Sabam Malau dkk Laporan Hasil Peneltan 2012

(1)

0

Laporan Akhir

KajianTentang Pengaruh Atraktan Dari Nabati

Alami Lokal dan Buatan untuk Memerangkap

Hama Penggerek Buah Kopi di Sumatera Utara

Dr. Ir. Sabam Malau

Ir. Parlindungan LB Raja, M.Si

Ir. Benika Naibaho, MS

Ir. Susana Tabah Trina Sumihar, MS

Ir. Rosnawyta Simanjuntak, MS

Universitas HKBP Nommensen

Jalan Sutomo 4-A

Badan Penelitian dan Pengembangan

Provinsi Sumatera Utara

Jalan Sisingamangaraja

Medan


(2)

(3)

2 Abstrak

Hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) dapat dikendalikan dengan menggunakan perangkap yang dilengkapi dengan atraktan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan menetapkan jenis bahan nabati alami lokal sebagai atraktan, menetapkan gambaran tentang pengetahuan petani mengenai budidaya dan proteksi tanaman kopi, dan menetapkan respons masyarakat tentang pemanfaatan atraktan dari bahan nabati alami lokal. Penelitian menggunakan metode survey, wawancara dan percobaan. Survey digunakan untuk menentukan intensitas serangan PBKo, dan wawancara untuk memerolah informasi tentang teknik budidaya yang terkait dengan pengendalian PBKo dan respons petani kopi terhadap rencana penggunaan bahan nabati alami sebagai atraktan. Lokasi survey dan wawancara adalah Kabupaten Dairi, Samosir, Simalungun dan Tapanuli Utara pada masing-masing satu kecamatan. Pada setiap kecamatan, sebanyak tiga kebun dipilih secara acak. Setiap kebun memiliki setidak-tidaknya 90 tanaman. Dari 90 tanaman tersebut dipilih 9 tanaman sampel secara acak dengan metode zigzag sehingga keseluruhan 27 tanaman kopi per Kecamatan. Dari survei ini ditetapkan satu tempat percobaan pada tanaman Arabica di mana terdapat kebun yang memiliki tingkat serangan PBKo tertinggi. Wawancara dilakukan langsung berhadapan muka dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka. Jumlah responden 40 orang yang tersebar pada 4 kabupaten tersebut, artinya 10 orang dari setiap kecamatan. Percobaan dilakukan di Dairi di Kecamatan Sumbul penghasil terbanyak kopi pada 1 (satu) kebun yang terbanyak serangan PBKo. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok nonfaktorian dengan 5 kelompok dan 6 taraf perlakuan. (air sebagai kontrol, arak, brem dari beras ketan, etanol, metanol, dan campuran etanol-metanol 2:1). Perangkap terbuat dari botol aqua yang dilobangi sehingga terbentuk jendela berukuran lebar 2 x tinggi 8 cm, dan didalamnya diletakkan kantongan plastik berisi atraktan, dan di dasar botol terdapat air yang dicampur dengan deterjen. Kantongan plastik atraktan digantung di dalam botol. Botol digantung pada ranting kopi pada ketinggian 1,2 m di atas permukaan tanah. Pengamatan dilakukan setiap 4 hari sebanyak 10 kali. Bahan atraktan (50 ml) diganti setiap 4 hari. Hasil survey mengungkapkan bahwa rata-rata intensitas serangan PBKo pada buah kopi bervariasi antara 21.8% hingga 31.5% dengan intensitas tertinggi 85.8%. Dari hasil wawancara diperoleh gambaran pengetahuhuan budidaya dan proteksi kopi di level petani sebagai berikut. Dari perbandingan keseluruhan aspek teknik pembudidayaan kopi (100%), ranking pertama (35,0%) adalah kurangnya pengetahuan petani tentang teknik mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman kopi, dan urutan kedua (25%) adalah kurang mengetahui teknik penanganan setelah panen (pascapanen). Dari seluruh aspek sarana (100%), masalah yang paling utama adalah kurang ketersediaan pupuk kimia (anorganik) di pasar (45.0%), dan urutan kedua adalah kurang tersedianya pestisida dan herbisida. Tanggapan petani kopi terhadap penyuluhan menunjukkan bahwa kebanyakan (67,5%) dari mereka menyatakan bahwa penyuluhan sangat penting. Gambaran tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan bahan nabati lokal untuk proteksi tanaman kopi di masa yang akan datang adalah hampir keseluruhan (85.0%) petani berpendapat bahwa pemanfaatan bahan nabati lokal untuk proteksi tanaman kopi sangat penting. Hasil percobaan dengan atraktan menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antartaraf perlakuan berdasarkan Uji-F. Selama percobaan, jumlah PBKo yang mati terperangkap dalam wadah terendah (355 ekor) pada taraf perlakuan air dan tertinggi (4.390 ekor) pada taraf perlakuan campuran metanol dengan etanol. Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa semua taraf perlakuan lebih baik secara sangat nyata dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh atraktan tuak lebih baik secara sangat nyata daripada kontrol, dan lebih rendah secara nyata dibandingkan dengan brem. Pengaruh atraktan brem sangat nyata lebih baik dibandingkan tuak. Pengaruh etanol sama dengan pengaruh brem. Pengaruh metanol sangat nyata lebih baik dibandingkan dengan etanol. Pengaruh campuran metanol dan etanol sangat nyata lebih baik dibandingkan dengan metanol. Dengan demikian. bahan nabati alami lokal berupa arak dan brem dapat dimanfaatkan sebagai atraktan.


(4)

3 Kata Pengantar

Perkopian Sumatera Utara memiliki arti stragtegis bagi perekonomian Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya karena memberikan devisa yang besar dan menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, berbagai kebijakan dan program perlu diterapkan untuk mengatasi segala kendala yang dihadapi. Salah satu kendala sekarang ini adalah rendahnya produktivitas kopi akibat dari serangan hama penggerek buah kopi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari solusi bagi masalah tersebut. Solusi tersebut adalah atraktan dari bahan nabati alami lokal untuk mengendalikan serangan hama penggerek buah kopi.

Pada kesempatan ini, kami Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Kepala Badan Pengembangan dan Penelitian Provinsi Sumatera Utara yang telah mendanai penelitian ini melalui APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran 2012. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para reviewer yang telah memberikan beberapa masukan yang sangat berharga bagi penyempurnaan proposal dan laporan akhir penelitian.

Medan, 2012 Tim Peneliti


(5)

4 Daftar Isi Abstrak Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Bagan Daftar Lampiran

BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 3 1.3. Hipotesis 4

1.4. Tujuan Penelitian 4 1.5. Manfaat Penelitian 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1. Peranan Kopi 6

2.2. Masalah Perkopian Sumatera Utara 8 2.3. Penggrek Buah Kopi 10

2.4. Metanol, Etanol, Cairan Fermentasi Tape Beras Pulut dan Tuak 12 2.4.1. Metanol 12

2.4.2. Etanol 13

2.4.3. Etanol pada fermentasi ketan 13 2.4.4. Etanol pada arak 14

BAB III. METODE PENELITAN 15 3.1. Lokasi survey dan percobaan 15 3.2. Wawancara 15

3.3. Percobaan 16

3.3.1. Lokasi, lama dan rancangan percobaan 16 3.3.2. Peralatan dan bahan 22

3.3.3. Pengolahan Data 22

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4.1. Hasil penelitian 25

4.1.1. Intensitas Serangan PBKo 25 4.1.2. Hasil percobaan atraktan 28

4.1.3. Gambaran pengetahuhuan budidaya dan proteksi kopi di level petani kopi 29 4.1.4. Gambaran tangapan masyarakat tentang pemanfaatan bahan nabati lokal untuk

proteksi tanaman kopi di masa yang akan datang 31 4.2. Pembahasan 32

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 37 5.1. Kesimpulan 37

5.2. Saran 37 DAFTAR PUSTAKAN 39 LAMPIRAN 41


(6)

5 Daftar Tabel

Tabel 2.1. Konsumsi kopi per kapita (ICO 2011) 8

Tabel 2.2. Produktivitas kopi Sumatera Utara dan beberapa negara di dunia untuk kopi Arabica dan Robusta (BPS 2011, ICO 2011) 9

Table 4.1. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Kabupaten Dairi (n = 27) 25

Tabel 4.2. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Samosir (n = 27) 26 Tabel 4.3. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Simalungun (n = 27)

27

Tabel 4.4. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Tapanuli Utara (n = 27) 28

Tabel 4.5. Sidik ragam pengaruh atraktan terhadap PBKo tertangkap 28 Tabel 4.6. PBKo yang mati dalam perangkap 29

Tabel 4.7. Gambaran petani kopi dalam aspek teknik pembudidayaan kopi (n =40) 30 Tabel 4.8. Masalah utama dalam aspek sarana (n =40) 31

Tabel 4.9. Tanggapan petani kopi terhadap penyuluhan (n = 40) 31


(7)

6 Daftar Gambar

Gambar 1. Metanol dan Etanol (kiri) dan botol perangkap 17

Gambar 2. Botol perangkap perlakuan campuran Metanol dan Etanol (C) 18 Gambar 3. Botol perangkap perlakuan Metanol (M) 19

Gambar 4. Botol perangkap perlakuan Etanol (E) 19

Gambar 5. Botol perangkap perlakuan cairan tape beras pulut (P) 20 Gambar 6. Botol perangkap perlakuan tuak (T) 20

Gambar 7. Botol perangkap perlakuan dengan air (kontrol, K) 21 Gambar 8. Pengeluaran air dari wadah 21


(8)

7 Daftar Bagan

Bagan 1. Keterkaitan antara model pembelajaran dengan tingkat memorisasi (Wyatt dan Loper 1999) 35


(9)

8 Daftar Lampiran

Lampiran 1. Jadual dan Jenis Kegiatan Kerja 41 Lampiran 2. Kuesioner 41

Lampiran 3. Karakteristik Responden (n = 40) 44 Lampiran 4. Bagan percobaan 44


(10)

9 BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Sumatera Utara, perkopian memiliki arti yang sangat besar dan strategis karena menciptakan banyak lapangan kerja dan sumber devisa yang besar. Di Indonesia, Sumatera Utara adalah penghasil dan sekaligus pengekspor Kopi Arabica terbanyak. Sebahagian besar diekspor terutama ke Amerika Serikat, Jepang dan Eropah.

Kebutuhan kopi dunia terus meningkat dengan laju peningkatan 15% per tahun sementara laju penambahan produksi kopi dunia hanya meningkat 10% (ICO 2012). Harga biji kopi dipasar Internasional cenderung meningkat dan mengalami puncaknya pada tahun 2011, dan menurun kembali pada tahun 2012. Akan tetapi Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya tidak dapat memeroleh manfaat maksimal ketika harga kopi naik ke harga tertingi pada tahun 2011 akibat menurunnya volume ekspor (ICO 2012). Artinya, nilai ekspor tahun 2011 memang naik pada menjadi US$ 205,2 juta, tapi kenaikan nilai ekspor tersebut semata-mata akibat dari kenaikan harga, bukan karena kenaikan volume ekspor.

Penurunan volume ekspor dapat disebabkan oleh penurunan produksi sebagai dari menurunnya produktivitas. Poduktivitas kopi Arabica dan Robusta Sumatera Utara rendah dibandingkan dengan produktivitas kopi di negara-negara lain. Produktivitas yang rendah tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kurangnya pemahaman petani kopi tentang budidaya kopi, rendahnya dosis pupuk, kurangnya pemeliharaan tanaman, tidak adanya tanaman penaung, tuanya umur tanaman, dan tingginya serangan hama Penggerek Buah Kopi (PBKo).

Serangan PBKo beberapa tahun terakhir ini sangat serius di berbagai kabupaten penghasil kopi di Sumatera Utara. Hama PBKo menggerek buah kopi, lalu hidup di


(11)

10 dalamnya, dan memakan biji kopi. Hasil penelitian Malau (2010) menunjukkan bahwa serangan PBKo di Sumatera Utara dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 92% sehingga diperkirakan telah menimbulkan kerugian bagi Sumatera Utara hingga Rp. 837 milyar pada tahun 2010.

PBKo ini telah dicoba dikendalikan dengan teknik Good Agriculture Practice seperti menggunakan perangkap dengan hypotan, naungan, jamur, pupuk organik, tindakan teknik manual, dan replanting. Di beberapa tempat di Sumatera Uatar, petani menggunakan hypotan untuk mengendalikan PBKo. Hypotan adalah atraktan dari bahan buatan berupa campuran dari senyawa kimia methanol dan etanol. Masing-masing methanol dan etanol berbau seperti bau-bau yang dikeluarkan jantan PBKo sehingga PBKo betina akan mendekati atraktan tersebut. Bahan buatan methanol atau etanol dapat digunakan sebagai atraktan secara sendiri-sendiri maupun dicampur (Mathieu dkk 1997). Atraktan dari bahan buatan tersebut dapat digunakan sebagai pemancing masuknya PBKo betina kedalam perangkap.

Akan tetapi, upaya melalui penggunaan atraktan dari bahan buatan baik hypotan maupun metanol dan etanol tersebut nampaknya belum berhasil diterapkan secara meluas dan berkesinambungan oleh petani kopi. Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya adalah ketidaktersediaan atraktan dari bahan buatan tersebut secara terus menerus di tingkat petani. Hypotan misalnya harus didatangkan dari dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur. Metanol dan etanol tersedia di toko-toko yang umumnya berada di kota.

Perilaku petani kopi mungkin dapat menjadi penyebab tingginya intensitas serangan pbko. kucel, kangire dan egonya (2012) menekankan bahwa untuk mencari penyebab tingginya intensitas serangan PBKO dan untuk mencari cara pengendalian PBKo diperlukan penelitian untuk memeroleh pemahaman tentang sistem pertanian kopi dan budidaya kopi


(12)

11 serta peranannya dalam perkembangan PBKo, termasuk pemahaman yang memadai tentang peranan petani kopi dalam perkebangan PBKo.

1.2. Perumusan Masalah

Tingginya intensitas serangan PBKo di Sumatera Utara dapat disebabkan oleh kelangkaan ketersediaan atraktan dari bahan buatan dan ketidakpahaman petani dalam merawat tanaman kopi. Kesulitan petani memeroleh atraktan dari bahan buatan pada saat dibutuhkan perlu diatasi dengan mencari atraktan dari bahan-bahan alami lokal sebagai pengganti atraktan dari bahan-bahan buatan. Bahan-bahan buatan dapat berupa methanol dan etanol serta hypotan yang merupakan campuran dan methanol dan etanol. Bahan-bahan alami tersebut mestilah mengandung etanol yang berfungsi sebagai atraktan, dan harus pula tersedia di lokal atau mudah terjangkau oleh petani kopi. Perkembangan PBKo sangat pesat pada kebun yang tidak terawat oleh petani. Petani yang tidak memahami perawatan kesehatan tanaman telah memberikan kesempatan bagi PBKo untuk berkembang dengan pesat. Perlu dilakukan penelitian untuk mencari atraktan dari bahan alami lokal, dan penelitian tentang pengetahuan petani tentang perawatan tanaman. Rumusan masalah yang akan dijawab oleh penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaruh atraktan dari bahan nabati lokal sebagai pengendali PBKo?

2. Bagaimanakah gambaran tentang pengetahuan petani kopi tentang budidaya dan proteksi tanaman kopi?

3. Bagaimanakah respons masyarakat tentang pemanfaatan atraktan dari bahan nabati lokal?


(13)

12 1.3. Hipotesis

Pada percobaan dengan atraktan ditetapkan hipotesis bahwa terdapat perbedaan yang nyata antaratraktan, dan bahwa pengaruh atraktan dari bahan nabati alami lokal sama dengan pengaruh atraktan dari bahan buatan.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menetapkan jenis bahan nabati lokal sebagai atraktan.

2. Menetapkan gambaran tentang pengetahuan petani tentang budidaya dan proteksi tanaman kopi.

3. Menetapkan respons masyarakat tentang pemanfaatan atraktan dari bahan alami lokal.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat bagi petani kopi adalah petani dapat menggunakan atraktan dari bahan nabati lokal untuk pengendalian PBKo demi peningkatan produktivitas kopi. 2. Manfaat bagi Bagi Gubernur dan DPRD adalah rekomendasi kebijakan dari hasil

penelitian ini menjadi bahan bagi Gubernur untuk menetapkan arah kebijakan dalam rangka meningkatkan produktivitas kopi melalui perbaikan budi daya kopi umumnya dan melalui proteksi tanaman khususnya.

3. Manfaat bagi Badan Penelitian dan Pengembangan adalah rekomendasi kebijakan dari hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi penetapan programnya, dan menjadi saran kebijakan untuk disampaikan kepada Gubernur.


(14)

13 4. Manfaat bagi Dinas-dinas terkait adalah rekomendasi kebijakan dari hasil penelitian ini menjadi bahan bagi penetapan program dan kegiatan dalam rangka meningkatkan produktivitas kopi melalui perbaikan budi daya kopi umumnya dan melalui proteksi tanaman khususnya.


(15)

14 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan Kopi

Perkopian di Sumatera Utara memberikan manfaat yang sangat besar dan strategis ditinjau dari aspek ekonomi yakni lapangan kerja dan devisa. Perkopian di Sumatera Utara menjadi sumber nafkah secara langsung bagi sekitar 1.000.000 (angka prediksi) penduduk baik petani produsen, pedagang pengumpul, tenaga kerja perusahaan pengolahan, eksportir kopi maupun pengusaha kedai kopi. Kabupaten Dairi memroduksi 13,3 ribu ton/tahun, Tapanui Utara 10,5 ribu ton/tahun, Simalungun 9,5 ribu ton/tahun, Karo 7,2 ribu ton/tahun, dan Humbang Hasundutan 5,7 ribu ton/tahun, dan berbagai kabupaten lainnya (BPS 2011). Total produksi Kopi Sumatera Utara 55 ribu ton/tahun.

Di Indonesia, Sumatera Utara adalah penghasil dan sekaligus pengekspor Kopi Arabica terbanyak. Sumatera Utara memroduksi kopi (Robusta dan Arabika) sebanyak 55,6 ribu ton pada tahun 2010 dengan luas lahan 78.709,56 Ha (BPS 2011). Sebahagian besar (sekitar 50.000 ton, 95%) diekspor terutama ke Amerika Serikat, Jepang dan Eropah. Meskipun data statistik yang dikeluarkan BPS menunjukkan kenaikan produksi pada tahun 2010 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun banyak pihak - misalnya Ketua Assosiasi Eksportir Indonesia (AEKI) - meragukan kenaikan ini dan menyakini bahwa terjadi penurunan produksi. Nilai ekspor biji dan bubuk kopi Sumut diperkirakan US$ 192,5 juta pada tahun 2009, turun dari US$ 207,8 juta pada tahun 2008. Dibandingkan tahun2010, nilai ekspor tahun 2011 naik menjadi US$ 205,2 juta semata-mata akibat dari kenikan harga, bukan karena kenaikan volume ekspor.

Negara-negara kopi nampaknya berbeda beda dalam menangani perkopian di negaranya yang diindikasikan dengan kuantitas ekspornya. Dari 54 negara penghasil kopi, 19 diantaranya mengalami peningkatan ekspor kopi pada tahun 2011, sedangkan 25 negara


(16)

15 mengalami penurunan ekspor. Peningkatan ekspor tertinggi (24.09%) dialami oleh Brasilia, sedangkan Indonesia mengalami penurunan ekspor sebesar 30% pada tahun 2011, sementara produksi juga menurun dari 683.000 ton pada tahun 2009 menjadi 570.000 ton pada tahun 2010 atau terjadi penurunan sebanyak 16,52% (ICO, 2011), dan menurun kembali pada tahun 2011 menjadi 369.540 ton (ICO 2012). Akibat penurunan ekspor tersebut, Indonesia tidak dapat memeroleh manfaat maksimal ketika harga kopi naik ke harga tertingi pada tahun 2011.

Harga kopi dunia cenderung terus meningkat meskipun kadang dibarengi dengan penurunan harga. Harga kopi Arabica telah memecahkan rekor dunia pada tahun 2011. Harga cenderung turun pada tahun 2012 (ICO 2012). Fluktuasi harga di pasaran dunia nampaknya berpengaruh terhadap harga di dalam negeri. Pada saat harga puncak di pasaran dunia pada tahun 2011, harga kopi di Sumatera Utara juga mengalami puncaknya yakni Rp. 65.000/kg biji hijau kering untuk Arabica dan Rp. 27.000/kg untuk Robusta. Pada bulan Oktober 2012, harga turun menjadi Rp. 45.000/kg untuk Arabica dan Rp. 15.000/kg untuk Robusta. Para ahli menyebut bahwa penurunan harga tersebut karena penurunan daya beli akibat pelemahan ekonomi dunia meskipun kebutuhan kopi tetap tinggi.

Konsumsi kopi per kapita berbeda-beda antarnegara. Kampanye untuk mengonsumsi kopi marak dilakukan oleh berbagai perusahaan besar di luar dan dalam negeri. Dari 146 negara di dunia, Finladia merupakan negara dengan konsumsi terbesar (12 kg/kapita/tahun), sedangkan Indonesia berada pada urutan 104 (0,5 kg/kapita/tahun) (Tabel 2.1, ICO 2011).


(17)

16 Tabel 2.1. Konsumsi kopi per kapita (ICO 2011)

Rangking Negara Konsumsi per

kapita (Kg/tahun)

1 Finlandia 12,0

2 Norway 9,9

3 Islandia 9,0

(data 2006)

4 Denmark 8,7

5 Belanda 8,4

12 Jerman 6,4

17 Brasilia 5,8

(data 2009)

26 Amerika Serikat 4,2

58 Kolombia 1,8

69 Ethiopia 1,3

92 Vietnam 0,7

104 Indonesia 0,5

146 Burkina Faso 0,1

(data 2006)

2.2. Masalah Perkopian Sumatera Utara

Produktivitas kopi Sumatera Utara lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas kopi di negara-negara lain. Produktivitas Kopi Arabica Sumatera Utara hanya 1.154 kg/ha/tahun sedangkan Costa Rica 1.610 kg/ha/tahun. Produktivitas Robusta 649 kg/ha/tahun dibandingkan Laos 738 kg/ha/tahun (Tabel 2.2). Produktivitas yang rendah tersebut bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman petani kopi tentang budidaya kopi, seperti rendahnya masukan pupuk, kurangnya pemeliharaan tanaman, tidak adanya tanaman penaung, tuanya umur tanaman, dan tingginya serangan hama Penggerek Buah Kopi (PBKo).


(18)

17

Tabel 2.2. Produktivitas kopi Sumatera Utara dan beberapa negara di dunia untuk kopi Arabica dan Robusta (BPS 2011, ICO 2011)

Jenis Negara Produktivitas

(kg/ha)

Arabica (A) Cota Rica (A) 1.810

Brasilia (A/R) 1.259

Sumatera Utara (A) 1.130

El Salvador (A) 920

Kolombia (A) 938

Guatemala (A/R) 690

Hoonduras (A) 690

Robusta (R) Laos (R) 738

Vietnam (R) 2.734

(di Provinsi Daklok, 2004)

Sumatera Utara (R) 670

Di berbagai Kabupaten penghasil kopi di Sumatera Utara, intensitas serangan PBKo beberapa tahun terakhir ini sangat tinggi. Hama PBKo yang hidup di dalam buah memakan biji kopi. PBKo ini telah dicoba dikendalikan dengan teknik Good Agriculture Practice seperti penggunaan hypotan, naungan, jamur, pupuk organik, tindakan teknik manual, dan peremajaan tanaman. Nampaknya tindakan-tindakan tersebut belum cukup berhasil terbukti dari masih tingginya serangan PBKo. Hasil penelitian Malau (2010) menunjukkan serangan PBKo di Sumatera Utara dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 92% dengan modus 31-35% dan rata-rata 28,4% sehingga diperkirakan telah menimbulkan kerugian bagi Sumatera Utara hingga Rp. 837 milyar pada tahun 2010.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah berupaya untuk membantu mengatasi tersebut dengan cara membagikan hypotan kepada petani. Hypotan adalah campuran dari senyawa kimia methanol dan etanol. Hypotan diproduksi oleh Pusat Penelitian Kakao dan


(19)

18 Kopi Jember (Astuti 2011). Kedua senyawa tersebut diproduksi di pabrik melalui proses fabrikasi. Bagi PBKo betina, hypotan ini berbau seperti bau-bau yang dikeluarkan jantan PBKO sehingga PBKo betina akan mendekati hypotan tersebut. Dengan demikian hypotan dapat digunakan sebagai pemancing masuknya PBKo betina kedalam perangkap. Akan tetapi, upaya melalui penggunaan hypotan tersebut nampaknya belum berhasil diterapkan secara meluas dan berkesinambungan oleh petani kopi. Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya adalah ketidaktersediaan hypotan secara terus menerus di lapang karena harus didatangkan dari dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur. Petani kopi juga kesulitan dalam menjangkau atraktan dari bahan buatan methanol dan etanol karena kedua bahan tersebut dijual hanya di apotik atau toko-toko kimia yang umumnya berada di kota-kota Kabupaten.

Mengingat kesulitan tersebut, maka perlu dicari atraktan alternatif yang berasal dari bahan-bahan nabati alami yang ada disekitar petani. Bahan-bahan nabati alami tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai atraktan pada perangkap PBKo. Dengan cara tersebut petani dapat terus menerus memasang perangkap bagi PBKo. Mengacu kepada Kucel, Kangire dan Egonya (2012), perilaku petani kopi di Sumatera Utara mungkin dapat menjadi penyebab tingginya intensitas serangan PBKo di Sumatera Utara. Para ahli tersebut menekankan bahwa untuk mencari penyebab tingginya intensitas serangan PBKo dan untuk menemukan teknik pengendalian PBKo diperlukan pemahaman tentang sistem budidaya kopi serta peranan petani kopi dalam perkembangan PBKo.

2.3. Penggerek Buah Kopi

PBKo diberi nama lmiah Hypothenemus hampei. PBKo dalam Bahasa Inggris adalah


(20)

19 Devil). PBKo berasal dari Afrika. PBKo adalah Kumbang berukuran kecil. Dewasa berwarna hitam. Ukuran betina dewasa panjang 1.4–1.8 mm, jantan lebih kecil 1.2–1.6 mm. Betina dapat terbang dalam jarak dekat. Jantan tidak dapat terbang karena tidak punya sayap.

Cara PBKo bekerja dapat dijelaskan sebagai berikut. PKBo membor (menggerek) buah kopi pada diktus. Tapi, bila populasi PBKo sangat tinggi pada musim kering dan panas, PBKo sering membor dari sisi lain dari buah kopi. Dengan demikian, identifikasi serangan tidak boleh hanya melihat diktus saja, tapi juga sisi buah. Biasanya, 1 buah dimasuki oleh 1 betina. Kebiasaan ini yang membuat penyebaran PBKo luar biasa cepatnya. Setelah membor buah, hama tersebut hidup dalam buah. Induk dan anak-anaknya memakan semua biji sehingga tidak ada lagi biji dalam buah meskipun buah nampak sehat (hijau mulus, atau merah saat matang). Serangan pada buah yang sangat muda membuat buah membusuk, lalu buah gugur.

PBKo sangat berbahaya karena berkembang biak sangat cepat dan jumlah banyak sekali. Dalam 1 tahun, keturunan dari 1 ekor betina berjumlah 100.000 (seratus ribu) ekor. Dalam 2-3 tahun, semua buah bisa terserang sehingga tidak ada lagi biji yang dapat dipanen. Siklus hidup (life cycle, dari telur ke dewasa) PBKo hanya 24-45 hari (tergantung cuaca). Dua hari setelah memasuki buah, betina sudah bertelur. Satu betina bertelur sebanyak 35-50 butir yang terdiri dari 33-46 (92%) betina. Harapan hidup (life expectation) betina maksimum 190 hari, sedangkan jantan maksimum 40 hari. Setelah kawin di dalam buah, kebanyakan betina keluar dari buah, dan hanya beberapa betina tetap di dalam buah. Betina yang keluar tersebut membor biji-biji lainnya, lalu siklus diulangi lagi. Jantan tidak pernah keluar dari dalam biji.


(21)

20 2.4. Metanol, Etanol, Cairan Fermentasi Tape Beras Pulut dan Tuak

2.4.1. Metanol

Metanol atau metil alkohol dengan rumus kimia (CH3OH) sangat beracun bagi

mahluk hidup. Meskipun dalam jumlah sedikit, metanol dapat menyebabkan buta hingga kematian. Spiritus merupakan metanol yang dicampur dengan senyawa cupri sulphate sehingga berwarna biru untuk membedakannya dengan metanol teknis dengan alkohol.

Metanol mempunyai sifat fisik antara lain berbentuk cairan yang bening dan mempunyai wangi seperti alkohol. Metanol dapat bercampur dengan air, mudah menguap dan mudah terbakar. Metanol dibuat melalui proses pabrikasi yang mengunakan teknologi tinggi. Pada tahun 1932, BASF mengenalkan proses sintesis metanol dari karbon monoksida (CO) dan gas hydrogen (H2) dengan menggunakan katalis dan teknologi tekanan tinggi dalam

industri kimia (Universitas Indonesia 2012). Selanjutnya, pada tahun 1996 ICI memperbaki teknlogi pembuatan metanol dengan menggunakan katalis cooper/zincoxide/alumina sehingga metanol dapat dihasilkan pada temperatur kurang dari 300 oC dan tekanan lebih rendah (50-100 bar). Metanol sering disebut sebagai alkohol kayu sebab dihasilkan dari hasil sampingan dari destilasi (penyulingan) destruktif kayu. Tetapi sekarang metanol dihasilkan secara sintetis melalui proses bertahap. CO dan H2 dhasilkan dari gas alam.

Dewasa ini, gas sintetik sebagai bahan dasar pembuatan metanol lebih banyak dihasilkan dari komponen metan yang terdapat pada gas alam dari pada batu bara. Metanol dihasilkan dari sintesis gas alam melalui tahapan reaksi berikut:

CH4 + H2O <———> 3 H2 + CO

CO + 2 H2 <———> CH3OH


(22)

21 Menurut HASKA (2012), di Indonesia tepatnya di Kalimatan Timut terdapat 2 pabrik penghasil metanol dengan skala industri besar yakni Kilang Bunyu di Tarakan dan Kilang Kaltim Metanol Industri di Bontang.

2.4.2. Etanol

Etanol atau etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH telah digunakan manusia sejak

zaman prasejarah sebagai bahan pemabuk dalam minuman beralkohol. Etanol juga digunakan sebagai bahan pelarut pada parfum, perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan.

Pembuatan Etanol dilakukan secara komersial di pabrik melalu proses hidrasi etilena (Wikipedia 2012):

C2H4 + H2O => CH3CH2OH

Etanol dapat juga dihasilkan melalui fermentasi dengan menggunakan ragi. Ragi mencerna gula dan menghasilkan etanol dan karbon dioksida:

C6H12O6 ==> 2 CH3CH2OH + 2 CO2

2.4.3. Etanol pada fermentasi ketan

Pembuatan tape sudah jamak dilakukan orang. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan ragi pada beras biasa dan beras pulut (ketan). Etanol yang dihasilkan pada fermentasi tersebut harus dikeluarkan dari tabe agar ragi dapat berkembang biak pada tape. Konsentrasi etanol yang tinggi akan beracun bagi ragi. Ragi yang paling toleran sekalipun hanya dapat bertahan hidup pada lingkungan 15% etanol (Wikipedia 2012). Kadar etanol pada tape bisa mencapai 7,581% (bobot/bobot) pada lama fermentasi 120 jam.

Pembuat tape menampung tirisan larutan etanol pada suatu wadah di bawah media fermentasi. Menurut Sumatri (2012), secara keseluruhan selama proses fermentasi cairan


(23)

22 tape yang tiris tersebut banyaknya kurang lebih 50% dari berat ketan yang diolah. Bila tape kentan tersebut dipres, akan keluar juga cairan tape sekitar 50% dari berat ketan yang diolah. Brem muda adalah sebutan bagi cairan tersebut.

2.4.4. Etanol pada arak

Tuak adalah sejenis minuman di daerah beretnis Batak. Tuak merupakan hasil fermentasi dari cairan nira. Tuak disebut juga arak. Arak tersebut mengandung etanol dengan kadar yang cukup tinggi yang bisa mencapai lebih dari 10% (Adiati 2012). Tuak dibuat dengan memasukkan kulit kayu raru ke dalam cairan nira untuk terjadi fermentasi.


(24)

23 BAB III. METODE PENELITAN

3.1. Lokasi survey dan percobaan

Survey dilaksanakan 18 Hari Kerja untuk pengamatan serangan PBKo dan pengumpulan data sekunder serta informasi tentang ketersediaan bahan nabati alami yang ada. Pembahagian jadual kerja disusun pada Tabel Lampiran 1. Survei tentang intensitas serangan PBKo dilakukan di kabupaten Dairi, Samosir, Simalungun dan Tapanuli Utara. Pada masing-masing kabupaten tersebut dipilih satu kecamatan penghasil kopi Arabica sebagai tempat pengukuran tingkat serangan PBKo yakni Kecamatan Sumbul (Dairi), Kecamatan Purba (Simalungun), Kecamatan Ronggur Ni Huta (Samosir), dan Kecamatan Tarutung (Tapanuli Utara). Kebun Arabica untuk pengamatan dipilih secara acak sebanyak 3 kebun per kecamatan. Kebun memiliki setidak-tidaknya 90 tanaman. Dari 90 tanaman tersebut dipilih 9 tanaman sampel secara acak dengan metode zigzag sehingga keseluruhan 27 tanaman per kecamatan per Kabupaten. Dari survei ini ditetapkan satu tempat percobaan pada tanaman Arabica di mana terdapat kebun yang memiliki tingkat serangan PBKo tertinggi yakni kebun di Kecamatan Sumbul yang memiliki tingkat infeksi sebesar 85.8% (Tabel 4.1).

3.2. Wawancara

Wawancara kepada petani kopi dilakukan untuk memerolah informasi tentang teknik budidaya yang terkait dengan pengendalian PBKo dan respons mereka terhadap rencana penggunaan bahan alami sebagai atraktan. Wawancara dilakukan langsung berhadapan muka (in-depth interview) dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka (Lampiran 2). Jumlah responden 40 orang yang tersebar pada 4 kabupaten (Dairi, Samosir, Simalungun dan Tapanuli Utara) masing-masing 1 kecamatan dan 10 orang dari setiap


(25)

24 kecamatan. Dibutuhkan 20 Hari Kerja untuk melakukan wawancara. Hasil wawancara tentang responden menunjukkan bahwa responden memiliki karakterisitik yang sangat beragam dalam hal jenis kelamin, umur, pendidikan, jumlah anak, klasifikasi sebagai pelaku utama, dan lama menjadi petani (Lampiran 3).

3.3. Percobaan

3.3.1. Lokasi, lama dan rancangan percobaan

Percobaan dilakukan di Dairi di Kecamatan Sumbul penghasil terbanyak kopi pada 1 (satu) kebun yang terbanyak serangan PBKo (Tabel 4.1). Mengingat siklus idup PBKo 24-45 hari (lihat penjelasan pada bahagian 2.2), maka percobaan berlangsung selama 40 Hari Kalender untuk memberikan selang waktu yang cukup bagi PBKo untuk berpindah dari buah ke buah yang lain. Pengamatan dilakukan setiap 4 hari sebanyak 10 kali pengamatan. Selesai pengamatan dilakukan penggantian air. Bahan atraktan (50 ml) diganti setiap 4 hari.

Percobaan adalah percobaan nonfaktorial dengan 6 taraf perlakuan yakni campuran metanol dan etanol degan perbandingan 2:1 (C), methanol (M), Etanol (E), cairan tape beras pulut (P), tuak (T) dan air bersih (kontrol, K). Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (Gomez dan Gomez 1984, Malau 2006) dengan 5 kelompok sehingga terdapat 30 unit percobaan. Keragaman nila-nilai pengamatan (total keragaman) bersumber dari (1) keragaman akibat perlakuan, (2) keragaman akibat pengelompokan dan (3) keragaman akibat galat. Oleh karena itu, model matematik linear aditif yang ditetapkan adalah :

Yij =  + i + j + ij dengan ketentuan

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i di kelompok ke-j

 = nilai tengah


(26)

25 j = pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2, 3 . . . . r)

ij = pengaruh galat pada perlakuan ke-i di kelompok ke-j

Setiap unit percobaan terdiri atas 4 tanaman sehingga tanaman percobaan sebanyak 30 x 4 = 120 tanaman. Bagan percobaan dicantumkan pada Lampiran 4.

Perangkap menggunakan botol aqua yang dilobangi sehingga terbentuk jendela berukuran lebar 2 x tinggi 8 cm, dan didalamnya diletakkan kantongan plastik berisi atraktan, dan di dasar botol terdapat air yang dicampur dengan deterjen. Kantongan plastik atraktan tersebut digantung di dalam botol. Botol perangkap digantung pada ranting kopi pada ketinggian 1,2 m di atas permukaan tanah (Dufour dan Frerot 2008. ) mengingat pola distribusi PBKo berkelompok di sektor bawah (Manurung 2010). Ketika penelitian dimulai, pada kantong atraktan tersebut dibuat lobang sebanyak 10 lobang dengan menusukkan peniti.

Pada Gambar 1 terlihat botol atraktan buatan (metanol dan etanol) dan botol-botol aqua yang berfungsi sebagai perangkap yang digunakan pada penelitian ini.


(27)

26 Pada Gambar 2 berikut ditunjukkan botol perangkap dari perlakukan campuran Metanol dan Etanol (C).

Gambar 2. Botol perangkap perlakuan campuran Metanol dan Etanol (C). Wadah botol aqua yang didalamnya terdapat bungkus platik yang mengandung atraktan. Diisi dengan air sabun. Botol aqua dilobangi 2 (lebar) x 8 (tinggi) cm di sisi botol. Botol digantung pada ketinggian 1.2 m di atas tanah pada ranting. Atraktan lepas ke udara sebagai uap/gas secara perlahan-lahan. Karena tertarik dengan wangi atraktan, PBKo betina akan masuk ke dalam wadah atraktan tersebut. Benturan PBKo dengan dinding bahagian dalam akan membuat PBKo jatuh ke dalam larutan sabun di bahagian bahwa botol, sehingga PBKo tidak dapat terbang lagi atau terperangkap. Akhirnya PBKo tersebut mati.


(28)

27 Gambar 3. Botol perangkap perlakuan Metanol (M)


(29)

28 Gambar 5. Botol perangkap perlakuan cairan tape beras pulut (P)


(30)

29 Gambar 7. Botol perangkap perlakuan dengan air (kontrol, K)

Parameter adalah jumlah PBKo yang mati dalam botol perangkap. Pada saat pengamatan, air dikeluarkan dari wadah (Gambar 5)


(31)

30 Untuk lebih memastikan PBKo yang diamati, pengamatan menggunakan kaca pembesar (Gambar 9).

Gambar 9. Pengamatan menggunakan kaca pembesar

3.3.2. Peralatan dan bahan

Peralatan terdiri atas kamera, laptop, gelas ukur, cutter, tali rafia, kaca pembesar, botol, dan kantong plastk. Bahan terdiri dari metanol, etanol, brem dari tape beras pulut, tuak dan air.

3.3.3. Pengolahan Data

Data wawancara dianalisa dengan metode kualitatf. Data percobaan diolah sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan berdasarkan Gomez dan Gomez (1984) dan


(32)

31 Malau (2006). Ragam disidik dengan menghitung jumlah kuadrat (JK) dan rataan kuadrat (RK) dan nilai F hitung untuk dibandingkan dengan nilai F tabel. Masing-masing dihitung dengan rumus:

Faktor Koreksi = FK = G2/(tr) JK Total = JKT =  Yij2  FK

 Kj2

JK Kelompok = JKK =   FK t

Pi2

JK Perlakuan = JKP =   FK r

JK Galat = JKT  JKK  JKP RK Kelompok = RKK = JKK/dbK RK Perlakuan = RKP= = JKP/dbP RK Galat = RKG = JKG/dbG Fhit Kelompok = RKK/RKG

Fhit Perlakuan = RKP/RKG

Karena hasil penyidikan terhadap ragam (Uji-F) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P = 99%) antartaraf perlakuan (Tabel 4.5), maka Uji Duncan pada taraf Uji P = 95% dan P = 95% telah dilakukan untuk menguji beda antarrataan taraf perlakuan. Pada Uji Duncan dibutuhkan satu seri nilai pembanding (nilai SSR = shortest significant ranges = selang nyata terpendek) yang sesuai dengan pasangan yang


(33)

32 dibandingkan. Pada Uji Duncan, nilai tersebut tergantung pada sd khas dari pasangan yang

dibandingkan.



sd =  (2 RKG)/r

sd = galat baku

RKG = rataan kuadrat galat r = jumlah kelompok (ulangan)

(rp)(sd)

SSR =  untuk p = 2, 3, 4, . . . t 2

dengan ketentuan

t = banyaknya perlakuan

rp = nilai SSR (significant studentized ranges)

p = jarak dalam urutan (ranking) rataan yang dibandingkan.


(34)

33 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil penelitian

4.1.1. Intensitas Serangan PBKo

Hasil survey tentang serangan PBKo di Dairi dicantumkan pada Tabel 4.1. Tanaman yang diamati berumur 3 hingga 9 tahun. Rata-rata umur tanaman 5,2 tahun. Median umur tanaman adalah 4 tahun. Umur tanaman yang paling sering muncul (modus) adalah 5 tahun. Cabang terinfeksi minimum 20,5% dan maksimum 93,2% dengan rata-rata 54,3%. Median cabang yang terinfeksi adalah 54,5% dengan modus 62,4%. Buku yang mengandung buah yang terinfeksi minimum 26,3%, maksimum 63,6%, dan rata-rata 48,9%, media 51,1%, dan modus 58,2%. Buah yang terinfeksi minimum 12,8% dan maksimum 63,6% dengan rata-rata 48,9%. Buah yang terinfeksi memiliki median 36,2% dan modus 46,1%.

Table 4.1. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Kabupaten Dairi (n = 27) Nr Umur tanaman (tahun) Cabang terinfeksi (%) Buku yang mengandung buah yang terinfeksi (%) Buah terinfeksi (%)

1 Minimun 3 20.5 26.3 12.8

2 Maksimum 9 93.2 63.6 85.8

3 Rata-rata 5.2 54.3 48.9 31.5

4 Median 4 54.5 51.1 36.2

5 Modus 5 62.4 58.2 46.1

Pada Tabel 4.2 dipaparkan hasil survey tentang serangan PBKo di Samosir. Umur tanaman yang diamati terserang adalah 4 hingga 12 tahun dengan rata-rata 5,5 tahun. Nilai tengah umur tanaman adalah 5 tahun dan modus adalah 6 tahun. Cabang terinfeksi berkisar antara 13,4 hingga 77,1% dengan rata-rata 55,2% dan median 55,9% serta modus 54,5%.


(35)

34 Persentase buku yang mengandung buah yang terserang oleh PBKo minimum 24,3%, maksimum 85,2% dengan rata-rata 33,6% dan median 46,1% serta modus 42,2%. Persentase buah yang terserang minimum 6,5%, maksimum 69,9% dengan rata-rata 21,8%, dan median 20,2% serta modus 28,8%.

Tabel 4.2. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Samosir (n = 27)

Nr

Umur tanaman

(tahun)

Cabang terinfeksi

(%)

Buku yang mengandung

buah yang terinfeksi

(%)

Buah terinfeksi

(%)

1 Minimun 4 13.4 24.3 6.5

2 Maksimum 12 77.1 85.2 69.9

3 Rata-rata 5.5 55.2 33.6 21.8

4 Median 5 55.9 46.1 20.2

5 Modus 6 54.5 42.2 28.8

Tingkat infeksi PBKo untuk Simalungun dicantumkan pada Tabel 4.3. Umur tanaman bervariasi mulai dari 3 hingga 10 tahun dengan rata-rata 5,2 tahun, dan medan 4 tahun serta modus 5 tahun. Persenase cabang terinfeksi minimum 45,5%, maksimum 69,8% dengan rata-rata 51,5%, dan median 43,8% serta modus 48,5%. Buku yang terinfeksi minimum 21,8% dan maksimum 69,3% dengan rata-rata 45,6%. Median dari buku yang terinfeksi adalah 36,9% dan modusnya 38,4%. Persentase buah yang terinfeksi mulai dari 5,1% hingga 45,2% dengan rata-rata 27,1%. Median dan modus dari buah yang terinfeksi masing-masing 20,1% dan 19,5%.


(36)

35 Tabel 4.3. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Simalungun (n = 27)

Nr

Umur tanaman

(tahun)

Cabang terinfeksi

(%)

Buku yang mengandung

buah yang terinfeksi

(%)

Buah terinfeksi

(%)

1 Minimun 3 45.5 21.8 5.1

2 Maksimum 10 69.8 69.3 45.2

3 Rata-rata 5.2 51.6 45.6 27.1

4 Median 4 43.8 36.9 20.1

5 Modus 5 48.5 38.4 19.5

Informasi tentang tingkat serangan PBKo di Tapanuli Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4. Umur tanaman yang diamati beragam mulai dari 3 hingga 9 tahun dengan rata-rata 5,2 tahun. Median umur tanaman adalah 4 tahun, dan modusnya adalah 5 tahun. Persentase minimum dari cabang yang terserang adalah 25,9%, maksimum 80,5%, dan rata-rata 45,3%. Median dari persentase cabang yang terinfeksi adaah 43,8%, dedangkan modusnya adalah 49,5%. Buku yang terinfeksi minimum25,4%, maksimum 77,5%, dan rataaanya 50,3%, sedangkan mediannya adalah 3,1%, dan modusnya 40,2%. Serangan pada buah minimum 9,2%, maksimum 40,3% dan rata-rata 23,2%. Median dari persentase buah yang terinfeksi adalah 31,6%, sedangkan modusnya adalah 33,5%.


(37)

36 Tabel 4.4. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Tapanuli Utara (n =27) Nr Umur tanaman (tahun) Cabang terinfeksi (%) Buku yang mengandung buah yang terinfeksi (%) Buah terinfeksi (%)

1 Minimun 3 25.9 25.4 9.2

2 Maksimum 9 80.5 77.5 40.3

3 Rata-rata 5.2 45.3 50.3 23.2

4 Median 4 43.8 39.1 31.6

5 Modus 5 49,5 40.2 33.5

4.1.2. Hasil percobaan atraktan

Hasil penyidikan terhadap ragam dicantumkan pada Tabel 4.5. Penyidikan terhadap ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antartaraf perlakuan.

Tabel 4.5. Sidik ragam pengaruh atraktan terhadap PBKo tertangkap Sumber

keragaman db JK RK Fhit

Ftabel

0.05

Ftabel

0.01

Kelompok 4 28917.67 7229.42 12.51** 2.87 4.43

Perlakuan 5 2160114.17 432022.83 747.81** 2.71 4.10

Galat 20 11554.33 577.72

Total 29 2200586.17

KK (%) 5.04

Hasil UJi Duncan dicantumkan pada Tabel 4.6. Jumlah PBKo yang mati terperangkap dalam wadah terendah pada taraf perlakuan air dan tertinggi pada taraf perlakuan campuran metanol dengan etanol. Semua taraf perlakuan berbeda sangat nyata terhadap kontrol. Pengaruh atraktan tuak lebih baik secara sangat nyata daripada kontrol, dan


(38)

37 lebh rendah secara nyata dibandingkan dengan brem. Pengaruh atraktan brem ketan berbeda sangat nyata dengan tuak. Pengaruh etanol sama dengan pengaruh brem ketan. Pengaruh metanol berbeda sangat nyata dengan etanol. Pengaruh campuran metanol dan etanol berbeda sangat nyata dengan metanol.

Tabel 4.5. PBKo yang mati dalam perangkap

Atraktan

Total PBKo yang mati dalam wadah

(ekor)

Rataan PBKo yang mati dalam wadah

(ekor)

Kontrol 355 71eE

Tuak (Arak) 1.135 227dD

Brem Ketan 2.460 492cC

Etanol 2.560 512cC

Metanol 3.415 683bB

Campuran Metanol dengan Etanol 4.390 878aA

Total 11.532 2.883

KK = 5.04%

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada P = 95% (huruf kecil) dan sangat nyata pada P = 99% (huruf besar) berdasarkan Uji Duncan

4.1.3. Gambaran pengetahuhuan budidaya dan proteksi kopi di level petani kopi

Gambaran tentang petani kopi dalam aspek teknik pembudidayaan kopi dicantumkan pada Tabel 4.7. Dari perbandingan keseluruhan aspek teknik pembudidayaan kopi, ranking


(39)

38 pertama (35,0%) adalah kurangnya pengetahuan petani tentang teknik mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman kopi. Pada urutan kedua (25,0%) adalah kurangnya pengetahuan petani kopi tentang teknik penanganan setelah panen (pascapanen). Selanjutnya pada urutan ketiga (15,0%) adalah kurangnya pengetahuan petani tentang kegunaan dan teknik pembuatan pupuk kandang/kompos/organik, dan pada urutan keempat (12,5%) adalah kurangnya pengetahuan petani tentang teknik pemupukan. Urutan kelima (10,0%) adalah kurangnya pengetahan petani tentang teknik pemanenan, dan urutan keenam (2,5%) adalah kurangnya pengetahuan petani tentang teknik menanam kopi.

Tabel 4.7. Gambaran petani kopi dalam aspek teknik pembudidayaan kopi (n =40)

No Msalah petani kopi dalam aspek teknik pembudidayaan kopi % Ranking 1 Kurang mengetahui teknik mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman 35.0 1 2 Kurang mengetahui teknik penanganan setelah panen (Pascapanen) 25.0 2 3 Kurang mengetahui kegunaan dan teknik pembuatan pupuk

kandang/kompos/organik 15.0

3 4 Kurang mengetahui teknik pemupukan 12.5 4 5 Kurang mengetahui teknik pemanenan 10.0 5 6 Kurang mengetahui teknik menanam 2.5 6

Jumlah 100,0

Pada Tabel 4.8 dicantumkan masalah petani kopi dalam aspek sarana. Masalah yang paling utama adalah kurang ketersediaan pupuk kimia (anorganik) di pasar (45.0%), kedua (27,5%) kurang tersedia pestisida dan herbisida, ketiga kurang tersedia benih/bibit unggul (22,5%), dan paling terakhir adalah kurangnya ketersediaan peralatan pertanian (5.0%).


(40)

39

Tabel 4.8. Masalah utama dalam aspek sarana (n =40)

No Masalah petani kopi dalam aspek sarana % Ranking 1 Kurang tersedia pupuk kimia (anorganik) di pasar 45.0 1 2 Kurang tersedia Pestisida dan herbisida 27.5 2 3 Kurang tersedia benih/bibit unggul 22.5 3

4 Kurang tersedia peralatan pertanian 5.0 4 Jumlah 100,0

Pada Tabel 4.9 dicantumkan tanggapan petani kopi terhadap penyuluhan. Ketika kepada petani diajukan pertanyaan bagaimana pandangan mereka terhadap urgensi penyuluhan, maka kebanyakan (67,5%) menyatakan bahwa penguluhan sangat penting. Sebahagian (25%) menyatakan penting, 5% menyatakan kurang penting, dan 2,5% menyatakan tidak penting.

Tabel 4.9 Tanggapan petani kopi terhadap penyuluhan (n = 40)

No

Tanggapan petani kopi terhadap urgensi

penyuluhan %

Ranking 1 Sangat penting 67.5 1

2 Penting 25.0 2

3 Kurang penting 5.0 3 4 Tidak penting 2.5 4

Jumlah 100,0

4.1.4. Gambaran tangapan masyarakat tentang pemanfaatan bahan nabati lokal untuk proteksi tanaman kopi di masa yang akan datang

Pada Tabel 4.10 dicantumkan tanggapan petani kopi terhadap urgensi pemanfaatan bahan nabati lokal untuk proteksi tanaman kopi di masa yang akan datang. Hampir


(41)

40 keseluruhan (85.0%) petani berpendapat bahwa pemanfaatan bahan nabati lokal untuk proteksi tanaman kopi sangat penting, hanya 2,5% menganggapnya tidak penting.

Tabel 4.10 Tanggapan petani kopi terhadap urgensi pemanfaatan bahan alami (n = 40)

No

pemanfaatan bahan alami lokal untuk

proteksi tanaman kopi %

Ranking 1 Sangat penting 85.0 1

2 Penting 10.0 2

3 Kurang penting 2.5 3

4 Tidak penting 2.5 4

Jumlah 100,0

4.2. Pembahasan

Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menetapkan atraktan dari bahan nabati alami lokal dengan harapan dapat menjadi subtitusi terhadap atraktan dari bahan buatan yang dihasilkan melalui proses industri. Tujuan lainnya adalah menetapkan gambaran tentang pengetahuan budidaya dan proteksi tanaman kopi di tingkat petani dengan maksud menjelaskan peranan petani terhadap intensitas serangan PBKo yang ada. Penelitian ini juga bertujuan untuk menetapkan gambaran tanggapan masyarakat terhadap introduksi atraktan yang terbuat dari bahan nabati alami lokal manakala ditemukan atraktan dari bahan nabati alami lokal.

Tidak berbedanya kemampuan brem sebagai atraktan dibandingkan dengan daya perangkap etanol (Tabel 4.6) membuktikan bahwa atraktan dari bahan nabati alami lokal dapat menjadi subsitusi terhadap atraktan dari bahan buatan. Kandungan etanol dalam brem yang konsentrasinya 9-25% (Sumatri 2012) terbukti berfungsi sebagai atraktan bagi PBKo. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Dufour dan Frerot (2008). Mereka


(42)

41 berdua menyimpulkan bahwa bahan nabati tidak mempunyai fungsi sebagai atraktan. Hal ini mereka buktikan melaui percobaan yang hasilnya menunjukkan bahwa kafein atau bubuk biji kopi hijau atau ekstrak alkohol dari dari buah segar kopi yang ditambahkan ke dalam larutan metanol-etanol (1:1) tidak dapat meningkatkan daya atraktan tersebut dibadingkan dengan campuran metanol-etanol saja. Hasil penelitian Dufour dan Frerot (2008) juga membuktikan ketidakbenaran prediksi dari Ortiz dkk (2004) bawa berbagai senyawa kimia pada buah dan biji kopi mungkin dapat digunakan untuk menambah daya atraktif dari atraktan untuk memerangkap PBKo.

Fungsi dan penggunaan atraktan dari bahan buatan seperti metanol dan etanol dilaporkan oleh para peneliti dan lembaga-lembaga berwewenang (Bioworks 2011, IPM 2009, Kucel, Kangire dan Egonyu 2011, Kumar 2010, Fürst dan Bergleiter 2010, Sate of Hawaii Dept Agriculture 2011).

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tingkat serangan rata-rata di Dairi, Samosir, Simalungun dan Tapanuli Utara tingkat serangan PBKo pada buah kopi sudah sangat tinggi yakni rata-rata serangan 25,9% dengan intensitas tertinggi terdapat di Dairi (85.8%) (Tabel 4.1, 4.2, 4.3, 4.4). Tingkat intensitas serangan ini jauh melebihi ambang batas ekonomi yang besarnya 5%. Namun demikan, tingkat serangan yang diungkapkan penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan data tahun 2010. Malau (2010) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat serangan PBKo di Sumatera Utara adalah 28,4% dan tertinggi 92%. Penurunan ini mungkin disebabkan adanya program Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dalam mengendalikan PBKo. Pada Laporan LKPJ Gubernur Sumatera tahun 2011 dapat dibaca adanya kegiatan pengadaan jamur Beauvaria bassiana untuk mematikan PBKo.

Penyebab tingginya tingkat serangan PBKo sebagaimana diungkapkan oleh hasil penelitian ini tersebut dapat dijelaskan oleh data-data yang dihasilkan penelitian ini.


(43)

42 Tingginya intensitas serangan PBKo tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman petani kopi terhadap pengendalian PBKo (Tabel 4.7) dan kurangnya tindakan pencegahan serangan PBKo akibat dari sulitnya petani memeroleh atraktan dari bahan buatan untuk pengendalian pengendalian PBKo serta kurang perawatan terhadap tanaman seperti pemupukan dan penmbuhan tanaman penaung kopi (Tabel 4.8). Arroyo (2004 dalam Uemura-Lama dkk 2010) membuktikan bahwa naungan pada tanaman kopi meningkatkan penangkapan PBKo dibandingkan tanpa naungan. Fakta-fakta tersebut mendukung pendapat Kucel, Kangire dan Egonya (2012) yang menyatakan bahwa kondisi faktual serangan PBKo dapat ditelusuri dari sistem budidaya kopi serta dari tingkat pemahanan petani kopi dan tindakan petani kopi terhadap PBKo.

Dengan mengetahui masalah-masalah utama petani kopi sebagaimana telah diidentifikasikan oleh penelitian ini (Tabel 4.7 dan 4.8), maka penyuluhan yang sangat diharapkan oleh petani kopi (Tabel 4.9) akan dapat bedaya guna dengan baik. Hal ini sesuai denga pendapat Ginting (1979) yang menyatakan bahwa identifikasi masalah adalah langkah pertama dalam pemecahan masalah. Selanjutnya adalah penetapan penyebab masalah, pengumpulan fakta-fakta, pemilihan beberapa alternatip penyelesaian, pelaksanaan pemecahan, dan penilaian (evaluasi hasil). Metode penyuluhan perlu mendapat perhatian yang serius. Training atau pelatihan atau kursus adalah cara yang paling disukai petani. Pilihan petani tersebut sudah tentu sangat sesuai dengan kaidah pembelajaran yang menyatakan bahwa Belajar Sambil Melakukan (learning by doing) atau Melakukan Hal Nyata (doing the real thing) adalah cara terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Wyatt dan Loper (1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara model pembelajaran dengan tingkat memorisasi peserta didik (Bagan 1). Bila peserta didik hanya membaca, maka tingkat memorisasinya 10%. Bila ia melihat dengan menggunakan alat-alat visual, maka tingkat


(44)

43 memorisasinya meningkat menjadi 30%. Tingkat memorisasi akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan keaktivan peserta didik dalam proses pembelajaran. Bila peserta didik melakukan atau mempraktekkan materi yang sedang dipelajari, maka tingkat memorisasinya dapat mencapai hingga 90%.

Passive

Reading

Reading Hearing words

Looking at picture Watching video

Looking at an exhibition Watching a demonstration Seeing it done on location

Participating in a discussion Giving a talk Doing a dramatic presentation Simulating the real experience

Doing the real thing

Active

Tingkat Model pembelajaran Tingkat Memorisasi Keterlibatan

Bagan 1. Keterkaitan antara model pembelajaran dengan tingkat memorisasi. (Wyatt dan Loper 1999)

10% 20% 30% 50% 70% 90% Verbal recei-ving Visual receiving Partici-pating Doing


(45)

44 Respons yang sangat positif dari petani kopi terhadap urgensi penggunaan bahan nabati alami lokal sebagai atraktan di masa depan (Tabel 4.10) haruslah ditindaklanjuti dengan kegiatan nyata oleh seluruh aparat pemerintah dan penyuluhan dilaksanakan sesuai dengan model pembelajaran dari Wyatt dan Loper (1999) tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, pada setiap tingkatan perlu melaksanakan peranan masing-masing. Kepala Daerah dan Legislatif perlu menetapkan kebijakan (policy) dan strategi (strategy). Kebijakan adalah suatu pernyataan umum yang menunjukkan arah-arah yang akan dituju atau aturan yang memandu putusan-putusan yang akan diambil oleh para pembuat putusan untuk mewujudkan Visi dan Misi Penyuluhan. Strategi (strategy) adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Dengan mengacu kepada kebijakan dan strategi tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan perlu meningkatkan peranannya dengan lebih mendorong dan memfasilitasi penelitian dan pengembangan bahan-bahan nabati alami lokal sebagai pestisida. Dinas Pertanian dan Perkebunan perlu meningkatkan jumlah penyuluh yang berkompeten dan meningkatkan ketersediaan bahan-bahan alami lokal untuk mengendalikan PBKo.


(46)

45 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil-hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Bahan nabati alami lokal dari cairan tape beras sama efektifnya dengan bahan buatan etanol sebagai atraktan. Dibandingkan dengan air, bahan nabati alami brem dan tuak lebih baik sebagai atraktan. Atraktan dari brem lebih baik daripada tuak. Bahan nabati alami tuak lebih baik secara sangat nyata dibandingkan air (kontrol) sebagai atraktan.

2. Pengetahun petani kopi tentang budidaya kopi tidak cukup baik, Dua masalah utama yang belum dikuasi oleh petani adalah teknik mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman serta teknik penanganan setelah panen (Pascapanen). Dalam hal sarana, dua kesulitan utama yang dialami petani adalah kurangnya ketersediaan pupuk organik dan pestisida dan herbisida di pasar. Petani kopi berpendapat bahwa penyuluhan sangat penting buat mereka.

3. Petani kopi antusias terhadap rencana penggunaan bahan alami sebagai atraktan.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil-halil penelitian ini disarankan sebagai berikut.

1. Gubernur dan DPRD Sumatera utara perlu menetapkan bahwa arah kebijakan pengembangan kopi Sumatera Utara adalah meningkatkan produktivitas melalui pemanfaatan bahan-bahan nabati alami lokal sebagai pestisida.

2. Untukmewujudkan kebijkan tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan perlu semakin mendorong dan memfasilitasi penelitian dan pengembangan bahan-bahan alami lokal sebagai pestisida.


(47)

46 3. Pada tataran operasional, Dinas Pertanian dan Perkebunan perlu meningkatkan jumlah


(48)

47 DAFTAR PUSTAKA

Adiati, T. 2012. Tuak, Kebiasaan Minum Masyarakat Lombok. Reportase Indosiar. http://www.indosiar.com/ ragam/tuak-

kebiasaan-minum-masyarakat-lombok_39188.html

Ameä rico Ortiz, Aristoä feles ortiz,† fernando e. Vega, and Francisco posada. 2004.

Volatile Composition of Coffee Berries at Different Stages of Ripeness and Their Possible Attraction to the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei (Coleoptera: Curculionidae)

Astuti, Y. 2011. Hypotan, senyawa penarik hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypotheneus hampei. Puslitkoka. Jember.

Bioworks. 2011. Control Of The Coffee Berry Borer. www.bioworksinc.com BPS. 2011. Sumut Dalam Angka.

Dufour, B. P dan B. Frerot. 2008. Optimization of coffee berry borer, Hypothenemus hampei Ferrari (col., Scolytidae), mass trapping with a attractant mixture. J. Appl. Entomol. 132, 591-600.

Fürst, M. dan S. Bergleiter. 2010. Biological Control of Coffee Berry Borer in Organic Coffee.

Ginting, M. 1979. Penyuluhan. USU. Medan.

Ginting, M. 2006. Pembangunan Masyarakat Desa. USU. Medan.

Gomez, G dan A. Gomez. 1984. Statistical Procedure for Agricultural Research.

Hasanah, H. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol Tape Ketan Hitam (Oryza sativa L var forma glutinosa ) dan Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl). Skripsi. Univiversitas Islam Negeri Malang. http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/03530008-chafidatul-hasanah.ps

HASKA. 2012. Proses Pembuatan Metanol. http://haska.org/2012/08/23/metanol/

ICO. 2012. ICO Composite and group indicator prices and the 2nd/3rd positions in London and New York futures markets Annual and monthly averages: 2010 to 2012 US cents/lb. www

IPM. 2009. Specialists and Scientists in Puerto Rico Tackle the Coffee Berry Borer.

Kucel, P., A. Kangire and J. P. Egonyu. 2011. Status and Current Research Strategies Status and Current Research Strategies for Management of the Coffee Berry Borer (Hypothenemus hampei Ferr) in Africa.


(49)

48 LKPJ Gubsu 2011.

Malau, S. 2006. Perancangan Percobaan. UHN.

Malau, S. 2010. Serangan Penggerek Buah Kopi dan Dampaknya di Samosir.

Malau, S. 2010. Infection of Coffee Berry Borer in North Sumatera Province of Indonesia. Survey Report. USAID.

Manurung, N. Ekologi Pengerek Buah Kopi (hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabica (Coffea Arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat. Thesis. PS Magister Biologi. FMIPA. USU. Medan.

Mathieu, F., L.O. Brun, C. Marchillaud and B Frerot. 1997. Trapping of the coffee berry borer Hyothenemus hampei Ferr. (Col., Scolytidae) within a meshenclosed environment: interaction of olfactory and visual stimuli. J. App. Ent. 121, 181-186.

Ortiz, A., A. Ortiz, F. E. Vega, and F. Posada. 2004. Volatile composition on coffee berries at different stages of ripeness and their possible attractionto the coffee berry borer Hypothenemus hampei (coleoptera: curculionidae). J. Agric. Food Chem, 52, 5914-5918.

Sate of Hawaii, Dept Agriculture. 2011. Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei (Ferrari) (Coleoptera: Curculionidae: Scolytinae).

Sumantri, D. 2012. Tape Beras Ketan dan Brem. http://www.gogreen.web.id/2007/08/tape-beras-ketan-dan-brem.html

Uemura-Lama, D. H., M. U, Ventura, A. Y. Mikami, F. C dda Silva, dan L. Morales. 2010. Response of Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (Ferrari) (Coleptera: Scolytidae), to Vertical Distribution of Methanol:Ethanol Traps. Neotropical Entomology 39 (6): 930-933.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4660);

Universitas Indonesia. 2012. Metanol. http://staff.ui.ac.id/internal/131803508/ material/ METHANOL.pdf


(50)

49 LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadual dan Jenis Kegiatan Kerja

Nr Kegiatan Bulan I

Bulan II

Bulan III

Bulan IV

1 Survey x

2 Wawancara x x

3 Percobaan Lapang x x 4 Penyusunan Laporan I x

5 Presentasi Laporan I x

6 Penyusunan Laporan II x x x 7 Presentasi Hasil II x

8 Penyerahan Laporan Akhir x

Lampiran 2. Kuesioner A. Data responden

1. Jenis Kelamin : ___________________ 2. Umur : ______________(tahun)

3. Pendidikan tertinggi : ________________ 4. Jumlah anak : __________________

5. Klasifikasi petani (penuh petani kopi, paru waktu): _______________ 6. Lama menjadi petani:

B. In-depth interview

B.1. Aspek teknik pembudidayaan kopi

a. Bagaimanakan Anda mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman kopi? ... ... ...


(51)

50 b. Bagaimanakah Anda penanganan setelah panen (Pascapanen)?

... ... ... c. Bagaimanakah Anda membuat pupuk organik?

... ... ... d. Bagaimakah Anda memupuk kopi?

... ... ... e. Bagaimanakah Anda memanen buah kopi?

... ... ... e. Bagaimanakah Anda menanam bibit kopi?

... ... ...

f. Dari keseluruhan masalah-masalah tersebut, bisakah Anda mengurutkannya (mulailah dari yang paling utama hingga paling tidak penting).

... ... ... B.2. Aspek sarana

a. Bagaimanakah Anda memeroleh pupuk kimia (anorganik)?


(52)

51 ...

... b. Bagaimanakah Anda memeroleh pestisida dan herbisida?

... ... ... c. Bagaimanakah Anda memeroleh benih/bibit?

... ... ... d. Bagaimanakah Anda memeroleh peralatan pertanian?

... ... ... B.3. Aspek penyuluhan

Bagaimanakah pentingnya penyuluhan menurut pendapat Anda?

... ... ... B.4. Aspek atraktan dari bahan nabati alami

Bagaimanakah respons Anda bila kelak ditemukan antraktan dari bahan aami lokal? ...

... ...


(53)

52 Lampiran 3. Karakteristik Responden (n = 40)

No Karakteristik %

1 Jenis Kelamin Laki-laki (orang) 21 52,5 Perempuan (orang) 19 47,5 2 Umur Rataan (tahun) 35.9

Selang (tahun) 27-60

3 Pendidikan SD (orang) 7 19.7 SLTP (orang) 13 40.9 SLTA (orang) 17 37.9 PT (orang) 3 1.5 4 Jumlah Anak Rataan (orang) 3.3

Selang (orang) 1-6

5 Klasifikasi sebagai pelaku utama Petani kopi penuh (orang) 8 20 Petani kopi dan komoditi

lainnya (orang)

32 80 6 Lama Menjadi petani Rataan (tahun) 8.5

Selang (tahun) 4-35 Catatan : Semua laki-laki berstatus suami dalam keluarga, dan semua perempuan

berstatus istri dalam keluarga.

Lampiran 4. Bagan percobaan.

xx xx xx xx xx xx xx xx

K-1 xx xx C 4 xx xx P 4 xx xx M4 xx xx K 4 xx xx T 4 xx xx E4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-2 xx xx P 4 xx xx M 4 xx xx E 4 xx xx K 4 xx xx C 4 xx xx T4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-3 xx xx E 4 xx xx K 4 xx xx P 4 xx xx C 4 xx xx T 4 xx xx M4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-4 xx xx T 4 xx xx E 4 xx xx M4 xx xx K 4 xx xx C 4 xx xx P4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-5 xx xx T 4 xx xx E 4 xx xx M4 xx xx C 4 xx xx K 4 xx xx P4 xx xx xx xx


(1)

47

DAFTAR PUSTAKA

Adiati, T. 2012. Tuak, Kebiasaan Minum Masyarakat Lombok. Reportase Indosiar. http://www.indosiar.com/ ragam/tuak-

kebiasaan-minum-masyarakat-lombok_39188.html

Ameä rico Ortiz, Aristoä feles ortiz,† fernando e. Vega, and Francisco posada. 2004. Volatile Composition of Coffee Berries at Different Stages of Ripeness and Their Possible Attraction to the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei (Coleoptera: Curculionidae)

Astuti, Y. 2011. Hypotan, senyawa penarik hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypotheneus hampei. Puslitkoka. Jember.

Bioworks. 2011. Control Of The Coffee Berry Borer. www.bioworksinc.com BPS. 2011. Sumut Dalam Angka.

Dufour, B. P dan B. Frerot. 2008. Optimization of coffee berry borer, Hypothenemus hampei Ferrari (col., Scolytidae), mass trapping with a attractant mixture. J. Appl. Entomol. 132, 591-600.

Fürst, M. dan S. Bergleiter. 2010. Biological Control of Coffee Berry Borer in Organic Coffee.

Ginting, M. 1979. Penyuluhan. USU. Medan.

Ginting, M. 2006. Pembangunan Masyarakat Desa. USU. Medan.

Gomez, G dan A. Gomez. 1984. Statistical Procedure for Agricultural Research.

Hasanah, H. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol Tape Ketan Hitam (Oryza sativa L var forma glutinosa ) dan Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl).

Skripsi. Univiversitas Islam Negeri Malang.

http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/03530008-chafidatul-hasanah.ps

HASKA. 2012. Proses Pembuatan Metanol. http://haska.org/2012/08/23/metanol/

ICO. 2012. ICO Composite and group indicator prices and the 2nd/3rd positions in London and New York futures markets Annual and monthly averages: 2010 to 2012 US cents/lb. www

IPM. 2009. Specialists and Scientists in Puerto Rico Tackle the Coffee Berry Borer.

Kucel, P., A. Kangire and J. P. Egonyu. 2011. Status and Current Research Strategies Status and Current Research Strategies for Management of the Coffee Berry Borer (Hypothenemus hampei Ferr) in Africa.


(2)

48 LKPJ Gubsu 2011.

Malau, S. 2006. Perancangan Percobaan. UHN.

Malau, S. 2010. Serangan Penggerek Buah Kopi dan Dampaknya di Samosir.

Malau, S. 2010. Infection of Coffee Berry Borer in North Sumatera Province of Indonesia. Survey Report. USAID.

Manurung, N. Ekologi Pengerek Buah Kopi (hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabica (Coffea Arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat. Thesis. PS Magister Biologi. FMIPA. USU. Medan.

Mathieu, F., L.O. Brun, C. Marchillaud and B Frerot. 1997. Trapping of the coffee berry borer Hyothenemus hampei Ferr. (Col., Scolytidae) within a meshenclosed environment: interaction of olfactory and visual stimuli. J. App. Ent. 121, 181-186.

Ortiz, A., A. Ortiz, F. E. Vega, and F. Posada. 2004. Volatile composition on coffee berries at different stages of ripeness and their possible attractionto the coffee berry borer Hypothenemus hampei (coleoptera: curculionidae). J. Agric. Food Chem, 52, 5914-5918.

Sate of Hawaii, Dept Agriculture. 2011. Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei (Ferrari) (Coleoptera: Curculionidae: Scolytinae).

Sumantri, D. 2012. Tape Beras Ketan dan Brem. http://www.gogreen.web.id/2007/08/tape-beras-ketan-dan-brem.html

Uemura-Lama, D. H., M. U, Ventura, A. Y. Mikami, F. C dda Silva, dan L. Morales. 2010. Response of Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (Ferrari) (Coleptera: Scolytidae), to Vertical Distribution of Methanol:Ethanol Traps. Neotropical Entomology 39 (6): 930-933.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4660);

Universitas Indonesia. 2012. Metanol. http://staff.ui.ac.id/internal/131803508/ material/ METHANOL.pdf


(3)

49 LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadual dan Jenis Kegiatan Kerja

Nr Kegiatan Bulan

I

Bulan II

Bulan III

Bulan IV

1 Survey x

2 Wawancara x x

3 Percobaan Lapang x x

4 Penyusunan Laporan I x

5 Presentasi Laporan I x

6 Penyusunan Laporan II x x x

7 Presentasi Hasil II x

8 Penyerahan Laporan Akhir x

Lampiran 2. Kuesioner A. Data responden

1. Jenis Kelamin : ___________________

2. Umur : ______________(tahun)

3. Pendidikan tertinggi : ________________ 4. Jumlah anak : __________________

5. Klasifikasi petani (penuh petani kopi, paru waktu): _______________ 6. Lama menjadi petani:

B. In-depth interview

B.1. Aspek teknik pembudidayaan kopi

a. Bagaimanakan Anda mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman kopi? ... ... ...


(4)

50 b. Bagaimanakah Anda penanganan setelah panen (Pascapanen)?

... ... ... c. Bagaimanakah Anda membuat pupuk organik?

... ... ... d. Bagaimakah Anda memupuk kopi?

... ... ... e. Bagaimanakah Anda memanen buah kopi?

... ... ... e. Bagaimanakah Anda menanam bibit kopi?

... ... ...

f. Dari keseluruhan masalah-masalah tersebut, bisakah Anda mengurutkannya (mulailah dari yang paling utama hingga paling tidak penting).

... ... ...

B.2. Aspek sarana

a. Bagaimanakah Anda memeroleh pupuk kimia (anorganik)?


(5)

51 ...

... b. Bagaimanakah Anda memeroleh pestisida dan herbisida?

... ... ... c. Bagaimanakah Anda memeroleh benih/bibit?

... ... ... d. Bagaimanakah Anda memeroleh peralatan pertanian?

... ... ...

B.3. Aspek penyuluhan

Bagaimanakah pentingnya penyuluhan menurut pendapat Anda?

... ... ...

B.4. Aspek atraktan dari bahan nabati alami

Bagaimanakah respons Anda bila kelak ditemukan antraktan dari bahan aami lokal? ...

... ...


(6)

52 Lampiran 3. Karakteristik Responden (n = 40)

No Karakteristik %

1 Jenis Kelamin Laki-laki (orang) 21 52,5

Perempuan (orang) 19 47,5

2 Umur Rataan (tahun) 35.9

Selang (tahun) 27-60

3 Pendidikan SD (orang) 7 19.7

SLTP (orang) 13 40.9 SLTA (orang) 17 37.9 PT (orang) 3 1.5

4 Jumlah Anak Rataan (orang) 3.3

Selang (orang) 1-6

5 Klasifikasi sebagai pelaku utama Petani kopi penuh (orang) 8 20 Petani kopi dan komoditi

lainnya (orang)

32 80

6 Lama Menjadi petani Rataan (tahun) 8.5

Selang (tahun) 4-35 Catatan : Semua laki-laki berstatus suami dalam keluarga, dan semua perempuan

berstatus istri dalam keluarga.

Lampiran 4. Bagan percobaan.

xx xx xx xx xx xx xx xx

K-1 xx xx C 4 xx xx P 4 xx xx M4 xx xx K 4 xx xx T 4 xx xx E4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-2 xx xx P 4 xx xx M 4 xx xx E 4 xx xx K 4 xx xx C 4 xx xx T4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-3 xx xx E 4 xx xx K 4 xx xx P 4 xx xx C 4 xx xx T 4 xx xx M4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-4 xx xx T 4 xx xx E 4 xx xx M4 xx xx K 4 xx xx C 4 xx xx P4 xx xx xx xx

Xx xx xx xx xx xx Xx Xx

K-5 xx xx T 4 xx xx E 4 xx xx M4 xx xx C 4 xx xx K 4 xx xx P4 xx xx xx xx