EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN BADUNG.

(1)

i

SKRIPSI

EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN

BADUNG

KADEK DEVI AYU ANGGARI

NIM. 1103005068

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN

BADUNG

KADEK DEVI AYU ANGGARI

NIM. 1103005068

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN

BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

KADEK DEVI AYU ANGGARI

NIM. 1103005068

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 Desember 2015

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum NIP. 19591231 198602 1 007

Nengah Suharta, SH.,MH NIP. 19551107 198602 1 001


(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,

Puji syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Efektivitas Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis Di Kabupaten Badung”.

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Berhasilnya penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan, fasilitas serta bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati diucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

vii

5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH., selaku Ketua Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn, selaku Sekretaris Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Nengah Suharta, SH.,MH sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini.

9. Bapak I Nyoman Bagiastra, SH.,MH sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendidik, mengarahkan dan memberi masukan-masukan selama masa perkuliahan.

10.Segenap Bapak/Ibu Dosen/Asisten Dosen yang telah mendidik dan membekali ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

11.Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.

12.Khusus kepada keluarga, kedua Orang tua saya, Bapak I Made Astawa, SH dan Ibu Mujiati, serta saudari dan saudara kandung saya Luh Putu Suci Anggreni, SE dan Nyoman Bagus Pradhitya Putra yang telah


(8)

viii

memotivasi dan mendoakan saya selama penulisan skripsi ini. Tak lupa saya berterima kasih kepada segenap keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan doa bagi kelancaran pengerjaan skripsi ini.

13.Untuk Intan Ayu Megawati, Jacklyn Fiorentina, Mira Henstin, dan Stephanie Satya terimakasih sudah menjadi sahabat terbaik yang selalu ada dalam suka maupun duka selama perkulihan dan penyusunan skripsi ini.

14. Motivator saya yang selalu menemani di saat susah dan senang sekaligus menjadi orang terkasih Ida Bagus Putu Wiwekananda, SE yang telah banyak memberikan nasehat, inspirasi, pola pikir, semangat dan dukungan untuk menyelesaikan tulisan ini.

15. Kepada sahabat seperjuangan sejak SMA, Putri Triana, Dewi Sartika, Agung Bagus Cahya, Adnya, Yudha, Hendry, Purdana, dan Prawita. Terima kasih tak henti menyemangati dan mendukung penyelesaian skripsi ini. Kalian luar biasa.

16.Untuk teman-teman Nanda Wulan Trisna, Windha, Lea, Inten, Nina, Hendra, Billy, Arif, Regent dan semua angkatan 2011 yang tak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih atas waktu dan dukungannya selama ini.

17.Untuk kawan-kawan KMFH terima kasih atas semua pengalaman dan ilmu yang membantu penulis dalam pengerjaaan skripsi.


(9)

ix

18.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas dorongan morilnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, akhir kata diharapkan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia pada umumnya dan pembaca khususnya.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, Desember 2015


(10)

x

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka saya bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 18 Desember 2015

Yang menyatakan,

Kadek Devi Ayu Anggari 1103005068


(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman Sampul Depan ... i

Halaman Sampul Dalam ... ii

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum... iii

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iv

Halaman Pengesahan Panitia Penguji Skripsi ... v

Kata Pengantar ... vi

Halaman Surat Pernyataan Keaslian ... x

Daftar Isi... xi

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Grafik ... xviii

Abstrak ... xix

Abstract ... xx

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1


(12)

xii

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 4

1.4 Orisinalitas ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.5.1 Tujuan Umum ... 6

1.5.2 Tujuan Khusus ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.6.2 Manfaat Praktis ... 7

1.7 Landasan Teoritis ... 8

1.7.1 Teori Negara Hukum ... 8

1.7.2 Teori Kepastian Hukum ... 9

1.7.3 Teori Efektivitas Hukum ... 10

1.7.4 Teori Penegakan Hukum ... 12

1.8 Metode Penelitian ... 15

1.8.1 Jenis Penelitian ... 15


(13)

xiii

1.8.3 Sifat Penelitian ... 16

1.8.4 Sumber Hukum/Data ... 17

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 17

1.8.6 Teknik Pengumpulan Data ... 18

1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS 2.1 Efektivitas Hukum ... 20

2.1.1 Pengertian Efektivitas Hukum ... 21

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hukum ... 24

2.2 Gelandangan dan Pengemis ... 25

2.2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis ... 28

2.2.2 Faktor Penyebab dan Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis ... 30

2.2.3 Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Gelandangan dan Pengemis ... 34

2.3 Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Penegak Hukum ... 36


(14)

xiv

2.3.1 Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja ... 36

2.3.2 Pelaksanaan Tugas dan Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ... 37

BAB III EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

3.1 Gambaran Umum Kabupaten Badung ... 41

3.2 Gambaran Umum Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kabupaten Badung ... 42

3.2.1 Prinsip-Prinsip Utama Pelaksanaan Tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kabupaten Badung ... 46

3.3 Efektivitas Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kabupaten Badung ... 48

BAB IV KENDALA DALAM PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

4.1 Faktor-faktor Penyebab terjadinya pelanggaran Terhadap Gelandangan dan Pengemis ... 56

4.2 Kendala dalam Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis ... 60

4.3 Upaya-upaya yang dilakukan Satpol PP dalam Mengatasi Hambatan-hambatan dalam Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis ... 63


