ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK : STUDI PUTUSAN NOMOR 003/PDT.G/2012/PA.AMB.
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
(Studi Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
SKRIPSI
Oleh
Muhammad Afif Attabaroh
NIM. C01211047
Universitan Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
2015
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisi Terhadap Putusan PA Ambarawa Tentang
Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak (Studi
Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)” ini merupakan hasil penelitian di
Pengadilan Agama Ambarawa yang bertujuan untuk menjawab 3 (tiga)
pertanyaan : 1) Bagaimana putusan Pengadilan Agama Ambarawa dalam
memutus perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb tentang kumulasi permohonan
izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak? 2) Apa saja pertimbangan hakim
dalam memutus perkara tentang kumulasi izin poligami, isbat nikah dan
penetapan anak? 3) Bagaimana analisi terhadap putusan PA Ambarawa tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak?
Guna mendapatkan data, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data
melalui dokumentasi dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama
Ambarawa. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
analitis dengan pola pikir deduktif sehingga mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai ada atau tidaknya kesesuaian antara putusan Pengadilan Agama
Ambarawa dengan hukum acara perdata.
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyebutkan bahwa: Pertama yang
menjadikan dasar hukum hakim dalam menerima perkara ini, majelis hakim
Pengadilan agama ambarawa didasari oleh bukti-bukti dan para saksi yang
dihadirkan dalam persidangan serta Undang-undang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Kedua yang menjadikan dasar hukum hakim yaitu perkara ini
sudah memenuhi syarat kumulatif dan alternative dan juga sesuai dengan asas
peradilan yang sederhana, biaya ringan dan cepat.
Dari hasil penelitian ini penulis mengambil kesimpulan bahwasanya
majelis hakim dalam menerima dan memutus perkara tersebut sudah sesuai
dengan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi
apabila ditinjau dari segi hukum acara perdata, majelis hakim kurang cermat
dalam memberikan putusan dalam perkara tersebut. Karena ada perkara di
dalamnya tidak dapat dikumulasikan menjadi satu putusan.
Dari kesimpulan, hendaknya lembaga peradilan yang berwenang untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara kumulasi bersikap cermat dalam
menerima permohonan atau gugatan. Sehingga, perkara yang diputus benar-benar
perkara yang sudah memenuhi syarat untuk dikumulasikan. Tanpa
mengenyampingkan asas umum Peradilan Agama yaitu asas sederhana, cepat
biaya ringan.
vi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN..................................... ...................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING… ...............................................................
iii
PENGESAHAH… ...........................................................................................
iv
MOTO … .........................................................................................................
v
ABSTRAK … ..................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR … ................................................................................
vii
DAFTAR ISI …...............................................................................................
viii
DAFTARTRANSLITERASI …………………………………………. ........
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah….......................................................
1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah… ........................................
11
C. Rumusan Masalah… ................................................................
12
D. Kajian Pustaka…......................................................................
12
E. TujuanPenelitian… ..................................................................
15
F. Kegunaan Hasil Penelitian… ...................................................
16
G. Definisi Operasional… .............................................................
16
H. Metode Penelitian… ................................................................
17
Sistematika Pembahasan… ......................................................
20
I.
BAB II
KUMULASI GUGATAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN
PENETAPAN ANAK
A. Kumulasi Gugatan… .................................................................
22
1. Pengertian Kumulasi… .................................................
22
2. Syarat Kumulasi… ........................................................
22
3. Dasar Hukum Kumulasi… ............................................
23
4. Tujuan Kumulasi… .......................................................
24
5. Bentuk Kumulasi… .......................................................
25
6. Perkara yang Bisa Dikumulasikan… ............................
27
ix
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7. Beberapa Penggabungan yang Tidak Dibenarkan… ....
28
B. Izin Poligami… .........................................................................
30
1. Pengertian Poligami… ..................................................
30
2. Dasar Hukum Poligami… .............................................
31
a.Al-Quran… .................................................................
31
b.Al-Hadis… .................................................................
c.Hukum Positif….........................................................
32
32
C. Isbat Nikah…..............................................................................
37
1. Pengertian Isbat Nikah… ..............................................
37
2. Dasar Hukum Isbat Nikah… .........................................
41
3. Faktor-Faktor Sebab Isbat Nikah… ..............................
42
4. Yang Berhak Mengajukan Isbat Nikah… .....................
43
D. Penetapan Anak… ......................................................................
1. Pengertian Penetapan Anak... ........................................
2. Dasar Hukum Penetapan Anak… ..................................
44
44
46
BAB III DESKRIPSI
PERKARA
PA
AMBARAWA
NOMOR:
0030/PDT.G/2012
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa… ................
47
1. Sejarah Singkat dan Letak geografis Pengadilan Agama
Ambarawa…..................................................................
47
2. Wilayah Yuridiksi Pegadilan Agama Ambarawa… .....
48
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa… .
49
B. Deskrpisi Kasus Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat, Nikah
dan Penetapan Anak di PA Ambarawa… .................................
50
1. Duduk Perkara Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan
Penetapan
Anak… ......................................................
50
2. Penyelesaian Perkara Kumulasi Permohonan Izin Poligami,
Isbat Nikah dan Penetapan Anak … .............................
52
x
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama
Ambarawa Dalam Memutus Perkara Izin Poligami, Isbat
Nikah dan Penetapan Anak… .......................................
58
BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT
NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
A. Analisi Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb…..........................
B. Analisis Putusan Hakim
61
Dalam Memutus Perkara Nomor:
0030/Pdt.G/2012/Pa.Amb…………………………………….
64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................
72
B. Saran-saran ................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum diberlakukan undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat
(2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua putusan
Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini
membuat Peradilan Agama secara devacto lebih rendah kedudukannya dari
Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam pasal 10 UU Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara.1
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, keberagaman
hukum peradilan agama telah sirna. Sejak saat itulah tercipta kesatuan
hukum yang mengatur peradilan agama di dalam kerangka sistem dan tata
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Dengan demikian, Undang-Undang yang mengatur susunan,
kekuasaan, dan hukum acara peradilan agama dalam lingkungan peradilan
agama merupakan pelaksanaan ketentuan dan asas yang tercantum dalam
1
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan
Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.2
Secara umum, isi UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan
tentang penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia, yaitu: perubahan
tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia,
kedudukan peradilan agama dalam tata peradilan nasional, kedudukan hakim
peradilan agama, kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama,
hukum acara peradilan agama, administrasi peradilan agama, dan perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.3
Hukum acara Peradilan Agama yang dimaksud dalam UU No. 7 Tahun
1989 diletakkan dalam BAB IV yang terdiri dari 37 pasal. Tidak semua
ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara lengkap
dalam UU No. 7 Tahun 1989 ini,4 hal ini dapat dilihat dari pasal 54 yang
menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang ini.” 5
Menurut pasal di atas, hukum acara Peradilan Agama sekarang
bersumber (garis besarnya) pada dua aturan, yaitu: yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berlaku di Peradilan Umum.
2
Abdul Rachmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2003), 9.
3
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), 273-274.
4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), 7.
5
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta:Asa Mandiri,2006), 25.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara
Perdata Peradilan Umum, antara lain:6
1. HIR (Het Herziene Inlandsche Recthvordering Reglement) / RIB
(Reglement Indonesia yang di Baharui)
2. R.Bg (Recth Reglement Buitengewesten)
3. Rsv (Reglement op de Bulgerlijke Recth svordering)
4. BW (Bulgerlijke Wetboek)
5. UU No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 8 Tahun 2004 jo No. 48 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan tentang acara perdata yang sama-sama
berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, yaitu:7
1. UU Nomor 14 Tahun 1970 jo UU Nomor 35 Tahun 1999 jo UU Nomor 4
Tahun 2004 jo UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman
2. UU Nomor 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung
3. UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Perkawinan dan Pelaksanaannya.
4. UU Nomor 7 tahun 1989 jo UU Nomor 3 Tahun 2006 jo UU Nomor 50
Tahun 2009.8
6
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), 21.
Ibid.
8
Muchtar zarkasyi, Sejarah Peradilan Agama di Indonesia, Makalah Materi Pendidikan Calon
Hakim Angkatan III Mahkamah Agung RI Tahun, (Jakarta: Bandung Press, 2008), 34.
7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
5. Undang-undang tentang Perbankan Syariah dan segala peraturan yang
berkaitan dengan perekonomian syariah.
6. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolahan Zakat dan UU Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
8. Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
yang berkaitan dengan hukum acara perdata.
9. Peraturan/Keputusan Mentri yang berkaitan seperti Menteri Agama dan
Menteri Hukum dan HAM.
10. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
11. Doktrin Hukum.
Dijelaskan dalam perubahan pertama UU Peradilan Agama, Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa “Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan,
Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sodaqoh, dan Ekonomi
Syariah.”9
Perkara perdata yang akan diajukan di pengadilan itu sekurangkurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat10 kemudian
salah satu pihak yang berkepentingan harus mengajukan gugatan atau
permohonan. Kemudian setelah gugatan atau permohonan terdaftar,
9
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, (Jakarta:PT Intermasa,
2009), 23.
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), 57.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
pengadilan bisa memeriksa perkara. Dari beberapa wewenang absolut
pengadilan agama, salah satu wewenang yang ditangani adalah bidang
perkawinan.
Kumulasi gugatan terdiri dari dua jenis yaitu11 : kumulasi subjektif dan
kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa
penggugat dan tergugat dalam satu gugatan (Pasal 127/HIR 151 RB.g., Pasal
1283-1284 BW ), seperti dalam kewarisan yang terdiri dari beberapa
penggugat melawan seorang tergugat atau seorang penggugat melawan
beberapa tergugat atau beberapa penggugat melawan beberapa tergugat.
Sedangkan kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan
terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan (Pasal 66 ayat (5)
dan Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989), seperti gugatan perceraian
yang dikumulasikan dengan tuntutan nafkah, hadhanah, mut’ah dan harta
bersama perlu dihindari.
Penggabungan/kumulasi
beberapa
gugatan
menjadi
satu
dapat
dilakukan apabila gugatan-gugatan yang digabungkan tersebut memiliki
hubungan dan keterkaitan erat atau memiliki koneksitas. Untuk menentukan
adanya hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-fakta.
Penggabungan/kumulasi
diperkenankan
apabila
menguntungkan
proses, yaitu apabila antara satu gugatan dengan gugatan lain memiliki
koneksitas dan penggabungan tersebut akan mempermudah pemeriksaan serta
11
Pedoman Kerja Hakim, Panitra Dan Jurusita Se Wilayah PTA Makasar ,Edisi Revisi, 2011, 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
bisa
mencegah
kemungkinan
adanya
putusan-putusan
yang
saling
bertentangan.
Pengadilan Agama Ambarawa terdapat sebuah putusan tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak pada
perkara Nomor
: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. dalam kasus ini pemohon
bernama Tri Basuki bin Solaeman mengajukan permohonan izin poligami,
isbat nikah dan sekaligus penetapan anak dalam satu permohonan. Dari pihak
termohon bernama Emilia binti Abdullah Thoriq. Permohonan ini diajukan
oleh pihak Pemohon diawali dengan izin berpoligami, kemudian ingin
mengisbatkan pernikahanya dengan istri yang kedua dan sekaligus ingin
menetapkan anak-anak yang terlahirkan atas pernikahan terhadap istri yang
kedua. Pemohon melaksanakan pernikahanya dengan istri yang kedua
disebabkan karena istri pertama tidak dapat melahirkan lagi, disebabkan istri
pertama sudah dua kali melakukkan operasi cesar sehingga tidak dapat
melahirkan lagi. Dalam permohonan ini, pemohon merangkap menjadi satu
permohonan kepada Pengadilan Agama Ambarawa, dan Pengadilan
menerimanya menjadi satu permohonan yang terdaftar dalam register perkara
Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
Pada pasal 49 ayat (2) dijelaskan bahwa “bidang perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
berlaku.”12 Salah satu undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia
adalah UU Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2), yang dimaksud dengan bidang
perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:13
1. Izin beristri lebih dari seorang (izin poligami)
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur 21 tahun dalam
hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Perceraian karena talak
8. Gugatan perceraian
9. Penyelesaian harta bersama
10. Mengenai penguasaan anak
11. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain dan seterusnya.
Masalah poligami dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur
dalam pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Pada asasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri
dan seorang wanita boleh mempunyai seorang suami.”14 Jika dilihat
ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut terlihat bahwa undang-undang perkawinan
mengikuti asas monogami. Hanya saja asas tersebut tidak mutlak seperti
dalam BW. Hal ini terlihat dalam pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa,
12
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
(Bandung:Kiblat Press,2006), 46.
13
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 139-140.
14
Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Surabaya:Arkola,2002), 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami beristri lebih dari
seorang apabila hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.15
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih pada satu
tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari
beberapa tuntutan yang disebut kumulasi obyektif. Sebagaimana dalam
penelitian yang penulis lakukan ini yaitu, penelitian terhadap putusan
Pengadilan
Agama
Ambarawa
yang
menangani
perkara
kumulasi
permohonan izin poligami, istbat nikah dan sekaligus didalamnya ada
permohonan penetapan anak. Hukum Positif tidak mengatur penggabungan
permohonan atau gugatan, baik dalam HIR maupun RBG, tidak mengaturnya.
Begitu juga dengan RV, tidak mengatur secara tegas dan tidak pula
melarangnya. Meskipun HIR dan RBG maupun RV tidak mengatur, peradilan
sudah lama mengaturnya dan menerapkanya, yang dibolehkan apabila
gugatan tersebut terdapat hubungan-hubungan yang erat. Kalau ditinjau dari
hukum acara perdata, bahwasanya antara izin poligami dengan istbat nikah
tidak dapat digabungkan dalam satu permohonan kepada pengadilan agama,
karena izin poligami produk hukumnya berupa putusan, sedangkan itsbat
nikah produk hukumnya berupa penetapan.
Kemudian juga antara izin poligami dan itsbat nikah berbeda jauh
dalam pokok perkaranya, izin poligami berupa perkara contensius yang
didalamnya ada pihak penggugat dan tergugat/ sedangkan itsbat nikah berupa
15
A. Masjkur Anhari, Usaha untuk Memberikan Kepastian Hukum dalam Perkawinan, (Surabaya:
Diantama, 2006), 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
perkara voluntair yang didalamnya masalah yang diajukan bersifat
kepentingan sepihak semata, dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang
masuk dalam perkara tersebut yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-
parte. Benar-benar murni dan mutlak satu pihak saja dalam perkara
tersebut.16
Kemudian juga dalam perkara ini dimasukkan perkara penetapan anak
dalam satu permohonan tersebut, dan kembali lagi dalam tinjuan hukum
acara perdata, permohonan anak tidak dapat dijadikan satu dalam perkara
permohonan izin poligami, karena penetapan anak juga bersifat perkara
voluntair
yang mana tidak ada pihak lain yang masuk dalam perkara
tersebut.
Berdasarkan teori tiap permohonan yang diajukan dalam surat
permohonan harus terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputus
dalam proses pemeriksaan dan putusan terpisah dan berdiri sendiri. Akan
tetapi berbeda apabila permohonan itu diajukan bersama-sama antara isbat
nikah dengan penetapan anak dalam hukum acara perdata diperbolehkan.
Sedangkan
dalam
batas-batas
tertentu,
diperbolehkan
melakukan
penggabungan permohonan dalam satu surat permohonan apabila antara satu
permohonan dengan permohonan yang lain terdapat hubungan erat atau
koneksitas. Secara teknis penggabungan beberapa permohonan dalam satu
16
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , ( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
permohonan disebut
kumulasi permohonan atau
semenvoeging van
vordering.17
Hal ini tertuang dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Admistrasi Peradilan Agama Buku II, sebagaimana dijelaskan tentang
kumulasi gugatan dengan syarat penggabungan tuntutan harus terdapat
koneksitas atau hubungan yang erat. Selain itu penggabungan tuntutan
diperbolehkan apabila penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta
akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling
berbeda atau bertentangan.18
Kalau dilihat dari uraian singkat dari deskrpisi tersebut, seharusnya
tidak diperbolehkan adanya penggabungan permohonan tersebut yang
diajukan oleh pemohon, karena tidak adanya kesingkronan atau koneksitas
dari pengajuan permohonan kumulasi permohonan tersebut, seharusnya
dipisahkan atau berdiri sendiri antara permohonan izin poligami dan itsbat
nikah yang juga dimasukkan adanya penetapan penetapan anak dari
perkawinan sirri pemohon dengan istri kedua.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih mendalam dalam judul skripsi “Studi Analisis Terhadap Putusan PA
Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Itsbat Nikah Dan
Penetapan Anak (Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
17
18
Ibid., 102.
Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi 2010, 90.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang
dapat penulis identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Tata cara mengajukan poligami dan alasan diperbolehkan poligami
2. Tata cara mengajukan isbat nikah dan alasan diperbolehkanya pengajuan
isbat nikah
3. Tata cara mengajukan penetapan anak
4. Syarat-syarat menggabungkan (kumulasi) permohonan
5. Dasar hukum kumulasi gugatan
6. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan
Anak (Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
7. Analisis terhadap putusan tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami,
Isbat
Nikah,
dan
P{enetapan
Anak
(Putusan
Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
Sedangkan batasan masalah yang menjadi titik fokus penulis
dalam penelitian ini, yaitu penulisi akan mengkaji tentang:
1. Analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan
izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan Anak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka pokok
persoalan yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin
poligami, isbat nikah dan penetapan anak?
