LARANGAN MEMBUNUH ANAK PRESPEKTIF AL-QUR’AN : KAJIAN TAFSIR AL-THABARI, IBN KATSIR, DAN M. QURAISH SHIHAB TERHADAP SURAT AL-ISRA’ AYAT: 31 DAN AL-AN‘AM AYAT: 151, 137, 140 MENGGUNAKAN TEORI ASBAB AL-NUZUL.
LARANGAN MEMBUNUH ANAK PRESPEKTIF AL-
QUR’AN
(Kajian Tafsir
al-T}abari>,
Ibn
Kathi>r
, dan M. Quraish Shihab terhadap
Surat
al-Isra>
’
ayat: 31 dan al-
An‘a>m
ayat: 151, 137, 140
Menggunakan Teori
Asba>b al-Nuzu>l
Skripsi:
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
ELIS FIRDAUSI NIM : E83212119
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(2)
LARANGAN MEMBUNUH ANAK PRESPEKTIF AL-
QUR’AN
(Kajian Tafsir
al-T}abari>
, Ibn
Kathi>r
, dan M. Quraish Shihab terhadap
Surat
al-
Isra>’
ayat: 31 dan al-
An‘a>m
ayat: 151, 137, 140
Menggunakan Teori
Asba>b al-Nuzu>l
Skripsi:
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Al-Qur’an dan Hadis
Oleh:
ELIS FIRDAUSI NIM : E83212119
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(3)
(4)
(5)
(6)
vii
ABSTRAK
Elis Firdausi. E83212119. Larangan Membunuh Anak Prespektif al-Qur’a>n
Kajian Tafsir al-t}abari>, Ibnu Kathi>r, dan Quraish Shihab terhadap Surat al-Isra’ ayat:31 dan al-An‘a>m ayat: 151, 137, 140 Menggunakan Teori Asba>b al-Nuzu>l
Penelitian ini berawal dari sebuah kasus kejahatan yang banyak menyita perhatian publik yang melibatkan anak-anak, baik sebagai subjek ataupun objek. Salah satu kasus kejahatan yang dilakukan kepada anak adalah kasus pembunuhan. Kemudian dihubungkan dengan salah satu ilmu al-Qur’an yang sangat signifikan untuk dipelajari agar bisa memahami al-Qur’a>n secara baik dan benar adalah ilmu asba>b al-nuzu>l dalam memaknai ‚Larangan membunuh anak‛.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1.) Mengapa para mufassir menafsirkan larangan membunuh anak hanya dimaknai membunuh anak yang sudah lahir? 2.) Apakah Aborsi bisa di kategorikan pembunuhan anak menggunakan penafsiran ayat-ayat diatas?
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan data penafsiran menurut beberapa mufasir, sebagai salah satu bentuk yang bisa menjadi wacana yang bervariasi bagi umat Islam terkait pengembangan tafsir sejak zaman dahulu hingga saat ini yang sudah banyak mengedepankan konteks tanpa mengabaikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu tafsir itu sendiri, dengan menggunakan teori asba>b al-nuzu>l.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan berdasarkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer yang digunakan berasal dari penjelasan-penjelasan penafsiran oleh beberapa mufasir dalam kitab tafsirnya, serta data sekunder yang berasal dari buku-buku yang relevan dengan penelitian ini. Sementara analisis dilakukan dengan mengunakan metode content analisis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mufasir mempunyai pemahaman yang bervariasi terkait makna larangan membunuh anak dengan menggunakan teori asba>b al-Nuzu>l, berdasarkan ayat yang bersangkutan melahirkan dua kaidah yang saling berhadapan, yang masing-masing berbunyi
2 . Diantara mereka seperti penafsiran al-t}abari> dan Ibnu Kathi>r memaknai larangan membunuh anak yang sudah lahir dengan menggunakan teori yang pertama, sedangkan menurut Quraish Shihab, dalam konteks hari ini lebih luas, menanggapi makna membunuh anak ini, bisa juga dimaknai dengan aborsi dengan menggunakan teori yang kedua.
(7)
x
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian... 8
F. Metode Penelitian... 9
G. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II. KAIDAH ANALISIS TAFSIR A. ASBA>B AL-NUZU>L 1. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l ... 15
(8)
xi
3. Cara Mengetahui Riwayat Asba>b al-Nuzu>l ... 20
4. Hubungan Sebab Akibat dalam Kaitanya dengan Asba>b al-Nuzu>l ... 25
B. FUNGSI HADIS 1. Bayan al-Takrir ... 32
2. Bayan al-Tafsir ... 33
3. Bayan al-Tasyri’ ... 35
4. Bayan al-Nasakh ... 36
BAB III. A. Penafsiran Ayat-ayat Larangan Membunuh Anak dalam Penafsiran al-t}abari>, Ibnu Kathi>r,dan M. Quraish Shihab . 1. Penafsiran Surat al-Isra>’ Ayat 31 ... 38
2. Penafsiran Surat al-An‘a>m Ayat 151 ... 48
3. Penafsiran Surat al-An‘a>m Ayat 137 ... 58
4. Penafsiran Surat al-An‘a>m Ayat 140 ... 71
B. Penerapan Ayat-ayat Larangan Membunuh Anak terkait Asba>b al-Nuzu>l ... 81
C. ‘A>m Dan Kha>s} ... 85
Bab IV.Analisis A. Analisis Penggunaan Asba>b al-Nuzu>l dalam Al-Qur’an ... 90
B. Analisis Penggunaan Hadis Terhadap Al-Qur’an ... 96
C. Penggunaan Sebab Khusus dalam Lafal yang Umum ... 102
Bab V. Penutup A. Kesimpulan ... 107
(9)
xii
B. Saran-saran ... 108
(10)
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah mengalihaksarakan tulisan ke aksara lain; misalnya
dari Arab ke aksara latin. Tampilan transliterasi huruf dan madd (tanda bunyi
panjang) yang diterapkan pada nama surat dan istilah dalam penelitian ini, yakni:
1. Transliterasi Huruf
NO. ARAB LATIN NO. ARAB LATIN
1. ا a 16. ط t}
2. ب b 17. ظ z}
3. t 18. ع „
4. ث th 19. غ gh
5. ج j 20. ف f
6. ح h} 21. ق q
7. خ kh 22. ك k
8. د d 23. ل l
9. ذ dh 24. م m
10. ر r 25. ن n
11. ز z 26. و w
12. س s 27. نه h
13. ش sh 28. ء ’
14. ص s} 29. ي y
15. ض d} 30.
2. Vokal panjang (madd) ditransliterasikan dengan menuliskan huruf vokal
disertai coretan horizontal (macron) diatasnya (a>-i>-u>), contoh: h}a>l, d}a'i>f,
(11)
xiv
3. Vokal tunggal (monoftong) yang dilambangkan dengan harakat,
ditranslitersikan sebagai berikut:
a. Tanda fath}ah ( __ ) dilambangkan dengan huruf- a.
b. Tanda kasrah ( ___ ) dilambangkan dengan huruf- i.
c. Tanda D}ammah ( ____ ) dilambangkan dengan huruf- u.
4. Vokal rangkap (diftong) yang dilambangkan secara gabungan antara harakat
dengan huruf, di transliterasikan sebagai berikut :
a. Vokal rangkap (
وا
) dilambangkan dengan huruf au, seperti: Mawsu>'ahb. Vokal rangkap
(
يا
) dilambangkan dengan huruf ai, seperti : Quraybi>.5. Shaddah ditransliterasikan dengan menuliskan huruf yang bertanda shaddah
dua kali (dobel) seperti, dhimmi>, jalla dan sebagainya.
6. Alif-Lam (lam ta’rif) ditransliterasikan sebagaimana aslinya meskipun
bergabung dengan huruf shamsi>yah, antara alif-lam dan kata benda,
dihubungkan dengan tanda penghubung, misalnya, Al-Mawdu>di>, al-Nasa>'i>, dan sebagainya.
7. Penggunaan pedoman transliterasi ini hanya digunakan untuk istilah, nama
pengarang dan judul buku yang berbahasa Arab.
8. Pengejaan nama pengarang dan tokoh yang dikutip dari sumber yang tidak
berbahasa Arab disesuaikan dengan nama yang tercantum pada karya yang ditulis dan diterjemahkan.
(12)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Salah satu titik sasaran pembangunan yang dilakukan oleh setiap bangsa adalah menciptakan kualitas bangsa yang mampu melanjutkan perjuangan dan melaksanakan misi bangsa. Anak sebagai generasi muda disamping sebagai objek juga berperan sebagai subjek pembangunan.1
Seorang anak akan menjadi harapan penerus bagi kelangsungan suatu bangsa. Sebab, pada dasarnya nasib suatu bangsa sangat tergantung pada generasi penerusnya. Apabila generasi penerusnya baik, dapat dipastikan juga kehidupan suatu bangsa itu juga akan berlangsung baik. Namun sebaliknya jika generasi penerus itu rusak, maka rusaklah kehidupan bangsa itu. Begitu pentingnya generasi penerus bagi kelangsungan hidup berbangsa.