(15)

xv

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Total Gepeng yang Terjaring Razia di wilayah Hukum Satpol PP Badung ... 49


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR


(18)

xviii

DAFTAR GRAFIK

Grafik A. Pelanggaran Menggepeng di wilayah Hukum Satpol PP Badung Tahun 2010-2014 ... 52


(19)

xix

ABSTRAK

Kabupaten Badung memiliki peraturan dasar dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis yang diatur dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum tercantum dalam Pasal 24 ayat (2). Banyak faktor yang mempengaruhi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis. Efektifkah penanggulangan gelandangan dan pengemis serta kendala dan upaya yang dihadapi oleh pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis. Penelitian ini dilakukan untuk melihat seberapa besarkah efektivitas dari penerapan Perda Badung No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum khusunya dalam pasal 24 ayat (2).

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode penelitian empiris artinya suatu penelitian dengan mengkaji permasalahan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Kasus dan Pendekatan Fakta.

Larangan melakukan pekerjaan meminta-minta dimuka umum telah diatur dalam pasal 24 ayat (2) Perda Badung No. 4 Tahun 2001 dan wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Dan apabila melanggar ketentuan pasal tersebut akan dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda. Penerapan ketentuan pidana dalam perda tersebut bagi para gelandangan dan pengemis masih dirasa kurang efektif, hal ini melihat pada kondisi di lapangan dan data pelanggaran gelandangan dan pengemis. Namun, dalam penerapan di lapangan hal ini tidak terlepas dari beberapa kendala yang dihadapi sehingga penanggulangan gelandangan dan pengemis menjadi kurang efektif. Sehingga diperlukan peningkatan mutu kinerja dan fungsi personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kehidupan yang lebih baik.


(20)

xx

ABSTRACT

Badung regency has the basic set of law in dealing with vagrant and beggars are regulated in Local Regulation No. 4 of 2001 on Hygiene and Public Order, particularly stated in Article 24 paragraph (2). Many factors influence the response to vagrant and beggars. The effectiveness of the vagrant and beggars prevention the constraints faced by the efforts of the Civil Service Police Unit (Municipal Police) in the prevention of vagrant and beggars. This study was done to see the effectiveness of the application of Regulation Badung No. 4 of 2001 on Hygiene and Public Order especially in Article 24 paragraph (2).

Methods used in the study of this legal study is the empirical research method which means a research study the problems based on the facts that occurred in the field. The approach used is the approach and the approach Case Fact.

A ban on work begging in public has been regulated in Article 24 paragraph (2) of Badung RegulationNo. 4, 2001 and must be obeyed by the entire community. And breaking the provisions of the article will be subject to imprisonment or fined. The application of criminal provisions in the regulations for the vagrant and beggars still deemed less effective, it is clear from the conditions in the field and data breaches by vagrant and beggars. However, in the application it cannot be separated from some of the constraints faced by vagrant and beggars becomes less effective. This, we need to improve the quality of performance and functionality Civil Service Police Unit (Municipal Police) personnel as well as increased knowledge and awareness of the importance of a better life.


(21)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan daerah merupakan salah satu rangkaian dasar keberhasilan dari pembangunan nasional, yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (2) menetapkan bahwa “Tiap-tiap

warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Selain itu dalam Pasal 34 menetapkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar

dipelihara oleh Negara”. Dua ketentuan pasal tersebut dalam penjelasan telah cukup jelas bahwa dalam hal ini, Negara bertanggungjawab atas penanganan permasalahan sosial dan kesejahteraan di dalam masyarakat.

Pembangunan Kabupaten Badung merupakan bagian integral dari pembangunan Daerah Provinsi Bali serta pembangunan nasional, selain itu Badung merupakan salah satu tujuan pariwisata dunia. Sebagai destinasi pariwisata Indonesia dan dunia, Badung menjadi harapan untuk mengais rezeki tidak hanya para pengusaha, pekerja kantoran maupun buruh bangunan mengais kehidupan di daerah

pariwisata ini.1 Bagi kaum pencari kerja yang berharap untuk meningkatkan taraf


(22)

hidup di kota besar, kadang tidak dibarengi dengan kemampuan pendidikan dan keahlian yang cukup untuk bersaing di dunia kerja. Dalam persaingan mendapatkan pekerjaan inilah terdapat orang-orang yang tersingkirkan dan mencoba untuk bertahan hidup dengan membanjiri sektor-sektor informal entah dengan menjadi pemulung atau dengan cara meminta-minta.

Masyarakat ini bisa digolongkan sebagai masyarakat miskin, banyak bukti menunjukkan bahwa yang disebut sebagai orang atau keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi.2 Sehingga mengakibatkan orang-orang tersebut akan mengalami keputusasaan. Dari keputusasaan inilah mereka akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu diantaranya dengan menjadi

“Gelandangan dan Pengemis” atau yang sering disebut dengan “Gepeng”.