2. Apa saja pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kumulasi
permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan anak?
3. Bagaimana analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi
permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan Anak?
D. Kajian Pustaka
Setelah Penulis melakukan kajian Pustaka, penulis menjumpai hasil
penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya yang mempunyai
relevansi dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, yaitu sebagai
berikut:
1. Kumulasi Permohonan Isbat Nikah Dan Gugatan Cerai Di PA Jombang
oleh Ida Fauziah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2005. Penelitian ini
membahas tentang dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim
dalam memutus perkara kumulasi permohonan isbat nikah dan gugatan
cerai di PA Jombang.19
2. Studi Analisis PA Lamongan Nomor: 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg tentang
Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif Undang19
Ida Fauziah, (Kumulasi Permohonan Isbat Nikah dan Gugatan Cerai di PA Jombang), (Skripsi-IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001), 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
Undang Nomor 7 Tahun 1989, Skripsi oleh Lutfi Aulawi, Fak. Syariah
IAIN Sunan Ampel, 2010. Focus pembahasan dalam penelitian ini
tentang proses penyelesaian dan dasar hukum yang digunakan hakim PA
Lamongan terhadap kumulasi perkara permohonan isbat nikah dengan
perceraian dan bagaimana analisis UU No. 7 Tahun 1989 terhadap
Putusan PA tentang perkara perohonan isbat nikah dengan perceraian.20
3. Korelasi Proses Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan
Sederhana,Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya oleh
Ainul Yaqin, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2001.Penelitian ini
membahas tentang seberapa jauh hubungan perlaksanaan kumulasi
gugatan dengan asas peradilan sederhana, cepatdan biaya ringan di PA
Surabaya.21
4. Analisis Tidak Diterimanya Kumulasi Gugatan Perkara Perceraian di PA
Kabupaten Kediri oleh Almar’atu Fi Dzilalil Quran, Fak.Syariah IAIN
Sunan Ampel, 2010.Penelitian ini membahas tentang pertimbangan
hakim yang tidak menerima kumulasi gugatan perceraian dan harta
bersama berdasarkan pasal 86 ayat 1 UU PA serta analisis hukum acara
perdata terhadap tidak diterimnya kumulasi perceraian dan harta
bersama.22
20
Lutfi Aulawi, (Studi Analisi Putusan PA LAmongan Nomor 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg Tentang
Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif UU No. 7 Tahun 1989) , (Skripsi -IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 15.
21
Ainul Yaqin, (Korelasi Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan Sederhana,Cepat
dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya), ( Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
2001), 14.
22
Almar’atu Fi Dzilalil Qur’an, (Analisis Tidak Diterimanya Kumulasi Gugatan Perkara
Perceraian di PA Kabupaten Kedir), (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya), 2010, 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
5. Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA Tuban
No.1995/Pdt.G/2006/PA.Tbn dalam Prepektif Hukum Acara Perdata oleh
Novan Bagus
Firmansyah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel,
2010.Penelitian membahas tentang pertimbangan hakim dalam penerapan
kumulasi gugatan perkara pembatalan hibah dan pembagian harta warisan
di PA Tuban serta bagaimana analisis hukum acara perdata terhadap
kumulasi pembatalan hibah dan pembagian harta waris di PA Tuban.23
Dari beberapa kajian pustaka yang ada, memang memiliki
kesamaan pembahasan yaitu membahas tentang kumulasi, baik kumulasi
gugatan ataupun kumulasi permohonan. Akan tetapi yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah kumulasi
permohonan yang dijadikan satu oleh Pemohon dalam satu permohonan
kepada Pengadilan Agama Ambarawa.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin
poligami, isbat nikah dan penetapan anak.
2. Mengetahui apa saja pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tentang
Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak.
23
Novan Bagus Firmansyah, (Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA
Tuban No.1995/Pdt.G/2006/PA.Tbn dalam Prepektif Hukum Acara Perdata) ,(Skripsi -- IAIN
Sunan Ampel, Surabaya), 2010, 13.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
3. Menganalisis Putusan PA Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin
Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak di Pengadilan Agama
Ambarawa dalam putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
F.
Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulisi berharap hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis,
sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan.Dan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi
pemerhati hukum dalam perkara izin poligami, isbat nikah dan penetapan
anak.
2. Secara praktis, penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini
diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi
penegakkan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu,
diharapkan juga akan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat umum
secara luas guna menjawab kontroversi yang ada selama ini.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami maksud dari
penelitian ini maka penulis memberi definisi operasional sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
1. Analisis : Suatu usaha untuk mengamati secara detail sesuatu hal atau
benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya
atau penyusunya untuk dikaji lebih dalam atau lanjut.24
2. Kumulasi Permohonan : penggabungan beberapa permohonan atau
tuntutan yang di dalamnya ada keterkaitan antara permohonan yang satu
dengan permohonan lainya.25 Dalam hal ini adalah kumulasi permohonan
izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.
3. Putusan : Suatu pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak26.Dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
H. Metode Penelitian
1.
Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam
penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:
a.
Data tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan
penetapan anak dalam Putusan PA Ambarawa
b.
Data tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan
kumulasi permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan
Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 9.
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan
Praktik,(Garut:Yayasan Al Umaro), 1991, 69.
26
Ibid, 177.
24
25
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
Anak
di
PA
Ambarawa
dalam
putusan
Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
a.
Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari subyek
penelitian
dengan
menggunakan
alat
pengukuran
dan
alat
pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber informasi
yang dicari27
Data primer dalam penelitian ini adalah salinan putusan
Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
b.
Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah28 data yang diperoleh dari pihak lain,
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitianya.Data
sekunder berasal dari buku-buku maupun literature lain, meliputi:
1.
Kompilasi Hukum Islam, Balitbang Diklat Kumdil MA RI, Jakarta,
2008.
2.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
3.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4.
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undangundang RI Nomor 7 Tahun 1989.
27
28
Syaifuddin azwar, Metode Penelitian , (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, 1998), 90.
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
5.
Undang-undang No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU RI
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama Buku II, 2010.
7.
A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2008.
8.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008.
9.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008.
10. M. Yahaya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika,
2009.
11. R.Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung:
Bandar Maju, 2005.
12. Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010.
13. Sudikno
Mertokusumo,
Hukum
Acara
Perdata
Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, 1998
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan oleh penulis
melalui tehnik documentasi dan tehnik wawancara.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
1. Tehnik dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya29.Dalam hal ini penulis menelusuri berkas
putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yaitu tentang
perkara kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan
penetapan anak.
2. Tehnik wawancara
Yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung
kepada responden.30 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
kepada bapak hakim Drs. Salim, SH selaku Hakim Ketua dan bapak M.
Hayin Ms, SH selaku hakim anggota.
4. Tehnik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah, namun sebelum
diolah data yang terkumpul diseleksi dan diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahnya terlebih dahulu baru diadakan pengkajian dan kemudian
dianalisis sesuai dengan kualitatif yang sudah ada. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode
pemecahan masalah dengan mengumpulkan data dan melukis keadaan
obyek
29
atau
peristiwa
lalu
disusun,
dijelaskan,
dianalisis
dan
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Rineka Cipta, 2007), 95.
Ibid.
30
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
diinterprestasikan dan kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
dari yang berdifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika
pembahasan
dipaparkan
dengan
tujuan
untuk
memudahkan penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu, skripsi ini disusun
dalam beberapa bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab,
sehingga pembaca dapat dengan mudah memahaminya. Adapun sistematika
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang
terdiri dari beberapa
diantaranya latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian,
definisi
operasional,
metode
penelitian
dan
sistematika
pembahasan.
Bab kedua merupakan landasan teori. Bab ini terdiri dari empat sub
bab yaitu Kumulasi Gugatan, Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak
Pada sub bab kumulasi gugatan menjelaskan tentang pengertian kumulasi,
syarat kumulasi gugatan, perkara yang bisa dikumulasikan dan beberapa
penggabungan yang tidak dibenarkan. Kemudian sub bab izin poligami
menjelaskan tentang pengertian poligami dan dasar hukum poligami dan sub
bab isbat nikah menjelaskan tentang pengertian isbat nikah, dasar hukum
isbat nikah, factor-faktor sebab isbat nikah dan yang berhak mengajukan
isbat nikah kemudian sub bab penetapan anak, pengertian penetapan anak,
dasar hukum penetapan anak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Bab ketiga, merupakan deskripsi hasil penelitian, yang meliputi
sekilas tentang Pengadilan Agama Ambarawa, deskrpisi putusan PA
Ambarawa kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan penetapan
anak, serta dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Ambarawa
dalam memutus perkara Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak.
Bab keempat merupakan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam
mengabulkan dan memutus perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012.PA.Amb, serta
analisis terhadap putusan hakim dalam memutus perkara kumulasi
permohonan izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.
Bab kelima yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
BAB II
KUMULASI GUGATAN, IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN
PENETAPAN ANAK
A.
KUMULASI GUGATAN
1. Pengertian Kumulasi
Kumulasi gugatan adalah penggabungan dari lebih satu
tuntutan hukum ke dalam satu gugatan.31 Sedangkan menurut Mukti
Arto, kumulasi adalah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan
beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu
proses perkara.32
2. Syarat Kumulasi33
Dalam suatu bentuk kumulasi, baik itu kumulasi gugatan
atau kumulasi permohonan harus memiliki syarat-syarat yang harus
terpernuhi anatara lain yaitu:
a. Adanya hubungan yang erat dari perkara yang satu dengan yang
lainnya atau koneksitas:
b. Subyek hukum para pihak sama (penggugat dan tergugat)
c. Prinsip beracara yang cepat dan murah;
d. Bermanfaat ditinjau dari segi acara (processueel doelmatig).
31
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 102.
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 44.
33
R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Bandar Maju, 2005),
101.
32
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
3. Dasar Hukum Kumulasi
a. Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989
t ent ang kedudukan, kewenangan dan acara peradilan
agam a.
Pasal 66 ayat (5) yang menjelaskan bahwa: “Permohonan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,
bersama suami istri
permohonan
dapat
cerai
diajukan
atau ataupun
dan harta
bersama-sama dengan
sesudah
ikrar
talak
diucapkan.”34 Dan pasal 86 ayat (1) yang berbunyi: “Gugatan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.”35
b. Buku Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan
Agama mencantumkan tentang kumulasi gugatan:36
1. Penggabungan dapat berupa kumulasi subjektif
atau
kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan
beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan.
kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan
terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan.
2. Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan
diperkenankan jika penggabungan itu menguntungkan
proses,yaitu antara tuntutan yang digabungkan itu ada
koneksitas dan penggabungan akan mudah diperiksa serta akan
dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang
saling berbda/bertentangan.
3. Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan
34
Pasal 66 ayat (5) UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama.
Pasal 86 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 Tentang peradilan agama.
36
Mahkamah Agung dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,(Edisi Revisi 2010), 90-91
35
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
apabila antara tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu
terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan
erat ini harus dibuktikan dengan fakta-faktanya.
4. Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara
khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan tuntutan
yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan
untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak
dapat dikumulasikan dalam satu gugatan.
5. Apabila ada salah satu tuntutan hakim tidak berwenang
memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim tidak
berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan
bersama-sama dalam satu gugatan.
4. Tujuan Kumulasi Gugatan37
Tujuan
diterapkanya
kumulasi
gugatan
adalah
untuk
menyederhanaka proses pemeriksaan dipersidangan dan menghindari
putusan yang saling bertentangan. Adapun tujuan dari kumulasi
gugatan adalah:
a. Mewujudkan peradilan sederhana melalui sistem
beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat
penyelesaian
beberapa
perkara
penggabungan
dilaksanakan
melalui proses tunggal, dan
dipertimbangan serta diputuskan dalam satu putusan.
b. Menghindari putusan yang saling bertentangan apabila terdapat
koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk
menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan
jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan.
37
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, 104.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
5. Bentuk Kumulasi Gugatan
Penggabungan gugatan dapat terjadi dalam beberapa bentuk,
yaitu:
a.
Perbarengan (Concursus, Samenloop, Codincidence)
Penggabungan ini dapat terjadi apabila seorang penggugat
mempunyai beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat
hukum saja.Apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan
yang lain dengan sendirinya terpenuhi pula.Misalnya dalam perkara
wali adhal, dispensasi kawin, dan izin kawin digabung dalam satu
gugatan karena ketiga perkara tersebut mempunyai hubungan yang
sangat erat satu sama lainnya dan mempunyai tujuan yang sama
yaitu terlaksananya akad perkawinan sebagai\mana yang diminta
oleh pemohon.Jika izin kawin dikabulkan oleh hakim, maka dengan
sendirinya dispensasi kawin dan penetapan wali ad}al terselesaikan
pula.Penggabungan perkara seperti
ini akan menghemat waktu,
tenaga, dan lebih praktis karena ketiga perkara yang
tujuannnya
sama dapat diselesaikan sekaligus.38
b.
Penggabungan Subjektif (Subjective Cumulation)
Penggabungan subjektif dapat terjadi apabila terdapat
beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat,
atau
seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat,
atau
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), 41-42.
38
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
beberapa
orang penggugat melawan beberapa orang tergugat
dalam satu gugatan.39
c. Penggabungan Objektif (Objective Cumulation)
Apabila penggugat
gugatan
dalam
mengajukan lebih dari satu
satu
perkara
sekaligus.
Ini
penggabungan dari tuntutan disebut kumulasi objektif
objek
merupakan
40
. Contoh
penggabungan gugatan cerai dengan harta bersama.
d. Intervensi
Intervensi
yaitu suatu aksi
hukum oleh pihak
yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan
oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung antara dua pihak yang sedang berperkara.41 Ada tiga
macam bentuk intervensi:
1. Menyertai (Voeging)
Pihak ketiga
mencampuri
sengketa yang sedang
berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan
memihak kepada salah satu pihak dan dimaksudkan
bersikap
untuk
melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela
salah
satu pihak yang
bersengketa.
Disyaratkan
adanya
kepentingan hukum pada pihak ketiga yang mencampuri
sengketa, yang ada hubungannya dengan pokok sengketa antara
39
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2008), 72.
40
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), 57.
41
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata,…,109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
penggugat dan tergugat (pasal 279 Rv).42
2. Menengahi (Tussenkomst)
Tussenkomst
ialah masuknya pihak ketiga
sebagai
pihak yang berkepentingan ke dalam perkara perdata yang
sedang berlangsung untuk membela kepentingan sendiri dan
oleh karena itu ia melawan kepentingan kedua belah pihak,
(yaitu penggugat dan tergugat) yang sedang berperkara.43
3. Ditarik sebagai penjamin (Vrijwaring)
Vrijwaring yaitu suatu aksi hukum yang dilakukan oleh
tergugat untuk menarik pihak ketiga ke dalam perkara guna
menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan
penggugat.44
6.
Perkara yang bisa Dikumulasikan
Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) dijelaskan
bahwa perkara penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,
dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama
dengan gugatan cerai ataupun permohonan cerai talak.Jadi,
dalam kedua pasal ini terlihat bahwa saat pengajuan perkara
gugat
cerai
ataupun
permohonan
cerai
talak
dapat
digabung dengan perkara penguasaan anak, nafkah anak,
42
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia…, 59.
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata…, 110.
44
Ibid.,114.
43
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
nafkah istri, dan harta bersama suami istri. Abdul Manan
dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam perkara wali adhal
dispensasi kawin
dan izin kawin dapat digabungkan dalam
satu gugatan.
7. Beberapa penggabungan yang tidak dibenarkan
Terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh
hukum, larangan tersebut bersumber dari hasil pengamatan praktik
peradilan anatara lain:45
a. Pemilik objek gugatan berbeda
Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa
objek, dan masing-masing objek gugatan, dimiliki oleh orang yang
berbeda atau berlainan.Penggabungan yang demikian baik secara
subjektif dan objektif, tidak dibenarkan.Hal ini dikemukakan dalam
putusan MA No.201 K/Sip/1974.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang berbeda
Penggabungan
perkara
gugatan
bertitik
tolak
pada
prinsip,
yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang sama.
Tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk
kepada
hukum
acara yang berbeda. Penerapan yang demikian
ditegaskan dalam putusan MA No. 667 K/Sip 1972.
c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolut yang berbeda
Jika terdiri dari beberapa gugatan yang masing-masing
45
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, 108-109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak
dapat dibenarkan.Yang mungkin selalu terjadi dalam kasus yang
seperti itu adalah gugatan perdata TUN dan gugatan perdata hak milik
atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Bertitik
tolak pada
ketentuan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah
dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) sekarang diatur dalam
pasal 2 jo. pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan UndangUndang No. 6 Tahun 1986 (tentang Peradilan TUN), gugatan perdata
TUN secara absolut menjadi kewenangan Peradilan TUN sedangkan
sengketa hak milik dan PMH menjadi yuridiksi absolut Peradilan
Umum (PN). Berdasarkan pemb
AMBARAWA TENTANG KUMULASI PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
(Studi Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
SKRIPSI
Oleh
Muhammad Afif Attabaroh
NIM. C01211047
Universitan Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
2015
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisi Terhadap Putusan PA Ambarawa Tentang
Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak (Studi
Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)” ini merupakan hasil penelitian di
Pengadilan Agama Ambarawa yang bertujuan untuk menjawab 3 (tiga)
pertanyaan : 1) Bagaimana putusan Pengadilan Agama Ambarawa dalam
memutus perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb tentang kumulasi permohonan
izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak? 2) Apa saja pertimbangan hakim
dalam memutus perkara tentang kumulasi izin poligami, isbat nikah dan
penetapan anak? 3) Bagaimana analisi terhadap putusan PA Ambarawa tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak?
Guna mendapatkan data, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data
melalui dokumentasi dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama
Ambarawa. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
analitis dengan pola pikir deduktif sehingga mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai ada atau tidaknya kesesuaian antara putusan Pengadilan Agama
Ambarawa dengan hukum acara perdata.
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyebutkan bahwa: Pertama yang
menjadikan dasar hukum hakim dalam menerima perkara ini, majelis hakim
Pengadilan agama ambarawa didasari oleh bukti-bukti dan para saksi yang
dihadirkan dalam persidangan serta Undang-undang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Kedua yang menjadikan dasar hukum hakim yaitu perkara ini
sudah memenuhi syarat kumulatif dan alternative dan juga sesuai dengan asas
peradilan yang sederhana, biaya ringan dan cepat.
Dari hasil penelitian ini penulis mengambil kesimpulan bahwasanya
majelis hakim dalam menerima dan memutus perkara tersebut sudah sesuai
dengan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi
apabila ditinjau dari segi hukum acara perdata, majelis hakim kurang cermat
dalam memberikan putusan dalam perkara tersebut. Karena ada perkara di
dalamnya tidak dapat dikumulasikan menjadi satu putusan.
Dari kesimpulan, hendaknya lembaga peradilan yang berwenang untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara kumulasi bersikap cermat dalam
menerima permohonan atau gugatan. Sehingga, perkara yang diputus benar-benar
perkara yang sudah memenuhi syarat untuk dikumulasikan. Tanpa
mengenyampingkan asas umum Peradilan Agama yaitu asas sederhana, cepat
biaya ringan.
vi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN..................................... ...................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING… ...............................................................
iii
PENGESAHAH… ...........................................................................................
iv
MOTO … .........................................................................................................
v
ABSTRAK … ..................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR … ................................................................................
vii
DAFTAR ISI …...............................................................................................
viii
DAFTARTRANSLITERASI …………………………………………. ........
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah….......................................................
1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah… ........................................
11
C. Rumusan Masalah… ................................................................
12
D. Kajian Pustaka…......................................................................
12
E. TujuanPenelitian… ..................................................................
15
F. Kegunaan Hasil Penelitian… ...................................................
16
G. Definisi Operasional… .............................................................
16
H. Metode Penelitian… ................................................................
17
Sistematika Pembahasan… ......................................................
20
I.
BAB II
KUMULASI GUGATAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN
PENETAPAN ANAK
A. Kumulasi Gugatan… .................................................................
22
1. Pengertian Kumulasi… .................................................
22
2. Syarat Kumulasi… ........................................................
22
3. Dasar Hukum Kumulasi… ............................................
23
4. Tujuan Kumulasi… .......................................................
24
5. Bentuk Kumulasi… .......................................................
25
6. Perkara yang Bisa Dikumulasikan… ............................
27
ix
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7. Beberapa Penggabungan yang Tidak Dibenarkan… ....
28
B. Izin Poligami… .........................................................................
30
1. Pengertian Poligami… ..................................................
30
2. Dasar Hukum Poligami… .............................................
31
a.Al-Quran… .................................................................
31
b.Al-Hadis… .................................................................
c.Hukum Positif….........................................................
32
32
C. Isbat Nikah…..............................................................................
37
1. Pengertian Isbat Nikah… ..............................................
37
2. Dasar Hukum Isbat Nikah… .........................................
41
3. Faktor-Faktor Sebab Isbat Nikah… ..............................
42
4. Yang Berhak Mengajukan Isbat Nikah… .....................
43
D. Penetapan Anak… ......................................................................
1. Pengertian Penetapan Anak... ........................................
2. Dasar Hukum Penetapan Anak… ..................................
44
44
46
BAB III DESKRIPSI
PERKARA
PA
AMBARAWA
NOMOR:
0030/PDT.G/2012
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa… ................
47
1. Sejarah Singkat dan Letak geografis Pengadilan Agama
Ambarawa…..................................................................
47
2. Wilayah Yuridiksi Pegadilan Agama Ambarawa… .....
48
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa… .
49
B. Deskrpisi Kasus Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat, Nikah
dan Penetapan Anak di PA Ambarawa… .................................
50
1. Duduk Perkara Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah dan
Penetapan
Anak… ......................................................
50
2. Penyelesaian Perkara Kumulasi Permohonan Izin Poligami,
Isbat Nikah dan Penetapan Anak … .............................
52
x
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama
Ambarawa Dalam Memutus Perkara Izin Poligami, Isbat
Nikah dan Penetapan Anak… .......................................
58
BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT
NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
A. Analisi Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb…..........................
B. Analisis Putusan Hakim
61
Dalam Memutus Perkara Nomor:
0030/Pdt.G/2012/Pa.Amb…………………………………….
64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................
72
B. Saran-saran ................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum diberlakukan undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat
(2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua putusan
Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini
membuat Peradilan Agama secara devacto lebih rendah kedudukannya dari
Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam pasal 10 UU Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara.1
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, keberagaman
hukum peradilan agama telah sirna. Sejak saat itulah tercipta kesatuan
hukum yang mengatur peradilan agama di dalam kerangka sistem dan tata
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Dengan demikian, Undang-Undang yang mengatur susunan,
kekuasaan, dan hukum acara peradilan agama dalam lingkungan peradilan
agama merupakan pelaksanaan ketentuan dan asas yang tercantum dalam
1
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan
Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.2
Secara umum, isi UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan
tentang penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia, yaitu: perubahan
tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama di Indonesia,
kedudukan peradilan agama dalam tata peradilan nasional, kedudukan hakim
peradilan agama, kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama,
hukum acara peradilan agama, administrasi peradilan agama, dan perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.3
Hukum acara Peradilan Agama yang dimaksud dalam UU No. 7 Tahun
1989 diletakkan dalam BAB IV yang terdiri dari 37 pasal. Tidak semua
ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara lengkap
dalam UU No. 7 Tahun 1989 ini,4 hal ini dapat dilihat dari pasal 54 yang
menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang ini.” 5
Menurut pasal di atas, hukum acara Peradilan Agama sekarang
bersumber (garis besarnya) pada dua aturan, yaitu: yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang berlaku di Peradilan Umum.
2
Abdul Rachmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2003), 9.
3
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), 273-274.
4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), 7.
5
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta:Asa Mandiri,2006), 25.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara
Perdata Peradilan Umum, antara lain:6
1. HIR (Het Herziene Inlandsche Recthvordering Reglement) / RIB
(Reglement Indonesia yang di Baharui)
2. R.Bg (Recth Reglement Buitengewesten)
3. Rsv (Reglement op de Bulgerlijke Recth svordering)
4. BW (Bulgerlijke Wetboek)
5. UU No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 8 Tahun 2004 jo No. 48 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan tentang acara perdata yang sama-sama
berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, yaitu:7
1. UU Nomor 14 Tahun 1970 jo UU Nomor 35 Tahun 1999 jo UU Nomor 4
Tahun 2004 jo UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman
2. UU Nomor 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung
3. UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Perkawinan dan Pelaksanaannya.
4. UU Nomor 7 tahun 1989 jo UU Nomor 3 Tahun 2006 jo UU Nomor 50
Tahun 2009.8
6
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), 21.
Ibid.
8
Muchtar zarkasyi, Sejarah Peradilan Agama di Indonesia, Makalah Materi Pendidikan Calon
Hakim Angkatan III Mahkamah Agung RI Tahun, (Jakarta: Bandung Press, 2008), 34.
7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
5. Undang-undang tentang Perbankan Syariah dan segala peraturan yang
berkaitan dengan perekonomian syariah.
6. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolahan Zakat dan UU Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
7. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
8. Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
yang berkaitan dengan hukum acara perdata.
9. Peraturan/Keputusan Mentri yang berkaitan seperti Menteri Agama dan
Menteri Hukum dan HAM.
10. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
11. Doktrin Hukum.
Dijelaskan dalam perubahan pertama UU Peradilan Agama, Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa “Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan,
Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sodaqoh, dan Ekonomi
Syariah.”9
Perkara perdata yang akan diajukan di pengadilan itu sekurangkurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat10 kemudian
salah satu pihak yang berkepentingan harus mengajukan gugatan atau
permohonan. Kemudian setelah gugatan atau permohonan terdaftar,
9
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, (Jakarta:PT Intermasa,
2009), 23.
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), 57.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
pengadilan bisa memeriksa perkara. Dari beberapa wewenang absolut
pengadilan agama, salah satu wewenang yang ditangani adalah bidang
perkawinan.
Kumulasi gugatan terdiri dari dua jenis yaitu11 : kumulasi subjektif dan
kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa
penggugat dan tergugat dalam satu gugatan (Pasal 127/HIR 151 RB.g., Pasal
1283-1284 BW ), seperti dalam kewarisan yang terdiri dari beberapa
penggugat melawan seorang tergugat atau seorang penggugat melawan
beberapa tergugat atau beberapa penggugat melawan beberapa tergugat.
Sedangkan kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan
terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan (Pasal 66 ayat (5)
dan Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989), seperti gugatan perceraian
yang dikumulasikan dengan tuntutan nafkah, hadhanah, mut’ah dan harta
bersama perlu dihindari.
Penggabungan/kumulasi
beberapa
gugatan
menjadi
satu
dapat
dilakukan apabila gugatan-gugatan yang digabungkan tersebut memiliki
hubungan dan keterkaitan erat atau memiliki koneksitas. Untuk menentukan
adanya hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-fakta.
Penggabungan/kumulasi
diperkenankan
apabila
menguntungkan
proses, yaitu apabila antara satu gugatan dengan gugatan lain memiliki
koneksitas dan penggabungan tersebut akan mempermudah pemeriksaan serta
11
Pedoman Kerja Hakim, Panitra Dan Jurusita Se Wilayah PTA Makasar ,Edisi Revisi, 2011, 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
bisa
mencegah
kemungkinan
adanya
putusan-putusan
yang
saling
bertentangan.
Pengadilan Agama Ambarawa terdapat sebuah putusan tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak pada
perkara Nomor
: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. dalam kasus ini pemohon
bernama Tri Basuki bin Solaeman mengajukan permohonan izin poligami,
isbat nikah dan sekaligus penetapan anak dalam satu permohonan. Dari pihak
termohon bernama Emilia binti Abdullah Thoriq. Permohonan ini diajukan
oleh pihak Pemohon diawali dengan izin berpoligami, kemudian ingin
mengisbatkan pernikahanya dengan istri yang kedua dan sekaligus ingin
menetapkan anak-anak yang terlahirkan atas pernikahan terhadap istri yang
kedua. Pemohon melaksanakan pernikahanya dengan istri yang kedua
disebabkan karena istri pertama tidak dapat melahirkan lagi, disebabkan istri
pertama sudah dua kali melakukkan operasi cesar sehingga tidak dapat
melahirkan lagi. Dalam permohonan ini, pemohon merangkap menjadi satu
permohonan kepada Pengadilan Agama Ambarawa, dan Pengadilan
menerimanya menjadi satu permohonan yang terdaftar dalam register perkara
Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
Pada pasal 49 ayat (2) dijelaskan bahwa “bidang perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
berlaku.”12 Salah satu undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia
adalah UU Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2), yang dimaksud dengan bidang
perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:13
1. Izin beristri lebih dari seorang (izin poligami)
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur 21 tahun dalam
hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Perceraian karena talak
8. Gugatan perceraian
9. Penyelesaian harta bersama
10. Mengenai penguasaan anak
11. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain dan seterusnya.
Masalah poligami dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur
dalam pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Pada asasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri
dan seorang wanita boleh mempunyai seorang suami.”14 Jika dilihat
ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut terlihat bahwa undang-undang perkawinan
mengikuti asas monogami. Hanya saja asas tersebut tidak mutlak seperti
dalam BW. Hal ini terlihat dalam pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa,
12
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
(Bandung:Kiblat Press,2006), 46.
13
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), 139-140.
14
Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Surabaya:Arkola,2002), 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami beristri lebih dari
seorang apabila hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.15
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih pada satu
tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari
beberapa tuntutan yang disebut kumulasi obyektif. Sebagaimana dalam
penelitian yang penulis lakukan ini yaitu, penelitian terhadap putusan
Pengadilan
Agama
Ambarawa
yang
menangani
perkara
kumulasi
permohonan izin poligami, istbat nikah dan sekaligus didalamnya ada
permohonan penetapan anak. Hukum Positif tidak mengatur penggabungan
permohonan atau gugatan, baik dalam HIR maupun RBG, tidak mengaturnya.
Begitu juga dengan RV, tidak mengatur secara tegas dan tidak pula
melarangnya. Meskipun HIR dan RBG maupun RV tidak mengatur, peradilan
sudah lama mengaturnya dan menerapkanya, yang dibolehkan apabila
gugatan tersebut terdapat hubungan-hubungan yang erat. Kalau ditinjau dari
hukum acara perdata, bahwasanya antara izin poligami dengan istbat nikah
tidak dapat digabungkan dalam satu permohonan kepada pengadilan agama,
karena izin poligami produk hukumnya berupa putusan, sedangkan itsbat
nikah produk hukumnya berupa penetapan.
Kemudian juga antara izin poligami dan itsbat nikah berbeda jauh
dalam pokok perkaranya, izin poligami berupa perkara contensius yang
didalamnya ada pihak penggugat dan tergugat/ sedangkan itsbat nikah berupa
15
A. Masjkur Anhari, Usaha untuk Memberikan Kepastian Hukum dalam Perkawinan, (Surabaya:
Diantama, 2006), 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
perkara voluntair yang didalamnya masalah yang diajukan bersifat
kepentingan sepihak semata, dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang
masuk dalam perkara tersebut yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-
parte. Benar-benar murni dan mutlak satu pihak saja dalam perkara
tersebut.16
Kemudian juga dalam perkara ini dimasukkan perkara penetapan anak
dalam satu permohonan tersebut, dan kembali lagi dalam tinjuan hukum
acara perdata, permohonan anak tidak dapat dijadikan satu dalam perkara
permohonan izin poligami, karena penetapan anak juga bersifat perkara
voluntair
yang mana tidak ada pihak lain yang masuk dalam perkara
tersebut.
Berdasarkan teori tiap permohonan yang diajukan dalam surat
permohonan harus terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputus
dalam proses pemeriksaan dan putusan terpisah dan berdiri sendiri. Akan
tetapi berbeda apabila permohonan itu diajukan bersama-sama antara isbat
nikah dengan penetapan anak dalam hukum acara perdata diperbolehkan.
Sedangkan
dalam
batas-batas
tertentu,
diperbolehkan
melakukan
penggabungan permohonan dalam satu surat permohonan apabila antara satu
permohonan dengan permohonan yang lain terdapat hubungan erat atau
koneksitas. Secara teknis penggabungan beberapa permohonan dalam satu
16
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , ( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
permohonan disebut
kumulasi permohonan atau
semenvoeging van
vordering.17
Hal ini tertuang dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Admistrasi Peradilan Agama Buku II, sebagaimana dijelaskan tentang
kumulasi gugatan dengan syarat penggabungan tuntutan harus terdapat
koneksitas atau hubungan yang erat. Selain itu penggabungan tuntutan
diperbolehkan apabila penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta
akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling
berbeda atau bertentangan.18
Kalau dilihat dari uraian singkat dari deskrpisi tersebut, seharusnya
tidak diperbolehkan adanya penggabungan permohonan tersebut yang
diajukan oleh pemohon, karena tidak adanya kesingkronan atau koneksitas
dari pengajuan permohonan kumulasi permohonan tersebut, seharusnya
dipisahkan atau berdiri sendiri antara permohonan izin poligami dan itsbat
nikah yang juga dimasukkan adanya penetapan penetapan anak dari
perkawinan sirri pemohon dengan istri kedua.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih mendalam dalam judul skripsi “Studi Analisis Terhadap Putusan PA
Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Itsbat Nikah Dan
Penetapan Anak (Putusan Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
17
18
Ibid., 102.
Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi 2010, 90.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang
dapat penulis identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Tata cara mengajukan poligami dan alasan diperbolehkan poligami
2. Tata cara mengajukan isbat nikah dan alasan diperbolehkanya pengajuan
isbat nikah
3. Tata cara mengajukan penetapan anak
4. Syarat-syarat menggabungkan (kumulasi) permohonan
5. Dasar hukum kumulasi gugatan
6. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan
Anak (Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
7. Analisis terhadap putusan tentang Kumulasi Permohonan Izin Poligami,
Isbat
Nikah,
dan
P{enetapan
Anak
(Putusan
Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
Sedangkan batasan masalah yang menjadi titik fokus penulis
dalam penelitian ini, yaitu penulisi akan mengkaji tentang:
1. Analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan
izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan Anak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka pokok
persoalan yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin
poligami, isbat nikah dan penetapan anak?
2. Apa saja pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kumulasi
permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan anak?
3. Bagaimana analisis terhadap putusan PA Ambarawa tentang kumulasi
permohonan izin poligami, isbat nikah, dan p{enetapan Anak?
D. Kajian Pustaka
Setelah Penulis melakukan kajian Pustaka, penulis menjumpai hasil
penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya yang mempunyai
relevansi dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, yaitu sebagai
berikut:
1. Kumulasi Permohonan Isbat Nikah Dan Gugatan Cerai Di PA Jombang
oleh Ida Fauziah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2005. Penelitian ini
membahas tentang dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim
dalam memutus perkara kumulasi permohonan isbat nikah dan gugatan
cerai di PA Jombang.19
2. Studi Analisis PA Lamongan Nomor: 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg tentang
Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif Undang19
Ida Fauziah, (Kumulasi Permohonan Isbat Nikah dan Gugatan Cerai di PA Jombang), (Skripsi-IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001), 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
Undang Nomor 7 Tahun 1989, Skripsi oleh Lutfi Aulawi, Fak. Syariah
IAIN Sunan Ampel, 2010. Focus pembahasan dalam penelitian ini
tentang proses penyelesaian dan dasar hukum yang digunakan hakim PA
Lamongan terhadap kumulasi perkara permohonan isbat nikah dengan
perceraian dan bagaimana analisis UU No. 7 Tahun 1989 terhadap
Putusan PA tentang perkara perohonan isbat nikah dengan perceraian.20
3. Korelasi Proses Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan
Sederhana,Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya oleh
Ainul Yaqin, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, 2001.Penelitian ini
membahas tentang seberapa jauh hubungan perlaksanaan kumulasi
gugatan dengan asas peradilan sederhana, cepatdan biaya ringan di PA
Surabaya.21
4. Analisis Tidak Diterimanya Kumulasi Gugatan Perkara Perceraian di PA
Kabupaten Kediri oleh Almar’atu Fi Dzilalil Quran, Fak.Syariah IAIN
Sunan Ampel, 2010.Penelitian ini membahas tentang pertimbangan
hakim yang tidak menerima kumulasi gugatan perceraian dan harta
bersama berdasarkan pasal 86 ayat 1 UU PA serta analisis hukum acara
perdata terhadap tidak diterimnya kumulasi perceraian dan harta
bersama.22
20
Lutfi Aulawi, (Studi Analisi Putusan PA LAmongan Nomor 1325/Pdt.G/2010/PA.Lmg Tentang
Kumulasi Isbat Nikah dengan Perceraian dalam Perspektif UU No. 7 Tahun 1989) , (Skripsi -IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 15.
21
Ainul Yaqin, (Korelasi Pelaksanaan Kumulasi Gugatan dengan Asas Peradilan Sederhana,Cepat
dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama Surabaya), ( Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
2001), 14.
22
Almar’atu Fi Dzilalil Qur’an, (Analisis Tidak Diterimanya Kumulasi Gugatan Perkara
Perceraian di PA Kabupaten Kedir), (Skripsi -- IAIN Sunan Ampel, Surabaya), 2010, 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
5. Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA Tuban
No.1995/Pdt.G/2006/PA.Tbn dalam Prepektif Hukum Acara Perdata oleh
Novan Bagus
Firmansyah, Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel,
2010.Penelitian membahas tentang pertimbangan hakim dalam penerapan
kumulasi gugatan perkara pembatalan hibah dan pembagian harta warisan
di PA Tuban serta bagaimana analisis hukum acara perdata terhadap
kumulasi pembatalan hibah dan pembagian harta waris di PA Tuban.23
Dari beberapa kajian pustaka yang ada, memang memiliki
kesamaan pembahasan yaitu membahas tentang kumulasi, baik kumulasi
gugatan ataupun kumulasi permohonan. Akan tetapi yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah kumulasi
permohonan yang dijadikan satu oleh Pemohon dalam satu permohonan
kepada Pengadilan Agama Ambarawa.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui putusan PA Ambarawa tentang kumulasi permohonan izin
poligami, isbat nikah dan penetapan anak.
2. Mengetahui apa saja pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tentang
Kumulasi Permohonan Izin Pologami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak.
23
Novan Bagus Firmansyah, (Kumulasi Gugatan Tentang Hibah dan Waris dalam Putusan PA
Tuban No.1995/Pdt.G/2006/PA.Tbn dalam Prepektif Hukum Acara Perdata) ,(Skripsi -- IAIN
Sunan Ampel, Surabaya), 2010, 13.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
3. Menganalisis Putusan PA Ambarawa tentang Kumulasi Permohonan Izin
Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan Anak di Pengadilan Agama
Ambarawa dalam putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
F.
Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulisi berharap hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis,
sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan.Dan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi
pemerhati hukum dalam perkara izin poligami, isbat nikah dan penetapan
anak.
2. Secara praktis, penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini
diharapkan bermanfaat bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi
penegakkan hukum dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu,
diharapkan juga akan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat umum
secara luas guna menjawab kontroversi yang ada selama ini.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami maksud dari
penelitian ini maka penulis memberi definisi operasional sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
1. Analisis : Suatu usaha untuk mengamati secara detail sesuatu hal atau
benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya
atau penyusunya untuk dikaji lebih dalam atau lanjut.24
2. Kumulasi Permohonan : penggabungan beberapa permohonan atau
tuntutan yang di dalamnya ada keterkaitan antara permohonan yang satu
dengan permohonan lainya.25 Dalam hal ini adalah kumulasi permohonan
izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.
3. Putusan : Suatu pernyataan hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak26.Dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
H. Metode Penelitian
1.
Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam
penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:
a.
Data tentang kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan
penetapan anak dalam Putusan PA Ambarawa
b.
Data tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan
kumulasi permohonan Izin Poligami, Isbat Nikah, dan P{enetapan
Sugiyino, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 9.
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan
Praktik,(Garut:Yayasan Al Umaro), 1991, 69.
26
Ibid, 177.
24
25
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
Anak
di
PA
Ambarawa
dalam
putusan
Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
a.
Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari subyek
penelitian
dengan
menggunakan
alat
pengukuran
dan
alat
pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber informasi
yang dicari27
Data primer dalam penelitian ini adalah salinan putusan
Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
b.
Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah28 data yang diperoleh dari pihak lain,
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitianya.Data
sekunder berasal dari buku-buku maupun literature lain, meliputi:
1.
Kompilasi Hukum Islam, Balitbang Diklat Kumdil MA RI, Jakarta,
2008.
2.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
3.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4.
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undangundang RI Nomor 7 Tahun 1989.
27
28
Syaifuddin azwar, Metode Penelitian , (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, 1998), 90.
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
5.
Undang-undang No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU RI
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama Buku II, 2010.
7.
A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2008.
8.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008.
9.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008.
10. M. Yahaya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika,
2009.
11. R.Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung:
Bandar Maju, 2005.
12. Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010.
13. Sudikno
Mertokusumo,
Hukum
Acara
Perdata
Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, 1998
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan oleh penulis
melalui tehnik documentasi dan tehnik wawancara.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
1. Tehnik dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya29.Dalam hal ini penulis menelusuri berkas
putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yaitu tentang
perkara kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan
penetapan anak.
2. Tehnik wawancara
Yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung
kepada responden.30 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
kepada bapak hakim Drs. Salim, SH selaku Hakim Ketua dan bapak M.
Hayin Ms, SH selaku hakim anggota.
4. Tehnik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah, namun sebelum
diolah data yang terkumpul diseleksi dan diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahnya terlebih dahulu baru diadakan pengkajian dan kemudian
dianalisis sesuai dengan kualitatif yang sudah ada. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode
pemecahan masalah dengan mengumpulkan data dan melukis keadaan
obyek
29
atau
peristiwa
lalu
disusun,
dijelaskan,
dianalisis
dan
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Rineka Cipta, 2007), 95.
Ibid.
30
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
diinterprestasikan dan kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
dari yang berdifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika
pembahasan
dipaparkan
dengan
tujuan
untuk
memudahkan penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu, skripsi ini disusun
dalam beberapa bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab,
sehingga pembaca dapat dengan mudah memahaminya. Adapun sistematika
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang
terdiri dari beberapa
diantaranya latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian,
definisi
operasional,
metode
penelitian
dan
sistematika
pembahasan.
Bab kedua merupakan landasan teori. Bab ini terdiri dari empat sub
bab yaitu Kumulasi Gugatan, Izin Poligami, Isbat Nikah dan Penetapan Anak
Pada sub bab kumulasi gugatan menjelaskan tentang pengertian kumulasi,
syarat kumulasi gugatan, perkara yang bisa dikumulasikan dan beberapa
penggabungan yang tidak dibenarkan. Kemudian sub bab izin poligami
menjelaskan tentang pengertian poligami dan dasar hukum poligami dan sub
bab isbat nikah menjelaskan tentang pengertian isbat nikah, dasar hukum
isbat nikah, factor-faktor sebab isbat nikah dan yang berhak mengajukan
isbat nikah kemudian sub bab penetapan anak, pengertian penetapan anak,
dasar hukum penetapan anak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Bab ketiga, merupakan deskripsi hasil penelitian, yang meliputi
sekilas tentang Pengadilan Agama Ambarawa, deskrpisi putusan PA
Ambarawa kumulasi permohonan izin poligami, istbat nikah dan penetapan
anak, serta dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Ambarawa
dalam memutus perkara Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. tentang
kumulasi permohonan izin poligami, isbat nikah dan penetapan anak.
Bab keempat merupakan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam
mengabulkan dan memutus perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012.PA.Amb, serta
analisis terhadap putusan hakim dalam memutus perkara kumulasi
permohonan izin poligami, itsbat nikah dan penetapan anak.
Bab kelima yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
BAB II
KUMULASI GUGATAN, IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN
PENETAPAN ANAK
A.
KUMULASI GUGATAN
1. Pengertian Kumulasi
Kumulasi gugatan adalah penggabungan dari lebih satu
tuntutan hukum ke dalam satu gugatan.31 Sedangkan menurut Mukti
Arto, kumulasi adalah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan
beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama dalam satu
proses perkara.32
2. Syarat Kumulasi33
Dalam suatu bentuk kumulasi, baik itu kumulasi gugatan
atau kumulasi permohonan harus memiliki syarat-syarat yang harus
terpernuhi anatara lain yaitu:
a. Adanya hubungan yang erat dari perkara yang satu dengan yang
lainnya atau koneksitas:
b. Subyek hukum para pihak sama (penggugat dan tergugat)
c. Prinsip beracara yang cepat dan murah;
d. Bermanfaat ditinjau dari segi acara (processueel doelmatig).
31
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 102.
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 44.
33
R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Bandar Maju, 2005),
101.
32
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
3. Dasar Hukum Kumulasi
a. Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989
t ent ang kedudukan, kewenangan dan acara peradilan
agam a.
Pasal 66 ayat (5) yang menjelaskan bahwa: “Permohonan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,
bersama suami istri
permohonan
dapat
cerai
diajukan
atau ataupun
dan harta
bersama-sama dengan
sesudah
ikrar
talak
diucapkan.”34 Dan pasal 86 ayat (1) yang berbunyi: “Gugatan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.”35
b. Buku Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan
Agama mencantumkan tentang kumulasi gugatan:36
1. Penggabungan dapat berupa kumulasi subjektif
atau
kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan
beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan.
kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan
terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan.
2. Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan
diperkenankan jika penggabungan itu menguntungkan
proses,yaitu antara tuntutan yang digabungkan itu ada
koneksitas dan penggabungan akan mudah diperiksa serta akan
dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang
saling berbda/bertentangan.
3. Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan
34
Pasal 66 ayat (5) UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama.
Pasal 86 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 Tentang peradilan agama.
36
Mahkamah Agung dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,(Edisi Revisi 2010), 90-91
35
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
apabila antara tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu
terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan
erat ini harus dibuktikan dengan fakta-faktanya.
4. Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara
khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan tuntutan
yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan
untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak
dapat dikumulasikan dalam satu gugatan.
5. Apabila ada salah satu tuntutan hakim tidak berwenang
memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim tidak
berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan
bersama-sama dalam satu gugatan.
4. Tujuan Kumulasi Gugatan37
Tujuan
diterapkanya
kumulasi
gugatan
adalah
untuk
menyederhanaka proses pemeriksaan dipersidangan dan menghindari
putusan yang saling bertentangan. Adapun tujuan dari kumulasi
gugatan adalah:
a. Mewujudkan peradilan sederhana melalui sistem
beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat
penyelesaian
beberapa
perkara
penggabungan
dilaksanakan
melalui proses tunggal, dan
dipertimbangan serta diputuskan dalam satu putusan.
b. Menghindari putusan yang saling bertentangan apabila terdapat
koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk
menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan
jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan.
37
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, 104.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
5. Bentuk Kumulasi Gugatan
Penggabungan gugatan dapat terjadi dalam beberapa bentuk,
yaitu:
a.
Perbarengan (Concursus, Samenloop, Codincidence)
Penggabungan ini dapat terjadi apabila seorang penggugat
mempunyai beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat
hukum saja.Apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan
yang lain dengan sendirinya terpenuhi pula.Misalnya dalam perkara
wali adhal, dispensasi kawin, dan izin kawin digabung dalam satu
gugatan karena ketiga perkara tersebut mempunyai hubungan yang
sangat erat satu sama lainnya dan mempunyai tujuan yang sama
yaitu terlaksananya akad perkawinan sebagai\mana yang diminta
oleh pemohon.Jika izin kawin dikabulkan oleh hakim, maka dengan
sendirinya dispensasi kawin dan penetapan wali ad}al terselesaikan
pula.Penggabungan perkara seperti
ini akan menghemat waktu,
tenaga, dan lebih praktis karena ketiga perkara yang
tujuannnya
sama dapat diselesaikan sekaligus.38
b.
Penggabungan Subjektif (Subjective Cumulation)
Penggabungan subjektif dapat terjadi apabila terdapat
beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat,
atau
seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat,
atau
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), 41-42.
38
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
beberapa
orang penggugat melawan beberapa orang tergugat
dalam satu gugatan.39
c. Penggabungan Objektif (Objective Cumulation)
Apabila penggugat
gugatan
dalam
mengajukan lebih dari satu
satu
perkara
sekaligus.
Ini
penggabungan dari tuntutan disebut kumulasi objektif
objek
merupakan
40
. Contoh
penggabungan gugatan cerai dengan harta bersama.
d. Intervensi
Intervensi
yaitu suatu aksi
hukum oleh pihak
yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan
oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung antara dua pihak yang sedang berperkara.41 Ada tiga
macam bentuk intervensi:
1. Menyertai (Voeging)
Pihak ketiga
mencampuri
sengketa yang sedang
berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan
memihak kepada salah satu pihak dan dimaksudkan
bersikap
untuk
melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela
salah
satu pihak yang
bersengketa.
Disyaratkan
adanya
kepentingan hukum pada pihak ketiga yang mencampuri
sengketa, yang ada hubungannya dengan pokok sengketa antara
39
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2008), 72.
40
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), 57.
41
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata,…,109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
penggugat dan tergugat (pasal 279 Rv).42
2. Menengahi (Tussenkomst)
Tussenkomst
ialah masuknya pihak ketiga
sebagai
pihak yang berkepentingan ke dalam perkara perdata yang
sedang berlangsung untuk membela kepentingan sendiri dan
oleh karena itu ia melawan kepentingan kedua belah pihak,
(yaitu penggugat dan tergugat) yang sedang berperkara.43
3. Ditarik sebagai penjamin (Vrijwaring)
Vrijwaring yaitu suatu aksi hukum yang dilakukan oleh
tergugat untuk menarik pihak ketiga ke dalam perkara guna
menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan
penggugat.44
6.
Perkara yang bisa Dikumulasikan
Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) dijelaskan
bahwa perkara penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,
dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama
dengan gugatan cerai ataupun permohonan cerai talak.Jadi,
dalam kedua pasal ini terlihat bahwa saat pengajuan perkara
gugat
cerai
ataupun
permohonan
cerai
talak
dapat
digabung dengan perkara penguasaan anak, nafkah anak,
42
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia…, 59.
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata…, 110.
44
Ibid.,114.
43
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
nafkah istri, dan harta bersama suami istri. Abdul Manan
dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam perkara wali adhal
dispensasi kawin
dan izin kawin dapat digabungkan dalam
satu gugatan.
7. Beberapa penggabungan yang tidak dibenarkan
Terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh
hukum, larangan tersebut bersumber dari hasil pengamatan praktik
peradilan anatara lain:45
a. Pemilik objek gugatan berbeda
Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa
objek, dan masing-masing objek gugatan, dimiliki oleh orang yang
berbeda atau berlainan.Penggabungan yang demikian baik secara
subjektif dan objektif, tidak dibenarkan.Hal ini dikemukakan dalam
putusan MA No.201 K/Sip/1974.
b. Gugatan yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang berbeda
Penggabungan
perkara
gugatan
bertitik
tolak
pada
prinsip,
yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang sama.
Tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk
kepada
hukum
acara yang berbeda. Penerapan yang demikian
ditegaskan dalam putusan MA No. 667 K/Sip 1972.
c. Gugatan tunduk pada kompetensi absolut yang berbeda
Jika terdiri dari beberapa gugatan yang masing-masing
45
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, 108-109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak
dapat dibenarkan.Yang mungkin selalu terjadi dalam kasus yang
seperti itu adalah gugatan perdata TUN dan gugatan perdata hak milik
atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Bertitik
tolak pada
ketentuan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah
dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) sekarang diatur dalam
pasal 2 jo. pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan UndangUndang No. 6 Tahun 1986 (tentang Peradilan TUN), gugatan perdata
TUN secara absolut menjadi kewenangan Peradilan TUN sedangkan
sengketa hak milik dan PMH menjadi yuridiksi absolut Peradilan
Umum (PN). Berdasarkan pemb