Sudah sewajarnya jika seorang anak harus diberikan perhatian, pengawasan dan perlindungan khusus. Perlindungan pada anak dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni melalui pemberian hak-hak terhadap anak yang dapat dikaitkan dalam hukum, seperti perlindungan atas kesejahteraan, pendidikan, perkembangan, jaminan masa depan yang cerah, dan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, serta perlindungan lain yang dapat memacu tumbuh kembangnya anak secara wajar.
Dalam usaha memberikan perlindungan hukum bagi anak, pemerintah memberlakukan Undang-Undang mengenai kesejahteraan anak pada tahun 1979
1
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), 1.
(13)
2
(UU No.4 tahun 1979), Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan keputusan RI No. 36 tahun 1990.
Namun dewasa ini kasus kejahatan yang banyak menyita perhatian publik adalah kejahatan yang melibatkan anak-anak, baik sebagai subjek ataupun objek. Salah satu kasus kejahatan yang dilakukan kepada anak adalah kasus pembunuhan.
Dalam Surat al-Isra’ ayat 31 menerangkan bahwa salah satu keburukan masyarakat jahiliyah adalah membunuh anak-anak antara lain karena faktor kemiskinan. Sebagaimana berikut:
dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rizeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.2
Pada zaman jahiliyah banyak orang membunuh anaknya karena banyak faktor yang mengakibatkan mereka melakukan perbuatan keji itu, di antaranya karena takut jatuhnya orang tua pada lembah kemiskinan, khususnya anak perempuan, menurut para orang zaman jahiliyah anak perempuan tidak produktif, karena anak perempuan tidak bisa perang dan mencari nafkah.3
Adapun kawatir menanggung aib, akibat ditawan dalam peperangan, sehingga diperkosa. Itu salah satu sebab sehingga apabila salah seorang diantara mereka di beri kabar tentang kelahiran anak perempuan.
2
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah (Semarang: Toha Putra, 2002), 257. 3
Quraish shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 330-303.
(14)
3
dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.4
Sedangkan masa jahiliyah modern ini bukan saja karena takut miskin, baik sekarang menyangkut dirinya, maupun kelak menyangkut anaknya, akan tetapi perbuatan keji itu mereka lakukan pada umumnya untuk menutup malu yang menimpa orang tuanya setelah terjadi apa yang mereka namakan “kecelakaan” akibat perzinaan yang diperbuat oleh mereka.bukan kawatir malu akibat perlakuan buruk orang lain terhadap anak-anak mereka.5
Bahkan masa jahiliyah modern ini pembunuhan anak sebelum sempurna atau pengguguran kandungan (janin) dan aborsi akhir-akhir ini semakin menggejala di tengah-tengah masyarakat. Maraknya praktik aborsi menjadikan fenomena tersebut di pandang sebagai hal yang lumrah.
Aborsi merupakan pengguguran kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan baik dalam keadaan hidup atau mati, sehingga keluar dari rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan dengan obat ataupun selainya, dan dilakukan oleh yang mengandungnya atau orang lain.6
Al- Qur’an juga berperan memberikan ilmu kepada manusia dengan berbagai macam informasi tentang peristiwa yang terjadi, baik halnya yang terjadi didunia maupun peristiwa yang terjadi diakhirat. Sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan mulanya dalam tujuan-tujuan yang umum, namun setelah itu dengan
4
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah (Semarang: Toha Putra, 2002), 16:58.
5
Quraish shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 298.
6
(15)
4
berjalannya masa, terdapat beberapa peristiwa yang memerlukan penjelasan syara’
atau karena para sahabat belum mengetahui, maka mereka menanyakan kepada Rasulullah Saw. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan hal tersebut.
Salah satu ilmu Al-Qur’an yang sangat signifikan untuk dipelajari agar bisa memahami al-Qur’an secara baik dan benar adalah ilmu asba>b al-nuzu>l ayat-ayat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui asba>b al-nuzu>l, diharapkan, kita mampu memahami lebih rinci tentang bagaimana menafsirkan ayat-ayat al-Qur’>n dilihat dari aspek kejadian dan peristiwa yang terjadi ketika turunnya ayat tersebut.
Ilmu asba>b al-nuzu>l termasuk di antara ilm-ilmu penting. Ilmu ini menunjukkan dan menyingkapkan hubungan dan dialektika antara teks dengan
realitas melalui konsep “mimetik” atau “imitasi”, “deskripsi”, dan “ilustrasi”
maka ilmu asba>b al-Nuzu>l menyodorkan kepada kita sebuah konsep yang berbeda mengenai hubungan teks dengan realitas. Jika konsep-konsep kritik sastra
mengenai “mimetik” dalam formulasi filosofisnya- dipengaruhi oleh model tradisi Yunani setelah tradisi tersebut diinterprestasi kembali agar sesuai dengan realitas teks-teks Arab maka Ilmu asba>b al-Nuzu>l membekali kita materi baru yang memandang turunya teks sebagai respons atau realitas, baik dengan cara
menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan “dialogis” dan “dialektik” antara teks dengan realitas.7
Fakta-fakta empiris berkaitan dengan teks menegaskan bahwa teks diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih dari dua puluh tahun. Teks juga
7Nas}r H}amid Abu>
Zayd, Tekstualitas al-Qur’an : Kritik terhadap Ulu>m al-Qur’an (Yogyakarta: PT LkiS, 2005), 115.
(16)
5
menegaskan bahwa setiap ayat atau sejumlah ayat diturunkan ketika ada satu sebab khusus yang mengharuskanya diturunkan, dan sangat sedikit ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Ulama al-Qur’a>n memandang bahwa bingkai realitas melalui makna ayat atau beberapa ayat yang dapat dipahami, ditentukan oleh asba>b al-nuzu>l tertentu. Atau dengan kata lain, ulama menyadari bahwa kemampuan mufassir untuk memahami makna teks harus didahului dengan pengetahuan tentang realitas-realitas yang memproduksi teks-teks tersebut.
Ulama al-Qur’a>n tidak hanya berhenti pada tataran hubungan mekanik antara teks dengan realitas sebab andaikata berhenti sampai disini saja, mereka akan tetap berada dalam kerangka konsep mimetik yang mentah, tetapi lebih dari itu, mereka menyadari bahwa teks, sebagai teks bahasa mempunyai efektivitas-efektivitas yang unik yang melampui batas-batas realitas partikular yang diresponya. Permasalahan ini di diskusikan secara detail dalam persoalan al-„am
dan al-Kha>shsh, ulama juga menyadari meskipun dari segi urutanya al-Qur’an
berkaitan dengan dengan realitas dan sebab, namun teks dari segi pembacaanya (tilawah) menurut urutan mushaf melampui keterkaitanya dengan realitas.
Penelitian dalam skripsi ini berawal dari sebuah problem yang disebut sebagai problem asba>b al-Nuzu>l, yaitu sebuah problem yang senantiasa melekat pada manusia dalam rangka memahami al-Qur’an sebagai teks yang tidak terlepas dari bingkai Ulu>m al-Qur’a>n. Salah satu cara untuk memahami teks Ulu>m
al-Qur’a>n , maka Ilmu asba>b al- nuzu>l adalah jalan yang tepat ditempuh. Dengan
(17)
6
menyimpan rahasia yang rumit sehingga banyak menimbulkan perbedaan pemaknaan.
Seorang mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tidak terlepas dari kaidah tafsir, kaidah diartikan sebagai asas atau fondasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan tertentu. Tafsir yaitu penjelas tentang firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan kaidah tafsir adalah ketetapan-ketetapan yang membantu seorang mufassir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’an dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya.8
Perlunya pemahaman tentang kaidah tafsir, membuat seseorang perlu memahami kaidah tafsir apa yang digunakan oleh para mufassir, sebagaimana dalam mengetahui penafsiran al-t}abari>, dan Ibnu Katsi>r, M. Quraish Shihab maka dibutuhkan pengetahuan tentang kaidah apa yang digunakan oleh, al-T}abari> dan Ibnu Katsi>r, M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat larangan membunuh anak dengan menggunakan teori asba>b al Nuzu>l.
Melihat penjelasan diatas, penulis tertarik membahas tema mengenai larangan membunuh anak Dalam al-Qur’an dengan menggunakan kajian tema terkait ayat-ayat larangan membunuh anak menurut penafsiran al-T}abari>, Ibnu Katsi>r, dan M. Quraish Shihab
Fokus pembahasan pada skripsi ini, tertitik dan tertujuh pada ayat-ayat larangan membuh anak dalam al-Qur’an, yakni surat al-Isra’: 31, al-An‘a>m :151,
8
(18)
7
surat al-An‘a>m:137, al-An‘a>m:140, dengan menggunakan kitab tafsir al-T}abari> Tafsir ibnu Katsi>r, dan Tafsir al-Misbah.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Ayat al-Qur’an yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah ayat-ayat tentang larangan membunuh anak ayatnya sebagai berikut: al-Isra’: 31,
al-An‘a>m:151, 137, 140 Dalam ayat tersebut, dapat di identifikasi beberapa masalah
di antaranya:
1. Rungang Lingkup larangan membunuh anak dalam Ilmu ulu>m al-Qur’an Menurut al-T}abari>, Ibnu Katsi>r, dan M. Quraish Shihab
2. Makna larangan membunuh anak dalam ulu>m al-Qur’an Menurut, al T}abari>, Ibnu Katsi>r, dan M. Quraish Shihab
3. Teori Penafsiran, al-T}abari>, Ibnu Katsi>r dan M.Quraish Shihab Terkait Ayat-ayat larangan membunuh anak.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang, batasan masalah di atas, peneliti dapat merumuskan beberapa permasalahan untuk memperkuat fokus penelitian ini, di antaranya:
1. Mengapa para mufasir menafsirkan larangan membunuh anak hanya dimaknai membunuh anak yang sudah lahir?
2. Apakah Aborsi bisa di kategorikan pembunuhan anak menggunakan penafsiran ayat-ayat diatas?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:
(19)
8
1. Untuk mengetahui para mufasir dalam memaknai larangan membunuh anak yang sudah lahir.
2. Untuk mengetahui persamaan antara membunuh anak yang sudah lahir dengan (aborsi) membunuh anak dalam janin
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.
Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut: 1. Kegunaan secara teoritis
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang terkait dengan pengertian ayat-ayat larangan membunuh anak, dalam al-Qur’an, dan penafsiran.
2. Kegunaan secara praktis
Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat memberi solusi terhadap masyarakat terhadap perilaku membunuh anak yang sudah lahir ataupun (aborsi) membunuh anak dalam janin yang sering terjadi di masyarakat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau
(20)
9
lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.9 Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library research
(penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:
a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini, yaitu:
1) Tafsir al-T}abari>
2) Tafsir Ibnu Katsi>r
3) Tafsir al-Misbah
b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini diantaranya:
1) al-Mu‘jam al-Mufaras} Li al-Fa>dh al-Qur’a>n al-Kari>m Karya
Muhammad Fu>ad ‘abdu al-Ba>qi>.
2) Al- Fath al-Rahma>n Karya Faydhilla>h al-Hasan al-Muqadis
3) Ilmu Hadis Historis dan Metodologis Karya Zainul Arifin
9
(21)
10
4) Studi Ilmu-Ilmu Qur’a>n Karya Mudzakir
5) Studi al-Qur’a>n Karya Sauqiyah Musyafa’ah
6) Kaidah Tafsir Karya Quraish Shihab
7) Wawasan Baru Ilmu Tafsir Karya Nashruddin Baidan
8) Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n karya Nasruddin Baidan
9) Metode Penelitian al-Qur’a>n Dan Tafsir Karya Abdul Mustaqim
10)Al- Fath al-Rahma>n Karya Faydhilla>h al-Hasan al-Muqadis}
11)Tekstualitas al-Qur’a>n Kritik Terhadap Ulu>m al-Qur’a>n , Karya Abu Zaid
12)Studi al-Qur’a>n, Karya Sauqiyah Musyafa’ah,dkk
13)al-Qur’a>n dan Ulu>m al-Qur’a>n, karya Muhammad Chirzin 3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Kartu Data, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, skripsi, buku, dan sebagainya.10
4. Metode Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema dan dirumuskan.
Semua data yang telah terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing.
10
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipa, 1996), 234.
(22)
11
Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan content analisis, yakni suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari beberapa pertanyaan. Selain itu, content analisis juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti
5. Metode Deskriptif Kualitatif
Deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.11
Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif akualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.12
Metode Penelitian ini menggunakan data-data tafsir dengan menggunakan teori asba>b al-Nuzu>l di dalamnya mendeskripsikan antara teks sebagai respons atau realitas, baik dengan cara menguatkan atau menolak, dan
11
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. RemajaRosdaKarya, 2002), 3.
12
(23)
12
menegaskan hubungan “dialogis” dan “dialektik” antara teks dengan realitas. Dengan hal ini makna bisa diartikan secara umum ataupun khusus dilihat
dari segi teorinya.
G. Sistematika Pembahasan
Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Selain itu pada bab ini juga akan dijelaskan pengertian serta dalam bab ini juga digunakan sebagai pedoman, acuan, dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Bab kedua berisi tentang Kaidah Analisis Tafsir dengan menggunakan teori asba>b al-Nuzu>l dan Fungsi Hadith secara umum terkait dengan ayat-ayat larangan membunuh anak Dimana pada bab ini menjelaskan gambaran secara umum tentang kaidah asba>b al-Nuzu>l dan Kaidah dan Fungsi hadith sebagai penjelasan dari ayat-ayat larangan membunuh anak.
Bab ketiga membahas tentang Penafsiran ayat-ayat larangan membunuh anak menurut mufassir al-t}abari>, Ibnu Kathi>r, dan Quraish Shihab.
Bab keempat berisi tentang analisis Penggunaan asba>b al-Nuzu>l sebagai kaidah yang digunakan penafsiran tersebut dan Penggunaan Hadith terhadap
(24)
13
Qur’an sebagai penjelas dalam ayat-ayat tersebut, dan Penggunaan sebab yang khusus dalam lafal yang umum dalam teori yang digunakan oleh mufassir al-T}abari>, Ibnu Kathi>r, dan Quraish Shihab.
Bab kelima membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil akhir dari penelitian ini, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
(25)
15
BAB II
KAIDAH ANALISIS TAFSIR
A. ASBA>B AL-NUZU>L
1. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l
Secara etimologi Asba>b al-Nuzu>l terdiri dari dua kata “asba>b” (bentuk plurar
dari kata sabab”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/ illat
sedang kata nuzu>l berasal dari kata “nazala” yang berarti turun.1
Secara terminologi, M. Hasbi Ash-Shiddqy mengartikan asba>b al-Nuzu>l sebagian kejadian yang karenanya diturunkan al-Qur’a>n untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian- kejadian itu dan suasana yang di dalamnya
al-Qur’an diturunkan.2
Menurut az-Zarqani, asba>b al-Nuzu>l adalah “suatu kejadian yang menyebabkan turunya suatu atau beberapa ayat, atau peristiwa yang dapat di jadikan petunjuk hukum berkenaan turunya suatu ayat.3
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Subh}i as-Salih}: “Sesuatu yang
menyebabkan turunya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.4
1
Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulu>m al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firadus, 1999), 30.
2
Ibid
3
Sauqiyah Musyafa’ah,dkk, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN SA Press, 2012), 167.
4
(26)
16
Menurut Manna’ Khalil al-Qat}t}an :
Asba>b al- Nuzu>l adalah peristiwa yang menyebabkan turunya al-Qur’an
berkenaan denganya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.5
Subh}i as-Salih} dalam bukunya : Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an
Asba>b al-Nuzu>l adalah sesuatu yang menjadi sebab turunya satu atau
beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peritiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.
M. Quraish Shihab memperjelas pengertian asba>b al-Nuzu>l al-Qur’an tersebut dengan cara memilah peristiwanya dan menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan asba>b al-Nuzu>l al-Qur’an ialah:
1. Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya.
2. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunya suatu ayat, dimana peristiwa tersebut dicakup pengertianya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.6
Berdasarkan beberapa pendapat sebagaimana disebutkan di atas, secara umum ulama berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunya, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama ayat-ayat yang diturunkan oleh
5
Manna> Al-Qatha>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an, terj. Mudzakir (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa), 93.
6
(27)
17
Allah tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatar belakangi. Kedua ayat-ayat yang diturunkan karena dilatarbelakangi oleh peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi sebab turunya ayat inilah yang kemudian disebut dengan asba>b al-Nuzu>l. ‚asba>b al-Nuzu>l adalah suatu konsep, teori atau berita tentang sebab-sebab turunya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada nabi Muhammad Saw, baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.
Bertitik tolak dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, secara umum asba>b al-Nuzu>l adalah segala sesuatu yang menjadi suatu sebab turunya ayat baik untuk mengomentari, menjawab, ataupun menerangkan hukum pada saat sesuatu itu terjadi. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan adalah bahwa berbagai peristiwa massa lalu pada zaman nabi dan Rasul tidak semuanya termasuk asba>b
al-Nuzu>l. Peristiwa yang menjadi asba>b al- Nuzu>l adalah peristiwa yang menjadi
latar belakang turunya suatu ayat atau surah dalam al-Qur’an. 2. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’an
Tentang pentingnya mengetahui asba>b al-Nuzu>l, ulama berbeda pendapat yakni :
1. Sebagian ulama menyatakan, bahwa pengetahuan tersebut tidak penting karena hal itu termasuk pengetahuan sejarah al-Qur’an.
2. Sebagian ulama yang lain menyatakan, bahwa pengetahuan tersebut sangat perlu. Bahkan, menurut al-Sya>thi>bi> , pengetahuan asba>b al-Nuzu>l merupakan kemestian bagi orang yang yang ingin mengetahui kandungan al-Qur’an.
(28)
18
Di antara argumen yang dikemukakan oleh ulama yang menganggap penting mengetahui asba>b al-Nuzu>l tersebut, dapat dilihat dalam pernyataan –pernyataan ulama berikut ini:7
1. Kata al-wa>hidi, tidak mungkin diketahui tafsir ayat al-Qur’an tanpa terlebih dahulu kisahnya dan keterangan sebab turunya ayat yang bersangkutan. Tentu ayat-ayat yang dimaksudkan itu adalah ayat-ayat yang memang memiliki asba>b al-Nuzu>l.
2. Kata Ibn Daqi>q al- ‘i>d, keterangan sebab turunya ayat merupakan jalan (cara yang tepat untuk dapat memahami makna-makna al-Qur’a>n, khususnya ayat-ayat yang mempunyai sebab turun.
3. Kata Ibn Taimiyah, pengetahuan sebab turunya ayat membantu memahami ayat al-Qur’an karena pengetahuan tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang akibat dari turunya ayat.
4. Kata al-Suyuti, bahwa segolongan ulama telah mengalami kesulitan memahami pengertian ayat-ayat al-Qur’an dan barulah teratasi kesulitan itu setelah diketahui sebab turunya ayat yang bersangkutan. Ulama yang menganggap sangat penting mengetahui asba>b Nuzu>l
al-Qur’an tersebut telah merinci kegunaan pengetahuan itu. Diantaranya adalah sebagai berikut:8
1. Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.
7
Nasruddin Bidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:2011), 136. 8
(29)
19
2. Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum tertentu. Hal ini lebih dirasakan perlunya oleh golongan yang berpegang pada kaidah yang menyatakan:
(yang menjadi pegangan ialah kekhususan sebab bukan keumuman lafal) 3. Merupakan cara yang efisien untuk memahami makna yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
4. Menghindarkan keraguan tentang ketentuan pembatasan (al-hashr) yang terdapat dalam al-Qur’an.
5. Menghilangkan kemusykilan memahami ayat, seperti yang telah dialami oleh Marwan bin al-Hakam.
6. Membantu memudahkan penghafalan ayat dan pengungkapan makna yang terkandung di dalam ayat.
Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an dan ‘Ulu>m al-Qur’a>n juga mengatakan, dengan ilmu asba>b al-Nuzu>l : pertama, seseorang dapat mengetahui
hikmah di balik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu. Kedua, seseorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunya suatu ayat. Ketiga, seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan. Keempat, seseorang dapat menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada Rasulullah dan selalu bersama para hambanya.9
9
(30)
20
3. Cara Mengetahui Riwayat Asba>b al-Nuzu>l
Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw. oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunya ayat al-Qur’an, serta tidak mungkin diketahui dengan jalur ra’yi atau pikiran manusia.10
Dalam hal ini al-Wa>hidi berkata : “Tidak boleh memperkatakan tentang
sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertianya”.
Singkatnya, asba>b al-Nuzu>l diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang , riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadis. Secara khusus dari riwayat asba>b al-Nuzu>l ialah riwayat dari orang-orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkan, yaitu pada saat wahyu turun, riwayat
yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk pada Rasulullah SAW dan para sahabatnya dianggap lemah atau d}a>if.
Berdasarkan keterangan diatas, maka asba>b al-Nuzu>l yang diriwayatkan dari seorang sahabat dapat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asba>b al-Nuzu>l dengan hadith mursal (hadith yang gugur dari
10Sauqiyah Musyafa’ah,dkk
(31)
21
sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada
seorang tabi’in), riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sah}ih} dan dikuatkan hadith mursal lainya.
Syah Wa>li Allah al-Dahlawi mengakui, bahwa untuk mengetahui asba>b al-Nuzu>l suatu ayat termasuk pekerjaan yang sulit, ini terbukti timbulnya perselisihan pendapat di kalangan ulama mutakaddimin dan ulama mutaakhirin tentang beberapa riwayat berkenaan dengan masalah asba>b al-Nuzu>l tersebut. Yang menjadi sumber kesulitan, menurut al-Dahlawi> ialah :
Adakalanya kalangan sahabat dan tabi’in telah mengemukakan suatu kisah
ketika menjelaskan suatu ayat. Tetapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan asba>b al-Nuzu>l. Padahal setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunya ayat.11
Adakalanya kalangan sahabat dan tabi’in mengemukakan hukum suatu kasus
dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat : seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu
merupakan penyebab turunya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinba>th hukum dari Nabi tentang ayat yang di kemukakan tadi.
Dalam penegasan al-Dahlawi> ini tersirat, bahwa pernyataan-pernyataan
sahabat dan tabi’in sehubungan dengan sebab turunnya satu ayat, harus diteliti terlebih dahulu sebelum disimpulkan bahwa pernyataan tersebut berfungsi sebagai sebab turunya ayat tersebut.12
11
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:2011), 142.
12
(32)
22
Menurut Wa>h}id, sebaimana dikutip Suyu>t}i, pernyataan tentang asba>b al-Nuzu>l tidak boleh diterima terkecuali berdasarkan periwayatan atau pendengaran langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunya ayat, mengetahui sebab-sebab turunya dan telah mendalam ilmunya. Ini berarti, bahwa tidak setiap sahabat yang meriwayatkan hadis tentang asba>b al-Nuzu>l dapat diterima begitu saja, tanpa reserve.
Al-H}a>kim al-Naysa>bu>ri>, demikian juga Ibnu al-S}alah} berpendapat bahwa bila hadith itu sanadnya bersambung-sambung dan sahabat periwayat hadith itu menyaksikan turunnya wahyu kemudian menyatakan tentang ayat tersebut dengan kata-kata maka hadith itu berstatus hadith musnad.13
Berarti hadith yang menjadi sumber tentang riwayat asba>b al-Nuzu>l haruslah
marfu’ dan bersambung sanadnya, disamping itu tentu saja harus s}ahih: sanad
maupun matan-nya.
Adapun susunan atau bentuk redaksi yang dapat memberi petunjuk secara tegas tentang asba>b al-Nuzu>l adalah:
1. Bentuk redaksi yang tegas berbunyi: .
2. Adanya huruf al-fa’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitkan dengan turunya ayat. Misalnya
13
(33)
23
3. Ada keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasul ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunya ayat sebagai jawabanya. Dalam hal ini tidak digunakan pernyataan tertentu.
Adapun tentang bentuk-bentuk redaksi yang berbunyi atau
يآا , ulama berbeda pendapat dalam mengartikanya.
1. Menurut al-Zarkasyi> dan al-Syu>t}i, redaksi tersebut menunjukkan bahwa ayat yang disebutkan itu berkenaan dengan hukum tertentu yang disinggung dalam pembahasan ayat dan bukanlah sebagai sebab turunya ayat.
2. Menurut Ibn Taimiyah, bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan petunjuk: a). Sebagai sebab turunya ayat, dan b). Sebagai keterangan tentang maksud ayat dan bukan sebagai sebab turunya ayat: hal ini sama dengan pernyataan yang berbunyi . (yang dimaksud
dengan ayat ini...)
3. Menurut penelitian al-Qa>simi>, para sahabat dan tabi’in sering menggunakan susunan redaksi itu dengan maksud memberikan gambaran tentang pa yang dibenarkan oleh ayat. Dalam hal ini perlu ijtihad. Yakni, apakah riwayat itu sebagai asba>b al-Nuzu>l atau sekedar penjelasan tentang kandungan suatu ayat.
4. Menurut al-Zarqa>ni, bentuk redaksi itu tidaklah secara pasti menunjukkan sebab turunya ayat, karena dapat saja berarti sebagai
(34)
24
petunjuk tentang kandungan ayat. Dalam hal ini, harus diteliti qari>nah (indikator) nya. Bila ternyata ada qari>nah yang menunjukkan sebab turunya ayat, maka barulah dipahami bahwa redaksi itu menunjukkan tentang peristiwa sebab turunya ayat.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka dapat dinyatakan bahwa bentuk redaksi yang berbunyi atau pada umumnya bukanlah petunjuk kepada adanya sebab turunya ayat, kecuali bila dibarengi dengan qari>nah tertentu. Dari qari>nah itu barulah diketahui, setelah diteliti keterangan yang berkenaan dengan ayat yang bersangkutan, apakah ungkapan itu menjelaskan tentang sebab turun ayat atau bukan.
Lebih lanjut perlu dikemukakan, bahwa diantara surat dan ayat al-Qur’a>n ternyata ada yang mengalami dua kali turun. Hal ini diakui oleh sebagian besar ulama. Konsekuensi dari kondisi demikian ialah, tidak tertutup kemungkinan adanya satu surat atau ayat memiliki dua macam asba>b al-Nuzu>l.
Disamping itu, ada pula satu ayat yang hanya satu kali turun tetapi memiliki lebih dari satu peristiwa sebagai sebab turunya. Demikian pula ada satu peristiwa yang menyebabkan lebih satu ayat yang turun.14
Terkadang ada dua riwayat atau lebih yang mengemukakan tentang asba>b al-Nuzu>l untuk satu ayat tertentu. Dalam hal ini, perlu diadakan penelitian tentang riwayat-riwayat yang dimaksud. Langkah penelitian yang harus ditempuh dalam hal ini ialah:15
14
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:2011), 145.
15
(35)
25
1. Bila riwayat yang satu berkualitas sahih sedang yang lainya d}a>‘if maka riwayat yang berkualitas s}ah}ih} harus diambil
2. Bila kedua-duanya s}ahih dan dapat dijadikan tarjih, maka yang dipakai adalah riwayat yang lebih s}ah}ih}. Hal ini ditempuh dengan cara meneliti:
a. Semua sanad dan periwatannya:
b. Bentuk redaksi yang dipakai oleh riwayat-riwayat yang ada dan c. Siapa periwayat yang langsung menghadiri peristiwa turunya ayat
itu, karena itu dia berumur berapa, bagaimana tentang pengakuan dia sendiri tentang ayat itu, dan sebagainya.
3. Bila kedua-duanya s}ah}ih} dan tidak dapat di tarjih-kan tetapi masih dapat dikompromikan, maka kedua riwayat itu sama-sama dipakai dan saling menjelaskan.
4. Bila kedua-duanya s}ah}ih} dan tidak dapat dikompromikan, maka kedua riwayat itu sama-sama dipakai, dengan pengertian bahwa ayat itu telah turun lebih dari satu kali.
Berdasarkan metode penelitian tentang asba>b al-Nuzu>l tersebut, tampak dengan jelas bahwa, ilmu hadith sangat berperan dalam proses penelitian dan dalam menentukan riwayat-riwayat yang dapat dipakai tentang sebab turunya suatu ayat.
4. Hubungan Sebab Akibat Dalam Kaitanya Dengan Asba>b al-Nuzu>l
Ulama’ telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi dengan ayat yang turun. Hal ini dianggap penting, karena sangat erat kaitanya dengan
(36)
26
penetapan hukum, sebagai akibat darinya, berdasarkan ayat yang bersangkutan. Yakni, apakah ayat itu berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, ataukah tetap terikat dengan sebab turunya ayat itu.16 Puncak perselisihan paham ini melahirkan dua kaidah yang saling berhadapan, yang masing-masing berbunyi:
(yang menjadi „ibrah (pegangan) ialah keumuman lafal bukan kekhususan
sebab)
(yang menjadi „ibrah (pegangan) ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal)
Al-Zarqa>ni> dalam mengawali pembahasan tentang hubungan antara sebab dengan jawaban sebagai akibat atas sebab itu menyatakan, bahwa jawaban atas suatu sebab, ada dua kemungkinan:
1. Jawaban itu dalam bentuk pernyataan yang bebas, dalam arti berdiri sendiri atau terlepas dari sebab yang ada.
2. Jawaban itu dalam pernyataan yang tidak bebas, dalam arti tetap terkait secara langsung dengan sebab yang ada.
Adapun tentang jawaban yang bebas karena dapat berdiri sendiri atau terlepas dari sebabnya, oleh al-Zarqa>ni> dinyatakan ada dua macam kemungkinan yakni:17
16
Nasruddin Bidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:2011), 146.
17
(37)
27
1. Searah dengan kapasitas cakupan hukum maupun dari segi kekhususanya. Jadi disini ada dua macam kemungkinan juga yakni: a. Sebab yang bersifat umum memiliki akibat yang bersifat umum. b. Sebab yang bersifat khusus memiliki akibat yang bersifat khusus. 2. Tidak searah dengan kapasitas cakupan hukumanya antara sebab
dengan ayat yang turun. Dalam hal ini, ada pula dua kemungkinan bentuknya:
a. Sebab yang bersifat umum, sedang lafal ayat sebagai jawabanya bersifat khusus.
b. Sebab yang bersifat khusus, sedang lafal ayat sebagai jawabanya bersifat umum. Bentuk ini ada dua kemungkinan juga:
1. Jawaban itu memiliki qari>nah. Dalam hal ini, ulama sepakat berpegang pada apa yang dicakup oleh sebab.
2. Jawaban itu tidak memiliki qari>nah. Dalam hal ini, ulama’ berbeda pendapat tentang mana yang harus dipegangi.
a. Jumhu>r ulama berpendapat, bahwa yang harus dipegangi
adalah keumuman lafal dan bukan kekhususan sebab. Kaidahnya berbunyi:
(38)
28
Diantara argumenya adalah sebagai berikut:
1. Hujjah yang harus dipegangi adalah lafal ayat dan sebab-sebab yang timbul hanya berfungsi sebagai penjelasan:
2. Pada prinsipnya, kandungan lafal memiliki pengertian umum terkecuali ada qari>nah : dan
3. Para sahabat Nabi dan mujtahid di berbagai tempat dan masa berpegang pada teks ayatnya dan bukan pada sebab yang terjadi.
b. Sebagian ulama lainya berpendapat, bahwa yang harus di pegangi adalah kekhususan sebabnya. Kaidah yang mereka
pergunakan adalah .
Diantara argumenya adalah bahwa ayat yang turun pada hakikatnya merupakan keringkasan kasus yang terjadi beserta petunjuk penyelesaianya. Sedangkan pada kasus lain yang serupa denganya, maka hukum yang dipakai tidaklah berasal langsung dari ayat itu sendiri, melainkan berasal dari pemakaian qiya>s (analog).18
18
Al-Zarkasyi, Manna> Khalil Al-Qatha>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an, terj. Mudzakir (Bogor: PustakaLitera AntarNusa, 1992), 85.
(39)
29
Dari pengertian tentang asba>b al-Nuzu>l di atas ada penafsiran ath- T}abari> dalam menjelaskan ayat-ayat tentang larangan membunuh anak dengan
menggunakan kaidah (yang menjadi „ibrah
(pegangan) ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal).
Penafsiran ini berbentuk riwayat atau yang sering disebut dengan “tafsir bi
alma’thu>r atau bi al-riwa>yat dalam bentuk penafsiran yang paling tua dalam
h}azanah intelektual Islam.19Ath-T}abari} Diantaranya dalam menjelaskan ayat-ayat
tentang larangan membunuh anak.
82815
-
.
Adapun penafsiran Ibnu Katsi>r juga berbentuk riwayat dalam menjelaskan ayat-ayat tentang larangan membunuh anak seperti:20
Ali Ibnu Talh}ah} meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya :
Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka.21
19
Nasruddin Bidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:2011), 370.
20Ibnu Katsi>r, Tafsir Ibnu Katsi>r , terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, Vol.3 (Bogor:
Pustaka Imam asy-Syafi’i), 93.
21
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), al-An‘a>m:817.
(40)
30
Sedangkan penafsiran M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat tentang larangan membunuh anak menggunakan kaidah
dalam surah al-An‘a>m ayat 151 M. Quraish menafsirkan larangan
membunuh jiwa dalam ayat tersebut dibarengi dengan kata-kata (
yang diterjemahkan dengan yang diharamkan Allah kecuali berdasar
sesuatu yang benar. Terjemahan ini berpijak pada kata h}arrama yang dipahami dalam arti diharamkan atau dilarang. Kalimat ini berfungsi menjelaskan bahwa larangan membunuh bukan sesuatu yang baru, tetapi merupakan syariat seluruh agama sejak kelahiran manusia di pentas bumi ini. Dapat juga kata h}arrama yang di kaitkan dengan jiwa manusia dalam ayat tersebut, dipahami dalam arti yang dijadikan terhormat oleh Allah. Penggalan ayat ini seakan- akan menyatakan: janganlah membunuh jiwa, karena jiwa manusia telah dianugerahi Allah kehormatan, sehingga tidak boleh disentuh kehormatan itu dalam bentuk apapun.22
Dalam ayat ini terdapat tiga kali larangan membunuh. Pertama larangan membunuh anak, kedua larangan melakukan kekejian seperti berzina dan membunuh, dan ketiga larangan membunuh kecuali dengan hak.23
22
M. Quraish shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an , Vol.4 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 330-303.
23
(41)
31
Dapat disimpulkan bahwa ayat diatas mengandung tuntutan umum menyangkut prinsip dasar kehidupan yang bersendikan kepercayaan akan keesaan Allah swt. Hubungan antar sesama berdasarkan hak asasi penghormatan serta kejahuan dari segala bentuk kekejian moral.
M. Quraish Shihab dalam surat al-An‘a>m ayat 137 dalam menafsirkan ayat-ayat tentang larangan membunuh anak juga mengemukakan bahwa ada persamaan antara aborsi dengan pembunuhan, yaitu menghilangkan nyawa yang telah siap atau berpotensi untuk berpartisipasi dalam tugas kekhalifaan. Tapi banyak juga perbedaanya. Namun ironisnya, dalih atau alasan pelaku aborsi dewasa ini jauh lebih buruk dari alasan mereka yang melakuakan pembunuhan bayi pada massa lampau.
Pada zaman jahiliyah, mereka membunuh anak khawatir takut miskin, baik sekarang menyangkut dirinya, maupun kelak menyangkut anaknya, sedangkan massa jahiliyah modern ini perbuatan keji itu mereka lakukan pada umumnya untuk menutup malu yang menimpa mereka setelah terjadi apa yang mereka
namakan “kecelakaan” akibat dosa ibu mereka setelah berzina, bukan karena
khawatir takut kemiskinan.
Pada massa jahiliyah yang dibunuh atau yang ditanam hidup-hidup hanya anak perempuan, tetapi kini yang dibunuh adalah anak, baik perempuan maupun lelaki. Dapat disimpulkan bahwa penafsiran diatas mengandung makna umum.
(42)
32
B. FUNGSI HADIS
Berdasarkan kedudukan al-Qur’an dan hadis, sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan lainya jelas tidak bisa di pisahkan.
al-Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Disinilah hadith menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) Isi kandungan al-Qur’an tersebut.24
Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam. Menurut Imam Al-Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu: bayan al-Tafsir, bayan
al-Takhsis, bayan al-Ta’yin, bayan al-Tashri’, dan bayan al-Nasakh . Dalam
al-Risalah ia menambahakan dengan bayan al-Isharah. Ahmad bin Hambal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-Ta’kid, bayan al-Tafsir bayan
al-Tashri’, dan bayan al-Takhsis.25 1. Bayanal-Taqrir
Bayan al-Taqrir disebut juga bayan al-Ta’kid dan bayan al-Ithbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadith dalam hal ini, hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
24
Zainul Arifin, Ilmu Hadis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014), 52. 25
(43)
33
Menurut sebagian Ulama, bahwa bayan taqrir ataubayan ta’kid, disebut juga bayan al-Muwafiq nash al-Kitab al-Karim. Hal ini karena munculnya hadith-hadith itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.
2. Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud bayan al-Tafsir, adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq, dan ‘am. Maka fungsi hadis dalam hal ini, memberikan perincian (tafsir) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih mutlaq, dan memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum.26
1. Memerinci ayat-ayat mujmal
Mujmal, artinya ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkanya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapanya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat mujmal yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah Allah untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qisas, dan hudud. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih global atau
26
(44)
34
garis besar meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal ini karena, dalam ayat-ayat tersebut tidak dijelaskan, misalnya bagaimana mengerjakanya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya dll.
2. Men-Taqyid ayat-ayat yang muthlaq
Kata mutlaq, artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya.
Men-Taqyid dan mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.
3. Men-Takhsis ayat yang ‘Am
Kata „am, ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhsis atau khas, ialah kata yang menunjuk arti khusus, tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud mentakhsis yang ‘am disini, ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’a>n, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka para ulama berbeda pendapat, apabila mukhasisnya dengan hadith ahad. Menurut Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa di takhsis oleh hadith ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulama Hanafiyah sebaliknya.
(45)
35
Kata al-Tashri’ , artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan al-Tasri’ di sini, ialah penjelasan hadith yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’a>n. Rasulullah dalam hal ini, berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Banyak hadith Rasulullah Saw masuk kedalam kelompok ini. Diantaranya, hadith tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya) dll.
Hadith Rasulullah SAW yang termsuk bayan tasyri’ ini, wajib diamalkan,
sebagaimana kewajiban mengamalkan hadith-hadith lainya. Ibnu al-Qayim berkata, bahwa hadith-hadith Rasulullah yang berupa tambahan terhadap
al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya dan bukanlah sikap Rasulullah SAW itu mendahului
al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas, disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayan
lainya, seperti bayan al-Nasakh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadith sebagai nasikh dan ada yang menolaknya. Yang menerima adanya nasakh di antaranya ialah jumhur ulama mutakallimin, baik
mu’tazilah, maupun asy’ariyah, ulama malikiyah, hanafiyah, Ibn Hazm dan
(46)
36
mayoritas ulama pengikutnya serta mayoritas ulama pengikutnya serta mayoritas ulma Z}ahiriyah.27
4. Bayan al-Nasakh
Kata al-Nasakh secara bahasa, bermcam-macam arti. Bisa berarti al-Ibtal
(membatalkan), atau al-Iza>lah (menghilangkan), atau al-Tah}wil (memindahkan),
atau taghyir (mengubah).
Diantara para ulama, baik mutaakhirin maupun mutaqaddimin, terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan al-Nasakh ini. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, bahwa yang disebut bayan al-Nasakh, ialah adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian.
Dari pengertian diatas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian dari pada al-Qur’an, dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al-nasakh.
27
(47)
37
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap
al-Qur’an juga berbeda pendapat, terhadap macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi pada tiga kelompok.
Pertama membolehkan me-nasakh al-Qur’a>n dengan berbagai macam hadith,
meskipun dengan hadith ahad. Pendapat ini, di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutakaddimin dan Ibnu Hazm serta sebagian pengikut para z}ahiriyah.
Kedua, yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadith tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang di antaranya oleh Ulama Hanafiyah.
(48)
38
BAB III
PENAFSIRAN AYAT-AYAT LARANGAN MEMBUNUH ANAK
Penafsiran Ayat-Ayat Larangan Membunuh Anak
1. Surat al-Isra’ ayat 31
Sebelumnya Allah berfirman
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Di sini Allah berfirman Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan.” Jadi lafaz} dibaca nas}ab
berkedudukan sebagai „athaf (sambungan) dari lafaz}
Maksud lafaz} karena takut kemiskinan,” adalah takut fakir dan
kekurangan. Sebelumnya kami telah menjelaskan, berikut argumen-argumennya. Kami juga menyebutkan riwayat tentangnya. Allah berfirman demikian kepada orang-orang Arab karena mereka suka membunuh anak-anak perempuan mereka karena takut miskin lantaran membiayai hidup mereka sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut ini:1
1
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-thabari, Tafsir Al-Thaba>ri, terj. Akhmad Affandi dkk.,( Jakarta: Pustaka Azzam,2009), 652.
(49)
39
22343. Bisyr mennyeritakan pada kami, ia berkata: zayid menceritakan kepada kami, said menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang
firman Allah, “Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”. Maksudnya ialah takut melarat. Orang-orang jahiliyah suka membunuh anak-anak mereka karena takut melarat, sehingga Allah menasihati mereka tentang hal itu dan memberi tahu mereka bahwa rizeki mereka dan rizeki anak-anak mereka ada ditangan Allah. Allah
berfirman “kamilah yang
akan memberi rizeki kepada mereka dan juga kepadamu sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
22344. Muhammad bin Abdul A’la menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Tsur menceritakan kepada kami dari Ma’mar, dari
Qatadah, tentang firman Allah, “karena takut kemiskinan”
ia berkata, “Mereka membunuh anak-anak perempuan.
22345. Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Husain menceritakan kepada kami ia berkata : Hajjaj menceritakan kepadaku dari ibnu juraij, ia berkata: mujahid berkomentar, tentang firman Allah,
(50)
40
karena takut kemiskinan, “ia berkata lafaz} artinya adalah
kemelaratan dan kemiskinan.
22346. Ali menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu s}alih menceritakan kepada kami, ia berkata: Muawiyah menceritakan kepadaku, dari Ali, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah, “karena takut
kemiskinan,” ia berkata, “kemiskinan”
Para ulama qira’at berbeda dalam membaca firmanya,
sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar.” Mayoritas ulama qira’at Madinah dan Irak membacanya dengan huruf kha
dibaca kasrah dan huruf t}a dibaca sukun. Apabila lafaz} ini dibaca demikian, maka ia memiliki dua takwil:
Pertama, ia merupakan isim fail dari lafaz} yang berarti berdosa
dan berbuat salah. Diriwayatkan dari orang-orang Arab bahwa lafaz} artinya
adalah, aku berbuat dosa dengan sengaja. Sedangkan lafaz} artinya adalah,
(51)
41
Kedua, ia memiliki arti dengan huruf kha dan t}a dibaca fathah, kemudian
huruf kha dibaca kasrah dan huruf t}a dibaca sukun, seperti dan
. lafaz} adalah isim mashdar dari “laki-laki itu bersalah”. Bisa
jadi ia adalah isim fa’il dari , sedangkan masdarnya ialah Sebuah
pendapat mengatakan bahwa lafaz} sama artinya dengan sebaimana
ungkapan penyair berikut ini:
“Alangkah malangnya Hindun ketika mereka keliru menyerang Kahil”
Sebagian ulama qira’at madinah membacanya
huruf kha dan t}a dibaca fathah, serta bacaan ma>d (panjang) pada huruf
t}a, yang artinya sama dengan . bedanya hanya pada ma>d.
Mayoritas ahli bahasa Arab Kufah dan sebagian ahli bahasa Bashrah berpendapat bahwa lafaz} dan memiliki arti yang sama. Hanya saja,
(52)
42
qira’at, sedangkan
lebih populer dalam percakapan dan syair mereka, kecuali
dalam bait berikut ini :
“Dosa itu nista, dan kebajikan itu dianjurkan. Seperti ajwah yang ditanam di
tanah lalu di perbaiki”
Aku telah menjelaskan perbedaan antara dan bacaan yang menurut
kami adalah bacaan yang di pegang oleh ulama qira’at Hijaz karena kesepakatan argumen dari para ulama qira’at, dan status syadh (jarang) pada bacaan selainya, yang artinya adalah dosa dan kesalahan, bukan perbuatan yang keliru atas kesengajaan itulah Allah menegur mereka dan menyampaikan larangan kepada mereka.2
Penakwilan kami ini sejalan dengan pendapat para ahli takwil, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut ini :
22347. Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: isa menceritakan kepada kami, ia berkata: waraqa menceritakan kepada kami, seluruhnya dari ibnu Abi Najih, dari mujahid, tentang firman Allah “dosa besar” ia berkata “dosa”
2
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Tafsir Al-Thaba>ri, terj. Akhamd Affandi dkk.,( Jakarta: Pustaka Azzam,2009), 654.
(53)
43
22348. Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Husain menceritakan kepada kami, ia berkata : Hajjaj menceritakan kepadaku dari ibnu juraij, dari mujahid, tentang firman Allah,
Dosa yang besar ia berkata lafaz} artinya adalah dosa.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Swt. Lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada orang tua kepada anaknya, karena Dia melarang membunuh anak-anak dan dalam kesempatan yang lain Allah memerintahkan kepada orang tua agar memberikan warisanya kepada anak-anaknya.3 Dimasa Jahiliyah orang-orang tidak memberikan warisan kepada anak perempuanya, bahkan adakalanya seseorang membunuh anak perempuanya agar tidak berat bebanya. Karena itulah Allah Swt. Melarang perbuatan itu melalui firman-Nya:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.4 Yakni takut berakibat jatuh miskin di masa mendatang. Karena itulah dalam firman selanjutmya diprioritaskan penyebutan tentang rizeki anak-anak mereka. Untuk itu Allah Swt. Berfirman :
3Ibn Katsi>r, Tafsir Ibn Katsi>r, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al- Atsari, Vol.3 (Kairo: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 4002), 199.
4 Ibid.
(54)
44
Kamilah yang akan memberi rizeki kepada mereka dan juga kepada kalian5
Dengan kata lain, khitab dalam ayat ini ditunjukkan kepada orang yang mampu, yakni kamilah yang memberi rizeki mereka dan juga rizeki kalian. Lain halnya dengan apa yang disebutkan di dalam surat al-An‘a>m, khitab-Nya di tunjukkan kepada orang miskin.6 Allah Swt. Telah berfirman:
Dan janganlah kalian membunuh anak- anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizeki kepada kalian dan kepada mereka.7
Adapun firman Allah Swt:
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.8 Maksudnya, perbuatan dosa besar. Sebagian ulama membacanya khataban
kabi>ran, tetapi maknanya sama. Di dalam kitab S}ahi}hain disebutkan melalui
Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada
5
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, al-Isra’: 31.
6Ibn Kathi>r, Tafsir Ibn Kathi>r, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al- Atsari, Vol.3 (Kairo: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 4002), 199.
7
Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah(Semarang: Karya Toha Putra, 2002),al-An‘a>m: 151. 8
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Karya Toha Putra, 2002)
(55)
45
Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?” Rasulullah
Saw, menjawab:
Bila kamu mengadakan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu.
Ia bertanya lagi, “kemudian dosa apa lagi?” Rasulullah Saw. menjawab:
Bila kamu membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu. Ia bertanya lagi, kemudian dosa apa lagi? Rasulullah Saw. menjawab:
Bila kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu.
Salah satu keburukan masyarakat jahiliyah adalah membunuh anak-anak perempuan antara lain karena faktor kemiskinan. Setelah menjelaskan bahwa Allah menganugerahkan kepada semua hamba-Nya rizeki sesuai kebutuhan masing-masing, maka ayat ini melarang pembunuhan itu dengan menyatakan: dan disamping larangan sebelumnya jangan kamu mebunuh anak-anak kamu karena kamu takut kemiskinan akan menimpa mereka. Jangan hawatirkan tentang rizeki mereka dan rizeki kamu. Bukan kamu sumber rizeki kepada mereka dan juga
(56)
46
kepada kamu. Yang penting kamu masing-masing berusaha untuk memperolehnya sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.9
Larangan ayat ini ditunjukkan kepada umum.10 Ini dapat dipahami dari bentuk jamak yang digunakanya, (janganlah kamu)- seperti juga ayat-ayat berikut, berbeda dengan ayat-ayat yang lalu menggunakan bentuk tunggal (janganlah engkau). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa keburukan yang dilarang menggunakan ayat-ayat bentuk jamak adalah keburukan yang tersebar di dalam masyarakat jahiliyah, atau penggunaan bentuk jamak itu untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dipesankannya merupakan tanggung jawab pribadi demi pribadi.11
Redaksi ayat diatas sedikit berbeda dengan redaksi al-An‘a>m: 151. Disana dinyatakan :
“dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka”.12 sedang ayat selanjutnya menyatakan :
9
Quraish shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 454.
10
Quraish shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 454.
11
Ibid 12
(57)
47
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rizeki kepada mereka dan juga kepadamu”. Ketika menafsirkan Q.S. al-An‘a>m penulis mengemukakan bahwa motivasi pembunuhan yang dibicarakan oleh ayat al-An‘a>m adalah kemiskinan yang sedang dialami oleh ayah dan kekhawatiranya akan semakin terpuruk dalam kesulitan hidup akibat lahirnya anak. Karena itu dalam surat al-An‘a>m Allah
segera memberi jaminan kepada sang ayah dengan menyatakan bahwa: “Kami akan memberi rizeki kepada kamu”, baru kemudian dilanjutkan dengan jaminan ketersediaan untuk anak yang dilahirkan, yakni melalui lanjutan ayat itu yang menyatakan kepada mereka, yakni anak-anak mereka. Adapun dalam surat
al-isra’:31, maka kemiskinan belum terjadi, baru dalam bentuk kekhawatiran. Karena itu dalam ayat tersebut ada penambahan kata “khasyat”, yakni takut.
Kekhawatiran itu adalah kemiskinan yang boleh jadi akan dialami anak. Maka untuk menyingkirkan kekhawatiran sang ayah, ayat itu segera menyampaikan
bahwa “kamilah yang akan memberi rizeki kepada mereka”, yakni anak-anak yang kamu khawatirkan jika dibiarkan hidup akan mengalami kemiskinan. Setelah jaminan ketersediaan rizeki itu barulah disusul jaminan serupa kepada ayah
(58)
48
Penggalan ayat diatas dapat juga dipahami sebagai sanggahan bagi mereka yang menjadiakn kemiskinan apapun sebabnya sebagai dalih untuk membunuh anak.13
Kata (al-Khit}) berbeda dengan kata (al-khat}a’). Yang pertama berarti dosa atau kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, sedang yang kedua adalah yang terjadi tanpa sengaja dan tanpa maksud dari pelakunya. Penegasan bahwa pembunuhan adalah dosa sengaja ditekankan karena ketika itu sebagian anggota masyarakat Jahiliyah menduganya baik dan benar.
2. Surat al-An‘a>m ayat 151
Sebelumnya Allah berfirman Berbuat baiklah terhadap
kedua orang tua” maksudnya adalah, Allah Swt mewasiatkan agar berbuat baik kepada kedua orang tua.14
Disembunyikanya lafaz} karena secara langsung kalimat telah
menunjukkanya, dan yang mendengarkan juga secara tidak langsung telah mengetahuinya. Telah kami jelaskan hal itu pada sebagian sebelumya.
13
Quraish shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 334.
14
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari,terj. Akhmad Affandi dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam,2009), 672.
(59)
49
Huruf dalam firman Allah Swt, “Janganlah kamu
mempersekutukan- Nya dengan sesuatu,” ada pada posisi rafa’ , sebab makna ayat
adalah, “katakanlah, kemarilah aku
bacakan apa-apa yang diharamkan oleh Tuhan kalian kepada kalian, yaitu
janganlah kalian menyekutukan Allah Swt dengan apapun”. Jadi lafaz}
memiliki dua posisi: pertama majzum, dengan adanya yang menunjukkan
larangan. Kedua Nas}ab, sebab ayat bermakna pemberitahuan. Lafaz} di
nas}ab-kan dengan huruf atau bagaimana menunjukkan makna
khabar, padahal ia di- at}af-kan dengan firmanya
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan”, padahal setelahnya merupakan lafad} yang di jazm-kan yang menunjukkan larangan
Katakanlah: Hal itu dibolehkan, sebagaimana firman Allah Swt,
katakanlah, sesungguhnya aku diperintah supaya aku
(60)
50
sebagai khabar, sedangkan lafad} sebagai isim, kemudian di-„at}af-kan
kepada dan janganlah sekali-kali kamu masuk golongan
orang musyrik.
Abu Ja’far berkata maksud firman-Nya,
“janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan”, adalah
“janganlah kalian mengubur hidup-hidup anak-anak kalian sehingga membunuhnya karena takut jika kalian menafkahi mereka maka kefakiran akan menimpa kalian dan anak kalian, bukan kalian yang memberi rizeki kepada
mereka,”
Lafaz} adalah mas}dar dari perkataan seseorang yang di
ucapkan ketika bekal seseorang telah habis dan telah bangkrut. Makna yang kami ungkapkan sama seperti yang di nyatakan oleh para ulama tafsir.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan hal tersebut adalah:
14172. Al Muthanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Abdullah bin S}alih menceritakan kepada kami, ia berkata: Muawiyah menceritakan kepadaku dari Ali, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah Swt,
(61)
51
anak kamu karena takut kemiskinan.” Lafaz} maknanya adalah
kefakiran, mereka membunuh anak-anak mereka karena takut fakir. 14173. Bisyr bin Muadh menceritakan kepada kami, ia berkata: yazid
menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah Swt,
“dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut kemiskinan,” bahwa maksudnya adalah takut kesengsaraan.
14174. Muhammad bin Al Husain menceritakan kepadaku, ia berkata: Ahmad bin Mufad}al menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami kepada As-Suddi, tentang firman Allah SWT, Dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,” ia berkata,
“lafaz} maknanya adalah kefakiran.”
14175. Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata Husain menceritakan kepada kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, tentang firman Allah SWT, “karena takut kemiskinan” ia
(1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
Keputusan fatwa MUI 2005, menyatakan bahwa kehidupan dalam konsep Islam adalah suatu proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, oleh karena itu pengguguran sejak adanya pembuahan adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, semakin besar pula dosanya, apalagi setelah janin bernyawa dilakukan aborsi, terlebih lagi membunuhnya setelah lahir, meskipun bayi tersebut hasil dari hubungan gelap.18 Karena setiap anak yang lahir dalam keadaan suci tidak berdosa.
Bila dilihat secara hukum, seluruh fukaha (Ahli Fikih) dalam Islam, menyatakan bahwa bila aborsi dilakukan pada usia kehamilan di atas 120 hari, adalah haram. Namun bila aborsi dilakukan sebelum 120 hari kehamilan, para fukaha berbeda pendapat yaitu, 1. Mubah (boleh) menurut ulama Muhammad
Ramli dalam kitab al-Nihayah, dengan alasan janin belum bernyawa, 2. Makruh,
dengan alasan, janin masih dalam proses pertumbuhan, dan 3. Haram, menurut
Ibnu Hajar dalam Kitab al-Tuhfah dan Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.19
Dengan keterangan secara mendetail oleh ayat-ayat diatas dapat di analisis dengan menggunakan data-data tafsir ath-Thabari, Ibnu Kathi>r , Quraish Shihab dan teori asba>b al-Nuzu>l secara signifikan pada makna (membunuh)
mempunyai dua kaidah, dalam tafsir ath-Thabari dan Ibnu Kathi>r menggunakan
kaidah yang memaknai larangan membunuh
18
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 33.
19
(2)
106
anak yang sudah lahir sedangkan menurut Quraish Shihab, dalam konteks hari ini lebih luas, menanggapi makna membunuh anak ini, bisa juga dimaknai dengan aborsi.
Kemudian dilanjutkan dengan lafaz} (dosa/ kesalahan) , dalam ayat
perbuatan yang keliru atas kesengajaan itulah Allah menegur
mereka dan menyampaikan larangan kepada mereka, Kata (al-Khit}) berbeda
dengan kata (al-khat}a’). Yang pertama berarti dosa atau kesalahan yang
dilakukan dengan sengaja, sedang yang kedua adalah yang terjadi tanpa sengaja dan tanpa maksud dari pelakunya. Penegasan bahwa pembunuhan adalah dosa sengaja ditekankan karena ketika itu sebagian anggota masyarakat Jahiliyah menduganya baik dan benar.
(3)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dimasa Jahiliyah orang-orang tidak memberikan warisan kepada anak perempuanya, bahkan adakalanya seseorang membunuh anak perempuanya agar tidak berat bebanya. Karena itulah Allah Swt. Melarang perbuatan itu melalui firman-Nya:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.1 2. M. Quraish Shihab dalam surat al-An‘a>m ayat 137 dalam menafsirkan
ayat-ayat tentang larangan membunuh anak juga mengemukakan bahwa ada persamaan antara aborsi dengan pembunuhan, yaitu menghilangkan nyawa yang telah siap atau berpotensi untuk berpartisipasi dalam tugas kekhalifaan. Tapi banyak juga perbedaanya. Namun ironisnya, dalih atau alasan pelaku aborsi dewasa ini jauh lebih buruk dari alasan mereka yang melakuakan pembunuhan bayi pada massa lampau.
1
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Karya Toha Putra,
2002),Al-An‘a>m:137.
(4)
108
B. Saran
1. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, diharapkan studi ini dapat dijadikan sebagai penelitian lebih lanjut, terhadap studi yang berkenaan dengan Tafsir, Ulu>m tafsir serta Ulu>m al-Qur’an.
2. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga bisa membuat banyak orang berfikir mengenai sikap pembunuhan anak yang tak layak dilakukan oleh semua orang, karena hal tersebut telah dilarang dan diterangkan dalam
al-Qur’an
3. Semoga penelitian ini kelak dilanjutkan kembali, dengan lebih melakukan pendalaman mengenai kualitas sanad-sanad yang terdapat dalam periwayatan yang mewakili turunya suatu ayat
(5)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdu Ba>qi, Fu>ad Muhammad. Mu’jam Mufaras} Li Fa>dh Qur’a>n al-Kari>m. Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,8241 H.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’a>n Kritik Terhadap Ulu>m al-Qur’a>n. Yogyakarta: PT LkiS, 2005.
Al-Muqadis al-Hasan, Faydhilla>h. Fath al-Rahma>n. Dar Kutub
Al-Islamiyah,8211 H.
Al-Qatha>n, Manna>, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an, terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. Cet.I. 1992.
Al-Siddieqi, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith. Jakarta: Bulan Bintang,
1980.
Arifin, Zainul. Ilmu Hadis Historis dan Metodologis. Surabaya: Pustaka al-Muna, 2014.
Ar-Rumi Abdurrahman, bin Fahd. Ulumul Qur’a>n. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Ash-Shabuni Aly Muhammad, Pengatar Studi Qur’a>n. Bandung:
al-Ma’arif,1996.
Asy-Suyuti, Jalaludi Imam, Samudera Ulumul Qur’a>n. Terj. Farikh Marzuki Ammar dkk. Surabaya: Bina Ilmu Ofset, 2006.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Bidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: 2011.
Chirzin, Muhammad. al-Qur’an dan Ulu>m al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firadus, 1999.
(6)
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah. Semarang: Karya Toha Putra, 2002.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’a>n. Surabaya: Dunia Ilmu,1998.
Huzaemah Tahido Yanggo. Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Iqbal Sirojuddin, Mashuri dan A. Fudiali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Angkasa Anggota Ikapi, 1993.
Irianto, Sulistyowati. Perempuan dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2006.
Jarir Ath-thabari, Abu Ja’far Muhammad bin. Tafsir Ath-thabari. terj. Akhmad Affandi dkk., Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Kathi>r, Ibnu.Tafsir Ibnu Kathi>r, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al- Atsari, Vol.3. Kairo: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004.
LBM-PPL 2002 M, Uyunul Masa-il Linnisa’ Sumber Rujukan Permasalahan
Wanita, Kediri: Lajnah Bahthul Masa>il Madrasah Hidayatul Mubtadiin PP.
Lirboyo Edisi Revisi, 2003.
M. Shihab Qurais, Secercah Cahaya Ilahi. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Musyafa’ah, Sauqiyah. dkk., Studi al-Qur’a>n. Surabaya: IAIN SAPress, 2011.
Musyafa’ah, Sauqiyah.dkk., STUDI AL-QUR’AN, Surabaya: IAIN SA Press, 2012.
Shihab, Quraish. Metode Penelitian Tafsir. Ujung Pandang : IAIN Alauddin,1984.
shihab,Quraish. Tafsir al-MisbahPesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 4. Jakarta: Lentera Hati, 2001
Syadali, Ahmad. Ulumul Qur’a>n. Bandung: Pustaka Setia, 1997.