Dengan berkembangnya gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Badung terlebih di daerah Kuta, diduga akan mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban umum. Dikarenakan gelandangan dan pengemis (gepeng) dianggap sebagai

1Pemerintah Kabupaten Badung, 2014, Terkait Upaya Penanggulangan Gepeng, Disosnaker Lakukan Rapat Koordinasi URL : http://www.Badungkab.go.id/, diakses pada tanggal 21 April 2015

2Dr. Bagong Suyanto, 2013, Anatomin Kemiskinn dan Strategi Penanganannya, Faktor

Kemiskinan Masyarakat Pesisir, Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari Pembangunan di Indonesia,


(23)

sampah masyarakat yang harus di tuntaskan secara maksimal. Maka sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah kabupaten Badung telah membuat Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, spesifik dari perda ini adalah dikhususkan pada Pasal 24 ayat (2) yaitu dilarang melakukan pekerjaan untuk meminta-minta dimuka umum baik dijalan, taman dan tempat-tempat lain di Kabupaten Badung dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Dalam hal ini yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) adalah gelandangan dan pengemis (gepeng). Apabila terbukti melanggar ketentuan pasal tersebut dapat dikenai pidana kurungan paling lama 3 (tiga bulan) atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sebagaimana tercantum dalam pasal 42 ayat (1) Perda Badung No. 4 tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.

Alasan kabupaten Badung membuat perda tersebut karena bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kondisi Badung yang aman, tertib, bersih, dan kondusif. Agar terciptanya kondisi tersebut pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memnpunyai peranan penting dalam menegakkan Perda yang ada di wilayahnya. Namun kenyataannya menurut data yang diperoleh dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung jumlah gepeng yang ada di Badung pada tahun 2011 mencapai 556 gepeng, pada tahun 2012 mencapai 410 gepeng, dan selanjutnya pada tahun 2013 mencapai 430 gepeng.3 Hal ini bertentangan dengan ketentuan


(24)

Pasal 24 ayat (2) Perda Badung No. 4 Tahun 2001. Ini tentunya sebuah fakta yang belum mampu diupayakan pemerintah untuk menanganinya secara maksimal.

Melihat banyaknya pelanggaran ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perda Badung No. 4 Tahun 2001 di wilayah Badung, penulis tertarik untuk mencoba menelaah lebih dalam mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung. Dan faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penanggulangan gelandangan dan penegmis (gepeng). Dengan alasan tersebut, penulis mengangkat penelitian dengan judul “Efektivitas Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis di Kabupaten Badung”. Pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya fenomena sisoal ini diharapkan untuk lebih sadar dengan kenyataan yang terjadi didalam masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan dua permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana efektivitas penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Badung ?

2. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Badung ?

3 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung, tanggal 21 Oktober 2015


(25)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang menggambarkan batas penelitian, memepersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian. Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas.4 Selain itu, agar terdapat kesesuaian antara pembahasan dan permasalahan. Maka terhadap pembahasannya diberikan batasan ruang lingkup:

1. Efektivitas penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Badung.

2. Faktor kendala yang dihadapi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kabupaten Badung.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai berikut:

4Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.111


(26)

1. Judul : KINERJA DINAS SOSIAL KOTA CILEGON DALAM

PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA

CILEGON

Penulis : Nitha Chitrasari

Tempat : Universitas Sultan Ageng TirtaYasa, Serang Tahun : 2012

Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah kinerja Dinas Sosial Cilegon dalam penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Cilegon?

b. Hal apa saja yang menjadi hambatan Dinas Kota Cilegon dalam menangani gelandangan dan pengemis di Kota Cilegon?

2. Judul: PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI

KABUPATEN SIDOARJO (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare) Penulis : Andre Pane Sixwanda

Tempat : Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Tahun : 2013

Rumusan Masalah :

Bagaimana Pemberdayaan bagi Gelandangan dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare)?”


(27)

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka dapat disampaikan tujuan penelitian sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini secara umum adalah untuk mengetahui efektif atau tidaknya penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kabupaten Badung.

1.5.2 Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis efektivitas penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kabupaten Badung.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kabupaten Badung.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik baik penyusun maupun bagi pihak lain berupa :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu hukum dan informasi mengenai efektivitas penanggulangan gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung.


(28)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan perhatian pemerintah tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis. Serta dapat dijadikan pedoman oleh kalangan mahasiswa, praktisis maupun masyarakat umum di dalam menyikapi masalah yang timbul karena keberadaan gelandangan dan pengemis di tengah-tengah masyarakat.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Negara Hukum

Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan pada hukum

(rechsstaat) bukan Negara kekuasaan (machsstaat).5 Wiryono Prodjodikoro mengartikan Negara hukum adalah Negara dimana penguasa atau Pemerintah sebagai penyelenggara Negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada peraturan perundang-undangan hukum yang berlaku.6 Di negara hukum inilah, masyarakat sangat memerlukan sebuah aturan untuk menciptakan suasana

5 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia , Bina Ilmu, Surabaya, hal. 21

6 Bander Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, h.1


(29)

yang harmonis didalam kehidupannya. Aturan yang hidup didalam masyarakat berupa hukum, hukum tertulis ataupun tidak tertulis. Dan memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Secara umum dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum dapat dilihat bekerjanya tiga prisnisp dasar, yaitu :

1. Supermasi hukum (supermacy of law);

2. Kesetaraan di hadapan hukum (equality before of the law);

3. Penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due Process of Law).7

Sehingga penerapan teori Negara hukum ini, memiliki konsekuensi bahwa setiap tindakan, kebijakan maupun perilaku yang dilakukan oleh Pemerintah ataupun masyarakatnya harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan adanya perilaku tertib hukum dapat mencegah terjadinya kesewenang-wenangan kekuasaan, sehingga mampu menciptakan suatu keadaan yang aman dan tertib.

1.7.2 Teori Kepastian Hukum

Dalam suatu negara, hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam upaya

7Ibid.


(30)

penegakan hukum, para pejabat berwenang maupun aparat penegak hukum bertitik tolak pada tiga unsur yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya suatu peristiwa konkrit.8 Penekanan pada kepastian hukum dalam upaya penegakan huku memperhatikan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada.

Indonesia dalam menyelenggarakan Negara menganut asas kepastian hukum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotsme. Dalam penjelsan pasal tersebut, yang

dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum

yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara”. Bagi sistem

pemerintahan di Indonesia, asas kepastian sangat penting perannya demi

menjamin perlindungan hukum bagi pihak administrabele.9

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dal hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana

8 Lili Rasdjidi dan Ira Rasdjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.42.

9 Muchsan, 1982, Pengantar hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya disingkat Muchsan I), h.78.


(31)

hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak boleh meyimpang : fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

karena bertujuan ketertiban masyarakat.10 1.7.3 Teori Efektivitas Hukum

Hukum yang hidup dalam masyarakat harus memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Produk hukum yang dibuat nantinya akan hidup bersama didalam masyarakat, maka hukum yang dibuat itu harus memiliki sifat dinamis yang berarti mengikuti perkembangan dari masyarakat. Sehingga, hal ini dapat mengetahui dan memahami bagaimana perkembangan hukum yang ada didalam masyarakat, serta mengetahui efektivitas hukum yang hidup dalam masyarakat, dan mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum yang ada di dalam masyarakat.

Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam

10 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, h.130


(32)

bahasa inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia

dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki

makna “berhasil guna”. Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.11

Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya.12

Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah

11 Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30, hal.11.


(33)

hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.13

Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sesuai sistem hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.14

1.7.4 Teori Penegakan Hukum

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechitgkeit).15

13 Ibid, hal.20.

14 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial

Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal.

Kencana, Jakarta, hal.225


(34)

Menurut Jimly Asshidiqie, pada pokoknya penegakan hukum merupakan upaya yang secara bersengaja dilakukan untuk mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.16 Berbeda dengan Soerjono Soekanto mengartikan penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.17

Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terlteak pada isi faktor-faktor tersebut.18 Soerjono Soekanto mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain :

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dobatasi undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang embentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

16 Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), h.93.

17 Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.5.


(35)

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersbut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor diatas saling berkaitan erat karena saling merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.19

Lawrence M. Friedman mengungkapkan bahwa hukum sebagai sistem terdiri atas 3 komponen yaitu :20

1. Substansi hukum adalah aturan/norma dan pola prilaku manusia yang berada dalam sistem termasuk produk yang dihasilkan oleh manusia dalam sistem hukum.

2. Struktur hukum adalah kerangka bagian yang tetap bertahan yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap sesuatu secara menyeluruh.

3. Budaya hukum adalah intelektual sosiaol dna kemapuan sosial menentukan bagaimana hukum dilaksanakan, dihidnari, atau disalahgunakan.

1.8 Metode Penelitian

19 Soerjono Soekanto, op.cit, h.9.

20 Lawrence M. Friedman, 1984, Hukum amerika: Sebuah Pengantar, terjemahan Wisnnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, h.190.


(36)

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan mencari data suatu masalah, diperlukan suatu metode yang bersifat ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan yang akan diteliti. Suatu metode merumuskan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Jadi suatu metode dipilih berdasarkan dan mempertimbangkan keserasian dengan obyeknya serta metode yang digunakan sejalan dengan tujuan, sasaran variabel dan yang hendak diteliti. Sedangkan metode penelitian menguraikan secara teknik apa yang digunakan dalam penelitiannya.21

Adapun moetode penelitian yang akan digunakan dalampenelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1.8.1 Jenis Penelitian

Pada penulisan ini, dalam upaya mengkaji dan mencari pemecahan terhadap masalah yang penulis kemukakan, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris artinya suatu penelitian dengan mengkaji permasalahan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Orientasi pengkajiannya menitikberatkan mengenai efektvitas penanggulangan gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung. Penelitian ini dapat berupa identifikasi hukum dan efektivitas hukum.22

1.8.2 Jenis Pendekatan

21 Neong Maharjid, 1990, Metodelogi Penelitian Kwantitas, Rake Sodasih, Yogyakarta, hal. 3. 22 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, cet. II, Sinar Grafika,Jakarata, h.12.


(37)

Dalam pendekatan ada beberapa jenis pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendenkatan kasus (case approach), pendekatan hsitoris (historical approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), pendektana fakta (facta approach), dan pendekatan perbandingan (comprative approach).23

Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pendekatan Fakta (Fact Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji fakta yang terjadi dilapangan, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran nyata dari fakta yang terkait dengan permasalahan yang ditangani.

2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan jalan menelaah dan megkaji sumber-sumber hukum yang berlaku dan berkompeten untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.

1.8.3 Sifat Penelitian

Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dibedakan menjadi tiga, yakni Penelitian Hukum Eksploratori ( Exploratory Legal Study), Penelitian Hukum

23 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.


(38)

Deskriptif (Descriptive Legal Study), dan Penelitian Hukum Ekslpanatori (Eksplanatory Legal Study).24

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Hukum Deskriptif (Descriptive Legal Study), yaitu penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

1.8.4 Sumber Hukum/Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Data Primer yaitu sumber datanya diperoleh dari penelitian lapangan (field research), yaitu data-data yang diperoleh dengan mengadakan penelitian di lapangan secara langsung dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan hal yang terjadi.

b. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, dimana data tersebut tidak diperoleh secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan.

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

24 Abdulkadir, Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cet.1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.49.


(39)

Teknik penentuan sampel penelitian yang dipergunakan dalam usulan penelitian yang dibuat oleh penulis adalah teknik non probability sampling

khususnya dengan menggunakan teknik purposive sampling yakni sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key information

(informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.

1.8.6 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian dikenal tiga jenis teknik pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan pustakka, pengamatan atau obeservasi, dan wawancara atau interview.25 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa:

1. Teknik Wawancara (interview)

Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah; “Teknik atau metode memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden. Selain dengan cara tatap muka wawancara dapat dilakukan secara tidak langsung dengan telepon

atau surat”.26

Dalam Penelitian ini data diperoleh dari pihak-pihak

25 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2006 , Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.67.


(40)

yang terkait dengan masalah yang diteliti, dalam hal ini pihak Dinas Sosial dan Satpol PP.

2. Dalam pengumpulan data melalui studi kepustakaan atau library research, teknik yang dipergunakan adalah membaca, menganalisa literatur-literatur yang terkait dengan masalah yang ditelitii, sehingga nantinya akan ditarik sebuah kesimpulan terhadap data tersebut. 1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data dalam penulisan ini dengan mengumpulkan dan mengambil data baik dari lapangan maupun dari kepustakaan kemudian diolah secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan secara lengkap sebagaimana asalnya tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah yang dibahas sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran dan suatu kesimpulan.


(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

2.1Efektivitas Hukum

Kesadaran hukum dan ketaatan hukum merupakan dua hal yang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan atau aturan hukum dalam masyarakat.1 Menurut Krabbe bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupkan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Pernyataan tersebut sudah cukup menjelaskan apa yang dimaskud dengan kesadara hukum, tetapi akan lebih lengkap lagi jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat tentang

fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat.2

Ketaatan hukum sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga

jenis, seperti yang dikemukakkan oleh H.C Kelmen, yaitu:3

1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut sanksi.

1 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, h.375

2 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, Yarsif watampone, 1998, h.191


(42)

2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taatterhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak.

3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengn nili-nilai intrisik yang dianutnya

Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan empat kesadaran hukum, yaitu :4

a. Pengetauhuan tentang hukum; b. Pengetahuan tentang isi hukum; c. Sikap hukum;

d. Pola Perilaku hukum. 2.1.1 Pengertian Efektivitas Hukum

Efektivitas hukum berarti bahwa orang benar - benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti efeknya (akibatnya, pngaruhnya, kesanya); manjur atau mujarab(tentang obat); dapat membawa


(43)

hasil; berhasil guna (tentang usaha atau tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang peraturan).5

Efektivitas adalah perbandingan positif antara hasil yang dicapai dengan masukan yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan tepat

waktunya untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan.6 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa suatau keadaan hukum tidak berhasil atau gagal mecapai tujuannya biasanya diatur pada pengaruh keberhasilannya untuk mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu, sehingga yang mencapai tujuan disebutnya positif, sedangkan yang menjauhi tujuan dikatakan negatif.7

Adapun kriteria mengenai pencapaian tujuan secara efektif atau tidak antara lain:8

1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai; 2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan;

3. Kejelasan analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap;

5Soerjono soekanto, loc.cit, h.9

6Sondang Siagi, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1991, h.71

7Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya, Bandung, 1985,h.7 8Sondang Siagi, Op.Cit,h.77


(44)

4. Perencanaan yang mantap;

5. Penyusunan program yang mantap; 6. Tersedianya sarana dan prasarana;

7. Pelaksanaan yang secara efektif dan efisien;

8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat medidik.

Dalam kamus ilmiah populer, istilah efektivitas diartikan sebagai

ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan.9 Ini berarti bahwa kata efektivitas digunakan untuk menentukan apakah sesuatu yang digunakan sudah tepat penggunaanya dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Berikut ini merupakan definisi efektivitas menurut beberapa ahli:10

1. Hidayat:

“Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana semakin besar presentase target yang dicapa, makin tinggi efektivitasnya”.

2. Schemerhon John R. Jr :

“Efektivitas adalah pnecapaian target output yang diukur dengan cara membandingkn output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (disebut efektif)”.

9 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arloka, Surabaya, 1994 10 http:// dansite.wordpress.com/pengertan-efektivitas/,diakses pada tanggal 9 September 2015


(45)

3. Prasetya Budi Saksono:

“Efektivitas adalah seberapa besar ingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari jumlah input”.

Berdasarkan pada pendapat para ahli diatas, bisa disimpulkan bahwa konsep efektivitas merupakan konsep yang bersifat multidimensional, yang artinya bahwa dalam mendefenisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu yag dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah selalu sama yaitu pencapaian tujuan.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum

Pada umumnya, faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik didalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut. Menurut Soerjono Seokanto bahwa masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positf atau negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut,

adalah sebagai berikut:11

11 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2011, h.8-9


(46)

1. Faktor hukumnya sendiri, yag didalamnya dibatasi pada undang-undang saja;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukm; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang ddasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup;

Kelima faktor tersebut saling berkaitan denga eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegak hukum.

Harus diakui pula bahwa banyak anggota masyarakat yang masih sering melakukan hal-hal bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, contohnya yaitu mempengaruhi aparatur hukum secara negatif dan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada proses penegakan hukum yang bersangkutan, yang ditujukan kepada diri pribadi, keluarga atau

anak/kelompoknya.12


(47)

2.2Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan dan pengemis adalah wujud dari wajah kemiskinan di perkotaan dan juga pedesaan. Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar

miskin diberi arti “tidak berharta benda”.13

Menurut Friedman (1979) kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Sementara yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman meliputi: Pertama, modal produktif atas asset, misalnya tanah perumahan, peralatan, dan kesehatan. Kedua, sumber keuangan, seperti income dan kredit yang memadai. Ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, seperti koperasi. Keempat, network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengethuan dan keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan.

Dengan melihat banyaknya ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan seseorang atau sekelompok orang untuk disebut miskin atau tidak miskin, maka umumnya para ahli akan merasa kesulitan dalam mengklasifikasikan masyarakat masyarakat menurut garis kemiskinan. Namun, dari berbagai studi yang ada, pada

dasarnya ada beberapa ciri dari kemiskinan, yaitu :14

13 Poerwadarminta, 1996, h.322


(48)

1. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.

2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk terpenuhinya kredit dan lain-lain, yang mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasanya untuk pelunasannya meminta syarat-syarat berat dan bunga yang amat tinggi.

3. Tingkat pendidikan golongan miskin umumnya rendah, tidak sampai tamat Sekolah dasar. Waktu mereka umumnya habis tersita untuk mencari nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tak dapat menyelesaikan sekolah oleh karena harus membantu orang tua mencari nafkah tambahan.

4. Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relatif kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Tetapi, karena bekerja di pertanian berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang terjamin.


(49)

Banyak diantara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) yang berusaha apa saja. Akibat di dalam situasi penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup dibawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara mereka mencoba berusaha ke kota (urbanisasi) untuk mengadu nasib.

5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan atau skill dan pendidikan. Sedangkan kota sendiri terutama di Negara berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa tersebut. Apabila di Negara maju pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota, maka proses penyerapan tenaga kerja dalam perkembangan industri. Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota Negara sedang berkembang justru menampik penyerapan tenaga kerja sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam kantong-kantong kemelaratan (slumps).

Dari kemiskinan tersebut membuat sebagian masyarakat miskin menjadi terpinggirkan, sehingga ia akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan cara meminta-minta serta mengharap belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan fenomena kemiskinan sosial, ekonomi dan budaya


(50)

yang dialami oleh sebagian masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan. Dari hal tersebut banyak orang menempatkan mereka pada lapisan sosial yang paling rendah.

2.2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan kekurangan pendapatan atau tidak dimilikinya aset produksi untuk melangsungkan kehidupan.15 Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa kota yang antara lain memunculkan gelandangan dan pengemis karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan.16 Dampak positif dan negatif tampaknya sulit untuk dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan.17

15Bagong Suyanto, loc.cit

16Faisal, Samapiah, 1999, Format-format penelitian Sosial, Jakarta : PT. Radja Grafindo Perkasa, h.32.


(51)

Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat

umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari

meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.18

Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 menyebutkan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum denga berbagai cara dan alasan untuk mengaharap belas kasihan.

2.2.2 Faktor Penyebab dan Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan bagian dari gejala sosial budaya yang relatif. Dibalik semua itu ada faktor penyebab yang mengakibatkan mereka harus melakukan perbuatan diluar ketentuan


(52)

norma yang berlaku, faktor-faktor penyebab diantaranya adalah sebagai berikut:19

1. Faktor Internal

Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan adalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini :

a. Kemiskinan Individu dan Keluarga

Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersedaan air, kecuali saat musim hujuan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan keterampilan, yaitu menjadi gelandangan dan pengemis (gepeng).

b. Umur

19 Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA dalam artikel Faktor Penyebab terjadinya Geladangan dan Pengemis, Tanggal 9 september 2015


(53)

Faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang kuat. c. Pendidikan Formal

Berkenaan degan faktor umur tersebut diatas, ternyata faktor pendidikan juga turut mempengaruhi. Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memelih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua.

