Analisis Kondisi Daerah

(1)

II - 1

BAB II

ANALISIS KONDISI DAERAH

2.1 Aspek Geografi dan Demografi

2.1.1 Luas Dan Batas Wilayah Administrasi

Provinsi Kepulauan Riau merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang dibentuk melalui Undang-undang Nomor 25 tahun 2002. Provinsi Kepulauan Riau berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga. Batas-batas wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Vietnam dan Kamboja

 Sebelah Selatan : Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi  Sebelah Barat : Singapura, Malaysia dan Provinsi Riau

 Sebelah Timur : Malaysia, Brunei, dan Provinsi Kalimantan Barat


(2)

II - 2 Secara administratif, Provinsi Kepulauan Riau memiliki dua kota yaitu Kota Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi, dan Kota Batam, serta memiliki lima kabupaten, yaitu: Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, dan Kabupaten Kepulauan Anambas. Secara total, wilayah lautan yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau seluas 417.012,97 Km2, sedangkan daratan seluas 10.595,41 Km2. Dilihat

secara rinci, wilayah dengan luas daratan dan luas lautan terbesar yaitu Kabupaten Natuna (2.814,26 km2; 216.113,42 km2), sedangkan kota dengan wilayah dengan luas daratan

dan luas lautan tersempit yaitu Kota Tanjungpinang (239,50 km2 darat;149,13 km2 laut),

seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1.

Wilayah Administratif Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014

No Kabupaten/Kota Luas Daratan

(km2)

Luas Lautan (km2)

Jumlah Kecamatan

Jumlah Desa/ Kelurahan

1 Karimun 1.524,00 4.698,09 12 71

2 Bintan 1.739,44 102.964,08 10 51

3 Natuna 2.814,26 216.113,42 12 76

4 Lingga 2.117,72 43.339,00 9 82

5 Kepulauan Anambas 590,14 46.074,00 7 54

6 Batam 1.570,35 3.675,25 12 64

7 Tanjungpinang 239,50 149,13 4 18

Kepulauan Riau 10.595,41 417.012,97 66 416

Sumber: Biro Pemerintahan (Kepulauan Riau Dalam Angka 2015)

2.1.2 Letak dan Kondisi Geografis

Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 04˚40’ Lintang Utara sampai 00˚29’ Lintang Selatan, dan antara 103˚22’ Bujur Timur hingga 109˚40’ Bujur Timur. Kepulauan Riau terletak di Selat Malaka hingga Laut Cina Selatan dengan jumlah pulau sebanyak 1.795 pulau. Letak astronomis kabupaten/kota di Provinsi Kepri terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2.

Letak Astronomis Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau

No. Kabupaten / Kota Letak Geografis

Lintang Utara Bujur Timur

1 Karimun 0˚31’ –1˚20’ 103˚22’ –103˚29’

2 Bintan 0˚47’ –1˚20’ 104˚13’ –104˚38’

3 Natuna 2˚31’ –4˚40’ 107˚45’ –109˚40’

4 Lingga 0˚20’LU –0˚29’LS 104˚26’ –104˚39’

5 Kepulauan Anambas 2˚55’ –3˚18’ 105˚42’ –106˚19’

6 Batam 0˚51’ –1˚09’ 103˚52’ –104˚15’

7 Tanjungpinang 0˚54’ –0˚58’ 104˚26’ –104˚29’

Provinsi Kepulauan Riau 00˚29’ LS–04˚40’ LU 103˚22’ – 109˚40’


(3)

II - 3 Provinsi Kepulauan Riau memiliki posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, karena berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, Singapura, Brunei, Vietnam dan Kamboja. Provinsi Kepulauan Riau juga memiliki kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau Free Trade Zone (FTZ). Selain itu juga memiliki ribuan pulau dengan keindahan alami yang menawan dan eksotis, serta Kekayaan sumber daya alam (perikanan, kelautan, energi, mineral) yang melimpah. Tentunya hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan dalam pengelolaannya.

Berdasarkan hasil identifikasi Badan Informasi Geospasial (BIG), Provinsi Kepulauan Riau memiliki 1.795 pulau yang terdiri dari 394 pulau yang sudah berpenghuni dan 1.401 pulau yang belum berpenghuni. Kota Tanjungpinang memiliki jumlah pulau paling sedikit, yaitu 9 pulau, yang terdiri dari 2 pulau berpenghuni dan 7 pulau yang tidak berpenghuni, sedangkan Kabupaten Lingga adalah kabupaten dengan jumlah pulau terbanyak, dengan 531 pulau yang terdiri dari 76 pulau berpenghuni dan 455 pulau tidak berpenghuni. Kota Batam memiliki jumlah pulau berpenghuni terbanyak (133), sedangkan Kota TanjungPinang memiliki jumlah pulau berpenghuni paling sedikit 2 Pulau. Jumlah masing-masing pulau yang dimiliki Kabupaten/Kota tersaji dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3.

Jumlah Pulau Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014

No Kabupaten/Kota

Pulau Berpenghuni

Pulau Tidak Berpenghuni

Total Jumlah

Pulau

Jumlah Persen Jumlah Persen

1 Karimun 73 29,08 178 70,92 251

2 Bintan 48 19,92 193 80,08 241

3 Natuna 35 20,00 140 80,00 175

4 Lingga 76 14,31 455 85,69 531

5 Kepulauan Anambas 27 12,44 190 87,56 217

6 Kota Batam 133 35,85 238 64,15 371

7 Kota Tanjungpinang 2 22,22 7 77,78 9

Provinsi Kepulauan Riau 394 21,95 1.401 78,05 1.795

Sumber: Biro Pemerintahan (Kepulauan Riau Dalam Angka 2015)

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, dinyatakan bahwa terdapat 19 pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kepulauan Riau.

2.1.3 Kondisi Topografi

Topografi wilayah Provinsi Kepulauan Riau terbagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:

1. Wilayah Pulau-pulau Lepas Pantai Timur Sumatera

Untuk Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kabupaten Lingga, dan Kota Batam, ketinggian wilayah bervariasi antara 0 – 50 meter dpl, 50 – 200 m (paling dominan), dan diatas 200 meter, dengan puncak tertinggi terdapat di Gunung Lingga (1.163 meter


(4)

II - 4 dpl). Kemiringan lereng yang dominan adalah 15 – 25% pada wilayah perbukitan, serta 25 – 40% dan di atas 40% pada wilayah pegunungan.

2. Wilayah Pulau-pulau di sebelah Timur Jauh

Pulau-pulau ini terletak di wilayah Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas pada perbatasan Laut Cina Selatan, seperti Pulau Anambas, Pulau Jemaja, Pulau Bunguran, Pulau Tambelan, dan lain-lain. Kondisi morfologi, ketinggian, dan kemiringan lereng wilayah secara umum menunjukkan kesamaan dengan pulau-pulau di Kabupaten Bintan, dengan puncak tertinggi terdapat di Gunung Ranai (1.035 meter dpl).

3. Wilayah Pulau-pulau di Bagian Tenggara dari Kepulauan Lingga-Singkep

Pulau-pulau ini membentuk jajaran sesuai arah struktur utama geologi di Kepulauan Riau berarah Barat Laut Tenggara. Kelompok pulau ini merupakan relik morfologi tua memberi topografi bukit dan gunung.

4. Kelompok Pulau Batam, Rempang dan Galang

Gugusan pulau ini ditandai oleh bentang alam bergelombang sebagai sisa morfologi tua paparan tepian benua Sunda.

Secara rinci ketinggian tempat pada masing-maisng kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4.

Ketinggian Tempat Menurut Kabupaten/Kota

No Kabupaten/Kota Nama Ibu Kota Tinggi Tempat

1 Karimun Tanjung Balai 20

2 Bintan Bintan Buyu 380

3 Natuna Ranai 3-959

4 Lingga Daik 0-1163

5 Kepulauan Anambas Tarempa -

6 Batam Batam 160

7 Tanjungpinang Tanjungpinang 64

Kepulauan Riau Tanjungpinang 0-1163

Sumber: Biro Pemerintahan (Kepulauan Riau Dalam Angka 2015)

Di Provinsi Kepulauan Riau juga terdapat sebanyak 15 gunung dengan ketinggian bervariasi, tertinggi Gunung Daik di Kabupaten Lingga setinggi 1.272 m, selanjutnya Gunung Ranai setinggi 959 m di Kabupaten Natuna, kemudian Gunung Sepincan di Kabupaten Lingga setinggi 800 m. Secara rinci data nama gunung dan ketinggiannya dapat dilihat pada Tabel 2.5.


(5)

II - 5

Tabel 2.5.

Nama Gunung dan Ketinggiannya Menurut Kabupaten/Kota

No Kabupaten/Kota Nama Gunung Tinggi (m)

1 Karimun Gunung Jantan 478

2 Bintan Gunung Bintan 380

3 Natuna Gunung Ranai 959

Gunung Datuk 510

Gunung Tukong 477

Gunung Selasih 387

Gunung Lintang 610

Gunung Punjang 443

Gunung Kute 232

Gunung Pelawan Condong 405

4 Lingga Gunung Daik 1.272

Gunung Sepincan 800

Gunung Tanda 343

Gunung Lanjut 519

Gunung Muncung 415

Sumber: Badan Pertanahan Nasional (Kepulauan Riau Dalam Angka 2015)

2.1.4 Kondisi Geologi dan Struktur Tanah

Berdasarkan kondisi geomorfologinya, Provinsi Kepulauan Riau merupakan bagian kontinental yang terkenal dengan nama ”paparan sunda” atau bagian dari kerak Benua Asia. Batuan-batuan yang terdapat di Kepulauan Riau diantaranya adalah batuan ubahan seperti mika geneis, meta batu lanau, batuan gunung api seperti tuf, tuf litik, batupasir tufan yang tersebar di bagian timur Kepulauan Riau, batuan terobosan seperti granit muskovit dapat dijumpai di Pulau Kundur bagian timur, batuan sedimen seperti serpih batu pasir, metagabro, yang tersebar di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Buru. Juga terdapat batuan aluvium tua terdiri dari lempung, pasir kerikil, dan batuan aluvium muda seperti lumpur, lanau, dan kerakal.

Geomorfologi Pulau Kundur dan Pulau Karimun Besar terdiri dari perbukitan dan dataran, dengan pola aliran sungai radial hingga dendritik yang dikontrol oleh morfologi bukit granit yang homogen. Struktur geologi berupa sesar normal dengan arah barat-timur atau barat daya-barat-timur laut. Geomorfologi Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang berupa perbukitan memanjang dengan arah barat laut-tenggara, dan sebagian kecil dataran yang terletak di bagian kakinya. Geomorfologi Pulau Bintan berupa perbukitan granit yang terletak di bagian selatan pulau dan dataran yang terletak di bagian kaki. Struktur geologi sesar Pulau Bintan dominan berarah barat laut-tenggara dan barat daya-timur laut, beberapa ada yang berarah utara-selatan atau barat-timur.

Pulau-pulau kecil di sebelah timur dan tenggara Pulau Bintan juga disusun oleh granit berumur Trias (Trg) sebagai penghasil bauksit. Geomorfologi Pulau Lingga berupa perbukitan dengan puncak Gunung Lingga, membentang dengan arah barat laut-tenggara dan dataran yang menempat di bagian kaki, dengan pola aliran sungai trellis hingga sejajar. Demikian juga geomorfologi Pulau Selayar dan Pulau Sebangka berupa perbukitan


(6)

II - 6 yang membentang dengan arah barat laut-tenggara dan dataran di bagian kakinya, pola aliran sungai adalah trellis yang dikontrol oleh struktur geologi yang berupa perlipatan dengan sumbu memanjang barat laut-tenggara dan arah patahan utara-selatan. Stratigrafi keempat pulau ini tersusun oleh Formasi Pancur (Ksp) yang terdiri dari serpih kemerahan dan urat kwarsa, sisipan batupasir kwarsa, dan konglomerat polemik.

Geomorfologi Pulau Singkep selain terdiri dari Formasi Pancur dan Formasi Semarung juga terdapat granit (Trg) yang mendasari kedua formasi di atas dan menjadi penghasil timah atau bauksit. Geomorfologi Pulau Bunguran berupa perbukitan yang membujur dari tenggara barat laut dengan puncak Gunung Ranai dan dataran yang menempati bagian barat dari Pulau Bunguran. Pola aliran sungai adalah radial hingga dendritik di sekitar Gunung Ranai, sedangkan ke arah barat laut berubah menjadi pola aliran trellis.

Kabupaten Kepulauan Anambas mempunyai tiga pulau yang relatif besar yaitu Pulau Matak, Pulau Siantan, dan Pulau Jemala. Ketiga pulau tersebut disusun oleh granit Anambas (Kag) yang tersusun oleh granit, granodiorit dan syenit. Batuan granit Anambas (Kag) ini menerobos batuan mafik dan ultramafik (Jmu) yang terdiri dari diorit, andesit, gabro, gabro porfir, diabas dan basalt, bersisipan rijang-radiolaria. Pola struktur sesar dominan berarah barat laut-tenggara dan sedikit berarah utara-selatan hingga barat daya- timur laut seperti di Pulau Jemaja. Kabupaten Kepulauan Anambas mempunyai potensi tambang granit, sedangkan Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan cekungan tersier yang kaya minyak dan gas bumi yaitu Cekungan Natuna Barat yang masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas, dan Cekungan Natuna Timur yang masuk wilayah Kabupaten Natuna.

Tekstur tanah di Provinsi Kepulauan Riau dibedakan menjadi tekstur halus (liat), tekstur sedang (lempung), dan tekstur kasar. Sedangkan jenis tanahnya, sedikitnya memiliki 5 macam jenis tanah yang terdiri dari organosol, glei humus,

podsolik merah kuning, latosol, dan aluvial. Jenis tanah Organosol dan glei humus

merupakan segolongan tanah yang tersusun dari bahan organik, atau campuran bahan mineral dan bahan organik dengan ketebalan minimum 50 cm, dan mengandung paling sedikit 30% bahan organik bila liat atau 20% bila berpasir. Kepadatan atau bulk density kurang dari 0,6 dan selalu jenuh. Lapisan tanah Organosol tersebar di beberapa pulau Kecamatan Moro (Kabupaten Karimun), Kabupaten Natuna, Pulau Rempang, dan Pulau Galang.

Jenis lainnya adalah tanah Latosol, dijumpai di Kabupaten Natuna, Pulau Karimun, Pulau Kundur, dan beberapa pulau di Kecamatan Moro. Sementara tanah Aluvial yang belum mempunyai perkembangan, dangkal sampai yang berlapis dalam, berwarna kelabu, kekuningan, kecokelatan, mengandung glei dan bertotol kuning, merah, dan cokelat. Tekstur bervariasi dari lempung hingga tanah tambahan yang banyak mengandung bahan-bahan organik. Tanah ini terdapat di Pulau Karimun, Pulau Kundur, dan pulau-pulau lainnya di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.


(7)

II - 7

2.1.5 Kondisi Hidrologi

Kondisi hidrologi di Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat dari dua jenis, yaitu air permukaan dan air bawah tanah (hidrogeologi). Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, dapat diperoleh dari air permukaan berupa air sungai, mata air/air terjun, waduk, dan kolong, sedangkan air bawah tanah (hidrogeologi) didapat dengan menggali sumur dangkal. Kolong merupakan kolam bekas tambang bauksit, timah, dan pasir yang terbentuk akibat eksploitasi yang dapat digunakan sebagai sumber air bersih, juga dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata.

Daerah Aliran Sungai Mencakup 5 kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, sedangkan Kota Batam dan Kota Tanjungpinang dilewati Daerah Aliran Sungai. Kabupaten Bintan memiliki jumlah DAS terbanyak yaitu sejumlah 9 DAS. Terkait mata air, terdapat dua daerah yang tidak memiliki mata air sebagai sumber air permukaan yaitu Kota Batam dan Kabupaten Karimun. Kabupaten Natuna (Kabupaten Kepulauan Anambas) memiliki mata air terbanyak (6 mata air), yaitu Nuraja, Gunung Datuk, Tarempa, Temurun, Gunung Bini, dan Gunung Kesayana.

Kabupaten/kota yang memiliki Dam/Waduk hanya Kota Batam dan Kabupaten Bintan. Kota Batam memiliki Dam/Waduk terbanyak yaitu sejumlah lima Dam/Waduk. Kolong terdapat di tiga kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Riau, yaitu Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Adapun jumlah kolong terbanyak di Kabupaten Bintan.

Secara rinci data mengenai potensi sumberdaya air di Kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 2.6.

Tabel 2.6.

Persebaran Potensi Sumberdaya Air Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kepulauan Riau

No Kabupaten/

Kota

Daerah Aliran Sungai

Mata Air DAM/Waduk Kolong

1 Batam - - Duriangkang,

Muka Kuning, Sekupang, Sei Ladi, Nongsa

-

2 Natuna (termasuk Kabupaten Kepulauan Anambas)

Antang Nuraja, Gunung Datuk, Tarempa, Temurun,

Gunung Bini, Gunung Kesayana

- -

3 Bintan Sekuning, Ekang, Kangboi, Bopeng, Busung, Korindo, Kawal,

Gunung Lengkuas Sungai Pulai Jago, Kawasan wisata Lagoi

Danau Kolong Gunung Kijang,Danau Belakang Mesjid Raya, Ex. Galian Pasir Galang Batang, Ex.


(8)

II - 8

No Kabupaten/

Kota

Daerah Aliran Sungai

Mata Air DAM/Waduk Kolong

Hangus, Pengudang

Galian Pasir Simpang Busung, Ex. Galian Pasir Pengujan 4 Karimun Sei Bati,

Selangat

- - Ex. Galian Timah

Perayon, Ex. Galian Pasir Kobel, Galian Pasir Tempan

5 Tanjungpinang - Hutan Lindung - -

6 Lingga Resun,

Tenam, Buluh, Marok Kecil

Gunung Daik, Gunung

Muncung, Batu Ampar

- Ex. Galian Timah

Singkep

2.1.6 Kondisi Klimatologi

Kondisi iklim di Provinsi Kepulauan Riau sangat dipengaruhi oleh kondisi angin sehingga secara umum wilayah ini beriklim laut tropis basah. Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim pancaroba, dengan suhu rata-rata terendah yang tercatat di Stasiun Ranai-Natuna sebesar 18,90C dan suhu rata-rata tertinggi juga

tercatat di Stasiun Ranai-Natuna sebesar 35,60C. Kelembaban udara rata-rata di Provinsi

Kepulauan Riau antara 81,5 persen sampai 93,8 persen. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2014 di provinsi ini cukup beragam.

Kisaran curah hujan dalam setahun tertinggi tercatat di Stasiun Tanjungpinang sebesar 255,5 mm dan terendah di Stasiun Dabo-Lingga mencatat kisaran 53,8 mm. Sedangkan jumlah hari hujan terbanyak tercatat di Stasiun Ranai-Natuna yaitu sebanyak 181 hari dan terendah di Stasiun Tarempa-Anambas mencatat jumlah hari hujan terendah yaitu 149 hari sepanjang tahun 2014.

Secara rinci data kondisi cuaca yang tercatat di 6 stasiun BMKG di Provinsi Kepulauan Riau ditampilkan pada Tabel 2.7


(9)

II - 9

Tabel 2.7.

Rata-Rata Suhu Udara, Kelembaban Udara, Curah Hujan, dan Penyinaran Matahari Menurut Stasiun Tahun 2014

Bulan

Karimun Ranai ( Natuna) Dado (Lingga) Terempa I (Kepulauan

Anambas) Hang Nadim ( Batam)

Curah Hujan (%) Kelem baban Udara (%) Suhu rata-rata (%) Penyin aran matah ari (%) Curah Hujan (%) Kelemb aban Udara (%) Suhu rata-rata (%) Penyin aran matah ari (%) Curah Hujan (%) Kelem baban Udara (%) Suhu rata-rata (%) Penyin aran matah ari (%) Curah Hujan (%) Kelemb aban Udara (%) Suhu rata-rata (%) Penyin aran mataha ri (%) Curah Hujan (%) Kelem baban Udara (%) Suhu rata-rata (%) Penyin aran matah ari (%)

Januari 45 97 97 77 77 97 97 52 87 90 90 77 74 74 74 39 11 4 4 11

februari 7 11 11 11 14 11 11 14 14 14 14 11 14 7 7 11 10 6 6 10

maret 13 32 32 32 26 32 32 39 39 42 42 39 13 10 10 13 50 47 47 50

april 57 57 57 57 43 63 63 63 70 70 70 60 90 83 83 87 71 71 71 71

mei 42 55 55 45 48 58 58 58 68 68 68 58 81 84 84 81 63 73 73 70

juni 33 47 47 43 40 37 37 47 53 53 53 53 77 73 73 63 42 45 45 52

juli 26 39 39 42 29 39 39 42 35 29 29 32 55 48 48 52 45 55 55 48

agustus 35 65 65 55 48 55 55 48 61 65 65 55 61 65 65 55 73 100 100 60

September 60 87 87 60 60 47 47 53 93 100 100 93 100 100 100 77 77 77 77 68

Oktober 61 81 81 65 55 61 61 74 61 68 68 58 68 65 65 55 40 33 33 40

November 33 37 37 37 47 47 47 47 37 40 40 37 47 37 37 40 61 52 52 52

Desember 45 58 58 45 77 77 77 74 % 74 71 71 55 87 84 84 71 11 4 4 11

Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

2.1.7 Kondisi Demografis

Jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015 sebanyak 1.973.043 jiwa, terdiri dari 51,24% penduduk laki – laki dan 48,76% perempuan. Penyebaran penduduk di Provinsi Kepulauan Riau masih terkonsentrasi di Kota Batam yakni sebesar 56,23%, sedangkan wilayah dengan penduduk paling sedikit yaitu Kabupaten Kepulauan Anambas sebesar 2,27%.

Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk pada masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.8.

Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Kab/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1 Karimun 213.479 216.146 218.475 220.882 223.117 225.298

2 Bintan 143.020 145.057 147.212 149.120 151.123 153.020

3 Natuna 69.416 70.423 71.454 72.527 73.470 74.520

4 Lingga 86.513 87.026 87.482 87.867 88.274 88.591

5 Kepulauan Anambas 37.629 38.210 38.833 39.374 39.892 40.414

6 Kota Batam 954.450 1.000.661 1.047.534 1.094.623 1.141.816 1.188.985 7 Kota Tanjung Pinang 188.309 191.287 194.099 196.980 199.723 202.215

Provinsi Kepulauan Riau

1.692.816 1.748.810 1.805.089 1.861.373 1.917.415 1.973.043 Sumber: BPS Provinsi kepulauan Riau Tahun 2015


(10)

II - 10 Pertumbuhan penduduk Provinsi Kepulauan Riau tergolong cukup tinggi, dengan rata-rata dari tahun 2015 sebesar 4,13%, terutama dikontribusikan dari pertumbuhan penduduk Kota Batam yang mencapai rata-rata sebesar 4,13%. Pertumbuhan penduduk yang besar di Kota Batam lebih disebabkan oleh migrasi masuk penduduk karena perkembangan Kota Batam yang sangat pesat sehingga menarik perhatian bagi penduduk dari daerah lain. Pertumbuhan penduduk terkecil berada di Kabupaten Lingga sebesar 0,55%. Secara rinci pertumbuhan penduduk per Kabupaten/kota tercantum pada tabel berikut.

Tabel 2.9.

Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Kab/Kota 2011 2012 2013 2014 2015

1 Karimun 1,25 1,08 1,10 1,01 0,98

2 Bintan 1,42 1,49 1,30 1,34 1,26

3 Natuna 1,45 1,46 1,50 1,30 1,43

4 Lingga 0,59 0,52 0,44 0,46 0,36

5 Kepulauan Anambas 1,54 1,63 1,39 1,32 1,31

6 Kota Batam 4,84 4,68 4,50 4,31 4,13

7 Kota Tanjung Pinang 1,58 1,47 1,48 1,39 1,25

Provinsi Kepulauan Riau 3,31 3,22 3,12 3,01 2,90

Sumber: BPS Provinsi kepulauan Riau Tahun 2015

Tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015 sebesar 186 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kota Tanjungpinang sebesar

844 jiwa/km2 selanjutnya Kota Batam sebesar 757 jiwa/km2, dan terendah di

Kabupaten Natuna dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 26 jiwa/Km2. Terlihat

peningkatan kepadatan penduduk Kota Batam dan Tanjungpinang meningkat sangat cepat dalam kurun waktu tahun 2011-2015. Secara rinci kepadatan penduduk per kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.10.

Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Kab/Kota 2011 2012 2013 2014 2015

1 Karimun 142 143 145 146 147

2 Bintan 83 85 86 87 88

3 Natuna 25 25 26 26 26

4 Lingga 41 41 41 42 42

5 Kepulauan Anambas 60 61 62 63 68

6 Batam 637 667 697 727 757

7 Tanjungpinang 799 810 822 834 844

Provinsi Kepulauan Riau 164 170 175 180 186


(11)

II - 11

2.2 Aspek Kesejahteraan Masyarakat

2.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi

A. PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. PDRB pada prinsipnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu atau jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Penghitungan PDRB dilakukan atas harga berlaku (harga-harga pada tahun penghitungan) dan harga konstan (harga-harga pada tahun yang dijadikan tahun dasar penghitungan). Mulai tahun 2014 perhitungan PDRB atas dasar harga konstan Provinsi Kepri menggunakan tahun dasar tahun 2010. Pada tahun 2015 tercatat PDRB Provinsi Kepri berdasarkan harga berlaku sebesar 203.281,40 milyar rupiah.

Dalam kurun waktu tahun 2010-2015 PDRB ADHB menunjukkan perkembangan positif setiap tahunnya. Perkembangan ini dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11.

PDRB Provinsi Kepulauan Riau Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010-2015 (Milyar)

No Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

4.506,56 4.871,64 5.267,72 5.816,59 6.214,90

7.261,28 2. Pertambangan dan

Penggalian

19.854,86 21.583,42 23.949,86 26.030,35 27.906,23

29.018,11 3. Industri Pengolahan 42.191,39 48.288,41 55.871,33 63.641,75 70.787,39 78.524,66 4. Pengadaan Listrik,

Gas

953,24 1.395,46 1.723,60 1.904,76 1.925,64 2.220,98

5. Pengadaan Air 155,61 169,34 185,29 198,35 211,31 233,26

6. Konstruksi 17.950,71 21.740,39 25.458,01 29.533,93 33.310,22 36.456,42 7. Perdagangan Besar

dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

7.917,72 9.091,26 9.942,79 10.828,17 12.836,24 16.320,85

8. Transportasi dan Pergudangan

2.953,54 3.391,93 3.915,03 4.559,45 6.156,03 6.546,18

9. Penyedia Akomodasi dan Makan Minum

2.092,64 2.325,64 2.689,94 3.086,31 4.248,69 4.298,81

10. Informasi dan Komunikasi

2.297,39 2.461,02 2.664,81 2.870,45 3.125,46 3.795,90

11. Jasa Keuangan 2.886,95 3.481,68 3.928,68 4.352,11 4.840,25 5.280,99

12. Real Estate 1.773,64 1.978,33 2.158,66 2.367,49 2.639,90 3.016,61

13. Jasa Perusahaan 5,67 6,17 6,97 7,84 8,32 9.15

14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 2.486,18 2.781,36 3.182,04 3722.47 4.153,56

4.972,16


(12)

II - 12

No Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015

16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

1.064,84 1.169,83 1.298,45 1,390.85 1.518,62 1.737,40

17. Jasa Lainnya 581,41 579,50 642,08 683,43 746,63 919,61

Produk Domestik Regional Bruto

111.223,63 126.914,20 144.840,79 163.112,15 182.915,53 203.281,40 Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2015

PDRB Provinsi Kepri berdasarkan harga konstan tahun 2010 pada tahun 2015 sebesar 155.162,64 milyar rupiah. Dalam kurun waktu tahun 2010-2015 PDRB ADHK menunjukkan perkembangan positif setiap tahunnya. Perkembangan PDRB ADHK dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12.

PDRB Provinsi Kepulauan Riau Atas Dasar Harga Konstan Tahun Dasar 2010 Tahun 2010-2015 (Milyar)

No Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

4.506,56 4.683,47 4.794,17 5.000,07 5.379,18 5.840,02

2. Pertambangan dan Penggalian

19.854,86 20.380,23 21.413,42 22.106,06 22.834,72 22.966,36 3. Industri Pengolahan 42.191,39 45.483,54 49.155,55 53.173,70 57.382,16 60.223,22

4. Pengadaan Listrik , Gas 953,34 1.051,83 1.127,55 1.183,06 1.246,70 1.384,09

5. Pengadaan Air 155,61 168,31 176,92 184,03 187,76 193,11

6. Konstruksi 17.950,71 19.443,48 21.642,83 23.956,46 26.074,83 26.871,95

7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

7.917,72 8.481,72 9.067,59 9.755,86 10.767,00 12.408,60

8. Transportasi dan Pergudangan

2.953,54 3.226,83 3.456,04 3.667,81 3.931,83 4.370,13

9. Penyedia Akomodasi dan Makan Minum

2.092,64 2.277,42 2.474,83 2.665,83 2.983,06 3.341,98

10. Informasi dan Komunikasi 2.297,39 2.523,27 2.700,32 2.874,48 3.076,75 3.400,76

11. Jasa Keuangan 2.886,95 3.318,54 3.536,13 3.748,37 3.969,46 4.087,76

12. Real Estate 1.773,64 1.903,10 1.997,11 2.110,29 2.245,19 2.324,72

13. Jasa Perusahaan 5,67 6,34 6,93 7,44 7,59 7,80

14. Administrasi Pemerintahan,

Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

2.486,18 2.724,32 2.892,26 3.028,83 3.240,36 3.608,74

15. Jasa Pendidikan 1.551,28 1.577,44 1.772,83 1.827,20 1.905,30 2.2022,48

16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

1.064,84 1.138,74 1.230,37 1.250,99 1.311,57 1.405,32

17. Jasa Lainnya 581,41 572,83 590,11 594.37 624,10 704,67

Produk Domestik Regional Bruto

111.223,73 118.961,42 128.034,97 137.134,85 147.167,57 155.162,64 Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2015

Struktur perekonomian Provinsi Kepri selama kurun waktu tahun 2011 – 2015 didominasi oleh tiga sektor utama yaitu: sektor industri pengolahan, sektor konstruksi dan sektor pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan ketiga sektor utama


(13)

II - 13 perekonomian tersebut menggambarkan kondisi yang bervariasi. Sektor industri pengolahan mengalami fluktuasi (antara 6,96% - 8,17%), sektor kontruksi mengalami pertumbuhan yang signifikan (antara 8,32%-11,31%) dan pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian relatif rendah (antara 1,51% - 5,07%).

Tabel 2.13.

Distribusi PDRB Menurut Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010 Tahun 2010-2015 (Persen)

Sumber: Provinsi Kepulauan Riau Dalam Angka, 2015

Pertumbuhan ekonomi memberikan gambaran mengenai dampak dari pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya dalam rangka pengembangan bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan.

No Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

4,05 3,84 3,64 3,57 3,40 3,57

2. Pertambangan dan Penggalian

17,85 17,01 16,54 15,96 15,26 14,27

3. Industri Pengolahan 37,93 38,05 38,57 39,02 38,70 38,63 4. Pengadaan Listrik, Gas,

Uap/Air Panas dan Udara DingindanProduksi Es

0,86 1,10 1,19 1,17 1,05 1,09

5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah dan Daur Ulang

0,14 0,13 0,13 0,12 0,12 0,11

6. Konstruksi 16,14 17,13 17,58 18,11 18,21 17,03 7. Perdagangan Besar dan

Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

7,12 7,16 6,86 6,64 7,02 8,03

8. Transportasi dan Pergudangan

2,66 2,67 2,70 2,80 3,37 3,22

9. Penyedian Akomodasi dan Makan Minum

1,88 1,83 1,86 1,89 2,32 2,16

10. Informasi dan Komunikasi 2,07 1,94 1,84 1,76 1,71 1,87 11. Jasa Keuangan dan Asuransi 2,60 2,74 2,71 2,67 2,65 2,60 12. Real Estate 1,59 1,56 1,49 1,45 1,44 1,48 13. Jasa Perusahaan 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 14. Administrasi Pemerintahan,

Pertahanan dan jaminan Sosial Wajib

2,24 2,19 2,20 2,28 2,27 2,45

15. Jasa Pendidikan 1,39 1,26 1,35 1,30 1,25 1,26 16. Jasa Kesehatan Dan Kegiatan

Sosial

0,96 0,92 0,90 0,85 0,83 0,85

17. Jasa Lainnya 0,52 0,46 0,44 0,42 0,41 0,45 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00


(14)

II - 14 Dalam kurun waktu tahun 2010-2015, trend pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi sebesar 6,71%, pada tahun 2012 pertumbuhan mencapai angka tertinggi sebesar 7,63%, dan pada tahun 2014 pertumbuhan menjadi sebesar 7,32%. Tahun 2015 pertumbuhan Ekomoni Kepulauan Riau sebesar 6,02%. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Secara lengkap perbandingan pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau dengan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau dan BPS Pusat, 2015

Gambar 2.2 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau

dengan Nasional Tahun 2010-2015 (%)

Dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Sumatera (tahun 2015), pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi, dan lebih tinggi dibandingkan Provinsi Bangka Belitung, Lampung, bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Perbandingan pertumbuhan ekonomi diantara provinsi di wilayah Sumatera, terlihat pada Gambar 2.3.

6.71 6.96 7.63 7.11 7.32

6.02

6.22 6.49 6.23

5.78

5.02 4.79

0 2 4 6 8 10

2010 2011 2012 2013 2014 2015


(15)

II - 15 Sumber: BPS Provinsi di Wilayah Pulau Sumatera

Gambar 2.3 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau

dengan Provinsi Lain di Wilayah Sumatera Tahun 2015 (%)

Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2014 tertinggi adalah Kota Bintan sebesar 8,46%, selanjutnya Kota Kota Batam sebesar 7,99%, dan Kota Tanjung Pinang sebesar 6,97%. Sementara sesuai pertumbuhan ekonomi terendah di Kabupaten Kepulauan Anambas sebesar 2,29%, seperti terlihat pada Gambar 2.4.

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau 2015

Gambar 2.4 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan

Riau Tahun 2014

2.29 3.45

6.8 6.97 6.97

7.99 8.46

0 2 4 6 8 10

Kab. Kepulauan Anambas Kab. Natuna Kab. Lingga Kab. Karimun Kota Tanjung Pinang Kota Batam Kab. Bintan

-0.72

5.1 5.41 0.22

4.21 4.5

5.14 5.13 4.08

6.02

-2 0 2 4 6 8

Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepri


(16)

II - 16

B. Inflasi

Inflasi merupakan persentase tingkat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah tangga dan kegiatan industri. Laju inflasi tahun kalender (Januari - Desember) 2015 di Kota Batam sebesar 6,39%, sedikit lebih rendah dibandingkan laju inflasi periode yang sama tahun 2014 yaitu sebesar 7,61%. Sementara itu laju inflasi tahun kalender (Januari - Desember) tahun 2015 di Kota Tanjungpinang sebesar 6,38%, jauh lebih rendah dibandingkan laju inflasi tahun 2014 sebesar 7,49%. Perkembangan laju inflasi di Kota Batam dan Kota Tanjungpinang dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau 2015

Gambar 2.5 Laju Inflasi di Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang Provinsi

Kepulauan Riau Tahun 2010-2015 (%)

Berdasarkan Gambar 2.5 diatas, terlihat bahwa inflasi di Provinsi Kepri selama 2011-2015 sangat fluktuatif (antara 2,02% – 10,09%), dan sangat dominan dipengaruhi oleh inflasi di Kota Batam karena jumlah penduduk terbesar di Batam dan menjadi penyumbang aktivitas perekonomian terbesar di Provinsi Kepulauan Riau.

Pada tahun 2015 inflasi di Provinsi Kepulauan Riau disebabkan oleh kenaikan indeks gabungan kelompok bahan makanan sebesar 3,64 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,49 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,05 persen; kelompok sandang sebesar 0,05 persen; kelompok kesehatan sebesar 0,01 persen; serta kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,37 persen. Sebaliknya, indeks kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami penurunan sebesar 0,03 persen.


(17)

II - 17 Khusus tahun 2014 penyebab utama inflasi di Provinsi Kepri adalah adanya perubahan harga BBM yang berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya, naiknya biaya angkutan barang-barang konsumsi yang berasal dari lain daerah (bahan pangan pokok dan barang-barang kebutuhan sektor usaha). Sebagai wilayah kepulauan, Provinsi Kepri sangat bergantung pada transportasi laut dan transportasi udara sehingga kenaikan harga BBM mengakibatkan efek berganda (multiflier effect) yang relatif besar yaitu naiknya biaya transportasi dan distribusi barang dan jasa-jasa di seluruh wilayah Provinsi Kepri. Penyebab inflasi di Provinsi Kepri terutama karena kenaikan dari sisi penawaran yaitu naiknya biaya produksi akibat naiknya cost of transportation. Selain itu, jika dilihat besarnya kenaikan harga konsumen terutama yang disumbangkan oleh kelompok bahan makanan, sebagian merupakan produk-produk impor sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi impor misalnya perubahan nilai tukar Rupiah dengan valuta asing, serta perubahan kebijakan Pemerintah Pusat tentang tarif impor dan pajak impor bahan makanan secara umum akan mempengaruhi inflasi di Provinsi Kepri. Kenaikan inflasi dari sisi permintaan yaitu perbaikan pendapatan masyarakat juga mendorong naiknya permintaan barang dan jasa sehingga menyebabkan inflasi.

Karena faktor dominan kenaikan inflasi di Provinsi Kepri tahun 2014 lebih dominan disebabkan oleh adanya efek berganda kenaikan BBM yang mempengaruhi sisi penawaran karena kenaikan biaya transportasi dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok dalam masyarakat, maka tindak lanjutnya adalah menciptakan sistem transportasi dan distribusi barang dan jasa yang lebih efisien antar daerah dan sekaligus memperbaiki sistem distribusi barang/jasa yang pada gilirannya menurunkan biaya sistem logistik di Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah Provinsi Kepri perlu menyusun kebijakan tentang upaya mengurangi ketergantungan impor bahan pangan dan kebutuhan pokok rumah tangga dengan meningkatkan program-program kemandirian pangan, mengembangkan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, membagun pasar-pasar perkulakan hasil pertanian dan perkebunan serta hasil perikanan yang menjadi unggulan daerah.

C. PDRB per Kapita

PDRB per kapita secara relatif dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Perkembangan PDRB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2015 PDRB Perkapita atas dasar harga berlaku mencapai sebesar Rp 103.03 juta atau US$ 7.701,96. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar Rp 95.40 juta. Perkembangan PDRB per kapita terlihat pada Tabel 2.14

Tabel 2.14.

Perkembangan PDRB Per Kapita Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Uraian 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1 PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku (Rp ribu)

42.648 45.469 49.644 87.630 95.400 103.030


(18)

II - 18 Dibandingkan dengan capaian provinsi lain di Pulau Sumatera, PDRB Per Kapita dengan Migas Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Kepri menempati posisi tertinggi ke-2 setelah Provinsi Riau. PDRB perkapita Provinsi Kepri lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung, Lampung, bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendapatan penduduk Provinsi Kepulauan Riau secara umum relatif tinggi. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut ini.

Gambar 2.6 Perbandingan PDRB Perkapita Provinsi Kepulauan Riau

dengan Provinsi Lain di Pulau Sumatera Tahun 2015

D. Persentase Penduduk Miskin

Tingkat kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan dilihat dalam lima tahun terakhir (2010-2015), yaitu sebesar 8,13% pada tahun 2010 menjadi 6,40% pada tahun 2014, tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 5,79% . Dalam kurun waktu tersebut, tingkat kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau mengalami penurunan sebesar 1,73%. Jika dilihat dari kinerja penurunannya, tren kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan kondisi yang melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari capaian kinerja setiap tahunnya.

Gambaran kondisi kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 2.7.

4.99

22.09 6.91

25.21 5.99

4.95

9.78 2.3

7.8

0 5 10 15 20 25 30

aceh sumatra utara sumatra barat Riau Jambi bengkulu lampung Kep.Bangka Belitung kepulauan Riau


(19)

II - 19 Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau 2015

Gambar 2.7 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat

Kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010 – 2015

Dilihat posisi relatifnya, tingkat kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015 sebesar 5,78%, lebih baik dari rata-rata tingkat kemiskinan Nasional sebesar 11,13%. Jika dilihat berdasarkan provinsi di wilayah Sumatera, tingkat kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau lebih rendah dibandingkan Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, namun lebih tinggi dibandingkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Posisi relatif tingkat kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau dikemukakan pada Gambar 2.8.

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau 2015

Gambar 2.8 Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan Provinsi Kepri dengan

Provinsi Lain di Pulau Sumatera dan Nasional Tahun 2015

13

7,

07

2 122,

500

131,

300 125,

020

124,

170 114,

834

8.13

6.79 6.83

6.3 6.4

5.78

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

100,000 105,000 110,000 115,000 120,000 125,000 130,000 135,000 140,000

2010 2011 2012 2013 2014 2015

jumlah penduduk miskin tingkat kemiskinan

8.82

5.78

10.79

6.71

17.16

13.77

9.12

4.83

17.11 17.16

11.13

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20


(20)

II - 20 Persebaran kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2014, diketahui paling tinggi di Kabupaten Lingga sebesar 14,41%, lebih tinggi dari rata-rata Provinsi Kepulauan Riau sebesar 6,40% dan Nasional sebesar 11,47%. Sementara itu tingkat kemiskinan tertinggi kedua berada di Kota Tanjung Pinang sebesar 10,40%, berada di atas rata-rata Provinsi Kepulauan Riau dan dibawah rata-rata nasional sebesar 11,47%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau 2015

Gambar 2.9 Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan (%) Kab/Kota Provinsi

Kepulauan Riau Tahun 2014

Perkembangan persentase penduduk miskin di perkotaan Provinsi Kepulauan Riau dari tahun 2010 sebesar 7,87% menunjukkan tren menurun menjadi sebesar 5%, pada tahun 2015, sedangkan persentase penduduk miskin di perdesaan semakin meningkat dari sebesar 8,24% pada tahun 2010 menjadi sebesar 9,75% pada tahun 2015.

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.

Kondisi kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau dilihat dari ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1). Indeks Kedalaman Kemiskinan Provinsi menunjukkan angka yang sangat rendah, mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin dekat dengan garis kemiskinan. P1 Provinsi Kepri menurun dari 1,05 pada tahun 2010 menjadi 0,74 pada tahun 2014. Dengan menurunnya P1 di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan ketimpangan pendapatan penduduk miskin


(21)

II - 21 terhadap garis kemiskinan setiap tahunnya semakin menurun. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Provinsi

Kepulauan Riau Tahun 2010 – 2015

Kabupaten Lingga memiliki indeks kedalaman kemiskinan paling tinggi, yaitu sebesar 2,12 dan Kota Tanjung Pinang sebesar 1,21. Indeks kedalaman kemiskinan terendah terdapat di Kabupaten Natuna yaitu sebesar 0,58. Capaian indeks kedalaman kemiskinan pada masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Posisi Relatif Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kab/Kota di

Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014 1.05

1.17

0.85

1.02

0.74

0.86

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4


(22)

II - 22 Untuk melihat sebaran pengeluaran penduduk di antara penduduk miskin itu sendiri diukur dengan menggunakan Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index – P2), yaitu ukuran indeks yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Selama kurun waktu 2010-2013 indeks keparahan kemiskinan mengalami peningkatan,yaitu sebesar 0,25 pada tahun 2010 menjadi 0,26 pada tahun 2013 dan tahun 2014 menjadi 0,18, yang menunjukkan pada tahun tersebut ada pergeseran penurunan ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin itu sendiri di Provinsi Kepulauan Riau.Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukkan angka yang sangat rendah, mengindikasikan bahwa ketimpangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin relatif rendah.

Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) (Indeks)

Provinsi Kepulauan Riau, Tahun 2010 – 2015

Perkembangan Indeks keparahan kemiskinan (P2) berdasarkan masing-masing kabupaten/kota di Kepulauan Riau menunjukkan Kabupaten Lingga memiliki indeks keparahan kemiskinan tertinggi, yaitu sebesar 0,51 dan Kota Tanjung Pinang sebesar 0,29. Indeks keparahan kemiskinan terendah terdapat di Kabupaten Natuna yaitu sebesar 0,11. Capaian indeks keparahan kemiskinan pada masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 2.13.

0.25

0.3

0.19

0.26

0.18

0.23

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35


(23)

II - 23

Gambar 2.13 Posisi Relatif Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kab/Kota

di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014

Dengan melihat trend penurunan pada Grafik P1 dan P2 di atas, masih perlu perhatian serius karena tren P1 dan P2 walaupun menunjukkan penurunan dalam lima tahun terakhir (2010-2014) akan tetapi kinerja tahunannya tidak konsisten. Kondisi P1 dan P2 menunjukkan kinerja yang fluktuatif sehingga akan berpengaruh besar terhadap kenaikan angka kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau.

Pada tahun 2014, kedua indeks P1 dan P2 angka di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin daerah perkotaan relatif mendekati garis kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan daerah perdesaan lebih tinggi dari perkotaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin daerah perdesaan lebih jauh dari garis kemiskinan dibanding daerah perkotaan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin perdesaan lebih besar dibanding daerah perkotaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan garis kemiskinan yaitu nilai rupiah yang diperlukan agar penduduk dapat hidup layak secara minimum yang mencakup pemenuhan kebutuhan minimum pangan dan non-pangan essensial. Garis Kemiskinan adalah harga yang dibayar oleh kelompok acuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sebesar 2.100 kkal/kapita/hari dan kebutuhan non-pangan esensial seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi dan lainnya. Perkembangan garis kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 2.14.


(24)

II - 24 Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau 2016

Gambar 2.14 Perkembangan Garis Kemiskinan (Rp) Provinsi Kepulauan

Riau dan Nasional Tahun 2010– 2015

Berdasarkan Gambar 2.15, trend garis kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan peningkatan.Tahun 2010 garis kemiskinan Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp.225.857,- meningkat menjadi Rp.425.967 pada tahun 2014. Artinya ada peningkatan sebesar Rp.200.110 dalam lima tahun terakhir. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, garis kemiskinan Provinsi Kepualaun Riau jauh lebih tinggi dari nasional sebesar Rp.312.325 pada tahun 2014. Perkembangan garis kemiskinan pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15 Posisi Relatif Garis Kemiskinan (Rp) Kab/Kota di Provinsi

Kepulauan Riau Tahun 2013 225,857

340,581 372,941

398,903 425,967

480,812

211,726 233,740

271,626 292,951

312,325

251,943

0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000

2010 2011 2012 2013 2014 2015


(25)

II - 25 Gambar 2.15 menunjukkan bahwa garis kemiskinan tertinggi kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2013 sebesar Rp. 506.647 di Kota Tanjungpinang, diikuti oleh Kota Batam sebesar Rp.482.567. Sementara itu garis kemiskinan terendah oleh Kabupaten Natuna sebesar Rp.264.855, dan Kabupaten Kepulauan Anambas sebesar Rp. 268.570. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang disokong oleh perkembangan industri menjadi salah satu faktor pembeda meningkatnya kebutuhan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Kepulauan Riau.

Perlunya di tahun-tahun berikutnya Pemerintah Provinsi Kepri menfasilitasi program-program penanggulangan kemiskinan di kabupaten/kota yang lebih diarahkan pada pembangunan perdesaan di wilayah tertinggal, mengembangkan sarana dan prasarana dasar (jalan, jembatan, pelabuhan desa) untuk mempermudah angkutan dan distribusi barang dan jasa dari kabupaten/kota ke pusat-pusat aktivitas perekonomian daerah. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat perdesaan, maka perlu tindak lanjut pemberdayaan perempuan di perdesaan, pengembangan usaha mikro dan kecil termasuk usaha non formal dan mengembangkan akses permodalan masyarakat berbasis pada potensi lokal.

E. Indeks Gini

Indeks Gini merupakan satu ukuran untuk melihat ketimpangan pendapatanmasyarakat. Indeks gini bernilai 0 hingga 1. Ketimpangan antar kelompok pendapatan dikatakan ketimpangan “rendah” bila indeks Gini kurang dari 0,3, dikatakan Ketimpangan “sedang” bila indeks Gini antara 0,3 – 0,4; dan Ketimpangan “tinggi” bila indeks Gini di atas 0,4. Nilai indeks gini Provinsi Kepulauan Riau antara tahun 2010–2013 meningkat dari sebesar 0,29 menjadi 0,36. Angka ini menunjukan bahwa ketimpangan pendapatan di Provinsi Kepritermasuk kategorisedang, dan ketimpangan pendapatan masyarakat cenderung semakin besar. Hal ini perlu diwaspadai agar peningkatan pendapatan tidak hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi (orang kaya).

Perkembangan indeks gini Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 4.16 berikut ini.


(26)

II - 26 Sumber : Badan Pusat Statistik 2015

Gambar 2.16 Indeks Gini Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2014

Dibandingkan provinsi lain di Pulau Sumatera, indeks gini di Provinsi Kepulauan Riau lebih rendah dari Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Riau, namun lebih tinggi dibandingkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Jambi, Sumatera Utara, dan Aceh, dan bernilai sama dengan Provinsi Sumatera Barat. Secara rinci perbandingan indeks gini provinsi di wilayah sumatera dapat dilihat pada Gambar 2.17.

Sumber : Badan Pusat Statistik 2015

Gambar 2.17 Perbandingan Indeks Gini Provinsi Kepulauan Riau dengan


(27)

II - 27

2.2.2 Fokus Kesejahteraan Sosial

1. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (penduduk). IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh 3 (tiga) dimensi dasar: (1) Umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life); (2) Pengetahuan (knowledge); (3) Standar hidup layak (decent standard of living). Perubahan indikator yang digunakan dalam penghitungan IPM yaitu: Angka melek huruf pada metode lama diganti dengan Angka Harapan Lama Sekolah; Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Perubahan metode penghitungan yaitu metode agregasi diubah dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata geometrik.

IPM Provinsi Kepulauan Riau dengan metode baru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. IPM Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2010 sebesar 71,13 meningkat menjadi 73,40 pada tahun 2014. Jika diakumulasikan, kenaikan IPM Provinsi Kepulauan Riau dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2010–2014) sebesar 2,27 point. Peringkat IPM Provinsi Kepulauan Riau berada pada peringkat ke-4 seluruh Indonesia.

Tabel 2.15.

Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Kepulauan Riau dengan Provinsi lain di Pulau Sumatera Tahun 2010-2014

No Provinsi 2010 2011 2012 2013 2014

1. Aceh 67,09 67,45 67,81 68,30 68,81

2. Sumatera Utara 67,09 67,34 67,74 68,36 68,87 3. Sumatera Barat 67,25 67,81 68,36 68,91 69,36

4. Riau 68,65 68,90 69,15 69,91 70,33

5. Jambi 65,39 66,14 66,94 67,76 68,24

6. Sumatera Selatan 64,44 65,12 65,79 66,16 66,75

7. Bengkulu 65,35 65,96 66,61 67,50 68,06

8. Lampung 63,71 64,20 64,87 65,73 66,42

9. Kep. Bangka Belitung

66,02 66,59 67,21 67,92 68,27

10. Kepulauan Riau 71,13 71,61 72,36 73,02 73,40

Indonesia 66,53 67,09 67,70 68,31 68,90

Sumber: BPS Pusat

Selama kurun waktu tahun 2010-2014, ketiga aspek pembentuk IPM Provinsi Kepulauan Riau terus meningkat menuju kondisi ideal. Pembangunan manusia di bidang pendidikan yang direpresentasikan oleh indikator angka harapan sekolah mencapai angka 12,51 tahun, sedangkan rata-rata lama sekolah sebesar 9,64 tahun. Untuk ke depannya,


(28)

II - 28 pemerintah daerah perlu lebih memperhatikan program-program yang berkaitan dengan bidang pendidikan terutama menyangkut lama sekolah peserta didik.

Kemajuan pembangunan manusia di level kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau bervariasi. Variasi tersebut tentunya disebabkan oleh faktor sumber daya (alam dan manusia) dan kebijakan pemerintah daerah yang berbeda. Capaian pembangunan manusia yang tercermin dari angka IPM perlu terus ditingkatkan dan diawasi agar pembangunan manusia dapat terlaksana dengan baik dan merata. Kota Batam menempati peringkat pertama se-Provinsi Kepulauan Riau, sedangkan Kabupaten Lingga menempati peringkat terbawah. Peringkat kedua sampai peringkat keenam berturut-turut diduduki oleh Kota Tanjungpinang, Kabupaten Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Karimun, Kabupaten Kepulauan Anambas. Perbandingan capaian IPM keenam kabupaten/kota dapat dilihat pada gambar berikut:

Tabel 2.16.

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014

No. Kabupaten/Kota AHH EYS MYS Pengeluaran IPM

1 Karimun 69,01 11,86 7,73 11.090 68,72

2 Bintan 69,91 11,80 8,30 13.477 71,65

3 Natuna 63,24 13,84 8,07 13.414 70,06

4 Lingga 59,47 11,59 5,53 10.949 60,75

5 Kepulauan Anambas 66,23 11,62 6,16 11.182 65,12 6 Kota Batam 72,80 12,62 10,80 16.735 79,13 7 Kota Tanjung Pinang 71,55 14,03 9,94 14.141 77,29

Kepulauan Riau 69,15 12,51 9,64 13.019 73,40

Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, 2014

2. Rata-Rata Lama Sekolah

Rata-rata Lama Sekolah didefnisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Diasumsikan bahwa dalam kondisi normal rata-rata lama sekolah suatu wilayah tidak akan turun. Cakupan penduduk yang dihitung dalam penghitungan rata-rata lama sekolah adalah penduduk berusia 25 tahun ke atas. Berdasarkan Tabel 2.16, Rata-rata lama sekolah di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2014 sebesar 9,64 tahun, dengan angka tertinggi di Kota Batam, dan terendah di Kabupaten Lingga. Dengan kondisi tersebut, rata-rata lama sekolah sudah mampu memenuhi wajib belajar 9 tahun yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.

3. Angka Harapan Lama Sekolah

Angka Harapan Lama Sekolah didefnisikan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang.


(29)

II - 29 Diasumsikan bahwa peluang anak tersebut akan tetap bersekolah pada umur-umur berikutnya sama dengan peluang penduduk yang bersekolah per jumlah penduduk untuk umur yang sama saat ini. Angka Harapan Lama Sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. HLS dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam tahun) yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak. Angka Harapan Lama Sekolah pada tahun 2014 sebesar 12,51 tahun, dengan angka tertinggi dicapai Kota Tanjung Pinang sebesar 14,03 tahun, dan terendah di Kabupaten Lingga.

2.3 Aspek Pelayanan Umum

a. Urusan Pemerintahan Wajib Pelayanan Dasar

1) Pendidikan

Keberhasilan pelayanan PAUD terlihat dari capaian indikator APK PAUD baik formal maupun non formal. Kategori PAUD Formal yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudatul Alfal (RA), sedangkan PAUD non formal adalah Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), POS PAUD, dan Kelompok PAUD sejenis. Capaian APK Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) baik PUAD formal maupun non formal mengalami fluktuatif dengan kecenderungan meningkat dari sebesar 42% pada tahun 2011 menjadi sebesar 76,15% pada tahun 2015.

Pada jenjang pendidikan dasar, APK dan APM menjadi salah satu indikator aspek pemerataan dan keterjangkauan pendidikan. Perkembangan APK SD/MI dalam kurun waktu tahun 2011-2015 cenderung meningkat dari sebesar 102,78% menjadi 112,74%, sedangkan APK SMP/MTs mengalami fluktuatif dengan kecenderungan meningkat dari sebesar 96,75% pada tahun 2011 menjadi sebesar 97,07% pada tahun 2015. Indikator APM lebih mendekati pada partisipasi yang sebenarnya karena formula yang digunakan adalah jumlah murid pada jenjang tertentu dengan usia sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut dibagi jumlah penduduk dengan kelompok usia sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut dikalikan seratus persen. APM SD/MI di Provinsi Kepulauan Riau cukup tinggi, yaitu sebesar 99,80% pada tahun 2015, sedangkan APM SMP/MTs sebesar 94,35%. Sesuai dengan target MDGs dan pendidikan untuk semua, pada tahun 2015 APM SD/MI ditargetkan 100%, demikian juga APM SMP/MTs juga ditargetkan 100%, capaian APM SD/MI dan SMP/MTs tersebut masih di bawah target MDG’s dan PUS. Masih perlu usaha dan komitmen dari semua pihak untuk dapat mencapai target MDG’s dan PUS tersebut, khususnya untuk APM SMP/MTs.

Angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SD/MI tahun 2015 sebesar 0,35% dan SMP/MTs sebesar 0,82%, relatif tinggi karena masih diatas ambang batas target nasional 0,22% pada tahun 2015. Sementara itu angka kelulusan pada semua jenjang pendidikan telah menunjukan capaian yang optimal, dengan capaian angka lulus hampir selalu 100% untuk SD/MI dan untuk SMP/MTs. Berkaitan dengan sarana dan prasarana, ruang kelas SD/MI dalam konsisi baik pada tahun 2015 sebesar 48% dan untuk SMP/MTs sebesar 52%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi pelayanan pendidikan dasar yang berkaitan dengan sarana dan prasarana belum optimal.


(30)

II - 30 Pada jenjang pendidikan menengah, APK SMA/MA/SMK Paket C baru menunjukkan peningkatan dari sebesar 79,07% pada tahun 2011 menjadi sebesar 82,23%, untuk APM daam kurun waktu yang sama meningkat dari sebesar 63,50% pada tahun 2011 menjadi 71,58% pada tahun 2015. Angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMA/SMK relatif tinggi karena masih berada di atas ambang batas target nasional 0,22% pada tahun 2015. Untuk angka kelulusan pada jenjang pendidikan SMA/SMK sudah menunjukan capaian yang optimal, angka lulus hampir selalu mendekati angka 100%. Kondisi sarana dan prasarana pendidikan secara keseluruhan terlihat bahwa perkembangan ruang kelas dalam kondisi baik selama kurun waktu 2010-2015 cenderung meningkat.

Mutu pendidik dan tenaga kependidikan terlihat dari indikator jumlah guru yang telah memenuhi kualifikasi S1 dan DIV atau yang telah memperoleh sertifikasi. Rasio guru terhadap kelas dan rasio guru terhadap murid sudah cukup baik. Bahkan ada kecenderungan sudah kelebihan guru. Indikator yang digunakan untuk mengukur pengembangan kelembagaan adalah persentase sekolah semua jenjang terakreditasi minimal B. Kualitas kelembagaan dan tata kelola satuan pendidikan belum optimal. Banyak manajemen di tingkat satuan pendidikan belum sesuai dengan harapan yaitu terakreditasi minimal B.

Perkembangan capaian indikator pendidikan secara rinci terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.17.

Perkembangan Kinerja Urusan Pendidikan Tahun 2011-2015

No Indikator Kinerja Satuan 2011 2012 2013 2014 2015

1. APK TK/RA (3-6 Tahun) % 42,00 46,40 29,10 76,02 76,12

2. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/Paket A

% 102,78 105,12 107,10 108,36 112,74

3. Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI

% 85,14 90,16 93,57 99,08 98,60

4. Angka Putus Sekolah SD/MI % 1,50 1,2 0,12 0,10 0,35

5. Persentase Ruang Kelas SD/MI Dalam Kondisi Baik

% 35

38

40

45

48

6. Rasio ketersediaan sekolah SD/MI terhadap penduduk usia sekolah

Perbandi ngan

1:47 1:49 1:50 1:50 1:50

7. Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/Paket B

% 96,75 99,11 100,03 100,62 97,07

8. Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs

% 79,07 81,79 93,00 96,72 94,35

9. Angka Putus Sekolah SMP/MTs % 2,3 1 0,30 0,20 0,82

10. Persentase Ruang kelas SMP/MTs Dalam Kondisi Baik

% 37

40

44

48

52

11. Rasio ketersediaan sekolah SMP/MTs terhadap penduduk usia sekolah

Perbandi ngan


(31)

II - 31

No Indikator Kinerja Satuan 2011 2012 2013 2014 2015

12. Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA/SMK Paket C

% 63,50 64,00 75,10 81,79 89,37

13. Angka Partisipasi Murni (APM) SMA/MA/SMK

% 61,49 61,78 62,00 67,61 71,58

14. Angka Putus Sekolah SMA/MA/SMK

% 2,5 2,0 0,3 0,2 0,95

15. Persentase Ruang Kelas SMA/MA/SMK Dalam Kondisi Baik

% 94,30 94,70 95,00 95,30 86,49

16. Rasio ketersediaan sekolah SMA/MA/SMK terhadap penduduk usia sekolah

Perbandi ngan

1:24 1:24 1:25 1:27 1:252

17. Angka Melek Huruf penduduk usia diatas 15 tahun

% 97,5 98,4 98,0 98,5 99,01

18. Jumlah warga belajar peserta pendidikan kecakapan hidup (Lifeskill)

warga belajar

NA NA NA NA 200

19. Jumlah lembaga kursus lembaga NA NA NA NA 7

20. Persentase SD/MI terakreditasi minimal B

% 20 30 60 63 64

21. Persentase SMP/MTs terakreditasi minimal B

% 30 45 55 68 65

22. Persentase SMA/MA terakreditasi minimal B

% 55 60 65 75 75

23. Persentase kompetensi Keahlian SMK terakreditasi minimal B

% - - - - 45

24. Guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV semua jenjang

Pendidikan

% 55 67 67 86 80

25. Rasio guru/murid SD/MI Perbandi ngan

1:16 1:18 1:18 1:17 1:18

26. Rasio guru/murid SMP/MTs Perbandi ngan

1:15 1;20 1:18 1:20 1:15

27. Rasio guru/murid SMA/MA/SMK Perbandi ngan

1:10 1:11 1:11 1:14 1:12

28. Persentase Guru SD/SMP/SMA/SMK yang memanfaatkan TIK Pendidikan

% 14 14 15 15 16

29. Angka Kelulusan SD/MI/Paket A % 100 100 100 100 100

30. Angka Kelulusan SMP/MTs/Paket B

% 96,69 97,96 98,68 99,85 100

31. Angka Kelulusan SMA/MA/SMK/Paket C

% 95,83 99,04 99,47 99,45 100

32. Rata-rata nilai UN SD/MI/Paket A

Angka 7,18 6,85 9,93 6,97 19,52

33. Rata-rata nilai UN SMP/MTs/Paket B

Angka 7,06 NA 6,61 6,96 23,22

34. Rata-rata nilai UN SMA/MA/SMK/Paket C


(32)

II - 32

2) Kesehatan

Kinerja berkaitan dengan upaya kesehatan antara lain terlihat dari indikator Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Balita, Persentase kekurangan gizi (underweight) pada anak balita), Persentase wasting (kurus dan sangat kurus pada anak balita), serta prevalensi/kejadian penyakit menular dan tidak menular.

Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan, yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, seperti kecelakaan, terjatuh, dan lain-lain. Angka Kematian Ibu dinyatakan per 100.000 kelahiran hidup. AKI di Provinsi Kepulauan Riau dari tahun 2010 – 2014 fluktuatif dengan kecenderungan menurun dari sebesar 183,5 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 137 per 100.000 kelahiran hidup. Kondisi ini dibawah target MDGs (102 kematian per 100.000 kelahiran hidup).

AKI diprovinsi Kepulauan Riau disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil dan sulitnya menjangkau akses pelayanan kesehatan. Kematian ibu dikarenakan oleh pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi, dan infeksi. Selain itu penyebab non medis adalah rendahnya kapasitas perempuan untuk mengamil keputusan dalam penyelematan kehamilan. Keputusan tertinggi berada pada suami, sementara suami yang memiliki mata pencaharian nelayan tidak selalu mendampingi istri dalam persiapan kelahiran. Dilihat distribusinya, AKI tertinggi terjadi di Kabupaten Natuna, selanjutnya Kabupaten Kepulauan Anambas, seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1.

Jumlah Kasus Kematian Ibu berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Nama Kabupaten Kota 2011 2012 2013 2014 2015

1 Karimun 7 7 7 13 5

2 Bintan 6 10 5 4 6

3 Natuna 2 5 7 2 1

4 Lingga 5 7 4 2 1

5 Batam 25 22 20 39 43

6 Tanjungpinang 8 5 8 11 7

7 Kep. Anambas 2 1 2 1 2

Sumber: Profil Kesehatan Kepulauan Riau

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah angka yang menunjukkan banyaknya kematian bayi usia 0 tahun dari setiap 1.000 kelahiran hidup pada tahun tertentu, atau dapat dikatakan juga sebagai probabilitas bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun (dinyatakan dengan per 1.000 kelahiran hidup). AKB Provinsi Kepulauan Riau dari tahun 2010 – 2014 menunjukkan penurunan. Pada tahun 2010 AKB sebesar 20,5 per 1.000 kelahiran hidup, turun menjadi 16 per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut


(33)

II - 33 telah melebihi target MDGs untuk AKB sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. AKB yang relatif kecil disebabkan karena pelaporan AKB baru pada tingkat pelayanan kesehatan dan banyak kasus yang tidak terlaporkan. Kematian pada bayi antara lain disebabkan oleh asfeksia, BBLR, Tetanus Neonatorum (TN), Sepsis, Kelainan conginital, dan Icterus.

Dilihat per kabupaten/kota, hampir semua kota/kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau telah mencapai target MDGS (23 per 1.000 kelahiran hidup), kecuali Kabupaten Natuna yaitu sebesar 24,26 per 1.000 KH, seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2.

Jumlah Kasus Kematian Bayi berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Nama Kabupaten Kota 2011 2012 2013 2014 2015

1

Karimun

63

77

76

104

80

2

Bintan

50

34

23

7

32

3

Natuna

12

9

16

17

24

4

Lingga

25

25

25

2

23

5

Batam

122

106

44

303

228

6

Tanjungpinang

44

36

40

40

38

7

Kep. Anambas

25

10

17

17

21

Sumber: Profil Kesehatan Kepulauan Riau

Persentase balita gizi kurang di Provinsi Kepulauan Riau dari tahun 2010 – 2014 mengalami penurunan, dari sebesar 4,67% menjadi 3,72%. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi kurang adalah ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga, salah satunya disebabkan oleh kemiskinan, dan faktor geografis kepulauan yang menghambat dalam mengakses bahan pangan. Dalam penanganannya, kasus gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi dilakukan dengan kerjasama lintas sector antar instansi pemerintah. Dilihat persebarannya, persentase gizi kurang tertinggi berada di Kabupaten Natuna, kemudian Kabupaten Kepulauan Anambas, seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3.

Balita Gizi Kurang per Kota/Kabupaten Tahun 2011-2015 (%)

No Nama Kabupaten Kota 2011 2012 2013 2014 2015

1 Karimun 13,13 8,01 5,93

6,53

5,32

2 Bintan 1,92 2,37 3,29

2,37

2,58

3 Natuna 11,25 21,77 12,59

5,58

7,43

4 Lingga 8,28 4,12 4,92

4,32

4,32

5 Kota Batam 2,84 2,50 1,30

1,73

1,59

6 Kota Tanjungpinang 5,03 0,76 0,30

3,49

4,06

7 Kep.Anambas 6,71 10,04 10,04

7,72

3,53


(34)

II - 34 Prevalensi HIV AIDs pada penduduk dalam kurun waktu tahun 2010-2014 menunjukkan angka yang fluktuatif dengan kecenderungan meningkat dari 0,17% menjadi 0,33%, sedangkan persentase ODHA yang mengakses ART (Anti Retroviral Treatment) mengalami penurunan. Angka kejadian Tuberkulosis TB adalah semua kasus TB dalam 100.000 penduduk pada suatu wilayah dan tahun tertentu. Di Provinsi Kepulauan Riau agka cenderung menurun dari sebesar 160,06/100.000 penduduk pada tahun 2010 menjadi 109 per 100.000 penduduk. Angka Keberhasilan Pengobatan TB (success rate) masih belum optimal, baru mencapai 66,5%.

Angka Kejadian DBD Per 100.000 penduduk angkanya masih tinggi, yaitu sebesar 95,7 per 100.000 penduduk, cenderung meningkat dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Sementara itu Angka Kejadian Malaria sebesar 0,65 per 1.000 penduduk. Pengendalian penyakit malaria dilakukan untuk mencapai target tujuan 6 MDG’s 2015. Adapun untuk Angka Kejadian Kusta pada tahun 2014 sebesar 0,66 per 100.000 penduduk, dan Angka Kejadian Filariasis sebesar 5 per 100.000 penduduk. Persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan di tahun 2015, capaiannya meningkat menjadi sebesar 71%.

Berkaitan dengan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan kinerjanya perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dari cakupan kota sehat sampai dengan tahun 2014 masih nol, dan Persentase Kabupaten/Kota yang memiliki kebijakan PHBS baru 14%, Persentase Desa/Kelurahan yang melaksanakan STBM baru mencapai 43,52%. Sementara itu Cakupan Desa/kelurahan Siaga Aktif sebesar 97%, Persentase Usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap sebesar 94,5%.

Secara rinci kinerja urusan kesehatan dalam kurun waktu tahun 2010-2014 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4.

Perkembangan Kinerja Urusan Kesehatan Tahun 2010-2015

No Indikator Kinerja Satuan 2011 2012 2013 2014 2015

1.

Angka Kematian Ibu (AKI) per 100.000 KH

per 100.000

KH

121 112 97 137 144

2. Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 KH

per 1.000 KH

28 22 21 16 14

3. Persentase kekurangan gizi (underweight) pada anak balita)

% 3,77 2,67 3,71 3,72 12,6

4. Prevalensi HIV pada penduduk

% 0,19 0,23 0,26 0,33 0,38

5. Persentase ODHA yang mengakses ART (Anti Retroviral Treatment)

% 29 60 54 51,3 65,4

6. Angka Kejadian DBD Per 100.000 penduduk

Per 100.000 penduduk


(1)

II - 98 Pembantuan oleh Perangkat Daerah.

Pengawasan internal dilaksanakan oleh Inspektorat semakin ditingkatkan agar kinerja pembangunan daerah dan pelayanan publik lebih berdaya guna dan berhasil guna. Fokus pengawasan pada pengawasan internal secara berkala pada semua obyek pemeriksaan (obrik) bagi 26 SKPD Provinsi Kepulauan Riau melalui pemeriksaan reguler pada obyek pemeriksaan. Kinerja Inspektorat sudah cukup baik, terlihat dari capaian hasil opini BPK atas laporan keuangan daerah Provinsi Kepulauan Riau yang sudah mencapai kategori Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), persentase tenaga pemeriksa dan aparat pengawasan yang memiliki sertifikat pengawas sebesar 80%, dan peningkatan level kapabilitas inspektorat Provinsi Kepulauan Riau menjadi level 2 pada tahun 2015.

Indikator yang capaiannya masih rendah yaitu Persentase Jumlah Unit Pelayanan Publik yang mendapat kategori hijau berdasarkan penilaian Ombudsman. Persentase Jumlah Unit Pelayanan Publik yang mendapat kategori hijau berdasarkan penilaian Ombudsman di Kepulauan Riau baru mencapai 30% dari total unit pelayanan publik yang ada. Capaian tersebut meningkat dibandingkan capaian tahun 2010-2014 yang menunjukkan belum adanya UPP yang sudah menerima penilaian kategori hijau. Penilaian yang dilakukan oleh Ombudsman tersebut menggunakan satu variabel penilaian, yaitu kepatuhan dengan menilai unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, meliputi: 1) Standar Pelayanan; 2) Maklumat Pelayanan; 3) Sistem Informasi Pelayanan Publik; 4) SDM; 5) Unit Pengaduan; 6) Sarana bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus; 7) Visi, Misi dan Moto; 8) Sertifikat ISO 9000:2008; 9) Atribut; dan 10) Sistem Pelayanan Terpadu.

Model Peningkatan Kapabilitas Aparan Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) mengacu kepada Internal Audit Capability Model (IA-CM); yaitu suatu kerangka kerja yang mengindentifikasi aspek-aspek fundamental yang dibutuhkan untuk pengawasan intern yang efektif di sektor publik. Terdapat 5 level kapabilitas dalam konsep IA-CM, yaitu 1) initial; 2) infrastructure; 3) Integrated; 4) Managed); dan 5) Optimizing. Berdasarkan konsep IA-CM, APIP Provinsi Kepulauan Riau sudah berada pada tingkat kedua (infrastructure) pada tahun 2015. Kondisi tersebut lebih baik dibandingkan dengan capaian pada tahun 2014 yang berada pada kondisi initial (level 1). Keberhasilan APIP dalam mencapai level ini antara lain melalui pemenuhan enam unsur penilaian, meliputi: Peran dan layanan APIP berlaku sebagai auditor ketaatan; SDM dikelola dengan menggunakan metode pengembangan profesi individu dan rekruitmen kepada SDM yang kompeten; Melakukan praktek kerja profesional dan melakukan pengawasan berdasarkan prioritas; Melakukan penyusunan anggaran operasional APIP; termasuk perencanaan kegiatan; Telah dilakukan pengelolaan terhadap organisasi APIP; dan Hubungan pelaporan telah terbangun dengan baik.

Secara rinci kinerja urusan otonomi daerah (inspektorat) dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.


(2)

II - 99 Tabel 2.52.

Capaian Kinerja Urusan Otonomi Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Indikator Kinerja 2010 2011 2012 2013 2014 2015 1. Opini BPK atas LKPD Provinsi

Kepulauan Riau

WTP WTP WTP WTP WTP WTP

2. Persentase Jumlah Unit Pelayanan Publik yang mendapat kategori hijau berdasarkan penilaian Ombudsman

0 0 0 0 0 30

3. Persentase Tenaga Pemeriksa dan Aparat Pengawasan yang memiliki sertifikasi

50 50 50 60 70 80

4. Meningkatnya level Kapabilitas Inspektorat Provinsi Kepri

0 0 0 0 1 2

Sumber: Data Primer dari SKPD (2015) 7) Kantor Penghubung

Untuk lebih banyak menarik investor dari luar Propinsi Kepulauan Riau agar menanamkan modalnya ke Provinsi Kepulauan Riau maka dibentuklah kantor Penghubung Propinsi Kepulauan Riau, yang merupakan salah satu SKPD yang melaksanakan dan membantu pelaksanaan tugas pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau di Jakarta. Kinerja kepuasan stakeholders terhadap pelayanan yang diberikan kantor penghubung menunjukkan peningkatan, hal ini berarti bahwa setiap tahunnya Kantor Penghubung Propinsi Kepulauan Riau selalu melakukan perbaikan terhadap pelayanan yang diberikan. Masyarakat secara luas sudah mulai tertarik ke Propinsi Kepulauan Riau, hal ini dapat dilihat, berdasarkan data jumlah pengunjung anjungan Kepulauan Riau di TMII yang setiap tahun meningkat. Pada tahun 2013 jumlah pengunjung di anjungan Kepulauan Riau TMII sebanyak 815 orang, meningkat menjadi 1076 orang pada tahun 2014 dan 1102 orang pada tahun 2015. Disisi lain Pemerintah Kepulauan Riau juga aktif untuk malukan pameran dan dan Forum Bisnis yang dilakukan di Jakarta atau daerah diluar Kepri dengan maksud untuk melakukan promosi. Alokasi kegiatan tersebut juga mengalami peningkatan yang pada tahun 2013 hanya 5 even, menjadi 7 event pameran di tahun 2014 dan 2015.

Diharapkan dengan meningkatnya keingintahuan masyarakat tentang Kepulauan Riau, akan mendorong masyarakat untuk berkunjung ke Provinsi Riau, baik untuk melakukan kunjungan wisata ataupun kunjungan untuk berinvestasi di Propinsi Kepulauan Riau karena Pemerintah propinsi Kepulauan Riau menawarkan berbagai peluang investasi kepada investor asing antara lain dalam bidang manufaktur, perdagangan, pertambangan, pertanian, perikanan dan pariwisata dimana pemerintah daerah berkomitmen untuk mendukung sepenuhnya dan menyediakan layanan bertaraf internasional bagi para investor.


(3)

II - 100 pada tabel berikut ini.

Tabel 2.53.

Capaian kinerja Kantor Penghubung Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Indikator Kinerja 2010 2011 2012 2013 2014 2015 1 Indeks Kepuasan

Stakeholders Terhadap Pelayanan Yang Diberikan Kantor Penghubung

75 80 85 85 90 91

2 Jumlah Pengunjung Anjungan Kepulauan Riau TMII

- - - 815 1076 1102

3 Jumlah Kegiatan Pameran dan Forum Bisnis di Jakarta atau daerah diluar Kepri

- - - 5 7 7

4 Persentase Peningkatan Pengunjung Website Kantor Penghubung

- - - 4425

orang

3,549.33 % (161,483 orang)

19.28 % (192,617 orang) 5 Jumlah Kegiatan

Pembinaan Masyarakat Kepri di luar Provinsi Kepri, serta Kegiatan bersama Instansi Pemerintah Lain

- - - 3 3 3

Sumber : Kantor Penghubung Propinsi Kepulauan Riau, 2015

8) Badan Pengelola Perbatasan

Kinerja badan pengelola perbatasan dalam kurun waktu tahun 2012-2015 ditunjukkan dengan capaian indikator data potensi pulau-pulau terdepan di Provinsi Kepulauan Riau, Data Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau, dan Dokumen Risalah Persidangan. Capaian indikator lainnya yaitu jumlah media informasi/publikasi kawasan perbatasan rata-rata sejumlah 4 kali Majalah terbit dan 1 kali pameran potensi, dan jumlah masyarakat di wilayah perbatasan memiliki pemahaman batas negara dan rasa nasionalisme melalui pelaksanaan workshop Peningkatan peran serta nelayan dalam menjaga batas wilayah negara, Sosialisasi Pengelolaan Batas Negara, Seminar Perbatasan, dan Penguatan Kelembagaan di kawasan perbatasan.

Secara rinci kinerja Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(4)

II - 101 Tabel 2.54.

Capaian kinerja Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

No Indikator

Kinerja Satuan 2012 2013 2014 2015

1 Jumlah masterplan pengelolaan perbatasan

dokumen 1 ( Data potensi pulau-pulau terdepan di Provinsi

Kepulauan Riau)

0 0 0

2 Jumlah koordinasi pengembangan wilayah

perbatasan

kali 1 ( Data Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau) 1 (Data Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau) 1 (Data Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau) 1 (Data Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau) 3 Jumlah media

informasi/publikas i kawasan perbatasan

kegiatan 4 kali Majalah terbit, 1 kali pameran potensi kawasan

perbatasan

4 kali Majalah terbit, 1 kali pameran pengelolaan potensi kawasan perbatasan

4 kali Majalah terbit, 1 kali pameran potensi

1 Kali Majalah terbit, 1 pameran pembangunan

4 Jumlah usulan kesepakatan dalam kerjasama Sosek Malindo

point 0 1 Dokumen

Risalah Persidangan 1 Dokumen Risalah Persidangan 1 Dokumen Risalah Persidangan 5 Jumlah

masyarakat di wilayah perbatasan memiliki

pemahaman batas negara dan rasa nasionalisme

orang 75 Peserta Sosialisasi Pengelolaan Batas Negara 160 Peserta Seminar Perbatasan 140 Workshop Peningkatan peran serta nelayan dalam menjaga batas wilayah negara 80 Peserta Penguatan Kelembagaan di kawasan perbatasan

Berdasarkan uraian diatas, perlu ada peningkatan kinerja dalam pengelolaan perbatasan, baik dalam pengembangan ekonomi masyarakat, pengkoordinasian pembangunan infrastruktur pada 19 lokasi prioritas, serta peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan, dan pengembangan wawasan kebangsaan bagi masyarakat agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.

2.4 Aspek Daya Saing Daerah

Daya saing (competitiveness) merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan tujuan pembangunan daerah dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan. Aspek daya saing dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti: Pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita; Pengeluaran konsumsi non pangan perkapita; Panjang jalan; Jumlah orang/ barang yang


(5)

II - 102 perusahaan asuransi dan cabang; Jenis, kelas, dan jumlah restoran; Jenis, kelas, dan jumlah penginapan/ hotel; Rasio ketersediaan daya listrik.

Nilai Tukar Petani (NTP) menjadi salah satu indikator produksi untuk melihat tingkat kesejahteraan petani. NTP merupakan perbandingan/rasio antara Indeks Harga yang Diterima Petani (It) dengan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib). Dengan kata lain, NTP menunjukkan daya tukar

(term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan

jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012 dan 2011. Hal ini disebabkan penurunan indeks yang diterima petani (indeks harga hasil produksi pertanian) sedangkan indeks yang dibayar petani (indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumahtangga maupun untuk keperluan produksi pertanian) mengalami kenaikan.

Dari lima subsektor yang menyusun NTP Provinsi Kepulauan Riau tahun 2013 tercatat dua sektor mengalami kenaikan NTP, yaitu subsektor tanaman pangan sebesar, subsektor peternakan. Sebaliknya NTP subsektor hortikultura, perkebunan dan perikanan justru mengalami penurunan, seperti terlihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.55.

Nilai Tukar Petani Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2013

No Uraian 2010 2011 2012 2013

1. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTP-P) 65,18 66,42 69,88 72,48 2. Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTP-H) 113,01 122,63 127,05 126,25 3. Nilai Tukar Petani Perkebunan Rakyat (NTP-Pr) 114,18 119,19 120,19 119,41 4. Nilai Tukar Petani Peternakan (NTP-Pt) 91,83 90,47 90,19 90,07 5. Nilai Tukar Petani Perikanan (NTP-Pi) 105,35 106,95 107,53 108,15 Nilai Tukar Petani (NTP) umum 99,94 103,00 104,66 104,96

Sumber : Kepulauan Riau Dalam Angka 2014

Nilai Tukar Petani Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2013 lebih rendah dari NTP Provinsi lampung, dan lebih tinggi dibandingkan Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung, seperti terlihat pada gambar berikut:


(6)

II - 103 Gambar 2.27 Perbandingan Nilai Tukar Petani Provinsi Kepulauan Riau

dengan Provinsi Lain di Pulau Sumatera tahun 2013

98.04

99.61 100.17 97.14

97.21

100.86 98.08

101.97 100.99

101.52

94 95 96 97 98 99 100 101 102 103

Aceh Sumatera Utara

Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan

Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau