxford University Press, 2003) hal. 220


(35)

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah daerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti di bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper took, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.

Pengertian gelandangan tersebut memberikan penjelasan bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat dari pada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.

Dengan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum serta mengganggu Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Sedangkan Pengemis adalah


(36)

orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain serta mengganggu ketertiban umum.

2.3.2 Ciri-Ciri Gelandangan Dan Pengemis

Ciri-ciri dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu16 : 1. Tidak memiliki tempat tinggal.

Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal. Mereka biasa mengembara di tempat umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di sepanjang sungai, emper toko dan lain-lain.

2. Hidup di bawah garis kemiskinan.

Para gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin untuk kehidupan mereka ke depan bahkan untuk sehari-hari mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya.

3. Hidup dengan penuh ketidakpastian.

Para gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya. Kondisi ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan lain lain.

16


(37)

4. Memakai baju yang compang camping.

Gepeng biasanya tidak pernah menggunakan baju yang rapi atau berdasi melainkan baju yang kumal dan dekil.

5. Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari puntungrokok, penarik grobak.

6. Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami, kumpul kebo atau komersialisasi istri dan lain-lainnya.

7. Meminta-minta ditempat umum. Seperti terminal bus, stasiun kereta api, di rumah-rumah atau ditoko-toko.

8. Meminta-minta dengan cara berpura-pura atau sedikit memaksa, disertai dengan tutur kata yang manis dan ibah.

Namun secara spesifik, Karakteristik Gepeng dapat dibagi menjadi  Karakteristik Gelandangan :

1. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.

2. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.

3. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.


(38)

 Karakteristik Pengemis :

1. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.

2. Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.

3. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan ; berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.

4. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya.

Menurut Soetjipto Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang melekat pada kelompok masyarakat yang dikatagorikan gelandangan

adalah:”mempunyai lingkungan pergaulan, norma dan aturan tersendiri

yang berbeda dengan lapisan masyarakat yang lainnya, tidak memliki tempat tinggal, pekerjaan dan pendapatan yang layak dan wajar menurut yang berlaku memiliki sub kultur khas yang mengikat masyarakat tersebut.17

17


(39)

2.3.3 Klasifikasi Gelandangan Dan Pengemis

Masalah gelandangan dan pengemis masuk dalam beberapa klasifikasi masalah-masalah sosial,18 diantaranya adalah :

1. Masalah Sosial Patologis

Masalah sosial patologis mengacu kepada penyakit sosial masyarakat, sehingga masalah sosial tersebut sulit sekali dipecahkan, karena seiring dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.

2. Masalah Sosial kontemporer-modern

Masalah sosial kontemporer-modern menunjuk pada masalah sosial yang baru muncul pada masa sekarang atau masyarakat industri.

3. Masalah Sosial manifes

Masalah sosial manifest merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Kepincangan tersebut disebabkan karena tidak sesuainya dengan norma dan nilai masyarakat, sehingga anggota masyarakat melakukan penyimpangan (deviant behavior). Masyarakat pada umumnya tidak menyukai tindakan-tindakan menyimpang, sehingga berupaya untuk menghadapi dan mengatasi masalah sosial tersebut. Jadi masalah sosial manifest merupakan masalah sosial yang sudah ada dan terjadi.

18


(40)

2.3.4 Kriteria Gelandangan Dan Pengemis

Kriteria gelandangan dan pengemis19 meliputi :

Pertama, gelandangan dan pengemis yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.

Kedua, menggelandang dan mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.

Ketiga,gelandangan dan pengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen.

Keempat, gelandangan dan pengemis yang miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya

19

http://rizkyameliah.blogspot.co.id/2012/11/artikel-pengemis-di-jadikan-mata.html


(41)

relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.

Kelima, gelandangan dan pengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis (“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi

“profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.

2.3.5 Penyebab Gelandangan dan Pengemis

Permasalahan sosial gelandangan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan seperti kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagaianya. Masalah ini merupakan salah satu Masalah Sosial Strategis, karena dapat menyebabkan beberapa masalah lainnya dan juga bersifat penyakit di masyarakat.

Pokok penyebab permasalahan dari masalah Gelandangan dan Pengemis ini yang dapat diuraikan sebagai berikut20 :

20


(42)

1. Urbanisasi dan pembangunan wilayah yang timpang

Hal ini adalah sebuah hasil negatif dari pembangunan yang sangat pesat di daerah perkotaan. Masyarakat desa pada umumnya tertarik dengan kehidupan modern kota yang sangat memukau tanpa melihat sisi jeleknya. Mereka biasanya termotivasi dengan pekerjaan dengan gaji yang tinggi di kota tanpa melihat potensi yang terbatas dalam dirinya. berdasarkan kemajuan tersebut yang menyebabkan masyarakat desa menuju kota-kota besar. Mereka yang menjadi kalah saing dengan penduduk kota yang bisa bersaing dengan kemajuan tersebut, putus asa, malu pulang ke kampong halaman, akhirnya gelandangan dan pengemis di kota-kota besar lainnya.

Dalam pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan sering dijadikan objek atau konsekuensi dari pembangunan, padahal sebelum melakukan perencanaan dan pembanguanan ada hal-hal yang harus dilalui untuk menghasilkan perencanaan dan pembanguan yang efektif dan berguna. Konsekuensi pembangunan itu memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan dan menganggap masyarakat akan beradaptasi sendiri terhadap perubahan-perubahan setelah pembangunan. Padahal hal tersebut sangat fatal akibatnya terhadap kaum bawah.

2. Kemiskinan

Kemiskinan juga merupakan faktor penting dalam penyebab bertambah banyaknya Gelandangan dan Pengemis. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, bahwa Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Mencapai 29,89 Juta Orang. Walaupun dari tahun ketahun berkurang,


(43)

namun tetap saja angka ini sangat berpotensi angka menjadi angka Gelandangan dan Pengemis di Indonesia.

3. Kebijakan pemerintah

Kebijakan-kebijakan pemerintah juga merupakan factor-faktor penyebab dari masalah Gelandangan dan Pengemis ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga terkadang dianggap tidak pro dengan rakyat. Berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis ada banyak peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan tentang ini, namun lebih berorientasi pada larangan-larangan mengemis ditempat umum, tapi bukan mengenai upaya-upaya dalam menangani masalah Gelandangan dan Pengemis ini. Pemerintah hanya menganggap masalah sosial bersumber dari individunya. Konsekuensi ini dapat membebaskan pemerintah dari "tuduhan" sebagai sumber masalah. Karena faktor penyebabnya adalah individual, maka upaya pemecahan masalah akan lebih banyak bersifat kuratif.

4. Masalah Pendidikan.

Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

5. Masalah keterampilan kerja.

Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.


(44)

7. Rendahnya harga diri.

Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimiliki rasa malu untuk minta-minta.

8. Sikap pasrah pada nasib.

Mareka menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.

9. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang.

Faktor diatas adalah embrio awal yang melahirkan gepeng, namun dalam perkembangannya faktor lahirnya gepeng selain faktor di atas, masalah gepeng juga berhubungan dengan budaya yang lahir dari komunitas yang lama terbentuk. Atau merupakan masalah yang datang dari akibat keturunan yang tidak dapat berkembang dalam menangani masalah-masalah utama dalam hidupnya. Bisa diartikan juga bahwa Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) telah berkembang menjadi sebuah gaya hidup (life style) bagi orang-orang miskin yang tidak berpendidikan, tidak memiliki life skill, dan orang-orang yang, orang-orang broken home, orang cacat dan pengangguran. Cara instan tersebut merupakan bentuk adaptasi masyarakat miskin terhadap konsekuensi pembangunan yang melahirkan masalah sosial.

2.4Penelitian Terdahulu

Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk


(45)

mempelajari penelitian-penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Antara lain:

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Peneliti/Tahun Topik Hasil

1. Nitha Chitrasari/ 2012

Kinerja Dinas

Sosial Kota

Cilegon dalam

Penanganan

Gelandangan dan Pengemis di Kota Cilegon

Penelitian ini mengemukakan bahwa

penanganan gelandangan dan

pengemis (gepeng) di Cilegon masih

sangat minim, kinerja suatu

organisasibisa dilihat dari

produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Umumnya kegiatan menggelandang dan mengemis ini dilakukan oleh ibu-ibu yang disertai

dengan anak-anaknya. Mereka

umunya relatif muda dan termasuk dalam tenaga kerja yang produktif. Dalam skripsi ini, peneliti bisa membagi kesimpulan dari hasil penelitian sesuai dengan indikator-indikator yang telah peneliti gunakan. 2. Teddy

Wijaya/ 2015

Peranan

Pemerintah Kota Semarang Dalam Menangani

Gelandangan dan Pengemis

(GEPENG).

Penelitian ini mengemukakan bahwa

penanganan gelandangan dan

pengemis (gepeng) di Cilegon masih

sangat minim, kinerja suatu

organisasibisa dilihat dari

produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Umumnya kegiatan menggelandang dan mengemis ini dilakukan oleh ibu-ibu yang disertai

dengan anak-anaknya. Mereka

umunya relatif muda dan termasuk dalam tenaga kerja yang produktif. Dalam skripsi ini, peneliti bisa membagi kesimpulan dari hasil penelitian sesuai dengan indikator-indikator yang telah peneliti gunakan.


(46)

3. Norika Priyantoro/ 2015

Penanganan

Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Siyasah (Studi pasal 24 Perda DIY Tahun 2014).

Dalam penelitian ini pokok

permasalahannya adalah bagaimana pandangan siyasah dusturiyah terhdap Perda No. 1 Tahun 2014 tentang

penanganan gelandangan dan

pengemis, adapun kesimpulan dalam penelitian ini mengemukakan bahwa

penanganan gelandangan dan

pengemis yang dilakukan Pemerintah DIY dengan mengeluarkan Perda No. 1 Tahun 2014 sudah sesuai dengan prinsip siyasah dustutiyah dalam implementasinya. Dimana prinsip-prinsip tersebut terbukti dengan adanya program Desaku Menanti yang berada di Gunung Kidul


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi Penelitian

Lokasi yang peneliti ambil untuk melakukan penelitian ini adalah sesuai dengan tema, yaitu kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya yang terletak di bagian utara kota Surabaya, Jalan-jalan yang melingkupi kawasan ampel meliputi jl. Panggung dan jl. Sasak. Alasan peneliti memilih tempat penelitian tersebut karena tempat tersebut mudah dijangkau oleh peneliti, selain itu kawasan ini juga merupakan tempat berkumpulnya peradapan budaya, pusat perekonomian, dan masyarakat multikultur. Aktivitas bisnis yang masih berjalan hingga sekarang dan banyaknya para wisatawan (peziarah) memudahkan bagi gelandangan dan pengemis untuk meminta-minta.

3.2Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskripsi kualitatif karena penelitian ingin memperoleh gambaran yang bersifat umum dan komprehensif serta mendalam mengenai evaluasi pelaksanaan Peraturan daerah kota Surabaya nomor 2 tahun 2014 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, terhadap penanganan gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel.


(48)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya (natural setting) dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif sebagai suatu konsep keseluruhan untuk mengungkapkan rahasia sesuatu, dilakukan dengan menghimpun data dalam keadaan sewajarnya, menggunakan cara kerja yang sistematik terarah dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya.

Dimana secara terminologi pendekatan kualitatif bermakna tentang penelitian yang holistik dan sistematis yang tidak bertumpu pada pengukuran, adapun pencarian data dan alat pengumpulan data adalah peneliti sendiri. tujuan penelitina kualitatif adalah untuk memahami fenomena tentang sesuatu yang dialami objek penelitian secara holistic, dan deskripsi dengan bentuk kata-kata dan bahasa. Pada konteks khusus yang natural dengan menggunakan metode ilmiah.1

Berdasarkan uraian-uraian diatas penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menyaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada obyeknya.

Jenis penelitian disini yaitu studi kasus dimana peneliti mempelajari secara khusus fenomena sosial mengenai kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan

1

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: RosdaKarya, 2007), hal. 6


(49)

wisata religi sunan ampel Surabaya. Dari kasus ini peneliti mempelajari secara mendalam dan dalam kurun waktu yang cukup lama.2

Adapun secara mendalam yaitu, mengungkap fenomena yang terjadi dari beberapa aspek. Tekanan utama dalam studi kasus adalah mengapa fenomena social adanya gelandangan dan pengemis ini masih ada di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya, dan bagaimana penanganan dari pemerintah kota Surabaya yang masih belum menuntaskan permasalahan ini, serta pengaruhnya terhadap masyarakat di kawasan tersebut.

3.3Objek dan Subjek Penelitian

Di dalam penelitian ini yang dijadikan obyek penelitian oleh peneliti adalah:

1. Kebijakan pemerintah kota Surabaya terhadap penanganan gelandangan dan pengemis.

2. Kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

Di dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian oleh peneliti adalah:

1. Pemangku kebijakan pemerintahan kota Surabaya 2. Civil society atau masyarakat

3. Gelandangan dan pengemis

2


(50)

3.4Sumber Data

1. Primer

Data primer merupakan data atau informasi asli yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya. Data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari subjek peneliti dengan menggunakan alat pengukur atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.3 Dalam hal ini adalah informan yaitu masyarakat yang tinggal di lingkungan wisata religi sunan ampel yang mengetahui betul gelandangan dan pengemis serta para wisatawan (peziarah). Selanjutnya yaitu gelandangan atau pengemis sebagai pelengkap data terkait penanganan oleh pemerintah dan yang terakhir yaitu pemerintah daerah kota Surabaya yang menggali data terkait pananganan gelandangan dan pengemis.

2. Sekunder

Data sekunder ini merupakan pendukung atau sebagai data pelengkap dari data primer. Yang menjadi data sekunder berupa benda-benda tertulis seperti buku, internet, majalah, dokumen peraturan, dan catatan harian lainnya.4

3

Syaifuddin, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 91

4

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta. Cet.XII, 2000) hal. 115


(51)

3.5Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi digunakan untuk mengumpulkan beberapa informasi atau data yang berhubungan dengan ruang (tempat), pelaku, kegiatan, obyek perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu dan perasaan. Salah satu peranan pokok dalam melakukan observasi adalah untuk menemukan interaksi yang kompleks dengan latar belakan social yang alami.5

Dalam penelitian ini observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah melihat langsusng kegiatan keseharian masing-masing obyek yang diteliti dengan berbaur langsung dalam kegiatan tersebut. Observasi ini berlangsung tidak terlalu sulit dikarenakan peneliti sudah cukup kenal dan familiar dengan keseharian individu-individu yang dijadikan obyek penelitian.

Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan pasif. Observasi tersebut menrut Denzin diartikan sebagai suatu strategi lapangan yang menyangkut banyak hal yakni mengkombinasikan secara simultan analisi dokumen, wawancara responden dan infoman, observasi pasrtisipan langsung secara intropeksi.6 Sederhananya observasi pasrtisiapn yaitu peneliti ikut berbaur dalam keseharian para gelandangan dan pengemis dikawasan wisata religi sunan ampel.

5

Iskandar, Metode Penelitian KualitatifI, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet.XII, 2000), hal. 122

6

Rulam Ahmadi, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), hal 164


(52)

Dari hasil observasi peneliti mencari data awal terkait fenomena social munculnya gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel, selain itu peneliti juga mencoba memahami bagaimana penanganan gelandangan dan pengemis oleh pemerintah melalui observasi pasrtisipan yang melibatkan beberapan informan yang memeliki keterampilan-ketermpilan tertentu.

2. Wawancara

Teknik wawancara ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi melalui Tanya jawab dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak terstruktur kepada pihak-pihak yang berkompeten mengenai kasus ini seperti masyarakat di sekitar sunan ampel. Teknik ini memberikan informasi secara langsung dari narasumber yang berkompeten dalam pembahasan laporan ini.

Dalam metode wawancara peneliti menggunakan metode wawancara mendalam (in depth interview) yaitu, proses memeperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dan Tanya jawab sambil bertatap muka antara pewanwancara dengan informan atau orang yang diwawancarai. Dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang relatif lama.7

7


(53)

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode penunjang dari metode observasi dan wawancara. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis, cara mengumpulkan data dengan cara mencatat data-data yang sudah ada.8 Dokumen biasanya berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya menumental dari seseorang. Sehingga dengan dokumen kita dapat mengumpulkan data dengan melihat beberapa dokumentasi sebagai penunjang dalam pengumpulan sebuah data penelitian dan sebagai tambahan informasi bukti yang otentik.

Adapun dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data dari hasil wawancara serta penelitian yang dilakukan dikawasan wisata religi sunan ampel bersama responden. Selain itu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada di Dinas Sosial Kota Surabaya terkait dengan data-data kependudukan.

3.6Teknik Pemilihan Informan

Dalam penellitian ini, peneliti menggunakan teknik pemilihan informan dengan model purposive sampling dimana purposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dalam bahasa sederhana purposive sampling itu dapat dikatakan sebagai secara sengaja mengambil sampel tertentu (jika orang maka berarti orang-orang tertentu) sesuai persyaratan (sifat-sifat, karakteristik, ciri, kriteria) sampel (jangan lupa yang mencerminkan

8


(54)

populasinya).9

Di dalam menentukan informan berdasarkan stratifikasi sebagai berikut:

1. Pemangku kebijakan: dinas sosial kota Surabaya

2. Civil society: bapak H. Nur Sochi selaku orang yang disegani kawasan sunan ampel.

3. Gelandangan dan Pengemis.

3.7Metode Analisis Data

Analisa data merupakan langkah kritis dalam sebuah penelitian, berdasarkan proses pemilihan informan dan pengumpulan data akan diperoleh data kasar, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan data tersebut agar dapat ditarik suatu hasil penelitian, hal ini membutuhkan metode. Metode analisi data dalam penelitian kualitatif biasanya dilakukan sejak awal penelitian (pengumpulan data) hingga akhir penelitian dan ini yang selama beberapa bulan dilakukan oleh peneliti dengan tujuan mendapatkan data yang dibutuhkan.

Setelah memperoleh data-data yang dibutuhkan melalui teknik pengumpulan data yang tidak peneliti terangkan, peneliti kemudian menganalisi data tersebut. Adapun tahapan yang digunakan untuk menganalisa data tersebut adalah pertama, reduksi data maksudnya data yang sudah didapat dari proses observasi, wawancara dan dokumentasi diseleksi guna mendapatkan data yang relevan yang sesuai dengan fokus

9

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010) hal. 3


(55)

masalah yang diteliti. Tahap kedua dalam menganalisa data adalah peneliti menyajikan data atau display data ke dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis guna menemukan jawaban dan menjelaskan tentang fenomena social gelandangan da pengemis d kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya pada tahun 2015. Dan tahap ketiga adalah proses verifikasi atau menyimpulkan data, dalam proses penyimpulan data ini masih bersifat sementara masih dapat diuji kembali dengan data yang ada dilapangan yaitu dengan cara merefleksikan kembali data yang sudah didapat, peneliti bertukar ppikiran dengan teman sejawat dan trianggulasi.10

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model analisis data deskriptif. Model analisi deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena sosial yang ada dimasyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupa menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, model, karakteristik, sifat, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi maupun fenomena tertentu.11

Alasan peneliti menggunakan model analisis deskriptif karena, dalam penelitian ini peneliti mengamati secara fenomena yang terjadi atau dengan kata lain peneliti melakukan case study (studi kasus) terkait fenomena sosial gelandangan dan pengemis dikawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

10

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian KUalitatif Edisi Revisi, (Bandung: RosdaKarya, 2007), hal. 65

11


(56)

3.8Teknik Keabsahan Data

Demi terjaminnya keakuratan data, maka peneliti akan melakukan keabsahan data. Data yang salah akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang salah, demikian pula sebaliknya, data yang sah akan menghasilkan kesimpulan hasil penelitian yang benar. Alwasilah menjelaskan bahwa

“tantangan bagi segala jenis penelitian pada akhirnya adalah terwujudnya

produksi ilmu pengetahuan yang valid, sahih, benar dan beretika.

Kebenaran atau validitas harus dirasakan merupakan tuntutan yang

terdiri dari tiga hal menurut Alwasilah “yakni: 1) deskriptif, 2) interpretasi, dan 3) teori dalam penelitian kualitatif”. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaaan data didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Menurut Bachri ada 4 (empat),12 yaitu:

1. Derajat kepercayaan (credibility). Pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. Fungsinya untuk melaksanakan inkuiri sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai dan mempertunujukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

2. Keteralihan (transferability)

3. Kebergantungan (dependability). Merupakan substitusi istilah realibilitas dalam penelitian non kualitatif, yaitu bila ditiadakan

12

Bachtiar S. Bahcri, Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif (Universitas Negeri Surabaya: 2010), hal. 54-55


(57)

dua atau bebrapa kali pengulangan dalam kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama. Sedangkan dalam penelitian kualitatif sangat sulit mencari kondisi yang benar-benar sama. Selain itu karena faktor manusia sebagai instrumen, faktor kelelahan dan kejenuhan akan berpengaruh.

4. Kepastian (confirmability). Pada penelitian kualitatif kriteria kepastian atau objektivitas hendaknya harus menekankan pada datanya bukan pada orang atau banyak orang.

Selain itu, dalam keabsahan data ini juga dilakukan proses triangulasi. Menurut William Wiersma “Triangulation is qualitative cross-validation. It assesses to a sufficiency of the data according to the convergence of multiple data collection procedurs” diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu, sehingga triangulasi dapat dikelomppokkan dalam 3 jenis yakni: triangulasi sumber, triangulasi pengumpulan data dan triangulasi waktu.13

Dari tiga jenis triangulasi tersebut, penulis memilih keabsahan data dengan pendekatan triangulasi sumber untuk mengungkap dan menganalisis masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian. Dengan demikian analisis data menggunakan metode triangulation observers. Selanjutnya pendekatan triangulasi dilakukan menurut:

13

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010) hal. 327


(58)

1. Sudut pandang pejabat Dinas Sosial Kota Surabaya, sebagai pihak pengawas dan pemangku kebijakan dalam menangani gelandangan dan pengemis.

2. Sudut pandang masyarakat (Civil society), sebagai pihak yang memetik manfaat dengan adanya penanganan gelandangan dan pengemis.

3. Sudut pandang gelandangan dan pengemis.

3.9Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan urutan sekaligus kerangka berfikir dalam penulisan skripsi ini, maka disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I menjelaskan tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang maslah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konseptual, sistematika pembahasan.

Bab II menjelaskan tentang kajian teoritik, bab ini menjelaskan tentang teori dan kepustakaan dari judul penelitian, langkah yang diambil dalam penyelesaian bab ini adalah mencocokan beberapa literatur yang ada, baik dari buku, skripsi maupun jurnal yang sesuai dengan judul penelitian. Bab III menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan peneliti untuk mencocokkan data atau informasi yang telah di dapat. Sehingga mempermudah peneliti dalam menyusun skripsi dengan persetujuan dosen pembimbing. Diantaranya yaitu menentukan pendekatan dan jenis


(59)

penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik validasi data, teknik analsis data.

Bab IV menjelaskan tentang hasil penelitian, dimana hasil penelitian ini adalah yang terpenting dalam penulisan skripsi. Yang berisi tentang gambaran umum obyek penelitian, penyajian data, dan pembahasan hasil penelitian (analisis data).

Bab V menjelaskan tentang penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran dan rekomendasi.


(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1Penyajian data

4.1.1 Gambaran Umum Kota Surabaya

Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur. Kota ini terletak 796 km sebelah timur Jakarta, atau 415 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.

Surabaya memiliki luas sekitar 333,063 km² dengan penduduknya berjumlah 2.909.257 jiwa (2015). Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah kawasan metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya dilayani oleh sebuah bandar udara, yakni Bandar Udara Internasional Juanda, serta dua pelabuhan, yakni Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Ujung.1

Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan Arek-Arek

1


(61)

Suroboyo (Pemuda-Pemuda Surabaya) untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.

4.1.2 Gambaran Umum Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya

Ampel, adalah sebuah kawasan di bagian utara Kota Surabaya di mana mayoritas penduduknya merupakan etnis Arab yang berasal dari wilayah yaman Hadramaut. Di kawasan ini kental suasana Timur Tengah, dan pasarnya menjual barang-barang dan makanan khas Timur Tengah. Pusat kawasan Ampel adalah Masjid Ampel, yang didirikan pada abad ke-15. Kawasan Ampel merupakan salah satu daerah kunjungan wisata di Surabaya. Sunan Ampel yang berasal dari Kerajaan Champa (Vietnam) diberi tanah di daerah Ampel oleh Raja Majapahit Brawijaya V. Kawasan Ampel kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa oleh Walisongo. Makam Sunan Ampel terdapat di kawasan ini, dan menjadi tempat ziarah.

Sunan Ampel yang berasal dari Kerajaan Champa (Vietnam) diberi tanah di daerah Ampel oleh Raja Majapahit Brawijaya V. Kawasan Ampel kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa oleh Walisongo. Makam Sunan Ampel terdapat di kawasan ini, dan menjadi tempat ziarah.

Makam Sunan Ampel sangat sederhana, hanya berselubung kain putih pada batu nisan dan dibatasi pagar aluminium tahan karat setinggi 1,5 meter, yang melingkar dan luasnya sekitar 64 meter persegi. Makam


(62)

Sunan Ampel berada di sebelah barat Masjid Agung Sunan Ampel dan berdampingan dengan makam istrinya, Nyai Condrowati, beserta lima kerabatnya.

Masjid Agung Sunan Ampel, dahulu bernama Masjid Ampel Denta yang kini menjadi salah satu situs bersejarah. Mengenai pembangunan Masjid Ampel, ada yang menyebut dibangun pada 1396 Masehi ada juga menulis pada awal abad 14 (sekitar tahun 1421 Masehi).

Khusus pada bulan Ramadhan, kawasan wisata religi Sunan Ampel ramai dikunjungi wisatawan umat Islam dari berbagai pelosok negeri. Selain berziarah, pengunjung ingin membeli keperluan untuk Ramadhan atau barang-barang islami, seperti, tasbih, sajadah, mukena, kerudung dan lain sebagainya.2

4.1.3 Administrasi Umum Kelurahan Ampel

I. Luas, batas dan kondisi geografis wilayah

1. Alamat : Jalan Petukangan no. 76 surabaya

Telepon kantor 3576109

2. Luas wilayah : ± 38 Ha

Tabel 4.1

Batas Wilayah Ampel

Batas wilayah sebelah utara Kel. Ujung, Kec.

Semampir

Batas wilayah sebelah timur Kel. Sidotopo Kec.

Semampir Kel.

2


(63)

Simolawang Kec. Simokerto

Batas wilayah sebelah selatan Kel. Nyamplungan, Kec. Pabean Cantian

Batas wilayah sebelah barat Kel. Nyamplungan, Kec.

Pabean cantina Sumber: Data Monoggrafi Kel. Ampel Kec. Semampir

Tabel 4.2

Kondisi Geografis Ampel

Ketinggian tanah dari permukaan laut ± 4 meter

Banyaknya curah hujan 0- 100 mm/tahun

Topografi -

Suhu udara rata-rata 27-35 ºC

Sumber: Data Monoggrafi Kel. Ampel Kec. Semampir

4.1.4 Administrasi Kependudukan Kelurahan Ampel

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Ampel

No. Kependudukan Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Menurut jenis kelamin

10871 11021 21892

2. WNI 10861 11023 21884

3. WNA 10 5 15

Sumber: Data Monoggrafi Kel. Ampel Kec. Semampir

4.1.5 Kehidupan Sosial Gelandangan dan Pengemis Di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya

Gelandangan dan pengemis di kawasan wista religi sunan ampel hidup dibawah garis kemiskinan, para gelandangan tidak memiliki


(64)

penghasilan tetap yang bisa menjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk sehari-hari saja mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan. Terbukti dari data yang diperoleh dari kelurahan ampel dan hasil observasi serta wawancara yang dilakukan peneliti menyatakan bahwa para gelandangan dan pengemis setiap harinya sangat memprihatinkan. Karena jika sakit tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu askes untuk berobat dan lain-lain.

Masalah kemiskinan menyebabkan para gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi, maupun keluarga secara layak. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relative rendah, karena melihat data yang di peroleh rata-rata mereka hanya tamatan Sekolah Dasar (SD).

Gelandangan yang di jumpai di sunan ampel rata-rata tidak memiliki tempat tinggal tetap, mereka tinggal di emperan toko dan di jembatan. Sedangkan pengemis masih mempunyai tempat tinggal serta keluarga, mereka tidak mempunyai keterampilan atau keahlian yang sesuai dengan tutuntan pasar kerja serta minimnya pendidikan yang mereka tempuh.

Menurut pernyataan Bapak Nur Sochi selaku tokoh masyarakat di sunan ampel menyatakan bahwa,

“Pendapatan yang diperoleh sebagai pengemis sekitar Rp.


(1)

112

nomor 2 tahun 2014 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, sebagai himbauan kepada seluruh masyarakat supaya tidak terlalu mudah memberi uang kepada gelandangan dan pengemis.

Akan tetapi masih ditemukan kejanggalan dalam benak bersama ketika berbicara tentang gelandangan dan pengemis. Salah satunya adalah tidak pernah berkurangnya angka para gelandangan dan pengemis disetiap kota khususnya di kawasan Sunan Ampel. Padahal setiap satu bulan sekali Dinas sosial selalu mengadakan upaya untuk menaggulangi angka tersebut melalui Razia maupun Rehabilitasi sementara. Tidak ada kata menyerah dan jera bagi para gelandangan dan para pengemis untuk tetap melakukan aktivitas yang menurut mereka Sakral itu. Padahal Di Indonesia penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis menjadi tanggung jawab Negara, dimana di amanatkan dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945.

Oleh karena itu peran aktif dari berbagai kalangan juga berpengaruh dalam pengentasan masalah gelandangan dan pengemis khususnya di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya. Ada beberapa langkan yang mungkin dapat diterapkan antara lain adalah tetap menertibkan para gelandangan dan pengemis, serta berusaha untuk mengembalikan ke kampung halamannya. Berikutnya adalah mengembangkan usaha-usaha dari desa asal agar tidak terulang permasalahan tersebut, atau dalam kata lain tidak membuat semacam ketimpangan pembangunan antara kota, dan desa.


(2)

113

BAB V

PENUTUP

5.1Simpulan

Setelah melalui beberapa tahap interpretasi hasil penelitian analisis dan pembahasan hasil penelitian maka simpulan yang dapt diambil berkenaan dengan kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya sebagai berikut:

1. Kehidupan sosisal gelandangan dan pengemis yang berada di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya, tergolong dalam kelasifikasi masalah sosial manifes. Masalah sosial manifes merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat dari kepincangan-kepincangan dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan norma dan nilai masyarakat. Di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya menggelandang dan mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, tidak berlaku lagi. Para gelandangan dan pengemis sudah merasa keenakan, tanpa rasa malu dan tanpa beban moral didepan masyarakat. meski sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil menggelandang dan mengemis tetapi mereka tetap saja melakukan aktivitas tersebut.

2. Upaya pemerintah kota Surabaya untuk menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi Sunan Ampel terbilang sudah


(3)

114

efektif. Terlihat dari adanya razia yang dilakukan setiap satu bulan satu kali, rehabilitasi yang di tempatkan di LIPPONSOS Keputih Surabaya, dan pelatihan yang dilakukan tenaga ahli di tempat tersebut. Tapi kurangnya kesadaran dari gelandangan dan pengemis telah menghambat proses implementasi kebijakan yang efektif dan efisien

5.2Saran

Kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya

1. Pemerintah kota Surabaya, khususnya petugas Satpol PP dan pegawai dinas sosial kota Surabaya hendaknya labih banyak lagi merekrut pegawai agar lebih efektif dalam menangani banyaknya gelandangan dan pengemis.

2. Pegawai Dinas Sosial kota Surabaya hendaknya lebih kreatif dalam memberi bimbingan dan pembelajaran kepada para gelandangan dan pengemis agar mereka memiliki pola pikir yang lebih baik dan produktif.

3. Pemerintah kota Surabaya hendaknya lebih memperhatikan dana untuk dinas sosial kota Surabaya, agar semua program kerja bisa terlaksana dengan baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ahmadi, Rulam. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Yogyakarta: Ar-Riz Media.

Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial. Jakarta : Departemen Sosial RI.

Bunging, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif Edisi Kedua Jakarta: Kencana.

Dunn, William N., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua, Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode penelitian ilmu sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga.

Iskandar. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Jakarta: rineka Cipta. Cet. XII.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.


(5)

Nugroho, Riant. 2003. KEBIJAKAN PUBLIK: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo

Noor, S.E, M.M, Juliasyah. 2015. Metode Penelitian Jakarta: kencana.

Panduan pemutaakhiran data PMKS dan PSKS tahun 2016 dinas sosial kota surabaya.

Perda Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014.

Riyanto, Yatim. 2001. Metogologi Penelitian Pendidikan Surabaya: SIC.

Rubington, Earl dan Weinberg, Martin S. 2003. The Study Of Social Problem. New York: Oxford University Press.

Subarsono. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Suparlan, Parsudi, 1993, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Jakarta.

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita.


(6)

Internet :

http://www.surabaya.go.id/

http://rizkyameliah.blogspot.co.id/2012/11/artikel-pengemis-di-jadikan-mata.html diunduh hari jum’at 24 februari. 13.00