Tidak berpendidikannya menyebabkan mereka tidak memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan sebagai gepeng.

d. Ijin Orang Tua

Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Sehingga pada musim kemarau, mereka “terpaksa” membiarkan anaknya dan “menyuruh” anaknya untuk ikut


(54)

mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

e. Rendahnya Keterampilan

Para Gepeng tersebut tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja, kondisi ini sangat wajar karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia belia atau muda. Sementara mereka yang tergolong relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh pendidikan keterampilan di desa.

Oleh karena itu, menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah.

f. Sikap Mental

Pikiran ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul kecenderungan bahwa pkerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan saran produktif, serta terbatasnya keterampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan.


(55)

2. Faktor Eksternal/Lingkungan

Faktor lingkungan yang dimaksud adalah beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan penanganan gepeng di kota.

Dari faktor penyebab yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali para gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang mengahayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan gelandangan dan pengemis untuk memiliki kemampuan mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia yang sesungguhnya. Usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Penanggulangan gelandangan dan pengemis akan mampu mewujudkan stabilitas nasional, khususnya stabilitas dalam bidang pertahanan dan keamanan.


(56)

2.2.3 Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis (gepeng)

Permasalahan gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu masalah sosial yang belum teratasi dengan baik. Sesuai dengan pembukaan UUD 45, Negara mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan gelandangan dan pengemis adalah sebagai berikut:

Dalam pasal 34 UUD 45 yang menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam KUHP juga mengatur tentang gelandangan dan pengemis yang tercantum dalam Pasal 504 ayat (1) dan (2) tentang pengemisan yang menyatakan :

(1) Barang siapa yang mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu;

(2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur diatas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Selanjutnya, dalam pasal 505 ayat (1) dan (2) tentang gelandangan menyebutkan :

(1) Barang siapa bergelandang tanpa pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.


(57)

Selain itu pengaturan gelandangan dan pengemis secara tegas telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang terdiri dari 7 BAB yang meliputi :

a. BAB I Ketentuan Umum

b. BAB II Tujuan, Wewenang dan Tanggung Jawab c. BAB III Usaha Preventif

d. BAB IV Usaha Represif e. BAB V Usaha Rehabilitatif f. BAB VI Partisipasi Masyarakat

g. BAB VII Ketentuan Peralihan dan Penutup

Yang menjadi dasar hukum mekanisme dalam penanganan gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung adalah Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang tercantum dalam pasal 24 ayat (2) yang menyatakan:

(2) Dilarang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum baik dijalan, taman dan tempat-tempat lain di Kabupaten Badung dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Serta dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan:

(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan daerah ini diancam dengan Pidana kurungan paling


(58)

lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)

2.3Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Penegak hukum

Satuan Polisi Pamong Praja, selanjutnya disingkat Satpol PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, yang selanjutnya Satpol PP dipimpin oleh seseorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui

sekretaris daerah.20

2.3.1 Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja

Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, satpol PP mempunyai fungsi diantaranya sebagai berikut:21

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegak Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ktentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;

20 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja 21Ibid.


(59)

b. Pelaksanaan kebijakan penegak Perda dan Peraturan kepala daerah;

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebujakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanna koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri sipil daerah, dan/atau apartur lainnya; f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum

agar mematuhi dan mentaati Perda dan peraturn Kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. 2.3.2 Pelaksanaan Tugas dan Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja

Satpol PP mempunyai peran yang penting dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Adapun pelaksanaan tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP adalah sebagai berikut:

1. Kepala Bidang Pendataan dan Pelaporan mempunyai tugas:22

a. Menyusun rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan, sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja

b. Menyusun Laporan hasil kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan sebagai bahan penyusun laporan kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ;

c. Menyusun, merekapitulasi dan mengkoordinasikan seluruh Program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan rencana kegiatan masing masing Bidang dan Bagian Tata Usaha sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja;


(60)

d. Menyiapkan Laporan Pertanggung Jawaban Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja;

e. Melakukan Koordinasi dengan Bagian Tata Usaha, Bidang Pengendalian dan Operasional dan Bidang Penyidikan dalam rangka kelancaran tugas;

f. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan;

g. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan;

h. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan; i. Merakapitulasi dan mengolah data pelanggar;

j. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; 2. Kepala Seksi Pengumpulan Data dan Informasi mempunyai tugas ;

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan Informasi sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan ;

b. Menyusun Laporan kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan Informasi sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan Pelaporan;

c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan;

d. Memberikan petunjuk, bimbingan dan pengawasan pada bawahan;

e. Menyiapkan bahan perumusan rencana dan program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Bidang – Bidang dan Bagian Tata Usaha;

f. Menyelenggaraan pendataan usaha-usaha;

g. Menerima, mengkaji dan menelaah laporan dari masyarakat dan instansi terkait;

h. Melaksanaan peninjauan bersama tim ke lokasi pemohon izin / pelanggaran peraturan;


(61)

i. Mengadakan pencatatan dan pemantauan kembali hasil pembinaan, pemeriksaan dan Hasil Sidang Tindak Pidana Ringan;

j. Membuat Peta Rawan Pelanggaran;

k. Membuat Papan Larangan atau Peringatan pelanggaran

l. Menyusun Rencana Strategi (RENSTRA) dan Rencana Kerja (RENJA) Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ;

m. Melakukan validasi data ;

n. Memeriksa, mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan;

o. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan;

p. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasan; 3. Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas ;

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan;

b. Menyusun Laporan Kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan Pelaporan;

c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan;

d. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan;

e. Menggandakan bahan bahan peraturan yang mendukung pelaksanakan tugas Satuan Polisi Pamong Praja;

f. Menyiapkan bahan pembinaan organisasi dan tatalaksana; g. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan;

h. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; i. Menyiapkan bahan laporan pertanggung jawaban kinerja Satuan


(62)

j. Menyusunj Laporan Kinerja (LAKIP) Satuan Polisi Pamong Praja; k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; l. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasannya.


(1)

Selain itu pengaturan gelandangan dan pengemis secara tegas telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang terdiri dari 7 BAB yang meliputi :

a. BAB I Ketentuan Umum

b. BAB II Tujuan, Wewenang dan Tanggung Jawab c. BAB III Usaha Preventif

d. BAB IV Usaha Represif e. BAB V Usaha Rehabilitatif f. BAB VI Partisipasi Masyarakat

g. BAB VII Ketentuan Peralihan dan Penutup

Yang menjadi dasar hukum mekanisme dalam penanganan gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung adalah Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang tercantum dalam pasal 24 ayat (2) yang menyatakan:

(2) Dilarang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum baik dijalan, taman dan tempat-tempat lain di Kabupaten Badung dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Serta dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan:

(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan daerah ini diancam dengan Pidana kurungan paling


(2)

lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)

2.3Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Penegak hukum

Satuan Polisi Pamong Praja, selanjutnya disingkat Satpol PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, yang selanjutnya Satpol PP dipimpin oleh seseorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.20

2.3.1 Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja

Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, satpol PP mempunyai fungsi diantaranya sebagai berikut:21

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegak Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ktentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;

20 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja 21Ibid.


(3)

b. Pelaksanaan kebijakan penegak Perda dan Peraturan kepala daerah;

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebujakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanna koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri sipil daerah, dan/atau apartur lainnya; f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum

agar mematuhi dan mentaati Perda dan peraturn Kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. 2.3.2 Pelaksanaan Tugas dan Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja

Satpol PP mempunyai peran yang penting dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Adapun pelaksanaan tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP adalah sebagai berikut:

1. Kepala Bidang Pendataan dan Pelaporan mempunyai tugas:22

a. Menyusun rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan, sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja

b. Menyusun Laporan hasil kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan sebagai bahan penyusun laporan kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ;

c. Menyusun, merekapitulasi dan mengkoordinasikan seluruh Program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan rencana kegiatan masing masing Bidang dan Bagian Tata Usaha sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja;


(4)

d. Menyiapkan Laporan Pertanggung Jawaban Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja;

e. Melakukan Koordinasi dengan Bagian Tata Usaha, Bidang Pengendalian dan Operasional dan Bidang Penyidikan dalam rangka kelancaran tugas;

f. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan;

g. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan;

h. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan; i. Merakapitulasi dan mengolah data pelanggar;

j. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; 2. Kepala Seksi Pengumpulan Data dan Informasi mempunyai tugas ;

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan Informasi sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan ;

b. Menyusun Laporan kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan Informasi sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan Pelaporan;

c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan;

d. Memberikan petunjuk, bimbingan dan pengawasan pada bawahan;

e. Menyiapkan bahan perumusan rencana dan program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Bidang – Bidang dan Bagian Tata Usaha;

f. Menyelenggaraan pendataan usaha-usaha;

g. Menerima, mengkaji dan menelaah laporan dari masyarakat dan instansi terkait;

h. Melaksanaan peninjauan bersama tim ke lokasi pemohon izin / pelanggaran peraturan;


(5)

i. Mengadakan pencatatan dan pemantauan kembali hasil pembinaan, pemeriksaan dan Hasil Sidang Tindak Pidana Ringan;

j. Membuat Peta Rawan Pelanggaran;

k. Membuat Papan Larangan atau Peringatan pelanggaran

l. Menyusun Rencana Strategi (RENSTRA) dan Rencana Kerja (RENJA) Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ;

m. Melakukan validasi data ;

n. Memeriksa, mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan;

o. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan;

p. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasan; 3. Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas ;

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan;

b. Menyusun Laporan Kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan Pelaporan;

c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan;

d. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan;

e. Menggandakan bahan bahan peraturan yang mendukung pelaksanakan tugas Satuan Polisi Pamong Praja;

f. Menyiapkan bahan pembinaan organisasi dan tatalaksana; g. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan;

h. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; i. Menyiapkan bahan laporan pertanggung jawaban kinerja Satuan


(6)

j. Menyusunj Laporan Kinerja (LAKIP) Satuan Polisi Pamong Praja; k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; l. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasannya.